Biologi reproduksi ikan pelangi merah (Glossolepis incisus Weber, 1907) di Danau Sentani

(1)

LISA SOFIA SIBY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Biologi Reproduksi Ikan Pelangi Merah (Glossolepis incisus, Weber 1907) di Danau Sentani adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Lisa Sofia Siby NRP C151060271


(3)

ABSTRACT

LISA SOFIA SIBY. Reproductive Biology of Red Rainbowfish (Glossolepis incisus, Weber 1907) in Sentani Lake. Under direction of M. F. RAHARDJO and DJADJA SUBARDJA SJAFEI

This study investigated the reproductive biology of red rainbowfish (Glossolepis incisus), endemic and small pelagic fish found in Sentani Lake. The reproductive biology study included sex ratio, gonad maturity, gonado somatic index, fecundity, spawning season, and length at first maturity (L50). This study was conducted in Sentani Lake for 5

months (December 2007-February 2008 and April-May 2008). Samples were caught monthly by using experimental gill nets with different mesh sizes. Gonad maturity stages were determined by the macroscopically and microscopically.

Based on the results of the research, Gonad maturity and GSI was higher at December, length at first maturity (L50) of female and male was 99,2 mm and 99,5 mm,

respectively. Sex ratio shows statistically significant at January – February (1 : 2,5; 1 : 3) with trends in more number of female. Fecundity ranged between 910-3122 eggs, no significant correlation between fecundity with total length and body weight, egg diameter range between 0,625 – 7,125 μm. Spawning patterns are partially and iteroparous.


(4)

RINGKASAN

LISA SOFIA SIBY. Biologi Reproduksi Ikan Pelangi Merah (Glossolepis incisus Weber, 1907) di Danau Sentani. Dibimbing oleh M. F. RAHARDJO dan DJADJA SUBARDJA SJAFEI

Penelitian biologi reproduksi ikan pelangi merah (Glossolepis incisus) telah dilakukan di Danau Sentani dari bulan Desember 2007 – Februari 2008 dan April-Mei 2008 dengan tujuan mengkaji biologi reproduksi yang meliputi tingkat kematangan gonad, ukuran pertama kali matang gonad, nisbah kelamin, indeks kematangan gonad, fekunditas dan diameter telur.

Pengambilan sampel ikan dilakukan dengan menggunakan jaring insang eksperimen dengan berbagai ukuran mata jaring. Sampel ikan yang diperoleh dianalisis dengan melakukan pengukuran panjang dan penimbangan berat tubuh. Selanjutnya dilakukan pembedahan untuk pengamatan morfologi gonad. Selain itu juga dilakukan pembuatan preparat histologi untuk pengamatan mikroskopis.

Berdasarkan hasil penelitian, TKG IV-V dan IKG tertinggi ditemukan pada bulan Desember, ukuran pertama kali matang gonad untuk ikan jantan 99,5 mm dan betina 99,2 mm. Nisbah kelamin ikan pelangi merah selama penelitian menunjukkan ketidakseimbangan pada bulan Januari – Februari (1 : 2,5; 1 : 3) dengan kecenderungan jumlah ikan betina lebih banyak. Fekunditas berkisar 910-3122 butir, terlihat korelasi yang lemah antara fekunditas dengan panjang total dan berat tubuh, kisaran diameter telur 0,625 – 7,124 µm. Berdasarkan sebaran diameter telurnya, maka ikan pelangi merah tergolong pemijah bertahap dan iteroparous.


(5)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(6)

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH

(Glossolepis incisus, Weber 1907)

DI DANAU SENTANI

LISA SOFIA SIBY

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(7)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Biologi reproduksi ikan pelangi merah (Glossolepis incisus Weber, 1907) di Danau Sentani

Nama : Lisa Sofia Siby

NIM : C151060271

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M.F. Rahardjo, DEA Dr. Ir. Djadja Subardja Sjafei

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Lulus : Tanggal Ujian : 26 Agustus 2009


(8)

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkatNya sehingga tesis dengan judul “Biologi Reproduksi Ikan Pelangi Merah (Glossolepis incisus, Weber 1907) dari hasil penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2007 hingga Februari 2008 dan bulan April hingga Mei 2008 dapat selesai.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. M.F. Rahardjo, DEA selaku dosen pembimbing I dan Dr. Djadja Subardja Sjafei selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan arahan dan masukan yang sangat berarti selama proses penyusunan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan pada Dr. Ir. Sulistiono, MSc sebagai dosen penguji luar komisi pembimbing yang telah memberikan masukan dalam ujian tesis untuk perbaikan tesis ini; Prof. Dr. Enang Harris, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Perairan atas bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa SPs IPB; Direktur Sekolah Tinggi Pertanian St. Thomas Aquinas melalui Ketua Jurusan Perikanan Sekolah Tinggi Pertanian St. Thomas Aquinas yang merekomendasikan penulis melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor; Keluarga Bapak Tungkoye di Yakonde; Keluarga Bapak Benyamin Tokoro di Simporo; Herlina Matuan S.Pi, Penaho Wuka S.Pi, Bapak Ruslan, Ir. Syarifah Nurdawati, Wahyu Yuliani S.Pi , Prawira Atmaja Tampubolon S.Pi, Shelly N.E. Tutupoho S.Pi yang membantu dalam penelitian di lapangan dan laboratorium maupun penyusunan tesis ini. Terima kasih kepada Bapak S. Siby, Mama N. Makanuay (almh), Suami Stevanus William de Keyzer S.Th dan putri tercinta Kezia Tanyaradzwa de Keyzer atas doa dan dukungan mereka.

Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat dalam pengelolaan dan pelestarian ikan pelangi di Papua, khususnya ikan pelangi merah di Danau Sentani.

Bogor, Agustus 2009


(10)

RIWAYAT HIDUP

LISA SOFIA SIBY. Lahir di Jayapura, 30 Maret 1972 sebagai anak pertama dari lima orang anak pasangan Bapak Sosthenes Siby dan Ibu Neltje Makanuay (almh). Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang, lulus tahun 2001. Kesempatan melanjutkan studi program magister sains di Program Studi Ilmu Perairan IPB diperoleh pada tahun 2006.

Sejak tahun 1995, penulis bekerja di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jayapura. Selanjutnya tahun 2001, penulis mengabdi sebagai staf pengajar pada Jurusan Perikanan di Sekolah Tinggi Pertanian St. Thomas Aquinas, Jayapura.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….………. ii

DAFTAR GAMBAR ……….. iii

DAFTAR LAMPIRAN ……….……… iv

1 PENDAHULUAN ……….……….. 1

1.1 Latar Belakang ………. 1

1.2 Tujuan dan Manfaat ……….. 2

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Klasifikasi dan Deskripsi ikan ………. 3

2.2 Pemijahan Ikan ……… 4

2.3 Nisbah Kelamin Ikan Pelangi ………. 6

2.4 Kematangan Gonad Ikan Pelangi ……….. 6

2.5 Fekunditas ..……….. 7

3 METODE PENELITIAN ………. 9

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ..………. 9

3.2 Bahan dan Alat Penelitian ………. 9

3.3 Metode Pengumpulan Data ……… 9

3.4 Analisis Laboratorium ……….. 10

3.5 Analisis Data ..……….. 11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN …..………. 15

4.1 Hasil ………..……….. 15

4.2 Pembahasan ……… 31

5 SIMPULAN DAN SARAN …..……… 40

5.1 Simpulan …..………. 40

5.2 Saran ………. 40

DAFTAR PUSTAKA ……….. 41

LAMPIRAN ..………. 48

DAFTAR TABEL Halaman 1. Pengukuran kualitas air ……….. 10

2. Kisaran parameter kualitas air di Danau Sentani selama penelitian .. 15 3. Jumlah hasil tangkapan, kisaran panjang dan berat ikan pelangi


(12)

merah (Glossolepis incisus) tiap bulan pengamatan ……… 18 4. Sebaran hasil tangkapan berdasarkan stasiun penelitian ……….. 19 5. Kisaran faktor kondisi ikan pelangi merah selama penelitian …….. 21 6. Faktor kondisi ikan pelangi merah berdasarkan TKG ………. 22 7. Nisbah kelamin ikan pelangi merah berdasarkan bulan pengamatan. 22 8. Nisbah kelamin berdasarkan kelas panjang total ……… 23 9. Nisbah kelamin ikan pelangi merah matang gonad (TKG IV-V)

pada tiap bulan pengamatan ……….. 23

10. Nisbah kelamin ikan pelangi merah matang gonad pada tiap

stasiun penelitian ……….. 24

11. Perkembangan gonad secara makroskopis dan mikroskopis gonad

ikan pelangi merah jantan (Modifikasi Pusey et al., 2001) ... 27 12. Perkembangan gonad secara makroskopis dan mikroskopis gonad

ikan pelangi merah betina (Modifikasi Pusey et al., 2001) ……….. 27 13. Indeks Kematangan Gonad ikan pelangi merah selama penelitian… 28 14. Indeks Kematangan Gonad berdasarkan stasiun ……….. 29


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Ikan pelangi merah (Glossolepis incisus) ………. 3 2. Grafik jumlah curah hujan di Jayapura ……… 17 3. Sebaran ikan pelangi merah berdasarkan kelas ukuran panjang

total ……….. 19

4. Hubungan panjang berat ikan pelangi merah di Danau Sentani …… 20 5. Faktor kondisi ikan pelangi merah matang gonad (TKG IV-V) …… 21 6. Tingkat kematangan gonad berdasarkan waktu ……… 24 7. Gonad dan jaringan gonad ikan pelangi merah jantan pada

TKG I-IV ………. 25

8. Gonad dan jaringan gonad ikan pelangi merah betina pada

TKG II-V ……… 26

9. Persentase ukuran pertama kali matang gonad (L50) ……….. 28

10. Indeks Kematangan Gonad berdasarkan TKG ………. 29 11. Grafik hubungan fekunditas dengan panjang total, berat tubuh

dan berat gonad ………. 30

12. Sebaran diameter telur ikan pelangi merah yang tertangkap di


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta lokasi penelitian ……….. 48

2. Gambaran lokasi penelitian ……….. 49

3. Alat tangkap jaring insang (gill net) ……….. 50 4. Kategori perkembangan dan kematangan gonad ikan pelangi …….. 51 5. Pembuatan preparat histologi (Angka et al., 1990) ………. 52 6. Uji khi kuadrat terhadap nisbah kelamin ikan pelangi merah

(Glossolepis incisus) ………. 53

7. Frekuensi ukuran pertama kali matang gonad berdasarkan stasiun... 54 8. Frekuensi ukuran pertama kali matang gonad berdasarkan waktu


(15)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Danau Sentani dengan luas 9.360 ha terletak di Kabupaten Jayapura. Keanekaragaman sumberdaya hayati ikan air tawar di danau ini terdiri atas lima belas jenis ikan sehingga danau ini merupakan pemasok ikan air tawar untuk konsumsi penduduk di sekitarnya. Delapan jenis ikan diantaranya adalah ikan asli, salah satunya adalah ikan pelangi merah (Glossolepis incisus) yang merupakan ikan endemik di Danau Sentani (Allen, 1991) dan digemari sebagai ikan hias terutama ikan jantan yang berwarna merah cerah.

Pada tahun 1996, ikan pelangi merah telah terdaftar dalam Redlist IUCN sebagai spesies ikan yang mengalami ancaman kepunahan dengan status rentan (vulnerable A2ce) (IUCN, 2007). Diduga terjadi penurunan populasi ikan ini yang disebabkan kompetisi terhadap makanan dan habitat pemijahan dengan ikan introduksi yang ditemukan di danau ini seperti mata merah, tambakan, nila, nilem, gabus toraja, sepat siam, mas dan menurunnya kualitas lingkungan perairan Danau Sentani serta penebangan hutan untuk pembangunan jalan dan perluasan pemukiman yang mengakibatkan menurunnya luas tutupan hutan sebagai daerah tangkapan air (Allen, 1991; Allen et al., 2002; Polhemus et al., 2004).

Beberapa penelitian mengenai ikan pelangi merah ini telah dilakukan seperti taksonomi dan distribusi (Allen, 1991), pengaruh jenis pakan terhadap warna (Sulawesty, 1997), kekerabatan beberapa spesies ikan pelangi (Said et al., 2005) dan keanekaragaman genetiknya (Said dan Hidayat, 2005). Namun penelitian tersebut masih terbatas pada skala laboratorium, sedangkan informasi tentang ekologi dan biologi ikan pelangi merah di habitatnya belum tersedia.

Melihat seriusnya tekanan yang dihadapi ikan pelangi merah di habitatnya serta belum adanya informasi dasar menyangkut biologi reproduksinya, maka perlu dilakukan penelitian menyangkut biologi reproduksi ikan pelangi merah ini.


(16)

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji biologi reproduksi ikan pelangi merah di Danau Sentani. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dasar untuk pengelolaan sumberdaya ikan pelangi merah di Danau Sentani, terutama dalam upaya pelestarian dan pengembangannya.


(17)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Deskripsi

Klasifikasi ikan pelangi merah menurut Allen (1991); Nelson (2006) dan Fishbase (2009) sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Actinopterygii

Divisi : Teleostei

Super Ordo : Atherinea

Ordo : Atheriniformes

Famili : Melanotaeniidae

Sub Famili : Melanotaeniinae

Genus : Glossolepis

Spesies : Glossolepis incisus Weber, 1907

Nama umum : Red Rainbowfish, Pelangi Merah Irian (Inggris, Indonesia) Nama daerah : Ikan Kaskado, Heuw (Papua, Sentani)

Gambar 1. Ikan Pelangi Merah (Glossolepis incisus)

Famili Melanotaeniidae terdiri atas tujuh genera dan enam puluh delapan spesies (Nelson, 2006). Salah satu genusnya adalah Glossolepis, dengan daerah sebaran pada wilayah utara Papua dari Sungai Markham hingga sistem Sungai Mamberamo. Sebaran ikan pelangi merah (Glossolepis incisus) di Danau Sentani (Allen, 1991).

♂ ♀


(18)

Ikan ini dicirikan dengan tubuh yang pipih menyamping (compressed lateral), sisik yang besar, sirip punggung yang terbagi dua, sirip anal yang panjang dan linea lateralis yang tidak beraturan. Dimorfisme seksual terlihat jelas pada ikan jantan yang bertubuh lebih besar daripada ikan betina. Ikan inipun memiliki sifat dikromatisme seksual yang ditandai dengan warna tubuh ikan pelangi merah betina yang hijau kekuningan (olive) hingga kecoklatan dan ikan jantan yang berwarna merah cerah dengan pantulan keperakan pada kepala dan kedua sisinya. Ukuran panjang baku maksimum ikan pelangi merah jantan sekitar 120 mm dan betina sekitar 100 mm (Allen, 1991; Allen et al., 2000; Allen, 2001).

2.2 Pemijahan Ikan

Di daerah tropis, perubahan tinggi air sangat berpengaruh terhadap pemijahan ikan di sungai daripada di danau (McKaye, 1984 ; Lowe-McConnel, 1987 dalam Wootton, 1990). Reproduksi ikan pada musim kering saat banjir berkurang dan tinggi air relatif stabil dikenal sebagai rekrutmen aliran rendah (low flow recruitment hypothesis). Pola reproduksi pada kondisi aliran air rendah dan suhu meningkat banyak dilakukan oleh ikan yang berukuran kecil seperti Melanotaenia fluviatilis (famili Melanotaeniidae), Hypseleotris spp, Retropinna semoni dan Phylipnodon grandiceps di Australia yang memanfaatkan makanan berukuran kecil yang banyak terdapat pada kondisi air stabil (Humphries et al., 1999).

Pola lainnya ditunjukkan oleh tiga spesies ikan pelangi di bagian utara Australia yakni Melanotaenia eachamensis, M. splendida splendida dan Cairnsichthys rhombosomoides yang matang gonad pada ukuran kecil dan mengeluarkan telur per tumpukan (batch spawner). Sebagian besar aktivitas reproduksi ikan pelangi ini terjadi pada saat musim kering tetapi beberapa individu aktif bereproduksi sepanjang musim (Pusey et al., 2001).

Reproduksi saat musim basah seperti yang terjadi pada sebagian besar ikan tropis dikenal sebagai rekrutmen aliran tinggi (flood recruitment model) (Harris dan Gehrke, 1994). Kondisi seperti ini tergambarkan pada ikan pelangi sulawesi (Telmatherina celebensis) di Danau Towuti yang memijah tiga hingga empat kali selama siklus reproduksi tahunannya pada musim hujan (Nasution, 2005). Ikan pelangi M. splendida


(19)

splendida di bagian timur Australia memijah sepanjang musim pemijahan dengan puncak pemijahan sesaat sebelum dan selama air meninggi (banjir) dengan meletakkan telurnya lebih dari 200 butir pada tanaman air yang terendam dalam air selama lebih dari 2 minggu (Allen, 1991 dalam Hurwood dan Hughes, 2001). Reproduksi spesies ikan pada musim penghujan sebagai salah satu strategi agar larva ikan mendapatkan cukup makanan saat air meninggi (Humphries et al., 1999).

Menurut Lowe McConnel (1987) dalam Paugy (2002) terdapat dua tipe strategi pemijahan ikan yaitu pemijah total (total spawners), umumnya memiliki periode pemijahan tahunan yang pendek dan pemijah tumpukan telur (partial spawners), yang mengasuh anaknya dan memproduksi tumpukan telur dengan frekuensi yang berselang sepanjang tahun. Ikan Telmatherina ladigesi tergolong memijah bertahap (partial spawner) (Nasution et al., 2006); Selanjutnya dikatakan bahwa, umumnya famili Telmatherinidae tergolong pemijah bertahap (partial spawner).

Berdasarkan frekuensi pemijahan, ikan dibedakan menjadi semelparous yakni ikan yang memijah sekali kemudian mati dan iteroparous, ikan yang memijah berkali-kali (Murua dan Sabarido-Rey, 2003). Menurut Winemiller dan Rose (1992); Winemiller (1989) dalam Moreno-Amich et al. (2006), terdapat tiga strategi ikan dalam mempertahankan hidupnya yaitu periodic life-history strategy, spesies yang sekali atau beberapa kali memijah tiap tahun, waktu hidup yang lebih panjang, berukuran besar, fekunditas yang besar dan tidak mengasuh anaknya. Opportunistic life-history strategy, spesies yang memijah berkali-kali, masa pemijahan yang panjang, waktu hidup lebih pendek, berukuran kecil, fekunditas rendah, mengasuh anaknya dan ukuran telur yang kecil. Equilibrium life-history strategy, spesies yang mengasuh anaknya, fekunditas kecil dan ukuran telur yang besar dan keberhasilan hidup larva tinggi. Menurut McGuigan et al. (2005) ikan pelangi (Melanotaeniidae) tergolong pemijah eksternal dan tidak mengasuh anaknya (absence ofparental care).


(20)

2.3 Nisbah Kelamin Ikan Pelangi

Nisbah kelamin merupakan perbandingan antara ikan jantan dan ikan betina di dalam suatu populasi dengan perbandingan ideal adalah 1 : 1 yaitu 50 % ikan jantan dan 50 % ikan betina (Ball dan Rao, 1984). Tetapi seringkali terjadi penyimpangan dari perbandingan 1 : 1 yang disebabkan mortalitas karena penangkapan (Offem et al., 2008; Arslan dan Aras, 2007), ruaya pemijahan (Hashem, 1981 dalam Ilhan dan Togulga, 2007), pemangsaan (Alp dan Kara, 2007) dan faktor lainnya seperti suhu, cahaya, salinitas dan lingkungan sosial kehidupan ikan itu sendiri (Jobling, 1995). Masa menjelang dan selama ruaya untuk pemijahan, nisbah kelamin dapat berubah secara teratur. Pada awalnya ikan jantan mendominasi kemudian nisbah kelamin berubah menjadi 1 : 1 selanjutnya diikuti dengan dominasi ikan betina (Nikolsky, 1969). Ikan pelangi sulawesi (Telmatherina ladigesi) di Sungai Maros, Sulawesi Selatan memperlihatkan nisbah kelamin yang tidak seimbang (1 : 1,47) dengan jumlah ikan betina yang lebih banyak (Andriani, 2000). Selanjutnya dikatakan bahwa ketidakseimbangan ini terjadi karena mortalitas akibat penangkapan. Ikan pelangi arfak (Melanotaenia arfakensis) di Manokwari memperlihatkan perbandingan yang seimbang (1 : 1) dengan kecenderungan ikan betina lebih banyak (Manangkalangi dan Pattiasina, 2005). Penelitian mengenai reproduksi ikan Melanotaenia splendida fluviatilis di bagian tenggara Queensland, Australia yang dilakukan selama tahun 1981-1982 didapati pola nisbah kelamin yang tidak seimbang. Ikan betina mendominasi pada tahun 1981 dan pada tahun berikutnya didominasi oleh ikan jantan. Kondisi tersebut diduga sebagai bentuk strategi pemijahan ikan pelangi tersebut (Milton dan Arthington, 1984).

2.4 Kematangan Gonad Ikan Pelangi

Menurut Lagler et al. (1977) ada dua faktor yang memengaruhi kematangan gonad yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam meliputi perbedaan spesies, umur, ukuran serta sifat fisiologi ikan itu sedangkan faktor luar adalah makanan, suhu dan arus. Hasil penelitian Andriani (2000) mengenai ikan pelangi sulawesi (Telmatherina ladigesi) di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa kematangan gonad dipengaruhi oleh arus, suhu dan tesedianya makanan di habitat. Ikan pelangi Melanotaenia eachamensis, M. splendida


(21)

splendida dan Cairnsichthys rhombosomoides di bagian utara Queensland, Australia lebih banyak mencapai TKG IV dan V saat musim kemarau yang ditandai dengan meningkatnya suhu, arus relatif stabil dan tersedianya makanan yang cukup di alam (Pusey et al., 2001)

Selama perkembangan gonad, sebagian besar hasil metabolisme ditujukan untuk perkembangan gonad. Hal ini menyebabkan terjadi perubahan-perubahan dalam gonad. Umumnya pertambahan berat gonad pada ikan betina sebesar 10-25% dari berat tubuh dan 5-10% pada ikan jantan. Pengetahuan tentang tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui waktu pemijahan, ukuran pertama kali matang gonad, hubungannya dengan pertumbuhan ikan dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya (Effendie, 1997). Ikan pelangi dari bagian barat Australia tergolong ikan yang matang gonad sepanjang tahun (Pusey et al., 2001).

Perubahan dalam gonad dapat dinyatakan secara kuantitatif dengan menggunakan Indeks Kematangan Gonad (IKG). Indeks ini adalah suatu nilai dalam persen sebagai hasil dari perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonad dikalikan 100%. Nilai IKG ikan pelangi tergolong bervariasi bergantung pada lokasi dan musim (Milton dan Arthington, 1984; Pusey et al., 2001; Nasution, 2005; Nasution et al., 2006) dan strategi pemijahan (Harris dan Gehrke, 1994; Humphries et al., 1999).

2.5 Fekunditas

Fekunditas dapat beragam diantara spesies sebagai hasil adaptasi terhadap lingkungan habitat (Witthames et al., 1995 dalam Murua et al., 2003), umur ikan, ukuran telur, makanan, dan musim (Nikolsky, 1963). Fekunditas relatif pada ikan Brycinus nurse di Waduk Asa, Nigeria lebih rendah dibanding spesies yang sama di Ivory Coast. Namun rata-rata fekunditas mutlak lebih tinggi pada populasi B. nurse di Nigeria dibandingkan di Ivory Coast. Variasi dari hal tersebut disebabkan oleh perbedaan lokasi geografis dari populasi, sehingga memengaruhi perbedaan habitat hidup (Saliu dan Fagade, 2003). Bahkan dalam stok populasi, fekunditas bervariasi tahunan, menghadapi perubahan-perubahan dalam waktu yang panjang memperlihatkan hasil yang proporsional pada ukuran dan kondisi ikan. Ikan yang berukuran besar menghasilkan fekunditas yang tinggi baik absolut maupun relatif berkaitan dengan berat tubuh. Ikan betina pada kondisi yang


(22)

lebih baik menghasilkan fekunditas yang tinggi (Kjesbu et al., 1991 dalam Murua dan Sabarido-Rey, 2003). Ukuran dan kondisi ikan adalah parameter kunci untuk mengkaji fekunditas pada level populasi. Fekunditas pada ikan Melanotaenia splendida splendida berkaitan erat dengan ukuran ikan. Ikan dengan panjang 40 mm menghasilkan sekitar 370 telur. Demikian juga pada ukuran 70 mm menghasilkan sekitar 1655 telur (Pusey et al., 2001).

Perubahan dalam faktor lingkungan seperti suhu dan ketersediaan makanan berpengaruh pada tingkah laku dan metabolisme ikan. Menurunnya kondisi dapat mengakibatkan penurunan fekunditas yang direfleksikan dalam rendahnya jumlah oosit yang berkembang atau terjadi atresia. Pada kasus yang ekstrim, kondisi yang menurun dapat memicu kegagalan reproduksi yang mengakibatkan musim pemijahan terlewati (Bell et al., 1992; Livingston et al., 1997 dalam Murua et al., 2003).

Menurut Paugy (2002) terdapat hubungan yang berlawanan antara ukuran telur dan fekunditas. Fekunditas ikan Melanotaenia eachemensis berkisar antara 206-2126 butir dan kisaran diameter telur ikan M. eachemensis antara 1,207 mm – 1,324 mm (Pusey et al., 2001). Glossolepis multisquamatus pada rawa banjiran Sungai Sepik, Papua New Guinea memperlihatkan ukuran telur yang lebih besar. Diameter telur terbesar adalah 2 mm sedangkan ikan pelangi lainnya di wilayah tersebut adalah 1 mm. Hal ini diasumsikan sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi rawa banjiran dengan meningkatkan ukuran telur tetapi menurunkan fekunditas (Allen dan Cross, 1982; Milton dan Arthington, 1984; Merrick dan Schmida, 1984 dalam Coates, 1990).


(23)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di perairan Danau Sentani selama lima bulan dari bulan Desember 2007 hingga Mei 2008. Pengambilan sampel ikan dan pengamatan kualitas air dilakukan bersamaan.

Penentuan titik sampling dilakukan berdasarkan kondisi alam dan aktifitas manusia di Danau Sentani, sehingga ditetapkan enam stasiun penelitian. Stasiun I, di bagian barat laut Danau Sentani (Doyo Lama) merupakan wilayah tempat tinggal penduduk. Stasiun II, di bagian barat Danau Sentani, pada stasiun ini terdapat muara sungai kecil. Stasiun III di bagian barat Danau Sentani, wilayah ini masih diliputi hutan. Stasiun IV di bagian barat daya Sentani (Simporo) merupakan wilayah tempat tinggal masyarakat dan terdapat hutan rawa. Stasiun V di bagian selatan Danau Sentani (Abaar) merupakan wilayah pemukiman penduduk dan masih diliputi hutan. Stasiun VI di bagian timur Danau Sentani (Waena). Stasiun ini merupakan area budidaya ikan karamba jaring apung dan pemancingan (Lampiran 1 dan 2).

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan penelitian meliputi ikan sampel, paraform 4% untuk mengawetkan ikan dan bahan-bahan untuk analisis kualitas air. Alat yang digunakan dalam penelitian meliputi jaring insang eksperimen dengan ukuran mata jaring ½ inci, 1 inci, 1¼ inci, 1½ inci , 2 inci masing-masing berukuran panjang 4 m dan tinggi 2 m (Lampiran 3), alat bedah, mikroskop, timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g dan 0,0001 g, kaliper vernier untuk mengukur panjang ikan dengan ketelitian 0,01 mm dan alat pengukur kualitas air.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Pengukuran kualitas air dilakukan di setiap stasiun bersamaan dengan pengambilan sampel ikan. Parameter yang diamati meliputi parameter fisika dan kimia. Alat dan metode pengukuran parameter kualitas air yang dilakukan selama penelitian ditampilkan pada Tabel 1.


(24)

Tabel 1. Pengukuran Kualitas Air

Paramater Alat dan Metode Satuan Lokasi

Suhu Termometer 0C in situ

Kecerahan Cakram Secchi cm in situ

Alkalinitas Titrasi mg/l CaCO3 in situ

pH pH meter - in situ

Oksigen terlarut DO meter mg/l in situ

Karbondioksida Titrasi mg/l in situ

Sampel ikan ditangkap dengan menggunakan jaring insang eksperimen dengan ukuran mata jaring ½ inci, 1 inci, 1¼ inci, 1½ inci dan 2 inci masing-masing satu buah dengan panjang 4 m dan tinggi 2 m yang dipasang pada sore hari (16.00) dan diangkat pada pagi hari (06.00). Cara pemasangan jaring dilakukan pada setiap stasiun dari arah pantai ke perairan bebas. Ikan yang tertangkap dipisahkan berdasarkan stasiun penelitian dan jenis kelamin. Selanjutnya ikan sampel diawetkan dalam paraform 4 %.

3.4 Analisis Laboratorium

Analisis laboratorium dilakukan di laboratorium Bio Makro I FPIK IPB meliputi penimbangan berat ikan dengan menggunakan timbangan digital berketelitian 0,01 g. Identifikasi jenis ikan berdasarkan karakter morfometrik dan meristik berdasarkan Allen (1991); Kottelat et al. (1993); Wiecaszek et al. (2007) dengan menggunakan kaliper vernier dengan ketelitian 0,01 mm. Ikan sampel kemudian dibedah menggunakan alat bedah lalu gonadnya diambil dan diawetkan dalam paraform 4 %.

Penentuan tingkat kematangan gonad berdasarkan morfologinya mengacu pada kategori perkembangan dan kematangan gonad ikan pelangi (Pusey et al., 2001) (Lampiran 4). Pengamatan gonad secara histologi dengan membuat preparat histologi gonad betina dan jantan mengacu pada pembuatan preparat histologi (Angka et al., 1990) (Lampiran 5) dan analisis histologi gonad menggunakan analisis histologi ikan berdasarkan Takashima dan Hibiya (1982); ikan Odonthestes bonariensis (Soria et al., 2008; Miranda et al., 2009). Selanjutnya gonad ditimbang dengan menggunakan


(25)

timbangan berketelitian 0,0001 g. Analisis fekunditas dilakukan dengan menghitung langsung telur dari ikan yang matang gonad (TKG IV–V) dan penghitungan dilakukan seluruhnya dengan cara diencerkan dengan air dan dihitung jumlah telurnya di bawah mikroskop (Effendie, 1979). Pengukuran diameter telur dilakukan dengan mengambil gonad ikan betina dari TKG III- V dari tiga bagian yang berbeda yaitu anterior, median dan posterior masing-masing sebanyak 100 butir, diletakkan berjajar pada gelas objek lalu diamati dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi mikrometer okuler, sebelumnya mikrometer okuler ditera dengan mikrometer objektif. Peneraan dilakukan dengan mengalikan nilai pengukuran diameter telur dengan hasil bagi antara mikrometer objektif dan okuler.

3.5. Analisis Data

Nisbah Kelamin

Perbandingan antara jumlah ikan jantan dan betina (nisbah kelamin) yang terdapat pada setiap stasiun dihitung menggunakan rumus :

X BJ

Keterangan :

X : Nisbah kelamin

J : Jumlah ikan jantan (ekor) B : Jumlah ikan betina (ekor)

Keseragaman sebaran nisbah kelamin dilakukan dengan uji khi kuadrat (Steel dan Torrie, 1993).

x oi eei

i n

i

Keterangan :

X2 : Sebuah nilai bagi peubah acak X2 yang sebaran penarikan contohnya menghampiri khi kuadrat

oi : Frekuensi ikan jantan dan betina yang teramati

ei : Frekuensi harapan yaitu frekuensi ikan jantan ditambah frekuensi


(26)

Hubungan Fekunditas dengan Panjang Total Tubuh, Berat Tubuh dan Gonad

Hubungan fekunditas dengan panjang total tubuh menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie, 1997) :

F = aLb Keterangan :

F : Fekunditas

L : Panjang total ikan (mm) a dan b : Konstanta

Persamaan hubungan fekunditas dengan berat tubuh dan berat gonad F = a + bBg

F = a + bBt Keterangan :

Bt : Berat tubuh (g) Bg : Berat gonad (g)

Untuk melihat keeratan hubungan antara keduanya ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi ( r ). Jika nilainya mendekati satu menandakan korelasi yang kuat. Jika nilai r-nya mendekati nol maka hubungan keduanya lemah (Walpole, 1992).

Indeks Kematangan Gonad

Nilai indeks kematangan gonad merupakan suatu nilai dalam persen yang didapatkan dari perbandingan berat gonad dengan berat ikan dikalikan 100 %. Nilai IKG yang terdapat pada setiap stasiun dianalisis menggunakan rumus yang diuraikan oleh Effendie (1979) :

IKG Bg

Bt

Keterangan :

IKG : Indeks kematangan gonad Bg : Berat gonad (g)


(27)

Ukuran Ikan Pertama Kali Matang Gonad

Untuk mendapatkan ukuran ikan pertama kali matang gonad dilakukan dengan memplotkan persentase ikan matang gonad dengan panjang totalnya. Panjang ikan minimum pada sekurang-kurangnya 50% dari ikan yang matang gonad (TKG IV dan V) dinyatakan sebagai ukuran ikan pertama kali matang gonad (Rao and Sharma, 1984; Offem et al., 2008).

Hubungan Panjang Berat

Hubungan panjang-berat menggunakan rumus sebagai berikut : W = aLb

Keterangan :

W : Berat tubuh ikan (g)

L : Panjang ikan (mm)

a dan b : konstanta

Persamaan ini untuk menduga pola pertumbuhan dari nilai b. Jika didapatkan b = 3 maka pertambahan berat seimbang dengan pertambahan panjang (isometrik). Bila didapatkan b < 3 maka pertambahan panjang lebih cepat dibanding pertambahan beratnya (allometrik negatif). Jika b>3 maka pertambahan berat lebih cepat dibanding pertambahan panjangnya (allometrik positif). Untuk menguji nilai b dilakukan uji t dengan hipotesis : H0 : b = 3;

H1 : b ≠ 3; t hitung :

.

Untuk penarikan keputusan dengan membandingkan t hitung dengan t tabel pada selang kepercayaan 95 %. Jika nilai t hitung > t tabel maka keputusannya menolak hipotesis nol (H0) tetapi jika t hitung < t tabel maka keputusannya menerima hipotesis nol (H0) (Steel dan Torrie, 1993).

Faktor Kondisi

Faktor kondisi dihitung dengan menggunakan sistem metrik berdasarkan hubungan panjang berat ikan sampel. Jika pertumbuhan ikan isometrik, maka rumus yang digunakan seperti berikut (Effendie 1979) :


(28)

Keterangan :

K : Faktor kondisi

W : Berat tubuh ikan (g)

L : Panjang total ikan (mm)

Jika pertumbuhan bersifat allometrik, maka faktor kondisi dihitung dengan rumus :

Kn aLw

Keterangan :

Kn : Faktor kondisi relatif W : Berat tubuh ikan (gram)

L : Panjang total ikan (mm)


(29)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil

4.1.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Hasil pengukuran dan pengamatan aspek kualitas air yang dilakukan di Danau Sentani selama penelitian meliputi suhu, kecerahan, alkalinitas, pH, oksigen terlarut dan karbondioksida di tiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kisaran parameter kualitas air di Danau Sentani selama penelitian

Parameter Satuan Stasiun

I II III IV V VI

Fisika

Suhu 0C 28,8 - 30 29 – 29,4 28,9 – 29,4 28 – 29,2 29 – 29,2 29 – 29,1

Kecerahan cm 350 – 520 300 – 430 200 – 450 450 – 550 200 – 350 250 – 450

Kimia

Alkalinitas mg /l CaCO3

104,89-112,06

109,99-110,95

104,80-105,97

103,99-105,99

105,90-115,12

108,48-110,80

pH 8 – 8,2 8 – 8,2 8 7,7 - 8 7,6 – 7,9 7,8 – 7,9

Oksigen terlarut mg/l 5,8 – 5,9 5,8 – 6,1 5,8 5,9 – 6,1 5,9 – 6,1 5,8 – 6,1

Karbondioksida mg/l 1,34 – 1,50 1,40 – 1,36 1,34 – 1,41 0,45 – 0,45 0,47 – 0,65 1,18 – 1,19

Keterangan : I : Stasiun Yakonde satu; II : Stasiun Yakonde dua; III : Stasiun Yakonde tiga IV : Stasiun Simporo; V : Stasiun Abaar; VI : Stasiun Waena

Kisaran suhu perairan selama penelitian adalah 28-300C. Kisaran suhu tidak menunjukkan perbedaan yang menonjol selama waktu penelitian dan masih mendukung untuk kehidupan organisme perairan. Suhu berperan dalam metabolisme organisme yang berpengaruh pada pertumbuhan, reproduksi dan aktifitas mencari makan. Ikan di perairan dapat mendeteksi suhu yang berubah dengan mengendalikan tingkah lakunya untuk mencari ruang dengan suhu yang sesuai (Wootton, 1992). Hasil pengukuran kecerahan berkisar 200 – 450 cm. Hal ini menunjukkan kondisi stasiun penelitian yang tergolong jernih. Alkalinitas di Danau Sentani tergolong tinggi dengan kisaran 103,99 – 115,12. Nilai alkalinitas yang baik bagi pertumbuhan organisme perairan berkisar 30 – 500 mg/l CaCO3.

Perairan alami dengan nilai alkalinitas > 40 mg/l CaCO3 tergolong perairan sadah (Boyd,

1988). Alkalinitas yang tinggi di Danau Sentani dapat dijelaskan dari pegunungan kapur yang terdapat di sekeliling Danau Sentani, saat musim hujan membawa kandungan


(30)

karbonat dari batuan yang dilewati air kedalam perairan. Nilai pH di Danau Sentani selama penelitian umumnya stabil dan berkisar 7,6 – 8,2. Sebagian besar organisme akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai sekitar 7 – 8,5. Toksisitas dari suatu senyawa kimia dipengaruhi oleh pH, senyawa ammonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan dengan pH rendah dan senyawa ini tidak bersifat toksik, sebaliknya pada suasana dengan pH tinggi banyak ditemukan ammonia tidak terionisasi dan bersifat toksik (Novotny dan Olem, 1994). Oksigen terlarut masih tergolong baik di Danau Sentani selama penelitian dengan kisaran 5,8 – 6,1. Menurut Boyd (1988) kisaran oksigen terlarut yang baik untuk kehidupan dan mendukung pertumbuhan ikan di perairan adalah > 5 mg/l. Sebagian besar oksigen terlarut pada perairan lakustrin seperti danau dan waduk merupakan hasil aktifitas fotosintesis mikrofita dan makrofita perairan (Tebbut, 1992). Karbondioksida di Danau Sentani selama penelitian masih berada dalam kisaran yang tidak merugikan bagi kehidupan organisme di danau ini. Kadar karbondioksida bebas yang mendukung untuk pertumbuhan ikan adalah < 5 mg/l. Fluktuasi nilai kadar karbondioksida bebas di perairan berkaitan dengan proses fotosintesis dan evaporasi (Boyd, 1988).

Curah hujan yang cenderung meningkat untuk daerah Sentani dan sekitarnya terjadi pada bulan November 2007 – April 2008, sedangkan yang terendah terjadi pada bulan September – Oktober 2007 dan Mei 2008. Curah hujan yang terus-menerus meningkat sejak bulan November 2007 – April 2008 menyebabkan perubahan pada tinggi air di danau (Gambar 2).


(31)

Sumber : BMKG Jayapura, 2007-2008

Gambar 2. Grafik jumlah curah hujan di Jayapura

Stasiun satu (Yakonde satu) terletak di bagian barat Danau Sentani. Kondisi alam di sekitar stasiun ini dicirikan dengan adanya muara sungai kecil dengan lebar 3 m, pada wilayah litoralnya terdapat hutan sagu dan sub litoralnya terdapat tumbuhan air yang tenggelam dari jenis Ipomea aquatica, Vallisneria sp.,Nymphoides sp..

Stasiun dua (Yakonde dua) terletak di dekat perkampungan penduduk. Wilayah litoral stasiun ini landai dan terdapat batu-batu karang sekeliling perkampungan. Tumbuhan air yang mendominasi di stasiun ini adalah Hydrilla verticillata, Vallisneria sp., Myriophyllum brasiliense dan Potamogeton sp..

Stasiun tiga (Yakonde tiga) memiliki wilayah litoral yang berukuran lebar 2 cm dan curam, wilayah supra litoral dibatasi dengan gunung kapur. Tumbuhan air yang terdapat pada stasiun ini didominasi oleh Vallisneria sp., Myriophyllum brasiliense dan Ceratophylum demersum.

Stasiun empat (Simporo) terletak di bagian tengah yang dicirikan dengan hutan rawa yang luas, warna air di sekitar stasiun ini merah tua dan terlihat adanya lapisan humus. Tumbuhan air yang terdapat pada stasiun ini yakni Ceratophylum demersum dan Myriophyllum brasiliense.

Stasiun lima (Abaar) terletak di wilayah tengah danau. Stasiun ini memiliki pantai berpasir abu-abu dan berbatu-batu kecil. Pada stasiun ini juga terdapat muara sungai kecil

0 50 100 150 200 250 300

Juli '07 Agst Sept Okt Nov Des Jan '08 Feb Mar Apr Mei Juni

Jumlah

 

curah

 

hujan

 


(32)

dan wilayah litoral ditumbuhi tanaman pandan. Terdapat satu jenis tumbuhan air yang mendominasi yakni Nesaeae sp.

Stasiun enam (Waena) merupakan perbatasan antara kota dan kabupaten Jayapura yang terletak di bagian timur danau. Pada daerah ini terdapat usaha budidaya ikan dalam karamba jaring apung dan tempat wisata pemancingan danau. Wilayah litoral danau terdapat tumbuhan air yang mendominasi yakni Eichornia crassipes, Hydrilla verticillata dan Ipomea aquatica.

4.1.2 Hasil Tangkapan dan Sebaran Ukuran Panjang

Selama penelitian, ikan pelangi merah yang tertangkap berjumlah 798 ekor yang terdiri atas 404 ikan jantan dan 394 ikan betina. Kisaran panjang total dan berat ikan pelangi merah adalah 88 – 120 mm ; 6,85 – 22,58 g. Kisaran panjang total dan berat ikan jantan 88 – 119 mm dan 7,23 – 22,58 g dan ikan betina berkisar 90 – 120 mm dan 6,85 – 22,58 g (Tabel 3). Pada bulan Maret, tidak dilakukan pengambilan sampel ke lapangan karena kendala teknis yaitu kekurangan bahan pengawet.

Tabel 3. Jumlah hasil tangkapan, kisaran panjang dan berat ikan pelangi merah (Glossolepis incisus) tiap bulan pengamatan

Bulan

Jantan Betina Kisaran

Panjang (mm)

Kisaran Berat (g)

Jumlah (ekor)

Kisaran Panjang (mm)

Kisaran Berat (g)

Jumlah (ekor) Des 88 - 119 7,80 – 22,40 177 90 - 117 6,90 – 18,28 153 Jan 88 -118 7,80 – 22,04 62 91 - 117 8,17 – 19,16 83 Feb 88 - 119 8,18 - 22,58 89 91 - 120 8,17 – 22,58 77 April 92 - 114 8,90 – 18,72 48 92 - 110 8,16 – 13,82 40 Mei 91 - 114 7,23 - 18,72 28 91 - 115 6,85 – 13,95 41 Jumlah 88 - 119 7,23-22,58 404 90 - 120 6,85 – 22,58 394

Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian berdasarkan stasiun penelitian terbanyak terdapat pada stasiun dua dengan jumlah ikan jantan 94 ekor dan betina 80 ekor dan yang terendah didapat pada stasiun lima dengan jumlah ikan jantan 16 ekor dan betina 25 ekor. Panjang total dan berat ikan pelangi merah yang terendah (88 mm; 6,85 g)


(33)

terta g) (T pada telah pada 4.1.3 mod angkap pada Tabel 4). Ta

Stasiun K P

1 9

2 9

3 8

4 8

5 9

6 8

Jumlah Berdasar a ukuran 97 h menurun d a panjang ba

Gambar 3 3 Hubungan

Berdasar del hubunga

Frekuensi

 

(ekor)

stasiun 3, 4

abel 4. Sebar Kisaran Panjang (mm) 91 - 115 8 90 - 115 8 88 - 112 8 88 - 117 7 94 - 107 8 88 - 119 7 rkan sebaran – 102 mm dari panjang aku ikan jant

. Sebaran ik n Panjang B rkan hasil an

an panjang b

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 88 ‐ 90

dan 6 sedan

ran hasil tang Jantan

Kisaran Berat (g) 8,26 – 17,15 8,69 – 18,72 8,18 – 17,50 7,23 – 22,40 8,90 – 15,61 7,80 – 22,58

n ukuran panj (Gambar 3) ikan pelan an 120 mm d

kan pelangi m Berat nalisis hubun berat untuk 91 ‐ 93 94 ‐ 96 97 ‐ 99 Sela ngkan yang gkapan berd Jumlah ekor) 57 94 84 83 16 70 404 jang total, ik ). Panjang ngi merah ya

dan ikan bet

merah berdas ngan panjang ikan jantan 97 ‐ 99 100 ‐ 102 103 ‐ 105

ang kelas panja

terbesar pad

dasarkan stas Kisaran Panjang (mm) 90 - 110 91 - 114 93 - 97 91 - 117 93 - 112 92 - 120

kan pelangi m total terting ang ditemuk tina 100 mm

sarkan kelas

g berat, ikan n adalah W

106 ‐ 108 109 ‐ 111

ang total (mm)

da stasiun 6 (

siun penelitia Betina

Kisaran Berat (g) 7,90 – 13,36 8,17 – 16,01 7,90 – 18,28 6,85 – 16,23 9,90 – 13,98 7,29 – 22,58

merah terban ggi ikan pe kan oleh All m.

ukuran panj

n pelangi me W = 6 x 10-6

112 ‐ 114 115 ‐ 117 118 120 Jantan

(119 mm; 22

an Jumlah (ekor) 6 73 1 80 8 73 3 69 8 25 8 74 394 nyak tertang elangi merah en (1991) y

jang total

rah mempun

6

L3,157 dan i

118 ‐ 120 Betina 2,58 gkap h ini yaitu nyai ikan


(34)

betina W = 9 x 10-5L2,528. Hubungan panjang berat menunjukkan nilai korelasi yang kuat untuk ikan jantan (r = 0,862) dan ikan betina (r = 0,746) (Gambar 4). Untuk menentukan pola pertumbuhan dilakukan dengan uji t. Hasil analisis uji t terhadap nilai b diperoleh ikan jantan menunjukkan pola pertumbuhan isometrik (t hitung < t tabel) yang berarti

pertambahan berat ikan jantan seimbang dengan pertambahan panjang dan ikan betina memperlihatkan pola pertumbuhan allometrik (t hitung > t tabel) yang berarti pola

pertumbuhan panjang tidak seimbang dengan pertambahan beratnya dan karena nilai b < 3 maka pola pertumbuhannya adalah allometrik negatif, yang berarti pertambahan panjang lebih cepat dibanding pertambahan berat. Nilai b yang rendah (b = 2,528) pada ikan betina memperlihatkan ikan betina lebih kurus dibanding ikan jantan (b = 3,157). Pola pertumbuhan ikan pelangi merah secara keseluruhan bersifat isometrik (b = 2,852).

Gambar 4. Hubungan panjang berat ikan pelangi merah di Danau Sentani 4.1.4 Faktor Kondisi

Berdasarkan pola pertumbuhan ikan pelangi merah secara keseluruhan yang bersifat isometrik, maka penentuan nilai faktor kondisi menggunakan rumus faktor kondisi. Kisaran rata-rata faktor kondisi ikan jantan adalah 1,003 – 1,019 dan betina

Jantan

Gabungan Jantan -Betina


(35)

1,058 – 1,212. Nilai rata-rata faktor kondisi ikan jantan dan betina yang tertinggi ditemukan pada bulan Desember (1,019 ± 0,186; 1,212 ± 0,129), sedangkan yang terendah untuk ikan jantan ditemukan pada bulan Januari (1,003 ± 0,084) dan ikan betina pada bulan Mei (1,058 ± 0,174) (Tabel 5).

Tabel 5. Kisaran faktor kondisi ikan pelangi merah selama penelitian

Bulan Jantan Betina

Kisaran Rata-rata Sb Kisaran Rata-rata Sb

Des 0,558 - 1,597 1,019 0,186 0,879 - 1,649 1,212 0,129 Jan 0,869 - 1,268 1,003 0,084 0,936 - 1,514 1,192 0,126 Feb 0,795 - 1,283 1,005 0,105 0,879 - 1,469 1,183 0,117 April 0,722 - 1,244 1,005 0,103 0,938 - 1,445 1,186 0,139 Mei 0,628 - 1,343 1,014 0,168 0,723 - 1,448 1,058 0,174

Keterangan : Sb : Simpangan baku

Nilai rata-rata faktor kondisi ikan pelangi merah jantan dan betina pada tingkat kematangan gonad IV-V yang tertinggi ditemukan pada bulan Desember (1,080 ± 0,140; 1,190 ± 0,111) (Gambar 5), nilai faktor kondisi pada bulan April-Mei 2008 bias karena sampel ikan pelangi merah matang gonad (TKG IV-V) yang ditemukan sedikit.

Gambar 5. Faktor kondisi ikan pelangi merah matang gonad (TKG IV-V) Faktor kondisi ikan pelangi merah pada tiap tingkat kematangan gonad memperlihatkan nilai bervariasi. Kisaran nilai faktor kondisi yang tertinggi baik pada ikan jantan maupun betina terdapat pada tingkat kematangan gonad empat (TKG IV) dan terendah pada TKG I (Tabel 6).

Tabel 6. Faktor kondisi ikan pelangi merah berdasarkan TKG

0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 1.200 1.400 1.600

Des Jan Feb

Faktor

 

Kondisi

Bulan

Jantan Betina


(36)

TKG Jantan Betina Kisaran Rata-rata Sb N (ekor) Kisaran Rata-rata Sb N (ekor)

I 0,686 -1,402 1,006 0,114 314 0,613 – 1,429 1,045 0,164 122 II 0,613 -1,276 0,996 0,121 56 0,592 – 1,447 1,085 0,113 145 III 1,990-1,262 1,089 0,104 9 0,766 – 1,292 1,092 0,102 81 IV 0,724-1,205 0,994 0,145 9 0,917 – 1,437 1,145 0,146 29 V 0,888-1,224 1,008 0,091 16 0,889 – 1,396 1,122 0,137 17 Keterangan : Sb : Simpangan baku

4.1.5 Nisbah Kelamin

Selama penelitian, ikan pelangi merah jantan yang tertangkap berjumlah 404 ekor (50,6%) dan betina 394 ekor (49,4%), sehingga secara keseluruhan nisbah kelamin ikan pelangi merah mengikuti pola 1 : 1. Dari uji khi kuadrat terhadap nisbah kelamin secara keseluruhan memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% [X2 hitung (1,02) < X2 tabel (db=1) (3,84)]. Pola perbandingan 1 : 1 juga terlihat pada uji khi

kuadrat terhadap nisbah kelamin per bulan pengamatan (Tabel 7).

Tabel 7. Nisbah kelamin ikan pelangi merah berdasarkan bulan pengamatan Bulan Jantan (ekor) Betina (ekor) Nisbah kelamin X2 hitung

Des 177 153 1,16 1,745 ns

Jan 63 84 0,75 3 ns

Feb 88 77 1,14 0,733 ns

April 48 40 1,2 0,727 ns

Mei 28 40 0,70 2,118 nS

Keterangan : ns : tidak berbeda nyata

Nisbah kelamin berdasarkan kelas panjang total ikan pelangi merah memperlihatkan nilai yang tertinggi pada kelas panjang 112-114 mm. Hasil uji khi kuadrat terlihat berbeda nyata pada kelas panjang 100 – 102 mm [x2 hitung (4, 86) > x2 tabel (3,84)] dan 112 – 114 mm [x2 hitung (9,85) > x2 tabel (3,84)] (Tabel 8).

Tabel 8. Nisbah kelamin berdasarkan kelas panjang total Selang Kelas Panjang

Total (mm)

Jantan (ekor)

Betina (ekor)

Nisbah Kelamin

X2 hitung

88 - 90 13 6 2,17 2,50ns

91 - 93 45 33 1,36 1,85ns

94 - 96 69 79 0,87 0,68ns

97 - 99 89 72 1,24 1,79ns


(37)

103 - 105 50 55 0,91 0,25ns

106 - 108 24 22 1,09 0,09ns

109 - 111 23 22 1,05 0,04ns

112 - 114 21 5 4,20 9,85s

115 - 117 4 8 0,50 1,33ns

118 - 120 2 1 2,00 0,50ns

Keterangan : s : berbeda nyata ; ns : tidak berbeda nyata

Nisbah kelamin ikan pelangi merah yang matang gonad (TKG IV-V) tertinggi diperoleh pada bulan Desember (1 : 1,56) dan yang terendah pada bulan Februari (1 : 0,3). Dari hasil uji khi kuadrat, nisbah kelamin pada tiap bulan pengamatan menunjukkan hasil yang tidak berbeda pada bulan Desember dan Mei dan berbeda nyata pada bulan Januari dan Februari, dimana jumlah ikan betina lebih banyak dari ikan jantan. Pada bulan April tidak dapat dianalisis karena bias akibat sampel yang tertangkap sedikit (Tabel 9).

Tabel 9. Nisbah kelamin ikan pelangi merah matang gonad (TKG IV-V) pada tiap bulan pengamatan

Bulan Jantan (ekor) Betina (ekor) Nisbah kelamin X2 hitung

Des 28 18 1,56 2,17 ns

Jan 10 25 0,40 59,46 s

Feb 3 10 0,30 14,13 s

April 0 2 0 2

Mei 1 1 1,00 0 ns

Keterangan : s : berbeda nyata; ns : tidak berbeda nyata

Berdasarkan hasil uji khi kuadrat nisbah kelamin ikan pelangi merah pada tiap stasiun penelitian terlihat mengikuti pola 1 : 1 kecuali pada stasiun 4, tidak ditemukan ikan yang matang gonad (Tabel 10, Lampiran 6).

Tabel 10. Nisbah kelamin ikan pelangi merah matang gonad pada tiap stasiun penelitian Stasiun Jantan Betina Nisbah Kelamin X2 hitung

1 11 14 0,8 3,6ns

2 9 13 0,7 3,1ns

3 10 13 0,8 3,3ns

4 0 0 0 0

5 8 10 0,8 2,6ns

6 4 6 0,7 1,4ns


(38)

4.1.6 Tingkat Kematangan Gonad

Analisis tingkat kematangan gonad menunjukkan bahwa ikan pelangi merah jantan yang matang gonad ditemukan pada bulan tertentu (Desember-Februari) sedangkan ikan betina pada bulan Desember-Mei dengan persentase yang berbeda-beda. Persentase tertinggi TKG V pada ikan jantan dan betina terdapat pada bulan Desember (0,31); (0,28) (Gambar 6).

Gambar 6. Tingkat kematangan gonad berdasarkan waktu

Penggolongan tingkat kematangan gonad ikan pelangi merah terbagi dalam lima tahap yaitu TKG I (belum matang), II (perkembangan awal), III (perkembangan remaja dan dewasa istirahat), IV (perkembangan akhir) dan V (bunting). Gambaran masing-masing tingkat perkembangan gonad ikan pelangi merah jantan dan betina secara morfologi maupun histologi dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8. Perkembangan gonad ikan pelangi merah jantan dan betina secara makroskopis dan mikroskopis diutarakan pada Tabel 11 dan 12.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Des Jan Feb Apr Mei

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Des Jan Feb Apr Mei

V IV III II I Jantan


(39)

Gambar 7. Keterang

Gonad dan j (skala bar : gan : A : sperm

jaringan gon 5 mm; 1 µm matid; B : sperm

nad ikan pela m; perbesaran matozoa; C dan

angi merah j n 200 x) n E : spermatog

antan pada gonia; D : sper

TKG I-IV rmatosit


(40)

Gambar 8. Gonad dan jaringan gonad ikan pelangi merah betina pada TKG II-V (skala bar : 5 mm; 5 µm; perbesaran 40 x)

Keterangan : A : sitoplasma; B dan D : nukleus; C : butir minyak; At : Atresia


(41)

Tabe

Tabe

el 11. Perke merah

el 12. Perke merah

mbangan go h jantan (M

mbangan go h betina (Mo

onad secara Modifikasi dar

onad secara difikasi dari

makroskopi ri Pusey et a

makroskopi i Pusey et al

is dan mikro al., 2001)

is dan mikro ., 2001)

oskopis gona

oskopis gona

ad ikan pela

ad ikan pela angi


(42)

4.1.7 mm. mata (Gam 4.1.8 pada wakt (Tab diseb Bula Des Jan Feb Apri Mei Keter betin

7 Ukuran Pe Ukuran t . Dari hasil ang gonad ( mbar 9; Lam

Ga 8 Indeks Ke

Berdasar a ikan jantan tu penelitian bel 13). Nil

babkan berat Tabel 1 an

Kisara 0,43 – 1 0,39 – 1 0,42 – 1 il 0,40 – 2 0,41 – 1 rangan : Sb : S Berdasar na meningka

ertama Kal terkecil ikan analisis panj (TKG IV da mpiran 7 dan

ambar 9. Pe ematangan G rkan waktu p n maupun bet n ditemuka lai IKG ika t gonad ikan 3. Indeks ke Jant an Rata-ra ,30 0,89 ,21 0,86 ,32 0,73 2,16 0,68 ,23 0,66 impangan baku rkan tingkat at sejalan de

0 10 20 30 40 50 60 70 9 Frekuensi   (%)

li Matang G n jantan yang njang total m an V) dipe

8).

ersentase uku Gonad penelitian, n

tina. Nilai ra an pada bula an pelangi m n betina lebih ematangan g

tan

ta Sb N 0,66 0,30 0,36 0,35 0,30 u kematangan engan menin

90‐92 93 ‐

Panj

Gonad g matang go minimum ika eroleh ikan uran pertama nilai rata-rata ata-rata IKG an Desembe merah betin h besar darip onad ikan pe

N (ekor) 177 0, 62 1, 89 1, 48 1, 28 0, n gonad, nil ngkatnya TK

95 96 ‐98

ang total (mm

onad adalah an pelangi m

jantan 99,5

a kali matan

a IKG yang G tertinggi ik er (rata-rata na lebih be pada ikan jan

elangi merah

Kisaran 85 – 2,38 61 – 2,66 65 – 3,56 54 – 2,22 91 – 2,32 lai IKG ikan KG. Pada p

8 99 ‐101

)

90 mm dan merah yang m

mm dan b

g gonad (L50

g ditemukan an jantan da

0,89 ± 0,66 sar dibandin ntan.

h selama pen Betina Rata-rata 2,29 2,12 1,86 1,99 1,63 n pelangi me penelitian in

jantan betina

n ikan betina mencapai 50 betina 99,2 m

0)

bervariasi b an betina sela 6; 2,29 ± 0, ng ikan jan

nelitian

Sb N (ek 0,68 153 0,37 83 0,58 77 0,24 40 0,64 41 erah jantan ni, terdapat s

n a a 92 0 % mm baik ama ,68) ntan kor) 3 3 7 0 1 dan satu


(43)

ekor ikan betina TKG V yang mengeluarkan kelompok telur sehingga tidak dapat dilakukan analisis (Gambar 10).

Gambar 10. Indeks Kematangan Gonad berdasarkan TKG

Nilai IKG ikan jantan yang tertinggi ditemukan pada stasiun 1 (0,63 ± 0,46), 2 (0,88 ± 0,55) dan stasiun 3 (0,76 ± 0,33) dan ikan betina pada stasiun 1 (2,01 ± 0,62), 2 (2,02 ± 0,55), 3 (2,07 ± 0,49) dan 6 (2,11 ± 0,72) (Tabel 14).

Tabel 14. Indeks Kematangan Gonad Ikan Pelangi Merah Berdasarkan Stasiun

Stasiun Jantan Betina

Kisaran Rata-rata Sb N (ekor) Kisaran Rata-rata Sb N (ekor)

1 0,06 – 2,62 0,63 0,46 57 0,75 – 4,10 2,01 0,62 73

2 0,17 – 3,21 0,88 0,55 94 0,50 – 4,10 2,02 0,55 80

3 0,32 – 1,88 0,76 0,33 84 0,38 – 3,72 2,07 0,49 73

4 0,51 – 2,10 0,45 0,35 83 0,33 – 4,43 1,46 0,93 69

5 0,72 – 1,63 0,33 0,28 16 0,08 – 2,70 1,67 0,88 25

6 0,07 – 1,21 0,47 0,30 70 0,43 – 3,77 2,11 0,72 74

Keterangan : Sb : Simpangan baku

4.1.9 Fekunditas dan Diameter Telur

Fekunditas ikan pelangi merah dengan kisaran panjang total 95 – 120 mm dan berat tubuh 9,95 – 22,58 g sebanyak 910 – 3122 butir (rata-rata 1432 ± 451 butir). Hubungan antara fekunditas dengan panjang total adalah F = 528,5L0,206 (r = 0,045), fekunditas dengan berat tubuh F = 537,8W0,368 (r = 0,285) fekunditas dengan berat gonad F = 2040Wg0,440 (r = 0,678) (Gambar 11).

0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 9.000

I II III IV V

IKG (%) TKG Betina 0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000

I II III IV V

TKG


(44)

Gam pada ukur (14,6 ukur (12,4

mbar 11. Gra Berdasar a TKG III y ran 4,125-4 6%), 3,625-4 ran terbanya 4%) (Gamba afik hubunga rkan persenta yaitu 19,3%

,624 µm, T 4,124 (15,3% ak yaitu 3, ar 12).

an fekunditas ase sebaran % pada kelas TKG IV di %) dan 5,1 ,125-3,624

s dengan pan diameter tel s ukuran 3,1 itemui tiga 124-5,624 (1

(16,7%), 4

njang total, b lur ditemui d 125-3,624 µ

kelas ukur 10,9%) dan ,125-4,624

berat tubuh d dua kelas uk µm dan 24,9 ran terbanya TKG V terd (25,1%) da

dan berat gon kuran terban 9 % pada ke

ak 2,625-3, dapat tiga k an 4,625-5, nad nyak elas 124 elas 124


(45)

Gambar 12. Sebaran diameter telur ikan pelangi merah yang tertangkap di Danau Sentani

4.2 Pembahasan

4.2.1 Hubungan Panjang Berat

Pola pertumbuhan ikan pelangi merah jantan bersifat isometrik sedangkan ikan betina bersifat allometrik negatif, yang berarti pertambahan panjang lebih cepat dibanding pertambahan beratnya. Namun, secara keseluruhan pola pertumbuhan ikan pelangi merah di Danau Sentani bersifat isometrik. Pola pertumbuhan isometrik juga terlihat pada ikan rainbow selebensis (T. celebensis) di Danau Towuti ( b = 3,08; R2 = 0,81) (Nasution, 2007); ikan Atherina boyeri di danau kecil dari Sungai Segura (b = 3,26; R2 = 0,971) (Andreu-Soler et al., 2006).

Bentuk tubuh yang berbeda antara ikan pelangi merah jantan dan betina memengaruhi nilai b dalam hubungan panjang berat ikan ini. Ikan jantan memiliki bentuk tubuh yang pipih dan cenderung membulat sedangkan ikan betina memperlihatkan bentuk tubuh yang memanjang. Menurut Allen (1991) ikan pelangi (Melanotaeniidae) memiliki


(46)

sifat dimorfisme seksual yaitu bentuk tubuh yang berbeda antara ikan jantan dan betina. Sifat inipun terdapat pada ikan pelangi merah yang berpengaruh terhadap pola pertumbuhannya. Pola pertumbuhan yang berbeda antara ikan jantan dan betina dalam satu spesies juga terlihat pada ikan Atherina boyeri (Andreu-Soler et al., 2006).

4.2.2 Faktor Kondisi

Faktor kondisi ikan pelangi merah di Danau Sentani berkaitan dengan ketersediaan makanan dan reproduksi. Hal ini dapat dijelaskan dari tingginya nilai faktor kondisi ikan pelangi merah pada bulan Desember yang merupakan puncak musim pemijahan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan saat musim hujan yang memberikan keuntungan dengan tersedianya makanan yang cukup di habitatnya. Nilai faktor kondisi kemudian menurun sejalan dengan musim pemijahan yang telah berakhir. Nilai faktor kondisi yang berkaitan dengan ketersediaan makanan dan saat puncak pemijahan juga terlihat pada ikan rainbow selebensis (Telmatherina celebensis) di Danau Towuti (Nasution, 2007); ikan Atherina boyeri di Semenanjung Iberia menunjukkan fluktuasi nilai faktor kondisi yang berhubungan dengan musim (Andreu-Soler et al., 2003).

Ikan pelangi merah betina mempunyai nilai rata-rata faktor kondisi yang lebih tinggi dibanding ikan jantan. Hal ini dapat dijelaskan dari berat ovarium yang lebih tinggi daripada berat testes pada ukuran ikan yang sama.

Nilai rata-rata faktor kondisi ikan pelangi merah cenderung meningkat dengan meningkatnya TKG. Dalam proses reproduksi, oosit ikan pada TKG I belum berkembang karena proses vitellogenesis belum berjalan secara sempurna. Pada TKG yang lebih tinggi, proses vitellogenesis dalam pembentukan vitellogenin sebagai bahan dasar kuning telur telah berlangsung sempurna, sehingga ukuran oosit akan bertambah besar yang menyebabkan berat gonad bertambah. Dengan meningkatnya berat gonad ikan pelangi merah akan meningkatkan berat tubuh yang juga meningkatkan nilai faktor kondisi. Hal ini terlihat pada ikan pelangi merah pada TKG I - IV, selanjutnya nilai rata-rata faktor kondisi yang menurun pada TKG V menunjukkan berat gonad yang berkurang karena ikan pelangi merah telah memijah, kondisi ini memengaruhi berat tubuh yang ditunjukkan dari menurunnya nilai faktor kondisi. Menurut Anibeze (2000); Gomiero dan Braga


(47)

(2005) nilai faktor kondisi ikan yang meningkat selama musim hujan berkaitan erat dengan peningkatan kematangan gonad dan menurunnya nilai faktor kondisi berkaitan dengan alokasi energi untuk perkembangan dan pemijahan.

4.2.3 Nisbah Kelamin

Nisbah kelamin ikan pelangi merah dipengaruhi oleh tingkah laku ikan ini dalam bergerombol. Berdasarkan pengamatan, ikan jantan banyak terlihat di daerah litoral, sedangkan ikan betina yang terlihat jarang dan banyak terdapat di daerah yang lebih dalam dan terlindung pada tumbuhan air.

Variasi nisbah kelamin pada ikan pelangi merah di Danau Sentani diduga terjadi karena lingkungan kehidupan sosial ikan itu sendiri. Menurut Jobling (1995) nisbah kelamin ikan dapat dipengaruhi oleh kehidupan sosial ikan yaitu sifat menggerombolnya. Sifat menggerombol ikan Telmatherina ladigesi jantan yang terlihat lebih agresif di wilayah litoral yang terbuka juga memengaruhi variasi nisbah kelaminnya (Andriani, 2000). Selain itu, kecenderungan jumlah ikan betina matang gonad yang lebih banyak juga terlihat pada ikan M. splendida fluviatilis (Milton dan Arthington, 1984), G, multisquamatus (Coates, 1990), M. arfakensis (Manangkalangi dan Pattiasina, 2005).

Nisbah kelamin ikan pelangi merah yang bervariasi dapat dijelaskan dari tingkah laku ikan pelangi (Melanotaenia sp.) terutama sifat menggerombolnya dengan ikan pelangi yang berjenis kelamin sama dan pada habitat yang dikenalnya, yang berkaitan dengan responnya terhadap ketersediaan makanan dan keberadaan predator (Brown dan Warburton, 1997; Brown, 2001; Brown 2002; Brown, 2003; Hoare et al., 2004).

Nisbah kelamin ikan pelangi merah yang matang gonad bervariasi tiap bulan pengamatan dengan ikan betina lebih banyak pada bulan Januari-Februari (1 : 2,5 ; 1: 3). Kondisi ini menggambarkan satu ekor ikan pelangi merah jantan yang matang gonad pada bulan tersebut harus membuahi telur-telur dari tiga ekor ikan pelangi merah betina yang matang gonad yang dikeluarkan ke perairan.

Berdasarkan kelas ukuran, nisbah kelamin ikan pelangi merah relatif memiliki perbandingan yang seimbang antara ikan jantan dan betina. Ketidakseimbangan nisbah kelamin ikan pelangi merah terlihat pada ukuran 100 – 102 mm (1 : 2) dan 112 – 114 mm


(48)

(4 : 1). Hal ini menggambarkan pada ukuran tersebut yang juga merupakan ukuran reproduktif menunjukkan kecenderungan ketidakseimbangan nisbah kelamin yang dapat berpengaruh pada pembuahan ikan pelangi merah.

4.2.4 Pemijahan

Gonad ikan pelangi merah secara anatomis, testes dan ovarium terdiri atas satu lobus. Menurut Miller (1984) bahwa testes dan ovarium pada sebagian besar ikan Teleostei berupa sepasang lobus yang terletak di rongga tubuh. Namun, pada sebagian jenis ikan lain, testes dan ovarium yang berkembang hanya satu lobus. Lobus tunggal juga ditemukan pada ikan opudi (Telmatherina antoniae) di Danau Matano (Sumassetiyadi, 2003), ikan Atherina presbyter di Pulau Canary (Pajuelo dan Lorenzo, 2004), ikan rainbow selebensis (T. celebensis) di Danau Towuti (Nasution, 2005) dan ikan beseng-beseng (T. ladigesi) di beberapa sungai di Sulawesi Selatan (Nasution et al., 2006).

Reproduksi ikan pelangi merah di Danau Sentani terjadi saat ikan telah mencapai tingkat kematangan tertinggi pada ukuran pertama kali matang gonad (L50) pada ikan

jantan 99,5 mm dan betina 99,2 mm. Hal ini menggambarkan kematangan pada ikan pelangi merah jantan dan betina terjadi pada ukuran yang relatif sama.

Selain itu, pencapaian ukuran pertama kali matang gonad (L50) dapat juga berbeda

pada ikan jantan dan betina seperti yang ditemukan pada ikan Atherinisoma presbyteroides, A. elongata, A. wallacei, Allaneta mugilloides dan Pranesus ogilby (Ordo Atheriniformes) yang dicapai pada ukuran 40 – 85 mm (Prince dan Potter, 1983), Glossolepis multisquamatus betina pada ukuran 63 mm dan jantan 67 mm (Coates, 1990), Ikan Atherina presbyter jantan mencapai ukuran pertama kali matang gonad (L50) pada

ukuran 65,4 mm dan betina 73,1 mm (Moreno et al., 2005), Ikan bonti-bonti (Paratherina striata) jantan di Danau Towuti mencapai matang gonad untuk pertama kalinya pada ukuran 167,8 mm dan betina 146,1 mm (Nasution et al., 2008). Kondisi ini diduga berkaitan dengan pertumbuhan dan pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan serta taktik reproduksinya, akibat adanya perbedaan kecepatan tumbuh maka ikan-ikan yang berasal dari telur yang menetas pada waktu bersamaan bisa mencapai tingkat kematangan gonad pada umur yang berlainan.


(49)

Pengamatan ukuran ikan pertama kali matang gonad secara berkala dapat dijadikan indikator adanya tekanan terhadap populasi. Data berkala ukuran pertama kali matang gonad pada ikan pelangi merah belum tersedia, sehingga belum dapat dijadikan pembanding akan adanya tekanan terhadap populasi ikan ini, namun ukuran ikan ini telah menurun dari ukuran yang ditemukan oleh Allen (1991) yaitu panjang baku 120 mm pada ikan jantan dan ikan betina 100 mm. Menurut Lowe-Mc Connel (1990); Barbieri et al. (2004) dalam Moresco dan Bemvenuti (2006) ukuran pertama kali matang gonad pada ikan yang berbeda-beda dan terjadi pada ukuran yang lebih kecil merupakan taktik reproduksi ikan untuk memulihkan keseimbangan populasinya yang disebabkan oleh perubahan kondisi, faktor abiotik dan tangkap lebih.

Analisis tingkat kematangan gonad berdasarkan waktu pengamatan ditemukan ikan pelangi merah jantan dan betina pada TKG IV-V di bulan Desember yang merupakan musim penghujan. Kondisi serupa juga terjadi pada ikan rainbow selebensis (Telmatherina celebensis) di Danau Towuti yang mencapai TKG IV pada bulan Desember (Nasution, 2005). Bila dikaitkan dengan curah hujan daerah setempat, maka dapat dikatakan bahwa kematangan gonad dan pemijahan ikan pelangi merah pada musim penghujan di Danau Sentani berkaitan dengan faktor lingkungan yaitu ketersediaan makanan (Lagler et al., 1977; Wootton, 1990; Pusey et al., 2001; Andreu-Soler et al., 2006b; Bartulovich et al., 2006; Moresco dan Bemvenuti, 2006). Pada musim hujan, memberi keuntungan dengan tersedianya makanan yang cukup bagi larva dan anak-anak ikan untuk sintasan dan perkembangan anak ikan tersebut (Mc Kaye, 1984; Lowe-Mc Connel, 1991; Vazzoler, 1996 dalam Gomiero dan Braga, 2004). Ikan yang telah mencapai ukuran pertama kali matang gonad (L50) pada tingkat kematangan gonad yang

tertinggi lalu ditunjang oleh faktor lingkungan seperti suhu termasuk ketersediaan makanan yang cukup di alam dapat memengaruhi terjadinya pemijahan (Gomiero dan Braga, 2004).

4.2.5 Musim Pemijahan

Nilai IKG yang dikaitkan dengan jumlah ikan pelangi merah jantan dan betina yang matang gonad maka puncak pemijahan ikan pelangi merah terjadi saat musim hujan, yang


(50)

dapat menjamin ketersediaan makanan di alam. Ikan rainbow selebensis (Telmatherina celebensis) di Danau Towuti yang memijah tiga hingga empat kali saat musim penghujan pada musim reproduksi tahunannya terutama pada bulan November-Februari (Nasution, 2005); ikan Melanotaenia splendida splendida di bagian timur Australia dengan puncak pemijahan berkaitan dengan meningginya air saat musim hujan (Allen, 1991 dalam Huword dan Hughes, 2001), Glossolepis multisquamatus di Papua New Guinea memijah saat musim hujan (Coates, 1990). Ikan tropis yang memijah pada musim penghujan memberi keuntungan bagi anak-anak ikan untuk mendapatkan makanan dan terlindungi dari predator. Adaptasi pemijahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ketersediaan makanan, perubahan pada level dan kualitas air, interaksi interspesifik dan ketersediaan tempat memijah (Wootton, 1992; Harding, 1966; Lowe McConnel, 1969; Baylis, 1974; McKaye, 1977; Kramer, 1978; Zaret, 1980; Ward dan Samarakoon, 1981 dalam Saliu dan Fagade, 2003; Gomiero et al., 2009; Pacheco dan Da-Silva, 2009).

Nilai rata-rata IKG ikan pelangi merah betina selalu lebih besar daripada IKG ikan jantan pada TKG yang sama. Hal ini disebabkan pertambahan berat ovarium selalu lebih besar daripada pertambahan berat testes. Peningkatan berat ovarium berhubungan dengan proses vitellogenesis dalam perkembangan gonad, sedangkan peningkatan berat testes berhubungan dengan proses spermatogenesis dan peningkatan volume semen dalam tubulus seminiferi. Proses tersebut sangat bergantung pada ketersediaan makanan sebagai sumber energi untuk perkembangan somatik dan reproduksinya. Meningkatnya IKG ikan pelangi merah sejalan dengan meningkatnya TKG.

Nilai IKG ikan jantan dan betina yang tertinggi ditemukan di stasiun 1, 2 dan 3 (Yakonde). Hal ini dapat dijelaskan dari kondisi kualitas air yang masih baik di Yakonde serta karakteristik lingkungan seperti keberadaan tumbuhan air yang beragam sehingga menunjang reproduksi ikan pelangi merah. Tumbuhan air yang beragam menunjang pemijahan ikan pelangi karena sebagian besar ikan pelangi (Melanotaeniidae) tergolong phytophylous, dengan meletakkan telurnya pada tumbuhan air yang tenggelam dengan kedalaman 10 cm dengan bantuan filamen sebagai perekat, seperti yang ditemukan pada ikan Melanotaenia fluviatilis (Milton dan Arthington, 1984), M. splendida splendida


(51)

Allen, 1995 dalam Hurwood dan Hughes, 2001; Beumer, 1979; Ivantsoff et al., 1988 dalam Humphrey et al., 2003).

4.2.6 Pola Pemijahan

Sebaran ukuran diameter telur yang didapati mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar (0,624-7,624 µm) pada tingkat kematangan gonad ikan pelangi merah yang tertinggi tidak merata. Hal ini menunjukkan bahwa kematangan gonad ikan ini terjadi tidak serentak atau pemijah bertahap (partial spawner). Pola serupa juga ditemukan pada ikan M. splendida fluviatilis (Milton dan Arthington, 1984), ikan Cairnsichthys rhombosomoides, Melanotaenia eachamensis dan M. splendida splendida (Pusey et al., 2001), ikan beseng-beseng (T. ladigesi) (Andriani, 2000), opudi (T. antoniae) (Sumassetiyadi, 2003) dan ikan rainbow selebensis (T. celebensis) (Nasution, 2005).

Fekunditas ikan pelangi merah berkisar dari 910 – 3122 butir. Ikan rainbow selebensis (T. celebensis) di Danau Towuti memiliki fekunditas dengan jumlah berkisar dari 185 – 1448 butir (Nasution, 2005), Ikan Atherina boyeri di rawa Gomishan berkisar dari 874 - 2976 butir (Patimar et al., 2009), ikan Melanotaenia eachemensis berkisar antara 206-2126 butir, M. splendida splendida 370 - 1655 telur (Pusey et al., 2001). Bila dibandingkan dengan ikan pelangi lainnya fekunditas ikan pelangi merah tergolong tinggi, diduga ini berkaitan dengan strategi reproduksinya dengan meningkatkan fekunditas namun menurunkan ukuran diameter telur (Allen dan Cross, 1982; Milton dan Arthington, 1984; Merick dan Schmida, 1984 dalam Coates, 1990).

Fekunditas yang berbeda-beda diantara spesies merefleksikan strategi reproduksinya. Bahkan dalam spesies, fekunditas bervariasi sebagai hasil dari perbedaan adaptasi terhadap lingkungannya. Ikan yang berukuran besar menghasilkan fekunditas yang besar. Pada ukuran yang sama, ikan betina dalam kondisi yang baik menghasilkan fekunditas yang lebih tinggi. Fekunditas ikan yang baru pertama kali memijah berkecenderungan kualitas dan kuantitas telurnya masih rendah yang berpengaruh terhadap rekrutmennya bila dibandingkan dengan induk ikan yang telah berkali-kali memijah dengan fekunditas yang meningkat serta ukuran telur dan larva yang lebih besar. Kondisi ini akan menurun sejalan dengan mulai menurunnya kondisi ikan yang memengaruhi


(52)

kualitas dan kuantitas telur yang dihasilkan (ikan yang tua) (Bagenal, 1957; Wootton, 1984; Sabarido-Rey, 2003 dalam Murua et al., 2003; Froese dan Luna, 2004).

Fekunditas ikan pelangi merah memperlihatkan korelasi yang lemah dengan panjang total dan berat tubuh, sehingga panjang total dan berat tubuh ikan pelangi merah betina tidak dapat dijadikan penduga nilai fekunditas ikan pelangi merah. Korelasi yang lemah antara fekunditas dengan panjang total dan berat tubuh juga ditemukan pada pada ikan Atherina presbyter (Ordo Atheriniformes) di Pulau Canary (Moreno et al., 2005) dan ikan rainbow selebensis (T. celenbensis) di Danau Towuti (Nasution, 2005).

4.2.7 Upaya Pelestarian dan Pengembangan Ikan Pelangi Merah

Berdasarkan kajian aspek reproduksi ikan pelangi merah di Danau Sentani, maka perlu dilakukan upaya-upaya dalam pelestarian dan pengembangan sumberdaya ikan ini. Konsep pengelolaan sumberdaya perikanan ikan pelangi merah di Danau Sentani antara lain : penentuan ukuran ikan yang dapat ditangkap, pengaturan ukuran mata jaring yang dapat dioperasikan, pengaturan musim penangkapan sedangkan upaya pengembangannya dilakukan dengan cara penangkaran dan pembenihan serta mengembangkan upaya domestikasi sebagai dasar budidaya ikan pelangi merah.

Penentuan ukuran ikan yang boleh ditangkap berdasarkan pada pertimbangan ikan telah mampu bereproduksi. Ukuran ikan yang tertangkap pada L50 adalah 99,5 mm untuk

ikan jantan dan 99,2 mm pada ikan betina, sedangkan ukuran ikan terkecil yang tertangkap 88 mm. Berdasarkan ukuran tersebut, maka ukuran ikan yang tertangkap jauh lebih kecil dari ukuran ikan pertama kali matang gonad pada L50. Kondisi ini dapat mengganggu

rekrutmen ikan pelangi merah di Danau Sentani karena ikan ini belum diberi kesempatan sekali dalam hidupnya untuk menjamin kelangsungan spesiesnya melalui proses reproduksi. Berdasarkan hal tersebut, maka ukuran ikan pelangi merah yang ditangkap sebaiknya berukuran > 99 mm.

Penentuan ukuran ikan pelangi merah yang dapat ditangkap membawa akibat pada ukuran mata jaring yang digunakan. Ikan pelangi merah yang berukuran 99 mm umumnya memiliki tinggi tubuh 25 mm. Hal ini mengakibatkan ikan pelangi merah banyak tertangkap dengan alat tangkap jaring insang yang berukuran mata jaring 1 inci (2,5 cm),


(53)

sehingga untuk menjaga kelestarian ikan ini, maka ukuran mata jaring yang dioperasikan sebaiknya berukuran > 1 inci.

Pengaturan musim penangkapan didasarkan pada musim pemijahan dari ikan pelangi merah di Danau Sentani. Berdasarkan hasil penelitian ini, musim pemijahan ikan pelangi merah terjadi saat musim penghujan, sehingga pada musim tersebut wilayah danau yang merupakan area pemijahan dari ikan pelangi merah tidak diperkenankan melakukan kegiatan penangkapan. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka wilayah danau yang diusulkan adalah di bagian barat Danau Sentani (Yakonde) dengan pertimbangan bahwa terdapat ikan pelangi merah matang gonad yang tinggi di wilayah ini, kondisi kualitas air yang masih baik dan keragaman tumbuhan air yang tinggi.

Upaya-upaya pengembangan ikan pelangi merah di Danau Sentani yang dapat dilakukan untuk menjamin ketersediaannya di habitat meliputi : kegiatan penangkaran dan pembenihannya, pengembangan budidaya ikan ini dilakukan untuk menjamin ketersediaan ikan pelangi merah yang kontinyu untuk memenuhi kebutuhan komersil sebagai ikan hias. Selain upaya penangkaran tersebut, juga dikembangkan upaya domestikasi ikan pelangi merah sebagai dasar pengembangan budidaya ikan ini yang dimulai dari pembenihan hingga pembesarannya sehingga kepunahan ikan pelangi merah dapat dicegah.


(54)

5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan

Simpulan yang dapat dikemukakan dari hasil penelitian mengenai biologi reproduksi ikan pelangi merah di Danau Sentani adalah :

1. Nisbah kelamin ikan pelangi merah yang matang gonad di Danau Sentani menunjukkan kecenderungan jumlah ikan betina lebih banyak pada bulan Januari-Februari (1 : 2,5; 1 : 3).

2. Ukuran pertama kali matang gonad (L50) ikan pelangi merah jantan 99,5 mm dan

betina 99,2 mm.

3. Fekunditas berkisar 910-3122 butir; memiliki korelasi yang lemah dengan panjang total dan berat tubuh ikan.

4. Pemijahan ikan pelangi merah terjadi pada musim hujan, ikan ini tergolong pemijah bertahap (partial spawner) dan iteroparous.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan upaya domestikasi ikan pelangi merah di Danau Sentani sebagai langkah awal budidaya ikan ini untuk mencegah kepunahannya.

2. Perlu penelitian lebih lanjut yang menyeluruh terkait dengan ekosistem di Danau Sentani untuk menetapkan wilayah perlindungan ikan pelangi merah.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Allen GR. 1991. Field guide to the freshwater fishes of New Guinea. Christensen Research Institute. Madang. PNG

Allen GR, Hortle KG, Renyaan SJ. 2000. Freshwater fishes of the Timika Region New Guinea. PT. Freeport Indonesia Company.

Allen GR. 2001. A New species of rainbowfish (Glossolepis : Melanotaeniidae) from Irian Jaya. Indonesia. Fishes of Sahul. Journal of Australia New Guinea Fishes Association. 13 (3) : 766-775

Allen GR, Ohee H, Warpur M, Bawole R, Boli P. 2002. Fishes of the Yongsu and Dabra Areas, Papua. Indonesia. Di dalam : Suryadi S, Richards P, editor. A Biodiversity Assessment Yongsu-Cyclops Mountains and Southern Mamberamo Basin, Papua. Indonesia. Conservation International. Washington DC. 180p

Alp A, Kara C. 2007. Distribution pattern and morphological differences between the sexes of River Blenny, Salaria fluviatilis (Asso,1801) in the Ceyhan River Basin, Turkey. Turk. J. Zool. 31 : 113-120

Angka SL, Mokoginta I, Hamid. 1990. Anatomi dan histologi banding beberapa ikan air tawar yang dibudidayakan di Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Institut Pertanian Bogor.

Andreu-Soler A, Oliva-Paterna FJ, Fernandez-Delgado C, Torralva M. 2003. Age and growth of the sand smelt (Atherina boyeri) (Risso, 1810) in the Mar Menor coastal lagoon (SE Iberian Peninsula). J. Appl. Ichthyol. 19 (23) : 202-208

Andreu-Soler A, Oliva-Paterna FJ, Torralva M. 2006. A review of length-weight relationship of fish from the Segura River Basin (SE Iberian Peninsula) J. Appl. Ichthyol. 22 : 295-296

Andreu-Soler A, Oliva-Paterna FJ, Torralva M. 2006b. Seasonal variations in somatic condition, hepatic and gonad activity of sand smelt Atherina boyeri (Teleostei, Atherinidae) in the Mar Menor coastal lagoon (SE Iberian Peninsula) Folia Zool. 55 (2) : 151–161

Andriani, I. 2000. Bioekologi, morfologi, kariotip dan reproduksi ikan hias rainbow Sulawesi (Telmatherina ladigesi) di Sungai Maros, Sulawesi Selatan. Tesis. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor


(56)

Anibeze CIP. 2000. Length weight relationship and relative condition of Heterobranchus longifilis (Vallencienes) from Idodo River, Nigeria. Naga ICLARM Qtr. 23 (2) : 34-35

Arslan M, Aras MN. 2007. Structure and reproductive characteristics of two Brown Trout (Salmo trutta) populations in the Coruh River Basin, North Eastern Anatolia Turkey. Turk. J. Zool. 31 : 185-192

Bagenal TB. 1957. Annual variations in fish fecundity. J. Mar. Biol. Ass. 36 : 377 – 382

Ball DV, Rao KV. 1984. Marine Fisheries. McGraw-Hill Publishing Company Ltd. New Delhi. 470p

Bartulovich V, Glamuzina B, Conides A, Gavrilovic A, Dulcic J. 2006. Maturation, reproduction and recruitment of the sand smelt, Atherina boyeri Risso, 1810 (Pisces : Atherinidae) in the estuary of Mala Neretva River (southeastern Adriatic, Croatia). Acta Adriatica 47 (1) : 5-11

Brown C, Warburton K. 1997. Predator recognition and anti predator responses in the rainbowfish (Melanotaenia eachamensis). Behav. Ecol. Sociobiol. 41 : 61-68

Brown C. 2001. Familiarity with the test environment improves escape responses in the crimson spotted rainbowfish (Melanotaenia duboulayi). Animal Cognition 10 (1) : 1-10.

Brown C. 2002. Do female rainbowfish (Melanotaenia spp) prefer to shoal with familiar individuals under predation pressure? J. Ethol. 20 : 89-94

Brown C. 2003. Habitat-predator association and avoidance in rainbowfish (Melanotaenia spp). Ecology of Freshwater Fish 12 : 118-126

Boyd, CE. 1988. Water quality in warmwater fish ponds. 4th Printing. Auburn University Agricultural Experiment station. Alabama. USA. 359p

Coates D. 1990. Biology of the rainbowfish, Glossolepis multisquamatus (Melanotaeniidae) from the Sepik River floodplains, Papua New Guinea. Environmental Biology of Fishes. 29 : 119-126


(57)

Froese R, Luna S. 2004. No relationship between fecundity and annual reproductive rate in bony fish. Acta Ichthyologica et Piscatoria 34 (1) : 11 - 20

Gomiero LM, Braga, FMS.2004. Reproduction of species of the genus Cichla in a reservoir in southeastern Brazil. Braz. J. Biol. 64 (3B) : 613-624

Gomiero LM, Braga FM. 2005. The condition factor of fishes from two river basins in Sao Paulo state. Southeast of Brazil. Act. Sci. Marina 27 (1) : 73-78

Gomiero LM, Villares Junior GA, Nauos F. 2009. Reproduction of Cichla kelberi Kulander and Ferreira, 2006 introduced in artificial lake in southeastern Brazil. Braz. J. Biol. 69 (1) : 175 - 183

Harris JH, Gehrke PC. 1994. Modelling the relationship between streamflow and population recruitment to manage freshwater fisheries. Australian Fishery 6 : 28-30

Hoare DJ, Couzin ID, Godin GJ, Krause J. 2004. Context-dependent group size choice in fish. Animal Behaviour 67 : 155-164

Humphries P, King AJ, Koehn JD. 1999. Fish, Flow and Flood Plains : Links between freshwater fishes and their environment in the Murray-Darling River System, Australia. Environmental Biology of Fishes 56 : 129-151

Humphrey C, Klump DW, Pearson R. 2003. Early development and growth of the eastern rainbowfish Melanotaenia splendida splendida (Peters) I. Morphogenesis and ontogeny. Marine and Freshwater research 54 : 17 - 25

Huword DA, Hughes JM. 2001. Historical interdrainage dispersal of eastern rainbowfish the Atherton Tableland, North-Eastern Australia. Journal of Fish Biology 58 : 1125 - 1136

Ilhan DU, Togulga M. 2007. Age, growth and reproduction of tub gurnard Chelidonichthys lucernus Linn,1758 (Osteichthtyes:Triglidae) from Izmir Bay, Aegean Sea, Eastern Mediterraean. Acta Adriat. 48 (2) : 173 - 184

Jobling M. 1995. Environmental Biology of Fishes. Chapman and Hall. London.

Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, Wirjoatmodjo. 1993. Ikan air tawar Indonesia Barat dan Sulawesi. Periplus edition

Lagler KF, Bardach JE, Miller RH, Passino DM. 1977. Ichthyology. John Willey & Sons Inc. Toronto. Canada


(1)

(2)

Lampiran 5. Pembuatan preparat histologi (Angka et al., 1990) 1. Fiksasi

Sampel gonad dimasukkan ke dalam larutan fiksatif (bouin’s alcohol) yaitu campuran asam pikrat, formalin dan asam asetat pekat dengan perbandingan 15 : 5 : 1 selama 24 jam lalu dicuci dengan alkohol 70 % sampai warna kuning pada sampel gonad hilang. Sampel gonad dapat disimpan dalam larutan alkohol 70% untuk beberapa waktu lamanya sebelum proses dehidrasi.

2. Dehidrasi

Sampel gonad dipindahkan secara bertahap kedalam alkohol 80 %, 90 % dan 95 % masing-masing selama 2 jam. Selanjutnya sampel gonad dipindahkan kedalam alkohol 100 % selama semalam.

3. Clearing

Sampel gonad dipindahkan kedalam alkohol 100 % baru selama satu jam. Selanjutnya dipindahkan ke dalam alkohol-xylol, xylol I, xylol II dan xylol III masing-masing selama setengah jam.

4. Impregnasi

Sampel gonad dipindahkan kedalam xylol : parafin (1 : 1) selama 45 menit (didalam oven) pada suhu 65 – 700C.

5. Embedding

Sampel gonad dipindahkan kedalam parafin I, parafin II dan parafin II masing-masing selama 45 menit.

6. Blocking

Sampel gonad dikeluarkan dari parafin III, kemudian dicetak dalam cetakan dan didiamkan selama semalam.

7. Pemotongan Jaringan

Sampel gonad dipotong setebal 5-6 µm. Selanjutnya potongan sampel ditetesi larutan albumin gliserin agar sampel jaringan teregang. Objek gelas dengan sampel diatasnya ditaruh diatas hot plate bersuhu 400C agar agak kering.

8. Pewarnaan Jaringan

Objek gelas tersebut dimasukkan kedalam xylol I, xylol II, alkohol 100% I, 100 % II, 95%, 90%, 80%, 70% dan 50% masing-masing selama 3 menit, kemudian prerparat dicuci sampai berwarna putih. Selanjutnya diwarnai dengan hematoxylin selama 5-7 menit, dicuci dengan air kran mengalir. Setelah dicuci, kembali lakukan dehidrasi, caranya dengan memasukkan objek gelas tersebut kedalam alkohol 50%, 70%, 85%, 95%, 100% I, 100% II, xylol I, xylol II masing-masing selama 2 menit. Langkah berikutnya tetesi dengan canda balsam atau entellan dan ditutup dengan kaca penutup. Sampel dibiarkan selama semalam (12 jam) agar kering dan tidak ada udara antara gelas tutup dan gelas objek. Selanjutnya sampel dapat diamati di


(3)

Lampiran 6. Uji Khi kuadrat terhadap nisbah kelamin ikan pelangi merah (Glossolepis incisus)

Nisbah Kelamin Total

X o ee

Hipotesis :

H0 = Jantan : betina = 1 = 1 (seimbang) H1 = Jantan : betina = 1 (tidak seimbang)

X2 hitung = +

= 0,13

X2 tabel = (V;2-1) = 3,84

X2 hitung < X2 tabel maka terima H0 yang berarti nisbah kelamin seimbang Nisbah Kelamin ikan pelangi merah TKG IV-V pada tiap bulan pengamatan

Bulan Jantan (ekor) Betina (ekor) Nisbah kelamin X2 hitung

Des 28 18 1.56 2.17 ns

Jan 10 25 0.40 59.46 s

Feb 3 10 0.30 14.13 s

April 0 2 0 2 ns

Mei 1 1 1.00 0 ns

Keterangan : X2 tabel = (V, 2-1) = 3,84

Nisbah kelamin ikan pelangi merah pada tiap bulan pengamatan

Bulan Jantan (ekor) Betina (ekor) Nisbah kelamin X2 hitung

Des 177 153 1.16 1.745 ns

Jan 63 84 0.75 3 ns

Feb 88 77 1.14 0.733 ns

April 48 40 1.2 0.727 ns

Mei 28 40 0.70 2.118 ns

Keterangan : X2 tabel = (V, 2-1) = 3,84

s : berbeda nyata


(4)

Lampiran 7. Frekuensi ukuran pertama kali matang gonad berdasarkan stasiun

0 10 20 30 40 50 60 70 80

90‐92 93 ‐ 95

96 ‐ 98

99 ‐ 111

112 ‐ 114

115 ‐ 117

118 ‐ 120

Frekuensi

 

(%)

Panjang total (mm)

Stasiun 1 n = 25

0 10 20 30 40 50 60 70

90‐92 93 ‐95 96 ‐98 99 ‐ 111

112 ‐ 114

115 ‐ 117

118 ‐ 120


(5)

0 10 20 30 40 50 60 70

90‐92 93 ‐ 95 96 ‐ 98 99 ‐ 111 112 ‐ 114 115 ‐ 117 118 ‐ 120

Stasiun 3 n = 23

0 10 20 30 40 50 60

90‐92 93 ‐ 95 96 ‐ 98 99 ‐ 111 112 ‐ 114 115 ‐ 117 118 ‐ 120

Stasiun 5 n = 28

0 10 20 30 40 50 60 70

90‐92 93 ‐ 95 96 ‐ 98 99 ‐ 111 112 ‐ 114 115 ‐ 117 118 ‐ 120

Stasiun 6


(6)

Lampiran 8. Frekuensi ukuran pertama kali matang gonad berdasarkan waktu penelitian

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00

90‐92 93 ‐95 96 ‐98 99 ‐ 111

112 ‐ 114

115 ‐ 117

118 ‐ 120

Frekuensi

 

(%)

Panjang total (mm)

Des '07 n = 46

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00

90‐92 93 ‐95 96 ‐98 99 ‐ 111

112 ‐ 114

115 ‐ 117

118 ‐ 120

Jan '08 n = 35

0 10 20 30 40 50 60 70

90‐92 93 ‐95 96 ‐98 99 ‐ 111

112 ‐ 114

115 ‐ 117

118 ‐ 120

Feb '08