Domestikasi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera Saturniidae) dalam Usaha Meningkatkan Persuteraan Nasional

(1)

DOMESTIKASI ULA T SUTERA

UAR

Atlilcus IIIIIIs

(Lepidoptera :

Saturniidae) DALAM USAIlA

MtN1NGKATKAN

PERSUTERAAN NASIONAL

ALlAWAN

SEKOLAHPASCASARJANA

i:NSTITuT

PERTANIAN BOCOR

BOGOR


(2)

PERNY ATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER IINORMASI

Deugau ini saya meuyatakan bahwa disertasi "Domestikasi Ulat Sutera Liar AtttlCus atlas (Lepidoptera : Satumiidae) Dalam Usaha Meuiugkatkan ' Persuteraan

Nnasiooal" adalah karya saya dengao arahan komisi pembimbing dan belum diajukao dalam bentuk apapua kepada perguruan tiaggi maaa pUD. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkao dari penulis lain telah disebutkan clalam teks daD dicantuDlkan dalam

Daftar Pu.taka di bagian akhir disertasi iDi..

ii

Bogor, Novem.ber 2007

AliA wan NIM 8161020021


(3)

Abstract

ALI A WAN. Domestication Efforts of Wild Silkworm Attacus atlas (Lepidoptera:

Saturniidae) Towards the Enhancement of National Silk Production. Under the

supervision ofF.X. KOESHARTO, BIBIANA W. F. LAY, DEDY DURY ADI SOLIHIN and DAMIANA R. EKASTUTI

Wild type silkworms (Anacus atlas) are insects which have high economic value. Various commodities are made from silkwonn as raw materials; such as woven industry. clothes (e.g. batik, kimono, traditional dress, etc.), food product, medicine, cosmetics, electronic industries (di.gital computer material, film printing device), textile industries

(carpet material), art and handicraft (painting. flowers) and it can also be managed as eco-tourism.

This research was conducted at Sukamantri silkworm !ann Bogor Agricultural University, at the laboratory of nutritive and biology radiation Bogor Agricultural University, and at a Cooperative G1.U1ung Bayu Tenun Sutera Alarn and Kerajinan Tangan Purwakarta from February 2005 to September 2006. Rearing method was used with three different experiments. The first experiment was habituation and domestication processes (Fl - F2). the second experiment was behaviour of silkwonn A. atlas (F3) fed with sirsak ( sour-sop) and tea leaf, the third experiment was analysis of cocoon quality of A. atlas (FI セ@ F3). The measured parameters were survival rate, life cycles. behaviour, growth rate. food consumption, digestion rate, egg production and cocoon quality.

The aims of the research were attempting to domesticate wild silkworm at the laboratory or artificial room, to obtain a potential host plant for rearing wild silkworm. 「ゥッセッャッァケ@ and the production of wild silkwonn on commercial scale.

The result showed that A. atlas can be domesticated in the laboratory or artificial room. A. atlas reared inside the artificial room (ex situ) demonstrated higher survival rate

compared to A. atlas reared in the nature (in situ). The survival rate of the larvae up to pupa stage fed ウッオイセウッー@ (sirsak:) and tea leaf were 100% for FI, F2 and F3, respectively, where as the survival rate of the larvae in the nature was 10010 only. Ex situ rearing of A . atlas showed that the silkworm bad short life cycles, high emerged imagos, high egg production and high cocoon quality.

During habituation and domestication processes of A. atlas fed with sirsak: (sour-sop) and tea leaf. slowed changing on the behaviour of A. atlas reared inside the laboratory or artificial room from wild to domesticated behaviour. These changes were suggested due to the animal adaptation to the laboratory or room conditions (e.g. temperature and hwnidity). Moreover, the availability of qualified food supported A. atlas life because the animal can consume and utilize the food very well. This condition led A. atlas growth bigger, has short's life cycles, higher egg production and has higher cocoon quality. The result also demonstrated that A. atlas fed with tea leaf has a better quality than those fed sirsak (sour-sp) leaf.

Keywords: Attacus atlas, biological aspect, domestication, natural food, wild silk


(4)

RlNGKASAN

All A WAN. Domestikasi U lat Sutera Liar Attacus atias (Lepidoptera : Saturniidae) Dalam Usaha meningkatkan Persuteraan Nasional. Dibimbing oleh F.X. KOESHARTO, BIBJANA W. LAY, DEDY DURYADI SOLIHIN dan OAMIANA R. EKASTIJTl.

Ulat sutera liar Atlacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae) adalah salah salu jcnis scrangga yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Banyak komoditi olahan yang clapat diproduksi dari bahan ulat sutera liar ini, yaitu industri tenun. pakaian (batik. kain kimono. dasi, wol, kcmeja, rok, dll), makanan. obat..obatan, kosmetik, bidang clcktronik (hahan digital komputer, alat cetak film), industri tekstil, seni dan kerajinan tangan.

Benang dari Atlacus allaj' memiliki keunggulan kualitas dari ulat sutera domestik (Bomhyx mori). yaitu lembut. tidak mudah kusut, tahan panas., tidak

menimbulkan rasa gatal dan anti bakteri (Akai. 1997). Selain itu serat sutera liar memiHki

variasi wama alami dari scratnya yang sangat menarik dan eksklusif schingga

mem.berikan nilai estetilca. tersendiri dan menjadikan bahan baku yang spc:sifik. Reberapa negara yang maju dalam industri persuteraan tetah memanfaatkan serat sutera liar ini untuk pakaian tradisional dalam upacara adat, keagamaan dan peristiwa penting lainnya. Namun demikian jenis ulat yang dapat dimanfaatkan sangat terhatas (1-2 spesies saja)

dan masih mengandalkan pengumpulan kokon secara a1ami.

Bert.ola1r dari latar belakang ini, maka :oenelitian ini hertu.iuan untuk mcndapatkan uillt su::era Har iokai (Atlacus atlas) yang mampu berproduksi baik dalam ruangan. bioekologi dan produksi Attacus alias hingga generasi ketiga (F3), mendapatkan paknn atau tumbuhan inang potcnsiaJ bagi pc:ngembangan ulat sutera liar Allacus atlas dalam ruangan, memberikan rekomendasi budidaya ulat sutera liar khususnyya AUtu.'us alias (dalam skala komersial).

Metodc yang digunakan adalah metode rearing dengan 3 rancangan percobaan,

yaitu percobaan pertama proses habituasi (FI-F2), percobaan kedua adalah respon

perlakuan jenis pakan alami (sirsak dan teh) terhadap pertwnbuhan dan PW{illktivitas Attacus atlas (F3). percobaan ketiga yaitu anaJisis kualitas kokon Altacus atlo.\' (Fl-F3), parameter yang diukur dari ketiga percobaan ini adaIah tingkah laku, siklus hidup,


(5)

kcbcrhasilan hiuup, kon:mmsi pakan, duya ccmu, ャセゥオ@ pcrlumbuhan, pruduksi tclur, produksi kokon dan kua1itas benang.

HasH pcnelitinn mcnunjukknn bahwa seJama proses habituasi dun domcstikasi berlangs\U1g (FI-F3) telah terjadi perubahan tingkah laku dari liar di alarn mcnjadi jinak dalam ruangan. Terjadinya perubahan tingkah laku dari liar di alarn menjadi jinak dalam

ruangan, karena selama proses habituasi bedangsung (FI-F2) A. atlas mulai dapat

heradaptasi dengan kondisi dalam mangan, sehingga tampak terjadi perubahan tingkah

laku, yaitu larva lebih jinak dan tenang, imago tidak terbang jauh, dapat mcnkonsumsi dan memanfaatkan pakan dengan baik, proses oogenesis dan embriogenesis men jam cepat, siklus hidupnya mcnjadi Ichih pcndek, produksi tclut lcbih banyak dan produksi kokon lebih baik, Total perkcmbangan A. atlas selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (FI-F3) dengan pemberian pakan daun sitsak, yaitu PI : 64-88 (76,0 ± 8,14) hari, F2 : 56-76 (66,0 ± 6,72) hari, F3: 56-72 (64,0 ± 5,63) hari. Sedangkan pada pakan daun teh Pl : 63-82 (72,5 ± 7,48) hari, F2 : 56-74 (65.0± XセQYI@ hari, 1<3 : 56-72 (64,0 ± 5,88) hari.

Dari total 480 ekor larva Attacus at/a,,; (Ft-F3) yang dipelihara pada pakan daun sirsak dan teh menunjukkan keberhasilan hidup dan produktivitas yang tinggi. Hal ini

dapat dilihat dati pcriode larva yang 100 persen mencapai masa pupasi, tcrjadi peningkatan kemunculan imago jantan maupun betina. serta jumlah tclur yang meningkat pada setiap tahapan generasi, pada pakan daun sirsak maupun daun teh. Keherhasilan hidup yang tinggi ini, disebabkan tetjadinya petubahan tingkah laku dati liar di slam

menjadi jinak: dalam mangan, serta A. atlas telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan kualitas pakan yang tersedia secaca kontinyu.

Dari masing-masing 80 ekot larva Attacus atlas (F3) yang dipelihara pada pakan daun sirsak dan teh dari instar 1-6, menunjukkan konsumsi pakan segar meningkat sesuai dengan instarnya. Attacus at/as dengan pemberian pakan claun sirsak dapat menkonsumsi pakan sebanyak 129,01 gram pakanllarva dengan daya cerna 38,66 % selama satu peri ode. Sedangkan pada daun teh. Attacus at/as dapat menk:onsumsi RK pakan sebanyak 137,97 gram pakanllarva dengan daya cerna 40.86 % selama satu pcriudc. Jlasil

uji statistik menunjukkan bahwa tcrjadi perbedaan antara konsumsi pakan segar dan claya cerna pada daun sirsak dan teh, terutama pada instar kedua sampai instar keenam.


(6)

Dao.an p8Q8 senap UlllaPiJl1 iョセオZオN@ /1UU(,.".) UffU,) , au.j$ ... <" .. セ@ lI ... • ... -_ •• '--'" tinggi bila dibandingkan dengan sirsak. Pertambahan bobot badan tertinggi terdapat pada !!!star エBAGiNセAyゥN@ [GZセイセャQセ@ ーセ、セL@ AGセA@ ,ode ini Lrva re!l.;ti w;lktnrIY;-, culof' lama (S- 10) Itmi, 'arv,-ェオセ@ :ia.pat セ・ョォoャャウオュウゥ@ p.akan cukJp 「ャAョケセQ」M アーィa・セゥ@ caciallgan energi untuk mcmao:;uki mass pupasi.

Hasil analisis kualitas kokon AI/aeus atlas (Fl-F3)

dan

pemeJiharrum pada

masing-masing pakan uji (sirsak dan teh) ternyata berbeda satu dengan lainnya., baik dalam hal berat kokon isi pupa, kulit kokon. panjang filamen. Hasll uji statistik A. atlas

yang dipelihara pada daun sirsak menunjukkan basil yaitu : terjadi peningkatan kualitas

ォッォッセ@ terutama pada kokon berisi pupa dan berat kulit kokon (F3 ) F2 ) F I), panjang filarnen (F3 セ@ F2 ) Fl). Hasil anaJisis kelas mutu kokon disimpulkan bahwa, pada generasi kedua (F2) dan ketiga (F3) terjadi perbaikan mutu kokon, walaupun ke1as mutu kokon berada. pada grade C, tetapi ada perubahan mutu kokon terutama pada teral kokon berisi pupa dan kulit kokon untuk generasi kedua (F2) dan generasi ketiga (F3).

Sedangkan Attacus atlas (FI-F3) yang diberikan daun reb, herat kokon berisi pupa (F3 )F2 ) Fl). berat kulit kokon dan panjang filamen (F3 ) F2 ) FI). HasH analisis kelas mutu kokon, menunjukkan bahwa teJah terjadi perbaikan mutu kokon dari grade C kc Krade B

pada generasi kedua (F2) dan generasi ketiga (F3). Kualitas pakan mempengaruhi hasil sutera dan produktivitas kokon. Hal ini dapat dilihat dari berat kokon isj pupa, Jrulit lcokon, persentase kulit kokon dan panjang filamen. Hasil analisis statistik menunjukkan

bahwa Attacus at/as yang dipelihara pada pabn daun エ・セ@ mempunyai lrualitas yang Icbih

baik bila dibandingkan dengan Attacus atlas yang dipelihara pada pakan daun sirsak.


(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2007. Hak cipta dilindungi Undang-Wldang

1 . Dilarang mengutip sebagian dan seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penuiisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak: sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPS


(8)

DOMESTIKAS) OLAT

SlJTER,·\

LIAR.

Ai1aeus Ilflas (Lepidoptera: Saturniidae) l>ALAl\1 LJSAHA 1\1 .. :NIN(;KATKAN

I)ERS(JTERAAN NASIONAL

ALI AWAN

Disertasi

Sebagai salah satu sYf1rafuntuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program

Studi

Saios

Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN

boHセor@

BOGOR

2007


(9)

Judul DiscI1asi : Domestikasi Ulat Sutera Liar AUacus atlas (Lepidoptera: Satumiidae) Dalam U!'aha MeningJ.:atkan Persuteraan Nasi:.mal

Nama

NIM

AliAwan

: Bi61020021

Disctujui Kornisi p・セゥュ「ゥョァ@

セ@

セィN@ F.X. Koesharto. M.Sc Kelun

Dr. Ir. Deily DUlyadi Solihin. DEA Anggota

Ketua Program Studi Sains Vc!criner

TanggaJ Ujian : 19 nqカ・ュ「セイ@ 2007

_Prof. Dr. Drh. Bihiana W. Lav, M.Sc

Anggota

Dr. Orh. Damiana R. EkastlJli, M.S.

Anggota

Dikctabui,


(10)

PRAKATA

Puji syukur pcnulis panj,itkan ke-hadirnt Allah SWT kan:nn atas limpahnn rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penu1isan disertasi ini. Penelitian ini mulai dila\sanakan pJ.da bulan Pebmari 2004 sampai dengan September 2006 yaitu domestikasi ulat sutera liar AUacus alias (Lepidoptem : satumiidae) dalam usaha meningkatkan pusuteraan nasional. Penelitian ini dilaksanakan di beberapa tempat yaitu pengambilan hewaIl percobaan dari Petemakan Ulat Sutera Cisomang Kecamatan Darangdan Purwakarta, ana1isis proksimat di Laborntorium Nutrisi dan Biologi Radiasi PAU IPS bッァッイセ@ proses habituasi dan domestikasi di Petemakan Ulat Sutera IPB Snkamantri Bogor, analis.'1 kualitas kok0n di Industri Tcnun Purwakarta. Parameter yang diteliti yaitu tingkah laku, sikJus hidup. keberhasilan hidup. konsumui pakan, laju pertumbuhan, produksi telur, produksi kokon dan kualitas benang.

Pelaksanaan p(.nelitian dan penulisan disertasi ini tidak tertepas dati bantuan berbagai pihak. Penghargaan dan terimakasih penulis ucapkan kepada Yth. Dr.Drh. F.X. Koesharto, M.Sc. Prof. Dr. Orh. Bibianri W. Lay, M.Sc, Dr. Ir. Dedy Dur)adi Solihin, DEA dan Dr. Drh. Damiana R. Ekastuli, M.S; seJaku komisi pembimbing atas bimbingan yang telah dib"rikan. Semoga jasa dan Bapak dan Ibu mendapatkan pahala dari Tuban Yang Maha Kuasa. Penulisjuga itャ・ョァセーォ。ョ@ terimakasih kepada Dr. Ir. Min Kaomini. M.Sc dan Dr. Drh. I. Wayan T. Wibawan, M.SC sebagai penguji ujian tertutup

yang telah memi>erikan masukan untuk pcnulisan セゥウ・イエ。ウゥ@ ini. Ucapan terima kasih disarnpaikan kepada Rektor Unpatti Ambon, Dekan FKIPIFMIPA Unpatti. yang te1ah memberi izin dan dukungan se1ama melaksanakan studi di IPB. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pimpinan IPB dan Dckan Sekolah PascasaTjana IPB, Ketua Program


(11)

Studi Sains Veteriner, Pirnpinan dan staf Laboratorium Nutrisi dan Biologi Radiasi PAU IPS. Pimpinan dan staf Kebun Petemakan Ulat Sutera JPB Sukamantri Bogor. Pimpinan Peternakan Ulat Sutera dan Industri Tenun Cisomang Purwa!mrta, atas izin dan fasilitas yang diberikan selama rnelaksanakan penelitian.

Penu!;s juga mengucapka:..'l terirnakasih kepada Direktur lenderaI Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) yang membcrikan ·beasiswa BPPS; kep3.da Bapak Ir. Bakri Lumbesy, MBA (Wakil Bupati Kabupaten Buru) dan Ir. SyahruJ rawa (Kepala Dinas Perkcbunan dan Hortikultura Kabupaten Bum), Pcmda tingkat satu Propinsi Maluku, Pcmdo Kabupaten BUnJ dan YayasaJ"l Masjid Raya Alfatah Ambon yang te1ah

memberikan bantuan dana dalam melaksanakan pcnelitian.

Terima kasih dis!Ul1paikan kcpada semua keluarga tt.:rcinta terutama · ibunda Hj Maryam TolahuliwUm:mailo dan Ayahanda Abdul Karim Awan (AIm) yang senantiasa mendukung dan mendoakan keberhasilan penulis, Ayahanda

uan

Ibu angkat tcrcinta Ba Umanailo (Aim) dan isteri yang meninggai di saat penu!is mempersiapkan diri untuk ujian Doktor, Bapak Prof. Dr. Syarifudin w。ヲ[エゥィ・セオキ@ dan isteri yang selalu memberikan dorongan kcpada penulis, Dekan FKIP Unpatti (Drs. Patrik Rahabav, M.Si), Ketua lurusan PMIPA (Drs. Hasan Bin Gawi, M.Si), ketU3 Program Studi Pendidikan Biologi

nr.

Alwi Smith, M.Si) serta sernua keluarga dan pihak lain yang telah membantu yang tidak sempat disebutkan di sini, atas segal a bantuan dana, doa, dorongan dan kasih sayangnya. Mudah-mlldahan Allah

svrr

mcmbalas 611di haik Uapak, ibu dan saudara-saudara semuanya. Amin.

Bogor, November 2007 . Ali Awan


(12)

RIWAYAT HIDUP

PenuJis dilahirkan di Desa Pohon Batu Kecamatan Waisama Kabupaten Buru. pada tanggal J 2 April 1968 sebagai anak keempat dari deJapan bersaudara, dari pasangan Abdul Karim Awan (Alm) dengan Hj Maryam TolahulialUmanailo. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar

padii

SDNegeri Wamsisi Kecamatan Waisama Kabllpaten Buru Julus tahun 1980 dan Madrasah Ibtidaiyah lulus tahun 1979, SMP Pe1tjwi Ambon lulus tahun 1983, SMA Muharnmadiyah Ambon Lulus tahun 1986. Mdalui jalur PMDK penulis diterima pada Program Studi Biologi FKIPIPMIPA Unpatti Ambon pada tabun J 986 dan luJus tahun 1990. Tabun ) 995 mengikuti program .Pascasarjana (82) di Unpad Banctung dengan mengambil kajian utarna Patobiologi dan I uJ us pada tahun 1998. Kesempat2.n untuk me.lanjutkan program doktor di Program Studi Sains: Veteriner tahun 2002 dan mulai alGifkuliah pada tahun 2003 dengan mendapatkan beasiswa dari dゥイ・QNNQッイセエ@ It.'1lderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) tabun 2002.

Pe.autis bekerja ウ・「セァ。ゥ@ staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Biologi FKIP/PMIPA Unpatti Ambon mulai tahun 1992 sampai sekarang. Selama mengikuti program S3; penulis menjadi anggota Perhimptman Entomologi Indonesia. Karya ilmiah tt:ntang .. Domestikasi ulat sutera Uar AttaC'us 1J'..1as (Lepidoptera: Saturniidae) pada

pakan daUB teh ( cqュセャゥ。@ NヲゥャゥセョウゥヲI@ " telah pcnulis sampaikan pada kongres Perhimpunan Entomologi Indonesia (pEl) dan Seminar Nasional di Dcnpasar Bali Pada

Bulan Juti tahun 2007. Sebuah artike} ilmiah tcntang "Aspek biologi ulat sutera liar

Attocus atlas pao. pakan daaun sirsak (Annona mur!caia) akan diterbitkan pada Jumal Hortikultura Departetnen Pertanian di Jakartz. pada Volume 18110. 4 tabun 2008. Karya-karya ilmiah terse but merupakan bagian dari program S3 penulis.


(13)

DAFTARISI

Halaman

DAFTAR TAOEL ... .. ... . ... ... , ... ' ... XVI

DAFTAR GAMBAR ... ... .. ... . ... xviii

DAFT AR tAMPlRAN ... . ... ... .. . ... .. .. ... ... ... ... .. ... . ...

xx

PENDAl-IULUAN ... ... .... 1

1 . 1. Latar Ilclakang ... , ... ;.,' ... . ... . ... . ... . 1.2. Perumllsan Mar.alah .. . ... ... ... ... .... ... 4

1.3. Tujuan Penelitian .. ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... ... 5

1.5. Hipotesis ... ... ... ... .. ... ... .. .. ... ... ... .. ... .. 6

11 TINJAUAN PUSTAKA ... ... ... 7

'2.1 Sejarah Ulat Sutera Liar dan Jenis-jenis yang Berpotensi ... 7

2.2 Potensi Sutera Liar di Indonesia .. .. . .. ... . .. .. .. . ... .. ... .. ... ... 9

2.3 Klasifikasi Ulat Sutera Liar A. atlas (Lepidoptera: Satumiidae)... 13

:!.4 Distribusi dan Penyebaran A. atlas (Lepidoptera: Satumiidae)... 14

2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan, Reproduksi

rum

Mortalitas A. atia.'i Hl・ーゥ、ッーエセイ。@ : Saturni idae) ... . ,... . ... 16

2.6 Pakan Uji yang Digtmakan Pada Pemeliharaan Ulat Sutera Liar Alfacus atlas (Lepidoptera: Saturniidac) .. . ... .... ... ... ... 22

2.7 Perilaku Makan Serangga .. ... ... ... ... ... 24


(14)

III METODE PENELITIAN ".. ... . .. ... .. ... .. .. ... . ... . .. . .. .. ... ... .. ... 27

3.] ャセッォ。ウゥ@ Penelitian ... ... ... ... 27

3.2 Waktu Penciilian ... ... . ... " ... ... .. . 27

3.:; Bahan dan Alat ... ... ... " . " " .. .. .. .. " " . . . .. 28

3.4 Rancangan Percobaan .. ... . ... ,. .... ... ... 29

3.5 Tabapao Pelaksanaan Pcne1itian ... ... ... ... 3]

3.6 K'iJalitas Kokon... ... ... . ... .. . .. . .. .... .... .... . ... ... 35

3.7 Prosedur Pengolaban Kokon A. alias Menjadi Benang ... 40

3.8 Analisis Data... ... ... 41

IV HasH Dari Aspek Biologi Ulat Sutera Liar Attacus atlas Selama Proses Habituasi dan Domestikas; pada Pakan Daun Sirsak dan Teh ... ... 42

4 1 Perubahan Tingkah l&ku. ... ... 42

4.2 Proses Habituasi dan Domestikasi A. atlas (FI-P2) pada Daun Sirsak ... 44

4.3 Proses Habituasi dan Domestikasi A. atlas (Ft-F3) pada Daun Teh .... 45

4.4 Ciri Murfologi A/facus atlas clan'Perilakunya ... 48

4.5 Pembahasan ... セ@ ... . ... ' " ... . ... . . ... .. 61

V Respon Perlakuan Jenis Pakan Alami (Sirsak dan Teh) Terhadap Perturnbuhan dan ProduktivitasA. atlas (F3) (Lepidoptera: Saturniidae) .... 72

5.1 HasiJ Konsumsi PakanA. at/as (F3) pada Daun Sirsak dan Tch ... 72

5.2 Kcccmuan Pakan A. atlas (F3) pada Duun Sirsak Jar. Tcr. ... 73

5.3 p・イエ。ュセ。ィ。ョ@ Bobot BadanA. atlas (F3) pada Daun Sirsak dan Teh ... 75

5.4 Keberhasilan Hidup dan Perkembangan A. atlas (F3) pada Daun Sirsak .. 76

5.5 Keberhasilan Hidup dan PerkembanganA. atlas (F3) pada Daun Teh .... 77


(15)

5.6 Pembahasan .. , ... . ... 80

VI Analisis Kualitas Kokor. A. alias pada Pakan Daun Sirsak dan teh .. ... 86

6.1 Kriteria Uji Kualitas A. at/us (FJ -F3) pada DaWl Sirsak dan Teh... 86

6.2 Hao;il Analisis Kualitas K(Jkon A. atlas (FI-F3) pada Daun Sirsak ... 87

(..3 H:lsil Analisis Kualitas FiJamen A. atlas (FI-F3) pada Daun Teh . .... . .. . 88

f.4 Pembahasan ... ... , ... ... ... . ... ... ... .... .... . .. 90

VO PEMBAHASAN UMUM ... . ... ... 94

7.1 Polyvoltin... ... . ... ... .. ... .. ... ... 94

7.2 Suhu, Kelembaban dan Ruang Pemeliharaan .... .... .. . .. ... ... ... 99

7.3 Kandungan Gizi Pakan ... ... ... ... .... ... .... .. .... 101

7.'-'-Produksi Kokon dan Kualitas bcnang .... .. ... . ... 103

"

7.5 Rekomendasi dalam Skala Komersial .. ... .. .. .... ... ... ... ... 105

7.6 Analisis Finansial ... . ... . ... ... . .... ... 109

7.7 Kelebihan A ttacus atlas d, bandingkan dengan Bombyx mod ... _. _ . .... 113

VIII KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 115

8.1 Kesimpulan ... .. ... ... ,. ... 115

8.2 Saran ., .. . ... . . ,. '" ., ... ... .... , .. . ... .... ... ... .... ... 115

DAFTARPUSTAKA .... . ... ... ... 117


(16)

DAFTAR TABEL Tek:;

Ha!aman

J. n・ァ。イ。セョ・ァ。イ。@ Pengguna Hasil Olahan UJat Sutem Liar A. alias ... ... 12

2. Klasifikasi Kvkon A. atlas Berdasarkan.Kokon Cacat . .. .. . ... . .. ... .. .. . ... 36

3. Klasifikasi KokonA. atlas Berdasarkan Bobot KokonAda Pupa ... ... ... 37

4. Klasifikasi KokonA., atlas Berdasarkan Kokon Tanpa Pupa ... ... ... 37

5. Klasifikasi Kokon A. at/as Berdasarkan Prosentase Kulit Kokon . ... .. .. .... .. . 37

6. Perubahan Tingkah. Laku A. atlas dari Alam dan di Ruangan... ... ... 42

7. Daur Hidup Habituasi A. atla .• (F1) pada Daun Sirsak ... .. .. ... ... .. ... 44

8. Daur Hidup Habituasi A . atlas (F2) pada Daun Sirsak. . ... ... , ... . .. .. 45

9. Oaur Hidup Habituasi A . atlas (it) pada Daun Ten ... 46

10. Daur Hidup Habituasi A. atla.qF2) pada Daun Teh. ... .. ... .. ... 46

11. Kisar....n Suhu dan Kelembaban Sclama Proses Habituasi (Fl-F2) .... , .... .. ... 47

12. Kebt!rhasilan Hidup A. alias {:tada Dadap, Gempol, Mahoni dan Keben .. ... 61

13. Keberhasilan Hidup A. atlas (FI-F2) pada Daun Sirsak dan TelL.... ... .... 62

]4. Masa Inkubasi Telur A . atlas (Fl-f2) Proses Habituasi dan Domestikasi .... ... 64

IS . Masa Staciiwn LarvaA. atlas (Fl-2) padadaun Sirsak dan Tch . ... . ... 65

16. Mu.lcuInya Imago A. atlas (F I-F2) pacta Daun Sirsak dan Teh .. ... . ... 67

j 7. Kt:peridian Imago A. atlas (F I-F2) pada Daun Sirsak dan Teh ... .... ... .... 67

18. RaLaan Kons umsi Pakan A. atlas (F3) pada Pakan Dalin S i rsak dan T セィ@ .. , . . . 72

19. Rataan Kecemaan pakan A. atlas (F3) pada Dnun Sir5ak dan Teh ... ... 73

20. Raman Bobot Badan A . atlas (F3) pada Pakan Daun Sirsak dall Teh ... , '" ... 75


(17)

21. Daur HidupA. at/as (F3) pada Daun Sirsak ... . .. ... . . .. .. . .. . .. ... ... . ... 76

22. J)aur Hidup Attacus alias (F3) pada Pakan Duun Teh ... ... . ... 78

23. Rataan Kandungan Nutrisi pada Pakan Daun Sirsak dan Teh ... ... 80

2.4. Hasil Analisis Beberapa Parameter K

ua.:

i tas Kokon A. aI/as (F 1-F3) pada Pakan Daun Sirsak .. . ... ... .. ... ... ... 87

25. Kelas Mutu KokonA. atlas (FJ) pada Daun Sirsak ... . ... 88

26. Hasil Analisis Beberapa Parameter Kualitas Kokon A. atlas (Ft-F3) pada p。ャセ。ョ@ Daun Teh.... ... ... 88

27. Kelas Mutu KokonA. ';ltlas (FI-F3) pada Daun Teh ... 89

28. Kualitas Kokon A. atlas (Fl-F3) pada Daun Sirsak dan Teh... . . .. . . •. .. 90

29. Kesimpnlan Mutu Kokon dari Dua Jenis Pakan Berbeda ... . ... 92

30. Analisis Usaha Pemeliharaan A. atlas pada Pakan Daun Sirsak ... 112


(18)

])AF1'AR GAMBAR Teks

Distribusi dan Penyebaran Ulat Sutera Liar AffllCCVS alIas

(Lepidoptera: Satumiidae) di DWlia ... . ... .. ... .

2. BuIu-bulu Sensoris pada Maxilla Vlat Sutera ... , ... .

Halaman

3. Prosedw Pengolahan Kokon Attacus atlas Menjadi oenang ... . 14 24 39 49 50 52 54 54 55 56 57 59 59 60 63 73 74 84 4. Sentuk Imago A. atlas (Lepidoptera: Satumiidae) ... . 5. Sentuk 'relur Attacus atlas (Lepjdoptera : Satumiidae) ... .

6. Larva Instar 1 Attacus mlas (Lepidoptera: Satumiidae) ... . 7. Larva Instar 2 Affucus atla, (Lepidoptera: Saturniidae) ... . 8. Larva lnstar 3 Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae) ... .. 9. Larva Instar 4 Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae) ... , ... .. 10. Larva Instar 5 Attacus alias (Lepidoptera :$aturniidaf.:) ... . II. Larva lnstar (j Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae) ... . 12. Pembentukan Kokon Attacus alias ... . 13. Bentuk Kokon Attacus atlas ... . 14. Bentuk Pupa dan Kulit KokonAttaeus atlas .. ' ... .

15. Siklus Hidup Attacus atlas di dalam Ruangan ... . 16. Konsumsi Pakan A. atlas (F3) pada Daun Sirsak dan Teh ... .. 17. Kecernaan Pakan At/aeus atlas (F3) pada Daun Sirsak dan Teh ... "

18. Pertarnbahall Robot Badan A. atlas (F3) pada Daun Sirsak dan Teh ... ..


(19)

19. Kualitas KokonA. atlas (FI-F3) paJa Daun Sirsak dan Teh.... ... ... ... 91

.

20. Pnnjang fゥj。ュセョ@ A. atlas (F1-F3) pada Pnkan Daun Sirsak dan Teh ... 91

21. Bcrat Filarnen A. allCis (Ft -F3) Pada Pakan Daun Sirsak dan Teb ... _.. 92

22. Po:a l(ontinuitas lumlah Telur A. atlas (F 1 JF3) pada Dallil Sirsak

don Teh ... ... ... ... . . .... .. .. ... ... ... ... . ... .. . ... ... ... .... ... . . ... 97


(20)

DAFT AR LAMPJRAN Teks

Halaman

1. F oto T empat Pene} itian (Rwnah Vlat, knndang pemeJ iharaan) ... 122

2. Foto Laboratorium Nutrisi dan Biologi Radiasi PAU IPB Bogor... ... 123

3. Lokasi Pengambilan Hewan Percobaan di Cisomang Purwakarta. . . 124

4. FotoTempat Inkubasi Telur dan Perkawinan Imago ... 125

5. Rak Pemelihanan dan Masa Pupasi A. atlas... ... 126

6. Alat Perebusan Kokon, Penyeratan dan Pemintalan Benang ... 127

7. Alat Penyeratan dan Pengeringan Senang ... 128

8. Mcsin Tenun dan Kain HasH Tenun ... .... ... .. .... 129

C). Prosedur Analisa Proksirnat Pakan Alami ... ... ... ... . . ... J 30 10. Data Analisa Prc.ksimat Pakan Alami pada Musim Kemarau ... .... 133

11. Data Analisa Proksimat Pakan Alami pada Musim Hujan ... ... ,... .. . ... 134

12. Data Uji Kualitas KokonA. Atlas (FI) pada Daun Sirsak ... ... .. ... . 135

13. Data Uji Kualitas A. At/as (F2) pada Palcan Daun Sirsak ... __ ... 136

14. D.1ta Uji Kualitas A. at/as (F3) pada Pakan Daun Sirsak ... ., ... 137

15. Data Uji Kualitas A. atlas (F) pada Pakan Daun Teh ... ... 138

16. Data Uji KuaJitas A. atlas (F2) pada Pakan Daun Teh ... 139

1'1 Data Uji Kualitas A. at/as (F3) pada Daun Teh ... " 140 18. Data Keadaan Suhu d::m Kelembaban Pdemakan Ulat Sutera Sukamantri IPB Bogor (Lokasi P("nelitian) ... 141


(21)

19. Hasil AnaJisa Data dengan Uji Statistik ... 142

20. Bentuk Morfologi Atfacus atlas tLepidoptera : Satumiidae) ... .... ... 154

21 . PCla Distribusi Altacus atlas di Dunia dan Indonesia... ... 155

32. Jadwal Penelitian ... ... 156


(22)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ulat sutera merupakan salah satu dari beberapa serangga berguna (beneficial

insects) yang dipandang mempunyai nilai ekonomis tinggi karena mampu menghasilkan

serat sutera. Selain industri sutera yang dihasilkan oleh ulat sutera domestik (Bombyx

mori), sekarang telah dikembangkan industri sutera yang dihasilkan oleh ulat sutera liar,

hal ini telah dilakukan di Jepang, India dan Cina. Industri pemanfaatan serat sutera liar semakin berkembang karena tuntutan estetika, model dan perkembangan industri fashion “ haute culture” (industri butik kelas atas). Pasar mode di Perancis, Turki dan Italia telah

memanfaatkan sutera liar Attacus atlas ini untuk variasi mode dan industri garmen (ISA,

2000; Saleh, 2004).

Salah satu kelebihan dari sutera liar Attacus atlas adalah variasi warna alami dari

seratnya yang eksklusif, Attacus atlas adalah hewan asli Indonesia, serangga ini adalah

polyvoltin yaitu dapat hidup lebih dari dua generasi dalam setahun (ada sepanjang tahun), dapat menkonsumsi lebih dari 90 jenis tanaman pakan atau lebih dikenal sebagai polipagus, bobot kokon dan benang yang jauh lebih besar dari ulat sutera biasa (Bombyx

mori), harga benang yang sangat tinggi serta semua bagian dari serangga dapat

dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Tenun sutera ini banyak digunakan dalam upacara adat, keagamaan dan peristiwa penting lainnya. Jenis ulat sutera yang dapat dimanfaatkan sangat terbatas (1-2 spesies saja) dan masih mengandalkan pengumpulan kokon dari alam (ISA, 2000; Moerdoko, 2002).


(23)

Indonesia sebagai negara tropis dan memiliki habitat hutan tropika basah yang cukup luas ternyata berpotensi besar karena memiliki banyak spesies ulat sutera liar dengan kisaran inang (host) yang luas (Kalshoven, 1981). Di Indonesia ada 15 jenis ulat sutera liar, yaitu Attacus atlas L., Attacus crameri, Attacus dohertyi, Attacusparaliaei,

Attacus erebus, Attacus inopinatus, Attacus aurentiacus, Attacus intermedius, Cricula

trifenesterata Heef, Cricula aelaezea Jord, Samia cynthia ricini (Bsd), Antheraea pernyi,

Antheraea halferi, Anteraeae rosseeri dan Actias maenus (Kalshoven, 1981; Peigler,

1989; Situmorang, 1996). Salah satu jenis ulat sutera liar yang potensial dan paling banyak dimanfaatkan adalah ulat sutera liar Attacus atlas, penyebarannya hampir terdapat

di seluruh Indonesia diantaranya pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua yang dapat menkonsumsi 90 jenis tanaman pakan alami (Peigler, 1989).

Ulat sutera liar di luar negeri seperti Antheraea yamami telah dipelihara di

Jepang, Antheraea mylitta di India dan Antheraea pernyi di Cina yang dikenal sebagai

sutera tasar. Ulat sutera Antheraea assamensis atau yang dikenal sebagai sutera muga dan

ulat sutera eri (Philosamia ricini) telah dieksplorasi di India. Sutera Anape yang terkenal

di Afrika dipanen dari kokon ulat sutera liar Anaphe moloneyi, Anaphe panda, Anaphe

reticulata, Anaphe ambrezia, Anaphe carteri, Anaphe venata, dan Anaphe infracta. Dari

jenis-jenis ulat sutera liar tersebut di atas ulat sutera liar Attacus atlas yang dipelihara

dan diproduksi di Indonesia, mempunyai kualitas yang lebih bagus bila dibandingkan dengan ulat sutera liar dari luar negeri. Hal ini disebabkan ulat sutera liar Attacus atlas

mempunyai benang yang panjang (bisa mencapai 2500 meter/kokon), warna yang bervariasi (coklat muda, coklat tua, keabu-abuan) dan eksklusif, tidak kusut, kainnya


(24)

halus dan lembut, tahan panas dan anti alergi, dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam pakaian (batik, kain kimono, wol, dasi, kemeja, rok, baju pria), dapat digunakan di bidang elektronik (digital komputer, alat cetak film), bahan baku industri (bahan pembuat karpet dan tali sepatu), bahan obat-obatan dan makanan, bahan industri kerajinan dan seni (lukisan dinding, berbagai macam kembang, bahan pembuat kasur) dan dapat dijadikan sebagai eko-wisata (FAO, 1979; Saleh, 2004).

Dengan besarnya peluang pasar dan banyaknya lokasi yang cocok untuk kegiatan persuteraan alam di Indonesia, baik dilihat dari faktor biofisik, sosial, ekonomi maupun budaya, maka diharapkan usaha ini dapat berkembang baik serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus dapat mengentaskan kemiskinan.

Permintaan pasar dunia untuk ulat sutera liar ini cukup menantang. Negara konsumen terbesar dunia saat ini adalah Cina, membutuhkan kokon dan benang sutera mentah 37.441 ton, India 1529 ton, Madagaskar 40 ton, Nepal 2 ton setiap tahunnya (ISA, 2000). Dari segi permintaan pasar, kebutuhan benang sutera liar di dalam negeri untuk industri belum pernah tercukupi. Permintaan benang sutera liar Attacus atlas di

Jepang 1 ton/tahun, sedangkan Yogyakarta baru dapat menediakan 10 Kg saja (ISA, 2000).

Telah dilakukan beberapa penelitian tentang ulat sutera liar Attacus atlas dengan

berbagai macam pakan alami, diantaranya pada tanaman gempol, dadap dan cengkeh (Situmorang, 1996; Elzinga, 1998) akan tetapi hanya sebatas di lapang, larva diletakkan di pohon inang. Pemeliharaan di ruangan (in situ) belum pernah dilakukan. Selama ini tingkat keberhasilan di lapangan baru sekitar 10 % saja (Situmorang, 1996).


(25)

Agar sutera liar terutama Attacus atlas dapat dibudidayakan secara besar-besaran

diperlukan pengetahuan yang lebih mendalam tentang bioekologi Attacus atlas tersebut.

Informasi tentang budidaya penghasil sutera liar Attacus atlas sampai saat ini masih

sangat sedikit. Mengingat arti pentingnya sutera liar khususnya Attacus atlas secara

ekonomis, maka perlu diusahakan cara budidaya yang sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan kokon tanpa harus tergantung dari alam. Dalam usaha memenuhi hal tersebut maka pemahaman tentang daur hidup dengan pakan alami dalam skala laboratorium mutlak diperlukan.

1.2. Perumusan Masalah

Dari uraian di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan untuk mendukung pengembangan dan budidaya ulat sutera liar Attacus atlas adalah :

1. Adanya prospek yang baik terhadap produksi sutera liar untuk memenuhi kebutuhan domestik dan luar`negeri.

2. Jenis sutera liar lokal (Attacus atlas) memiliki keunggulan secara kuantitas dan

kualitas.

3. Diperlukan optimalisasi produksi ulat sutera liar lokal (Attacus atlas) dengan

eksplorasi tumbuhan inang (pakan alami) yang paling disukai dan hasil produksinya tinggi.

4. Pengembangan produksi secara besar-besaran harus ditunjang oleh perkembangan bioekologi sutera liar baik dalam skala laboratorium maupun lapang.


(26)

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan ulat sutera liar lokal (Attacus atlas) yang mampu berproduksi baik

dalam skala laboratorium dan menjadi dasar pengembangannya di lapang.

2. Bagaimana bioekologi dan produksi Attacus atlas dalam skala laboratorium

hingga generasi ketiga (F3).

3. Mendapatkan pakan atau tumbuhan inang potensial bagi pengembangan ulat sutera liar Attacus atlas di laboratorium dan skala lapang.

4. Rekomendasi budidaya ulat sutera liar khususnya Attacus atlas dalam skala

komersial.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi tentang jenis pakan alami yang paling disukai dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan, perkembangan dan produktivitas ulat sutera liar Attacus atlas

2. Dapat dijadikan sebagai suatu acuan atau petunjuk tentang teknik budidaya ulat sutera liar Attacus atlas untuk pengembangan persuteraan nasional.

3. Sebagai informasi dasar bagi peneliti dalam melakukan usaha budidaya ulat sutera liar di Indonesia.

4. Dapat menunjang pengembangan agroindustri, meningkatkan penghasilan petani dan menambah devisa negara.


(27)

1.5. HIPOTESIS

1. Ulat sutera liar Attacus atlas dapat didomestikasi dalam ruangan

2. Kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban) sangat mempengaruhi perkembangan dan produktivitas sutera alam liar.

3. Pakan alami yang cocok sangat berpengaruh terhadap siklus hidup, keberhasilan hidup dan produktivitas ulat sutera liar Attacus atlas.

4. Kualitas kokon dan serat sutera yang diproduksi oleh ulat sutera liar (Attacus


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Ulat Sutera Liar dan Jenis-Jenis yang Berpotensi

Jenis ulat sutera liar di dunia ini banyak sekali jumlahnya, yang tercatat hingga kini meliputi 205 jenis, 8 Genus, dan 2 Famili dari Ordo Lepidoptera (FAO, 1979 ; Peigler, 1989). Jenis-jenis ulat sutera liar tersebut secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Ulat Sutera Tasar dari Genus Antheraea (Lepidoptera : Saturniidae)

Genus ini menurut FAO (1979) dan Peigler (1989) terdiri dari : Antheraea

mylitta, A. daeamensia, A. knyvetti, A. compta, A. frithii, A. halferi, A. roylei, A.

sivalica, A. andamana, A. pernyi, A. yamamai, A. pasteuri, A. raffrayi, A. jana, A.

cemperi, A. cordifolia, A. pritti, A. imperator, A. brunea, A. billitonensis, A. larissa, A.

ridleyi, A. prelarissa, A. surakarta, A. mylittoides, A. delegata, A. fickei, A. pristina, A.

sciron, A. harti, A. .gephyra, A. rumphi, A. eucalypti, A. larissoides, A. polyphemus, A.

fasciata, A. versicolor, A. pulohra, A. ochripiota, A.. fraterna, A. oingalesa, A. celebensis,

A. buruensis, A. subcaeca, A. fusca, A. minahassae, A. sumatrana,A. borneensis, A.

korintjina, A. perrotetti, A. yongei, A. ineularie, A. javanensis, A. hazina, A. calida, A.

olivescens dan A. platessa. Selain ulat sutera tasar dari genus Antheraea ini dihasilkan

juga sutera muga yang dihasilkan oleh ulat sutera jenis Antheraea assamensis (Peigler,

1989 dan Mulyana, 2003).

2. Ulat Sutera Eri dari genus Philosamia (Lepidoptera : Saturniidae)

Menurut FAO (1979) dan Peigler (1989) terdiri dari : Philosamia cynthia, P.


(29)

P. vaneeckei, P. vanderberghi, P. luzonica, P. tetrica, P. borneensis, P. ceramensis, P.

mindanaensis dan P. advena.

3. Ulat Sutera Fagara genus Attacus (Lepidoptera : Saturniidae)

Menurut Peigler (1989) dan FAO (1979) ulat sutera liar ini terdiri dari : Attacus atlas,

A. standingeri, A. crameri, A. erdwarsi, A. dohertyi, A. taprobansis, A. macmulleri, A.

simalurana, A. erebus, A. gladiator, A. lorquinii, A. caesar dan A. temperator.

4. Ulat sutera Anaphe (Lepidoptera : Notodontiidae)

Menurut FAO (1979) dan Peigler (1989) ulat sutera liar ini terdiri dari Anaphe

infracta, A. venata, A. moloney, A. panda, A. reticulat dan A. carteri .

5. Ulat Sutera Spider dari genus Nephila (Lepidoptera : Saturniidae), yaitu

Nephila madagascarensi (FAO, 1979).

6. Ulat Sutera Coan Genus Pachypasa (Lepidoptera : Notodontiidae). Terdiri dari

Pachypasa otus dan Pachypasa lineosa (FAO, 1979).

7. Ulat sutera Mussel Genus Pinna (Lepidoptera : Saturniidae), yaitu Pinna squamosa

(FAO, 1979).

8. Ulat sutera dari genus Actias (Lepidoptera : Saturniidae), yaitu Actias maenus

(Atrmosoedarjo, 2000).

Dari jenis-jenis ulat sutera liar yang disebutkan di atas, beberapa negara telah memelihara dan memiliki potensi besar sebagai produk benang sutera yang dapat di ekspor oleh negara pengembangnya yaitu ulat sutera tasar Antheraea mylitta

(Lepidoptera : saturniidae), ulat sutera muga A. assamensis (Lepidoptera : Saturniidae)

dan A. proylei (Lepidoptera : saturniidae) di India, Antheraea pernyi (Lepidoptera :


(30)

fagara Attacus atlas (Lepidoptera : saturniidae) dan Cricula trifenesterata (Lepidoptera :

Saturniidae) di Indonesia dan ulat sutera eri Philosamia cyntia ricini (Lepidoptera :

Saturniidae) di Cina dan Jepang (FAO, 1979; Peigler, 1989; Situmorang, 1996; Mulyana, 2003).

Berdasarkan bukti sejarah, ulat sutera liar Attacus atlas sudah lama dikembangkan

dalam bentuk budidaya di India. Akan tetapi ulat sutera liar ini tidak lagi dikembangkan. Seorang ahli dari Jepang yang bernama Genggo Nakajima telah memelihara dan meneliti kualitas dan produktivitas dari sutera liar Attacus atlas di Yogyakarta, mengungkapkan

bahwa ternyata sutera Attacus atlas yang dicoba di Indonesia kualitasnya jauh lebih

bagus bila dibandingkan dengan India yang sudah lebih dahulu membudidayakan ulat ini, karena iklim negara Indonesia lebih mendukung untuk pengembangan ulat sutera liar ini. Tentu saja merupakan kabar gembira karena ada kaitannya dengan permintaan pasar yang cukup menantang. Di daerah Jawa Barat khususnya ulat sutera liar Attacus atlas sering

disebut hileud (ulat) badori, hileud orok (bayi), atau ulat gajah karena larvanya yang besar, adapun kupu-kupunya disebut kupu sirama-rama atau kupu-kupu gajah (Saleh, 2000). Di Yogyakarta dan sekitarnya serta daerah Temanggung, Wonosari dan Wonogiri (Jawa Tengah), ngengat dari Attacus atlas ini disebut kupu gajah atau kupu sirama-rama

(Situmorang, 1996).

2.2. Potensi Sutera Liar di Indonesia

Menurut Kalshoven (1981) dan Peigler (1989) ulat sutera liar di Indonesia terdapat 15 jenis, 5 genus (Attacus, Cricula, Philosamia, Antheraea dan Actias) dan satu


(31)

terdiri dari 8 spesies yaitu : A. atlas, A. cremeri, A. erebus, A. paraliae, A. dohertyi,

Attacus inopinatus, Attacus aurentiacus, Attacus intermedius. Dari genus Cricula

(Lepidoptera : Saturniidae) terdiri dari 2 spesies yaitu, Cricula trifenesterata dan Cricula

aleazea. Genus Philosamia (Lepidoptera : Saturniidae) satu spesies yaitu Philosamia

cyntia ricini, Genus Antheraea terdiri dari 3 spesies yaitu Antherea pernyi (Lepidoptera :

Saturniidae), Antherea halferi (Lepidoptera : Saturniidae), dan Antherea roseeri

(Lepidoptera : Saturniidae). Genus Actias satu spesies yaitu Actias maenus. Diantara 15

jenis ulat sutera liar yang ada di Indonesia ini telah dipelihara dan eksplorasi adalah ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) dan Cricula trifenesterata

(Lepidoptera : Saturniidae). Daerah yang telah memelihara dan mengeksplorasi ulat sutera liar ini yaitu Yogyakarta, Temanggung, Wonogiri, Wonosari (Jawa tengah), Purwakarta, Garut (Jawa Barat) (Situmorang, 1996 ; Saleh, 2000).

Tak dimungkiri jika sutera merupakan bahan utama bagi dunia mode, bukan saja karena nilai eksklusifnya namun lebih dari itu bahannya dipercaya sangat elegan sebagai rancangan adibusana. Busana sutera liar menjadi hand mode yang bernilai ekonomi

tinggi, lebih nyaman dipakai dan lebih bagus jahitannya. Temuan baru berupa kepompong emas yang menghadirkan tekstur spesifik bagi perancang busana untuk memberi sentuhan, khususnya aksen dekoratif, sulir dan pewarnaan. Dari pewarnaan kain sutera liar bisa menghasilkan warna yang indah daripada kain jenis lain dan lebih cemerlang (APPMI, 2004).

Budidaya sutera liar dapat memberikan lapangan kerja dalam jumlah besar mengingat banyaknya komoditi olahan yang dapat diproduksi dari bahan sutera liar. Industri ini ramah lingkungan, tidak merusak sumberdaya alam dan dapat


(32)

melestarikannya. Menghasilkan bahan baku bagi industri lain, misalnya industri tenun, batik, kecantikan, makanan, obat-obatan dan industri kerajinan tangan. Industri ini dapat dipanen dalam waktu yang singkat, menambah penghasilan dari sektor hasil hutan non kayu, menghilangkan penjarahan dan pengundulan hutan, produknya halus, lembut, tidak kusut, sejuk, anti alergi dan anti bakteri. Cendera mata sutera liar mudah dikerjakan, beragam corak, unik dan warnanya alami (Moerdoko, 2004).

Sutera liar Attacus atlas yang dipelihara di Indonesia kualitasnya jauh lebih bagus

bila dibandingkan dengan India yang lebih dulu memelihara ulat sutera ini. Benang sutera

Attacus atlas panjang benang bisa mencapai 2.500 meter/kokon, bobot badan ulat sutera

Attacus atlas 20 kali lebih besar dari ulat sutera Bombyx mori . Bahan kain sutera liar

Attacus atlas banyak diminati dari luar negeri, terutama dari Jepang untuk kain kimono

para Sumosan (atlet sumo), benang sutera mentahnya laku dibayar dengan harga Rp 400.000 /Kg (Saleh, 2000).

Kebutuhan pasar dunia sutera cukup menantang, menurut International Silk

Association (ISA, 2000). Negara konsumen terbesar adalah Cina 447.261 ton, Jepang

34.780 ton, Eropa 13.342 ton, India 126.94 ton, Iran 4.600 ton, Indonesia 639 ton. Namun dari sejumlah kebutuhan itu, sampai sejauh ini hanya tercukupi 10 persen saja (ISA, 1990; Saleh, 2000). Kebutuhan pasar Internasional cukup banyak, sementara bahan baku yang tersedia tidak mencukupi. Data negara-negara yang membutuhkan kokon, pupa dan benang mentah untuk produksi olahannya disajikan pada Tabel 1.


(33)

Tabel 1. Negara-Negara Pengguna Hasil Olahan Ulat Sutera Liar Attacus atlas

No Negara Konsumen Kebutuhan Penggunaan

1 Timur tengah (Persia, Libanon, Iran, Yaman

Benang Bahan pembuat karpet, tas, sajadah, kain sarung selendang 2 India (Bangalore &

Karmantaka)

Pupa & Benang

Makanan dan Pakaian

3 Amerika Benang Digital komputer, foto, dasi,

pakaian, vescose & benang polyester

4 Perancis Benang Pakaian & seni

5 Italia Benang Pakaian & seni

6 Jepang Benang, kokon

Kain kimono

7 Indonesia & Cina Benang, Kokon

Pakaian, tas, selendang, kembang, lukisan,

Sumber : (ISA, 1990; Saleh, 2000)

Serat sutera dari beberapa ulat sutera liar seperti Antheraea, Attacus, dan Cricula

memiliki keunggulan kualitas yang lebih baik dari ulat sutera Bombyx mori, yaitu lebih

lembut, porous, tak mudah kusut, tahan panas, tidak menimbulkan rasa gatal (alergi) dan anti bakteri. Berdasarkan sifat tersebut maka serat sutera liar memiliki nilai ekonomi yang tinggi (Akai, 1997). Produsen kokon sutera dunia seperti Cina, Korea dan Jepang kini banyak mengimpor kokon sutera dari produsen lain, sehingga menjadi peluang bagi Indonesia dalam mengembangkan budidaya sutera sutera liar untuk memasok kebutuhan pasar dunia (Dadang, 1998). Selain itu industri sutera Attacus atlas ini akan turut


(34)

mengurangi laju urbanisasi ke kota-kota besar. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam penelitian dan budidaya ulat sutera liar secara masal, khususnya A.

atlas, sehingga dapat menunjang agroindustri, meningkatkan penghasilan petani dan

menambah perolehan devisa negara (Anonim, 1988).

Melihat kebutuhan nasional akan benang sutera yang hingga kini sebagian besar belum terpenuhi, serta peluang pasar di luar negeri yang sangat besar, maka proses budidaya ulat sutera dimasa mendatang tampaknya cerah. Berkembangnya sektor pariwisata yang antara lain ditandai dengan meningkatnya arus kunjungan wisatawan asing ternyata memberikan dampak positif terhadap perkembangan industri garmen di dalam negeri dan diharapkan akan menambah peluang bagi usaha budidaya ulat sutera.

2.3. Klasifikasi Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae).

Kedudukan Attacus atlas dalam klasifikasi menurut Peigler (1989) adalah :

Phylum : Arthropoda Klas : Insecta Subklas : Pterygota

Ordo : Lepidoptera Subordo : Ditrysia

Familia : Saturniidae Subfamilia : Saturniinae Genus : Attacus


(35)

Attacus atlas merupakan jenis ngengat terbesar dan atraktif dari ordo Lepidoptera.

Ngengat Famili Saturniidae memiliki sayap berwarna menyolok dengan fenestrate transparan dan bintik seperti mata besar. Bentangan sayapnya bisa mencapai 25 cm. Larva memiliki tuberkel di bagian dorsal. Pupa terbungkus oleh kokon sutera yang ukuran dan warnanya bervariasi. Sebagian larva dari anggota familia ini menghasilkan serat sutera yang kuat dengan tenunan yang panjang, sehingga bisa dimanfaatkan untuk industri (Peigler, 1989).

2.4. Distribusi dan Penyebaran Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae)

Genus Attacus (ngengat atlas) dilaporkan ada 50 jenis, namun yang telah

diproduksi hanya ada 14 jenis (Peigler, 1989), yaitu : Attacus atlas Linnaeus dari Asia

bagian selatan, Asia tenggara dan Asia Timur, Attacus aurantiacus Rothschild dari

Kepulauan Kai (Maluku), Attacus caesar Maassen dari daerah Philipina Selatan, Attacus

crameri Felder dari kepulauan Maluku, Attacus dohertyi Rothschild dari pulau Timor,

Attacus erebus Fruhstor dari pulau Sulawesi, Attacus inopinatus Jurriaanse dari pulau

Flores dan Sumba, Attacus intermedius Jurriaanse dari kepulauan Tanimbar, Attacus

lemairei Peigler dari pulau Pallawan Philipina, Attacus lorquinii dari Philipina, Attacus

mcmulleni Watson dari kepulauan Andaman, Attacus paraliae Peigler dari kepulauan

Banggai di Sulawesi tengah bagian timur, Attacus taprobanis Moore dari Sri Lanka dan

daerah India Selatan dan Attacus wardi Rothschild dari Australia Utara (Peigler, 1989).

Indonesia memiliki 8 spesies yang paling dominan adalah dari jenis Attacus atlas karena

terdapat hampir di semua wilayah Indonesia yaitu di Pulau Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (Gambar 1). Spesies lainnya yaitu


(36)

Attacus aurantiacus di Kepulauan Kei (Maluku), Attacus dohertyi di pulau Timor,

Attacus intermedius di kepulauan Tanimbar (Maluku), Attacus inopinatus di Flores dan

Sumba (Nusa tenggara Timur), Attacus crameri (Maluku), Attacus paraliae di kepulauan

Banggai (Sulawesi tengah) dan Attacus erebus di Sulawesi Selatan (Peigler, 1989). Di

pulau Jawa pengembangan Attacus atlas dilakukan di daerah Gunung Kidul dan

Yogyakarta (wilayah daerah istimewa Yogyakarta) dan di daerah Purwakarta dan Bogor (Jawa Barat).

Gambar 1. Distribusi dan Penyebaran Ulat Sutera Liar Attacus atlas


(37)

2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan, Reproduksi dan Mortalitas Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae)

Kelangsungan hidup dan keberhasilan hidup Attacus atlas mulai dari tahap larva

sampai menjadi imago dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi dapat dibagi menjadi dua faktor utama yaitu biotik dan faktor abiotik.

2.5.1 Faktor biotik (Tanaman Inang, Parasit, Predator dan Penyakit) 2.5.1.1 Tanaman Inang (host)

Tanaman inang ulat sutera Attacus atlas tercatat paling banyak jenisnya

dibandingkan dengan genus-genus lain penghasil ulat sutera. Peigler (1989), menyatakan bahwa lebih dari 90 jenis tumbuh-tumbuhan dari 48 famili tanaman dapat dimakan daunnya oleh larva ulat sutera ini, antara lain : tumbuhan asam (Terminalia tomentosa

Oak), kaliki (Ricinus communis), ketela pohon (Manihot utilisima), arjun (Terminalia

arjuna), banj (Q. incana), som (Machilus bombycina), Michelia (Magnolliaceae) dan

Mussaenda (FAO, 1979, Peigler; 1989, Mulyana, 2003).

Attacus atlas khususnya di Yogyakarta, sering dijumpai pada tanaman keben

(Baringtonia asiatica Kurtz.), pancasuda (Thunbergia fragrans Roxb.), kenanga

(Canangium odoratum), rambutan (Nephelium sp.), jambu biji (Psidium guajava L.),

gempol (Nauclea sp.), mahoni (Sweetnia mahagoni Jacq.) dan dadap (Erythrina sp.)

(Situmorang, 1996). Di Kulonprogo diketemukan pada tanaman mahoni (Sweetnia

mahagoni), di daerah Cepu (Jawa Tengah) banyak ditemukan pada tanaman jambu


(38)

sutera liar Purwakarta pada bulan Agustus 2004 didapatkan Attacus atlas pada tanaman

mahoni (Sweetnia mahagoni), kunyit (Curcuma domestika), dadap (Erythrina

lithosperma Miq), teh (Camelia sinensis), alpokat (Persea americana Mil), sirsak

(Annona muricata), jambu biji (Psidium guajava), Ylang-ylang (Canangium odoratum)

dan pada tanaman cengkeh (Zingeber purpereum).

Tanaman inang sangat mempengaruhi kondisi ulat sutera maupun hasil suteranya. Kondisi fisiologis, kualitas kokon, produktivitas telur, serta lamanya siklus perkembangan dipengaruhi oleh kualitas pakan yang diberikan. Kualitas pakan juga mempengaruhi hasil pemeliharaan generasi selanjutnya. Jika kualitas pakan kurang baik, larva dapat sakit dan apabila kurang gizi akan menghambat pertumbuhan larva, sehingga sulit untuk memperoleh hasil yang maksimum, meskipun pada tahap berikutnya diberikan pakan yang lebih baik (Wangsan-Min, 1989).

2.5.1.2. Parasit

Telur Attacus atlas sebagian besar diparasit oleh anggota Famili Chalcidoidea

(Hymenoptera) diantaranya yaitu Anastasus menzeli Ferr, Anastasus colemani Crawford,

Agioemmatus attaci Ferr, Ooencyyrtus major Ferr, Tetrasticus sp. Famili

Ichhneumonidae (Hymenoptera) terdiri dari Xanthopimpla konowi Krieger,

Xanthopimpla brullei Krieger, Xanthopimpla sp, Teronia sp, Enicospilus plicatus Brulle

Serangan oleh Anastasus bisa mencapai 80 % (Peigler, 1989).

Parasit pada larva Attacus atlas diantaranya adalah Familia Tachinidae (Diptera)

Exorista sorbillans Wiedeman dan Blepharia wainwrighti Baronov, Familia Braconidae


(39)

seperti Xanthopimpla konowi Kriger, X. brullei, Enicopilus plicatus Brulle dan Theronia

sp. Parasit-parasit ini telah banyak menyerang larva (FAO, 1979 ; Peigler, 1989).

2.5.1.3. Predator

Semua fase kehidupan Attacus atlas, baik fase telur, larva, pupa maupun imago

tidak luput dari serangan predator. Predator seperti berbagai jenis burung, laba-laba, tawon, semut, cicak, kadal dan anggota vertebrata lain sering memangsa telur, larva maupun pupa dari Attacus atlas ini (Kalshoven, 1981). Aktivitas predator merupakan

faktor biotik yang sangat mempengaruhi populasi dan kehidupan serangga. Dalam populasi Attacus atlas di alam, kompetisi intra dan antar generasi dalam mendapatkan

makanan, perlindungan dan tempat untuk pupasi akan menyebabkan kegagalan pupasi dan kematian (Kalshoven, 1981 ; Peigler, 1989).

Beberapa golongan predator yang sering dijumpai yaitu tawon jenis Parustewon

collaris (Hymenoptera : Vespidae), belalang sembah (Orthoptera : Mantidae), semut jenis

Solenopsis geminata (Hymenoptera : Formicidae) capung dari ordo Odonata, lalat

perampok dari ordo Diptera, laba-laba jenis Pardosa pseudoannulata (Arachnida :

Lycosidae), Oxyopes javanus (Arachnida : Oxyopidae), Bianor sp (Arachnida :

Salticidae) , Erigone biurca Locket (Arachinida : Araneidae), Solenopsis geminata

(Hymenoptera : Formicidae) dan cicak dari kelas Reptilia (Kalshoven, 1981 ; Peigler, 1989 ).

Predator-predator ini umumnya menyerang telur dan larva Attacus atlas dari

berbagai macam tingkatan instar. Larva instar satu, dua dan tiga di lapang biasanya diserang oleh predator dari golongan semut, tawon, laba-laba, capung dan cicak. Larva


(40)

dari instar` awal ini diserang dan dimangsa oleh predator karena fisiknya yang masih cukup lemah, sehingga tingkat mortalitasnya cukup tinggi.

2.5.1.4. Penyakit Ulat Sutera

Jenis-jenis penyakit yang sering menyerang telur, pupa dan larva ulat sutera domestik adalah jenis penyakit yang disebabkan oleh virus, cendawan, protozoa dan bakteri. Penyakit yang disebabkan oleh virus, yaitu penyakit Grasserie, penyebabnya

adalah Barrolina virus yang menyerang sel-sel larva yang terbentuk di nukleus dari

berbagai organ diikuti rusaknya sel-sel inang. Selain itu terdapat penyakit Cytoplasmic

polyhedrosis virus (CPV) yang disebabkan oleh Smithia virus (Samsijah, 1994).

Penyakit yang disebabkan oleh cendawan yaitu Aspergilus oryzeae dan

Muscardine putih (Beauvenia bassiana). Aspergilus oryzeae masuk melalui kulit, tumbuh

hypha yang berwarna putih menutupi seluruh badan larva yang mati, kemudian tumbuh pada kayu atau bambu yang digunakan dalam ruangan. Protozoa yang menyebabkan kerusakan pada ulat sutera adalah Microsporidia yang menimbulkan penyakit pebrin.

Penyebab penyakit pebrin adalah Nosema bombycis. Pebrin ini berkembang biak dengan

spora dan juga membelah diri, sumber utamanya adalah kontaminasi antara makanan dengan spora, gejalanya adalah keluarnya ngengat dari kokon terlambat, sayap ngengat tidak lengkap, terdapat ngengat tanpa sayap, sisik mudah rontok dan kemampuan bertelur sangat rendah (Samsijah, 1994). Pada ulat sutera Attacus atlas belum dilaporkan


(41)

2.5.2. Faktor abiotik

Lingkungan abiotik di sekitar tempat hidup Attacus atlas adalah hal penting untuk

diperhatikan. Kondisi lingkungan ini diantaranya, yaitu suhu, kelembaban, cahaya matahari, sirkulasi udara dan kebersihan tempat hidupnya. Bila kondisi abiotik ini tidak diperhatikan akan mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan Attacus atlas jadi

terganggu. Kondisi lingkungan abiotik yang ideal untuk pemeliharaan Attacus atlas di

lapangan belum diketahui pasti. Sebagai acuan perbandingan dipakai pada ulat sutera

Bombyx yang sudah lama dibudidayakan. Beberapa faktor abiotik yang mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera Bombyx mori, diantaranya adalah suhu,

kelembaban, cahaya, dan udara (Veda et al., 1997).

2.5.2.1 Suhu lingkungan

Ulat sutera adalah organisme poikilotermal yaitu dipengaruhi langsung oleh suhu lingkungannya. Umumnya suhu tubuh ulat sutera lebih tinggi 1 0C daripada lingkungan di luar tubuhnya. Aktivitas fisiologis dipengaruhi oleh temperatur tubuhnya, sehingga memberi kemungkinan terjadi variasi rerata pertumbuhan pada ulat sutera ini. Pada tahap larva jika suhu lingkungan lebih tinggi dari 30 0C atau kurang dari 20 0C, akan mengakibatkan aktivitas kehidupannya jadi terganggu dan kesehatan ulat sutera akan memburuk. Larva sebaiknya tidak mengalami perubahan suhu yang ekstrim pada waktu lama (Veda et al. 1997). Berdasarkan hal ini maka dalam pemeliharaan larva A. atlas,


(42)

2.5.2.2. Kelembaban

Kelembaban mempengaruhi perkembangan ulat sutera baik secara langsung maupun tidak langsung. Kelembaban selama pemeliharaan ulat sutera rendah maka perkembangan mikrobia patogen jadi rendah pula. Kelembaban meningkat akan menyebabkan kelayuan tanaman pakan jadi lambat, sehingga tetap segar yang disukai oleh ulat sutera, namun kelembaban yang tinggi ini akan meningkatkan pertumbuhan mikrobia patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada ulat sutera. Kelembaban untuk pemeliharaan larva instar satu dan dua umumnya lebih tinggi yaitu sekitar 80-95 %, sedang pada larva instar tiga, empat dan lima sekitar 70 %. Bila kelembaban dan temperatur berubah secara ekstrim dan tiba-tiba maka akan menyebabkan ulat sutera tak bisa beradaptasi sehingga kesehatan ulat sutera jadi memburuk (Veda et al, 1997).

2.5.2.3 Intensitas cahaya

Intensitas cahaya yang ideal untuk larva Bombyx adalah sekitar 15-30 lux. Ulat

sutera umumnya akan menghindari intensitas cahaya yang terlalu tinggi (Veda et al.

1997). Nintensitas cahaya kurang berpengaruh untuk pemeliharaan larva Attacus atlas di

daerah tropis.

2.5.2.4Udara

Ulat sutera bernapas dengan spirakel. Udara yang dihisap akan diangkut menuju sel-sel tubuh melalui trakea. Udara yang dihisap ini (oksigen) digunakan untuk mengolah karbohidrat, lemak dan protein menjadi energi. Energi yang dihasilkan ini digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera selanjutnya. Pengaturan sirkulasi udara


(43)

perlu dilakukan. Selain itu untuk pemeliharaan ulat sutera harus diperhatikan juga kebersihan lingkungan pemeliharaan, sebab lingkungan yang kotor dan penuh sampah akan mengeluarkan gas-gas yang berbahaya bagi ulat sutera, misalnya gas karbondioksida dan amonia dari hasil pembusukan sampah.

2.6. Pakan Uji yang digunakan Pada Pemeliharaan Ulat Sutera Liar Attacus atlas

Pakan sangat penting dalam usaha ternak apapun termasuk pemeliharaan ulat sutera liar. Sumber pakan harus tersedia secara pasti dan kesinambungannya terjamin. Pakan yang diberikan sebaiknya memenuhi syarat mengenai bagian tanaman yang paling disukai, selain itu kebersihan daun juga harus dijaga, demikian pula kesegaran dan bebas dari bibit penyakit (Guntoro, 1994).

2.6. 1. Tanaman Sirsak (Annona muricata.L)

Sirsak disebut juga nangka belanda atau nangka seberang. Merupakan tanaman buah-buahan tropis dari famili Annonaceae. Adapun susunan taksonomi tanaman sirsak adalah

Divisi : Spermatophyta, Sub divisio : Angiospermae, Kelas : Dicotyledoneae, Ordo : Ranales, Famili : Annonaceae, Genus : Annona, Spesies : Annona muricata L.

(Radi, 1997).

Tanaman yang termasuk famili Annonaceae, seperti sirsak dicirikan dengan bau

yang tidak sedap dari daunnya. Di Indonesia hanya dikenal dua jenis yaitu sirsak manis dan sirsak asam. Secara morfologis susah dibedakan (Radi, 1997).


(44)

Daun sirsak berbentuk bulat panjang dengan ujung runcing, warna daun bagian atas hijau tua, sedangkan bagian bawah hijau kekuningan. Daun sirsak tebal dan agak kaku dengan urat daun tegak pada urat daun utama. Aroma yang ditimbulkan bau yang tidak sedap. Daun mahkota berwarna hijau muda, jumlahnya enam helai yang terbagi dalam dua lapis, tiga daun mahkota lingkaran dalam lebih kecil. Bila mendekati mekar mahkota bunga ini berubah menjadi kuning muda (Radi, 1997).

2.6. 2 Tanaman Teh (Camelia sinensia (L).

Dalam spesies Camelia sinensis, dikenal beberapa varietas yaitu : Varietas Cina, asam

dan Cambodia. Di Indonesia terdapat varietas asam, dengan susunan taksonominya, yaitu : Divisi : Spermatophyta, Sub divisi : Angiospermae, Kelas : Dicotyledoneae, Ordo : Ranales, Famili : Theaceae, Genus : Camelia, Spesies : Camelia sinensis (L).

(Setyamijaya, 2002)

Varietas asam berbatang tunggal (jika tidak dipangkas) dengan ketinggian pohon mencapai 6-9 meter. Dari varietas ini dapat dibedakan lima sub varietas, yaitu : teh asam berdaun cerah, teh asam berdaun kelam, manipuni, Burma dan Luski. Ciri-ciri varietas asam ini secara umum adalah daun panjang (15-20 cm) buah berbentuk lonjong, berkilat, bergerigi banyak dengan ujung yang jelas, berwarna hijau tua, serta duduk daun pada cabang dan ranting agak tegak (Setyamidjaja, 2002).

Dari kelima subvarietas ini, teh asam adalah yang terpenting. Teh asam selain memiliki sifat-sifat seperti disebutkan di atas, juga masih memiliki spesifikasi : daunnya lunak dan duduk agak terhelai, daun pucuk berbulu, kuantitas dan kualitas hasil tinggi. 99 % daun teh di Indonesia adalah teh asam ini. Komponen kimia daun teh, terdiri dari 4


(45)

kelompok, yaitu : Substansi fenol : Catechin dan flavanol bukan fenol : Pectin, recin,

vitamin dan mineral, aromatik dan enzim-enzim : Theoflavin dan theorubigin. Dari

keempat komponen kimia ini menyebabkan warna, rasa dan aroma yang baik dan disukai oleh ulat sutera Attacus atlas (Setyamidjaya, 2002).

2.7. Perilaku Makan Serangga

Chapman dan de Boer (1995) menyatakan bahwa perilaku makan serangga diatur dan dipengaruhi oleh titer nutrien tertentu dalam darahnya terutama titer asam-asam amino dan gula. Dengan kata lain dipengaruhi oleh osmolitas hemolimn dan kebutuhan jaringan untuk metabolisme dan pertumbuhan. Oleh karena itu keberadaan zat-zat tertentu di dalam darah merupakan informasi yang penting.

Perilaku makan meliputi rangkaian komponen perilaku menemukan pakan, menerima atau menolak dan menelan pakan. Menemukan pakan dipengaruhi oleh defisiensi nutrien di dalam hemolim. Defisiensi nutrien dapat mencakup turunnya osmolitas, turunnya kadar nutrien tertentu, turunnya regangan usus atau turunnya kadar hormon yang dikeluarkan karena rangsangan regangan usus. Defisiensi nutrien selanjutnya akan mempengaruhi atau menyebabkan hewan bergerak mencari dan menemukan pakannya. Setelah hewan mendekati pakannya, hewan tersebut akan menggunakan reseptor-reseptor organ sensorisnya (Gambar 2) untuk mengenali pakan dan biasanya digunakan reseptor kimiawi. Ulat sutera pada maxilanya terdapat berbagai macam reseptor seperti tampak pada Gambar 2. Rangsangan dari pakan akan diterima oleh susunan saraf pusat, kemudian ditanggapi dengan keputusan makan atau tidak makan. Makanan selanjutnya mengalami proses pencernaan. Di dalam saluran


(46)

pencernaan juga terdapat berbagai reseptor yang akan mendeteksi pakan yang dicerna. Pakan dicerna dan diabsorbsi. Absorbsi makanan akan menyebabkan perubahan osmolitas dari nutrien, perubahan ini akan ditanggapi dengan berhentinya makan.

Pada tahap selanjutnya penggunaan nutrien, metabolisme yang terjadi di jaringan juga akan mempengaruhi osmolitas nutrien dan seterusnya mempengaruhi perilaku makan berikutnya. Jadi pada serangga perilaku makan merupakan suatu proses fisiologis yang kompleks yang melibatkan pengaturan hormon dan saraf yang dipengaruhi oleh osmolitas nutrien di hemolim (Chapman dan de Boer, 1995).


(47)

Ulat sutera memiliki beberapa reseptor yang dapat digunakan untuk mengenali pakannya. Ishikawa dalam Tazima (1978) menyatakan bahwa pada maxillanya terdapat

dua macam sensilla styloconoca, untuk mengenali gula (sugar sensory hair = SS3) dan

air (water sensory hair = SS1 dan SS2). Pada pangkal bulu sensor gula terdapat tiga sel

(Ls, Li dan G) yang dapat mengenali glukosa. Sedangkan pada pangkal bulu sensor air terdapat empat sel ( R, W, N2 dan N2’), masing-masing untuk zat repellant, air, garam dan asam.


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian meliputi beberapa kegiatan dan dilakukan di beberapa tempat, yaitu : a). Analisa proksimat pakan alami daun sirsak dan daun teh dilakukan di laboratorium Nutrisi dan Biologi Radiasi PAU IPB Bogor, b). Pengambilan sampel pakan dan ulat sutera Attacus atlas di Peternakan Ulat sutera Cisomang Purwakarta, c). Proses adaptasi

dan perlakuan dilaksanakan di Peternakan Ulat Sutera Sukamantri IPB Bogor, d). Analisa kualitas kokon dan kualitas filamen dilaksanakan di Koperasi Gunung Bayu Tenun Sutera Alam dan Kerajinan Tangan Desa Depok Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta (Jawa Barat).

3.2.Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai sejak Pebruari 2004 sampai September 2006, yang dibagi menjadi tiga tahap, yaitu :

Percobaan Pertama : Proses habituasi ulat sutera liar Attacus atlas terhadap pakan alami

daun sirsak dan teh dari alam sampai generasi kedua (F2).

Percobaan Kedua : Respon perlakuan jenis pakan alami (Sirsak dan Teh) terhadap pertumbuhan dan produktivitas Attacus atlas dari F3.

Percobaan Ketiga : Analisa kualitas kokon Attacus atlas dan kualitas filamen mulai dari


(49)

Data penunjang yang dikerjakan untuk mendukung percobaan di atas adalah analisa proksimat pakan alami di laboratorium Nutrisi dan Biologi Radiasi PAU IPB Bogor serta data kondisi lingkungan.

3.3. Bahan dan Alat 3.3.1 Hewan

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ulat (larva) sutera liar Attacus

atlas (Lepidoptera : Saturniidae) yang diambil dari Peternakan Ulat Sutera, Desa

Cisomang Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta sebanyak 160 ekor larva instar pertama. Masing-masing 80 ekor dipelihara pada pakan alami daun sirsak dan teh. Larva yang diambil dari alam dipelihara sampai F2. Proses habituasi diteruskan dari F1 hingga F2 dengan penggunaan larva instar pertama hasil dari penetasan telur F1 dan F2. Jumlah larva F1 dan F2 yang digunakan untuk habituasi adalah masing-masing 160 ekor larva. Pada percobaan pertama total larva yang digunakan adalah 320 ekor larva, sedangkan untuk percobaan kedua 160 ekor larva dari F3 dan pada percobaan ketiga diproses sebanyak 480 kokon (F1-F3).

3.3. 2 Bahan.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan alami (daun sirsak dan daun teh), formalin 4 %, popzol, kaporit, alkohol, NaOH (soda kuastik), aquades dan sabun netral (cap kunci/tangan), teepol (pembersih).


(50)

3.3. 3 Alat

Alat yang digunakan adalah tempat kandang serangga peneluran berupa kotak kayu berdinding kawat kasa ukuran 40 x 40 x 60 cm, ruang sungkup kasa berukuran 1,5 x 1,2 x 3 meter untuk tempat pemeliharaan, tempat/wadah pemeliharaan adalah baki plastik yang berukuran 25 x 20 cm. Alat yang lain yaitu : timbangan, higrothermograf, oven, botol sprayer, jam, kamera dan eksikator.

3.3.4 Tempat Pemeliharaan

Inkubasi telur dan pemeliharaan ulat kecil (instar 1 dan 2) dilakukan pada ruangan berukuran 2 x 3 m2 yang berdinding kawat kasa dengan kisaran suhu ruang 22

0C- 24 0C. Pemeliharaan ulat besar (instar 3 -6) di ruangan yang berukuran 3 x 4 meter

dengan kisaran suhu ruangan adalah 24 0C-29 0C. Pembentukan kokon dan masa pupasi terjadi di ruangan yang berukuran ( 3 x 4) m2 dengan kisaran suhu 26 0C- 29 0C. Rata-rata suhu harian di lokasi Peternakan Ulat Sutera Sukamantri Bogor adalah pada pagi hari, 22

0

C-24 0C, pada siang hari ; 25 0C-29 0C, pada sore hari ; 25 0C-27 0C, dan pada malam hari ; 22 0C-24 0C.

3.4.Rancangan Percobaan

3.4.1 Percobaan pertama:

Proses habituasi. Dari 160 ekor larva instar pertama yang diambil dari alam dipelihara dalam ruangan dengan pemberian jenis pakan alami daun sirsak dan teh, masing-masing 80 ekor larva untuk tiap jenis pakan. Pemeliharaan bertujuan untuk mendapatkan generasi pertama (F1). Proses habituasi dilanjutkan terus dari F1 sampai


(51)

F2. Pakan diberikan mulai dari instar pertama sampai instar enam. Waktu pemberian pakan 3 kali sehari, yaitu pada pagi hari mulai dari jam 7.00 – 9.00 WIB, siang hari dari jam 12.00 – 14.00 WIB dan pada sore hari dari jam 17.00 – 19.00 WIB. Jumlah pakan yang diberikan pada proses habituasi tidak terbatas. Suhu ruang disesuaikan dengan perkembangan instar. Masa inkubasi telur (22-24 0C), pemeliharaan ulat kecil dan besar (instar 1-6) suhu ruangnya berkisar antara 24-29 0C dan masa pupasi 26-29 0C, Jika suhu berfluktuatif (pada musim hujan diberikan sinar tambahan dari lampu petromax dan musim kemarau diberikan percikan air pada pakan dan ruang pemeliharaan) supaya suhu ruang tetap stabil pada kisaran 22-29 0C. Parameter yang diukur adalah : Tingkah laku, keberhasilan hidup, siklus hidup, produksi telur dan produksi kokon.

3.4.2 Percobaan kedua :

Respon perlakuan jenis pakan alami terhadap pertumbuhan dan produktivitas

Attacus atlas. Larva yang digunakan adalah generasi ketiga (F3). Pada F3 disiapkan

wadah pemeliharaan sebanyak 20 buah untuk masing-masing jenis pakan, setiap wadah pemeliharaan berisi 4 ekor larva, sehingga total larva yang digunakan adalah ( 4 x 20 x 2 = 160 ekor ) larva. Penelitian ini menggunakan rancangan Faktorial (2 x 2 x 20), 2 jenis perlakuan pakan alami (sirsak dan teh) dan generasi, 20 kali ulangan. Satu unit percobaan terdiri dari satu wadah berisi 4 ekor larva. Perlakuan diberikan pada saat instar pertama sampai instar enam. Jumlah awal pakan yang diberikan, yaitu : instar pertama 1 gram pakan/larva, instar kedua 2 gram pakan/larva, instar ketiga 3 gram pakan/larva, instar keempat 5 gram pakan/larva, instar kelima 6 gram pakan/larva dan instar keenam 7 gram pakan/larva. Waktu pemberian pakan 3 kali sehari, kadar air daun yang diberikan diukur


(52)

(ditimbang), yaitu pada pagi hari dari jam 7.00 – 9.00 WIB, siang hari dari jam 12.00 – 14.00 WIB dan pada sore hari dari jam 17.00 – 19.00 WIB. Sisa pakan dikumpulkan per instar dan dikeringkan dengan oven pada suhu 105 0C, 24 jam kemudian ditimbang. Pengaturan suhu ruang untuk masing-masing perkembangan sama dengan percobaan pertama. Parameter yang diukur dalam percobaan kedua ini adalah keberhasilan hidup, tingkah laku, siklus hidup, konsumsi pakan, laju pertumbuhan (bobot badan awal dan akhir instar), daya cerna, produksi telur dan produksi kokon.

3.4.3. Percobaan Ketiga :

Analisa kualitas kokon Attacus atlas. Total kokon yang diuji adalah dari proses

habituasi sampai domestikasi (F1 – F3) sebanyak (80 x 2 x 3 = 480 ) kokon. Analisis yang digunakan pada percobaan ketiga ini adalah kualitas kokon ( bentuk kokon, bobot kokon, persentase kulit kokon) dan kualitas filamen (panjang filamen dan berat filamen).

3.5. Tahapan Pelaksanaan Penelitian

3.5.1. Tahap Persiapan

Sebagai tahap awal penelitian ini dimulai dari penyediaan tanaman pakan, ruangan, alat dan tempat pemeliharaan, sterilisasi alat dan tempat pemeliharaan di kandang pemeliharaan peternakan ulat sutera IPB Sukamantri Bogor dan pengambilan ulat sutera liar Attacus atlas dari peternakan ulat sutera Desa Cisomang Kecamatan


(53)

3.5.2 Proses habituasi

Proses habituasi adalah proses penyesuaian pada kondisi dalam ruangan. Larva instar pertama Attacus atlas yang diambil dari peternakan ulat sutera Cisomang

Darangdan Kabupaten Purwakarta yang biasanya diletakkan di pohon, dipelihara dalam ruangan yang ditutupi dengan sungkup kasa sampai mendapatkan generasi pertama (F1). Proses habituasi dilanjutkan terus dari hasil F1 sampai F2 (dilakukan pada percobaan pertama).

3.5.3 Perlakuan Pada Percobaan Kedua

Respon perlakuan dengan pakan uji (sirsak dan teh) dimulai pada Attacus atlas generasi

ketiga (F3), dengan tahapan pelaksanaan sebagai berikut :

a. Perkawinan imago. Pupa yang telah berubah menjadi ngengat dari stok kultur (hasil habituasi), kemudian dikawinkan pada kandang serangga/ngengat dengan perbandingan 1 ekor jantan dan 1 ekor betina. Telur-telur hasil perkawinan dikumpulkan dalam cawan petri, kemudian dicuci dengan larutan formalin 4 %, tujuannya adalah untuk melepaskan cairan yang melekat pada telur dan menghindari telur dari penyakit.

b. Seleksi telur. Telur-telur yang telah dicuci dan terlepas dari ikatan lendir yang menyatukannya, kemudian diseleksi di laboratorium dengan menggunakan mikroskop binokuler. Dipilih telur-telur yang berbentuk oval dan tidak mengempis, kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri dan ditetaskan pada suhu kamar dengan kelembaban yang cukup. Dalam usaha menjaga kelembaban pada tengah hari dapat dilakukan dengan penyemprotan air pada kertas pelembab.


(54)

Tahap ini dilakukan pencatatan untuk jumlah telur yang diinkubasikan, masa inkubasi sampai telur menetas, serta jumlah telur yang menetas.

c. Setelah telur menetas, larva awal instar 1 ditimbang, dimasukkan daun pakan yang masih muda ke dalam wadah pemeliharaan sehingga larva berpindah ke daun, dengan menggunting daun di sekitar tempat larva tersebut, kemudian dipindahkan dalam wadah pemeliharaan yang telah diberi pakan daun.

d. Larva instar pertama sampai instar ketiga diberikan daun muda dan setiap hari pakan diganti, sedangkan mulai instar keempat sampai instar enam diberikan daun agak tua, pakan diberikan tiga kali setiap hari (pagi, siang dan sore hari).

e. Pakan yang diberikan dalam perlakuan masing-masing ditimbang terlebih dahulu untuk mendapatkan berat basah awal dari pakan. Daun diukur bahan keringnya dengan mengeringkan dalam oven dengan suhu 105 0C selama 24 jam. Setelah larva dibiarkan makan selama 24 jam, kemudian ditimbang berat feses dan sisa pakan, setelah itu diadakan pengeringan terhadap sisa pakan, diukur bahan kering sisa pakan dan bahan kering feses dari masing-masing perlakuan dengan mengeringkan sisa pakan dan feses dalam oven dengan suhu 105 0C selama 24 jam. Masing-masing perlakuan dibungkus dengan aluminium foil dan diberi label agar sampel tidak tertukar, kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat kering sisa pakan dan feses.

f. Dicatat perilaku larva tiap instar serta masa ekdisis antar fase sampai larva memasuki fase pupa (pembentukan kokon). Kemudian tahapan berikutnya dilakukan pengujian kualitas kokon (yaitu jumlah kokon baik, kokon cacat, bobot


(55)

kokon, persentase kulit kokon) dan kualitas filamen (panjang filamen dan berat filamen) serta diamati mortalitas selama penelitian.

g. Parameter yang diukur dan cara pengukuran (ISA, 1990).

1. Stadium, waktu perkembangan dalam satu siklus (mulai dari inkubasi telur sampai imago bertelur lagi).

2. Bobot badan setiap tahapan, bobot badan satu larva pada setiap tahapan instar.

3. Konsumsi pakan, jumlah pakan yang dimakan setiap periode instar dari setiap larva.

4. Daya cerna, presentase pakan yang dapat dimanfaatkan oleh larva.

5. Kualitas kokon, mutu kokon yaitu untuk mengetahui bentuk kokon, kokon normal dan kokon cacat, bobot kokon, % kulit kokon dan kualitas filamen (panjang filamen dan berat filamen) . Cara pengukuran. Adapun urutan dari tiap parameter tersebut sebagai berikut :

a. Stadium dihitung mulai dari telur sampai imago. Lama instar dihitung dari mulai telur menetas (instar 1) atau ganti kulit (instar ke-2 – instar ke-6) sampai dengan istirahat/moulting (hari).

b. Pertambahan bobot badan (PBB). PBB basah (gram) adalah bobot akhir instar - bobot awal instar.

c. Konsumsi bahan kering (gram), bahan kering pakan yang diberikan-bahan kering sisa pakan.


(56)

Kadar air pakan d. BK pakan yang diberikan = bobot basah x 1 - ---

100

e. BK sisa pakan = sisa pakan setelah dikeringkan/dioven 1050C selama 24 jam.

100 f. Konsumsi bahan segar = BK konsumsi pakan x ---

1- KA pakan BK konsumsi pakan-BK feses g. Daya cerna (%) = --- x 100 BK konsumsi pakan

BK feses = Bobot feses setelah dioven 105 0C selama 24 jam.

3.6. Kualitas Kokon

3.6.1. Uji Kualitas Kokon

Kokon A. atlas yang telah terbentuk ditimbang bobot isi pupanya minimum 7 hari

setelah mulai pembentukan kokon. Kurang dari waktu tersebut filamen belum terbentuk sempurna dan tidak perlu ditunggu hingga berakhirnya masa pupasi dengan munculnya imago. Kokon yang sudah tidak berisi pupa kokon/filamennya masih dapat proses. Cara pengukuran untuk menentukan kualitas kokon adalah sebagai berikut :

1. Bentuk kokon dilihat secara visual, antara kokon yang normal dan cacat Jumlah kokon cacat

2. Persentase Kokon cacat = --- x 100 % Jumlah total kokon


(57)

3. Bobot kokon segar ditimbang setiap kokon yang normal dengan pupanya.

4. Bobot kulit kokon adalah bobot kokon segar setelah dikeluarkan pupanya. Bobot kulit kokon

5. Persentase kulit kokon = --- x 100 % Bobot seluruh kokon

6. Panjang serat sutera adalah panjang benang yang digulung dari sebutir kokon. 7. Berat filamen yaitu ditimbang berat filamen dari sebutir kokon.

Data hasil pengukuran dari setiap parameter pengujian kualitas kokon ini adalah untuk menentukan mutu kokon. Penentuan kokon ke dalam kelas mutu kokon dilakukan dengan uji visual dan uji laboratorium. Parameter uji visual (bentuk kokon, bobot kokon dan persentase kulit kokon). Sedangkan uji laboratorium yaitu panjang filamen dan berat filamen. Untuk menentukan kualitas kokon dan kualitas filamen, digunakan modifikasi dari kriteria kualitas kokon yang sering dilakukan pada Bombyx mori, karena dii

Indonesia belum ada standar Nasional untuk kriteria kualitas kokon pada ulat sutera liar.

3.6.2. Uji Visual

Klasifikasi mutu kokon yang dimodifikasi dari kriteria kualitas kokon Bombyx mori.

Tabel 2. Klasifikasi Kokon Berdasarkan Kokon Cacat (Saleh, 2000; Moerdoko, 2002) Nomor Kokon Cacat (%) Kelas Mutu (grade)

1 〈 1 A 2 1,1-4 B 3 4,1-8 C 4 〉 8 D


(58)

Dari hasil tabel ini, apabila jumlah kokon yang diuji terdapat kokon cacat kurang dari 1 %, maka dapat dikatakan kokon tersebut masuk kelas mutu (Grade) A.

Tabel 3. Klasifikasi Berdasarkan Bobot Kokon (Saleh,2000 ; Moerdoko, 2002) Nomor Bobot Kokon (g) Kelas Mutu (grade)

1 〉 10 A 2 8-9,9 B 3 7-7,9 C 4 〈 7 D

Tabel 4. Klasifikasi Kulit kokon (Saleh, 2000; Moerdoko, 2002) Nomor Bobot Kulit Kokon Kelas Mutu (grade) 1 〉 2 A

2 1,5-1,9 B 3 1-1,4 C 4 〈 0,9 D

Tabel 5. Klasifikasi Prosentase Kulit Kokon (Saleh, 2000 ; Moerdoko, 2002) Nomor % Kulit Kokon Kelas Mutu (grade)

1 〉 25 A 2 20-24,9 B 3 15-19,9 C 4 〈 14,9 D


(59)

Untuk menentukan kelas kokon digunakan langkah-langkah sebagai berikut ; misalkan : a. Bobot kokon rata-rata setelah ditimbang 1,8 gram, berarti masuk kelas B. b. Prosentase kulit kokon rata-rata 20 %, masuk kelas B.

c. Prosentase kokon cacat rata-rata 15 %, masuk kelas C.

d. Kelas akhir merupakan kelas terendah dari hasil yang didapatkan dari tiga parameter tersebut.

Kerena kelas terendah adalah kelas C, yaitu prosentase kokon cacat, maka kesimpulannya adalah kualitas kokon tersebut masuk kelas C. Penentuan kokon ini dapat dikembangkan, dengan mengaitkan harga/kg dari kokon.

3.6.3 Uji laboratorium (Panjang filamen dan berat filamen )

Uji laboratorium, sampai saat ini di Indonesia belum ada sarana dan prasarana untuk mengadakan pengujian dengan alat yang modern, yang digunakan hanya sebatas untuk mengetahui panjang filamen dengan menggunakan “hand spund” (alat pemintal

tradisional). Pengujian panjang filamen dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : persiapan bahan, penyortiran, pemasakan, pencucian, pemerasan, pengeringan dan penyeratan benang. Dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Persiapan bahan : Disiapkan (Kokon, soda kaustik (NaOH), sabun netral (cap tangan/kunci, teepol (deterjen), air..

b. Penyortiran dan penimbangan: sebelum proses pemasakan, kokon harus dibersihkan dari sisa-sisa kotoran yang ada pada kokon, kemudian kokon tersebut ditimbang, demikian pula dengan bahan lain yang akan digunakan.


(60)

Plot 1: 20, artinya (1 gram kokon 20 ml air) : Sabun netral (cap tangan) : 15 : 20 g/l, Soda kaustik (NaOH) : 2 cc/l, Suhu (sampai mendidih), Waktu : 1 jam. Prosedurnya adalah : Bahan ditimbang (kokon, sabun dan soda), diisi bak celup dengan air plot, kokon dimasukkan ke dalam bak celup, kemudian proses pemasakan. Proses pemasakan tujuannya adalah untuk menghilangkan serisin yang terdapat pada kokon, setelah itu kokon dikeluarkan untuk dicuci. Proses pencucian dilakukan dengan bertahap, yaitu : air panas, air hangat kemudian dengan air dingin, selanjutnya kokon tersebut disimpan di atas saringan. Setelah itu proses pemerasan barulah dipintal satu persatu memakai hand

spund (alat pemintal tradisional.)

Tahapan pengolahan benang dari kokon, yaitu dimulai dari persiapan bahan (kokon, soda kaustik/NaOH, sabun netral, teepol/deterjen dan air), kemudian dilanjutkan

dengan penyortiran, penimbangan bahan, pemasakan/perebusan kokon, pencucian, penyeratan benang pada setiap butir kokon, pengeringan benang sampai proses pemintalan ditentukan dengan metode sederhana. Urutan prosesnya disajikan pada Gambar 3. Sutera mengandung fibroin, serisin, lilin dan garam-garam mineral. Serisinnya dihilangkan melalui proses pemasakan (degumming). Sebelum pemasakan,

kokon harus dibersihkan terlebih dahulu dari sisa-sisa kotoran yang ada pada kokon, kemudian kokon dan bahan-bahan yang akan digunakan ditimbang. Proses pemasakan (degumming) tersebut bertujuan untuk menghilangkan serisin yang terdapat pada kokon,

setelah itu kokon dikeluarkan untuk dicuci. Proses pencucian dilakukan dengan bertahap, yaitu : air panas, air hangat kemudian dengan air dingin. Selanjutnya kokon tersebut disimpan di atas saringan (ditiriskan). Setelah itu proses pemerasan barulah dipintal satu persatu dengan alat pemintal tradisional (hand spund).


(61)

3.7. Prosedur Pengolahan Kokon A. atlas dan Hasilnya Menjadi Benang

Dengan menggunakan “Hand Spund” (Alat pemintal ), kokon Attacus atlas dapat

diolah menjadi benang. Prosedur pengolahan kokon menjadi benang dapat dilihat pada Gambar 3.

Persiapan Bahan

Penyortiran

Penimbangan

Pemasakan

Pencucian

Penyeratan Benang

Pengeringan

Pemintalan


(1)

B

Gambar a. Tempat inkubasi telur b. Kandang perkawinan imago


(2)

Lampiran 5

A A

B

C Gambar a. Rak pemeliharaan ulat b. Wadah masa pupasi


(3)

B Gambar a. Alat perebusan kokon


(4)

Lampiran 7

Gambar a. Alat Hund Spund untuk proses penyeratan benang b. Hasil Penyeratan pada tiap sampel

A

B


(5)

A

B Gambar a. Mesin tenun


(6)