Praktek Persekongkolan Tidak Sehat Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Dikaitkan Dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pembeantasan Tindak Pidana Korupsi

(1)

Daftar Pustaka

Adam, Rainer, Samuel Siahaan, dan AM Tri Anggraeni. 2006. Persaingan dan Ekonomi Pasar di Indonesia. Jakarta: Friedrich Naumann Stiftung.

Buku-buku:

Chaerudin, dkk. 2008. Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Refika Aditama.

Fuady, Munir. 2000. Hukum Anti Monopoli. Bandung: PT. Citra Aditnya Bakti.

Garuda, Abdul Hakim dan Benny K. Harman. 1999. Analisa dan Perbandingan Undang-undang Anti Monopoli: Undang-Undang-undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Hakim, Abdul. 1999. Analisa dan Perbandingan Undang-Undang Antimonopoli: undang-undang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia. Jakarta: Elex Computindo.

Hamzah, A. 1984. Korupsi Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan. Jakarta: CV. Akademika Pressindo.

Hamzah, Jur Andi. 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Semarang: Sinar Grafika.

Liliawati, Euginia. 1999. Undang-Undang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jakarta: Harvarindo.

Lubis, Mochtar. 1987. Mafia dan Korupsi Birokratis. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. S, Normin. 2001. Pokok-Pokok Pikiran Tentang Persaingan Usaha. Jakarta: Elips. Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Siswanto, Arie. 2002. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Soewartojo, Juniadi. 1995. Korupsi Pola Kegiatan dan Penindakannya serta Peran Pengawasan dalam Penanggulangannya. Jakarta: Restu Agung.

Sudarsono. 2005. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Sutedi, Adrian. 2009. Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya. Jakarta: Sinar Grafika.

Pramusinto, Agus. 2000. Paradoks-Paradoks Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Perencanaan Pembangunan.

A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan tidak Sehat: Perse Illegal atau Rule of Reason, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 365

Artikel, Makalah, Surat Kabar, dan Internet:

Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, 1990, St. Paul Minnesotta

M. Syamsa Ardisasmita (ed), DEA. Definisi Korupsi Menurut Perspektif Hukum dan E-Annauncement untuk Tata Kola Pemerintahan yang Lebih Terbuka, Transparan, dan Akuntabel.Jakarta.2006.

Indonesia Procurement Watch. Tool Kit Anti Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Jakarta.

KPPU. Pedoman Pasal 22 Tentang Larangan Persengkongkolan dalam Tender. 2009. Hal. 18 KPPU. Pedoman Pasal 47 Tentang Tindakan Administratif. 2008. Hal.1


(2)

KPPU, MOU KPK dan KPPU

Putusan KPPU Nomor 03/KPPU-I/2002 tentang Tender Penjualan Saham PT. Indomobil Sukses Indonesia, Tbk.. (PT IMSI).

Putusan KPPU Nomor 04/KPPU/2002, jo. Putusan KPPU Nomor 001/KPPU/PDT.P/2002/PN.JKT.

Sacker dan Lohse, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition (GTZ-Katalis Publishing, 2000), h. 313

Shappiro DM., Glosari Undang-undang Persaingan dan Ekonomi Organisasi Industri, Jakarta, 2006

Solidaritas Masyarakat untuk Transparasi (SOMASI), “Eksaminasi Publik Putusan Perkara Korupsi Kepala Dinas Kesehatan Kab. Lombok Barat – Nusa Tenggara Barat (a. n. dr. H.L Sekarningrat), http:\\www.pemantauperadilan.com, 2 Juni 2010.

Syarip Hidayat, Persaingan dalam tender yang mengakibatkan persaingan tidak sehat. Legalitas org. 12 Agustus 2008.

Diakses tanggal 19 Mei 2010.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Peraturan PerUndang-Undangan :

Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KEPPRES No. 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa

Pemerintah.

PERPRES No. 95 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.


(3)

Masalah korupsi di Indonesia seperti yang sudah dibahas sekilas diatas sudah mencangkup pada segala bidang. Hampir diseluruh elemen masyarakat dan kegiatan masyarakat dibarengi dengan tindakan korupsi. Pada bab ini akan dibahas mengenai praktek persengkongkolan yang tidak sehat di dalam pengadaan barang dan/ atau jasa yang diselenggarakan oleh Pemerintah yang dilihat dari UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Korupsi di Indonesia sudah diatur mulai dari UU No. 24 (PRP) Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.73

“Karena KUHPidana pada zaman sekarang tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat di lapangan politik, ekonomi, dan social, maka Pemerintahan Indonesia sejak Tahun 1950 telah membuat bayak ketentuan-ketentuan hukum pidana di peraturan perundang-undangan lain “

UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah ada di Indonesia jika kita lihat secara jauh lagi kebelakang kita harus melihat Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) yang berlaku sejak 1 Januari 1918. Permasalahan korupsi yang diatur di dalam KUHP diantaranya yang terdapat pada Pasal 209 dan 210 KUHP tentang delik korupsi yang ada kaitannya dengan delik jabatan seperti orang yang menyuap pegawai negeri (actieve omkoping). Tetapi, pengaturan mengenai delik korupsi yang diatur di dalam KUHP masih dianggap kurang lengkap dan efektif bagi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Hal in nyata sesuai dengan apa yang pernah ditulis Utrecht, sebagai berikut :

74

Hal tersebut di atas yang menjadi dasar dibentuknya UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU Pemberantasan Korupsi diatur secara khusus di luar KUHP maka tindak pidana

73

Jur. Andi Hamzah. 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 33

74


(4)

korupsi dikategorikan menjadi tindak pidana khusus. Selain masalah di atas, undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibentuk atas dasar semakin berkembangnya tindak pidana korupsi di Indonesia yang merugikan keuangan dan ekonomi Negara dan menghambat pembangunan Nasional, sehingga harus diberantas dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Pengertian tindak pidana korupsi menurut UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1) adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Menurut pengertian mengenai korupsi yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1), yang dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana korupsi harus mengandung unsur-unsur yaitu antara lain :75

a. Setiap orang.

Yang dimaksud dengan setiap orang menurut pengertian korupsi yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1) adalah setiap orang baik individu maupun badan hukum, baik seseorang maupun secara berkelompok melakukan upaya tindak pidana korupsi.

b. Dengan cara melawan hukum.

Perbuatan yang dilakukan oleh seseorang maupun badan hukum agar dapat dikatakan unsur tindak pidana korupsi adalah bahwa perbuatan tersebut haruslah dilakukan dengan cara melawan hukum. Yang dimaksud dengan melawan hukum ini adalah dalam arti formil maupun dalam arti materil, yaitu meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut

75


(5)

dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

c. Memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi.

Tujuan setiap orang melakukan tindak pidana korupsi pada dasarnya untuk memperkaya dirinya sendiri, orang lain, atau korporasi. Dan unsur ini baru dapat dikatakan sebagai salah satu unsure tindak pidana korupsi apabila perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi tersebut dilakukan dengan cara melawan hukum.

d. Merugikan keuangan Negara atau Perekonomian Negara.

Unsur yang terakir dari suatu perbuatan dapat dikatakan suatu perbuatan tindak pidana korupsi adalah jika perbuatan yang dilakukannya untuk memperkaya dirinya sendiri, orang lain, atau pun korporasi dengan cara melawan hukum, dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara.

Korupsi di dunia identik dengan perlakuan curang atau jahat dari pegawai negeri atau pejabat Negara yang dapat merugikan perekonomian atau keuangan Negara. Banyak pendapat bahwa salah satu factor yang paling berpengaruh yang menjadikan mewabahnya korupsi di Negara-negara berkembang adalah karena tidak cukupnya gaji pegawai negeri. Ketidakcukupan ini, kemungkinan besar disebabkan oleh adanya perencanaan yang buruk. Kondisi-kondisi struktural dan lingkungan adalah sarana bagi koruptor untuk melaksanakan perbuatannya. Mereka yang terbiasa melakukan korupsi kerap menciptakan lingkungan dan kondisi yang cocok bagi korupsi. Pengaruhnya merusak masyarakat dan akan berlangsung selama berabad-abad. Mereka dapat hidup dengan suburnya pada semua system dan disegala waktu.

Korupsi mempunyai otonom sendiri. Struktur ekonomi, politik, maupun social, bukan tidak mungkin dapat terjangkit korupsi. Pelaku korupsi biasanya menyerang berbagai struktur.


(6)

Di setiap struktur terdapat interaksi konflik antara koruptor dan mereka yang membenci perilaku korupsi (orang yang lurus). Korupsi pada intinya dapat dipetakan dalam dua cara pandang. Di satu sisi, beberapa pemikir meletakan korupsi sebagai berasal dari individu itu sendiri. Di sisi lain beberapa ilmuwan alih-alih mendefinisikan korupsi sebagai sebuah praktek social dalam sebuah system.76

Gould di dalam sebuah tulisannya, melukiskan tentang korupsi dalam standart kaum moralis dan sosiologis. Bagi kaum moralis, korupsi dianggap sebagai penyimpangan individual, kegagalan moral di pihak individu yang berwatak lemah dan tidak teratih dengan baik. 77

76

Mansyur Semma. Negara dan Korupsi. 2008. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal. 39-40 77

Mochtar Lubis. Mafia dan Korupsi Birokratis. 1987. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal. 87

Jadi seseorang melakukan korupsi tidak lebih karena individu tersebut tidak mampu berhadapan langsung dengan realitas diluar dirinya.

Praktek korupsi di Indonesia ini sudah terjadi diberbagai bidang dan aspek pemerintahan di Negara ini. Mulai dari struktur birokasi pemerintahan terendah di tingkat rukun tetangga sampai di lembaga Negara yang memiliki urutan struktur birokrasi pemerintahan yang tertinggi. Masalah korupsi di Indonesia sudah sampai taraf korupsi yang akut, bahkan banyak ahli yang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah seperti budaya yang pasti akan dilakukan.

Salah satu praktek tindak pidana korupsi yang sering terjadi adalah pada bidang pengadaan barang dan/ atau jasa dari Pemerintah. Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa kasus-kasus perkara korupsi yang ditangani oleh KPK lebih dari setengahnya adalah korupsi dalam pengadaan barang dan/ atau jasa pemerintah. Anggaran Pemerintah untuk pengadaan barang dan jasa sangatlah besar, dan minimnya pengawasan inilah yang menjadi daya tarik bagi oknum-oknum tertentu yang ingin merugikan keuangan Negara dengan cara korupsi.


(7)

Meskipun masalah persekongkolan yang tidak sehat di dalam pengadaan barang dan/ atau jasa ini sudah diatur oleh undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat, tetapi praktek korupsi di dalam pengadaan barang dan jasa ini tidak pernah ada habis-habisnya.

Praktek korupsi di dalam pengadaan barang dan jasa melalui praktek-praktek persekongkolan yang tidak sehat merupakan suatu kejahatan yang sangat merugikan keuangan Negara seta dapat menghambat pembangunan Nasional. Tender kolusif atau persengkongkolan tender atau disebut juga Bid Rigging merupakan bentuk perjanjian kerjasama di antara para peserta tender yang seharusnya bersaing dengan tujuan memenangkan peserta tender tertentu. Masalah korupsi di dalam pengadaan barang dan jasa merupakan salah satu masalah dari sekian banyak masalah besar yang sedang dihadapi oleh Negara Indonesia. Tidak ada cara mudah dan jalan pintas memberantas korupsi.

Persekongkolan yang tidak sehat ini di dalam prakteknya ada beberapa perbuatan yang biasa dilakukan oleh para oknum-oknum pelaku korupsi yang sering melakukan persekongkolan yang tidak sehat di dalam pengadaan barang dan jasa oleh Pemerintah untuk mendapatkan proyek tender yang sedang dilelang. Antara lain adalah :78

a. Pemberian suap / sogok (Bribery)

Suap adalah pemberian sesuatu yang bernilai dengan tujuan memengaruhi kewajiban hukum si penerima dan akhirnya menguntungkan si pemberi.79

78

Indonesia Procurement Watch. Tool Kit Anti Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Jakarta.

Pemberian dalam bentuk uang , barang, fasilitas, dan janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan yang akan berakibat membawa untung terhadap diri sendiri atau pihak lain yang berhubungan dengan jabatan yang dipegangnya pada saat ini. Perbuatan sogok menyogok ini biasa dilakukan oleh para pengusaha yang ikut di

7


(8)

dalam tender pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah. Pemberian suap ini dilakukan agar pihak panitia pengadaan barang dan jasa memenangkan pengusaha tersebut dalam tender pengadaan barang dan jasa yang akan diselenggarakan. Perbuatan suap menyuap yang dilakukan oleh pengusaha kepada oknum pengguna barang dan jasa biasanya sudah dilakukan jauh-jauh hari bahkan sebelum adanya pengumuman akan adanya tender proyek.

Perbuatan korupsi dengan cara Bribery, memerlukan dua pihak yang melakukan hubungan korup. Yang pertama adalah si pemberi suap atau penyuap dan si penerima suap. Dalam hal persengkongkolan dalam tender proyek ini yang menjadi si pemberi suap adalah pihak pengusaha atau penyedia barang dan/ atau jasa, sedangkan yang menerima suap adalah para pejabat ditempat dimana lelang pengadaan barang dan/ atau jasa itu dilakukan.80

b. Penggelapan (Embezzlement)

Dipenghujung tahun 2004 publik di Indonesia pernah dikejutkan oleh berita terkuaknya kasus suap. Kasus pembelian tank scorpion tahun 1994 ternyata dibumbui aroma pemberian komisi kapada anak mantan Presiden RI yang terungkap saat perusahaan perantara Singapura menggugat pabrikan Inggris, penjual tank. Kasus lainnya, yang sedang marak dibicarakan baik oleh media elektronik maupun media cetak sekarang ini adalah kasus suap yang dilakukan oleh Deputi Senior Bank Indonesia, kepada anggota DPR agar dirinya dipilih menjadi Deputi Senior BI, tetapi hal ini masih belum jelas kebenarannya sampai saat ini. Walaupun demikian peristiwa itu masih menjadi teka-teki, berita tersebut membuktikan adanya liku-liku bisnis atau penyelenggaraan birokrasi yang diwarnai oleh suap.

8


(9)

Penggelapan adalah perbuatan mengambil tanpa hak oleh seseorang yang telah diberi kewenangan untuk mengawasi dan bertanggung jawab penuh terhadap barang milik Negara, oleh Pejabat publik maupun swasta.81 Penggelapan menurut yang diatur dalam Pasal 372 KUHP adalah barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hukum sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan.82 c. Pemalsuan (Fraud)

Pemalsuan merupakan suatu tindakan atau perilaku untuk mengelabui orang lain atau organisasi dengan maksud untuk mengambil keuntungan untuk kepentingan dirinya sendiri maupun orang lain.

Pemalsuan juga dapat dikatakan sebagai proses pembuatan, beradaptasi, meniru atau benda, statistik, atau dokumen-dokumen, dengan maksud untuk menipu. Kejahatan yang serupa dengan penipuan adalah kejahatan memperdaya yang lain, termasuk melalui penggunaan benda yang diperoleh melalui pemalsuan.83

d. Pemerasan (Extortion).

Pemalsuan didalam pengadaan barang dan jasa ini biasanya pemalsuan terhadap dokumen-dokumen lelang, dokumen-dokumen prakualifikasi, dan dokumen-dokumen lainnya yang dapat dipalsukan guna melanjarkan perbuatan korupsi yang akan dilakukannya.

Pemerasan adalah memaksa seseorang untuk membayar atau memberikan sejumlah uang atau barang, atau bentuk lain, sebagai ganti dari dari seseorang pejabat publik untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perbuatan pemerasan tersebut dapat diikuti dengan ancaman fisik ataupun kekerasan.84

81

Adrian Sutedi. Op Cit. Hal.88 82

Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 8

84

Indonesia Procurement Wacth. Tool Kit Anti Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Hal. 10


(10)

Pemerasan ini biasa dilakukan oleh Pejabat dari instansi yang mengadakan tender pengadaan barang dan/ atau jasa tersebut. Pemerasan ini biasanya berupa meminta bagi hasil nilai proyak yang dikerjakan oleh Pengusaha. Biasanya dilakukan dengan ancaman bahwa tidak akan dimenangkan jika tidak membagi hasil nilai proyek, ataupun akan dipersulit dalam pekerjaannya dalam memenuhi pengadaan barang dan/ jasa yang diminta.

e. Penyalahgunaan Jabatan atau Wewenang (Abuse of Discretion)

Mempergunakan kewenangan yang dimiliki, untuk melakukan tindakan yang memihak atau pilih kasih kepada kelompok atau perseorangan, sementara bersikap diskriminatif terhadap kelompok atau perseorangan lainnya.

f. Pertentangan Kepentingan / Memiliki usaha sendiri. (Internal Trading)

Melakukan transaksi publik dengan menggunakan perusahaan milik pribadi atau keluarga dengan cara mempergunakan kesempatan dan jabatan yang dimilikinya untuk memenangkan kontrak Pemerintah.

g. Pilih Kasih (Favoritism).

Memberikan pelayanan yang berbeda berdasarkan alasan hubungan keluarga, afiliasi partai politik, suku, agama, dan golongan, yang bukan kepada alasan objektif seperti kemampuan, kualitas, rendahnya harga, profesionalitas kerja.

h. Menerima Komisi (Commision)

Pejabat publik yang menerima sesuatu yang bernilai, dalam bantuan uang, saham, fasilitas, barang dan lain-lain. Sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan atau hubungan bisnis dengan Pemerintah.


(11)

Hal ini terjadi apabila Partai Politik atau Pemerintah yang sedang berkuasa pada waktu itu menerima sejumlah dana sebagai suatu konstribusi dari hasil yang dibebankan kepada kontrak-kontrak Pemerintah.

j. Nepotisme

Tindakan untuk mendahulukan sanak keluarga, kawan dekat, anggauta partai politik yang sefaham, dalam penunjukkan atau pengangkatan staf, panitia pelelangan atau pemilihan pemenang lelang. tindakan untuk mendahulukan sanak keluarga, kawan dekat, anggota partai politik yang sefaham, dalam penunjukkan atau pengangkatan staf, panitia pelelangan atau pemilihan pemenang lelang. Nepotisme berasal dari bahasa Latin “Nepos” yang berarti keponakan atau cucu.85

Kita dapat melihat dari pembahasan diatas bahwa begitu banyak praktek korupsi yang terjadi di dalam proyek pengadaan barang dan jasa Pemerintah. Hal ini tentu sangat ironis, karena pelaksanaan pembangunan nasional yang memang memerlukan biaya yang sangat besar dari tahun ketahun berkembang dengan sangat pesat. Sedangkan aparat pengawasan dengan system pengawasan yang ada sulit untuk dapat mengikuti gerak pembangunan yang sedemikian pesat sehingga menimbulkan praktek korupsi di pengadaan barang dan/ jasa. Tanpa adanya pengawasan melekat yang baik, maka aparat pengawasan yang ada semata-mata sulit diharapkan dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan usaha-usaha pembangunan nasional. Penggunaan dan/ atau penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang atau kesempatan untuk tindakan korupsi bisa meluas, menular, sehingga merupakan korupsi endemis yang tidak terkendali dengan tidak atau kurang berfungsinya pengawasan melekat.86

85

http://id.wikipedia.org/wiki/Nepotisme 86

Juniadi Soewartojo. Korupsi Pola Kegiatan dan Penindakannya serta Peran Pengawasan dalam Penanggulangannya.1995. Jakarta: Restu Agung. Hal. 23


(12)

Pengadaan barang dan jasa yang kolusif atau persengkongkolan tender atau disebut juga Bid Rigging merupakan bentuk perjanjian kerjasama di antara para peserta tender yang seharusnya bersaing dengan tujuan memenangkan peserta tender tertentu.

Persekongkolan yang tidak sehat dalam prakteknya terdapat beberapa mekanisme (metode) beroperasinya persengkongkolan penawaran tender, antara lain :87

1. Tekanan terhadap penawaran (Bid Suppression) artinya bahwa satu atau lebih penawar setuju untuk menahan diri untuk tidak mengikuti pelelangan atau menarik penawaran yang telah diajukan sebelumnya, agar penawar lain dapat memenangkan pelelangan itu.

2. Penawaran yang saling melengkapi (Complementary Bidding) yaitu kesepakatan di antara para penawar, di mana dua atau lebih penawar setuju terhadap siapa yang akan memenangkan penawaran. Semua pihak telah sepakat siapa yang menawar paling rendah dan yang lainnya menawar lebih tinggi. Tentunya oleh pemenang, kepada yang kalah diberikan uang “ pinjam bendera”.

3. Perputaran penawaran atau arisan tender (bid rotation) adalah pola penawaran tender, di mana satu dari penawar setuju untuk kembali menjadi penawar yang paling rendah. Seringkali perputaran (arisan) ini menetapkan adanya jaminan, bahwa mereka akan mendapat giliran untuk memenangkan tender.

4. Pembagian Pasar (Market Division) adalah pola penawaran tender yang terdiri dari beberapa cara untuk memenangkan tender melalui pembagian pasar. Melalui metode ini para penawar dapat merancang wilayah geografis maupun pelanggan tertentu sehingga jika terdapat kontrak di wilayah tertentu, seluruh penawar sudah mengetahui penawar mana yang akan memenangkan tender.

Jika dikaji lebih dalam terhadap praktek- praktek seperti di atas maka pada dasarnya persekongkolan dalam penawaran tender dapat terjadi secara horisontal maupun vertikal.

87

Rainer Adam, Samuel Siahaan dan AM Tri Anggraeni, Persaingan dan Ekonomi Pasar Di Indonesia, Friedrich Naumann Stiftung, Jakarta, 2006, hal. 34.


(13)

Persekongkolan horisontal adalah tindakan kerjasama yang dilakukan para penawar tender, misal saling memberikan informasi harga dan penawaran. Persengkokolan tender vertikal adalah kerjasama tersebut dilakukan penawar dengan panitia tender. Dalam kasus ini, biasanya panitia memberikan berbagai kemudahan atas persyaratan-persyaratan bagi salah satu penawar.

KPPU dalam memaksimalkan penyidikan atas adanya dugaan kasus korupsi bekerja sama dengan Akuntan dalam Auditor Negara/BPK-RI. Peran akuntan sebagai Auditor negara dalam hal ini ada dua tahap, yaitu :

Pertama, membuktikan kasus ini sebagai kasus persaingan tidak sehat karena adanya

persekongkolan tender (bid rigging). Sebelum adanya UU No. 5 tahun 1999, para akuntan yang berperan sebagai auditor telah terbiasa mengaudit proses tender/penunjukan langsung. Sejak Keppres 16 tahun 1983 tentang pedoman pengadaan barang dan jasa sampai yang sekarang berlaku, Keppres 61 Tahun 2004 yang merupakan perubahan dari Keppres 80 Tahun 2003.

Adanya UU No. 5 Tahun 1999 sebenarnya pekerjaan akuntan/auditor dipermudah dalam mengaudit proses tender. Menurut penulis, apabila para akuntan/auditor dapat membuktikan bahwa tender/penunjukan langsung itu melanggar UU No. 5 Tahun 1999 karena adanya persekongkolan/kolusi maka pengembangan lanjutan dari kasus tender kolusif akan membawa ke arah kasus korupsi. Persekongkolan tender pasti berakibat kemahalan harga atau mark-up. Hal ini pun sejalan dengan pernyataan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) bahwa “tender kolusif pada dasarnya bersifat anti persaingan” karena dianggap melanggar tujuan penawaran tender yang sesungguhnya, yaitu mendapatkan barang atau jasa dengan harga dan kondisi yang paling menguntungkan pihak peyelenggara.88

88

Sacker dan Lohse, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition (GTZ-Katalis Publishing, 2000), h. 313.

Auditor dapat mendeteksi apakah proses tender/penunjukan langsung itu terdapat persekongkolan dengan


(14)

melihat ada/tidaknya red flags dalam proses tender/penunjukan langsung tersebut. Red flags adalah petunjuk atau indikasi akan adanya sesuatu yang tidak biasa dan memerlukan penyidikan lebih lanjut. Beberapa red flags antara lain :

­ Ada satu perusahaan yang sering kali memenangkan tender. Biasanya karena sering

menang, mereka menawar harga yang sangat tinggi (diduga untuk menutupi komisi/suap yang diberikan kepada pejabat tertentu)

­ Dalam tender yang terbagi atas beberapa pool, penawaran harga dari para peserta

tender berbeda disetiap pool tetapi perbedaan itu tidak dapat dijelaskan.

­ Dokumen penawaran harga yang disampaikan oleh para peserta tender mempunyai

kemiripan dalam huruf, angka, halaman dan dikirim melalui pos yang sama, bahkan mempunyai kesalahan yang sama. Ini menunjukan kemungkina hanya satu peserta tender saja yang mengerjakan semuanya.

­ Perusahaan peserta tender sebenarnya kepemilikannya berada di tangan satu orang saja

atau ada hubungan keluarga.

­ Para peserta tender sebelumnya sudah bertemu (saling kenal?) untuk mendiskusikan

harga penawaran dapat dilihat dari berkas penawaran bahwa harga penawaran mereka tidak jauh berbeda, baik dalam total maupun cost/unit.

­ Beberapa pejabat atau panitia tender terlihat menjadi vokal dan aktif untuk

memenangkan salah satu peserta.

­ Panitia mengenakan persyaratan yang banyak, berat dan jangka penyerahan penawaran

sangat singkat sehingga kemungkinan hanya satu atau beberapa perusahaan saja yang bisa ikut.

Kedua, akuntan membuktikan kemahalan harga akibat tender kolutif adalah kasus

korupsi. Tim Kajian Hukum BPKP dalam “Tinjauan Yuridis Kemahalan Harga sebagai Akibat Perbuatan Melawan Hukum” mengatakan secara kasat mata, auditor mungkin dapat mengetahui kemahalan harga, namun untuk menjadikan kasus kemahalan harga sebagai temuan yang dapat ditindak lanjuti bukan hal yang mudah. Auditor harus dapat membuktikan bahwa penyimpangan yang terjadi sebagai perbuatan melawan hukum, sekaligus memperoleh harga satuan yang dapat dijadikan sebagai harga pembanding yang valid yang dapat menyakinkan penuntut umum dan hakim.

Banyak kasus yang ditanggani dan telah ada keputusan KPPU dalam menyangkut pengadaan barang dan jasa. Namun tidak jelas apakah dalam kasus-kasus tersebut ada kerugian negara akibat korupsi. Sebagaimana diketahui sampai saat ini kasus-kasus yang ditanggani oleh KPPU sebagian besar adalah kasus pengadaan barang dan jasa


(15)

(pengadaan/penjualan) dan penunjukan langsung dilingkungan pemerintah dan BUMN/BUMD.

Hal tersebut menimbulkan pertanyan mengapa ada perbedaan penerapan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No 5 tahun 1999. Dapatkah jika kasus-kasus mengenai tender atau penunjukan langsung yang sudah diputuskan KPPU dan pengadilan bersalah karena melanggar persaingan sehat atau persekongkolan tender (Bid Rigging), otomatis menjadi dasar untuk pemeriksaan kerugian negara sesuai dengan UU No. 31 tahun 1999.

Hal inilah yang menjadi daya tarik bagi penulis untuk melihat dan menghubungkan bagaimana jika persengkongkolan yang terjadi didalam pengadaan barang dan jasa yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 dihubungkan dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Karena penulis melihat bahwa segala perbuatan yang dilakukan dalam rangka melakukan kecurangan di dalam tender proyek memiliki kaitan yang cukup erat dengan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi yang diatur dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Didalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur masalah-masalah korupsi yang kerap terjadi di dalam pengadaan barang dan/ jasa yang dilakukan oleh Pemerintah. Pasal-pasal yang dapat dihubungkan dari UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatas dengan korupsi yang marak terjadi di pengadaan barang dan jasa pemerintah, antara lain :

1) Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya dirinya sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara.


(16)

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, meyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

3) Pasal 5 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999.

Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dengan maksud agar pegawai negeri atau penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, atau member sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

4) Pasal 7 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999.

Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan,atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkanbahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang. Dalam Pasal ini mengatur mengenai pemborong yang berbuat curang dalam tender proyek.

5) Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999.

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.


(17)

Pada ketentuan yg diatur didalam Pasal 12 ini mengeatur mengenai pegawai negeri yang melakukan pemerasan dan turut serta dalam pengadaan barang dan/ atau jasa yang diurusnya. Pada Pasal 12e UU No. 20 Tahun 2001 menyatakan Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Dan pada Pasal 12i yang menyatakan bahwa dapat dihukum pegawai negeri atau penyelenggara Negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau pesewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

7) Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001.

Pasal ini mengatur mengenai Gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau pejabat publik agar ia mau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Setiap gratifiksi yang diterima oleh pegawai negeri ataupun pejabat penyelenggara Negara harus dilaporkan kepada KPK. Gratifikasi yang diterima harus dilaporkan paling lambat 30 hari sejak gratifikasi itu diterima. Gratifikasi yang dilaporkan ke KPK dianggap bukan gratifikasi.

Dari seluruh pasal-pasal diatas mengenai hal-hal apa saja yang diatur di dalam undang-undang pemberantasan tidak pidana korupsi yang berkaitan dengan persengkongkolan yang tidak sehat didalam tender proyek, ada beberapa pasal yang biasanya sering digunakan untuk menjerat secara hukum para pelaku persengkongkolan yang tidak sehat. Yaitu Pasal 3 mengenai penyalahgunaan kekuasaan dan Pasal 12 mengenai pemerasan dan gratifikasi.


(18)

Ketentuan dalam pasal ini menjadi yang sering digunakan dalam mempidanakan pelaku persengkongkolan tidak sehat dalam pengadaan barang dan/ atau jasa karena memang persengkongkolan itu terjadi karena adanya dasar perbuatan pemerasan dari pihak pegawai negeri atau pejabat Negara dan pemberian dari pengusaha atau penyedia barang dan jasa agar mereka dimenangkan di dalam lelang tender yang sedang atau akan dilaksanakan.

Rumusan pasal 12B ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, unsur tindak pidana Gratifikasi atau suap ada dua, pertama, pemberian dan penerimaan gratifikasi (serah terima); kedua, berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Pada unsur kedua ini, muncul konstruksi yuridis turunan (unsur derivatif) unsur kedua dua hal, yaitu mengeluarkan putusan dari jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Dan, putusan tersebut menguntungkan pihak pemberi gratifikasi. Ini berarti, dalam unsur kedua, ada putusan jabatan yang putusan tersebut bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya (melawan hukum) dan ada keuntungan dari putusan tersebut pada pemberi gratifikasi.

Unsur pertama dan unsur kedua, diikat oleh rumusan kata apabila berhubungan dengan. Ini menunjukan adanya hubungan sebab akibat (qondite sine quanon) antara unsur pertama dengan unsur kedua. Kata apabila menunjukan bahwa pembentuk undang-undang mengakui bahwa tidak semua gratifikasi berkaitan dengan jabatan (unsur kedua). Tanpa adanya hubungan sebab akibat dua unsur tindak pidana gratifikasi atau suap tidak bisa menyatu menjadi tindak pidana gratifikasi atau suap.

Pembuktian adanya tindak pidana gratifikasi berarti menunjukan adanya dua unsur tersebut diatas dan menunjukan relasi sebab akibat antara dua unsur tersebut. Secara operasional, yang harus dibuktikan oleh dalam perkara proyek persekongkolan tender adalah adanya serah terima gratifikasi, kedua, adanya putusan yang memberikan keuntungan pada penerima gratifikasi, ketiga, adanya sebab akibat dari dua hal tersebut.


(19)

Menurut Undang-Undang yang berlaku, sesungguhnya penerimaan gratifikasi tidak otomatis menjadi perbuatan yang terkualifisir sebagai tindak pidana. Hal ini bisa dilihat dari rumusan pasal 12 C (1) UU No. 31 Tahun 1999 yang berbunyi; ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 12B (1) tidak berlaku jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Penerima gratifikasi masih memiliki waktu 30 hari untuk melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Pasal 12C (2)). Pasal 12C ayat 1 dan ayat 2 menghapus ketentuan pemidanaan gratifikasi sebagaimana dalam pasal 12B ayat 1. Ini berarti, penerimaan gratifikasi belum otomatis menjadi tindak pidana karena undang-undang masih memberikan kesempatan untuk melaporkan kepada KPK. Lantas, KPK dalam waktu 30 hari sejak menerima laporan gratifikasi wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik negara. (pasal 12C(1)).

Satu lagi alasan yang sering digunakan oleh penegak hukum menurut undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi untuk menjerat para pelaku korupsi di dalam persengkongkolan yang tidak sehat dalam pengadaan barang dan jasa adalah seperti yang diatur pada Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang menyatakan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dihukum.

Praktek penyalahgunaan jabatan, kekuasaan, atau wewenang (Abuse of Discretion) ini di dalam tender proyek pengadaan barang dan jasa Pemerintah sering kali dilakukan oleh oknum pejabat instansi yang melakukan tender proyek. Penyalahgunaan kekuasaan dalam pengadaan barang dan jasa biasa dilakukan dengan cara menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk bertindak secara tidak adil, atau memihak, atau pilih kasih terhadap individu atau salah satu pengusaha yang mengikuti lelang tender. Penyalahgunaan ini pun terjadi bukan dilakukan


(20)

oleh oknum pejabat ini secara cuma-cuma, biasanya oknum pejabat yang korup dengan menggunakan kekuasaan jabatannya meminta uang pelicin, upeti, atau uang suap agar ia mau menggunakan kekuasaan jabatan yang diberikan kepadanya untuk menentukan siapa pemenangnya. Maka dari itu penyalahgunaan kekuasaan jabatan erat kaitannya dengan tindak pidana korupsi lainnya seperti pemerasan (extortion), penyuapan (Bribery), pemalsuan (Fraud), pilih kasih (Favoritisme), menerima komisi (Commision),dan nepotisme.

Penyalahgunaan wewenang ini marak terjadi dalam proses penunjukan langsung pemenang tender. Penunjukan langsung yang dilakukan karena nilai proyek tidak lebih dari Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) atau pengadaan diperlukan mendesak ini sering kali menciptakan praktek korupsi penyalahgunaan jabatan. Pimpinan proyek atau panitia pembuat akta perjanjian sering kali menggunakan jabatannya untuk memilih pemenang tender yang dekat dengan dia ataupun yang memberikan upeti paling banyak. Nepotisme pada penunjukan langsung pengadaan barang atau jasa juga sering dilakukan oleh para oknum pejabat. Biasanya pemenang atau penyedia barang dan jasa yang ditunjuknya masih memiliki hubungan darah atau masih keluarga dari pejabat yang berwenang.

Sedangkan menurut Pope89

Berbeda dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam UU No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan tidak sehat memiliki paling tidak satu pasal untuk masalah tender, yaitu pada Bab III mengenai “Perjanjian yang Dilarang”, dibagian Keempat tentang “Persekongkolan”, pasal 22 menyatakan bahwa “Pelaku

, mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk kepentingan pribadi atau prilaku tidak mematuhi prinsip mempertahankan jarak. Artinya dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, apakah ini dilakukan oleh perorangan di sektor swasta, atau oleh pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan.

89


(21)

Usaha dilarang bersengkongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat.”

UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi seperti yang sudah dibahas diatas bahwa persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa menurut ketentuan dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi ini diatur pada beberapa pasal yang pengaturannya ada hubungannya dengan praktek persekongkolan yang tidak sehat dalam pengadaan barang dan jasa. Perbedaan yang paling terlihat dalam pengaturan mengenai persengkongkolan tidak sehat dalam pengadaan barang dan jasa ini jika dibandingkan dengan UU No 5 Tahun 1999, undang-undang Tipikor tidak hanya mengatur sanksi bagi pelaku usaha tetapi melainkan dapat juga menjerat pegawai negeri atau pejabat publik yang berkaitan dengan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa.

Jadi jelas bahwa masalah persengkongkolan yang tidak sehat didalam pengadaan barang dan jasa selain diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat juga diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jadi seharusnya para pelaku korupsi dengan cara persengkongkolan yang tidak sehat di dalam pengadaan barang dan jasa selain dapat dijerat dengan sanksi hukum yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999 juga dapat dijerat dengan sanksi hukum yang diatur di dalam undang-undang Tipikor. Keputusan KPPU tentang adanya persengkongkolan yang tidak sehat didalam pengadaan barang dan jasa menurut penulis seharusnya dapat menjadi dasar laporan untuk meneruskan persengkongkolan tersebut ke system peradilan pidana korupsi.

B. Sanksi hukum bagi pelaku persengkongkolan tidak sehat ditinjau dari Undang-undang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi.

Korupsi di Indonesia telah mengakar dan membudaya, bahkan sudah sampai pada titik yang tidak dapat ditolerir lagi. Dari realitas diatas, Nampak sulit untuk memberantas korupsi


(22)

di negeri ini jika aparat penegak hukum yang seharusnya memberantas korupsi justru terlibat dalam tindak pidana korupsi. Hal inilah yang menjadi dasar pertimbangan dan pemikiran lahirnya Pasal 43 UU No. 31 Tahun 1999 yang menyatakan perlunya dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kemudian melahirkan UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut UU KPK.90

Jika di dalam UU No. 5 Tahun 1999 Tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat terbentuk Komisi Pengawasan Persaingan Usaha yang berfungsi menentukan apakah pelaku usaha bersekongkol untuk memenangkan tender sehingga mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat atau tidak, dan juga memberikan putusan sebagai akibat dipenuhinya unsur melanggar Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 tersebut. Maka didalam UU Pemberantasan Korupsi terbentuk juga satu komisi yang bertujuan menangani masalah-masalah tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK itu sendiri adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independent dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3 UU KPK) dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi (Pasal 4 UU KPK).91

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugasnya berasaskan pada kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proposionalitas. Di dalam UU No. 30 Tahun 2002 KPK memiliki tugas antara lain untuk melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan

90

Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, Syarif Fadilla. Strategi Pencegahan & Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. 2008. Bandung : PT. Refika Aditama. Hal. 22

91


(23)

tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.

KPK dalam melakukan tugas koordinasinya dengan instansi lain yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK memiliki wewenang antara lain mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi, menetapkan system pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi, meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait, melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.92

Pada permasalahan korupsi yang terjadi di ruang lingkup pengadaan barang dan jasa KPK terus melakukan upaya pencegahan tindak pidana korupsi untuk mencegah kerugian keuangan Negara yang semakin membesar. Komisi pemberantasan korupsi mencatat selama rentang waktu 2005 hingga 2009 kerugian Negara melalui proses pengadaan barang dan jasa mencapai Rp. 689, 195 miliar. Tumpak Hatorangan Panggabean selaku pelaksana tugas Ketua KPK kerugian Negara sebesar itu mencapai 35% dari nilai total proyek sebesar Rp 1,9

Menurut Pasal 11 UU No. 30 Tahun 2002, KPK hanya dapat melakukan wewenangnya terhadap perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, mendapat perhatian yang dapat meresahkan masyarakat, dan/ atau menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000 (Satu miliar rupiah). Yang menjadi masalah baru disini bagaimana jika korupsi di dalam tender proyek yang dilakukan oleh oknum-oknum pejabat Negara tidak sampai satu milyar rupiah, apakah KPK tidak bisa menangani atau bisa.

9


(24)

Triliyun selama periode tersebut. Menurutnya korupsi dalam pengadaan barang dan jasa ini sering terjadi akibat dari adanya penunjukan langsung pemenang tender dan mark-up atas harga satuan proyek. 93

Agar lebih jelas kita dapat melihat apa saja sanksi yang dapat diberikan terhadap para pelaku, antara lain sebagai berikut :

Dapat kita bayangkan berapa lagi kerugian yang akan diderita oleh Negara jika praktek korupsi dalam pengadaan barang dan jasa terus dilakukan oleh para oknum pegawai negeri atau pejabat Negara dengan para pengusaha. Menyadari hal itu, maka dirasakan perlu adanya sanksi yang tegas yang dapat mengikat dan menghukum para pelaku tindak pidana persengkongkolan yang tidak sehat dalam tender proyek ini.

Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 sudah secara jelas mengatur mengenai sanksi hukuman yang dapat dikenakan kepada para pelaku tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan praktek persengkongkolan yang tidak sehat di dalam tender proyek. Seperti yang sudah dibahas diatas UU pemberantasan tindak pidana korupsi mengatur hal-hal seperti pemerasan, persengkongkolan, penyuapan, gratifikasi, dan lain-lain.

94

a. Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya dirinya sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara.

9

94

Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


(25)

b. Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan kouangan negara atau perekonomian negara

c. Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang

memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuatsesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengankewajibannya.

d. Pasal 7 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang.


(26)

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atauyang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebutada hubungan dengan jabatannya.

f. Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4

(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap pegawai negeri yang melakukan pemerasan dan turut serta dalam pengadaan barang dan jasa yang diurusnya.

g. Pasal 12B UU 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001.

Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliarrupiah). Bagi setiap pegawai negeri yang menerima gratifikasi dan tidak melaporkan gratifikasi itu kepada KPK.

Sanksi hukuman yang dapat dikenakan kepada para pelaku praktek persekongkolan yang tidak sehat dalam pengadaan barang dan jasa, kita bisa melihat bahwa tidak hanya penyedia barang dan jasa saja yang dapat dikenakan sanksi pidana tetapi pegawai negeri dan pejabat Negara pun dapat diberikan sanksi pidana terhadap perbuatan yang diatur dalam pasal-pasal di atas. Hal ini berbeda dengan apa yang diatur pada UU No. 5 Tahun 1999, dimana hanya pelaku usaha saja yang dapat dikenakan sanksi baik administratif maupun sanksi pidana.


(27)

UU Tipikor termasuk undang-undang Tindak Pidana Khusus, artinya undang-undang Tipikor menganut asas lex specialist derogat lex generalis. Yang artinya bahwa sebagai UU yang berlaku khusus, undang-undang Tipikor dapat mengenyampingkan UU yang bersifat umum seperti KUHP. Didalam penerapan sanksi yang terdapat dalam UU Tipikor ini terlihat beberapa perkembangan. Berbeda dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya yang hanya memberikan satu sanksi hukum saja dalam perbuatan yang diatur, UU Tipikor menggunakan double track system dalam pemberian sanksi pidananya.

Double track system ini tidak hanya berlangsung pada tahap adjudikasi, melainkan sejak tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (pra-adjudikasi). Pengaturan mengenai eksistensi, operasionalisasi, dan sifat ad hoc Pengadilan Tindak Korupsi dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara nyata tidak mempunyai landasan yuridis yang kuat dan bertentangan dengan salah satu prinsip konstitusi (equality before the law) karena menyebabkan adanya double track system dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia sehingga sangat mungkin terjadi suatu keadaan dimana seorang terdakwa dalam perkara yang sama dan kondisi yang sama dapat dikenakan putusan pengadilan yang berbeda hanya karena perbedaan jalur penanganan perkaranya.95

Kelemahan dari undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah menurut ketentuan undang-undang tersebut mengenai pemberian sanksi terhadap pelaku yang melakukan persengkongkolan dalam pengadaan barang dan jasa KPPU hanya dapat memberikan sanksi administrative dan sanksi pidana yang hanya berupa pidana denda dan juga pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda. Selain itu juga KPPU tidak memiliki wewenang untuk memberikan sanksi kepada pegawai negeri sipil atau pejabat negara yang melakukan persengkongkolan dalam pengadaan


(28)

barang dan jasa, KPPU hanya dapat memberikan saran atau masukan bagi atasan dari pihak pegawai negeri atau pejabat negara tentang perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya.

Tetapi jika melihat dari undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi selain pelaku usaha pegawai negeri atau pejabat negara pun dapat dikenakan sanksi pidana, antara lain seperti pegawai negeri yang melakukan pemerasan, pegawai negeri yang ikut serta dalam tender proyek yang diawasinya, pegawai negeri yang menerima suap, pegawai negeri yang menerima gratifikasi dan tidak melaporkannya kepada KPK.

Di dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 pelaku yang dapat dijerat dengan undang-undang ini adalah setiap orang yang merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Setiap orang yang dimaksud disini antara lain meliputi96

a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang kepegawaian. :

b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab undang-undang hukum pidana. c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah.

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah.

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat.

Penanganan pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai dengan kaidah hukum terdapat dua aturan yang bisa menjerat pelaku persekongkolan dalam tender proyek, yakni UU No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan tidak sehat dan Undang undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001). Adanya dua undang undang yang dapat menjerat pelaku persekongkolan tender pemerintah justru menjadikan dua institusi yakni KPPU dan KPK bekerja sama dalam menangangi kasus-kasus yang berhubungan dengan kerugian negara.

Hal tersebut terbukti dengan dengan adanya penandatanganan memorandum of understanding (nota kesekatan) pada tanggal 6 Februari 2006 antara Komisi Pemberantasan

96

Jur. Andi Hamzah. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional.2007. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. Hal. 81


(29)

Korupsi (KPK) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk bersama-sama dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan barang dan jasa.97

Di antara kerjasama yang disepakati antara KPK dan KPPU terdapat beberapa pasal Nota Kesepahaman ini, yakni adalah :

Penandatanganan nota kesepahaman antara KPK dan KPPU ini dilakukan untuk menutup celah dalam melakukan pengawasan terutama dalam pengadaan barang dan jasa yang melibatkan pelaku usaha maupun pemerintah.

98

1. Permintaan atau akses data dan atau informasi. 2. Koordinasi atas temuan masing – masing pihak.

3. Kerahasiaan penggunaan dan keamanan data dan atau informasi 4. Menindaklanjuti temuan sesuai dengan kewenangan masing – masing. 5. Penunjukan pejabat penghubung (liaison officer).

Koordinasi atas kewenangan KPPU dan KPK sudah selayaknya terjadi mengingat perilaku persaingan usaha yang tidak sehat, dan persekongkolan tender misalnya, seringkali membuat pelaku juga terkait dengan korupsi.

Di tengah upaya pemberantasan persaingan usaha tidak sehat, KPPU sangat menghargai dukungan positif yang datang untuk meningkatkan efektifitas implementasi UU No.5 tahun 1999. Selanjutnya, setelah nota kesepahaman ditandatangani, maka sejumlah agenda baru harus segera disusun bersama antara KPPU dan KPK. Keterlibatan setiap pihak secara aktif baik dari kewenangan regulasi maupun pada praktek di lapangan harus diwujudkan sebagai upaya untuk menjaga momentum nota kesepahaman ini.

Berdasarkan MOU ini, KPPU tidak memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan kepada pihak pemerintah dan yang dapat memeriksa kasus pelanggaran tender yang dilakukan pemerintah adalah KPK. Dengan MOU ini diharapkan pelaksanaan tender di masa mendatang dapat lebih terbuka dan tidak terjadi pelanggaran hukum karena pengawasan yang ketat oleh KPPU dan KPK.

97

KPPU, MOU KPK dan KPPU

98


(30)

Peraturan yang tegas mengenai persengkongkolan dalam pengadaan barang dan jasa ini ternyata belum mampu menciptakan apa yang dicita-citakan oleh KPPU dan KPK. Nyata-nyatanya penegakan hukum terhadap pelaku persengkongkolan yang tidak sehat dalam pengadaan barang dan jasa masih jauh dari kata baik. Banyak sekali perkara pidana korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa yang sudah sampai ke proses pengadilan tetapi tidak mendapatkan sanksi hukum yang tegas sesuai dengan peraturan yang diatur baik oleh undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Maupun undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sebagai contoh kasus nyata yang terjadi di Indonesia yaitu pada kasus tindak pidana korupsi pada pengadaan alat-alat kesehatan yang terjadi di Nusa Tenggara Barat tahun 2004. Praktek korupsi ini melibatkan Ketua Bappeda Lombok Barat H. L. Srinata, Bupati Lombok Barat Drs. Iskandar, dan Sekertaris Daerah H. L Kusnandar Anggrat, akan tetapi pada akhirnya hanya menyeret seorang tersangka saja yakni dr. H.L Sekarningrat yang juga selaku Kepala Dinas Kesehatan Lombok Barat yang merugikan negara sebesar Rp. 7,5 Miliar99

dr. H. L Sekarningrat diduga menerima uang gratifikasi atau hadiah dari para pemenang tender yang total jumlahnya sebesar Rp. 210,8 juta. Fakta persidangan menunjukan bahwa Terdakwa didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 atas jabatannya yang diemban menerima sejumlah hadiah . Kasus korupsi ini bermulai dari adanya dugaan mark up pengadaan alat-alat kesehatan dan obat-obatan di lingkungan instansi yang dipimpinnya, namun pada perkembangannya kasus ini berubah menjadi penerimaan fee proyek atas nama Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat, dr. H.L Sekarningrat.

99

Solidaritas Masyarakat untuk Transparasi (SOMASI), “Eksaminasi Publik Putusan Perkara Korupsi Kepala Dinas Kesehatan Kab. Lombok Barat – Nusa Tenggara Barat (a. n. dr. H.L Sekarningrat),


(31)

sebesar Rp. 210.824.500,00-. Kemudian di dalam Putusan Pengadilan Negeri Mataram (Judex factie) Putusan No. 274/PID.B/2004/PN.MTR tanggal 17 Februari 2005 yang dipimpin oleh I Ketut Gede, S.H., dengan anggota Majelis Hakim H. Yuli Usman, S.H., dan Dewa Putu Wanten, S.H. Pada amar putusannya Majelis Hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut : A. Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 bulan dan denda

sebesar Rp. 10 juta subside 3 bulan kurungan.

B. Menetapkan lama masa tahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangi seluruhnya terhadap hukuman yang dijatuhkan.

C. Memerintahkan agar Terdakwa segera keluar dari Tahanan. D. Menetapkan barang bukti berupa:

- Buku catatan penerimaan dan penggunaan fee;

- Kuitansi pengembalian fee dari saksi Amnan kepada tersangka dr. H.L Sekarningrat tanggal 8 Maret 2004;

- 15 dokumen penunjukan langsung kesejumlah kontraktor rekanan proyek. E. Membebani Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,00-

Berdasarkan Putusan No. 274/PID.B/2004/PN.MTR kita dapat menganalisis beberapa hal, antara lain adalah baik dakwaan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum maupun Putusan yang diberikan Majelis Hakim terhadap dr. H.L Sekarningrat adalah sangat bertentangan atau tidak professional. Karena secara jelas Pasal 11 undang-undang 20 Tahun 2001 berbunyi “dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan


(32)

jabatannya, atau yang menurut pemikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya.

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataran yang memeriksa dan menjatuhi hukuman 5 bulan penjara dan denda sebesar Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) bias dikatakan ngawur karena tidak sesuai dengan ketentuan yang tertuang pada Pasal 11 undang-undang No. 20 Tahun 2001. Jelas terlihat dari fakta-fakta yang ada dipersidangan baik Jaksa Penuntut Umum maupun Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini tidak serius dan sungguh-sungguh untuk menuntaskan kasus korupsi sehingga terjadi kesepakatan-kesepakatan yang mungkin terjadi anatara Terdakwa, Jaksa Penuntut Umum, dan Majelis Hakim sehingga sanksi pidana yang diterima oleh Terdakwa sangatlah rendah dan mengarah ke tidak masuk akal karena bertentangan dengan ketentuan pasal yang didakwakan.

Contoh kasus diatas masih sebagian kecil dari kenyataan yang terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan penegakan hukum pelaku persengkongkolan yang tidak sehat dalam pengadaan barang dan jasa. Lalu timbul pertanyaan bagaimana ingin memberantas masalah korupsi pengadaan barang dan jasa jika penegakan hukunnya saja terhadap kasus tersebut tidak lepas dari praktek KKN para penegak hukumnya.

Kasus Persekongkolan dalam Pengadaan barang dan/ atau jasa berdasarkan analisa penulis dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Dikarenakan terdapat beberapa pasal dalam Undang-undang Pemberantasan korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001) yakni : tentang perbuatan Melawan Hukum untuk memperkaya diri, Penyalahgunaan Kewenangan, Menyuap pegawai negeri, Pemborong berbuat curang, Pegawai Negeri menerima hadiah/janji berhubungan dengan jabatannya, Pegawai Negeri memeras dan turut serta dalam pengadaan yang diurusnya, Gratifikasi dan tidak melapor KPK. Dan sesuai dengan sanksi hukum yang diatur dalam UU pemberantasan tindak pidana korupsi, maka


(33)

pelaku korupsi dalam pengadaan barng dan jasa juga dapat dikenakan sanksi menurut ketentuan UU Tipikor ini.

Bab IV Penutup

A. Kesimpulan.

1. Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur masalah persekongkolan yang tidak sehat dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, yaitu pada Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 yang menyatakan antara lain melarang para pelaku usaha melakukan persekongkolan dengan pihak lain guna memenangkan suatu tender proyek yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Implementasi dari ketentuan undang-undang ini sebenarnya sudah dilakukan dengan baik oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), namun tetap saja praktek persekongkolan yang tidak sehat dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah kerap terjadi. Sanksi hukum yang diberikan kepada pelaku persekongkolan antara lain adalah sanksi administratif dan sanksi pidana denda. Sanksi yang diberikan menurut ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 hanya dapat diberikan kepada pelaku usahanya saja atau penyedia barang dan jasa, sedangkan para pegawai negeri sipil ataupun pejabat publik yang terlibat dalam


(34)

persekongkolan yang tidak sehat dalam pengadaan barang dan jasa tidak dapat dikenakan sanksi administratif oleh KPPU. KPPU hanya dapat memberikan masukan kepada atasan pegawai negeri sipil atau pejabat publik yang terlibat persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah dan hukuman atau sanksi apa yang diberikan kepada tersangka tergantung kebijakan dari atasannya. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor yang penulis lihat adanya kelemahan dari UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam memberantas persekongkolan yang terjadi dalam pengadaan barang dan jasa.

2. Praktek persekongkolan yang tidak sehat dalam pengadaan barang dan jasa termasuk juga dapat dikategorikan dalam perbuatan tindak pidana korupsi sesuai dengan apa yang diatur dan ditentukan oleh UU No. 20 Tahun 2001. Perbuatan-perbuatan tersebut antara lain merugikan keuangan atau perekonomian negara, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri agar bertindak sesuai kemauannya, pemborong pengadaan barang dan jasa yang melakukan curang hingga mengancam keselamatan orang lain, barang, atau negara pada saat perang, dan gratifikasi pegawai negeri sipil. Perbuatan-perbuatan yang bersifat koruptif diatas sering kali dilakukan oleh para pelaku persekongkolan yang tidak sehat dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Dimana pelaku usaha memberikan hadiah-hadiah atau janji-janji kepada pejabat yang berwenang agar mendapatkan kontrak tender yang sedang dilelangkan. Sanksi hukum yang dapat dikenakan kepada pelaku korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa menurut UU TIPIKOR sangatlah tegas disamping pidana penjara, sanksi hukuman berupa pidana denda juga dapat diberikan sekaligus terhadap terpidana korupsi. Karena UU TIPIKOR ini menganut double track system yang artinya adalah merapkan sanksi hukum dengan menggunakan dua sistem pemidanaan. Menurut ketentuan yang


(35)

dituangkan dalam UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selain pelaku usahanya pegawai negeri sipil dan pejabat publik juga dapat dikenakan dengan ketentuan undang-undang ini. Hal ini berbeda dengan apa yang diatur oleh UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan demikian penulis berkesimpulan bahwa dalam penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana persekongkolan yang tidak sehat dalam pengadaan barang dan jasa, penerapan sanksi pidana korupsi sangat diperlukan untuk menjerat para pelaku persekongkolan tidak sehat.

B. Saran

1. Salah satu cara agar tidak terjadinya praktek persengkongkolan yang tidak sehat di dalam pengadaan barang dan jasa adalah menciptakan prinsip Good Procurement Governance yang berprinsip pada asas keterbukaan, akuntabilitas publik, partisipasi masyarakat, dan supremasi hukum. Pada dasarnya teori mengenai prinsip Good Procurement Governance tersebut sudah tertera di dalam system ketatanegaraan bangsa kita, tetapi yang menjadi masalah didalam prakteknya prinsip Good Governance atau Pemerintahan yang baik khususnya di dalam bidang pengadaan barang dan jasa ini belum tercipta. Padahal dengan terciptannya prinsip Pemerintahan yang baik akan mencegah adanya praktek persengkongkolan tersebut, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir tidak ada birokrasi pemerintahan di Indonesia yang bebas dari penyakit korupsi. Sehingga perlu system pemerintahan yang baik guna menjaga terciptanya persaingan yang sehat dalam pengadaan barang dan jasa di Indonesia. KPPU juga harus mempelajari Patologi di Bidang Pengadaan Barang dan Jasa ini. Patologi di dalam bahasa kedokteran berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai penyakit. Jadi kita harus mempelajari penyakit-penyakit atau


(36)

penyimpangan-penyimpangan yang biasa terjadi dalam pengadaan barang dan jasa. KPPU harus membuat guide line pelaksanaan pasal 22 UU Antimonopoli yang mengatur tentang persekongkolan, yaitu misalnya dengan menetapkan suatu ketentuan, bahwa penyelenggara (panitia) tender atau pengadaan barang dan jasa setelah menetapkan pemenang tender, tidak boleh membuat perjanjian mengenai penetapan pemenang tender dengan pemenang tender tersebut dalam jangka waktu 14 hari sejak ditetapkannya pemenang tender tersebut. Kalau terbukti terjadi persekongkolan, maka pemenang tender tersebut dibatalkan, jika tidak, maka pemenang tender berhak menandatangani perjanjian dengan KPU dan menindaklanjuti pengadaan kotak suara tersebut. Sebaliknya, jika dalam kurun waktu 14 hari tidak ada keberatan baik dari masyarakat, atau pelaku usaha, maupun dari KPPU, maka pemenang tender tersebut adalah syah. Jadi, untuk melindungi pelaku usaha yang dirugikan baik melalui persekongkolan antara peserta tender maupun diskriminasi yang dilakukan oleh penyelenggara (panitia) tender, KPPU harus membuat guide line pasal 22 UU Antimonopoli, yaitu dengan menetapkan suatu ketentuan, bahwa antara panitia tender dengan pemenang tender baru dapat menandatangani perjanjian pemenang tender 14 hari sejak pemenang tender ditetapkan Artinya, walaupun sudah ditetapkan pemenang tender, jika belum ditandatangani perjanjiannya, maka ketetapan pemenang tender tersebut belum mengikat. Jadi, dalam kurun waktu 14 hari tersebutlah pelaku usaha yang dirugikan atau masyarakat mengajukan keberatan atas penetapan pemenang tender tersebut kepada KPPU. Atau, KPPU menggunakan hak inisiatifnya, dengan mengirimkan surat penundaan penandatanganan perjanjian pemenang tender tersebut baik berdasarkan oleh pengaduan masyarakat atau pelaku usaha yang dirugikan, atau berdasarkan hak inisiatif KPPU.


(37)

2. Penggunaan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi di dalam memberikan sanksi bagi para pelaku persekongkolan yang tidak sehat dalam pengadaan barang dan jasa. Dengan demikian setiap pelaku persekongkolan baik pengusaha maupun pihak pengguna barang dan jasa atau pejabat publik dapat dijerat dengan sanksi pidana berdasarkan perbuatannya, jadi pemberian sanksi tidak hanya mengacu pada ketentuan yang diatur oleh UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat karena sanksi yang diberikan undang-undang tersebut masih sangat dirasa kurang memberikan efek jera bagi pelaku persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa. KPK harus lebih terlibat aktif bekerja sama dengan KPPU untuk memberantas dan menangani tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa tersebut,

Saran yang empat adalah penegakan hukum yang bebas dari KKN terhadap pelaku persengkong kolan yang tidak sehat dalam pengadaan barang dan jasa. Praktek peradilan yang bersih diharapkan dapat diterapkan dalam pemeriksaan pelaku persengkongkolan tender di dalam proses persidangan. Sanksi yang tegas harus diberikan bagi pihak-pihak yang melakukan penyimpangan, dengan demikian akan memberikan efek jera bagi pelaku baik pengusaha maupun pegawai negeri maupun pejabat publik. Dan dengan pemberian sanksi yang tegas tersebut diharapkan membuat para pelaku pengadaan barang dan jasa yang lain menjadi takut untuk melakukan kecurangan-kecurangan dalam pengadaan barang dan jasa.


(38)

BAB II

PERSEKONGKOLAN TIDAK SEHAT DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA DITINJAU DARI UU NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK

MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

A. Persekongkolan yang tidak sehat dilihat dari UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Undang-undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk dengan tujuan menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahterahan rakyat, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, menengah, dan pelaku usaha kecil, serta mencegah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Persaingan yang tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.38 Sedangkan monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.39

3

Dengan adanya undang-undang No.5 Tahun 1999 ini tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diharapkan akan menjadi sebuah payung hukum bagi upaya

3


(39)

penciptaan persaingan usaha yang sehat antar pelaku usaha khususnya didalam usaha pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh pihak Pemerintah.40

Unfair competition is a term which may be applied generally to all dishonest or fraudulent rivalry in trade and commerce, but is particularly applied to the practice of endeavoring to subtitute one’s own goods or products in the markets for those of another, having and established reputation and extensive sale, by means of imitating or counterfeiting the name, tittle, shape, or distinctive peculiarities of the article, or the shape, color, label, wrapper or general appearance of the package, or other such simulations, the immitation being carried far enough to mislead the general public or deceive an unwary purchaser, and yet not amounting to an absolute counterfeit or to the infringement of a trade mark or trade name.

Persaingan yang ketat dalam persaingan usaha di Indonesia baik perdagangan barang maupun jasa yang ditimbulkan akibat dampak perkembangan ekonomi di Indonesia. Hal inilah yang menimbulkan bermucullannya berbagai praktek-praktek perdagangan yang tidak sehat (unfair trade practices) yang dilakukan oleh para pengusaha atau pelaku bisnis untuk dapat memenangkan persaingan tersebut. Praktek persengkongkonglan yang tidak sehat antar pelaku usaha adalah salah satu praktek persaingan yang tidak sehat dilakukan oleh para pelaku usaha untuk dapat memenangkan suatu persaingan dibidang usahanya.

Persaingan usaha tidak sehat adalah suatu bentuk yang dapat diartikan secara umum terhadap segala tindakan ketidakjujuran atau menghilangkan persaingan dalam setiap bentuk transaksi atau bentuk perdagangan dan komersial. Dalam black law dictionary disebutkan pula bahwa :

41

40

Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

41

Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, 1990, St. Paul Minnesotta, hal. 1529.

(Terjemahan Penulis : Persaingan tidak sehat adalah istilah yang dapat diterapkan secara umum untuk semua yang tidak jujur atau penipuan persaingan dalam perdagangan, tetapi terutama diterapkan pada praktik berusaha untuk subtitute barang milik sendiri atau produk di pasar-pasar bagi orang-orang lain, memiliki dan membangun reputasi dan Dijual luas, dengan cara meniru atau pemalsuan nama, makhluk, bentuk, atau kekhasan tersendiri dari artikel, atau bentuk, warna, label, wrapper atau penampilan umum dari paket, atau lainnya simulasi tersebut, yang immitation dibawa cukup jauh untuk menyesatkan masyarakat umum atau menipu pembeli yang tidak waspada, namun tidak sebesar mutlak palsu atau pelanggaran merek dagang atau nama dagang.)


(40)

Persekongkolan merupakan salah satu dari perbuatan yang dapat dikategorikan dalam persaingan usaha tidak sehat dan praktek monopoli. Persekongkolan adalah suatu perbuatan dimana adanya conspiracy atau kerjasama yang tidak baik dalam suatu usaha untuk melakukan kecurangan guna mendapatkan keuntungan yang banyak. Istilah persekongkolan ini di semua kegiatan masyarakat hampir seluruhnya berkonotasi negatif. Pandangan ini disebabkan, bahwa pada hakikatnya persengkongkolan atau konspirasi bertentangan dengan keadilan, karena tidak memberikan kesempatan yang sama pada seluruh pelaku usaha untuk melakukan usaha secara jujur.

Bentuk persekongkolan yang diatur oleh undang-undang No.5 Tahun 1999 Tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah salah satunya mengenai persekongkolan yang terjadi di dalam pengadaan barang dan jasa. Masalah persekongkolan yang tidak sehat dalam pengadaan barang dan/atau jasa didalam undang-undang No.5 Tahun 1999 Tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diatur dalam pasal 22 yang berbunyi; “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender pengadaan barang dan jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.”42

Persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa tersebut dapat terjadi melalui kesepakatan-kesepakatan, baik tertulis maupun tidak tertulis. Persengkongkolan ini mencangkup jangkauan perilaku yang luas antara lain usaha produksi atau distribusi, kegiatan asosiasi perdagangan, penetapan harga, dan manipulasi lelang atau kolusi dalam tender

Pada pasal 22, persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa adalah kerja sama antara kedua belah pihak atau lebih secara terang-terangan maupun secara diam-diam. Persengkongkolan antara penyedia barang dan jasa dan pengguna barang dan jasa kerap sering terjadi dalam tender proyek pengadaan barang dan jasa Pemerintah.

42

Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat


(41)

(collusive tender) yang terjadi antar pelaku usaha, pemilik pekerjaan, maupun antar kedua pihak tersebut. Persengkongkolan penawaran tender (bid rigging) termasuk salah satu perbuatan yang dianggap merugikan negara, karena terdapat unsur manipulasi harga penawaran, dan cenderung menguntungkan pihak yang terlibat dalam persengkongkolan. Bahkan di Jepang, persengkongkolan penawaran tender dan kartel dianggap merupakan tindakan yang secara serius memberikan pengaruh negatif bagi ekonomi nasional.43

Bentuk-bentuk persengkongkolan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat kita kelompokan berdasarkan pihak-pihak yang terlibat dalam persekongkolan tersebut dan berdasarkan prilakunya, antara lain:44

a. persekongkolan yang terjadi antara pemilik/pemberi pekerjaan/panitia tender dengan peserta tender;

Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat, antara lain:

1. Persengkongkolan antar pihak (Vertikal), yakni persengkongkolan yang terjadi antara pelaku usaha dengan pemilik/pemberi pekerjaan/panitia tender atau dengan pihak-pihak tertentu. Persengkongkolan antar pihak meliputi:

b. antara pemilik/pemberi pekerjaan/panitia tender dengan produsen dan dengan peserta tender.

2. Persekongkolan antar peserta tender (horizontal), yakni persengkongkolan terjadi antara pelaku usaha dengan sesama pelaku usaha pesaingnya.

3. Persengkongkolan Vertikal dan Horizontal.

Merupakan persekongkolan antara panitia pengadaan barang dan jasa atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam proses tender. Salah satu bentuk persekongkolan ini adalah tender fiktif, dimana baik panitia tender, pemberi pekerjaan, maupun para pelaku usaha melakukan suatu proses tender hanya secara administratif dan tertutup.

Dan berdasarkan perilakunya, bentuk-bentuk persekongkolan antara lain sebagai berikut: 1. Melakukan pendekatan dan kesepakatan-kesepakatan dengan penyelenggara sebelum

pelaksanaan tender ;

2. Tindakan saling memperlihatkan harga penawaran yang akan diajukan dalam pembukaan tender diantara peserta;

3. Saling melakukan pertukaran informasi;

4. Pemberian kesempatan secara eksklusif oleh panitia atau pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada peserta tertentu;

5. menciptakan persaingan semu antar peserta; 6. Tindakan saling menyesuaikan antar peserta;

43

Adrian Sutedi. op cit . hal. 222 44

Draft Pedoman tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.


(42)

7. Menciptakan pergiliran waktu pemenang;

8. Melakukan manipulasi persyaratan teknis dan administratif.

Bid rigging adalah praktek anti persaingan yang bisa terjadi diantara para pelaku usaha yang seharusnya menjadi pesaing dalam suatu lelang tender pengadaan barang dan jasa. Secara sederhana bid rigging dapat dikatakan sebagai suatu kesepakatan yang menyamarkan adanya persaingan untuk mengatur pemenang dalam suatu penawaran lelang (tender) melalui pengelabuan harga penawaran.45

Pasal 22 tersebut jelas bahwa persekongkolan yang terjadi melibatkan semua pihak, baik antara pelaku usaha dengan pesaingnya, maupun pelaku usaha dengan pemberi kerja atau dengan panitia penyelenggara. Menurut Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 Tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha dan tidak sehat persekongkolan dalam pasal tersebut harus mengandung unsur-unsur:

Bid rigging dalam tender proyek ini sering dikaitkan dengan pengadaan barang dan jasa Pemerintah (Government Procurement). Namun, jangkauan UU No.5 Tahun 1999 dapat mencangkup tidak hanya kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah, tetapi juga termasuk kegiatan yang dilakukan oleh sektor swasta.

46

1. Unsur Pelaku Usaha.

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 5 yang berbunyi: Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. 2. Unsur Bersekongkol.

45

Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 45. 46


(43)

Bersengkongkol adalah kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan peserta pengadaan barang dan jasa tertentu.

Unsur bersengkongkol antara lain dapat berupa: a. kerjasama antara dua pihak atau lebih.

b. Secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian dokumen dengan peserta lainnya; dan/atau

c. Membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan; dan/atau d. Menciptakan persaingan semu; dan/atau

e. Menyetujui dan/atau memfasilitasi; dan/atau

f. Tidak menolak meakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu.

3. Unsur Pihak Lain.

Pihak lain adalah para pihak yang terlibat dalam proses tender yang melakukan persekongkolan tender pengadaan barang dan jasa, baik pelaku usaha sebagai peserta tender dan/atau subjek hukum diluar peserta tender.

4. Unsur Mengatur dan/atau Menentukan Pemenang Tender.

Mengatur dan/atau menentukan pemenang tender adalah suatu perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses tender untuk bersekongkol yang bertujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya dan/atau memenangkan peserta tender tertentu dengan cara-cara tertentu.

Masalah persekongkolan yang tidak sehat ini di dalam tender proyek pengadaan barang dan jasa Pemerintah sebenarnya sudah biasa dilakukan oleh para pihak yang terkait. Baik panitia lelang, pejabat di departemen setempat, dan pihak pengusaha swasta yang


(1)

PRAKTEK PERSENGKONGKOLAN TIDAK SEHAT DALAM

PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH

DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG

NO. 21 TAHUN 2000 TENTANG

PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA KORUPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Diperolehnya Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Nama : David Fransiskus M. Butarbutar NIM : 060200044

Jurusan : Hukum Pidana

DISETUJUI OLEH:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

(Abul Khair, S.H., M.Hum) NIP: 196107021989031001

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

(Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum., DMF) (Dr. Marlina, S.H., M.Hum.) NIP: 196305111989031001 NIP: 197503072002122002


(2)

Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan bimbingan-Nya lah saya dapat menyelesaikan skripsi ini yang mana menjadi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Universitas Sumatera Utara.

Penulis dengan pengetahuannya yang terbatas mencoba menyusun skripsi dengan judul “Praktek Persekongkolan Tidak Sehat Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Dikaitkan Dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pembeantasan Tindak Pidana Korupsi.”

Penulis juga tidak melupakan jasa-jasa para pihak yang membantu agar terselesaikannya skripsi ini, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M. Hum., DMF, selaku dosen pembimbing I penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Marlina, S.H., M. Hum, selaku dosen pembimbing II penyusunan skripsi ini. 3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Orang tua saya yang selalu membantu baik dukungan moril maupun materil. 5. Teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Dan kepada pihak lain yang turut membantu terselaikannya skripsi ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis sebagai manusia biasa menyadari dan merasa bahwa skripsi ini belum sempurna, karena itu penulispun terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun. Meskipun demikian penulis berharap bahwa skripsi ini dapat pula berguna bagi pihak-pihak lain yang memerlukannya.


(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………..……..i

Daftar Isi……….…….iii

Abstraksi………..…….v

BAB I Pendahuluan………..……1

A. Latar Belakang………..……...1

B. Rumusan Masalah……….…………. 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Penulisan………..….………8

D. Keaslian Penulisan……….……… 9

E. Tinjauan Kepustakaan……… 10

1. Definisi Pengadaan Barang dan Jasa……….……….... 10

2. Tata Cara Pengadaan Barang dan Jasa………....…... 13

3. Definisi Persengkongkolan Tidak Sehat………... 21

4. Definisi Korupsi……….……. 21

F. Metode Penelitian………...…… 25

G. Sistematika Penulisan……….………..… 27

BAB II PERSENGKONGKOLAN TIDAK SEHAT DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA DITINJAU DARI UU NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT... 29

A. Persengkongkolan Yang Tidak Sehat Dilihat Dari UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat………...………..29

B. Sanksi Hukum Bagi Pelaku Persekongkolan Tidak Sehat Ditinjau dari UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat………...………48

BAB III PERSEKONGKOLAN YANG TIDAK SEHAT DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA DILIHAT DARI UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI……….………..63


(4)

B. Sanksi Hukum Bagi Pelaku Persekongkolan Yang Tidak Sehat Dilihat Dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi………84

BAB IV PENUTUP……….……… ...……….96

A. Kesimpulan ………..…………..96

B. Saran ………...….98


(5)

ABSTRAKSI

Skripsi yang berjudul “PRAKTEK PERSEKONGKOLAN TIDAK SEHAT DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI” disusun dengan latar belakang semakin banyak praktek persengkongkolan yang tidak sehat didalam pengadaan barang dan jasa pemerintah yang dilakukan oleh oknum pegawai negeri atau pejabat publik dengan para pengusaha sebagai penyedia barang dan jasa. Pengaturan sanksi hukum yang kurang kuat berdasarkan undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan salah satu penyebab maraknya praktek persekongkolan tersebut. Maka dalam skripsi ini penulis akan melihat bagaimana peraturan dan sanksi hukum mengenai praktek persengkongkolan yang tidak sehat dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah dilihat dari UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan juga mengkaitkan permasalahan tersebut kepada UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Untuk mencapai tujuan dari permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode penelitian hukum pidana secara yuridis normatif dan menganalisa bahan hukum dengan metode kualitatif, yaitu penulis pertama-tama melakukan pendekatan permasalahan secara yuridis normatif dan yang kedua mengumpulkan data-data studi kepustakaan yang berupa buku-buku, undang-undang, dan inventaris lain yang berkenaan dengan permasalahan yang diangkat penulis.

Pengaturan hukum dan sanksi hukum yang diterapkan oleh UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sangatlah lemah,


(6)

dan sanksi pidana yang berupa denda saja, sedangkan sanksi pidana yang merupakan perampasan kemerdekaan seperti pidana penjara berdasarkan undang-undang tersebut tidak dapat diterapkan kepada pelaku persengkongkolan dalam pengadaan barang dan jasa. Kelemahan lain dari UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat ini adalah tidak dapat dijeratnya oknum pegawai negeri atau pejabat publik yang melakukan persengkongkolan pengadaan barang dan jasa. Tetapi persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa ini juga dapat kita kaitkan dengan undang-undang lain, seperti UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga mengatur mengenai persengkongkolan yang terjadi dalam pengadaan barang dan jasa tetapi berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1999 yang mengatur persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa dalam satu bab tertentu UU No. 20 Tahun 2001 mengatur permasalahan tersebut secara acak. Masalah korupsi yang berkanaan dengan persengkongkolan pengadaan barang dan jasa pemerintah antara lain mengenai pemberian uang suap, gratifikasi, merugikan keuangan negara, pemborong yang melakukan curang, pegawai negeri yang melakukan pemerasan dan turut serta dalam pengadaan barang dan jasa. Penerapan sanksi hukum terhadap pelaku persengkongkolan yang tidak sehat dalam pengadaan barang dan jasa berdasarkan UU No. 20 Tahun 2001 dirasa lebih baik, karena tidak hanya pemberian sanksi administratif saja yang dapat diberikan tetapi juga pidana penjara. UU No. 20 Tahun 2001 juga mengatur hukuman yang dapat diterima oleh oknum pegawai negeri atau pejabat publik yang melakukan persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa.


Dokumen yang terkait

Peranan Notaris Dalam Persekongkolan Tender Barang/Jasa Pemerintah Terkait Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

6 47 130

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

1 34 229

Analisis terhadap Briding Loan dalam Praktik Pengadaan Barang dan Jasa Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Junctis Peraturan Perundang-Undang tentang Pengadaan Barang dan Jasa.

0 2 37

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 8

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 1

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 1 28

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 36

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 3

Praktek Persekongkolan Tidak Sehat Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Dikaitkan Dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pembeantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 35

PENCANTUMAN SANKSI PIDANA KUMULATIF SEBAGAI SUATU PENAL POLICY DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN UNDANG UNDANG NO.20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NO.31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDA

0 0 16