Deteksi waktu transportasi mukosiliar pada perokok dan non perokok dengan uji sakharin

(1)

SAKHARIN

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

DISUSUN OLEH

Ahmad Muslim Hidayat Tamrin

1111103000091

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014 M


(2)

(3)

(4)

(5)

Bismillahirrahmanirrahim.

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita, Baginda Nabi Besar Rasulullah SAW, yang telah menjadi contoh teladan bagi penulis dalam menjalankan kehidupan, termasuk dalam menyelesaikan laporan ini. Laporan penelitian ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya karena adanya dukungan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr (hc). dr. M.K Tadjudin,Sp. And selaku Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan arahan kepada penulis selama menempuh pendidikan di PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. dr. Witri Ardini, M.Gizi, Sp.GK selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Dokter atas bimbingan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan di PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. dr. Ibnu Harris Fadillah, Sp.THT-KL selaku pembimbing 1 yang telah

meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis dari awal melakukan penelitian hingga menyusun dan menyelesaikan laporan penelitian ini.

4. drg. Laifa Annisa Hendarrmin, Ph.D selaku pembimbing 2 yang telah

memberikan masukan dalam penulisan proposal penelitian dan telah mencurahkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis dalam menyusun dan menyelesaikan laporan penelitian ini.

5. dr. Flori Ratnasari, Ph.D selaku penanggung jawab modul riset yang selalu memberikan arahan dan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan penelitian ini.


(6)

8. Papa dan Mama, atas seluruh apa yang telah diberikan selama ini, yang sungguh penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu. Namun yang selalu teringat adalah doa dan nasihat dari beliau.

9. Ica, Lala, dan adinda Amma yang selalu menjadi penyemangat kakak untuk menyelesaikan riset ini. Semoga kakak dapat menjadi contoh yang baik bagi kalian semua.

10.Teman-teman satu kelompok penelitian, Andhika, Bimo, Dimas, dan Madina.

Terima kasih atas kerjasama, semangat pantang menyerah, serta dukungan selama melakukan penelitian ini bersama-sama.

11.Teman-teman, kakak-kakak, dan adik-adik PSPD UIN yang tidak bisa penulis

sebutkan satu-persatu, terima kasih atas kebersamaan dan semangatnya dalam menempuh dunia mahasiswa kedokteran ini.

Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan ritik dari berbagai pihak. Demikian laporan penelitian ini penulis susun, semoga dapat bermanfaaat dengan baik.

Ciputat, 15 September 2014


(7)

Waktu Transportasi Mukosiliar antara Perokok dan Non Perokok dengan Uji Sakharin.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu transportasi mukosiliar pada perokok dan non perokok, perbedaannya, serta pengaruh derajat beratnya

merokok terhadap waktu transportasi mukosiliar. Metode: Penelitian ini

melibatkan 12 subjek penelitian yang dibagi rata menjadi dua kelompok, 6 pria perokok dan non-perokok, sebagai kontrol. Seluruh subjek diwawancarai oleh peneliti, dilakukan pemeriksaan fisik THT dan diuji waktu transportasi mukosiliarnya dengan uji sakharin. Hasil: Rerata waktu transportasi mukosiliar pada kelompok non-perokok yaitu 5,12 ± 1,39 menit dan 7,42 ± 2,16 menit pada kelompok perokok. Didapatkan juga hasil rerata waktu transportasi mukosiliar kelompok perokok ringan adalah 6,40 ± 1,84 menit dan 9,47 ± 7,54 menit pada kelompok perokok berat. Namun karena kurangnya jumlah sampel pada penelitian ini, tidak dapat dilakukan uji analitik statistik pada hasil tersebut. Kesimpulan:

Didapatkan perbedaan rerata waktu transportasi mukosiliar pada non perokok dan perokok di mana waktu transportasi mukosiliar perokok lebih lambat (5,12 ± 1,39 menit pada non perokok dan 7,42 ± 2,16 menit pada perokok). Namun hasil ini tidak dapat dianalisa secara statistik karena kurangnya jumlah sampel.

Kata kunci: merokok, waktu transportasi mukosiliar, uji sakharin.

ABSTRACT

Ahmad Muslim Hidayat Tamrin. Medical Education Study Program. Detection of Mucociliary Transport Time in Smokers and Non Smokers with Saccharin Test.

Objective: This study purpose to know about mucociliary transport time in smokers and non smokers, the difference within the 2 groups, and the influence of degree of smoking to mucociliary transport time. Methods: The study comprised of 12 male subjects divided equally, 6 subjects in smokers group and 6 subjects in non-smokers group, as a control group. All participants completed the interview, ear-nose and throat physical examination and mucociliary transport time count with saccharin test. Results: mean of mucociliary transport time in non smokers is 5,12 ± 1,39 minutes and 7,42 ± 2,16 minutes in smokers. mean of mucociliary transport time in light smokers is 6,40 ± 1,84 minutes and 9,47 ± 7,54 minutes in heavy smokers. But because the sample size is too little, we can‟t analyze the result with analytical statistic test.Conclusions: Thereusions:thence in mean mucociliary transport time between smokers and non smokers group, which the

smokers group‟s mean mucociliary transport time is delayed (5,12 ± 1,39 minutes in non smokers and 7,42 ± 2,16 minutes in smokers). But we canminutes in non smokers and test to this result because the sample sixe is too little..


(8)

Halaman

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.4.1 Tujuan Umum ... 3

1.4.2 Tujuan Khusus ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Landasan Teori ... 5

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung ... 5

2.1.1.1 Anatomi Hidung ... 5

2.1.1.2 Fisiologi Hidung ... 8

2.1.2 Sistem Mukosiliar Hidung dan Sinus Paranasal ... 8

2.1.2.1 Struktur dalam Sistem Mukosiliar ... 9

2.1.2.2 Peran Sistem Mukosiliar dalam Pernapasan . 13

2.1.2.3 Transportasi Mukosiliar ... 14

2.1.1.4 Pemeriksaan Fungsi Mukosiliar ... 14

2.1.2.5 Faktor yang Mempengaruhi TMS ... 15

2.1.3 Rokok ... 19

2.1.3.1 Kandungan Rokok dan Dampaknya ... 19

2.1.3.2 Pengaruh Rokok thd Sel Manusia ... 21

2.1.3.3 Pengaruh Rokok thd Sel Epitel Respiratorik .. 23

2.1.3.4 Pengaruh Rokok thd Palut Lendir ... 23

2.1.3.5 Pengaruh Rokok thd TMS ... 24

2.1.3.6 Indeks Merokok ... 25

2.1.4 Uji Sakharin ... 27

2.2 Kerangka Teori ... 28

2.3 Kerangka Konsep ... 29


(9)

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 35

3.3 Kriteria Subjek Penelitian ... 35

3.4 Besar Sampel Penelitian ... 37

3.5 Alat dan Bahan Penelitian ... 39

3.6 Cara Kerja Penelitian ... 39

3.7 Manajemen dan Analisis Data ... 44

3.8 Alur Penelitian ... 45

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

4.1 Hasil Penelitian ... 46

4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 46

4.1.2 Waktu Transportasi Mukosiliar Subjek Penelitian ... 47

4.2 Pembahasan... 50

4.3 Aspek Keislaman ... 52

4.4 Keterbatasan Penelitian ... 53

BAB 5. SIMPULAN DAN SARAN ... 54

5.1 Simpulan ... 54

5.2 Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55


(10)

Gambar 2.1. Struktur Hidung Eksterna. ... 6

Gambar 2.2. Struktur Traktus Respiratorius Bagian Atas ... 7

Gambar 2.3. Struktur Silia ... 11

Gambar 2.4. Proses Bergeraknya Silia ... 12

Gambar 2.5. Kerusakan Sel Akibat Radikal Bebas ... 22

Gambar 3.1. Wawancara Subjek ... 40

Gambar 3.2. Pemeriksaan Fisik THT pada Subjek ... 40

Gambar 3.3. Nasoendoskopi pada Subjek... 41

Gambar 3.4. Gambaran Nasoendoskopi pada Subjek di Monitor ... 41

Gambar 3.5. Alat Nasoendoskopi dan Papan Kendalinya ... 42

Gambar 3.6. Sakharin yang akan Diujikan pada Subjek ... 42

Gambar 3.7. Peletakan Sakharin ... 43

Gambar 3.8. Posisi Subjek Saat Uji Sakharin ... 43

Gambar 4.1 Waktu Transportasi Mukosiliar pada Subjek Penelitian ... 47

Gambar 4.2. Grafik Waktu Transportasi Mukosiliar antara Non Perokok dan Perokok ... 48

Gambar 4.3. Waktu Transportasi Mukosiliar pada Subjek Non Perokok, Perokok Ringan dan Perokok Berat dalam Klasifikasi oleh Proenca dkk. ... 49


(11)

(12)

(13)

APBN = Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

ADHD = Attention Deficit and Hyperactivity Disorder

Riskesdas = Riset Kesehatan Dasar

THT = Telinga, Hidung dan Tenggorok

TMS = Transportasi Mukosiliar

USU = Universitas Sumatera Utara


(14)

1.1 Latar Belakang

Merokok adalah suatu kebiasaan yang sudah mewabah di Indonesia. Data dari Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa lebih dari setengah populasi laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok aktif. Sebuah angka yang besar mengingat negara ini adalah negara dengan pendapatan per kapita yang masih tergolong menengah dan kualitas pelayanan kesehatan yang masih rendah, terlihat dari anggaran kesehatan di APBN yang belum pernah menyentuh angka 5% sepanjang sejarah.1-3

Sudah menjadi rahasia umum bahwa rokok memiliki banyak dampak negatif dari segi kesehatan. Data menunjukkan peningkatan kasus kanker paru sejak awal abad ke 20 berbanding lurus dan setara dengan peningkatan angka perokok di seluruh dunia. Dan bukan rahasia lagi, bahkan kita sering melihat di berbagai media, baik media cetak maupun elektronik, bahwa angka kematian yang disebabkan oleh penyakit akibat rokok baik di Indonesia maupun di seluruh dunia sangatlah besar. Menurut data dari WHO, setiap menit, ada sekitar 10 orang yang meninggal karena rokok, dan hampir semua berkaitan dengan penyakit yang berhubungan dengan sistem respirasi.1,4

Berdasar data di atas, jelas bahwa rokok memiliki dampak yang berbahaya bagi kesehatan. Sebetulnya sudah terlalu banyak penelitian dan riset yang berkaitan dengan bahaya rokok. Namun, tetap saja, jumlah perokok tetap meningkat. Menarikya, Indonesia termasuk dari 2 negara dengan prevalensi pria dewasa perokok terbesar yaitu 57%, di bawah tetangga kita Timor Leste (61%). Di negara-negara lain, terutama di negara maju dengan tingkat pendidikan masyarakat yang lebih tinggi, jumlah perokok dari tahun ke tahun terus menurun.1,5


(15)

Penulis memilih melakukan penelitian tentang perbedaan waktu transporta si mukosiliar antara perokok dan bukan perokok karena transportasit mukosiliar m enggambarkan kekuatan pertahanan garis pertama di saluran napas, yaitu sistem mukosiliar. Sistem mukosiliar berperan untuk menyapu kotoran yang masuk bersa ma udara pernapasan untuk keluar dari saluran napas. Namun, seperti yang telah u mum diketahui, rokok berpengaruh besar dalam fungsi sel, termasuk sel mukosa s aluran napas yang berperan dalam sistem mukosiliar. Jika sistem mukosiliar rusak , maka benda asing dari udara di lingkungan akan dengan mudah masuk ke salura n pernapasan. 6

Berbagai penelitian di seluruh dunia, termasuk penelitian di Indonesia, telah menunjukkan bahwa terjadi perlambatan waktu transportasi mukosiliar pada perokok. Contohnya, penelitian oleh Stanley dkk di Amerika Serikat pada tahun 1986 yang mengungkapkan bahwa pada penelitian yang melibatkan 29 perokok lama (lebih dari 5 tahun dan lebih dari atau sama dengan 10 batang rokok per hari) menunjukkan perlambatan bermakna waktu transportasi mukosiliar perokok dibanding non perokok. Hal yang sama juga diungkapkan Proenca dkk di Brazil tahun yang menunjukkan perlambatan bermakna waktu transportasi mukosiliar perokok dibanding kelompok non perokok. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa makin tinggi derajat beratnya merokok, makin besar perlambatan waktu transportasi mukosiliar. 7,8

Untuk di Indonesia, penelitian tentang pengaruh merokok terhadap transportasi mukosiliar ini masih sangat sedikit. Namun penelitian ini pernah dilakukan oleh dr. Rahmad Dermawan SpTHT-KL di Medan tahun 2010, dan juga menunjukkan perlambatan bermakna waktu transportasi mukosiliar perokok dibanding kelompok non perokok. Oleh karena itu penulis berminat untuk melakukan penelitian ini untuk memperkuat dugaan tersebut. Selain itu, penulis ingin melihat pengaruh lama merokok dengan waktu transportasi mukosiliar. 9


(16)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang, peneliti dapat merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut.

 Bagaimana perbedaan waktu transportasi mukosiliar antara perokok dan bukan perokok?

1.3Hipotesis

Peneliti mengambil hipotesis bahwa:

 Terjadi perbedaan waktu transportasi mukosiliar antara perokok dan bukan

perokok. Perokok dihipotesiskan mengalami perlambatan waktu transportasi mukosiliar.

1.4Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui waktu transportasi mukosiliar pada perokok dan bukan perkok.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui perbedaan rata-rata waktu transportasi mukosiliar antara perokok dan bukan perokok.

1.5Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Peneliti


(17)

 Menambah pengetahuan, khususnya tentang bahaya merokok dan sistem mukosiliar pada hidung dan sinus paranasal

1.5.2 Bagi Masyarakat

 Menambah pengetahuan tentang bahaya merokok, terutama efeknya

terhadap sistem mukosiliar di hidung dan sinus paranasal

1.5.3 Bagi Civitas Akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 Sebagai sumber referensi dan rujukan untuk para civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umumnya, dan bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk melanjutkan penelitian ini pada khususnya


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Landasan Teori

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung

2.1.1.1Anatomi Hidung

Hidung merupakan bagian yang menonjol di garis axial bagian frontal kepala yang terletak di bagian wajah. Hidung terbagi menjadi 2 bagian, yaitu hidung eksternal dan hidung internal. Hidung eksternal adalah bagian yang prominen di wajah yang terdiri dari kerangka tulang dan kerangka kartilago.kerangka tulang terdiri dari os. Maxillae, os. Nasalis dan os. Frontalis. Sedangkan kerangka kartilago terdiri dari kartilago septum nasi yang merupakan bagian depan septum nasi, kartilago nasi lateralis yang terletak inferior dari os. Nasalis dan kartilago alar yang membentuk dinding dari nostril atau lubang hidung. Karena terbentuk dari kartilago yang lentur, maka bagian hidung yang disusun kartilago ini juga menjadi lebih fleksibel dibanding bagian yang disusun kerangka tulang.di permukaan bawah hidung eksternal terdapat nares eksternum atau nostril atau biasa disebut dengan lubang hidung yang merupakan jalur masuknya udara dari lingkungan masuk ke sistem pernapasan.6


(19)

Gambar 2.1 Struktur Hidung Eksternal (dikutip dari: Tortora, 2011)

Bagian internal atau dalam dari hidung merupakan rongga yang besar yang berada di bagian anterior dari kranium, inferior dari os. Nasalis dan superior dari mulut. Bagian internal hidung dilapisi oleh otot dan membran mukosa. Di bagian anterior hidung internal berhubungan dengan hidung eksternal dan dibagian posterior, hidung berhubungan dengan faring melalui 2 bukaan, yaitu choanae atau yang juga disebut naris interus. Duktus-duktus dari sinus paranasal dan duktus nasolakrimalis bermuara ke hidung internal. Karena memiliki bukaan ke hidung internal, lapisan mukosa dari sinus paranasal juga sama dengan lapisan mukosa dari hidung. Dinding lateral dari hidung internal dibentuk oleh os. Ethmoid, os. Maxillae, os. Lakrimalis, os. Palatina, dan os. Konka nasalis inferior. Bagian atap dibentuk oleh os. Ethmoid. Sedangkan bagian lantai hidung internal dibentuk oleh prosesus palatina os. Maxillae yang membentuk palatum durum yang merupakan lantai dari hidung internal.6Ruang di dalam hidung internal disebut cavum nasi atau rongga hidung. Bagian anteriornya yang masih ditutupi langsung oleh hidung eksternal disebut vestibulum nasalis. Septum nasalis membagi cavum nasi menjadi sisi kiri dan sisi kanan. Di dalam rongga hidung juga terdapat 3 penonjolan berbentuk seperti rumah kerang, yaitu konka nasalis superior, media dan inferior yang menonjol dari dinding lateral hidung internal.


(20)

Konka ini membagi rongga hitung menjadi 3 meatus, yaitu meatus superior, media dan inferior.6

Di bagian dalam hidung juga ada regio yang disebut regio olfaktori yang terletak di bagian superior dari hidung dalam, tepatnya di lapisan membran konka nasalis superior dan septum di sekitarnya yang disebut epitelium olfaktori. Inferior dari eptelium olfaktori adalah membrana mukosa yang mengandung kapiler darah dan juga epitel torak berlapis semu bersilia dan sel goblet yang akan mensekresikan mukus.6

Gambar 2.2 Struktur Traktus Respiratorius Bagian Atas, Potongan Sagital Sisi Kiri Kepala dan Leher


(21)

2.1.1.2Fisiologi Hidung

Fungsi hidung luar adalah untuk estetika dan sebagai jalur masuknya udara dari lingkungan ke dalam sistem pernapasan yang bermula di dalam rongga hidung. Bagian dalam hidung berfungsi untuk:6

 Menghangatkan dan menyaring udara yang masuk. Udara yang masuk ke

hidung akan diturbinasi oleh meatus dan konka pada hidung internal. Sembari mengalami turbinasi, udara tersebut akan dihangatkan oleh kapiler yang berada di dinding hidung dalam. Sel goblet di membrana mukosa hidung internal akan menagkap kotoran dan partikel asing sehingga udara yang masuk ke saluran napas bagian bawah menjadi lebih bersih. Kotoran ini nantinya akan disapu oleh silia pada epitel torak berlapis semu bersilia yang berada di membrana mukosa hidung yang melapisi rongga hidung. Kotoran ini disapu ke bagian faring untuk ditelan, dibatukkan atau diludahkan, untuk mengeluarkan partikel tersebut dari traktus respiratorius. Sistem pembersihan oleh mukus dari sel goblet dan sapuan silia epitel torak berlapis semua bersilia ini yang disebut dengan sistem mukosiliar.

 Mendeteksi stimulus olfaktori (penciuman) yang dilakukan oleh sel-sel di regio olfaktori hidung internal.

 Membantu proses berbicara, ketika suara melewati bilik resonansi di bagian

dalam rongga hidung, vibrasi dari gelombang suara akan berubah.

2.1.2 Sistem Mukosiliar Hidung dan Sinus Paranasal

Sistem mukosiliar adalah sistem pertahanan tubuh lokal yang terdapat di saluran napas atas, di dalam rongga hidung dan sinus paranasal. Sistem ini berfungsi sebagai pelindung lapis pertama saluran napas atas terhadap partikel asing seperti virus, bakteri, debu dan lain sebagainya.6,10-14


(22)

Seluruh saluran napas kecuali orofaring dan laringofaring ditutupi oleh epitelium bersilia. Epitelium bersilia ini dilapisi oleh lapisan cairan mukus yang disebut palu lendir. Palut lendir terdiri dari dua lapisan yang berbeda tingkat kepekatannya, yaitu lapisan superfisial yang terletak dia atas dan lapisan perisiliar yang sesuai namanya, terletak lebih di dalam di sekitar silia. 6,10-14

2.1.2.1Struktur yang Berperan dalam Sistem Mukosiliar

Ada dua unsur penting yang berperan dalam sistem mukosiliar itu sendiri, sesuai dengan namanya, yang pertama adalah palut lendir (mukus) yang merupakan cairan kental yang dihasilkan sel goblet di lapisan epitel di saluran napas atas yang berperan untuk memerangkap partikel asing yang ditangkap. Struktur penting yang kedua adalah silia itu sendiri, yang merupakan silia dari sel epitel torak bersilia yang berfungsi untuk menyapu partikel yang tertangkap bersama palut lendir tersebut ke arah nasofaring untuk ditelan atau diludahkan. Kedua struktur ini merupakan bagian dari lapisan mukosa hidung manusia.6,10-14

a. Palut Lendir atau Mukus

Palut lendir merupakan lembaran cairan yang tipis lengket dan liat yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukosa dan kelenjar lakrimal. Sel goblet dan kelenjar seromukosa terdapat pada lapisan mukosa hidung manusia. Komposisi dari palut lendir ini adalah: 95% air, 2.5-3% musin, 1-2% garam, dan juga IgA, albumin, laktoferin, lisosom, serta protein lainnya. 12,14,15

Palut lendir terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili sel epitel torak besilia, yang disebut lapisan perisiliar dan lapisan yang terletak lebih di permukaan yaitu lapisan superfisial. 14-16

Lapisan perisiliar bersifat kurang lengket dan lebih tipis yang mengandung glikoprotein mukus, protein serum, dan protein sekresi lainnya yang memiliki berat molekul rendah, sehingga menyebabkan lapisan ini lebih tipis dan kurang


(23)

kental. Lapisan ini sangat penting dalam pegerakan dari silia karena sebagian besar pergerakan silia terjadi pada lapisan ini. Oleh sebab itu, lapisan ini menjadi kurang kental, sebab jika sangat kental, maka pergerakan silia akan terganggu. Ketinggian lapisan ini dipengaruhi oleh keseimbangan elektrolit yang diatur oleh natrium (Na+) yang berperan dalam penyerapan lapisan ini serta klorida (Cl-) yang berperan dalam sekresi lapisan perisiliar. Kedalaman lapisan ini sangat berperan dalam pergerakan silia. Jika lapisan perisiliar terlalu rendah, maka silia akan tenggelam di dalam lapisan superfisial yang kental dan akan susah bergerak. Keadaan yang sama terjadi pada saat lapisan perisiliar terlalu tinggi dan nantinya akan membuat ujung silia tidak mencapai lapisan superfisial sehingga lapisan superfisial tidak dapat tersapu dengan baik ke arah nasofaring. 14,16,17

Lapisan kedua adalah lapisan superfisial yang lebih tebal dan kental karena mengandung lebih banyak mukoglikoprotein. Fungsi dari mukoglikoprotein ini adalah untuk menangkap partikel asing, menginaktifkan virus, dan juga berfungsi untuk melindungi membrana mukosa hidung dari temperatur dingin serta kelembaban yang rendah. 6,12,14,15

b. Sel Epitel Torak Bersilia

Sel epitel torak bersilia adalah sel epitel pada lapisan mukosa rongga hidung dan nasofaring yang berbentuk seperti silinder dan mengandung 50-200 silia atau rambut-rambut kecil per sel. Karena susunannya yang tidak teratur dan seakan-akan membentuk lapisan (padahal sesungguhnya hanya satu lapis), susunan sel ini disebut epitel torak berlapis semu bersilia. Tidak semua sel pada mukosa hidung adalah sel epitel torak bersilia, ada juga beberapa sel yang tidak bersilia dan sel goblet serta sel sekretorik lainnya yang berperan dalam produksi palut lendir. 6,14,15

Silia pada sel epitel torak bersilia terletak di bagian permukaan dan menghadap ke arah rongga hidung. Silia pada manusia memanjang sekitar 5 mikrometer di atas permukaan sel dan lebarnya sekitar 0.3 mikrometer. Silia


(24)

tertanam pada badan basal yang terletak tepat di bawah permukaan sel. Dari badan basal memanjang fibrin yang terhubung ke sitoplasma apical sel dan disini disebut sebagai tempat akar. Di silia tertanam dengan kuat dan mungkin tempat akar ini meneruskan impuls saraf ke silia di sebelahnya sehingga menimbulkan irama yang selaras.12-15,18

Struktur silia terdiri dari 2 mikotubulus tunggal di tengah yang dikelilingi oleh 9 pasang mikrotubulus ganda di luar, konfigurasi yang dikenal dengan sebutan 9+2. Antar kompleks mikrotubulus ganda dihubungkan oleh protein penghubung silang yang berbentuk seperti cincin di bagian dalam yang disebut nexin. Nexin juga terhubung dengan mikrotubulus tunggal melalui jari-jari radial yang melekat dari nexin ke mikrotubulus tunggal, sehingga dapat menghubungkan mikrotubulus tunggal dengan kompleks mikrotubulus ganda di luar, sehingga terbentuk seperti velg roda.12-15,18,19

Gambar 2.3. Struktur Silia (dikutip dari: Campbell, 2007)


(25)

Mekanisme bergeraknya silia didasari oleh adanya protein yang terdapat di mikrotubulus ganda yang disebut dynein. Lengan dynein tertanam pada salah satu mikrotubulus ganda dan kepalanya menyambung ke mikrotubulus lainnya. Sifat dynein mirip dengan protein myosin pada otot, sehingga ketika dirangsang dengan ATP, dynein akan memecah ATP (karena terdapat ATPase padanya) dan menggunakan hasil reaksi pemecahan tersebut sebagai energi untuk bergerak dengan gerakan meluncur sepeti sliding filament pada otot. Bedanya, pada mikrotubulus silia takkan terjadi gerakan meluncur karena adanya nexin, sehingga gerakan yang terjadi adalah gerakan menunduk atau menyapu ke arah tertentu. 12,18

Gambar 2.4. Proses Bergeraknya Silia (Dikutip dari: Campbell, 2007)


(26)

Dalam hal pergerakan silia, terdapat 2 fase yang terjadi, yaitu fase efektif yang berlangsung dengan kekuatan penuh dengan tujuan menyapu palut lendir ke arah tertentu dan fase pemulihan yang berlangsung lebih lambat dan lemah. Rasio waktu fase efektif dan fase pemulihan adalah 1:3. Frekuensi gerakan silia terjadi sebanyak 10-20 kali per detik atau 700-1000 kali per menit. Belum diketahui apa yang mengontrol gerak silia, namun dipastikan sesuai gambar di atas ATP adalah sumber energi utama untuk pergerakan silia eukariot. 12,13,18,20

Pergerakan silia pada manusia diatur oleh adanya kontrol saraf lokal yang involunteer. Hal ini dibuktikan dengan silia yang dapat bergerak terus menerus walaupun dipisahkan dengan tubuh. Silia masih terus berdenyut hingga 72 jam setelah orang meninggal. 12,15

Sel-sel basal pada mukosa hidung manusia berpotensi untuk menggantikan sel epitel bersilia maupun sel goblet yang telah rusak dan mati. Sel epitel saluran napas beregenerasi setiap 4-8 minggu, dengan rincian 2-4 hari untuk pembentukan dasar epitel tipis dan sekitar 4 minggu untuk regenerasi secara sempurna. 15

2.1.2.2 Peran Sistem Mukosiliar Hidung dan Sinus Paranasal dalam Menyaring Udara Inspirasi

Dalam proses inspirasi, ketika udara inspirasi mulai memasuki rongga hidung, akan terjadi perlambatan arus udara inspirasi yang masuk ke dalam rongga hidung dan juga arus balik udara inspirasi. Hal ini disebabkan oleh karena anatomi rongga hidung yang ireguler, karena terdapat banyaknya tonjolan (konka) dan saluran sempit (meatus). Perlambatan arus udara inspirasi yang masuk dan adanya arus balik atau turbinasi udara inspirasi ini akan menyebabkan partikel yang ikut bersama udara inspirasi menjadi melambat dan mudah terperangkap di palut lendir. Hal ini menimbulkan penimbunan partikel yang terperangkap di rongga hidung dan nasofaring. Partikel berukuran 5-6 mikrometer hampir semuanya (85-90%) akan disaring oleh palut lendir di rongga hidung dan nasofaring. Partikel yang lebih besar akan disaring oleh bulu hidung dan partikel


(27)

yang lebih kecil akan masuk ikut bersama palut lendir atau langsung ke traktus respiratorius bagian bawah. Molekul kecil yang dapat larut dalam air seperti formaldehid akan larut di dalam lapisan palut lendir dan disapu ke arah nasofaring. Sedangkan materi yang sukar larut akan langsung menuju paru-paru. 12-15

2.1.2.3Transportasi Mukosiliar (TMS)

TMS adalah sistem pembersihan mukosiliar yang mengandalkan fungsi

dari palut lendir atau mukus yang disekresikan sel goblet pada membrana mukosa hidung interna untuk menangkap partikel asing dan fungsi dari silia dari epitel torak berlapis semu bersilia untuk menyapu partikel asing yang tertangkap bersama silia ke arah nasofaring lalu ke orofaring untuk ditelan atau diludahkan. 6,12-17,19,20

Transportasitasi mukosiliar harus terus bergerak aktif karena jika tidak, maka partikel asing yang terperangkap dalam palut lendir akan dapat menembus mukosa hidung dan dapat menimbulkan gangguan baik secara lokal maupun sistemik jika partikel tersebut masuk ke sistem peredaran limfe atau darah. 6,12-17,19,20

2.1.2.4Pemeriksaan Fungsi Mukosiliar

Pemeriksaan fungsi mukosiliar sering dilakukan baik untuk kepentingan penelitian maupun medis. Pemeriksaan fungsi mukosiliar dapat dilakukan dengan memeriksa ultrastruktur silia dengan menggunakan mikroskop elektron, pemeriksaan komposisi dan kekentalan palut lendir, dan pemeriksaan fungsi gerakan silia.

Dalam penelitian dan pemeriksaan medis, fungsi gerakan silia cukup sering diperiksa karena dapat menggambarkan dengan tepat waktu pembersihan mukosiliar yang nantinya dapat merepresentasikan transportasit mukosiliar seseorang. Pemeriksaan ini menggunakan bahan terlarut, seperti sakharin, obat


(28)

topikal, maupun gas inhalasi, ataupun tak larut seperti lamp back, colloid sulfur, dan partikel radioaktif yang nantinya akan dicatat dengan kamera gamma. Salah satu pemeriksaan termudah dan tersering dilakukan adalah uji sakharin. Uji sakharin sangat sering dilakukan pada kasus klinis maupun penelitian karena murah, mudah, aman dan meberikan hasil yang cukup konsisten. Waktu dan/atau kecepatan yang ditemukan dalam pemeriksaan tersebut disebut waktu/kecepatan transportasi mukosiliar (TMS). 10,15,17,20-34

2.1.2.5 Faktor yang Mempengaruhi TMS

Rautiainen17 menyatakan bahwa beberapa faktor penting yang

mempengaruhi sistem mukosiliar adalah fungsi silia, struktur epitel, sifat dan kualitas dari palut lendir, serta struktur anatomis hidung dan sinus. Sedangkan

Waguespack15 menuliskan keadaan yang mempengaruhi TMS adalah faktor

fisiologis/fisik, polusi udara/rokok, kelainan kongenital, rhinitis alergi, infeksi virus/bakteri, obat-obat topical, obat-obat sistemik, bahan pengawet dan tindakan operasi. Penulis sendiri merangkum faktor-faktor yang mempengaruhi sistem transportasi mukosiliar tersebut menjadi:

a. Kelainan Kongenital

Diskinesia silia primer dapat disebabkan karena tidak adanya lengan dynein, jari-jari radial, translokasi pasangan mikrotubulus, panjang silia abnormal, sel-sel basal abnormal atau aplasia silia. Kelainan ini jarang dijumpai, dengan perbandingan 1 dalam 15.000-30.000 kelahiran. Uji sakharin pada pasien ini menunjukkan waktu sakharin lebih dari 60 menit. 14,20

Sindrom Kartagener merupakan kelainan kongenital dengan kelainan bronkiektasis, sinusitis dan situs inversus. Penyakit ini merupakan contoh dari dyskinesia silia primer dengan kekurangan lengan dinein baik sebagian maupun secara keseluruhan. Kelainan ini menyebabkan infeksi saluran napas yang berulang yang menyebabkan sinusitis berulang dan bronkiektasis. Dengan


(29)

mekanisme gangguan serupa, dapat terjadi infertilitas pada pasien laki-laki karena gangguan motilitas ekor sperma. 12-15,17,35

Fibrosis kistik dan sindroma Young juga merupakan kelainan kongenital yang juga dikaitkan dengan sinusitis kronis. Yang unik pada kedua penyakit ini, struktur dan frekuensi denyut silia terlihat normal namun karena adanya peningkatan viskositas palut lendir, maka akan terjadi pemanjangan waktu TMS. 12-15,17,35

b. Lingkungan

Lingkungan dapat mempengaruhi kerja silia. Lingkungan yang kering akan dapat dengan cepat merusak silia. Silia juga harus terjaga untuk bekerja dalam lingkungan dengan pH 7-9. Di luar pH tersebut akan terjadi penurunan fekuensi. Faktor lain yang mempengaruhi TMS yang berasal dari lingkungan adalah hiperoksia, hipoksia ekstrim dan hiperkarbia. Suplai oksigen yang kurang akan memperlambat gerakan silia dan suplai oksigen yang tinggi akan meningkatkan frekuensi denyut silia (frekuensi denyut silia) hingga 30-50%. 12,15,17,23,35

Asap rokok pada binatang percobaan dapat dengan efektif merugikan frekuensi denyut silia, tapi kesimpulan ini gagal dibuktikan pada manusia. Debu tidak berpengaruh pada frekuensi denyut silia kecuali jika ada zat berbahaya yang menempel pada permukaan debu tersebut, seperti zat kimia yang digunakan pada industri kayu dan kulit. Gangguan fungsi mukosiliar biasanya juga terjadi pada kasus metaplasia sel skuamosa, terutama pada bagian depan hidung di mana perubahan ini dapat terjadi dengan pengaruh paparan lingkungan. Namun, pada beberapa sumber disebutkan bahwa interaksi rokok dan debu merupakan interaksi 2 hal yang saling berkaitan. 9,12,14,15,17,23,35


(30)

c. Fisiologis/Fisik

Dari pemeriksaan dengan mikroskop elektron, tidak ditemukan perbedaan TMS berdasarkan umur, jenis kelamin atau posisi saat tes. Namun penelitian Ho dkk19 Menyatakan adanya perlambatan yang signifikan pada orang dengan usia diatas 40 tahun. Penelitian oleh Soedarjatni29 terhadap penderita diabetes mellitus menunjukkan adanya perbedaan TMS yang bermakna yakni 10.51 mm/menit, lebih cepat dibanding kelompok kontrol/pasien normal yaitu 16.39 mm/menit. Pengaruh olahraga belum jelas, tapi bebebrapa penelitian menyatakan bahwa terjadi perlambatan TMS setelah olahraga dan malam hari. 23

d. Obat-obatan

Kebanyakan obat tetets hidung dan glukokortikoid yang mengandung bahan penstabil seperti benzalconium chloride, chlorbutol, thiomesal dan EDTA terbukti membahayakan epitel pernapasan dan sangat siliotoksik. Obat dekongestan topical juga terlihat dapat menghambat fungsi silia. Flunisolide sebagai steroid

topikal dihubungkan dengan penurunan bermakna TMS, sedangkan

beclometasone tidak mempengaruhi TMS sampai pemakaian 36 bulan. 15,17

Gosepath dkk33 melakukan penelitian tentang pengaruh obat topikal yaitu antibiotik (ofloxacin), antiseptik (betadine dan H2O2) serta antijamur (amphotericin B, itrakonazol dan klotrimazol) terhadap frekuensi denyut silia. Hasilnya, frekuensi denyut silia pada penggunaan ofloxacin 5% menurun hingga 8 Hz (normal 12-15 Hz) dan terhenti setelah 7 jam. Sedangkan pada ofloxacin 50% didapatkan frekuensi denyut silia sebesar 7,5 Hz dan berhenti setelah 6 jam 30 menit. Aktivitas silia masih ditemukan pada itrakonazol 0.25% hingga 8 jam, namun pada konsentrasi 1%, aktivitas silia hanya bertahan 30 menit.

Larutan betadine lebih siliotoksik dibandingkan H2O2. Pada betadine 5%, didapatkan frekuensi denyut silia 7 Hz dan masih terlihat aktivitas silia hingga 1 jam 30 menit. Sedangkan pada betadine 10% terlihat frekuensi denyut silia 4.5 Hz dengan aktivitas silia yang terlihat hanya 30 menit. Pada H2O2 1% ditemukan


(31)

frekuensi denyut silia sebesar 7 Hz selama lebih dari 8 jam, sedangkan pada H2O2 3% ditemukan frekuensi denyut silia 6 Hz selama 5 jam 30 menit. Hasil ini menunjukkan obat-obat topikal antibiotik, antiseptik dan antijamur, khususnya pada dosis tinggi dapat merusak fungsi pembersihan mukosiliar. 33

Beberapa obat oral juga dapat menurunkan TMS seperti golongan antikolinergik, narkotik, dan etil alkohol. Obat golongan beta adrenergic tidak mempengaruhi aktivitas silia, namun dapat merangsang pembentukan palut lendir. Obat kolinergik dan methilxantine merangsang aktivitas denyut silia dan pembentukan palut lendir. 15

e. Infeksi

Dari pemeriksaan mikroskop elekton pada silia yang terpapar virus, terlihat virus menempel pada permukaan silia. Penempelan virus dapat menyebabkan kematian silia dan udem pada struktur mukosa hidung. Selain itu virus dapat meningkatkan kekentalan mukus. Banyak hipotesis menyatakan bahwa udem pada ostium sinus akan menyebabkan hipoksia dan memicu pertumbuhan bakteri dan disfungsi silia. 12,15,17,35,36

Bakteri atau infeksi dapat menyebabkan degenerasi dan pembengkakan mukosa, terlepasnya sel-sel radang dan perubahan pH yang dapat mempengaruhi aktivitas mukosiliar secara langsung. Berbagai endotoksin dari bakteri dan enzim proteolitik dari netrofil terbukti dapat menurunkan TMS dan frekuensi denyut silia. B. pertussis dan P. aeruginosa terbukti dapat menyebabkan gangguan

bermakna pada TMS. H. influenza dapat menyebabkan penurunan frekuensi

denyut silia. 15,17,35,36

Penelitian Czaja dkk37 menunjukkan ternyata sinusitis kronis pada binatang dapat meningkatkan frekuensi denyut silia secara bermakna. Sedangkan

Sakakura18 melaporkan TMS pada sinusitis kronis mengalami waktu perlambatan


(32)

pada pasien dengan sinusitis kronis adalah 1.8 mm/manit, sedangkan pada oang normal mencapai 5.8 mm/menit. Pada pasien dengan sinusitis konis ditemukan

peningkatan ion Na+ pada palut lendir sehingga ditemukan peningkatan

viskoelastisitas palut lendir.

Penelitian tentang penurunan TMS pada pasien dengan sinusitis kronis juga dilakukan oleh Torkkeli dkk28. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa 13 dari 19 pasien yang dijui dengan metode radioisotop menunjukkan kecepatan TMS yang menurun hingga di bawah 3 mm/menit (mean 1.8 mm/menit). Kelainan ultrastruktur silia banyak ditemukan pada pasien dengan TMS rendah, seperti lengan dynein pendek, penyatuan silia, anomali tubular dan disorientasi. Hal yang senada ditunjukkan penelitian Joki dkk32 yang menunjukkan penurunan frekuensi denyut silia bermakna pada pasien sinusitis kronis yang rekuren. Bahkan dari 44 subjek penelitian, 8 percontoh tidak menunjukkan aktivitas silia sama sekali.

f. Struktur dan Anatomi Hidung

Kelainan struktur/anatomi hidung juga dapat bepengaruh ke TMS. Permukaan mukosa yang saling mendekat dan bertemu, seperti pada kasus septum deviasi, polip dan konka bulosa serta kelainan lain di daerah osteomeatal dan ostium sinus dapat menurunkan aktivitas silia, bahkan sampai terhenti. Hal ini disebabkan karena adanya gesekan antar gerakan silia sehingga gaya yang ditimbulkan gerakan silia dari masing masing sisi dapat saling menegatifkan. Rongga hidung yang terlalu besar juga dapat meningkatkan aliran udara yang masuk dan dapat merusak epitel bersilia dan akhirnya menganggu TMS secara bermakna.14,17,35

2.1.3 Rokok

2.1.3.1Kandungan Rokok dan Dampaknya Terhadap Kesehatan

Rokok sudah sangat sering dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan, terutama masalah pernapasan. Berbagai penelitian menunjukkan bahaya rokok


(33)

bagi kesehatan, tak terkecuali kesehatan sistem transportasitasi mukosiliar. Rokok mengandung sekitar 4000 bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh (toksin), antara lain: 38-40

 Benzene, yang juga terkandung dalam bahan bakar (bensin)

 Tar, yaitu partikel padat yang nantinya dapat melapisi bagian dalam paru-paru dan dapat menginduksi terjadinya kanker.

 Formaldehid, merupakan zat pengawet mayat yang terkandung di dalam

rokok. Zat ini dapat menyebabkan inflamasi sel yang terkena.

 Arsen, yaitu bahan yang terkenal terkandung pada racun hewan pengerat (tikus)

 Hidrogen Sianida

 Karbon Monoksida, gas yang dapat mengikat Hb hingga 200x lebih kuat dari

oksigen, menyebabkan kemampuan angkut oksigen oleh darah menurun.

 Dan banyak lagi zat berbahaya lainnya.

Selain itu, setiap batang rokok yang dibakar juga mengandung 1017 molekul oksidan radikal bebas. Seeprti yang kita ketahui, toksin dan radikal bebas dapat berpengaruh buruk ke jaringan tubuh manusia dan sel manusia secara spesifik. Rokok telah dikaitkan dengan kasus kanker paru, di mana 90% kanker paru dikaitkan dengan rokok. Selain itu, rokok juga dikaitkan dengan berbagai penyakit lain seperti pneumonia, leukemia mieloid akut, kanker lambung, kanker pankreas dan banyak penyakit lainnya. Rokok juga dikaitkan dengan keguguran, berat bayi lahir rendah, sudden infant death pada ibu hamil dan janin serta


(34)

2.1.3.2Pengaruh Rokok Terhadap Sel Manusia

Kandungan rokok termasuk berbagai toksin seperti akrolein,

formaldehinda, karbon monoksida, nikotin, kotinin, astaldehin, fenol dan potassium sianida terbukti sangat toksik terhadap sel tubuh manusia, termasuk epitel respiratorik. Kerusakan sel juga ditimbulkan karena jejas sel yang ditimbulkan oleh radikal bebas yang banyak terdapat dalam rokok. 43-45

a. Kerusakan Sel Karena Zat Kimia pada Rokok

Mekanisme kerusakan sel yang disebabkan oleh zat kimiawi sudah sangat jelas. Ada 2 mekanisme umum yang mungkin terjadi akibat pajanan zat kimiawi. Mekanisme pertama adalah penggabungan langsung zat kimia toksik dengan komponen molecular kritis atau organel sel yang penting. Mekanisme kedua adaah zat kimia toksik tersebut tidak aktif secara intrinsik, namun harus dikonversi oleh metabolit aktif yang merupakan toksik reaktif. Peruabahn zat kimia ini menjadi metabolit toksik aktif dapat terjadi dengan bantuan enzim tubuh, termasuk enzim di hati. Melihat sifat dari toksin yang menyebabkan efek kerusakan pada sel epitel respiratorik yang bersifat langsung, maka kemungkinan besar mekanisme keruskan yang diakibatkan zat kimia terjadi secara langsung (mekanisme pertama). 43,45

b. Kerusakan Sel Karena Radikal Bebas pada Rokok

Mekanisme kerusakan sel karena paparan rokok lainnya adalah jejas sel karena radikal bebas yang banyak terdapat dalam rokok. Kerusakan yang disebabkan radikal bebas disebabkan oleh 3 reaksi utama, yaitu:44,45

 Reaksi pertama adalah peroksidasi lipid membrane, yang menyebabkan

kerusakan pada ikatan rangkap pada lemak tidak jenuh pada membrane yang menyebabkan terbentuknya lemak peroksida. Lemak peroksida yang tidak stabil dan reaktif ini dapat menyebabkan reaksi autokatalitik yang menyebabkan kerusakan menyeluruh pada membran sel.


(35)

 Fragmentasi DNA. Reaksi radikal bebas dengan timin DNA mitokondria dan nuklear dapat menimbulkan rusaknya untai tunggal. Kerusakan rantai DNA tersebut menimbulkan implikasi pada pembunuhan sel secara apoptosis maupun perubahan sel menjadi ganas.

 Ikatan silang protein. Radikal bebas mencetuskan ikatan seilang protein yang diperantarai sulfigidril yang menyebabkan kelainan struktu protein. Kelainan struktur ini menyebabkan peningkatan kecepatan degradasi atau hilangnya aktivitas enzimatik. Reaksi radikal bebas secara langsung juga dapat menyebabkan fragmentasi polipeptida.

Gambar 2.5 Kerusakan Sel Akibat Radikal Bebas (dikutip dari: Robbins: 2007)


(36)

2.1.3.3Pengaruh Rokok Terhadap Sel Epitel Torak Bersilia

Penelitian yang dilakukan oleh Lan dkk46 menunjukkan bahwa sel epitel torak bersilia yang dikultur kemudian dipaparkan dalam berbagai konsentrasi ekstrak rokok sigaret menunjukkan adanya penurunan waktu hidup sel yang berkorelasi dengan lamanya paparan dan konsentrasi ekstrak. Sel tersebut secara morfologis menunjukkan tanda tanda ke arah apoptosis.

Penelitian lain menunjukkan bahwa kotinin, zat yang ditemukan dalam rokok menurunkan frekuensi denyut silia secara langsung. Penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian oleh Tamashiro dkk47 yang menunjukkan penurunan frekuensi denyut silia pada kultur sel epitel bersilia yang dipaparkan terhadap asap rokok.

Selain berpengauh terhadap sel sepitel bersilia yang sudah berdiferensiasi, rokok juga berpengaruh terhadap proses siliogenesis. Penelitian yang dilakukan

oleh Tamashiro dkk47 juga menunjukkan bahwa adanya reduksi dalam persentasi

pertumbuhan silia ketika adanya paparan asap rokok dan hasil ini berkorelasi positif dengan peningkatan dosis paparan asap rokok.

2.1.3.4Pengaruh Rokok Terhadap Palut Lendir

Berbagai penelitian menunjukkan peningkatan produksi mukus yang berkaitan dengan paparan asap rokok. Peningkatan produksi mukus ini disebabkan karena peningkatan ukuran dan jumlah sel goblet yang berperan dalam produksi mukus di saluran napas atas.

Penelitian yang dilakukan oleh Tamashiro dkk47 dan Kreindler dkk48 menunjukkan bahwa paparan asap rokok secara in vitro berpengaruh terhadap fungsi transportasit klorida di sel epitelial. Paparan asap rokok akan menginhibisi transportasit klorida di sel epithelial yang nantinya meningkatkan viskoelastisitas mukus yang secara patofisiologis mirip dengan keadaan pada kasus fibrosis kistik.


(37)

2.1.3.5Pengaruh Rokok Terhadap Waktu TMS

Setelah pembahasan di atas, tampaknya cukup jelas bahwa rokok akan berpengaruh terhadap transportasitasi mukosiliar. Berbagai penelitian telah menunjukkan pengaruh rokok terhadap transportasitasi mukosiliar.

Salah satu penelitian yang terkenal dan sering menjadi bahan rujukan adalah penelitian oleh Stanley dkk7 yang dilakukan di tahun 1986. Penelitian ini menjadi dasar bagi penelitian lain, karena penelitian ini termasuk penelitian pertama yang menggambarkan secara rinci efek merokok sigaret terhadap TMS dan frekuensi denyut silia.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketika pemeriksaan TMS menggunakan metode skaharin yang dimodifikasi oleh Rutland dan Cole pada subjek yang merokok lama (minimal 5 tahun, sebanyak lebih dari 10 batang per hari) terdapat perbedaan yang bermakna dalam TMS dibanding dengan pasien yang tidak merokok aktif selama hidupnya. Mean dari TMS subjek perokok berkisar pada 20.8 menit yang secara signifikan lebih lama dibanding subjek

non-perokok yang mean TMS-nya berkisar pada 11.1 menit.7

Hasil untuk pemeriksaan frekuensi denyut silia cukup mengejutkan karena tidak terdapat perbedaan frekuensi denyut silia yang bermakna ketika pemeriksaan frekuensi denyut silia dengan teknik fotometrik. Hal ini mengindikasikan bahwa penurunan TMS kemungkinan disebabkan oleh penurunan jumlah silia atau perubahan pada komposisi dan viskoelastisitas dari palut lendir. 7

Selain itu penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh dari paparan akut asap rokok terhadap waktu transportasit mukosiliar. Hal ini dibuktikan dengan percobaan yang dilakukan terhadap 10 relawan yang belum pernah merokok aktif seumur hidupnya. Para relawan diminta untuk merokok sigaret sebanyak 2 batang kemudian diukur waktu sakharinnya serta frekuensi denyut silia-nya. Rupanya tidak ditemukan perbedaan bermakna pada hasil


(38)

sebelum merokok dan setelah merokok. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh rokok terhadap TMS terjadi setelah paparan yang bersifat kronik.7

Penelitian lain juga dilakukan oleh Proenca dkk8 di Brazil. Ketika hasil penelitian tersebut menunjukkan orang dengan klasifikasi perokok ringan mengalami perlambatan waktu transportasi mukosiliar namun tidak bermakna secara statistik. Sedangkan perlambatan waktu transportasi mukosiliar yang bermakna terjadi pada perokok sedang dan berat.

Sedangkan untuk penelitian lokal, dilakukan oleh dr. Rachmad Dermawan9

dari USU. Dari hasil penelitian beliau, tampak bahwa terdapat perbedaan waktu yang signifikan ketika dilakukan penghitungan waktu sakharin antar perokok dan bukan perokok dengan mean waktu sakharin pada perokok sebesar 17,81 menit dan 10,23 menit untuk non perokok.

2.1.3.6Indeks Merokok

Indeks merokok adalah perhitungan yang digunakan untuk menghitung derajat beratnya merokok. Ada banyak metode untuk menghitung indeks merokok, namun ada 2 perhitungan yang cukup sering digunakan secara luas, yaitu:

a. Indeks Brinkman

Indeks Brinkman digunakan secara luas untuk menghitung derajat beratnya merokok. Indeks ini menggunakan jumlah batang rokok yang dihisap per hari dan lama merokok dalam tahun sebagai variabel. Sehingga rumusnya akan ditampilkan sebagai berikut:49

(Jumlah Batang Rokok yang Dikonsumsi per hari) X (Lama Merokok dalam Tahun)

Penggolongan Indeks Brinkman sangatlah bervariasi. Namun yang kini sering dipakai secara luas adalah sebagai berikut:


(39)

0-199 = perokok ringan 200-599 = perokok sedang ≥ 600 = perokok berat

b. Pack-Years of Smoking

Pack-Years of Smoking adalah cara lain untuk menghitung derajat beratnya merokok. Dasarnya hampir sama dengan indeks brinkman. Jika indeks Brinkman mengalikan batang rokok yang dikonsumsi per hari dengan lama merokok per tahun, maka pack-years of Smoking menghitung jumlah bungkus rokok yang dikonsumsi per hari dan dikalikan dengan lama merokok dalam tahun. Dalam perhitungan ini, 1 bungkus rokok diasumsikan memuat 20 batang rokok, seperti halnya yang lazim di negara-negara barat. Sehingga perhitungannya adalah sebagai berikut:50

(Jumlah batang rokok yang dikonsumsi per hari) / 20 X (Lama Merokok dalamTahun)

Seperti Indeks Brinkman, Pack-Years of Smoking juga tidak memiliki klasifikasi yang spesifik. Namun pada beberapa penelitian yang melibatkan penghitungan waktu TMS dengan uji sakharin menggunakan pembagian sebagai berikut:50

0-20 = perokok ringan 20-30 = perokok sedang >30 = perokok berat

c. Klasifikasi Proenca dkk.

Klasifikasi ini digunakan Proenca dkk dalam penelitiannya tentang pengaruh derajat beratnya merokok terhadap waktu TMS. Klasifikasi ini menggunakan jumlah rokok yang dihisap per hari ssebagai dasar pembagiannya, yaitu sebagai berikut:8


(40)

0-15 batang per hari = perokok ringan 16-25 batang per hari = perokok sedang >25 batang per hari = perokok berat

2.1.4 Uji Sakharin

Uji sakharin merupakan metode uji untuk mengetahui kecepatan dan waktu transportasi mukosiliar. Uji ini merupakan uji yang cukup sering digunakan karena sederhana, tidak mahal, tidak invasif dan merupakan gold standard untuk uji perbandingan. Pemilihan sakharin sebagai bahan uji karena sakharin mudah larut, kemampuan karsinogeniknya sangatlah rendah. Selain itu, sakharin memiliki tingkat kemanisan hingga 700x manisnya gula biasa (sukrosa). Sakharin sendiri adalah pemanis buatan non kalori yang sudah sering dipakai sebagai pemanis non kalori baik di luar negeri maupun di industri makanan dalam negeri.9,51

Pada uji sakharin, pasien dites dalam lingkungan standar dan diinstruksikan untuk tidak menghirup, makan, minum, batuk ataupun bersin. Pasien duduk dan posisi kepala fleksi 10 derajat. Setengah mm sakharin diletakkan 1 cm di belakang batas anterior konka inferior pasien. Pasien kemudian disuruh menelan dalam periode tertentu (biasanya 1 menit) dan waktu tersebut dicatat sampai pasien merasakan manis yang menandakan sakharin telah mencapai faring atau rongga mulut. Waktu TMS normal dengan uji sakharin atau biasa juga disebut waktu sakharin sangatlah bervariasi, rata – rata adalah 12-15 menit dan di bawah 30 menit masih dianggap normal. 9


(41)

2.2 Kerangka Teori

Pengeluaran endotoksin oleh bakteri serta enzim proteolitik serta mediator inflamasi oleh sel

imun Edema pada mukosa hidung

Gesekan antar silia karena permukaan mukosa yang mendekat

dan bertemu

Aktifitas saraf otonom mempengaruhi persarafan lokal

mukosa hidung

Kelainan struktur dan anatomi rongga hidung yang menyebabkan penyempitan rongga hidung yang signifikan (septum deviasi berat, konka bulosa, dsb)

Infeksi pada saluran

nafas atas Berolahraga

Paparan zat berbahaya dari asap rokok pada sel di sistem mukosiliar

Zat kimia toksik Radikal bebas

Bergabung dengan komponen molekular kritis

Kerusakan organel penting pada sel

Kerusakan membran sel, fragmentasi DNA dan ikatan silang protein

Kerusakan Fungsi Sel Secara Menyeluruh

Kerusakan sel epitel torak bersilia

Kerusakan sel goblet penghasil palut lendir Penurunan frekuensi

denyut silia torak bersilia

Apoptosis sel epitel

Inhibisi transport klorida pada membran sel goblet

Peningkatan viskositas mukus Penurunan kemampuan

transportasi mukosiliar secara menyeluruh

Paparan zat berbahaya dari debu industri kulit dan kayu di sistem

mukosiliar

Kandungan zat sitotoksik terhadap sel epitel torak bersilia

pada obat tetes hidung dan topikal

Penggunaan obat tetes hidung dan

Lingkungan: tinggal di sekitar industri kayu

Merokok

Penurunan Waktu Transportasi Mukosiliar


(42)

2.3 Kerangka Konsep

= variabel yang diteliti/ terikat

= variabel bebas

= variabel perancu

Merokok

Paparan Kandungan Asap Rokok

Kerusakan sel epitel torak bersilia dan apoptosis sel epitel torak bersilia

Peningkatan jumlah dan viskositas mukus yang disekresi kan sel goblet penghasil palut lendir

Waktu Transportasi Mukosiliar Berolahraga sebelum pengambilan

sampel, radang saluran napas atas < 2-3 minggu sebelum pengambilan data, penggunaan obat tetes dan topikal hidung

2-3 minggu sebelum pengambilan data, paparan debu industri kulit dan kayu,

kelainan struktur dan anatomi yg mempersempit rongga hidung secara


(43)

2.4 Identifikasi Variabel

Variabel–variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

 Variabel bebas atau independen, yaitu status merokok subjek

 Variabel terikat atau dependen, yaitu waktu transportasi mukosiliar

 Variabel perancu pada penelitian ini, yaitu berolahraga sebelum pengambilan

sampel, radang saluran napas atas < 2-3 minggu sebelum pengambilan data, penggunaan obat tetes dan topikal hidung 2-3 minggu sebelum pengambilan data, paparan debu industri kulit dan kayu, kelainan struktur dan anatomi yg mempersempit rongga hidung secara signifikan

2.5 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Pengukur Alat Ukur Cara Ukur Skala

Pengukuran

1. Waktu

Transportasi Mukosiliar

Kecepatan sistem mukosiliar untuk menghantarkan suatu benda di permukaan palut lendir

Peneliti dan Pembimbing

Sakharin dan

Stopwatch

Sakharin

dimasukkan ke 1 cm dari batas

anterior konka

inferior, sampel disuruh menelan tiap 1 menit. Waktu dihitung

dari ketika

sakharin diletakkan

hingga sampel

Numerik rasio

Numerik rasio


(44)

merasakan

manis pertama

kali

2. Status

Merokok

Dikatakan merokok jika merokok lebih dari 5 tahun dan minimal 10 batang rokok per hari. Sedangkan dikatakan tidak merokok bila tidak pernah merokok aktif secara reguler seumur hidupnya

Peneliti Kuesioner Wawancara Kategorik

Nominal

3. Indeks

Merokok

Jumlah rokok yang dikonsumsi dan lama

merokok

Peneliti Wawancara Kuesioner Numerik

Rasio dan

Kategorik Ordinal

4. Status

Paparan Debu Industri Kayu dan Kulit Dikatakan

„terpapar‟ jika tinggal atau sering beraktifitas di sekitar daerah industri kayu dan kulit. Sedangkan dikatakan „tidak terpapar‟ jika tidak tinggal atau beraktifitas secara reguler di sekitar

Peneliti Kuesioner Wawancara Kategorik


(45)

daerah industri kayu dan kulit 5. Status

Berolahraga

Dikatakan

„berolahraga‟ jika berolahraga dalam jangka waktu1 jam sebelum uji sakharin, dan dikatakan „tidak berolahraga‟ jika tidak berolahraga minimal 1 jam sebelum uji sakharin

Peneliti Kuesioner wawancara Kategorik

Nominal

6. Status

Penggunaan Obat yang Pengaruhi TMS Dikatakan „menggunakan

obat‟ jika menggunakan obat yang mempengaruhi TMS dalam 1 bulan minggu sebelum

pengambilan data.

Dikatakan „tidak

menggunakan obat‟ jika tidak menggunakan obat yang mempengaruhi TMS dalam 1

Peneliti Kuesioner Wawancara Kategorik


(46)

bulan sebelum pengambilan data

7. Radang

Saluran Napas Atas

Dikatakan

„mengalami peradangan‟ jika subjek mengalami peradangan pada saluran napas atas 2-3 minggu sebelum pengambilan data dan dikatakan „tidak mengalami peradangan‟ jika tidak mengalami peradangan saluran napas atas 2-3 minggu sebelum

pengambilan data

Peneliti dan pembimbing

Kuesioner dilanjutkan dengan

Nasoendoskopi

Wawancara lalu dilanjutkan dengan

nasoendoskopi

untuk melihat

ada atau

tidaknya tanda

peradangan pada mukosa hidung (hiperemis, sekret, dsb)

Kategorik Nominal

8. Kelainan

Struktur dan Anatomi Rongga Hidung

Dikatakan

„kelainan yang

mengganggu‟ jika ditemukan kelainan struktur yang menyempitkan rongga hidung secara bermakna hingga kedua permukaan mukosa hidung

Peneliti dan Pembimbing

Nasoendoskopi Melakukan nasoendoskopi

pada subjek

untuk melihat

keadaan rongga hidung, apakah terdapat

kelainan

struktural atau tidak

Kategorik Nominal


(47)

mendekat hingga hampir bertemu.

Dikatakan „tidak ada kelainan/ kelainan tidak

mengganggu‟ jika

kelainan struktur tersebut tidak menyempitkan rongga hidung hingga 2 permukaan mukosa hidung hampir bertemu atau tidak ada kelainan struktural pada rongga hidung.


(48)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain penelitian potong lintang.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama bulan Agustus 2014 – September 2014

3.2.2 Tempat Penelitian

Uji sakharin pada subjek penelitian dilakukan di Rumah Sakit Khusus THT Proklamasi BSD, Kota Tangerang. Sedangkan wawancara dilakukan di lingkungan sekitar kampus

3.3 Kriteria Subjek Penelitian

Kriteria inklusi umum:

1. Laki-laki

2. Usia 17-50 tahun

3. Tidak sedang mengalami infeksi saluran napas akut dalam 2-3 minggu


(49)

4. Saat 1 bulan sebelum hingga pengukuran waktu transport mukosilier, partisipan bersedia untuk tidak meminum obat yang mempengaruhi waktu transport mukosilier, antara lain: steroid topikal dan obat dekongestan topikal; obat tetes hidung dan glukokortikoid yang mengandung bahan penstabil; antibiotik, antiseptik dan antijamur topikal; dan obat oral seperti antikolinergik, narkotik, etil alkohol, beta adrenergic, kolinergik dan metilxanthine.

5. Tidak memiliki kelainan kongenital yang dapat mengganggu TMS seperti diskinesia silia primer, sindrom Kartagener, fibrosis kistik dan sindroma Young.

6. Tidak mengalami sinusitis kronis atau rekuren

7. Tidak bekerja atau tinggal di sekitar industri kayu dan kulit. Terbukti debu dari industri kayu dan kulit dapat menyebabkan penurunan signifikan waktu TMS.


(50)

8. Bersedia untuk tidak berolahraga di hari pengambilan data (sebelum pengambilan data

9. Kriteria partisipan perokok:

 Telah menjadi perokok sejak minimal 5 tahun yang lalu

 Merokok dengan jumlah minimal 10 batang setiap hari

10. Kriteria partisipan non-perokok:

 Tidak pernah merokok aktif

11. Bersedia menyetujui informed consent

Kriteria eksklusi umum:

1. Sedang berpuasa pada saat pengukuran waktu transpor mukosilier

2. Mengalami peradangan saluran napas atas yang dipastikan pada saat

pemeriksaan nasoendoskopi

3. Tidak dapat berpartisipasi karena keadaan psikologis yang buruk (gadug gelisah, agitasi)

4. Mengalami gangguan struktur rongga hidung yang dapat mengganggu

aktivitas trasnportasi mukosiliar seperti septum deviasi, polip, dan konka bulosa yang juga dipastika saat dilakukan nasoendoskopi.

3.4 Besar Sampel


(51)

Keterangan:

Zα = kesalahan tipe I sebesar 5% = 1,645 Zβ = kesalahan tipe II sebesar 10% = 1,282

(X1– X2) = selisih minimal yang dianggap bermakna = 2,00 S = Sg = standar deviasi, diperoleh dengan rumus:

Sg = standar deviasi gabungan

S1 = standar deviasi kelompok 1 pada penelitian sebelumnya n1 = besar sampel kelompok 1 pada penelitian sebelumnya S2 = standar deviasi kelompok 2 pada penelitian sebelumnya n2 = besar sampel kelompok 2 pada penelitian sebelumnya

Sehingga perhitungan besar sampel yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:

(Sg)2= (1,372 x 14 + 0,692 x 14) 30-2

= 26,776 + 6,6654

28

Sg = √1,1765 Sg = 1.0846658472

Sg dimasukkan ke dalam rumus utama sampel N = 2 [(1,645 + 1,282) x 1.0846658472]2

(2,00)2

N = 2 x 2,50937281 N = 5,02


(52)

Dengan memperhitungkan resiko drop out sebesar 10%, maka untuk jumlah sampel sesuai rumus sampel penelitian analitik numerik adalah 6

Namun jika dihitung dengan rumur rule of 10, yaitu dengan mengalikan jumlah faktor yang mempengaruhi TMS yang tidak bisa diekslusi dengan 10, maka akan didapatkan 2 faktor yang tidak bisa diekslusi (status merokok dan indeks merokok) lalu dikalikan dengan 10 maka hasilnya adalah 20. Dengan memperhitungkan resiko drop out sebesar 10%, maka jumlah sampel untuk penelitian ini sesuai rumus rule of 10 adalah 23 orang.

Karena jumlah sampel yang diambil sebaiknya adalah yang terbesar, maka jumlah sampel untuk penelitian ini adalah 23 orang untuk masing-masing kelompok subjek.

3.5 Alat dan Bahan

3.5.1 Bahan Penelitian

 Pemanis buatan, sakharin padat, berdiameter 0,5-1 mm

3.5.2 Alat Penelitian

 Pinset yang telah ditandai 1 cm

Head lamp untuk rhinoskopi dan otoskopi

Stopwatch

 Nasoendoskopi rigid

 Kursi untuk pemeriksaan THT

1.7Cara Kerja Penelitian


(53)

2. Melakukan informed consent kepada subjek penelitian dan menjelaskan cara melakukan uji sakharin serta melakukan wawancara untuk mengetahui status merokok dan derajat beratnya merokok

Gambar 3.1. Wawancara Subjek

3. Melakukan pemeriksaan fisik THT meliputi inspeksi, palpasi, dan rhinoskopi

untuk melihat keadaan rongga hidung, keadaan telinga dan juga tenggorokan. Pemeriksaan dilakukan oleh pembimbing dan dicatat oleh peneliti

Gambar 3.2. Pembimbing Melakukan Pemeriksaan Fisik THT

4. Melakukan nasoendoskopi untuk menilai keadaan rongga hidung secara


(54)

Gambar 3.3. Pembimbing Melakukan Nasoendoskopi kepada Subjek


(55)

Gambar 3.5. Alat Nasoendoskopi dan Papan Kendalinya

5. Melakukan uji sakharin (dibantu oleh pembimbing) dengan menaruh sakharin

menggunakan bantuan pinset dan nasoendoskopi untuk memastikan letaknya. Sakharin diletakkan di dalam rongga hidung, 1 cm dari batas anterior konka inferior. Posisi kepala subyek penelitian fleksi 10 derajat


(56)

Gambar 3.7 Sakharin diletakkan 1 cm dari batas anterior konka inferior dengan penanda 1 cm berupa plester putih

Gambar 3.8. Posisi Pasien Saat Uji Sakharin

6. Menghitung waktu saat mulai ditaruhnya sakharin di dalam rongga hidung subjek sampai subjek merasakan rasa manis di lidah posterior yang menandakan sakharin sudah sampai di pangkal lidah dan dinding faring posterior. Selama penghitungan, subyek penelitian diinstruksikan untuk tidak


(57)

bersin, batuk, menghirup, mengubah posisi kepala dan berbicara. Selama penghitungan, subyek diinstruksikan juga untuk menelan tiap 1 menit dan tidak boleh menelan selain saat diinstruksikan.

3.8. Manajemen dan Analisis Data

Data yang didapatkan dicatat pada formulir berkas pasien, kemudian dimasukkan ke dalam komputer. Analisis data secara statistik dan melakukan uji statistik dilakukan dengan program SPSS v16. Awalnya data demografi subjek penelitian dianalisa secara deskriptif untuk mengetahui karakteristik subjek penelitian.

Penulis lalu melakukan analisa secara deskriptif untuk mengetahui gambaran waktu transportasi mukosiliar rata-rata seluruh sampel, gambaran waktu transportasi mukosiliar pada perokok dan non perokok, dan gambaran waktu transportasi mukosiliar pada perokok dengan klasifikasi perokok Proenca. Penulis memilih klasifikasi Proenca ini karena klasifikasi ini merupakan klasifikasi pertama yang digunakan dalam penelitian yang melihat pengaruh derajat beratnya merokok terhadap waktu transportasi mukosiliar.


(58)

3.9Alur Penelitian

Pembuatan Proposal

Pemilihan Subjek Penelitian

Informed Consent

Wawancara Subjek dan

Uji Sakharin pada Subjek

Penelitian

Pengolahan Data


(59)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan 12 subjek penelitian karena keterbatasan biaya dan waktu. Masing-masing kelompok (perokok dan non perokok) berjumlah 6 subjek. Data demografi dasar subjek penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1 Karakteristik Dasar Demografis Subjek Penelitian

Karakteristik Non Perokok Perokok

Jenis Kelamin

Laki-laki 6 6

Perempuan 0 0

Kelompok Usia

17-24 tahun 6 3

25-34 tahun 0 2

35-44 tahun 0 1

Pendidikan

SD 0 0

SMP 0 2

SMA 6 10

Perguruan Tinggi 0 0

Pekerjaan

Pelajar/Mahasiswa 6 3

Buruh 0 1

Satpam 0 1

Tukang Parkir 0 1

Proenca dkk Classification of Smokers

Non perokok 6 0

Perokok Ringan 0 4

Perokok Sedang 0 0


(60)

Dari data yang didapatkan, ditemukan bahwa subjek penelitian berkisar antara 18 – 39 tahun, dengan rerata usia 23,42 ± 6,735 tahun. Sedangkan median usia perokok adalah 25 (18-39) tahun. Rerata usia perokok lebih rendah, yaitu 20,67 ± 0,51 tahun. Pekerjaan subjek penelitian sebagian besar adalah pelajar/mahasiswa, sebanyak 9 dari 12 orang (6 orang non perokok dan 3 orang perokok). Pendidikan subjek penelitian rata-rata adalah SMA (10 dari 12 orang) di mana seluruh responden non perokok berpendidikan SMA/sederajat dan 4 dari 6 orang dari subjek penelitian non perokok berpendidikan SMA/sederajat. Dalam klasifikasi Proenca dkk, 4 dari 6 responden adalah perokok ringan dan sisanya merupakan perokok berat.

4.1.2 Gambaran Waktu Transportasi Mukosiliar pada Subjek Penelitian

Hasil gambaran waktu transportasi mukosiliar pada subjek adalah sebagai berikut:


(61)

Rerata waktu transportasi mukosiliar pada 12 subjek penelitian adalah 6,27 ± 2,11 menit dengan waktu tercepat adalah 3,87 menit yang didapatkan pada subjek non perokok dan terlama adala 10,00 menit yang didapatkan pada subjek perokok.

Sedangkan hasil pengukuran waktu transportasi mukosiliar pada subjek penelitian yang terbagi dalam kelompok perokok dan non perokok adalah sebagai berikut:

Gambar 4.1 Waktu Transportasi Mukosiliar pada Perokok dan Non Perokok

Rerata waktu transportasi mukosiliar pada 6 orang subjek non-perokok yaitu 5,12 ± 1,39 menit dan pada 6 orang subjek perokok dan 7,42 ± 2,16 menit. Namun karena kurangnya jumlah sampel pada penelitian ini, peneliti tidak dapat melakukan uji statistik pada rerata waktu transportasi mukosiliar kedua kelompok.

Sedangkan untuk melihat gambaran waktu transportasi mukosiliar pada perokok yang telah dibagi dalam indeks derajat beratnya merokok, peneliti


(62)

mencoba melihat gambaran waktu transportasi mukosiliar jika diklasifikasikan dalam klasifikasi Proenca:

Gambar 4.3. Waktu Transportasi Mukosiliar pada Subjek Non Perokok, Perokok Ringan dan Perokok Berat dalam Klasifikasi oleh Proenca dkk.

Rerata waktu transportasi mukosiliar subjek non perokok adalah 5,12 ± 1,39 menit. Sedangkan rerata waktu transportasi mukosiliar subjek perokok ringan adalah 6,40 ± 1,84 menit. Pada kelompok subjek perokok berat ditemukan rerata waktu transportasi mukosiliar hingga 9,47 ± 7,54 menit. Waktu tercepat untuk kelompok non perokok dari 6 subjek adalah 3,87 menit dan waktu terlama adalah 7,33 menit. Sedangkan untuk kelompok perokok ringan, dari 4 subjek didapatkan waktu tercepat adalah 5,10 menit dan terlama 9,08 menit. Untuk kelompok perokok berat, dari 2 subjek didapatkan waktu transportasi mukosiliar selama 8,93 menit dan 10,00 menit. Namun sekali lagi, karena kurangnya jumlah sampel, maka peneliti tidak dapat melakukan uji statistik pada rerata waktu transportasi mukosiliar ketiga kelompok di atas


(63)

4.2 Pembahasan

Penelitian ini menggunakan 12 laki-laki sebagai subjek penelitian sesuai dengan rata Riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kementrian Kesehatan tahun 2010, di mana proporsi perokok terbanyak memang didominasi oleh para laki-laki. Kemudian data usia menunjukkan bahwa subjek perokok terbanyak pada kelompok usia 17 -24 tahun (50%). Hal ini sedikit berbeda dengan hasil Riskesdas 2010 di mana perokok terbanyak ditemukan pada usia 25-34. Hal ini mungkin berkaitan dengan jumlah sampel yang sedikit dan pengambilan sampel perokok yang memang hampir sepaket dikarenakan sulitnya mencari sampel perokok secara perorangan. Sedangkan untuk data kelompok usia non perokok, sesuai dengan Riskesdas 2013, yaitu semuanya berasaldari kelompok usia 17-24 tahun. Untuk taraf pendidikan subjek, sesuai dengan data Riskesdas yang menunjukkan kecenderungan untuk merokok lebih besar pada orang dengan taraf pendidikan yang rendah. Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa 31,9% perokok adalah tidak tamat SD dan yang tamat SMP hanya 26% dari jumlah perokok. Sedangkan perokok yang tamat SMA dan tingkat yang lebih tinggi hanya sekitar 32% dari perokok nasional. Hal ini sesuai dengan data demografi subjek penelitian di mana semua subjek non perokok adalah lulusan SMA dan 2 dari 6 subjek perokok adalah tamatan SMP. 41

Hasil penghitungan waktu transportasi mukosiliar pada subjek perokok adalah 6,27 ± 2,11 menit. Hal ini sesuai dengan berbagai penelitian, termasuk penelitian Stanley, Proenca dan Rahmad Dermawan yang menyatakan bahwa rerata waktu transportasi mukosiliar sampel tidak melebihi angka 30 menit. 7-9

Untuk hasil rerata waktu transportasi mukosiliar pada 6 orang subjek perokok yaitu 5,12 ± 1,39 menit dan 7,42 ± 2,16 menit pada kelompok perokok. Perbedaan rerata yang didapatkan cukup jauh, yaitu 2,3 menit, di mana waktu transportasi mukosiliar perokok cenderung lebih lambat daripada kelompok non perokok. Hasil ini sesuai dengan penelitian Proenca dkk, Stanley dkk, dan Rahmad Dermawan yang menunjukkan adanya perbedaan rerata waktu


(64)

transportasi mukosiliar antara kelompok perokok dan non perokok di mana kelompok yang menunjukkan perlambatan pada semua penelitian tersebut adalah kelompok perokok. Penelitian Stanley dkk menunjukkan perbedaan rerata waktu transportasi mukosiliar sebesar 9,7 menit, penelitian Proenca dkk menunjukkan perbedaan rerata waktu transportasi mukosiliar sebesar 2 menit, dan penelitian Rahmad Dermawan menunjukkan perbedaan rerata waktu transportasi mukosiliar sebesar 7,58 menit. Hal ini sesuai dengan teori bahwa rokok memiliki efek buruk terhadap sistem mukosiliar hidung sehingga pada perokok ditemukan perlambatan waktu transportasi mukosiliar.7-9

Sedangkan pada hasil rerata waktu transportasi mukosiliar pada 6 subjek non perokok dan 6 subjek perokok yang telah dibagi dalam klasifikasi Proenca dkk (4 perokok ringan dan 2 perokok berat) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata waktu transportasi mukosiliar pada ketiga kelompok tersebut (non perokok, perokok ringan dan perokok berat). Kelompok non perokok menunjukkan angka rerata waktu transportasi mukosiliar tercepat, yaitu 5,12 ± 1,39 menit. Rerata ini berbeda tidak jauh dengan 4 subjek perokok ringan dengan rerata waktu transportasi mukosiliar 6,40 ± 1,84 menit, yang berarti didapatkan perbedaan rerata antara kelompok non perokok dan perokok sebesar 1,28 menit. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Proenca sebelumnya di mana didapatkan perbedaan waktu transportasi mukosiliar antara kelompok non perokok dan perokok ringan sebesar 1 menit.

Sedangkan 2 subjek perokok berat memiliki rerata waktu transportasi mukosiliar paling lama (9,47 ± 7,54 menit). Rerata waktu transportasi mukosiliar pada 2 subjek perokok berat ini berbeda 4,35 menit dengan rerata waktu transportasi mukosiliar 6 subjek non perokok dan berbeda 3,07 menit dengan 4 subjek dalam kelompok perokok ringan. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Proenca dkk di mana subjek non perokok dan perokok berat memiliki perbedaan rerata waktu transportasi mukosiliar sebesar 4 menit dan antara subjek perokok ringan dan berat berbeda rerata waktu transportasi mukosiliarnya sebesar 3 menit, di mana perlambatan rerata ditemukan lebih besar pada perokok dengan kategori


(65)

yang lebih berat. Hal ini juga sesuai dengan teori bahwa makin besar derajat merokok/makin sering paparan asap rokok terhadap sistem mukosiliar, makin parah derajat kerusakannya. 8

4.3 Aspek Keislaman

Penurunan waktu transportasi mukosiliar pada subjek perokok nantinya akan berdampak buruk, karena kerusakan sistem transportasi mukosiliar akan membuat benda asing yang masuk ke saluran napas akan dengan mudah menginvasi saluran napas, karena sistem transportasi mukosiliar sebagai garis pertama pertahanan saluran napas yang seharusnya menyapu benda asing tersebut keluar dari saluran napas telah rusak. Efeknya, benda asing tersebut akan dapat menimbulkan masalah, baik itu infeksi, inflamasi, atau aktivitas sitotoksik dan karsinogenik pada saluran napas sehingga meningkatkan resiko terjadinya penyakit pada saluran napas. Oleh karena itu, saran terbaik bagi subjek perokok pada penelitian ini adalah berhenti atau mengurangi merokok untuk menghilangkan/mengurangi dampak buruk dari asap rokok terhadap sistem transportasi mukosiliar yang nantinya akan berpengaruh ke kesehatan saluran napas. Hal ini juga telah disampaikan Allah SWT dalam firman-Nya pada surat Al-Baqarah ayat 195:

Artinya: “Dan belanjakanlah harta bendamu di jalan Allah, dan janganlah kamu

menjatuhkan dirimu sendiri ke alam kebinasaan..”

Jelas sekali dalam ayat di atas Allah SWT memerintahkan kita untuk membelanjakan harta benda di jalan Allah SWT, tentunya untuk hal yang bermanfaat dan untuk tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan diri sendiri, contohnya rokok. Seperti yang telah dibahas di atas, rokok nantinya akan menimbulkan banyak masalah yang merugikan, salah satunya yang dibahas khusus pada bagian ini adalah kerusakan pada sistem transportasi mukosiliar yang akan merugikan kesehatan perokok itu sendiri.

4.4 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan antara lain:


(66)

Jumlah sampel dalam penelitian ini sangat sedikit yaitu 6 perokok dan 6 non perokok karena keterbatasan dana dan waktu penelitian, sehingga data tidak bisa dianalisis dengan analisa statistik

 Asal populasi penelitian

Asal populasi penelitian tidak menggambarkan populasi apapun, sehingga memungkinkan terjadinya bias dan tidak menggambarkan suatu populasi

 Metode pengambilan data

Pengambilan data dilakukan dengan uji sakharin saja, tanpa menggunakan pewarna pada sakharin tersebut sehingga ada kemungkinan terjadi bias ketika pasien merasakan manis. Peneliti tidak bisa mengetahui apakah sakharin telah betul-betul sampai ke dinding faring posterior/pangkal lidah karena tidak ada tanda lain selain rasa manis yang dirasakan pasien.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization [Internet]. Tobacco, Key Facts. WHO Media Centre;

[updated July 2013; cited 2013 July 3]. Available from:

http://www.who.int/mediacentre

2. Badan Pusat Statistik [internet]. Per Capita Gross Domestic Product, Per Capita Gross National Product and Per Capita National Income, 2000-2013 (Rupiahs); [updated 2013; cited 2014 September 10]. Available from: http://www.bps.go.id 3. Departemen Keuangan Republik Indonesia [internet]. Seputar APBN, Anggaran

Kesehatan 2009-2014; [updated 2014; cited 2014 September 10]. Available from: http://www.anggaran.depkeu.go.id

4. Cancer Research UK [internet]. Lung Cancer Key Facts; [updated 29 May 2014;

cited 2014 September 10]. Available from:

http://cancerresearchuk.org/cancerinfo/cancerstats

5. Marie Ng, Michael KF, Thomas DF, et.al. Smoking Prevalence and Cigarette Consumption in 187 Countries, 1980-2012. Journal Am Med Association. 2014 Jan 8;311(2): 183-192

6. Tortora GJ, Derrickson BM. Principles of Anatomy and Physiology. 12th Edition. US: John Wiley & Sons, Inc; 2009. 875-878 p.

7. Stanley PJ, Wilson R, Greenstone MA, et al. Effect of Cigarette Smoking on Nasal Mucociliary Clereance and Ciliary Beat Frequency. Thorax 1986; 41(7):519-23

8. Proenca M, Pitta F, Kovelis D, et.al. Mucociliary Clearance and its Relation With the Level of Physical Activity in Daily Life in Healthy Smokers and Nonsmokers. Revista Por de Pneumologia 2012; 18:233-8

9. Dermawan R. Perbedaan Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung pada Perokok dan Bukan Perokok. Medan: FK USU, 2010: hal. 1-55

10.Jorissen M, Willems T, Boeck KD. Diagnostic Evaluation of Mucociliary Transport: From Sympoms to Coordinated Cilliary Activity after Cilliogenesis in Culture. Am J Rhinnol 2000;14:345-52


(2)

11.Nizar NW, Wardani RS. Anatomi Endoskopik Hidung-Sinus Paranasal dan Patofisiologi Sinusitis. Dalam: kumpulan naskah lengkap kursus, pelatihan dan demo bedah sinus endoskopik fungsional. Makasar: FK Unhas; 2000: hal.1-12 12.Ballenger JJ, Snow JB, editors. Otolaryngology Head and Neck Surgery. 15th ed.

Baltimore, Philadelpia, Hongkong, London, Munich, Sydney, Tokyo: Williams & Wilkins; 1996: 3-18 p.

13.Heilger PA. Applied Anatomy and Physilogy of the Nose. In: Adam GL, Boeis LR, Heilger PA, editors. Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed. Philadelpia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo: WB Saunders Ca; 1989: 177-95 p. 14.Scott Brown, Weir N, Golding-Wood DG. Infective Rhinitis and Sinusitis. In:

Mackay IS, Bull TR, editors. Scott-Brown‟s Otolaryngology (Rhinology). 6th ed. Oxford, Boston, Johannesburg, Melbourne, New Delhi, Singapore: Butterworth-Heinemann; 1997: 1-49p.

15.Waguespack R. Mucociliary Clearance Patterns Following Endoscopic Sinus Surgery. Laryngoscope (supplement) 1995;105:1-40

16.Sakakura Y, Majima Y, Takeuchi K. A rule of periciliary fluid in nasal mucociliary clearance. Am J Rhinol 1994;5:277-8

17.Rautiainen M. Impaired mucociliary function in nose. Am J Rhinol 1994;5:276-7 18.Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. BIOLOGY. 7th ed. San Fransisco:

Benjamin Cummings; 2007: 178-182

19.Ho JC, Chan KN, Hu WH, et.al. The effect of aging on nasal mucociliary clearance, beat frequency, and ultrastructure of respiratory cilia. Am J Resir Crit Care Med 2001;163:983-8

20.Al-Rawi MM, Edelstein DR, Erlandson RA. Changes in Nasal Epithelium in Patients with Severe Chronic Sinusitis: A Clinicopathologic and Electron Microscopic Study. Laryngoscope 1998;108:1816-23

21.Stierna P. Physiology, Mucociliary Clearance and Neural Control. In: Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, editors. Diseases of Sinuses Diagnosis and Management. London: BC Decker Inc; 2001: 35-38p.


(3)

22.Kane KJ. Recirculation of Mucus as a Cause of Persistent Sinusitis. Am J Rhinol 1997;11:361-9

23.Benninger MS. Nasal Mucociliary Transport after exposure to swimming pool water. Am J Rhinol 1994;8:207-9

24.Talbot AR, Herr TM, Pasrons DS. Mucociliary Clearance and Buffered Hypertonic Saline Solution. Laryngoscope 1997;107:500-3

25.Hafner S, Darvis S, Riechelmann H, et al. Endonasal Sinus Surgery improves mucociliary transport in severe chronic sinusitis. Am J Rhinol 1997;11:271-4 26.Sakakura Y. Mucociliary Transport in Rhinologic Disease. In: Bunnag C,

Muntarbhorn K, editors. ASEAN Rhinological Practice. Bangkok: Siriyot Co.,Ltd; 1997: 137-43p.

27.Elynawati N, Roestiniadi, Hupetomo. The Influence of Air Polutant of Mucociliary Transport in Wood Factory Worker. 7th ARSR; 2002:119

28.Torkelli T, Rautiainen M, Nuutinen J. Ciliary Ultrastructure and Mucociliary Transport in Upper Respiratory Tract Infections. Am J Rhinol 1994;8:211-5

29.Soedarjtani, Djoko SS. Nasal Mucociliary Clearance (NMC) dan nasal pH pada

30 Penderita Diabetes Melitus (NIDDM tipe II WHO). Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah PIT Perhati Bukittinggi; 1993: hal.760-66

30.Penitilla MA, Rautiainen MEP, Koskinen MO, et al. Mucociliary clearance of the maxillary sinuses in patients with recurrrent or chronic sinusitis. Am J Rhinol 1994;8:285-90

31.Jorissen M. Correlations among mucociliary transpot, cilliari function, and cilliary structure. Am J Rhinol 1998;12:53-8

32.Joki S, Toskala E, Saano V. Correlation Between Cilliary Beat Frequency and The Structure of Ciliated Epithelia in Pathologic Human Nasal Mucosa. Laryngoscope 1998;108:426-30

33.Gosepath J, Grebneva N, Mossikhin S, Mann WJ. Topical Antibiotic, Antifungal and Antiseptic Solution Decrease Cilliary Activity in Nasal Respiratory Cells. Am J Rhinol 2002;16:25-31


(4)

34.Scadding GK, Lund VJ, Darby YC. The effect of Long Term antibiotic therapy upon ciliary beat frequency in chronic rhinosinusitis. J Laryngo-Otol 1995;109:24-6

35.Clerico DM. Medical treatment of chronic sinus disease. In: Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, editors. Diseases of Sinuses Diagnosis and Management. London: BC Decker Inc; 2001: 155-8p.

36.Cauwenberge PV, Ingels K. Effects of viral and bacterial infection on nasal and sinus mucosa. Acta Otolaryngol (Stockh) 1996;116:316-21

37.Czaja JM, McCaffrey TV. Reversibility of abnormal mucociliary clearance in experimental chronic sinusitis. AM J Rhinol 1996;10:281-9

38.Samsuri Tirtosastro [Internet]. Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri: Kandungan kimia tembakau dan rokok. [updated 2009; cited 2013 July 3]. Available from: http://balittas.litbang.deptan.go.id/

39.Tri-Country Cessation Center [Internet]. Cigarette Ingredients: Chemicals in Tobacco Smoke. Dutches, Sullivan, Ulster; [updated 2013; cited 2013 July 3]. Available from: http://www.tricountycessation.org

40.Cedars-Jebel Ali International Hospital. E-bulletin Smoking and its Ill Effects. April 2011.

41.Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Depkes RI; 2013:hal.169-175.

42.Mirsa, et al. Black tea prevents cigarette smoke induced oxidative damage of protein in guinea pigs. J Nutrition 2003;22:208

43.Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2007: hal.2-33

44.Leanderson P, Tagesson C. Cigarette Smoke-induced DNA damage in cultured human lung cells: role of hydroxyl radicals and endonuclease activation. Chem Bio Interact 1992;81(1-2):197-208

45.Pickett G, Seagrave JC, Boggs S. Effects of10 cigarette smoke condensates on primary human airway epithelial cells by comparative gene and cytokine expressions studies. Toxicological Sciences 2010;114(1):79-89


(5)

46.Lan MY, Ho CY, Lee TC, Yang AH. Cigarette smoke extract induces cytotoxicity on human nasal epithelial cells. Am J Rhinol 2007;21(2):218-23

47.Tamashiro E, Cohen NA, Palmer JN. Lima WTA. Effects of Cigarette Smoking

on Respiratry Epithelium and Its Rile in the Pathogenesis of Chronic Rhinosinusitis. Braz J Otorhinolaryngol 2009;75(6):

48.Kreindler JL, Jackson AD, Kemp PA. Inhibition of Chloride Secretion in Human Bronchial Epithelial Cells By Cigarette Smoke Extract. AM J Physiol Lung Cell Mol Physiol 2005;288(5):894-902

49.Nungtijk AK, Mangunnegoro H, Yunus F. Efikasi Pemberian Kombinasi Inhalasi

Salmeterol dan Flutikason Propionat Melalui Alat Diskus pada PPOK.Maj Kedokt Indon 2010;60(12):546-53

50.Indrayan A, Kumar R, Dwivedi S. A Simple Index of Smoking. COBRA

2008;40:1-20

51.Office Technology of Assessment. Cancer Testing Technology and Saccharin. USA: Congress of The United States. 1977:19-35p.


(6)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Riwayat Penulis Identitas :

Nama : Ahmad Muslim Hidayat Tamrin

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat, Tanggal Lahir : Pinrang, 12 Januari 1993

Agama : Islam

Alamat : Jl. Cempaka F1/15, Sumasang, Soroako, Sulawesi

Selatan

E-mail : ahmadmuslimhidayat@yahoo.co.id

amhtamrin@gmail.com

Riwayat Pendidikan :

 1998 – 2000 : TK YPS Singkole

 2000 – 2006 : SD YPS Lawewu

 2006 – 2009 : SMP YPS Singkole

 2009 – 2011 : SMAN 17 Makassar

 2011- sekarang : Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta