Faktor KulturalAgama Islam dan Demokrasi

Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3 kematian. Artinya keinginan para teroris mengorbankan dirinya dalam suatu misi pembunuhan merupakan tujuan yang telah lama diinginkannya. Terbukti dengan keberanian untuk mengorbankan diri dalam suatu misi tertentu. Ada anggapan bahwa terorisme bunuh diri merupakan sebuah karakteristik terorisme kontemporer. Walter Reich menyatakan bahwa dari sekian banyak pengertian dan pola prilaku tentang terorisme diperlukan adanya revisi yang menyeluruh terhadap pola tindakan dalam hal counter terorism dan dalam memaknai itu sendiri. Sampai saat ini tidak terdapat konsensus dalam mendefinisikan terorisme, namun pendefinisian yang ada selalu tergantung dari kepentingan pihak-pihak tertentu yang dijadikan legitimasi dalam penanganan terorisme. Kompleksitas permasalahan terorisme dikarenakan tindakannya rahasia dan tidak terduga. Tidak dapat diketahui waktunya kapan, tempatnya di mana, pelakunya siapa dan apa yang menjadi target. Walter Reich dalam Origins of Terrorism 248:1971 mengatakan bahwa dalam kasus teror bunuh diri di Timur Tengah dengan alasan ideologi dirasa kurang tepat. Oleh karena teror berdasarkan ideologi cenderung lebih banyak terjadi di Eropa dan negara-negara Barat. Begitu pun alasan ekonomi kurang dapat diterima sebagai alasan teror bunuh diri di Timur Tengah, namun terlihat motivasi dalam bentuk indoktrinasi agama, situasi konflik, dan kekerasan yang terjadi cenderung lebih memungkinkan dijadikan alasan aksi tersebut. Reich menambahkan bahwa terorisme adalah masalah yang kompleks, penyebab dan orang- orang yang terlibat di dalamnya beragam. Terjadinya perubahan dalam hal karakter terorisme menimbulkan kekaburan bagi para pemerhati terorisme. Bentuk terorisme konvensional seperti narco terrorism dan bentuk kekerasan yang terorganisir lainnya semakin sulit dibedakan. Dalam bukunya ”Agama sebagai Sumber Kekerasan” , Wim Bauken dan Karl Josef Kuschel menunjukkan bukti bahwa masih banyak kekerasan terjadi atas nama agama. Seperti teror atas nama Islam, perang antar umat Katolik Ortodoks dan Muslim. Namun buku tersebut juga menyatakan pendapat yang bertentangan bahwa seharusnya agama dapat menjadi pondasi etika yang kuat untuk mengatasi kekerasan. Diperkuat oleh Francois Houtart dalam tulisannya tentang ”Kultus Kekerasan Atas Nama Agama: Sebuah Panorama” hal.9. Ia mengatakan bahwa kandungan agama pada dasarnya non-violent dan manusialah baik secara individu maupun kolektif yang menyelewengkan maknanya. Rumadi sebagai koordinator Islam liberal menyatakan bahwa terlibat tidaknya agama dalam aksi terorisme merupakan persolaan interpretasi sebuah fakta. Ia menambahkan bahwa keterkaitan antar agama dan terorisme sebagai ”perselingkungan”. Agama memang bisa berselingkuh. Ibarat gadis cantik, banyak orang yang suka menggodanya dengan iming- iming dan kesenangan. Agama juga bisa digoda untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan fitrahnya. Seseorang yang menjadikan agama sebagai amunisi untuk melakukan terorisme pada dasarnya telah mendorong terjadinya perselingkuhan antara agama dengan pasangan yang ”tidak halal” yaitu terorisme. Bermacam faktor dapat dijadikan alasan yang dapat mempengaruhi aksi teror bunuh diri. Reich menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan memotivasi pelaku terorisme bunuh diri dalam melakukan aksinya.

a. Faktor KulturalAgama

Faktor ini dikatakan sangat mempengaruhi tindakan teror bunuh diri, cara mempengaruhinya berkaitan dengan norma dan harapan. Yaitu dengan menjelaskan norma-norma yang sesuai dengan kondisi di mana seseorang boleh melakukan aksi tersebut. Kedua dengan memberi harapan- harapan tentang apa yang akan terjadi dan diperoleh setelah kematian. Kebanyakan agama besar monotheisme, baik Islam, Kristen maupun Yahudi melarang usaha-usaha bunuh diri. Konsep mati syahid dalam agama Islam tidak bertolak belakang dengan agama Kristen dan Yahudi. Bila terbunuh dalam perang jihad maka dijanjikan kehidupan selanjutnya di surga sedangkan bunuh diri sama sekali dilarang. Makna mati syahid adalah seorang prajurit yang mati terbunuh di medan perang dan bukan yang membunuh dirinya sendiri. Banyak para tokoh agama mengatakan bahwa beragam itu mudah. Jalan ke surga lebih gampang dibandingkan ke neraka. Namun, menurut Reich kenyataan di atas berbeda. Beragama menjadi sangat susah. Jalan ke surga bukan ditempuh melalui 44 Subhilhar dan Indra K. Nst, Dunia Islam … keheningan ibadah, keberpihakan kepada yang lemah, tetapi harus ditempuh dengan cara meledakkan bom dan membunuh manusia yang lain. Belakangan kita disuguhi fakta bahwa Tuhan dan surga harus ditebus dengan darah dan nyawa. Dengan akal sehat maka sulit sekali untuk menerima cara ini sebagai jalan menuju Tuhan. b. Faktor Indoktrinasi Dalam faktor agama dijelaskan tentang norma kultural yang memperbolehkan tindakan teror bunuh diri dengan tujuan perjuangan kebenaran. Serta dijelaskan pula akan adanya balasan kebaikan dan kebahagiaan bagi relawan setelah kematian. Sedangkan dalam faktor indoktrinasi dilakukan dengan pengajaran tentang upaya penyerahan diri kepada sebuah ”otoritas transedental” yang menjanjikan kesenangan eskatologis diperkuat dengan dalil-dalil yang mendukung doktrin tersebut. Selain itu peranan pemimpin yang karismatik cukup dominan dalam menyampaikan nilai-nilai perjuangan. Pemimpin tersebut bisa dari militer, tokoh spiritual agama atau pemimpin politik. Apabila kedua faktor tersebut berjalan sendiri-sendiri maka kemungkinan relevansinya dengan aksi teror bunuh diri kurang dapat dipertahankan. Apakah semua orang Islam akan mau melakukan teror bunuh diri jika tidak ada yang mendoktrinasi. Dengan asumsi bahwa apabila faktor situasi dan kondisi tidak didukung oleh indoktrinasi agama maka aksi teror bunuh diri tidak akan terjadi. Dengan kata lain, indoktrinasi agama cukup menentukan seseorang melakukan aksi teror bunuh diri. Sebuah proses pendidikan di mana seorang diberikan keyakinan oleh para agen- agen berpengaruh yang sulit diketahui, bisa teman, guru, wartawan, dll. Cara lain yaitu dengan bujukan yang berorientasi pada pencapaian misi untuk bunuh diri dilakukan oleh pemimpin militer, politik atau agama yang karismatik. Dibanding dengan faktor lain, maka indoktrinasi merupakan faktor utama mengapa orang mau melakukan aksi bunuh diri. c. Faktor Situasi dan Kondisi Dalam situasi tertentu, kematian merupakan suatu alternatif pilihan yang memungkinkan. Pada saat menghadapi situasi yang ekstrim apabila alternatif lainnya adalah siksaan atau hukuman yang cukup lama, bunuh diri merupakan pilihan yang masuk akal pada saat itu. Masyarakat yang merasa buntu dan tanpa harga karena berbagai kondisi yang menyulitkan sangat rentan terhadap tindakan kekerasan. Bambang Harymurti menyatakan dalam suatu diskusi yang terangkum dalam buku ’Beyond Terroism” 21:2002, bagaimana belasan orang rela mati untuk suatu perbuatan yang menurut akal sehat kita aneh. Perbuatan tersebut hanya mungkin dilakukan oleh orang yang tidak memiliki harapan lagi. Harapan adalah natural enemy dari terorisme. Hidup ada karena ada harapan, oleh karena itu kelompok-kelompok yang termarjinalkan harus diberi harapan bahwa masih ada jalan lain untuk memenangkan perjuangan melalui jalan non violent. Apabila kondisi masyarakat selalu dalam tekanan, mereka akan merasa buntu tanpa harapan ketika harapan hidup telah hilang, berarti mati akan lebih baik bagi mereka, hidup ada karena harapan. Begitu juga kondisi yang dihadapi oleh rakyat Palestina antara keputus-asaan desperation, ketiadaan harapan sense of hopeless, kecemasan terhadap masa depan anxiety dan keinginan meneguhkan identitas strugle for identity. Kondisi tersebut tidak terlepas dari fakta bahwa generasi muda Palestina telah dibesarkan dalam lingkungan yang sarat dengan kekerasan violence, penghinaan humiliation , pelecehan harrashment dari aparat militer Israel dan perasaan diabaikan oleh masyarakat internasional. Lingkungan yang mencekam tersebut cenderung memotivasi untuk melakukan perlawanan terhadap Israel yang dianggap memiliki kemampuan militer lebih canggih dari Palestina. Maka akses teror bunuh diri menjadi altenatif pilihan guna perlawanan dan pertahanan.

d. Hubungan Antara Faktor Situasi Kondisi