Kajian Tingkat Keamanan Susu Uht (Ultra High Temperature) Impor Terhadap Mikroba Bacillus cereus

(1)

(ULTRA HIGH TEMPERATURE) IMPOR

TERHADAP MIKROBA Bacillus cereus

DUMA SARI MARGARETHA HARIANJA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Tingkat Keamanan Susu UHT (Ultra High Temperature) Impor terhadap Mikroba Bacillus cereus, adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009 Duma Sari Margaretha Harianja NIM B251064164


(3)

ABSTRACT

DUMA SARI MARGARETHA HARIANJA. Study on Imported UHT Milk in the Safety level in against Bacillus cereus. Under direction of IDWAN SUDIRMAN and MIRNAWATI SUDARWANTO.

UHT (Ultra High Temperature) is a thermal process given to milk in excess of pasteurization with time and temperature combination capable of rendering the product commercially sterilized. This research describe the microbiological study of imported UHT milk product in Indonesia. Thirty samples of UHT milk products were tested with several assays. The UHT process perfection test (Aschaffenburg test), the antibiotic detection test through Blaettchen assay and Yoghurt test, Total Plate Count assay for microbial counting, and Bacillus cereus confirmation test.

B.cereus is an aerobic sporeformer that is commonly contaminate milk. B.cereus also could survive through heating process during UHT treatment. There were also report from Brazil on 1998 about a study where 34,17 % samples of UHT milk products have been detected positive for B.cereus contamination. The results of this research on imported UHT milk products showed 53,33% of the samples were true UHT milk, and 46,67% were sterilized milk The antibiotics residue test showed all of the samples did not contain antibiotics. The microbial detection test showed 20 samples (66,7%) of the 30 samples were contaminated by microbe. The B.cereus test showed 13,33% of the samples have been detected for B.cereus contamination.


(4)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya

tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB  


(5)

TERHADAP MIKROBA Bacillus cereus

DUMA SARI MARGARETHA HARIANJA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

 


(6)

(7)

NIM : B251064164  

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. drh. H. Idwan Sudirman Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(8)

RIWAYAT HIDUP

Duma Sari Margaretha Harianja, lahir di Kisaran, Kabupaten Asahan, Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 7 Oktober 1974 sebagai anak ke-4 dari 6 (enam) bersaudara yang dilahirkan oleh ibu Tiurma br. Situmorang dan ayah B.V. Harianja. Bersama keenam saudaranya dididik dan dibesarkan dengan penuh kehangatan dan kasih sayang oleh kedua orang tua

Pendidikan Taman Kanak Kanak di Santa Maria Pakan Baru tahun 1980,Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan tahun 1986 di SD Kalam Kudus Pakan Baru, SMP Putri Cahaya Medan tahun 1989, SMA Cahaya Medan tahun 1993, Lulus Sarjana Dokter Hewan Universitas Gadjah Mada tahun 1998 dan menjadi Dokter Hewan pada bulan Febuari tahun 1999. Penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil Gol III/b pada tahun 2000 bertugas di Pusat Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian Ragunan. Pada tahun 2004 diangkat menjadi kepala seksi Pelayanan Teknis Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta hingga saat ini. Pada bulan Juni 2007 diterima sebagai mahasiswa pasca sarjana program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB dengan dukungan biaya perkuliahan dari DIPA Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian.

Menikah dengan Ir. Baginda Siagian MSi pada tanggal 12 April 2003 dan telah dikaruniai 3 orang anak laki-laki Bernard, Bertrand, dan Bryan.


(9)

PRAKATA

Sembah sujud penulis haturkan kehadapan Tuhan Yesus Kristus Maha Pengasih dan Penyayang atas karunia-Nya sehingga tesis ini (dengan segala keterbatasannya) bisa terwujud seperti sekarang, setelah proses penyelesaiannya selama 5 (lima) bulan sejak penelitian ini dimulai pada bulan Agustus 2008. Penelitian ini dapat berjalan dengan baik atas dukungan dari berbagai pihak sehingga sepantasnya saya mengucapkan terima kasih.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada Dr. drh H. Idwan Sudirman dan Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto yang dengan ketulusan dan kebesaran hati telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya sebagai pendidik, ibu/bapak, dan sekaligus sahabat dalam membimbing, mengarahkan, dan memberikan masukan pada penulis dari awal sampai selesainya tesis ini. Disamping itu, penghargaan dan terimakasih saya tujuan pada Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi, Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS, atas dukungan moril dan motivasi yang diberikan sehingga tesis ini dapat terselesaikan pada waktunya. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Dr. drh. Ita Djuwita, M.Phill yang bertindak sebagai moderator pada seminar hasil penelitian dan drh. Usamah Afiff, MSc yang bertindak sebagai penguji luar pada ujian sidang tertutup. Merupakan suatu kebanggaan dan kehormatan bagi saya bahwa ditengah kesibukan bapak dan ibu masih menyempatkan waktunya untuk memberi masukan pengetahuan bagi kesempurnaan tesis ini.

Terima kasih penulis sampaikan pada seluruh staf pengajar tetap maupun tidak tetap yang telah mendidik saya selama menempuh masa perkuliahan di Program Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Ucapan terima kasih khusus saya sampaikan kepada Dr. drh. Maya Purwanti MS., Dr. drh. Widagdo, MP., yang telah memberikan banyak masukan khususnya dalam teknik pengambilan sampel dan analisis data.

Demikian juga, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Drh. Herwin Pisestyani, Bpk. Teddy Subarkah, Bpk. Yuhendra, Ibu Djulaeha, Bpk. Agus Sumantri, dan yang telah banyak membantu penulis di laboratorium selama masa penelitian di bulan Ramadhan 2008 dan Bpk. Agus Haryanto yang telah membantu banyak penulis meminjam ruangan untuk menyelesaikan penulisan ini. Juga kepada teman teman pascasarjana, khususnya program khusus Kesehatan Masyarakat Veteriner angkatan 2007.

Terima kasih juga disampaikan kepada Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian yang telah memberikan peluang, waktu, dan biaya perkuliahan di Pasca Sarjana IPB, serta Bpk. Drh. Hadi Wardoko, MM, Bpk. Indra Mulya, S.Sos., MM. (Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta), Bpk. Drh. Dwi Agus Sudaryanto atas izin dan dukungannya kepada penulis selama masa perkuliahan.

Kepada kedua orang tua yang melahirkan penulis serta kepada suami tercinta dan ketiga anak laki-laki ku yang terkasih (Bernard, Bertrand, dan Bryan) yang merelakan waktu dan perhatian sebagai istri maupun ibu, namun terus mendorong dan menyemangati secara moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini dengan baik. Demikian juga kepada keluarga besar Op. Pustaha Siagian dan Op. Ruth Harianja,


(10)

khususnya Kak Nenti dan Bang Basar yang telah memberikan dorongan semangat kepada penulis selama perkuliahan.

Akhirnya kepada semua pihak yang telah penulis sebutkan di atas dan pihak lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, dengan segala kerendahan hati penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Bogor, Januari 2009 DUMA SARI M. HARIANJA


(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Rumusan Permasalahan ... 6

Tujuan Penelitian ... 7

Manfaat Penelitian ... 7

Hipotesis Penelitian ... 7

TINJAUAN PUSTAKA Susu UHT (Ultra High Temperature) ... 8

Bacillus cereus ... 16

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ... 21

Bahan Penelitian... 21

Penentuan Angka Lempeng Total Pada (Total Plate Count) ... 22

Pengujian Bakteri Bacillus cereus ... 23

Yoghurt test ... 24

Blaettchen Test (Nach Kundrat)... 24

Pengujian Kesempurnaan Proses UHT ... 25

Analisis Data ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Kesempurnaan Susu UHT / Uji Kekeruhan (Aschaffenburg test) ... 26

Uji Blaettchen ... 28

Uji Yoghurt ... 28

Angka Lempeng Total (TPC)... 29

Uji Konfirmasi Bacillus cereus ... 30

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 36

Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

LAMPIRAN ... 43


(12)

Halaman

1. Jumlah Mikroba dan Racunnya yang dapat Menyebabkan Sakit ... 4

2. Gejala Keracunan Makanan serta Mikroba Penyebabnya ... 5

3. Suhu Pertumbuhan Minimal Beberapa Mikroorganisme ... 5

4. Proses pengolahan susu UHT ... 10

5. Kandungan Furosine dalam Susu Formula ... 12

6. Titik Kontrol Kritis Pada Proses pengolahan Susu ... 13

7. Tipe Bakteri yang sering Ditemukan dalam Tangki Penyimpanan Susu ... 14

8. Prevallensi cemaran B. cereus dalam susu dan Produknya ... 15

9. Kondisi yang Diperlukan Bagi Pertumbuhan Bacillus cereus ... 17

10.Karakteristik penyakit akibat B. cereus ... 19

11.Hasil Uji Kesempurnaan UHT ... 26

12.Perbandingan Hasil Uji Kesempurnaan Susu UHT ... 27

13.Jumlah Total Bakteri Dalam Sampel Susu UHT (cfu/ml) ... 29

14.Gambaran Hasil Uji Total Plate Count Terhadap Sampel Susu UHT Impor ... 30

15.Hasil Uji Diferensial B. cereus ... 31

16.Hasil keseluruhan uji terhadap 30 sampel susu UHT impor ... 32

17.Perbandingan Hasil Uji Kesempurnaan UHT dan Uji Konfirmasi B. Cereus ... 34

18.Perbandingan Hasil Uji Total Plate Count dan Uji Konfirmasi B. cereus.... 34


(13)

Halaman

1. Rangkaian mesin pelaksana proses UHT... ... 8 2. Gambaran B. cereus menggunakan mikroskop elektron. ... ... 16 3. Spora B. cereus ... 18


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta (BBKPSH) merupakan unit pelaksana teknis (UPT) lingkup Badan Karantina Pertanian yang berkedudukan di Bandara Udara Internasional Soekarno Hatta (BUISH). UPT ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 58 Tahun 2001 yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 354.1/Kpts/OT.210/6/2001, dan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 392/Kpts/OT.210/7/2001 tentang organisasi dan tata kerja Departemen Pertanian, serta Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 22/Kepmen/OT.140/4/2008 tentang organisasi dan tata kerja Balai Besar Karantina Hewan.

Perkembangan perdagangan dunia yang semakin pesat dan berkembang saat ini yang diikuti dengan meningkatnya arus lalu lintas hewan dan produk hewan menuntut kesiapan Karantina Hewan sebagai filter atau pertahanan pertamadalam melindungi dan melestarikan sumber daya hayati hewani dari ancaman Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) serta melindungi konsumen produk hewan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia dari kemungkinan masuknya bibit penyakit yang berasal dari produk hewan impor.

Mengingat besarnya frekwensi pemasukan serta arus produk Hasil Bahan Asal Hewan melalui BUISH yang ditujukan bagi konsumen di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, maka BBKPSH memegang peranan yang sangat penting dalam misinya melindungi masyarakat dari ancaman zoonosis (penyakit hewan yang dapat menular ke manusia) yang mungkin terbawa oleh hewan dan produk-produk asal hewan serta memberi rasa aman dan ketentraman batin konsumen.

Salah satu dari banyak produk Hasil Bahan Asal Hewan yang sering melintasi wilayah kerja BBKPSH adalah susu Ultra High Temperature (UHT). Menurut data rekapitulasi kegiatan operasional Balai Besar Karantina Hewan Soekarno-Hatta, sepanjang tahun 2006 telah terjadi arus impor susu UHT yang berasal dari luar Indonesia. Susu UHT yang telah masuk melalui karantina tersebut berasal dari lima negara, yang didominasi oleh produk asal negara


(15)

Australia (49.318 kg), diikuti oleh produk dari negara New Zealand (4009 kg), Belanda (500 kg), Perancis (359 kg), dan Jepang (9 kg) dari total susu UHT yang masuk sebesar 54.195 kg selama tahun 2006 (Badan Karantina Pertanian 2007).

Susu merupakan sumber gizi terbaik bagi manusia. Susu disebut sebagai makanan yang hampir sempurna karena kandungan zat gizi yang lengkap. Selain air, susu mengandung protein, karbohidrat, lemak, mineral, enzim-enzim, gas serta vitamin A, C dan D dalam jumlah memadai. Manfaat susu merupakan hasil dari interaksi dalam molekul-molekul yang terkandung di dalamnya (Astawan 2007).

Susu segar merupakan cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun (SNI 01-3141-1998). Dalam prakteknya sangat kecil peluang untuk mengkonsumsi susu segar seperti dalam definisi SNI tersebut di atas. Umumnya susu yang dikonsumsi masyarakat adalah susu olahan baik dalam bentuk cair (susu pasteurisasi, susu UHT) maupun susu bubuk. Susu UHT (Ultra High Temperature) merupakan susu yang diolah menggunakan pemanasan dengan suhu tinggi (135-145 0C) dan dalam waktu yang singkat selama 2-5 detik (Badan Standarisasi Nasional 1998).

Pemanasan dengan suhu tinggi bertujuan untuk membunuh seluruh mikroorganisme (baik pembusuk maupun patogen) dan sporanya. Waktu pemanasan yang relatif singkat dimaksudkan untuk mencegah kerusakan nilai gizi susu serta untuk mendapatkan warna, aroma, dan rasa yang relatif tidak berubah seperti susu segar (Astawan 2007). Secara keseluruhan faktor utama penentu mutu susu UHT adalah bahan baku, proses pengolahan dan pengemasannya. Pakan sapi harus bermutu baik dan mengandung zat-zat gizi yang memadai, bebas dari antibiotik dan bahan-bahan toksis lainnya. Diharapkan sapi perah akan menghasilkan susu dengan komposisi gizi yang baik. Mutu susu segar juga harus didukung oleh cara pemerahan yang benar termasuk di dalamnya pencegahan kontaminasi fisik dan mikrobiologi melalui sanitasi alat pemerah dan sanitasi pekerja.


(16)

Susu segar yang baru diperah harus diberi perlakuan dingin termasuk saat transportasi susu menuju pabrik. Pengolahan di pabrik untuk mengkonversi susu segar menjadi susu UHT juga harus dilakukan melalui proses sanitasi yang optimum yaitu dengan menggunakan alat-alat yang steril dan meminimalkan kontak dengan tangan. Seluruh proses dilakukan secara aseptik. Susu UHT dikemas secara higienis dengan menggunakan kemasan aseptik multilapis berteknologi canggih. Kemasan multilapis ini kedap udara sehingga bakteri tidak dapat masuk ke dalamnya.

Susu UHT yang bebas bakteri patogen menyebabkan kondisi tetap segar dan aman untuk dikonsumsi. Selain itu kemasan multilapis susu UHT berfungsi kedap cahaya sehingga cahaya ultra violet tidak mampu menembus dan kesegaran susu UHT akan tetap terjaga. Setiap kemasan aseptik multilapis susu UHT disterilisasi satu per satu secara otomatis sebelum pengisian susu. Proses tersebut secara otomatis dilakukan hampir tanpa adanya campur tangan manusia sehingga menjamin produk yang sangat higienis dan memenuhi standar kesehatan internasional. Teknologi UHT dan kemasan aseptik multilapis menjamin keamanan dan daya tahan susu UHT tanpa membutuhkan bahan pengawet serta tak perlu disimpan di lemari pendingin hingga 10 bulan setelah diproduksi (Astawan 2007).

Pada umumnya kontaminasi yang sering ditemukan pada susu UHT bersumber pada kurangnya pengawasan di bagian kontrol kualitas. Sebelum dijual ke pasaran, produk susu telah melalui kontrol kualitas fisik, kimia dan biologi dengan cara mengukur status mikroba (jumlah dan jenis bakteri). Kemungkinan kedua terjadi pada proses distribusi sampai ke konsumen yang biasanya terdapat kerusakan kemasan selama dalam perjalanan. Suhu rendah selama masa penyimpanan sampai ke konsumen tidak membunuh mikroorganisme tetapi hanya menghambat perkembangbiakannya.

Mikroba patogen yang umum mencemari susu adalah Escherichia coli. Standar Nasional Indonesia tahun 2000 mensyaratkan bakteri E. coli tidak boleh ditemukan dalam susu dan produk olahannya. Bakteri E.coli dalam susu maupun produk olahannya dapat menyebabkan diare pada manusia bila dikonsumsi. Beberapa bakteri patogen yang umum mencemari susu adalah Brucella sp., B.


(17)

cereus, Listeria monocytogenes, Campylobacter sp., Staphylococcus aureus, dan

Salmonella sp. (Adams dan Motarjemi 1999).

Bakteri yang dapat mencemari susu terbagi menjadi dua golongan, yaitu bakteri patogen (pathogenic bacteria) dan bakteri pembusuk (spoilage bacteria). Beberapa jenis bakteri tersebut dapat menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui susu (milkborne diseases) seperti tuberkulosis, bruselosis, dan demam tipoid (typhoid fever). Pembusukan susu oleh bakteri dapat menyebabkan degradasi protein, karbohidrat, dan lemak yang terkandung dalam susu. Pencemaran susu oleh bakteri Escherichia coli dapat bersifat enterovirulen serta memproduksi gas dan asam, sehingga bakteri ini mempunyai peran ganda baik sebagai bakteri patogen maupun bakteri pembusuk (Goff dan Hill 1993).

Cemaran mikroba pada produk olahan asal susu dan produk pangan lainnya yang mampu menyebabkan penyakit (food borne disease) tergantung pada jenis mikroba, jumlah mikroba, dan toksin yang dihasilkan. Pada B. cereus jumlah minimal cemaran pada produk susu maupun produk pangan yang mampu menyebabkan terjadinya keracunan adalah sebesar 105/g. Apabila jumlah cemaran mikroba B. cereus kurang dari 105/g tidak akan menimbulkan gejala penyakit. Perbedaan jumlah minimal cemaran mikroba yang mampu menyebabkan sakit tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah Mikroba dan Racunnya yang dapat Menyebabkan Sakit Mikroba Jumlah minimal

B. cereus 105/g atau toksin

C. jejuni 102

C. botulinum Toksin dosis rendah

C. perfringens 106

E. coli O157 : H7 102

Salmonella sp. 105

S. typhi 102

S. aureus Toksin dosis rendah

Sumber: Lily 2000

Konsumen yang mengkonsumsi produk olahan asal susu yang tercemar mikroba akan mengalami gejala sakit setelah melewati masa inkubasi. Masa inkubasi penyakit berbeda-beda tergantung pada jenis mikroba penyebab penyakitnya. Masa inkubasi untuk B. cereus tipe emetik (muntah) berbeda dengan


(18)

masa inkubasi tipe diare. Perbedaan jenis mikroba, masa inkubasi, dan gejala sakit terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2 Gejala Keracunan Makanan serta Mikroba Penyebabnya Inkubasi Gejala Mikroba penyebab 1 – 5 jam Muntah, mual, diare, kejang B. cereus

2 – 6 jam Muntah, mual, diare S. aureus

8 –18 jam Diare, sakit perut C. perfringens

8 –16 jam Diare, sakit perut B. cereus

12 -36 jam Lemah, pandangan ganda, sulit menelan, mulut kering

C. botulinum

12 – 48 jam Diare, demam, sakit perut beberapa hari Salmonella

24 – 48 jam Diare, kadang berdarah E. coli

2 – 5 hari Diare, sakit perut, demam Campylobacter Sumber: Lily 2000

Berdasarkan permasalahan diatas maka perlu dilaksanakan pengujian mikrobiologik terhadap makanan yang berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan konsumen. Pengujian mikrobiologik pada bahan pangan, baik pada bahan baku, selama proses, dan produk akhir dilaksanakan dalam rangka pengawasan keamanan dan mutu bahan pangan. Pengujian lebih ditujukan untuk mengetahui jumlah dan keberadaan mikroorganisme patogen tertentu (Soejoedono 2004).

Tabel 3 Suhu Pertumbuhan Minimal Beberapa Mikroorganisme

Sifat mikroba Genus atau spesies Suhu pertumbuhan minimum (°C)

Patogen atau potensial patogen

B. cereus

Staphylococcus aureus

S. aureus pembentuk enterotoxin Vibrio parahaemolyticus

E.coli enteropatogenik

Clostridium botulinum tipe A

Pseudomonas aeruginosa Salmonella sp

Clostridium perfringens

Clostridium botulinum tipe E dan beberapa strain tipe B dan F

10 5 – 13 10 – 19

5 - 8 8 – 10

10 9 6 5 3,5 – 5 Mikroorganisme

index atau indicator

E. coli

Klebsiella sp, Enterobacter sp.

Streptococcus faecalis

8 – 10 ± 0 ± 0 Mikroorganisme pembusuk B. subtilis Streptococcus faecium Lactobacillus sp.

Pseudomonas fluorescens

Ragi

12 ± 0 – 3

1 - 3 - 12 Sumber : Sinell, 1992


(19)

Rumusan Permasalahan

Keberadaan B. cereus pada produk olahan susu ditulis oleh Bean dan Griffin (1990) yang melaporkan bahwa 94% dari penyakit keracunan yang diakibatkan oleh B. cereus berasal dari produk-produk asal susu yang disimpan pada suhu penyimpanan yang tidak tepat. Meer et al. (1991) juga melaporkan bahwa B. cereus telah berhasil diisolasi dari susu segar dan susu pasteurisasi. Becker et al.

(1994) menemukan adanya B. cereus pada makanan bayi, dan produk-produk susu bubuk. De Rezende (1998) bahkan melaporkan terdapat 34,17% sampel yang positif mengandung bakteri B. cereus pada pengujian produk susu UHT yang berasal dari Brazil pada tahun 1998. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeteksi keberadaan B. cereus pada susu UHT impor yang masuk ke Indonesia, juga untuk mengetahui kualitas susu UHT impor bagi konsumen di Indonesia.

Sesuai dengan Standar Nasional Indonesia mengenai spesifikasi persyaratan mutu susu UHT (SNI 01-3950-1998), yang mengharuskan tidak adanya cemaran mikroba dalam produk susu UHT (0) maka semua produk susu UHT baik yang beredar maupun yang masuk ke negara Indonesia juga diharuskan tidak mengandung mikroba. Peraturan perundang-undangan kesehatan hewan yang berlaku di Indonesia juga menyebutkan mengenai larangan kandungan residu antibiotik dalam susu serta mengatur pemakaian antibiotik pada ternak. Hasil ternak baru boleh dikonsumsi oleh manusia setelah melewati waktu henti (withdrawal time) antibiotik yang digunakan terhadap ternak (Direktorat Kesehatan Hewan,1987).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keamanan susu UHT ditinjau dari kualitas mikrobiologik melalui pengujian Total Plate Count, dan B. cereus serta residu antibiotik pada produk susu UHT impor yang melewati Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta.


(20)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat berupa informasi serta keterangan bagi masyarakat tentang kualitas susu UHT impor sehingga dapat menjamin bahwa produk susu UHT tersebut aman, sehat, dan bebas dari kontaminasi mikroba. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu bahan rujukan dan masukan bagi kebijakan teknis kegiatan importasi produk-produk olahan asal susu khususnya susu UHT yang akan masuk ke Indonesia.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah bahwa susu UHT impor yang berasal dari Negara Australia tercemar mikroba B.cereus.


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Susu UHT (Ultra High Temperature)

Susu segar merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung zat-zat makanan yang lengkap dan seimbang (Saleh, 2004). Nilai gizi susu yang tinggi menyebabkan susu menjadi medium yang sangat disukai oleh mikrooganisme untuk pertumbuhan dan perkembangannya sehingga dalam waktu yang sangat singkat susu menjadi tidak layak dikonsumsi bila tidak ditangani secara benar. Mikroorganisme yang berkembang didalam susu selain menyebabkan susu menjadi rusak juga membahayakan kesehatan masyarakat sebagai konsumen akhir.

Proses UHT umumnya melibatkan pemanasan susu ataupun bahan minuman lainnya secara cepat pada suhu 140°C. Suhu ini kemudian dipertahankan selama beberapa detik untuk membunuh bakteri dan mikroorganisme lainnya. Produk tersebut lalu didinginkan secara cepat serta ditempatkan pada kemasan kedap udara untuk mencegah kontaminasi. Perlakuan semacam ini pada umumnya diterapkan untuk memproduksi susu ‘long life’ dan jus buah. Kelemahan dari perlakuan dengan suhu tinggi adalah rusaknya vitamin-vitamin yang sensitif terhadap panas seperti vitamin C. Pada pembuatan jus buah, vitamin-vitamin ditambahkan kembali setelah perlakuan selesai (Astawan dan Astawan, 1989).

Gambar 1 Rangkaian mesin pelaksana proses UHT.


(22)

Proses UHT pada susu diawali dengan pemerahan susu sapi secara aseptik dengan lingkungan steril, kemudian mengalirkan ke tangki pendingin dengan alat pompa. Tangki pendingin akan mempercepat susu mencapai suhu dingin. Susu disimpan selama tiga hari, kemudian dikirimkan ke tempat pengolahan susu dalam suhu refrigerator. Langkah selanjutnya adalah klarifikasi dengan memusingkan susu di dalam mangkuk klarifikasi untuk membersihkan susu dari debu dan kotoran. Kemudian dilakukan proses pemisahan dengan cara menghangatkan susu pada suhu 35 – 45 °C dengan tujuan melarutkan lemak susu. Selanjutnya susu dipusingkan untuk mempercepat pemisahan lemak. Susu tanpa lemak tersebut kemudian distandarisasi dengan mencampur krim atau skim susu untuk mendapatkan lemak yang diinginkan. Tahapan selanjutnya adalah proses pasteurisasi diikuti oleh homogenisasi untuk mengecilkan globulan lemak, sehingga menghasilkan bentuk dan ukuran lemak yang sama. Tahapan akhir sebelum susu pasteurisasi didistribusikan adalah proses pengemasan. Proses ini dapat dilihat pada tabel 4 (Bylund, 1995; Scott, 2008)

Perlakuan sterilisasi pada susu hampir sama dengan UHT, tetapi dengan suhu lebih tinggi dan dalam waktu yang lebih lama. Istilah sterilisasi pada susu adalah sterilisasi komersial dengan masih ditemukannya sejumlah mikroba. Menurut Scott (2008) sterilisasi komersial didefinisikan sebagai kondisi peralatan dan pengemasan yang tidak mengandung mikroba patogen. Pada industri pengalengan, sterilisasi komersial adalah tindakan pengemasan pada produk pangan dalam kaleng. Proses aseptik digunakan secara terpisah antara sterilisasi produk dan pengemasan. Produk yang steril kemudian dimasukkan pada kemasan steril melalui sistim pengemasan yang steril pula (Scott 2008).


(23)

Tabel 4 Proses Pengolahan Susu UHT ( Gillis 2005 )

Pendinginan dan Agitasi

Separasi dan Standarisasi

Pemerahan Pumping

Pengiriman Klarifikasi

Pasturisasi

HTST UHT

Homogenisasi

Pengemasan dan Distribusi


(24)

Susu UHT (Ultra High Temperature) adalah susu yang dibuat menggunakan proses pemanasan yang melebihi proses pasteurisasi, umumnya mengacu pada kombinasi waktu dan suhu tertentu dalam rangka memperoleh produk komersil yang steril. Pemilihan kombinasi antara waktu dan suhu yang tepat disebut juga teknik sterilisasi UHT (Westhoff, 1978). Menurut definisi dari peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris, UHT adalah proses dimana produk susu diberi perlakuan pemanasan pada suhu diatas 100 0C dan di kemas secara aseptis, setelah melewati proses inkubasi yang tidak kurang dari 14 hari pada suhu 30 0C serta bebas dari pencemaran mikroorganisme (Government Notice, 2001).

Ada dua pendapat mengenai pengelompokan susu UHT. Pendapat pertama menyatakan bahwa susu UHT termasuk salah satu metode pasteurisasi. Definisi susu pasteurisasi adalah susu segar yang telah mengalami pemanasan pada suhu di bawah 100°C. Standar pasteurisasi menggunakan suhu 62°C selama 30 menit, atau pada suhu 71°C selama 15 detik. Pemanasan tersebut bertujuan untuk mematikan bakteri-bakteri pathogen, sehingga susu ini dalam jangka waktu tertentu aman untuk dikonsumsi atau diminum tanpa harus dipanaskan lagi. Terdapat 3 macam cara pasteurisasi yaitu :

1. Pasteurisasi lama (LTLT = Low Temperature Long Time) dengan suhu 62°C– 65° C selama 30 menit.

2. Pasteurisasi sekejap (HTST = High Temperature Short Time) dengan suhu 85°C – 95°C selama 1-2 menit.

3. Pasteurisasi dengan Ultra High Temperature (UHT). Pemanasan susu dilakukan pada temperatur tinggi yang segera didinginkan pada temperatur 10 °C (temperatur minimal untuk pertumbuhan bakteri susu).

Pasteurisasi dengan UHT dapat pula dilakukan dengan memanaskan susu sambil diaduk dalam suatu panci pada suhu 81 °C selama ± 1/2 jam dan dengan cepat didinginkan. Pendinginan dapat dilakukan dengan mencelupkan panci yang berisi susu tadi ke dalam bak air dingin yang airnya mengalir terus menerus.

Pendapat kedua menyatakan bahwa susu UHT termasuk ke dalam salah satu metode sterilisasi. Sterilisasi susu adalah proses pengawetan susu yang dilakukan dengan cara memanaskan susu sampai mencapai temperatur di atas titik didih,


(25)

sehingga bakteri berikut sporanya akan mati semua. Pembuatan susu sterilisasi dapat dilakukan dengan cara :

1. Sistem UHT yaitu susu dipanaskan sampai suhu 137 °C - 140 °C selama 2 - 5 detik.

2. Mengemas susu dalam wadah hermetis kemudian memanaskannya pada suhu 110 °C - 121 °C selama 20 - 45 detik.

Cara sterilisasi susu ini memerlukan peralatan yang khusus dengan biaya yang relatif mahal. Oleh karena itu sterilisasi susu umumnya dilakukan oleh industri-industri pengolahan susu.

Susu UHT dapat dibedakan dengan susu steril dengan membandingkan kandungan furosine. Furosine adalah indikator yang digunakan untuk melihat kerusakan pada susu akibat proses pemanasan. Furosine juga dapat digunakan sebagai kriteria untuk membedakan antara susu UHT, susu pasteurisasi, dan susu sterilisasi (Burton, 1984). Pemanasan yang terlalu lama serta penyimpanan yang kurang sesuai mampu menurunkan kandungan furosine dalam susu (Corzo et al, 1994). Penelitian yang dilakukan oleh Jose et al (2001) menunjukan adanya penurunan kandungan protein serta furosine yang lebih tinggi pada susu sterilisasi (118 °C selama 9 menit) dibandingkan pada susu UHT (136°C selama 4 detik) yang dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5 Kandungan Furosine Dalam Susu Formula Sampel susu Kandungan protein

( % )

Kandungan Furosine (mg /100 g protein) Tanpa pemanasan 5,34 590,0

UHT 5,61 408,4

Standarisasi 5,52 384,0

Sterilisasi 5,50 346,6


(26)

Beberapa wabah foodborne disease yang berhubungan dengan susu pasturisasi dikarenakan cemaran pada pada saat proses pasturisasi atau pasca pasturisasi (ICMSF 1998). Pada susu mentah dan susu pasturisasi dilaporkan adanya cemaran yang berasal dari tempat pengumpul dan proses pasca pasturisasi. Sumber kontaminasi di peternakan sapi perah adalah air peternakan dan pabrik, ember susu, mesin perah, kontainer susu, cairan pencuci tangan, pemerah, cairan pencuci tangan pekerja lain, peralatan pasturisasi, peralatan pengemasan, bahan kemasan, tempat penyimpan dari kayu, saringan contoh (Prejit et al.2007). Pertumbuhan mikroba dapat diminimalisir dan dihindari dengan mengawasi secara ketat titik kontrol kritis yang memberikan kemungkinan mikroba mencemari susu pasca pasturisasi seperti proses pendinginan pasturisasi pengisian dan pengemasan serta penyimpanan (Tabel 6).

Tabel 6 Titik kontrol kritis pada proses pengolahan susu Sumber : Prejit et al. (2007)

Susu Sapi

Pengumpul susu sapi

Pengiriman

Susu dingin

Pasturisasi

Pengemasan

Penyimpanan dingin

Pemasaran

Susu setelah pemanasan

Susu pasturisasi

#CCP1

*CCP2

#CCP3

#CCP4

#CCP5

*CCP6

#CCP7

*Poin cemaran mayor #Poin cemaran minor


(27)

CCP = Critical Control Point (Titik Kontrol Kritis) CCP1 = Higiene pemerah, hewan dan proses pemerahan CCP2 = Kontrol sanitasi alat dan lingkungan

CCP3 = Kestabilan suhu pendinginan dan kwalitas pengumpul susu yang baik

CCP4 = Persiapan suhu pemanasan, higiene peralatan

CCP5 = Kontrol sanitasi dan kebersihan alat pasturisasi HTST secara periodik

CCP6 = Bahan kemasan yang aseptik, higiene lingkungan dan peralatan

kemasan

CCP7 = Pemeliharaan suhu pendingin, meminimalisir kontaminasi pasca pasturisasi.

Sejumlah faktor yang mendorong perkembangan sterilisasi susu secara komersial antara lain meningkatnya biaya pengiriman, dan juga meningkatnya biaya pembuatan (Westhoff 1978). Penerapan proses UHT dalam pembuatan susu mampu menghindarkan kedua faktor tersebut, selain itu energi yang dihabiskan untuk menyimpan susu dalam pendingin dapat dikurangi karena dengan teknologi UHT susu dapat disimpan pada suhu ruangan. Meskipun demikian, proses UHT juga memiliki beberapa kekurangan. Pada saat proses UHT diterapkan dengan metode direct steam injection ataupun indirect heat exchange organisme yang tahan panas seperti bakteri yang mampu membentuk spora kemungkinan masih dapat ditemukan (Martin, 1961). Dalam Tabel 7 dipaparkan jenis-jenis bakteri yang sering ditemukan dalam proses susu UHT.

Tabel 7 Tipe Bakteri yang Sering Ditemukan Dalam Tangki Penyimpanan Susu Tipe bakteri Spesies Thermoduric

Streptococci S.fecalis S.thermophilus S.bovis

Micrococci M. luteus M.varians

Corynebacteria C.lacticum Basil Asporogenous gram positif Lactobacillus Basil Anaerogenic gram negative A.tolerans Basil Aerobic pembentuk spora B.cereus

B.subtilis B.licheniformis B.circulans Sumber : Martin, 1961


(28)

Proses pasteurisasi mampu membunuh bakteri sebanyak 103 sampai 104 cfu/ml susu bahkan sampai 106 cfu/ml susu (Jay 2000). Jika kandungan bakteri dalam susu melebihi nilai tersebut, maka ada bakteri yang dapat bertahan dalam pemanasan, dan bakteri inilah yang mampu menjadi sumber kontaminan. Vyletelova (2001) menyatakan bahwa mikroorganisme thermoresisten berspora seperti B. cereus dan B. licheniformis tetap mampu bertahan hidup bahkan setelah melewati proses UHT (138 0C selama 4 detik). Eneroth et al. (1998) menyebutkan bahwa B. cereus mampu bertahan hidup melewati proses pasteurisasi dan bakteri ini mampu tumbuh pada suhu 4 0C dalam mesin pendingin.

Dari sebuah studi pada susu dan produk susu ditemukan bahwa kontaminasi

B. cereus terjadi pada tingkat 9-48% dan pada susu UHT dapat mencapai 50% dari sampel yang diuji (ICMSF). Dari berbagai data yang dapat dipercaya, konsentrasi B. cereus dalam makanan secara normal berkisar < 103 sel/gram. Prevalensi cemaran B. cereus dalam susu tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8 Prevalensi Cemaran B. cereus Dalam Susu dan Produknya

Susu dan

Produk susu Σ

sampel Yang diuji

% B. cereus positif

Variasi dari B. cereus (jumlah/g atau /ml)

Pustaka Susu mentah Susu pasteurisasi Susu sterilisasi Susu UHT Susu bubuk Keju Cheddar Es krim 100 100 148 169 123 8 50 100 9 35 40 48 27 38 14 48

101 – 102 101 – 103 “terdeteksi “terdeteksi 101 – 102 101 – 103 101 – 102 101 – 103

Ahmed et.al. 1983

Mostert et al. 1979

Waltew dan Luck 1987 Kim dan Goepfert 1971

Ahmed et al. 1983


(29)

Bacillus Cereus

Gambar 2 Gambaran B. cereus menggunakan mikroskop elektron. (Disadur dari ASM Microbe Library.org )

B.cereus adalah bakteri gram positif yang mampu membentuk spora serta dapat menyebabkan keracunan. Enterotoksin B. cereus adalah protein dengan berat molekul antara 35-50 kDa (Harmon et al. 1998), diproduksi selama fase pertumbuhan logaritmik (Jay 2000). B. cereus memiliki empat faktor virulen, yaitu tiga enterotoksin (haemolisin BL/HBL, non hemolitik enterotoksin/nhE, sitotoksin K) dan cerulide (Wijnads et al. 2006). Haemolisin BL (HBL) dipercaya merupakan toksin diare utama dari B. cereus (Burgess dan Horwood 2006). Beecher dan MacMillan (1990) mengidentifikasi bahwa HBL kompleks terdiri atas tiga protein yaitu B, L1, L2 yang menurut Beecher dan Wong (1997) protein B berperan sebagai komponen pelekat dan protein L1 (36 kDa) dan L2 (45 kDa) sebagai pelisis sel. Toksin ini memiliki aktivitas haemolitik dan dermonekrotik, serta menyebabkan peningkatan permiabiltas vaskuler dan menyebabkan akumulasi cairan di gelung ileum kelinci (Beecher et al. 1995).

Gejala awal keracunan umumnya muncul 6-24 jam setelah mengkonsumsi susu. Durasi penyakit sangat pendek sehingga sering diabaikan (Gilbert et al.

1979). B. cereus baru akan menghasilkan toksin jika tumbuh di dalam usus halus (Harmon et al. 1992). B. cereus juga memiliki persyaratan khusus untuk dapat tumbuh, jika kondisi lingkungan tidak sesuai untuk pertumbuhannya maka B. cereus segera melindungi diri terhadap kondisi tersebut dengan cara membentuk


(30)

spora. Bacillus cereus adalah bakteri Gram positif bentuk batang, termasuk kelompok pembentuk endospora yang menjadi penyebab terjadinya keracunan pangan (Todar 2005). Penyakit terjadi seiring dengan termakannya sejumlah besar organisme (>106-107 sel), tumbuh di dalam usus halus, menghasilkan enterotoksin dan menyebabkan diare (Labbe1989; Brynestad dan Granum 2002). Diare kategori sedang yang melibatkan B. cereus oleh masyarakat cenderung dianggap biasa, sebab dengan atau tanpa pengobatan diare tersebut dapat sembuh sehingga tidak dilaporkan. Kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan maksimal B. cereus

terdapat pada Tabel 9.

Tabel 9 Kondisi yang Diperlukan Bagi Pertumbuhan B. cereus

Parameter Nilai data Referensi pH minimal 4,3 Reed, 1994

pH maksimal 9,3 Fluer and Ezepchuk, 1970 % maksimal NaCl 18 Pradhan et al., 1985 Suhu minimal 4oC (39.2oF) FDA, 1998 Suhu maksimal 5oC (131oF) FDA, 1998

B. cereus mampu tumbuh pada suhu 4-50 0C, dengan suhu optimum 30-400C (ICMSF 1996). Waktu regenerasi pada suhu 30 0C adalah 26-57 menit, pada suhu 35 0C adalah 18-27 menit (Kramer dan Gilbert 1989). Rentang minimum aktivitas air untuk pertumbuhan sel vegetatif adalah 0,91-0,95 (Jenson dan Moir 1997). Spora B. cereus lebih tahan terhadap panas kering dibandingkan dengan panas lembab. Spora B. cereus dapat bertahan untuk waktu yang lama di produk kering (FSANZ 2003).


(31)

Gambar 3 Spora pada B.cereus

(Disadur dari ASM Microbe Library.org)

Dalam kondisi stress, seperti kekurangan makanan atau dalam lingkungan yang tidak cocok, B. cereus akan mengalami proses sporulasi. Spora tersebut kemudian dapat berubah kembali menjadi sel vegetatif (proses germinasi). Faktor -faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan germinasi B.cereus antara lain adalah suhu, ph, kandungan oksigen, serta terdapatnya kandungan nitrogen dan karbon (Vlaemynck & Van Heddeghem, 1992). Spora B. cereus mampu melekat pada berbagai macam permukaan, terutama permukaan yang terbuat dari bahan hidrofobik. Spora B.cereus juga memiliki sifat tahan panas dan mampu bertahan hidup melalui proses pasteurisasi. Spora psikotropik kemudian mengalami germinasi dan akan tumbuh kembali selama penyimpanan pada suhu dingin (Kramer & Gilbert, 1989). Proses pasteurisasi merupakan pemicu germinasi spora, setelah pasteurisasi selesai mikroba yang tidak tahan panas akan mati dan tanpa adanya kompetisi mikroba, B. cereus mampu tumbuh kembali dengan baik (Granum & Lund, 1997).

B. cereus pertama kali ditemukan sebagai bakteri penyebab keracunan makanan pada tahun 1950 (Gordon et al. 1973), sejak itu mikroorganisme ini telah menarik banyak perhatian dan menjadi salah satu penyebab keracunan makanan yang sering ditemukan. Hampir 5% dari seluruh kasus keracunan makanan di Eropa pada tahun 1990 yang telah dilaporkan ke World Health Organization Surveillance Programme disebabkan oleh B. cereus (WHO, 1990). Berdasarkan data kasus yang telah dipublikasi, jumlah minimal B. cereus yang


(32)

mampu menimbulkan keracunan makanan adalah sebesar 105 sel/gram makanan (Centers for Disease Control and Prevention, 1979). Mengkonsumsi > 105 sel atau spora B. cereus mampu menyebabkan terjadinya diare (FSANZ 2003).

B. cereus terdiri dari 2 macam tipe, yaitu tipe diare dan tipe emetik. Tipe yang paling sering ditemukan adalah tipe diare yang dapat menimbulkan sakit perut dan diare dengan masa inkubasi berkisar antara 4-16 jam dan gejala sakit berlangsung selama 12-24 jam (Lancette dan Harmon, 1980; McFarland, 1907). Tipe kedua adalah tipe emetik yang dapat menyebabkan timbulnya nausea akut dan muntah dengan masa inkubasi berkisar antara 1-5 jam setelah terkonsumsi dan gejala diare umumnya tidak muncul pada B. cereus tipe ini. Perbedaan antara dua tipe B. cereus tampak pada Tabel 10 berikut ini.

Tabel 10 Karakteristik Penyakit Akibat B. cereus

Sindrom diare Sindrom emetik

Dosis infektif 105-107 sel/g 105-108 sel/g Produksi toksin Di usus halus penderita Terbentuk dalam

makanan Tipe toksin Protein Peptida siklik Masa inkubasi 8-6 jam (bisa > 24 jam ) 0,5-5 jam Lama penyakit 12-24 jam 6-24 jam

Gejala Sakit perut, diare, mual Mual, muntah, lesu Makanan yang sering

tercemar

Produk asal dagimg, sup, sayuran, susu, puding

Nasi, nasi goreng, pasta, pastry, mie

Sumber : Granum dan lund 1997

B. cereus adalah bakteri yang paling sering ditemukan dalam susu segar (Crielly et al. 1994, Phillips dan Griffiths 1986). Kontaminasi pasca pasteurisasi biasanya disebabkan oleh spora yang berasal dari susu segar atau dari lingkungan peternakan yang masih bisa bertahan hidup. Hal ini disebabkan karena spora B. cereus bersifat tahan panas sehingga mampu bertahan hidup melewati rangkaian proses pemanasan dan sterilisasi. Bahout (2000) menemukan spora B. cereus

dalam susu UHT sebanyak 18,3% dari keseluruhan sampel yang diuji. Pada tahun 1998 juga pernah dilakukan uji terhadap susu UHT yang berasal dari Brazil, dimana 34,17% sampel dilaporkan positif mengandung bakteri B. cereus (De Rezende, 1998 ). B. cereus telah berhasil diisolasi dari susu segar dan susu pasteurisasi (Meer et al. 1991), makanan bayi, dan produk-produk susu bubuk


(33)

(Becker et al. 1994). Bean dan Griffin (1990) juga melaporkan bahwa 94% dari penyakit keracunan yang diakibatkan oleh B. cereus berasal dari produk olahan asal susu yang disimpan pada suhu penyimpanan yang tidak tepat. ICMSF (1996) juga mencatat bahwa sebesar 9-48% sampel susu maupun produk asal susu yang diuji telah terkontaminasi oleh B.cereus dan pada susu UHT kejadian kontaminasi ini dapat mencapai 50%.

Bacillus spp. adalah bagian dari mikroflora susu segar yang paling sulit untuk dihilangkan, karena sifat sporanya yang tahan panas. Salah satu karakteristik terpenting dari B. cereus adalah kemampuan sel vegetatifnya untuk memperbanyak diri dan kemudian memproduksi enzim extraselular yang bersifat tahan panas (Meer et al. 1991; Ipsen et al. 2000) sehingga B. cereus memiliki kemampuan proteolitik dan lipolitik.

Hal ini mempengaruhi karakteristik nutrisi dan penampilan produk-produk yang berasal dari susu, bahkan saat bakteri B. cereus itu sendiri sudah tidak terdapat dalam susu (Boor et al. 1998). Pengaruh enzim proteolitik ini yang menyebabkan banyak kerusakan dalam susu dan produk-produk yang berasal dari susu seperti timbulnya sweet curdling, serta perubahan warna dan bau. Kerusakan yang paling spesifik adalah timbulnya pengentalan (gelformation) pada susu UHT (Datta and Deeth 2001). Kerusakan semacam ini umumnya tampak setelah konsentrasi B. cereus dalam susu UHT mencapai 5 x 105–107 CFU/ml (Vyletulova et al. 2000).


(34)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus sampai dengan September tahun 2008. Tempat penelitian di Laboratorium Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner (KESMAVET) Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK) Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor (IPB).

Bahan dan Alat Penelitian Susu UHT Impor

Bahan penelitian yang digunakan adalah susu UHT impor yang melewati Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta, berjumlah 30 sampel untuk keseluruhan penelitian.

Bahan Media dan Reagen

Plate Count Agar (PCA/Oxoid CM 325), Mannitol egg Yolk Polymixin

(MYP/Oxoid CM 0929), Buffer Pepton Water (BPW/Oxoid CM 509) 0.1%, spora

B. stearothermophyllus var. Calidolactis (koleksi Lab Bagian Kesmavet, FKH-IPB), Biakan B. cereus ATCC (13061), Trypticase soy broth (Bacto), Polymyxin B solutions, ammoniumsulfat (NH4)2 SO4 (Merck 1.01216), Media

Voges-Proskauer (MR-VP CM43), agar darah (darah domba 5-7%), Yeast Extract

(Bacto), Nutrient Agar (Merck), dan Media semi solid (SIM /Oxoid CM 435), Kultur Yoghurt (S. Thermophilus) (koleksi Lab Bagian Kesmavet, FKH-IPB).

Alat

Alat yang digunakan antara lain pipet volumetrik (1, 5, 10, 25 ml), cawan petri (berdiameter 100 mm, tinggi 15 mm), tabung reaksi, labu Erlenmeyer

(ukuran 50-100 ml), Osè, inkubator (30 0C ± 2 0C, 35 0C ± 2 0C, 37 0C ± 1 0C), autoklaf, lemari steril, pembakar bunsen, penangas air, pengocok mekanis/tube sheaker, rak tabung reaksi, timbangan elektronik, spreader dari batang gelas/logam bengkok (hockey stick/spatel), Mikroskop, Anaerobic jar, BBL


(35)

GasPack, cakram steril, cakram berisi antibiotika (penicilline, tetracycline, sulfa), pinset, Quebec Colony Counter.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan pengujian susu UHT terhadap status mikrobiologi menggunakan pengujian Total Plate Count, B. cereus, uji residu antibiotik, dan kesempurnaan proses UHT. Sumber metode pengujian mengacu kepada Metode Pengujian Susu Segar, Standar Nasional Indonesia SNI 01-2782-1998 (SNI 01-2782-1998) serta Bacteriological Analytical Manual, US Food and Drug Administration (Bergey 1994). Metode kesempurnaan proses sterilisasi menggunakan Aschaffenburg test (Wiesner 1985 dan Lukman et al. 2008).

Penentuan Angka Lempeng Total (Total Plate Count) Metode Pengujian

Pengujian cemaran mikroba dalam susu segar bertujuan sebagai indikator sanitasi dalam proses produksi atau penanganan susu serta sebagai indikator kesehatan dan keamanan susu. Berbagai macam uji mikrobiologi dapat dilakukan, meliputi uji kuantitatif mikroba untuk menentukan kualitas, uji kualitatif bakteri patogen untuk menentukan tingkat keamanannya, serta uji bakteri indikator untuk menentukan tingkat sanitasi susu tersebut. Uji Total Plate Count ini dilakukan sebagai Standar metode pengujian kuantitatif. Angka lempeng total (Total Plate Count) dimaksudkan untuk menunjukkan jumlah mikroorganisme yang terdapat dalam susu dengan metode hitungan cawan. Jika sel mikroba yang masih hidup ditunjukkan pada medium agar, maka sel mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop.

Prosedur Pengujian

Pemupukan dan Penuangan Media Pada Cawan

Siapkan contoh susu secara aseptis. Pengenceran contoh susu secara desimal dilakukan (menjadi pengenceran 1:10, 1:100) mengunakan BPW (0.1%). Letakkan labu erlenmeyer secara berderet dan masing-masing diberi tanda 1:10,


(36)

1:100, dan 1 (satu) labu erlenmeyer lainnya dengan tanda K (Kontrol). Deretkan pula cawan petri steril di depan labu erlenmeyer disesuaikan dengan pengencerannya. Untuk meningkatkan ketepatan pengujian, sebaiknya pemupukan dilakukan secara duplo. Menggunakan pipet steril pindahkan 1 ml contoh susu kedalam cawan petri bertanda 100 (duplo), demikian pula hal yang sama untuk pengenceran 101, 102 dan K (kontrol). Selanjutnya masukan agar PCA ke dalam masing-masing cawan petri (8 cawan untuk setiap contoh), homogenkan dan di inkubasi pada suhu 35 0C selama 24-48 jam. Setelah 24 jam dilakukan penghitungan koloni dari setiap cawan. Hal yang sama dilakukan setelah inkubasi 48 jam. Jumlah koloni per ml susu dihitung dengan mengalikan jumlah rata-rata koloni dari pengenceran yang dipilih dengan kebalikan dari faktor pengenceran. Jumlah koloni yang diperoleh dinyatakan dengan Colony Forming Units (CFU) per ml.

Pengujian Bakteri B. cereus

Prosedur Pengujian

Lakukan pengenceran 10-1 dengan cara memindahkan 10 ml sampel ke dalam 90 ml BPW 0,1%. Selanjutnya 0.1 ml sampel (100, 10-1) di inokulasikan kedalam cawan petri yang berisi media MYP dan disebarluaskan ke permukaan agar menggunakan spreader/spatel. Inkubasikan plat agar MYP selama 24 jam pada suhu 30 0C dan lakukan pengamatan terhadap timbulnya zona presipitasi pada koloni berwarna merah muda, yang mengindikasikan terjadi produksi

lecithinase oleh koloni B. cereus. Jika reaksi belum jelas, inkubasikan kembali selama 24 jam sebelum dilakukan penghitungan koloni.

Pilih plat yang berisi 15-150 koloni penghasil lecithinase yang berwarna merah muda, tandai dengan marker hitam. Metode ini disebut sebagai presumptive plate count of B. cereus. Selanjutnya lakukan uji konfirmasi B. cereus

Uji Konfirmasi B. cereus

Ambil minimal 5 koloni lecithinase positif yang berwarna merah muda dari setiap plat agar MYP dan pindahkan ke agar nutrient. Inkubasikan agar nutrient selama 24 jam pada suhu 30 0C. Menggunakan pewarnaan Gram, buat preparat


(37)

dari koloni yang tumbuh di agar nutrient. B cereus akan tampak sebagai batang besar yang saling berhubungan membentuk untaian rantai pendek sampai panjang, dan termasuk gram positif. Spora akan tampak berbentuk ellips dan terletak di pusat atau di tepi.

Pindahkan 1 osè (3 mm) kultur dari agar nutrien ke tabung reaksi (13x100 mm) yang berisi 0.5 ml BPW 0.1% dan dikocok dengan vortex mixer. Pengujian selanjutnya dilakukan dengan menginokulasikan suspensi ke dalam phenol red glucose broth untuk uji glukose anaerob, Modified Voges Proskauer medium (MVP), menggoreskan ke media agar darah (darah domba 5-7%) dan uji motilitas menggunakan media SIM.

Pengujian Residu Antibiotik Yoghurt Test

Prosedur Pengujian

Masukkan 10 ml sampel susu UHT ke dalam tabung reaksi steril. Panaskan sampel susu UHT tersebut pada suhu 85 0C selama 5 menit. Dinginkan sampel susu sampai mencapai suhu 45 0C kemudian tambahkan 1 ml starter yoghurt dan diamkan selama 3-4 jam pada suhu 42 0C-45 0C. Cara penilaian sebagai berikut, apabila konsistensi susu menjadi kental berarti sampel susu tidak mengandung antibiotik. Sebaliknya bila konsistensi tetap encer, berarti sampel susu mengandung antibiotik.

Blaettchen Test (Nach Kundrat) Prosedur Pengujian

Buat media uji dengan cara mencampurkan 200 ml agar nutrien dengan 1 ampul spora Bacillus stearothermophillus var calidolactis. Tuangkan media yang telah disiapkan ke dalam petridis steril, biarkan sampai media membeku. Menggunakan pinset (steril) ambil cakram steril, dan celupkan dalam sampel susu (20-30 detik) kemudian letakkan dalam media uji. Letakkan cakram berisi antibiotika dengan konsentrasi tertentu sebagai kontrol positif dan letakan juga satu cakram steril (tanpa dicelupkan dalam sampel) sebagai kontrol negatif. Masukkan ke dalam inkubator 57 -62 0C selama 20-24 jam. Amati zona terang


(38)

sekitar cakram serta bandingkan dengan kontrol positif yang berisi penicillin, tetrasiklin, preparat sulfa, juga dibandingkan dengan kontrol negatif.

Pengujian kesempurnaan proses UHT (Aschaffenburg test) Prosedur Pengujian

Sebanyak 20 ml sampel susu UHT dalam tabung reaksi ditambahkan 4 gram amonium sulfat jenuh (NH4O2 SO4) dan dikocok. Kemudian campuran tersebut

disaring ke dalam tabung reaksi dan filtratnya dimasukkan dalam penangas air (mendidih) selama lima menit. Filtrat yang menunjukkan kekeruhan di masukan dalam kelompok Susu UHT, sedangkan filtrat yang jernih dimasukan dalam kelompok susu steril.

ANALISIS DATA

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskripsi dengan menyajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Statistik deskripsi adalah bidang statistik yang membicarakan cara atau metode mengumpulkan, menyederhanakan dan menyajikan data sehingga dapat memberikan informasi. (Mattjik dan Sumertajaya 2002).


(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kesempurnaan Susu UHT/Uji Kekeruhan (Aschaffenburg test)

Pengujian dilakukan terhadap 30 sampel susu UHT dari Australia dengan merek A sebanyak 15 sampel, dan merek B sebanyak 15 sampel. Proses kesempurnaan susu UHT ditentukan oleh filtratnya. Apabila filtrat tampak jernih mengindikasikan susu Steril, sedangkan filtrat yang tampak keruh merupakan indikasi susu UHT. Dari hasil total pengujian kesempurnaan susu UHT terhadap 30 sampel susu UHT impor diperoleh 16 sampel (53,33%) dengan filtrat keruh yang mengindikasikan susu UHT dan 14 sampel (46,67%) dengan filtrat jernih yang mengindikasikan kesempurnaan proses pemanasan sterilisasi/Susu Steril. Hasil pengujian secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 11 dibawah ini.

Tabel 11 Hasil Uji Kesempurnaan UHT No

sampel

Hasil Filtrat No Hasil Filtrat No Hasil Filtrat

1 Keruh 11 Keruh 21 Keruh

2 Keruh 12 Jernih 22 Keruh

3 Keruh 13 Jernih 23 Jernih 4 Keruh 14 Jernih 24 Jernih 5 Jernih 15 Jernih 25 Jernih 6 Jernih 16 Jernih 26 Jernih 7 Jernih 17 Jernih 27 Keruh

8 Keruh 18 Keruh 28 Keruh

9 Keruh 19 Keruh 29 Keruh

10 Keruh 20 Keruh 30 Jernih

Dari Tabel 10 terlihat bahwa dari keseluruhan 30 sampel susu UHT impor merk A dan B, terdapat 16 sampel dengan filtrat keruh dan 14 sampel dengan filtrat jernih. Dari perbandingan filtrat sebagai hasil uji kesempurnaan UHT antar merek terdapat pada tabel 12 dimana dari 15 sampel susu UHT merek A (sampel nomor 1-15) terdapat 7 sampel dengan filtrat jernih yang mengindikasikan terjadinya kesempurnaan proses pemanasan (susu steril), demikian juga dengan merek B (sampel nomor 16 sampai 30).


(40)

Tabel 12 Perbandingan Hasil Uji Kesempurnaan Susu UHT

Merek A n: 15 Sampel

Merek B n:15 sampel Filtrat keruh 8/15(53,3%)

Filtrat jernih 7/15(46,7%)

Filtrat keruh 8/15(53,3%) Filtrat jernih 7/15(46,7%)

Susu UHT (Ultra High Temperature) adalah susu yang dibuat menggunakan proses thermal yang melebihi proses pasteurisasi, umumnya mengacu pada kombinasi waktu dan suhu tertentu dalam rangka memperoleh produk komersil yang steril. Pemilihan kombinasi antara waktu dan suhu yang tepat disebut juga teknik sterilisasi UHT (Westhoff, 1978). Menurut definisi dari peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris, UHT adalah proses dimana produk susu diberi perlakuan pemanasan pada suhu diatas 100 0C dan di kemas secara aseptis, setelah melewati proses inkubasi yang tidak kurang dari 14 hari pada suhu 30 0C serta bebas dari pencemaran mikroorganisme.

Proses UHT adalah salah satu metode pasteurisasi yang dilakukan dengan tujuan membunuh bakteri patogen dan bakteri pembusuk. Salah satu contoh bakteri patogen adalah E. coli, Salmonella sp, sedangkan bakteri pembusuk seperti kelompok bacillus sp. Proses UHT adalah proses pemanasan dengan suhu 140 0C selama beberapa detik (Anonimous, 1997). Vyletelova (2001) menyatakan bahwa UHT adalah proses pemanasan susu pada suhu 138 0C selama 4 detik. Badan Standarisasi Nasional (1998) menyatakan Susu UHT merupakan susu yang diolah menggunakan pemanasan dengan suhu tinggi (135-145 0C) dan dalam waktu yang singkat selama 2-5 detik.

Dalam proses UHT terkadang waktu pemanasan ditambahkan selama beberapa detik dengan tujuan untuk membunuh mikroorganisme yang masih mampu bertahan hidup melewati proses UHT. Proses pemanasan dengan penambahan waktu sedikit lebih lama dibandingkan proses UHT akan menghasilkan susu steril. Susu Steril adalah susu yang telah melewati proses pemanasan UHT dengan waktu yang lebih lama. Susu Steril diharapkan memiliki kandungan mikroorganisme yang lebih sedikit dibandingkan susu UHT. Sebagai


(41)

akibat proses pemanasan steril maka vitamin dan protein esensial yang terdapat di dalam susu juga relatif berkurang (Anonimous, 1997). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jose et al (2002) juga menunjukan bahwa susu steril memiliki kandungan protein yang lebih sedikit dibandingkan dengan susu UHT. Hal ini disebabkan karena pemanasan yang lebih lama pada proses sterilisasi mampu mengurangi kandungan protein yang terkandung di dalam susu. Sedikitnya kandungan protein dalam susu steril menyebabkan timbulnya filtrat jernih pada uji kesempurnaan UHT, sedangkan pada susu UHT tampak masih adanya filtrat keruh sebagai akibat dari proses penggumpalan protein (denaturasi) yang masih terdapat dalam susu UHT. Denaturasi protein ini ditandai dengan munculnya hidrogen sulfida yang memberikan rasa “hangus” pada susu (Bylund 1995). Ketiadaan jenis protein tersebut menjelaskan mengapa pada uji kekeruhan tidak ditemukan gumpalan albumin setelah diberikan ammonium sulfat jenuh.

Uji Residu Antibiotik dalam Susu UHT impor Uji Blaettchen

Dari hasil Blaettchen Test terhadap 30 sampel susu UHT impor tidak menunjukan adanya zona terang disekitar cakram, hal ini sebagai indikasi tidak terdapatnya kandungan antibiotik di dalam sampel susu UHT tersebut.

Uji Yoghurt

Dari hasil uji Yoghurt terhadap keseluruhan 30 sampel susu UHT impor menunjukan konsistensi kental. Hal ini sebagai indikasi tidak terdapatnya kandungan antibiotik di dalam produk susu UHT tersebut.

Kedua uji deteksi residu antibiotika tersebut diatas menunjukkan tidak ditemukannya residu antibiotika dalam ke 30 sampel yang diperiksa, sekaligus menerangkan fakta ketidakberadaan mikroba dalam beberapa sampel (10 dari 30 sampel) pada uji Angka Lempeng Total bukan karena daya kerja antibiotika, melainkan proses pengolahan dan penanganan susu yang baik.

Uji residu antibiotika dalam produk olahan susu seringkali dikaitkan dengan daya tahan (selflife) produk olahan susu. Daya tahan susu UHT dikenal lebih lama dari susu pasturisasi lainnya (LTLT, HTST), sehingga seringkali daya tahan


(42)

tersebut dikaitkan dengan penambahan bahan-bahan tertentu (antibiotika) secara sengaja. Ke dua hasil uji ini juga dapat digunakan sebagai salah satu parameter keamanan susu UHT.

Uji Blaettchen dan uji Yoghurt dipilih untuk mendeteksi residu antibiotiik dalam susu UHT karena kedua uji tersebut menggunakan bakteri yang peka terhadap keberadaan antibiotika, juga kedua uji tersebut juga mudah, murah dan cepat, sangat cocok dengan pemeriksaan yang bersifat kualitatif.

Angka Lempeng Total (TPC)

Seluruh sampel susu UHT yang terdiri atas 2 merk (brand) diuji kandungan mikrobanya menggunakan metode uji angka lempeng total (Total Plate Count). Jumlah total mikroba dari ke 30 sampel susu UHT dapat dilihat pada Tabel 13 di bawah ini.

Tabel 13 Jumlah Total Bakteri Dalam Sampel Susu UHT (cfu/ml) No Jumlah mikroba No Jumlah mikroba No Jumlah mikroba

1 Negatif 11 1,0 x 100 21 Negatif 2 Negatif 12 Negatif 22 2,9 x 102 3 1,0 x 101 13 1,0 x 100 23 2,0 x 101 4 1,0 x 101 14 Negatif 24 5,5 x 101 5 1,0 x 100 15 1,0 x 100 25 1,0 x 101

6 1,0 x 101 16 Negatif 26 Negatif 7 2,0 x 100 17 Negatif 27 1,0 x 100

8 4,0 x 100 18 Negatif 28 1,0 x 101 9 1,0 x 100 19 Negatif 29 1,0 x 101 10 1,0 x 101 20 2,0 x 100 30 3,0 x 101

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukan bahwa susu UHT yang diuji sebagian besar tidak memenuhi syarat standar SNI 01-3950-1998, yang mengharuskan jumlah mikroba 0 dalam setiap produk susu UHT. Jumlah bakteri yang terdeteksi dalam susu UHT (20 sampel) juga tidak berhubungan dengan proses kesempurnaan susu karena baik susu yang mengalami proses UHT sempurna maupun susu Steril keduanya juga terdeteksi memiliki kandungan bakteri.


(43)

Dari seluruh sampel susu UHT yang diuji, diperoleh prosentase sampel susu UHT yang terdeteksi memiliki jumlah mikroba (>0) sebesar 66,7% (20 sampel), sedangkan yang tidak terdeteksi memiliki kandungan mikroba (0) sebesar 33,3% (10 sampel). Standard yang digunakan mengacu pada SNI 01-3950-1998 tentang susu UHT, yang menyatakan bahwa angka lempeng total bagi susu UHT adalah 0. Adanya sejumlah mikroba dalam sampel susu (baik susu UHT maupun susu Steril) mungkin dapat terjadi karena kontaminasi selama dalam proses pengolahan, pendistribusian atau memang masih terdapat bakteri yang tahan panas. Gambaran singkat mengenai hasil uji Total Plate Count terhadap keseluruhan sampel susu UHT impor terdapat pada Tabel 14.

Tabel 14 Gambaran Hasil Uji Total Plate Count Terhadap Sampel Susu UHT Impor Jenis mikroba Rerata Minimal Maksimal Tidak sesuai

standar Sesuai standar Mikroba aerob 1,6 x 10-1 1,0 x 100 2,9 x 10-2 66,7 % 33,3 %

Bakteri yang terdeteksi pada uji Total Plate Count kemungkinan dapat tumbuh karena adanya kontaminasi dari lingkungan luar maupun kemasan. Kontaminasi mungkin terjadi pada proses distribusi hingga sampai ke konsumen yang biasanya terjadi karena kerusakan kemasan selama dalam perjalanan dan penyimpanan. Suhu rendah selama masa penyimpanan sampai kepada konsumen tidak membunuh mikroorganisme tetapi hanya menghambat perkembang-biakannya (Adams dan Motarjemi 1999).

Uji Konfirmasi / Identifikasi B. cereus

Seluruh sampel susu UHT impor dibiakkan pada media agar MYP. Media ini dipilih karena merupakan media yang sesuai bagi pertumbuhan B. cereus, karena mengandung egg Yolk yang merupakan media optimum bagi pertumbuhan B. cereus, selain itu adanya penambahan Polymixin B sebagai antibiotik mampu mengeliminir kontaminasi bakteri selain B. cereus pada media agar MYP. Setelah dibiakkan dilanjutkan dengan inkubasi pada suhu 35 0C selama 24 jam.

Uji kemudian dilanjutkan dengan Uji Konfirmasi B. cereus dengan menggunakan sampel positif dari agar MYP yang diduga koloni B. cereus. Uji


(44)

konfirmasi B. cereus yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Uji glucose anaerob, uji VP dan uji hemolisis menggunakan agar darah. Hasil ke 3 uji konfirmasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 15 dibawah ini.

Tabel 15 Hasil Uji Konfirmasi B. cereus

No Kode sampel Uji VP Uji Glucose anaerobic

Uji Hemolisis Agar darah

1 D11 – 1 Positif + + (beta)

2 D15 Positif + + (beta)

3 D12 – 1 Positif + (-)

4 D15 – 2 Positif + (-)

5 D25 Positif + + (beta)

6 D26 Positif + + (beta)

7 D29 Positif + (-)

8 D30 Positif + (-)

9 Kontrol Positif + + (beta)

Dari ketiga uji tersebut uji yang paling spesifik untuk mendeteksi bakteri B. cereus dalam susu UHT adalah uji hemolisis pada agar darah karena mampu mendeteksi enterotoksin yang dihasilkan oleh bakteri B. cereus. B. cereus

memiliki kemampuan patogen yang spesifik yaitu memproduksi enterotoksin haemolisin BL/HBL yang mampu menghemolisis darah dengan sempurna (BAM, 2001). Dari Tabel 14 dapat diketahui bahwa dari 30 sampel yang susu UHT melalui pengujian Voges Proskeur ditemukan 8 sampel positif dan dilanjutkan dengan uji Hemolisis Agar darah yang menghasilkan 4 sampel susu UHT yang positif tercemar mikroba B. cereus.

Bacillus cereus saat ini menjadi mikroorganisme penting penyebab keracunan makanan di alam terdistribusi secara kosmopolitan. Keberadaan di produk susu dapat ditelusuri sampai ke sumbernya, misal selama periode merumput (Slaghuis et al. 1997), puting terkontaminasi tanah (Christiannsson

et al. 1999) atau pakan dan alas kandang (Magnusson et al. 2007). Dari penelitian Visser et al (2007) jika puting sapi terkontominasi dengan tanah, 33% tangki pengumpul susu akan mengandung 3 log spora/l susu, sedangkan jika pakan yang menjadi sumbernya, hanya 2%.


(45)

Menurut Mozez et al. (1999), B. cereus dapat diisolasi dari susu UHT dan produk susu lainnya. Disamping itu spora dari B. cereus mampu melekat pada permukaan peralatan dalam industri susu sehingga terbentuk biofilm yang sulit untuk dihilangkan dan dibersihkan sehingga industri pengolahan susu perlu melaksanakan pemeriksaan susu terhadap B. cereus secara intensif. Keberadaan

B. cereus dalam susu juga dipengaruhi oleh kualitas susu segar sebagai bahan awal susu UHT. Apabila dari susu segar telah terkontaminasi B. cereus dan proses UHT tidak sempurna maka besar kemungkinan B. cereus terdapat dalam susu UHT. Selain itu pengaruh musim juga dapat berperan dalam keberadaan B. cereus dalam susu. Di Australia dilaporkan pada musim panas prevalensi B. cereus dalam susu sangat tinggi (Mozez et al. 1999).

Tabel 16 Hasil Keseluruhan Uji Terhadap 30 Sampel Susu UHT impor

Nomor Sampel Uji KesempurnaanUHT Uji Yoghurt Uji Blaettchen Uji TPC Uji Diferensial B.cereus

1 Keruh / UHT Negatif Negatif Negatif Negatif

2 Keruh / UHT Negatif Negatif Negatif Negatif

3 Keruh / UHT Negatif Negatif 1,0 x 101 Negatif

4 Keruh / UHT Negatif Negatif 1,0 x 101 Negatif 5 Jernih / Steril Negatif Negatif 1,0 x 100 Negatif 6 Jernih / Steril Negatif Negatif 1,0 x 101 Negatif 7 Jernih / Steril Negatif Negatif 2,0 x 100 Negatif 8 Keruh / UHT Negatif Negatif 4,0 x 100 Negatif 9 Keruh / UHT Negatif Negatif 1,0 x 100 Negatif

10 Keruh / UHT Negatif Negatif 1,0 x 101 Negatif

11 Keruh / UHT Negatif Negatif 1,0 x 100 Positif

12 Jernih / Steril Negatif Negatif Negatif Negatif

13 Jernih / Steril Negatif Negatif 1,0 x 100 Negatif

14 Jernih / Steril Negatif Negatif Negatif Negatif

15 Jernih / Steril Negatif Negatif 1,0 x 100 Positif

16 Jernih / Steril Negatif Negatif Negatif Negatif

17 Jernih / Steril Negatif Negatif Negatif Negatif

18 Keruh / UHT Negatif Negatif Negatif Negatif

19 Keruh / UHT Negatif Negatif Negatif Negatif

20 Keruh / UHT Negatif Negatif 2,0 x 100 Negatif

21 Keruh / UHT Negatif Negatif Negatif Negatif

22 Keruh / UHT Negatif Negatif 2,9 x 102 Negatif

23 Jernih / Steril Negatif Negatif 2,0 x 101 Negatif 24 Jernih / Steril Negatif Negatif 5,5 x 101 Negatif 25 Jernih / Steril Negatif Negatif 1,0 x 101 Positif

26 Jernih / Steril Negatif Negatif Negatif Positif


(46)

28 Keruh / UHT Negatif Negatif 1,0 x 101 Negatif

29 Keruh / UHT Negatif Negatif 1,0 x 101 Negatif

30 Jernih / Steril Negatif Negatif 3,0 x 101 Negatif

Dari hasil penelitian ini menunjukan adanya B. cereus dalam 4 sampel (13,33%) yang diuji. Menurut ICMSF (1996) sebesar 9-48% sampel susu dan produk susu yang diuji terkontaminasi oleh B. cereus dan pada susu UHT kejadiannya dapat mencapai 50%. Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa kontaminasi B. cereus dapat terjadi pada susu UHT impor. Bahout (2000) menemukan adanya spora B. cereus dalam susu UHT sebanyak 18,3% dari keseluruhan sampel yang diuji. Pada tahun 1998 juga pernah dilakukan uji terhadap susu UHT yang berasal dari Brazil, dimana 34,17% sampel dilaporkan positif mengandung B. cereus (De Rezende, 1998). Kontaminasi ini di-mungkinkan karena B. cereus mempunyai kemampuan untuk membentuk spora pada saat kondisi lingkungan tidak sesuai bagi pertumbuhannya. Spora memiliki sifat tahan panas dan mampu bertahan melewati suhu 121 0C selama 2-4 detik (Muir, 1996).

Gambar 4 Spora B.cereus berumur 1 minggu, spora berwarna hijau dan spora yang belum terbentuk berwarna merah muda.

(Disadur dari ASM Microbe Library.org ).

Perbandingan antara hasil uji kesempurnaan UHT dengan hasil uji konfirmasi B. cereus dapat dilihat pada Tabel 17 di bawah ini :


(47)

Tabel 17 Perbandingan Hasil Uji Kesempurnaan UHT dan Uji Konfirmasi B. cereus

No Kode

sampel Hasil uji kesempurnaan UHT Hasil uji konfirmasi B. Cereus 1 11 Keruh / UHT Positif

2 19 Keruh / UHT Positif 3 25 Jernih / susu Steril Positif 4 26 Jernih / susu Steril Positif

Perbandingan antara hasil uji kesempurnaan UHT dengan hasil uji konfirmasi B. cereus menunjukan bahwa B. cereus masih dapat bertahan hidup melewati proses UHT, bahkan melewati proses sterilisasi dengan pemanasan yang lebih lama. Hasil ini juga menunjukan bahwa baik susu UHT maupun susu Steril tetap memiliki kemungkinan terkontaminasi oleh B. cereus.

Untuk menguji keberadaan mikroba pada sampel susu UHT dilakukan menggunakan uji Total Plate Count, dan untuk mendeteksi keberadaan B. cereus

dilakukan menggunakan uji konfirmasi B. cereus. Hasil perbandingan antara hasil

Total Plate Count dengan hasil uji konfirmasi B. cereus dapat dilihat pada Tabel 18 di bawah ini

Tabel 18Perbandingan Hasil Uji Total Plate Count dan Uji Konfirmasi B. cereus

No Kode sampel Hasil uji Total plate

Count

Hasil uji Konfirmasi

B.cereus

1 11 1,0 x 100 Positif

2 19 Negatif Positif

3 25 1,0 x 10-1 Positif

4 26 Negatif Positif

Sampel susu UHT impor yang terdeteksi positif mengandung B. cereus

adalah sampel nomor 11, 19, 25, dan 26 dari total keseluruhan 30 sampel, sehingga prosentase sampel yang positif mengandung B. cereus sebesar 13,33%. Uji deteksi bakteri menggunakan metoda Total Plate Count terhadap Sampel nomor 19 dan 26 menunjukan hasil negatif, sementara sampel nomor 11 menunjukan hasil positif dengan jumlah mikroba 1,0 x 100 CFU, dan sampel nomor 25 juga menunjukan hasil positif dengan jumlah mikroba 1,0 x 101 CFU. Dari hasil penelitian lain yang menggunakan sampel susu yang sama dapat


(48)

diisolasi coliform akan tetapi negatif terhadap Listeria monocytogenes dan

Staphylococcusaureus. Hal ini menunjukan bahwa sampel dari merek B tersebut belum sempurna proses UHT nya sehingga B. cereus dan coliform masih dapat hidup didalam susu UHT atau ke dua jenis mikroba tersebut merupakan kontaminasi setelah proses UHT selesai (post contamination).

Uji TPC dilakukan untuk mendeteksi jumlah semua mikroba yang terdapat dalam sampel susu UHT sebagai perbandingan dengan persyaratan susu UHT sesuai SNI 01-3950-1998. Pada sampel nomor 19 dan 26 yang menunjukan hasil negatif dapat terjadi karena agar PCA tidak cocok untuk pertumbuhan B. cereus

karena tidak mengandung egg yolk dan Polymixin B, yang diperlukan untuk menumbuhkan sel vegetatif B. cereus dari sporanya. Sel vegetatif B. cereus baru dapat muncul jika ditumbuhkan pada media yang sesuai seperti agar MYP.


(49)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Untuk 30 sampel susu UHT impor yang diuji menunjukan hasil bahwa 53,33% adalah susu UHT sedangkan 46,67% adalah susu Steril. Semua sampel susu UHT tidak mengandung antibiotik tetapi sampel susu UHT impor yang diuji 66,7% memiliki kandungan mikroba diatas standar SNI. Dari 30 sampel susu UHT impor yang diuji 3,33 % mengandung bakteri B. cereus. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa produk susu impor yang berlabel UHT ternyata tidak seluruhnya merupakan susu UHT, karena sebagian dari sampel yang diuji ternyata merupakan susu Steril. Susu UHT impor yang diuji sebagian besar juga memiliki kandungan mikroba diatas standar SNI sehingga perlu dipertimbangkan kembali proses importasinya.

Saran

Susu UHT impor terbukti masih terkontaminasi oleh mikroba dan sebagian tidak melewati proses UHT dengan sempurna, sehingga dapat dijadikan bahan kebijakan teknis pemerintah selaku pengambil keputusan dalam menetapkan kebijakan importasi susu UHT ke Indonesia, terutama bagi petugas karantina yang berada diujung pintu masuk sebagai garda pertahanan terdepan terhadap masuknya susu impor ke Indonesia. Dalam mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut, perlu dilakukan pemeriksaan rutin laboratorium terhadap produk susu UHT impor. Selain itu, perlu adanya upaya meningkatkan kewaspadaan bagi masyarakat dalam mengkonsumsi produk susu UHT impor di masa mendatang dimana susu UHT impor tidak selamanya lebih baik dari pada susu UHT lokal. Peningkatan kewaspadaan ini sekaligus menjadi upaya pembelajaran bagi para konsumen (Consumer Education) dan menghindari terjadinya penipuan terhadap konsumen. Kaitannya dengan hasil penelitian ini, pada masa mendatang diperlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut dengan menggunakan jumlah sampel yang lebih banyak.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Adams, M. and Y. Motarjemi. 1999. Basic Food Safety for Health Workers.

World Health Organization of the United Nations, Rome.

Andersson A, Ronner U, Granum P.E. 1995. What problems does the food

industry have with the spore-forming pathogen Bacillus cereus and

Clostridium perfingers?. Elsevier Science B.V.

Anonimous. 1997. Regulations Relating to Milk and Dairy Products. Published under Goverment Notice No. R. Hlm 1555.

[ASM] American Society for Microbiology. 2002. Spore Stain of Bacillus cereus.

Ralph Van Dyke Jr. The Des Moines University Osteopathic Medical Center Des Moines. Iowa. USA.

Astawan, Made. 2007. Konsumsi susu UHT. Foods and Nutrition.

http//e-medik.web.id.

Astawan M. W. dan M. Astawan, 1989. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. Akademi Presindo. Jakarta.

Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian. 2007. Laporan Tahunan Balai Besar Karantina Hewan Soekarno Hatta Tahun 2006.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3950-1998. Susu UHT.

Bahout, AA 2000: Prevalence of Bacillus species in UHT milk. Assiut-Veterinary- medical-Journal 42: 47-53.

[BAM] Bacteriological Analytical Manual. US Food and Drugs Administration, Department of Health and Human Services. 2001.

Bean, N. H., and P. M. Griffin. 1990. Foodborne disease outbreaks in the United States,1973–1987: pathogens, vehicles, and trends. J Food Prot. 53.

Becker, H., G. Schaller, W. von Wiese, and G. Terplan. 1994. Bacillus cereus in infant foods and dried milk products. Int J Food Microbiol. 23 : 1-15.

Beecher, D.J. dan J.D. MacMillan. 1990. A novel bicomponent haemolysin from

Bacillus cereus. Infect Immun 58:2220-2227.

Beecher, D.J., J.S. Pulido, N.P. Barney, dn A.C. Wong. 1995. Extracellular virulence factors in Bacillus cereus endophthalmitis: methods and implication of involvement of hemolysin BL. Infect Immun 63:632-639.


(51)

Beecher, D.J. dan A.C. Wong. 1997. Tripartite hemolysin BL from Bacillus cereus. Hemolytic analysis of component interactions and a model for its characteristic paradoxical zone phenomenon. J. Biol. Chem. 272:233-239. Beecher DJ, JS Pullido, NP Barney, AC Wong. 1995. Extracelluler Virulence

Factors in Bacillus cereus Endophtalmitis: Methods and Implication of Involvement of Hemolysin BL. Infect Immun 63.

Bergey D. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology.

Beecher DJ, Wong AC. 1997. Tripartite Hemolysin BL from Bacillus cereus

Hemolytic Analysis of Component Interaction and a Model for its Characteristic Paradoxical Zone Phenomenon. J Biol Chem. 272 Boor, KJ, Brown, DP, Murphy, SC, Kozlowski, SM, Bandler, DK 1998:

Microbiological a Chemical Quality of Raw Milk in New York State. J Dairy Sci 81: 1743-1748

Burgess G, Horwood P. 2006. Development of Improved Molecular Detection Methods for Bacillus cereus Toxins. Rural Industries Research and Development Corporation. Kingston

Burton, H. (1984). Reviews of the progress of Dairy Science: the bacteriological, chemical, biochemical and physical changes that occur in milk at temperatures of 100–150 0C . Journal of Dairy Research 51: 16-32.

Bylund G. 1995. Dairy Processing Handbook. Tetra Pak Processing System AB, Sweden. 436.

[CDCP] Centers for Disease Control and Prevention. 1979. Foodborne Disease Surveillance-Annual Summary 1978. US Dep. Health Human Serv., Ctr. Disease Control Prevention, Atlanta, GA.

Christiansson, A.,J. Bertilsson, dan B. Svensson. 1999. Bacillus cereus in raw milk: Factors affecting the contamination of mil during the grazing period. J Dairy Sci. 82:305 - 314

Corzo, N., Lo´ pez-Fandin˜ o, R., Delgado, T., & Olano, A. (1994). Changes in furosine and proteins of UHT-treated milk stored at high ambient temperature. Zeitschrift fu¨r Lebensmittel-Untersuchung und-Forschung, 198

Crielly, EM, Logan, NA, Anderton, A 1994: Studies on the Bacillus flora of milk and milk products. J Appl Bacteriol 77: 256-263

Datta, N, Deeth, HC 2001: Age gelation of UHT milk-A review. Food Bioprod Process 79: 197-210


(1)

Beecher, D.J. dan A.C. Wong. 1997. Tripartite hemolysin BL from Bacillus cereus. Hemolytic analysis of component interactions and a model for its characteristic paradoxical zone phenomenon. J. Biol. Chem. 272:233-239. Beecher DJ, JS Pullido, NP Barney, AC Wong. 1995. Extracelluler Virulence

Factors in Bacillus cereus Endophtalmitis: Methods and Implication of Involvement of Hemolysin BL. Infect Immun 63.

Bergey D. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology.

Beecher DJ, Wong AC. 1997. Tripartite Hemolysin BL from Bacillus cereus Hemolytic Analysis of Component Interaction and a Model for its Characteristic Paradoxical Zone Phenomenon. J Biol Chem. 272 Boor, KJ, Brown, DP, Murphy, SC, Kozlowski, SM, Bandler, DK 1998:

Microbiological a Chemical Quality of Raw Milk in New York State. J Dairy Sci 81: 1743-1748

Burgess G, Horwood P. 2006. Development of Improved Molecular Detection Methods for Bacillus cereus Toxins. Rural Industries Research and Development Corporation. Kingston

Burton, H. (1984). Reviews of the progress of Dairy Science: the bacteriological, chemical, biochemical and physical changes that occur in milk at temperatures of 100–150 0C . Journal of Dairy Research 51: 16-32.

Bylund G. 1995. Dairy Processing Handbook. Tetra Pak Processing System AB, Sweden. 436.

[CDCP] Centers for Disease Control and Prevention. 1979. Foodborne Disease Surveillance-Annual Summary 1978. US Dep. Health Human Serv., Ctr. Disease Control Prevention, Atlanta, GA.

Christiansson, A.,J. Bertilsson, dan B. Svensson. 1999. Bacillus cereus in raw milk: Factors affecting the contamination of mil during the grazing period. J Dairy Sci. 82:305 - 314

Corzo, N., Lo´ pez-Fandin˜ o, R., Delgado, T., & Olano, A. (1994). Changes in furosine and proteins of UHT-treated milk stored at high ambient temperature. Zeitschrift fu¨r Lebensmittel-Untersuchung und-Forschung, 198

Crielly, EM, Logan, NA, Anderton, A 1994: Studies on the Bacillus flora of milk and milk products. J Appl Bacteriol 77: 256-263

Datta, N, Deeth, HC 2001: Age gelation of UHT milk-A review. Food Bioprod Process 79: 197-210


(2)

De Rezende, N.C.M. Ocorrência de bactérias do grupo B. cereus e de microrganismos indicadores em leite UHT integral. Jaboticabal: UNESP/FCAV, 1998.

[DSN] Dewan Standarisasi Nasional. 2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Direktorat Kesehatan Hewan 1987. Peraturan Perundang-undangan Kesehatan Hewan Edisi 11. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Eneroth, Å., A. Christiansson, J. Brendehaug, and G. Molin. 1998. Critical

contamination sites in the production line of pasteurized milk, with reference to the psychrotrophic spoilage flora. Int Dairy Journal. 8: 829-834.

[FDA] Food and Drug Administration . 1998. Bacterial pathogen growth. Appendix 4. In Fish and Fishery Products Hazards and Controls Guide, 2nd ed., p. 241-244. Department of Health and Human Services, Public Health Service, Food and Drug Administration, Center for Food Safety and Applied Nutrition, Office of Seafood, Washington, DC.

[FSANZ] Food Standard Australia and New Zealand. 2003. Application A 454 : Bacillus cereus Limits in Infant Formula. Assesment Report. Canberra – Wellington.

Garbutt J. 1997. Essentials of Food Microbiology. 1st Edition. Arnold. London Gilbert, R.J., Stringer, M.F., and Pearce, J.M. 1979. The survival and growth of

Bacillus cereus in boiled and fried rice in relation to outbreaks of food poisoning. J Hyg 73:433-444.

Gillis E. 2005. The Effect of Heat Treatment on the Nutritional Value of Milk. NTRS 519-H.Singh. 15

Goff, H.D. and A.R. Hill. 1993. Chemistry and physics. In Y.H. Hui (ed.), Dairy Science and Technology Handbook Vol.1: Principles and Properties, pp. 1-82. VCH Publishers, New York.

Gordon, R. E., W. C. Haynes, and C. Hor-Nay Pang. 1973. The genus Bacillus. US Dep. Agric. Monogr. 427.

Government notice No. R 1555. 2001. Regulations Relating to Milk and Dairy Products. United Kingdom.

Granum PE, Lund T. 1997. Bacillus cereus and its Food Poisoning Toxins. FEMS Microbial Lett. 157


(3)

Harmon SM, Goepfert JM, Bennet RW, 1992. Bacillus cereus. Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Foods. Ed 3. American Public Health Association, Washington.

[ICMSF] International Commission for Microbiological Spesifications for Food. 1996. Microorganism in Foods. Listeria moncytogenes. London. Blackie Academic and Professional. 5. Hlm 88 – 175.

[ICMSF] International Commission for Microbiological Spesifications for Food. 1998. Microorganism in Foods. Microbial Ecology of Food Commodities. London. Blackie Academic and Professional.6. Hlm 521 – 576.

Ipsen, R, Otte, J, Lomholt, SB, Qvist, KB 2000: Standardized reaction times used to describe the mechanism of enzyme-induced gelation in whey protein systems. J Dairy Res 37: 403-413

Jay MJ. 2000. Modern Food Microbiology. Ed. Ke-6. An Aspen publication. Jose Angel Rufian-Henares, Eduardo Guerra-Hernandez*, Belen Garcıa

Villanova. 2002. Maillard reaction in enteral formula processing: furosine, loss of ophthaldialdehyde reactivity, and fluorescence, Food Research International 35

Kramer, J. M. and Gilbert, R. J. (1989). Bacillus cereus and other Bacillus species. Foodborne bacterial pathogens. Marcel Dekker Inc, New York, USA.

Labbe, R. 1989. Clostridium perfringens in Foodborne Bacterial Pathogens. M. Doyle (edotor), Foodborne Bacterial Patogens. Marcel Decker, Inc., New York.

Lancette, G. A., and S. M. Harmon. 1980. Enumeration and confirmation of Bacillus cereus in foods: Collaborative study. J Assoc Off Anal Chem 63:581-586.

Lily. 2000. Potensi Bahaya (Kontaminasi Biologis dan Mikrobiologis) http://www.lily.staff.ugm.ac.id

Lukman DW. et al. 2008. Penuntun Praktikum Higiene Pangan Bogor. Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner Departemen lmu Penyakit Hewan dan Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan IPB. 51 hlm.

Magnusson, M., A. Christiansson, dan B.Svensson. 2007. Bacillus cereus spores during housing of dairy cows: Factors affecting contamination of raw milk. J. Dairy Sci. 90:2745-2754


(4)

Martin, J. H., D. P. Stably, and W. J. Harper. 1961. The incidence and nature of spore forming microorganisms in Ohio milk supply. Pres. 56th Annu. Mtg. Am. Dairy Sci. Assoc.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid 1. Bogor : Percetakan Jurusan Statistik FMIPA IPB. IPB Press

McFarland, J. 1907. The Nephelometer: An Instrument for Estimating the Number of Bacteria in Suspensions Used for Calculating the Opsonic Index and for Vaccines. J Am Med Assoc 49:1176.

Meer, R. R., J. Baker, F. W. Bodyfelt, and M. W. Griffiths. 1991. Psychrotrophic Bacillus spp. in fluid milk products: a review. J Food Prot 54:969.

Mozez et al. 1999. Heat Resistance of B. cereus Spores effect of Milk Contituents and Stabilizing Additives. J Food Protetics. 62 (4) 410-413

Phillips, JD, Griffiths, MW 1986: Factors contributing to the seasonal variation of Bacillus spp. In pasteurized dairy products. J Appl Bacteriol 61: 275-285 Prejit, Nanu E, Latha C. 2007. Microbial Quality Assurance of Milk during

Production, Processing, and Marketing. Amr J of Food Tech 2 : 136-144. Reed, G.H. 1994. Foodborne illness (Part 4): Bacillus cereus gastroenteritis.

Dairy, Food, and Environmental San. 14(2):87.

Saleh, Enizar. 2004. Teknologi Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. USU Digital Library. Medan.

Scott DL. 2008. UHT Processing and Aseptic Filling of Dairy Foods. Manhattan. Kansas. Kansas State University. 44.

Sinell, H.J., 1992. Einführung in die Lebensmittelhygiene.3. Auflage. Verlag PaulParey, Berlin, Hamburg

Slaighuis, B.A., M.C. te Giffel, R.R. Beumer, dan G. Andre.1997. Effect of pasturing on the incidence of Bacillus cereus spores in raw milk. Int. Dairy J. 7:201-205

Soejoedono R. 2004. Penyakit Yang Ditularkan Oleh Makanan. Bahan Kuliah Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.

Todar, K. 2005. The Genus Bacillus. Dalam Todar’s Online Textbook of Bacteriologi. University of Wisconsin-Madison. Download pada tanggal 4 November 2006.


(5)

Vissers, M.M.M., M.C. te Giffel, F. Driehuis, P. De Jong, dan J.M.G. Lankveld.2007. Predictive modeling of Bacillus cereus spores in farm tank milk during grazing and housing periods. J Dairy Sci. 90:281-292

Vlaemynck G, Van Heddeghem A.1992. Factors affecting the growth of Bacillus cereus, in Bacillus cereus in milk and milk products. International Dairy Federation. Brussel

Vyletulova, M, Hanu, O, Urbanova, E, Kopunecz, P 2000: The occurrence and identification of psychrotrophic bacteria with proteolytic and lipolytic activity in bulk milk samples at storage in primary production conditions. Czech J Anim Sci 45: 373-383

Vyletulova M., Hanu O., Páčová Z., Roubal P., Kopunecz P. (2001): Frequency of Bacillus bacteria in raw cow’s milk. Czech J Anim Sci 51

Westhoff, D. C. 1978. Heating milk for microbial destruction: A historical outline and update. Journal of Food Protect 41 : 122.

Wiesner, H.U. 1985. Anleitung Milchhuntersuchung und Milchbeurteilung sowie Biotechnik des Maschinellen Milchentzuges. Institut fur Hygiene und Technologie der Milch der Tierarztlichen Hochschule Hannover.

Wijnads LM, Duffrene JB, Rombouts FM, in Held PH, van Leusden FM. 2006. Prevalence of Potentially Pathogenic Bacillus cereus in Food Commodities in the Netherlands. J Food Prot 69

[WHO] World Health Organization. 1990. Surveillance Programme. Fourth report of WHO Surveillance Programme for control of foodborne infections and intoxications in Europe. FAO/WHO Collaborating Centre for Research and Training in Food Hygiene and Zoonoses, Berlin, Germany.


(6)

Lampiran: Spesifikasi Persyaratan Mutu Susu UHT (SNI 01-3950-1998)

No Jenis uji Satuan Susu UHT tawar

Susu UHT ditambah penyedap citarasa

1 Warna - Khas,normal,

sesuai label

Khas,normal, sesuai label

2 Bau - Khas,normal,

sesuai label

Khas,normal, sesuai label

3 Rasa - Khas,normal,

sesuai label

Khas,normal, sesuai label 4 Protein ( 6,37 ) %, b/b Min 2,7 Min 2,4

5 Lemak %, b/b Min 3,0 Min 2,0

6 Bahan kering tanpa lemak

%, b/b Min 8,0 Tidak

dipersyaratkan

7 Total padatan - Tidak

dipersyaratkan

Min 12

8 Pewarna tambahan - Tidak

dipersyaratkan

Sesuai SNI 01-0222-1998

9 Cemaran Timbal (Pb) mg/kg Maks 0,30 Maks 0,30 10 Cemaran Tembaga

(Cu)

mg/kg Maks 20,0 Maks 20,0 11 Cemaran Seng (Zn) mg/kg Maks 40,0 Maks 40,0 12 Cemaran Timah (Sn) mg/kg Maks 40,0 Maks 40,0 13 Cemaran Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,03 Maks 0,03 14 Cemaran Arsen mg/kg Maks 0,10 Maks 0,10