Domestikasi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera Saturniidae) dalam Usaha Meningkatkan Persuteraan Nasional

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

(12)

(13)

(14)

(15)

(16)

(17)

(18)

(19)

(20)

(21)

(22)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ulat sutera merupakan salah satu dari beberapa serangga berguna (beneficial insects) yang dipandang mempunyai nilai ekonomis tinggi karena mampu menghasilkan serat sutera. Selain industri sutera yang dihasilkan oleh ulat sutera domestik (Bombyx mori), sekarang telah dikembangkan industri sutera yang dihasilkan oleh ulat sutera liar, hal ini telah dilakukan di Jepang, India dan Cina. Industri pemanfaatan serat sutera liar semakin berkembang karena tuntutan estetika, model dan perkembangan industri fashion “ haute culture” (industri butik kelas atas). Pasar mode di Perancis, Turki dan Italia telah memanfaatkan sutera liar Attacus atlas ini untuk variasi mode dan industri garmen (ISA, 2000; Saleh, 2004).

Salah satu kelebihan dari sutera liar Attacus atlas adalah variasi warna alami dari seratnya yang eksklusif, Attacus atlas adalah hewan asli Indonesia, serangga ini adalah polyvoltin yaitu dapat hidup lebih dari dua generasi dalam setahun (ada sepanjang tahun), dapat menkonsumsi lebih dari 90 jenis tanaman pakan atau lebih dikenal sebagai polipagus, bobot kokon dan benang yang jauh lebih besar dari ulat sutera biasa (Bombyx mori), harga benang yang sangat tinggi serta semua bagian dari serangga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Tenun sutera ini banyak digunakan dalam upacara adat, keagamaan dan peristiwa penting lainnya. Jenis ulat sutera yang dapat dimanfaatkan sangat terbatas (1-2 spesies saja) dan masih mengandalkan pengumpulan kokon dari alam (ISA, 2000; Moerdoko, 2002).


(23)

Indonesia sebagai negara tropis dan memiliki habitat hutan tropika basah yang cukup luas ternyata berpotensi besar karena memiliki banyak spesies ulat sutera liar dengan kisaran inang (host) yang luas (Kalshoven, 1981). Di Indonesia ada 15 jenis ulat sutera liar, yaitu Attacus atlas L., Attacus crameri, Attacus dohertyi, Attacusparaliaei, Attacus erebus, Attacus inopinatus, Attacus aurentiacus, Attacus intermedius, Cricula trifenesterata Heef, Cricula aelaezea Jord, Samia cynthia ricini (Bsd), Antheraea pernyi, Antheraea halferi, Anteraeae rosseeri dan Actias maenus (Kalshoven, 1981; Peigler, 1989; Situmorang, 1996). Salah satu jenis ulat sutera liar yang potensial dan paling banyak dimanfaatkan adalah ulat sutera liar Attacus atlas, penyebarannya hampir terdapat di seluruh Indonesia diantaranya pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua yang dapat menkonsumsi 90 jenis tanaman pakan alami (Peigler, 1989).

Ulat sutera liar di luar negeri seperti Antheraea yamami telah dipelihara di Jepang, Antheraea mylitta di India dan Antheraea pernyi di Cina yang dikenal sebagai sutera tasar. Ulat sutera Antheraea assamensis atau yang dikenal sebagai sutera muga dan ulat sutera eri (Philosamia ricini) telah dieksplorasi di India. Sutera Anape yang terkenal di Afrika dipanen dari kokon ulat sutera liar Anaphe moloneyi, Anaphe panda, Anaphe reticulata, Anaphe ambrezia, Anaphe carteri, Anaphe venata, dan Anaphe infracta. Dari jenis-jenis ulat sutera liar tersebut di atas ulat sutera liar Attacus atlas yang dipelihara dan diproduksi di Indonesia, mempunyai kualitas yang lebih bagus bila dibandingkan dengan ulat sutera liar dari luar negeri. Hal ini disebabkan ulat sutera liar Attacus atlas mempunyai benang yang panjang (bisa mencapai 2500 meter/kokon), warna yang bervariasi (coklat muda, coklat tua, keabu-abuan) dan eksklusif, tidak kusut, kainnya


(24)

halus dan lembut, tahan panas dan anti alergi, dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam pakaian (batik, kain kimono, wol, dasi, kemeja, rok, baju pria), dapat digunakan di bidang elektronik (digital komputer, alat cetak film), bahan baku industri (bahan pembuat karpet dan tali sepatu), bahan obat-obatan dan makanan, bahan industri kerajinan dan seni (lukisan dinding, berbagai macam kembang, bahan pembuat kasur) dan dapat dijadikan sebagai eko-wisata (FAO, 1979; Saleh, 2004).

Dengan besarnya peluang pasar dan banyaknya lokasi yang cocok untuk kegiatan persuteraan alam di Indonesia, baik dilihat dari faktor biofisik, sosial, ekonomi maupun budaya, maka diharapkan usaha ini dapat berkembang baik serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus dapat mengentaskan kemiskinan.

Permintaan pasar dunia untuk ulat sutera liar ini cukup menantang. Negara konsumen terbesar dunia saat ini adalah Cina, membutuhkan kokon dan benang sutera mentah 37.441 ton, India 1529 ton, Madagaskar 40 ton, Nepal 2 ton setiap tahunnya (ISA, 2000). Dari segi permintaan pasar, kebutuhan benang sutera liar di dalam negeri untuk industri belum pernah tercukupi. Permintaan benang sutera liar Attacus atlas di Jepang 1 ton/tahun, sedangkan Yogyakarta baru dapat menediakan 10 Kg saja (ISA, 2000).

Telah dilakukan beberapa penelitian tentang ulat sutera liar Attacus atlas dengan berbagai macam pakan alami, diantaranya pada tanaman gempol, dadap dan cengkeh (Situmorang, 1996; Elzinga, 1998) akan tetapi hanya sebatas di lapang, larva diletakkan di pohon inang. Pemeliharaan di ruangan (in situ) belum pernah dilakukan. Selama ini tingkat keberhasilan di lapangan baru sekitar 10 % saja (Situmorang, 1996).


(25)

Agar sutera liar terutama Attacus atlas dapat dibudidayakan secara besar-besaran diperlukan pengetahuan yang lebih mendalam tentang bioekologi Attacus atlas tersebut. Informasi tentang budidaya penghasil sutera liar Attacus atlas sampai saat ini masih sangat sedikit. Mengingat arti pentingnya sutera liar khususnya Attacus atlas secara ekonomis, maka perlu diusahakan cara budidaya yang sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan kokon tanpa harus tergantung dari alam. Dalam usaha memenuhi hal tersebut maka pemahaman tentang daur hidup dengan pakan alami dalam skala laboratorium mutlak diperlukan.

1.2. Perumusan Masalah

Dari uraian di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan untuk mendukung pengembangan dan budidaya ulat sutera liar Attacus atlas adalah :

1. Adanya prospek yang baik terhadap produksi sutera liar untuk memenuhi kebutuhan domestik dan luar`negeri.

2. Jenis sutera liar lokal (Attacus atlas) memiliki keunggulan secara kuantitas dan kualitas.

3. Diperlukan optimalisasi produksi ulat sutera liar lokal (Attacus atlas) dengan eksplorasi tumbuhan inang (pakan alami) yang paling disukai dan hasil produksinya tinggi.

4. Pengembangan produksi secara besar-besaran harus ditunjang oleh perkembangan bioekologi sutera liar baik dalam skala laboratorium maupun lapang.


(26)

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan ulat sutera liar lokal (Attacus atlas) yang mampu berproduksi baik dalam skala laboratorium dan menjadi dasar pengembangannya di lapang.

2. Bagaimana bioekologi dan produksi Attacus atlas dalam skala laboratorium hingga generasi ketiga (F3).

3. Mendapatkan pakan atau tumbuhan inang potensial bagi pengembangan ulat sutera liar Attacus atlas di laboratorium dan skala lapang.

4. Rekomendasi budidaya ulat sutera liar khususnya Attacus atlas dalam skala komersial.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi tentang jenis pakan alami yang paling disukai dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan, perkembangan dan produktivitas ulat sutera liar Attacus atlas

2. Dapat dijadikan sebagai suatu acuan atau petunjuk tentang teknik budidaya ulat sutera liar Attacus atlas untuk pengembangan persuteraan nasional.

3. Sebagai informasi dasar bagi peneliti dalam melakukan usaha budidaya ulat sutera liar di Indonesia.

4. Dapat menunjang pengembangan agroindustri, meningkatkan penghasilan petani dan menambah devisa negara.


(27)

1.5. HIPOTESIS

1. Ulat sutera liar Attacus atlas dapat didomestikasi dalam ruangan

2. Kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban) sangat mempengaruhi perkembangan dan produktivitas sutera alam liar.

3. Pakan alami yang cocok sangat berpengaruh terhadap siklus hidup, keberhasilan hidup dan produktivitas ulat sutera liar Attacus atlas.

4. Kualitas kokon dan serat sutera yang diproduksi oleh ulat sutera liar (Attacus atlas) sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Ulat Sutera Liar dan Jenis-Jenis yang Berpotensi

Jenis ulat sutera liar di dunia ini banyak sekali jumlahnya, yang tercatat hingga kini meliputi 205 jenis, 8 Genus, dan 2 Famili dari Ordo Lepidoptera (FAO, 1979 ; Peigler, 1989). Jenis-jenis ulat sutera liar tersebut secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Ulat Sutera Tasar dari Genus Antheraea (Lepidoptera : Saturniidae)

Genus ini menurut FAO (1979) dan Peigler (1989) terdiri dari : Antheraea mylitta, A. daeamensia, A. knyvetti, A. compta, A. frithii, A. halferi, A. roylei, A. sivalica, A. andamana, A. pernyi, A. yamamai, A. pasteuri, A. raffrayi, A. jana, A. cemperi, A. cordifolia, A. pritti, A. imperator, A. brunea, A. billitonensis, A. larissa, A. ridleyi, A. prelarissa, A. surakarta, A. mylittoides, A. delegata, A. fickei, A. pristina, A. sciron, A. harti, A. .gephyra, A. rumphi, A. eucalypti, A. larissoides, A. polyphemus, A. fasciata, A. versicolor, A. pulohra, A. ochripiota, A.. fraterna, A. oingalesa, A. celebensis, A. buruensis, A. subcaeca, A. fusca, A. minahassae, A. sumatrana,A. borneensis, A. korintjina, A. perrotetti, A. yongei, A. ineularie, A. javanensis, A. hazina, A. calida, A. olivescens dan A. platessa. Selain ulat sutera tasar dari genus Antheraea ini dihasilkan juga sutera muga yang dihasilkan oleh ulat sutera jenis Antheraea assamensis (Peigler, 1989 dan Mulyana, 2003).

2. Ulat Sutera Eri dari genus Philosamia (Lepidoptera : Saturniidae)

Menurut FAO (1979) dan Peigler (1989) terdiri dari : Philosamia cynthia, P. ricini, P. lunuloides, P. obscura, P. canningii, P. walkeri, P. pryeri, P. fluva, P. insularis,


(29)

P. vaneeckei, P. vanderberghi, P. luzonica, P. tetrica, P. borneensis, P. ceramensis, P. mindanaensis dan P. advena.

3. Ulat Sutera Fagara genus Attacus (Lepidoptera : Saturniidae)

Menurut Peigler (1989) dan FAO (1979) ulat sutera liar ini terdiri dari : Attacus atlas, A. standingeri, A. crameri, A. erdwarsi, A. dohertyi, A. taprobansis, A. macmulleri, A. simalurana, A. erebus, A. gladiator, A. lorquinii, A. caesar dan A. temperator.

4. Ulat sutera Anaphe (Lepidoptera : Notodontiidae)

Menurut FAO (1979) dan Peigler (1989) ulat sutera liar ini terdiri dari Anaphe infracta, A. venata, A. moloney, A. panda, A. reticulat dan A. carteri .

5. Ulat Sutera Spider dari genus Nephila (Lepidoptera : Saturniidae), yaitu Nephila madagascarensi (FAO, 1979).

6. Ulat Sutera Coan Genus Pachypasa (Lepidoptera : Notodontiidae). Terdiri dari Pachypasa otus dan Pachypasa lineosa (FAO, 1979).

7. Ulat sutera Mussel Genus Pinna (Lepidoptera : Saturniidae), yaitu Pinna squamosa (FAO, 1979).

8. Ulat sutera dari genus Actias (Lepidoptera : Saturniidae), yaitu Actias maenus (Atrmosoedarjo, 2000).

Dari jenis-jenis ulat sutera liar yang disebutkan di atas, beberapa negara telah memelihara dan memiliki potensi besar sebagai produk benang sutera yang dapat di ekspor oleh negara pengembangnya yaitu ulat sutera tasar Antheraea mylitta (Lepidoptera : saturniidae), ulat sutera muga A. assamensis (Lepidoptera : Saturniidae) dan A. proylei (Lepidoptera : saturniidae) di India, Antheraea pernyi (Lepidoptera : saturniidae) di Cina , Antheraea yamami (Lepidoptera : Saturniidae) di Jepang, ulat sutera


(30)

fagara Attacus atlas (Lepidoptera : saturniidae) dan Cricula trifenesterata (Lepidoptera : Saturniidae) di Indonesia dan ulat sutera eri Philosamia cyntia ricini (Lepidoptera : Saturniidae) di Cina dan Jepang (FAO, 1979; Peigler, 1989; Situmorang, 1996; Mulyana, 2003).

Berdasarkan bukti sejarah, ulat sutera liar Attacus atlas sudah lama dikembangkan dalam bentuk budidaya di India. Akan tetapi ulat sutera liar ini tidak lagi dikembangkan. Seorang ahli dari Jepang yang bernama Genggo Nakajima telah memelihara dan meneliti kualitas dan produktivitas dari sutera liar Attacus atlas di Yogyakarta, mengungkapkan bahwa ternyata sutera Attacus atlas yang dicoba di Indonesia kualitasnya jauh lebih bagus bila dibandingkan dengan India yang sudah lebih dahulu membudidayakan ulat ini, karena iklim negara Indonesia lebih mendukung untuk pengembangan ulat sutera liar ini. Tentu saja merupakan kabar gembira karena ada kaitannya dengan permintaan pasar yang cukup menantang. Di daerah Jawa Barat khususnya ulat sutera liar Attacus atlas sering disebut hileud (ulat) badori, hileud orok (bayi), atau ulat gajah karena larvanya yang besar, adapun kupu-kupunya disebut kupu sirama-rama atau kupu-kupu gajah (Saleh, 2000). Di Yogyakarta dan sekitarnya serta daerah Temanggung, Wonosari dan Wonogiri (Jawa Tengah), ngengat dari Attacus atlas ini disebut kupu gajah atau kupu sirama-rama (Situmorang, 1996).

2.2. Potensi Sutera Liar di Indonesia

Menurut Kalshoven (1981) dan Peigler (1989) ulat sutera liar di Indonesia terdapat 15 jenis, 5 genus (Attacus, Cricula, Philosamia, Antheraea dan Actias) dan satu famili (Saturniidae) dari Ordo lepidoptera. Genus Attacus (Lepidoptera : Saturniidae)


(31)

terdiri dari 8 spesies yaitu : A. atlas, A. cremeri, A. erebus, A. paraliae, A. dohertyi, Attacus inopinatus, Attacus aurentiacus, Attacus intermedius. Dari genus Cricula (Lepidoptera : Saturniidae) terdiri dari 2 spesies yaitu, Cricula trifenesterata dan Cricula aleazea. Genus Philosamia (Lepidoptera : Saturniidae) satu spesies yaitu Philosamia cyntia ricini, Genus Antheraea terdiri dari 3 spesies yaitu Antherea pernyi (Lepidoptera : Saturniidae), Antherea halferi (Lepidoptera : Saturniidae), dan Antherea roseeri (Lepidoptera : Saturniidae). Genus Actias satu spesies yaitu Actias maenus. Diantara 15 jenis ulat sutera liar yang ada di Indonesia ini telah dipelihara dan eksplorasi adalah ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) dan Cricula trifenesterata (Lepidoptera : Saturniidae). Daerah yang telah memelihara dan mengeksplorasi ulat sutera liar ini yaitu Yogyakarta, Temanggung, Wonogiri, Wonosari (Jawa tengah), Purwakarta, Garut (Jawa Barat) (Situmorang, 1996 ; Saleh, 2000).

Tak dimungkiri jika sutera merupakan bahan utama bagi dunia mode, bukan saja karena nilai eksklusifnya namun lebih dari itu bahannya dipercaya sangat elegan sebagai rancangan adibusana. Busana sutera liar menjadi hand mode yang bernilai ekonomi tinggi, lebih nyaman dipakai dan lebih bagus jahitannya. Temuan baru berupa kepompong emas yang menghadirkan tekstur spesifik bagi perancang busana untuk memberi sentuhan, khususnya aksen dekoratif, sulir dan pewarnaan. Dari pewarnaan kain sutera liar bisa menghasilkan warna yang indah daripada kain jenis lain dan lebih cemerlang (APPMI, 2004).

Budidaya sutera liar dapat memberikan lapangan kerja dalam jumlah besar mengingat banyaknya komoditi olahan yang dapat diproduksi dari bahan sutera liar. Industri ini ramah lingkungan, tidak merusak sumberdaya alam dan dapat


(32)

melestarikannya. Menghasilkan bahan baku bagi industri lain, misalnya industri tenun, batik, kecantikan, makanan, obat-obatan dan industri kerajinan tangan. Industri ini dapat dipanen dalam waktu yang singkat, menambah penghasilan dari sektor hasil hutan non kayu, menghilangkan penjarahan dan pengundulan hutan, produknya halus, lembut, tidak kusut, sejuk, anti alergi dan anti bakteri. Cendera mata sutera liar mudah dikerjakan, beragam corak, unik dan warnanya alami (Moerdoko, 2004).

Sutera liar Attacus atlas yang dipelihara di Indonesia kualitasnya jauh lebih bagus bila dibandingkan dengan India yang lebih dulu memelihara ulat sutera ini. Benang sutera Attacus atlas panjang benang bisa mencapai 2.500 meter/kokon, bobot badan ulat sutera Attacus atlas 20 kali lebih besar dari ulat sutera Bombyx mori . Bahan kain sutera liar Attacus atlas banyak diminati dari luar negeri, terutama dari Jepang untuk kain kimono para Sumosan (atlet sumo), benang sutera mentahnya laku dibayar dengan harga Rp 400.000 /Kg (Saleh, 2000).

Kebutuhan pasar dunia sutera cukup menantang, menurut International Silk Association (ISA, 2000). Negara konsumen terbesar adalah Cina 447.261 ton, Jepang 34.780 ton, Eropa 13.342 ton, India 126.94 ton, Iran 4.600 ton, Indonesia 639 ton. Namun dari sejumlah kebutuhan itu, sampai sejauh ini hanya tercukupi 10 persen saja (ISA, 1990; Saleh, 2000). Kebutuhan pasar Internasional cukup banyak, sementara bahan baku yang tersedia tidak mencukupi. Data negara-negara yang membutuhkan kokon, pupa dan benang mentah untuk produksi olahannya disajikan pada Tabel 1.


(33)

Tabel 1. Negara-Negara Pengguna Hasil Olahan Ulat Sutera Liar Attacus atlas

No Negara Konsumen Kebutuhan Penggunaan

1 Timur tengah (Persia, Libanon, Iran, Yaman

Benang Bahan pembuat karpet, tas, sajadah, kain sarung selendang 2 India (Bangalore &

Karmantaka)

Pupa & Benang

Makanan dan Pakaian

3 Amerika Benang Digital komputer, foto, dasi,

pakaian, vescose & benang polyester

4 Perancis Benang Pakaian & seni

5 Italia Benang Pakaian & seni

6 Jepang Benang, kokon

Kain kimono

7 Indonesia & Cina Benang, Kokon

Pakaian, tas, selendang, kembang, lukisan,

Sumber : (ISA, 1990; Saleh, 2000)

Serat sutera dari beberapa ulat sutera liar seperti Antheraea, Attacus, dan Cricula memiliki keunggulan kualitas yang lebih baik dari ulat sutera Bombyx mori, yaitu lebih lembut, porous, tak mudah kusut, tahan panas, tidak menimbulkan rasa gatal (alergi) dan anti bakteri. Berdasarkan sifat tersebut maka serat sutera liar memiliki nilai ekonomi yang tinggi (Akai, 1997). Produsen kokon sutera dunia seperti Cina, Korea dan Jepang kini banyak mengimpor kokon sutera dari produsen lain, sehingga menjadi peluang bagi Indonesia dalam mengembangkan budidaya sutera sutera liar untuk memasok kebutuhan pasar dunia (Dadang, 1998). Selain itu industri sutera Attacus atlas ini akan turut


(34)

mengurangi laju urbanisasi ke kota-kota besar. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam penelitian dan budidaya ulat sutera liar secara masal, khususnya A. atlas, sehingga dapat menunjang agroindustri, meningkatkan penghasilan petani dan menambah perolehan devisa negara (Anonim, 1988).

Melihat kebutuhan nasional akan benang sutera yang hingga kini sebagian besar belum terpenuhi, serta peluang pasar di luar negeri yang sangat besar, maka proses budidaya ulat sutera dimasa mendatang tampaknya cerah. Berkembangnya sektor pariwisata yang antara lain ditandai dengan meningkatnya arus kunjungan wisatawan asing ternyata memberikan dampak positif terhadap perkembangan industri garmen di dalam negeri dan diharapkan akan menambah peluang bagi usaha budidaya ulat sutera.

2.3. Klasifikasi Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae).

Kedudukan Attacus atlas dalam klasifikasi menurut Peigler (1989) adalah : Phylum : Arthropoda

Klas : Insecta Subklas : Pterygota

Ordo : Lepidoptera Subordo : Ditrysia

Familia : Saturniidae Subfamilia : Saturniinae Genus : Attacus


(35)

Attacus atlas merupakan jenis ngengat terbesar dan atraktif dari ordo Lepidoptera. Ngengat Famili Saturniidae memiliki sayap berwarna menyolok dengan fenestrate transparan dan bintik seperti mata besar. Bentangan sayapnya bisa mencapai 25 cm. Larva memiliki tuberkel di bagian dorsal. Pupa terbungkus oleh kokon sutera yang ukuran dan warnanya bervariasi. Sebagian larva dari anggota familia ini menghasilkan serat sutera yang kuat dengan tenunan yang panjang, sehingga bisa dimanfaatkan untuk industri (Peigler, 1989).

2.4. Distribusi dan Penyebaran Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae)

Genus Attacus (ngengat atlas) dilaporkan ada 50 jenis, namun yang telah diproduksi hanya ada 14 jenis (Peigler, 1989), yaitu : Attacus atlas Linnaeus dari Asia bagian selatan, Asia tenggara dan Asia Timur, Attacus aurantiacus Rothschild dari Kepulauan Kai (Maluku), Attacus caesar Maassen dari daerah Philipina Selatan, Attacus crameri Felder dari kepulauan Maluku, Attacus dohertyi Rothschild dari pulau Timor, Attacus erebus Fruhstor dari pulau Sulawesi, Attacus inopinatus Jurriaanse dari pulau Flores dan Sumba, Attacus intermedius Jurriaanse dari kepulauan Tanimbar, Attacus lemairei Peigler dari pulau Pallawan Philipina, Attacus lorquinii dari Philipina, Attacus mcmulleni Watson dari kepulauan Andaman, Attacus paraliae Peigler dari kepulauan Banggai di Sulawesi tengah bagian timur, Attacus taprobanis Moore dari Sri Lanka dan daerah India Selatan dan Attacus wardi Rothschild dari Australia Utara (Peigler, 1989). Indonesia memiliki 8 spesies yang paling dominan adalah dari jenis Attacus atlas karena terdapat hampir di semua wilayah Indonesia yaitu di Pulau Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (Gambar 1). Spesies lainnya yaitu


(36)

Attacus aurantiacus di Kepulauan Kei (Maluku), Attacus dohertyi di pulau Timor, Attacus intermedius di kepulauan Tanimbar (Maluku), Attacus inopinatus di Flores dan Sumba (Nusa tenggara Timur), Attacus crameri (Maluku), Attacus paraliae di kepulauan Banggai (Sulawesi tengah) dan Attacus erebus di Sulawesi Selatan (Peigler, 1989). Di pulau Jawa pengembangan Attacus atlas dilakukan di daerah Gunung Kidul dan Yogyakarta (wilayah daerah istimewa Yogyakarta) dan di daerah Purwakarta dan Bogor (Jawa Barat).

Gambar 1. Distribusi dan Penyebaran Ulat Sutera Liar Attacus atlas (lepidoptera : Saturniidae) di dunia (Peigler, 1989)


(37)

2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan, Reproduksi dan Mortalitas Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae)

Kelangsungan hidup dan keberhasilan hidup Attacus atlas mulai dari tahap larva sampai menjadi imago dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi dapat dibagi menjadi dua faktor utama yaitu biotik dan faktor abiotik.

2.5.1 Faktor biotik (Tanaman Inang, Parasit, Predator dan Penyakit) 2.5.1.1 Tanaman Inang (host)

Tanaman inang ulat sutera Attacus atlas tercatat paling banyak jenisnya dibandingkan dengan genus-genus lain penghasil ulat sutera. Peigler (1989), menyatakan bahwa lebih dari 90 jenis tumbuh-tumbuhan dari 48 famili tanaman dapat dimakan daunnya oleh larva ulat sutera ini, antara lain : tumbuhan asam (Terminalia tomentosa Oak), kaliki (Ricinus communis), ketela pohon (Manihot utilisima), arjun (Terminalia arjuna), banj (Q. incana), som (Machilus bombycina), Michelia (Magnolliaceae) dan Mussaenda (FAO, 1979, Peigler; 1989, Mulyana, 2003).

Attacus atlas khususnya di Yogyakarta, sering dijumpai pada tanaman keben (Baringtonia asiatica Kurtz.), pancasuda (Thunbergia fragrans Roxb.), kenanga (Canangium odoratum), rambutan (Nephelium sp.), jambu biji (Psidium guajava L.), gempol (Nauclea sp.), mahoni (Sweetnia mahagoni Jacq.) dan dadap (Erythrina sp.) (Situmorang, 1996). Di Kulonprogo diketemukan pada tanaman mahoni (Sweetnia mahagoni), di daerah Cepu (Jawa Tengah) banyak ditemukan pada tanaman jambu (Psidium guajava L.) dan sirsak (Annona muricata). Hasil pengamatan di peternakan ulat


(38)

sutera liar Purwakarta pada bulan Agustus 2004 didapatkan Attacus atlas pada tanaman mahoni (Sweetnia mahagoni), kunyit (Curcuma domestika), dadap (Erythrina lithosperma Miq), teh (Camelia sinensis), alpokat (Persea americana Mil), sirsak (Annona muricata), jambu biji (Psidium guajava), Ylang-ylang (Canangium odoratum) dan pada tanaman cengkeh (Zingeber purpereum).

Tanaman inang sangat mempengaruhi kondisi ulat sutera maupun hasil suteranya. Kondisi fisiologis, kualitas kokon, produktivitas telur, serta lamanya siklus perkembangan dipengaruhi oleh kualitas pakan yang diberikan. Kualitas pakan juga mempengaruhi hasil pemeliharaan generasi selanjutnya. Jika kualitas pakan kurang baik, larva dapat sakit dan apabila kurang gizi akan menghambat pertumbuhan larva, sehingga sulit untuk memperoleh hasil yang maksimum, meskipun pada tahap berikutnya diberikan pakan yang lebih baik (Wangsan-Min, 1989).

2.5.1.2. Parasit

Telur Attacus atlas sebagian besar diparasit oleh anggota Famili Chalcidoidea (Hymenoptera) diantaranya yaitu Anastasus menzeli Ferr, Anastasus colemani Crawford, Agioemmatus attaci Ferr, Ooencyyrtus major Ferr, Tetrasticus sp. Famili Ichhneumonidae (Hymenoptera) terdiri dari Xanthopimpla konowi Krieger, Xanthopimpla brullei Krieger, Xanthopimpla sp, Teronia sp, Enicospilus plicatus Brulle Serangan oleh Anastasus bisa mencapai 80 % (Peigler, 1989).

Parasit pada larva Attacus atlas diantaranya adalah Familia Tachinidae (Diptera) Exorista sorbillans Wiedeman dan Blepharia wainwrighti Baronov, Familia Braconidae (Hymenoptera) misalnya Apanteles dan dari Familia Ichneumonidae (Hymenoptera)


(39)

seperti Xanthopimpla konowi Kriger, X. brullei, Enicopilus plicatus Brulle dan Theronia sp. Parasit-parasit ini telah banyak menyerang larva (FAO, 1979 ; Peigler, 1989).

2.5.1.3. Predator

Semua fase kehidupan Attacus atlas, baik fase telur, larva, pupa maupun imago tidak luput dari serangan predator. Predator seperti berbagai jenis burung, laba-laba, tawon, semut, cicak, kadal dan anggota vertebrata lain sering memangsa telur, larva maupun pupa dari Attacus atlas ini (Kalshoven, 1981). Aktivitas predator merupakan faktor biotik yang sangat mempengaruhi populasi dan kehidupan serangga. Dalam populasi Attacus atlas di alam, kompetisi intra dan antar generasi dalam mendapatkan makanan, perlindungan dan tempat untuk pupasi akan menyebabkan kegagalan pupasi dan kematian (Kalshoven, 1981 ; Peigler, 1989).

Beberapa golongan predator yang sering dijumpai yaitu tawon jenis Parustewon collaris (Hymenoptera : Vespidae), belalang sembah (Orthoptera : Mantidae), semut jenis Solenopsis geminata (Hymenoptera : Formicidae) capung dari ordo Odonata, lalat perampok dari ordo Diptera, laba-laba jenis Pardosa pseudoannulata (Arachnida : Lycosidae), Oxyopes javanus (Arachnida : Oxyopidae), Bianor sp (Arachnida : Salticidae) , Erigone biurca Locket (Arachinida : Araneidae), Solenopsis geminata (Hymenoptera : Formicidae) dan cicak dari kelas Reptilia (Kalshoven, 1981 ; Peigler, 1989 ).

Predator-predator ini umumnya menyerang telur dan larva Attacus atlas dari berbagai macam tingkatan instar. Larva instar satu, dua dan tiga di lapang biasanya diserang oleh predator dari golongan semut, tawon, laba-laba, capung dan cicak. Larva


(40)

dari instar` awal ini diserang dan dimangsa oleh predator karena fisiknya yang masih cukup lemah, sehingga tingkat mortalitasnya cukup tinggi.

2.5.1.4. Penyakit Ulat Sutera

Jenis-jenis penyakit yang sering menyerang telur, pupa dan larva ulat sutera domestik adalah jenis penyakit yang disebabkan oleh virus, cendawan, protozoa dan bakteri. Penyakit yang disebabkan oleh virus, yaitu penyakit Grasserie, penyebabnya adalah Barrolina virus yang menyerang sel-sel larva yang terbentuk di nukleus dari berbagai organ diikuti rusaknya sel-sel inang. Selain itu terdapat penyakit Cytoplasmic polyhedrosis virus (CPV) yang disebabkan oleh Smithia virus (Samsijah, 1994).

Penyakit yang disebabkan oleh cendawan yaitu Aspergilus oryzeae dan Muscardine putih (Beauvenia bassiana). Aspergilus oryzeae masuk melalui kulit, tumbuh hypha yang berwarna putih menutupi seluruh badan larva yang mati, kemudian tumbuh pada kayu atau bambu yang digunakan dalam ruangan. Protozoa yang menyebabkan kerusakan pada ulat sutera adalah Microsporidia yang menimbulkan penyakit pebrin. Penyebab penyakit pebrin adalah Nosema bombycis. Pebrin ini berkembang biak dengan spora dan juga membelah diri, sumber utamanya adalah kontaminasi antara makanan dengan spora, gejalanya adalah keluarnya ngengat dari kokon terlambat, sayap ngengat tidak lengkap, terdapat ngengat tanpa sayap, sisik mudah rontok dan kemampuan bertelur sangat rendah (Samsijah, 1994). Pada ulat sutera Attacus atlas belum dilaporkan mengenai penyakit yang menghambat perkembangan ulat sutera liar ini.


(41)

2.5.2. Faktor abiotik

Lingkungan abiotik di sekitar tempat hidup Attacus atlas adalah hal penting untuk diperhatikan. Kondisi lingkungan ini diantaranya, yaitu suhu, kelembaban, cahaya matahari, sirkulasi udara dan kebersihan tempat hidupnya. Bila kondisi abiotik ini tidak diperhatikan akan mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan Attacus atlas jadi terganggu. Kondisi lingkungan abiotik yang ideal untuk pemeliharaan Attacus atlas di lapangan belum diketahui pasti. Sebagai acuan perbandingan dipakai pada ulat sutera Bombyx yang sudah lama dibudidayakan. Beberapa faktor abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera Bombyx mori, diantaranya adalah suhu, kelembaban, cahaya, dan udara (Veda et al., 1997).

2.5.2.1 Suhu lingkungan

Ulat sutera adalah organisme poikilotermal yaitu dipengaruhi langsung oleh suhu lingkungannya. Umumnya suhu tubuh ulat sutera lebih tinggi 1 0C daripada lingkungan di luar tubuhnya. Aktivitas fisiologis dipengaruhi oleh temperatur tubuhnya, sehingga memberi kemungkinan terjadi variasi rerata pertumbuhan pada ulat sutera ini. Pada tahap larva jika suhu lingkungan lebih tinggi dari 30 0C atau kurang dari 20 0C, akan mengakibatkan aktivitas kehidupannya jadi terganggu dan kesehatan ulat sutera akan memburuk. Larva sebaiknya tidak mengalami perubahan suhu yang ekstrim pada waktu lama (Veda et al. 1997). Berdasarkan hal ini maka dalam pemeliharaan larva A. atlas, suhu sebaiknya stabil pada kisaran antara 20 0C-30 0C.


(42)

2.5.2.2. Kelembaban

Kelembaban mempengaruhi perkembangan ulat sutera baik secara langsung maupun tidak langsung. Kelembaban selama pemeliharaan ulat sutera rendah maka perkembangan mikrobia patogen jadi rendah pula. Kelembaban meningkat akan menyebabkan kelayuan tanaman pakan jadi lambat, sehingga tetap segar yang disukai oleh ulat sutera, namun kelembaban yang tinggi ini akan meningkatkan pertumbuhan mikrobia patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada ulat sutera. Kelembaban untuk pemeliharaan larva instar satu dan dua umumnya lebih tinggi yaitu sekitar 80-95 %, sedang pada larva instar tiga, empat dan lima sekitar 70 %. Bila kelembaban dan temperatur berubah secara ekstrim dan tiba-tiba maka akan menyebabkan ulat sutera tak bisa beradaptasi sehingga kesehatan ulat sutera jadi memburuk (Veda et al, 1997).

2.5.2.3 Intensitas cahaya

Intensitas cahaya yang ideal untuk larva Bombyx adalah sekitar 15-30 lux. Ulat sutera umumnya akan menghindari intensitas cahaya yang terlalu tinggi (Veda et al. 1997). Nintensitas cahaya kurang berpengaruh untuk pemeliharaan larva Attacus atlas di daerah tropis.

2.5.2.4Udara

Ulat sutera bernapas dengan spirakel. Udara yang dihisap akan diangkut menuju sel-sel tubuh melalui trakea. Udara yang dihisap ini (oksigen) digunakan untuk mengolah karbohidrat, lemak dan protein menjadi energi. Energi yang dihasilkan ini digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera selanjutnya. Pengaturan sirkulasi udara


(43)

perlu dilakukan. Selain itu untuk pemeliharaan ulat sutera harus diperhatikan juga kebersihan lingkungan pemeliharaan, sebab lingkungan yang kotor dan penuh sampah akan mengeluarkan gas-gas yang berbahaya bagi ulat sutera, misalnya gas karbondioksida dan amonia dari hasil pembusukan sampah.

2.6. Pakan Uji yang digunakan Pada Pemeliharaan Ulat Sutera Liar Attacus atlas Pakan sangat penting dalam usaha ternak apapun termasuk pemeliharaan ulat sutera liar. Sumber pakan harus tersedia secara pasti dan kesinambungannya terjamin. Pakan yang diberikan sebaiknya memenuhi syarat mengenai bagian tanaman yang paling disukai, selain itu kebersihan daun juga harus dijaga, demikian pula kesegaran dan bebas dari bibit penyakit (Guntoro, 1994).

2.6. 1. Tanaman Sirsak (Annona muricata.L)

Sirsak disebut juga nangka belanda atau nangka seberang. Merupakan tanaman buah-buahan tropis dari famili Annonaceae. Adapun susunan taksonomi tanaman sirsak adalah

Divisi : Spermatophyta, Sub divisio : Angiospermae, Kelas : Dicotyledoneae, Ordo : Ranales, Famili : Annonaceae, Genus : Annona, Spesies : Annona muricata L.

(Radi, 1997).

Tanaman yang termasuk famili Annonaceae, seperti sirsak dicirikan dengan bau yang tidak sedap dari daunnya. Di Indonesia hanya dikenal dua jenis yaitu sirsak manis dan sirsak asam. Secara morfologis susah dibedakan (Radi, 1997).


(44)

Daun sirsak berbentuk bulat panjang dengan ujung runcing, warna daun bagian atas hijau tua, sedangkan bagian bawah hijau kekuningan. Daun sirsak tebal dan agak kaku dengan urat daun tegak pada urat daun utama. Aroma yang ditimbulkan bau yang tidak sedap. Daun mahkota berwarna hijau muda, jumlahnya enam helai yang terbagi dalam dua lapis, tiga daun mahkota lingkaran dalam lebih kecil. Bila mendekati mekar mahkota bunga ini berubah menjadi kuning muda (Radi, 1997).

2.6. 2 Tanaman Teh (Camelia sinensia (L).

Dalam spesies Camelia sinensis, dikenal beberapa varietas yaitu : Varietas Cina, asam dan Cambodia. Di Indonesia terdapat varietas asam, dengan susunan taksonominya, yaitu : Divisi : Spermatophyta, Sub divisi : Angiospermae, Kelas : Dicotyledoneae, Ordo : Ranales, Famili : Theaceae, Genus : Camelia, Spesies : Camelia sinensis (L). (Setyamijaya, 2002)

Varietas asam berbatang tunggal (jika tidak dipangkas) dengan ketinggian pohon mencapai 6-9 meter. Dari varietas ini dapat dibedakan lima sub varietas, yaitu : teh asam berdaun cerah, teh asam berdaun kelam, manipuni, Burma dan Luski. Ciri-ciri varietas asam ini secara umum adalah daun panjang (15-20 cm) buah berbentuk lonjong, berkilat, bergerigi banyak dengan ujung yang jelas, berwarna hijau tua, serta duduk daun pada cabang dan ranting agak tegak (Setyamidjaja, 2002).

Dari kelima subvarietas ini, teh asam adalah yang terpenting. Teh asam selain memiliki sifat-sifat seperti disebutkan di atas, juga masih memiliki spesifikasi : daunnya lunak dan duduk agak terhelai, daun pucuk berbulu, kuantitas dan kualitas hasil tinggi. 99 % daun teh di Indonesia adalah teh asam ini. Komponen kimia daun teh, terdiri dari 4


(45)

kelompok, yaitu : Substansi fenol : Catechin dan flavanol bukan fenol : Pectin, recin, vitamin dan mineral, aromatik dan enzim-enzim : Theoflavin dan theorubigin. Dari keempat komponen kimia ini menyebabkan warna, rasa dan aroma yang baik dan disukai oleh ulat sutera Attacus atlas (Setyamidjaya, 2002).

2.7. Perilaku Makan Serangga

Chapman dan de Boer (1995) menyatakan bahwa perilaku makan serangga diatur dan dipengaruhi oleh titer nutrien tertentu dalam darahnya terutama titer asam-asam amino dan gula. Dengan kata lain dipengaruhi oleh osmolitas hemolimn dan kebutuhan jaringan untuk metabolisme dan pertumbuhan. Oleh karena itu keberadaan zat-zat tertentu di dalam darah merupakan informasi yang penting.

Perilaku makan meliputi rangkaian komponen perilaku menemukan pakan, menerima atau menolak dan menelan pakan. Menemukan pakan dipengaruhi oleh defisiensi nutrien di dalam hemolim. Defisiensi nutrien dapat mencakup turunnya osmolitas, turunnya kadar nutrien tertentu, turunnya regangan usus atau turunnya kadar hormon yang dikeluarkan karena rangsangan regangan usus. Defisiensi nutrien selanjutnya akan mempengaruhi atau menyebabkan hewan bergerak mencari dan menemukan pakannya. Setelah hewan mendekati pakannya, hewan tersebut akan menggunakan reseptor-reseptor organ sensorisnya (Gambar 2) untuk mengenali pakan dan biasanya digunakan reseptor kimiawi. Ulat sutera pada maxilanya terdapat berbagai macam reseptor seperti tampak pada Gambar 2. Rangsangan dari pakan akan diterima oleh susunan saraf pusat, kemudian ditanggapi dengan keputusan makan atau tidak makan. Makanan selanjutnya mengalami proses pencernaan. Di dalam saluran


(46)

pencernaan juga terdapat berbagai reseptor yang akan mendeteksi pakan yang dicerna. Pakan dicerna dan diabsorbsi. Absorbsi makanan akan menyebabkan perubahan osmolitas dari nutrien, perubahan ini akan ditanggapi dengan berhentinya makan.

Pada tahap selanjutnya penggunaan nutrien, metabolisme yang terjadi di jaringan juga akan mempengaruhi osmolitas nutrien dan seterusnya mempengaruhi perilaku makan berikutnya. Jadi pada serangga perilaku makan merupakan suatu proses fisiologis yang kompleks yang melibatkan pengaturan hormon dan saraf yang dipengaruhi oleh osmolitas nutrien di hemolim (Chapman dan de Boer, 1995).


(47)

Ulat sutera memiliki beberapa reseptor yang dapat digunakan untuk mengenali pakannya. Ishikawa dalam Tazima (1978) menyatakan bahwa pada maxillanya terdapat dua macam sensilla styloconoca, untuk mengenali gula (sugar sensory hair = SS3) dan air (water sensory hair = SS1 dan SS2). Pada pangkal bulu sensor gula terdapat tiga sel (Ls, Li dan G) yang dapat mengenali glukosa. Sedangkan pada pangkal bulu sensor air terdapat empat sel ( R, W, N2 dan N2’), masing-masing untuk zat repellant, air, garam dan asam.


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian meliputi beberapa kegiatan dan dilakukan di beberapa tempat, yaitu : a). Analisa proksimat pakan alami daun sirsak dan daun teh dilakukan di laboratorium Nutrisi dan Biologi Radiasi PAU IPB Bogor, b). Pengambilan sampel pakan dan ulat sutera Attacus atlas di Peternakan Ulat sutera Cisomang Purwakarta, c). Proses adaptasi dan perlakuan dilaksanakan di Peternakan Ulat Sutera Sukamantri IPB Bogor, d). Analisa kualitas kokon dan kualitas filamen dilaksanakan di Koperasi Gunung Bayu Tenun Sutera Alam dan Kerajinan Tangan Desa Depok Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta (Jawa Barat).

3.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai sejak Pebruari 2004 sampai September 2006, yang dibagi menjadi tiga tahap, yaitu :

Percobaan Pertama : Proses habituasi ulat sutera liar Attacus atlas terhadap pakan alami daun sirsak dan teh dari alam sampai generasi kedua (F2).

Percobaan Kedua : Respon perlakuan jenis pakan alami (Sirsak dan Teh) terhadap pertumbuhan dan produktivitas Attacus atlas dari F3.

Percobaan Ketiga : Analisa kualitas kokon Attacus atlas dan kualitas filamen mulai dari F1 sampai F3.


(49)

Data penunjang yang dikerjakan untuk mendukung percobaan di atas adalah analisa proksimat pakan alami di laboratorium Nutrisi dan Biologi Radiasi PAU IPB Bogor serta data kondisi lingkungan.

3.3. Bahan dan Alat 3.3.1 Hewan

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ulat (larva) sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) yang diambil dari Peternakan Ulat Sutera, Desa Cisomang Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta sebanyak 160 ekor larva instar pertama. Masing-masing 80 ekor dipelihara pada pakan alami daun sirsak dan teh. Larva yang diambil dari alam dipelihara sampai F2. Proses habituasi diteruskan dari F1 hingga F2 dengan penggunaan larva instar pertama hasil dari penetasan telur F1 dan F2. Jumlah larva F1 dan F2 yang digunakan untuk habituasi adalah masing-masing 160 ekor larva. Pada percobaan pertama total larva yang digunakan adalah 320 ekor larva, sedangkan untuk percobaan kedua 160 ekor larva dari F3 dan pada percobaan ketiga diproses sebanyak 480 kokon (F1-F3).

3.3. 2 Bahan.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan alami (daun sirsak dan daun teh), formalin 4 %, popzol, kaporit, alkohol, NaOH (soda kuastik), aquades dan sabun netral (cap kunci/tangan), teepol (pembersih).


(50)

3.3. 3 Alat

Alat yang digunakan adalah tempat kandang serangga peneluran berupa kotak kayu berdinding kawat kasa ukuran 40 x 40 x 60 cm, ruang sungkup kasa berukuran 1,5 x 1,2 x 3 meter untuk tempat pemeliharaan, tempat/wadah pemeliharaan adalah baki plastik yang berukuran 25 x 20 cm. Alat yang lain yaitu : timbangan, higrothermograf, oven, botol sprayer, jam, kamera dan eksikator.

3.3.4 Tempat Pemeliharaan

Inkubasi telur dan pemeliharaan ulat kecil (instar 1 dan 2) dilakukan pada ruangan berukuran 2 x 3 m2 yang berdinding kawat kasa dengan kisaran suhu ruang 22 0

C- 24 0C. Pemeliharaan ulat besar (instar 3 -6) di ruangan yang berukuran 3 x 4 meter dengan kisaran suhu ruangan adalah 24 0C-29 0C. Pembentukan kokon dan masa pupasi terjadi di ruangan yang berukuran ( 3 x 4) m2 dengan kisaran suhu 26 0C- 29 0C. Rata-rata suhu harian di lokasi Peternakan Ulat Sutera Sukamantri Bogor adalah pada pagi hari, 22 0

C-24 0C, pada siang hari ; 25 0C-29 0C, pada sore hari ; 25 0C-27 0C, dan pada malam hari ; 22 0C-24 0C.

3.4. Rancangan Percobaan 3.4.1 Percobaan pertama:

Proses habituasi. Dari 160 ekor larva instar pertama yang diambil dari alam dipelihara dalam ruangan dengan pemberian jenis pakan alami daun sirsak dan teh, masing-masing 80 ekor larva untuk tiap jenis pakan. Pemeliharaan bertujuan untuk mendapatkan generasi pertama (F1). Proses habituasi dilanjutkan terus dari F1 sampai


(51)

F2. Pakan diberikan mulai dari instar pertama sampai instar enam. Waktu pemberian pakan 3 kali sehari, yaitu pada pagi hari mulai dari jam 7.00 – 9.00 WIB, siang hari dari jam 12.00 – 14.00 WIB dan pada sore hari dari jam 17.00 – 19.00 WIB. Jumlah pakan yang diberikan pada proses habituasi tidak terbatas. Suhu ruang disesuaikan dengan perkembangan instar. Masa inkubasi telur (22-24 0C), pemeliharaan ulat kecil dan besar (instar 1-6) suhu ruangnya berkisar antara 24-29 0C dan masa pupasi 26-29 0C, Jika suhu berfluktuatif (pada musim hujan diberikan sinar tambahan dari lampu petromax dan musim kemarau diberikan percikan air pada pakan dan ruang pemeliharaan) supaya suhu ruang tetap stabil pada kisaran 22-29 0C. Parameter yang diukur adalah : Tingkah laku, keberhasilan hidup, siklus hidup, produksi telur dan produksi kokon.

3.4.2 Percobaan kedua :

Respon perlakuan jenis pakan alami terhadap pertumbuhan dan produktivitas Attacus atlas. Larva yang digunakan adalah generasi ketiga (F3). Pada F3 disiapkan wadah pemeliharaan sebanyak 20 buah untuk masing-masing jenis pakan, setiap wadah pemeliharaan berisi 4 ekor larva, sehingga total larva yang digunakan adalah ( 4 x 20 x 2 = 160 ekor ) larva. Penelitian ini menggunakan rancangan Faktorial (2 x 2 x 20), 2 jenis perlakuan pakan alami (sirsak dan teh) dan generasi, 20 kali ulangan. Satu unit percobaan terdiri dari satu wadah berisi 4 ekor larva. Perlakuan diberikan pada saat instar pertama sampai instar enam. Jumlah awal pakan yang diberikan, yaitu : instar pertama 1 gram pakan/larva, instar kedua 2 gram pakan/larva, instar ketiga 3 gram pakan/larva, instar keempat 5 gram pakan/larva, instar kelima 6 gram pakan/larva dan instar keenam 7 gram pakan/larva. Waktu pemberian pakan 3 kali sehari, kadar air daun yang diberikan diukur


(52)

(ditimbang), yaitu pada pagi hari dari jam 7.00 – 9.00 WIB, siang hari dari jam 12.00 – 14.00 WIB dan pada sore hari dari jam 17.00 – 19.00 WIB. Sisa pakan dikumpulkan per instar dan dikeringkan dengan oven pada suhu 105 0C, 24 jam kemudian ditimbang. Pengaturan suhu ruang untuk masing-masing perkembangan sama dengan percobaan pertama. Parameter yang diukur dalam percobaan kedua ini adalah keberhasilan hidup, tingkah laku, siklus hidup, konsumsi pakan, laju pertumbuhan (bobot badan awal dan akhir instar), daya cerna, produksi telur dan produksi kokon.

3.4.3. Percobaan Ketiga :

Analisa kualitas kokon Attacus atlas. Total kokon yang diuji adalah dari proses habituasi sampai domestikasi (F1 – F3) sebanyak (80 x 2 x 3 = 480 ) kokon. Analisis yang digunakan pada percobaan ketiga ini adalah kualitas kokon ( bentuk kokon, bobot kokon, persentase kulit kokon) dan kualitas filamen (panjang filamen dan berat filamen).

3.5. Tahapan Pelaksanaan Penelitian 3.5.1. Tahap Persiapan

Sebagai tahap awal penelitian ini dimulai dari penyediaan tanaman pakan, ruangan, alat dan tempat pemeliharaan, sterilisasi alat dan tempat pemeliharaan di kandang pemeliharaan peternakan ulat sutera IPB Sukamantri Bogor dan pengambilan ulat sutera liar Attacus atlas dari peternakan ulat sutera Desa Cisomang Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta.


(53)

3.5.2 Proses habituasi

Proses habituasi adalah proses penyesuaian pada kondisi dalam ruangan. Larva instar pertama Attacus atlas yang diambil dari peternakan ulat sutera Cisomang Darangdan Kabupaten Purwakarta yang biasanya diletakkan di pohon, dipelihara dalam ruangan yang ditutupi dengan sungkup kasa sampai mendapatkan generasi pertama (F1). Proses habituasi dilanjutkan terus dari hasil F1 sampai F2 (dilakukan pada percobaan pertama).

3.5.3 Perlakuan Pada Percobaan Kedua

Respon perlakuan dengan pakan uji (sirsak dan teh) dimulai pada Attacus atlas generasi ketiga (F3), dengan tahapan pelaksanaan sebagai berikut :

a. Perkawinan imago. Pupa yang telah berubah menjadi ngengat dari stok kultur (hasil habituasi), kemudian dikawinkan pada kandang serangga/ngengat dengan perbandingan 1 ekor jantan dan 1 ekor betina. Telur-telur hasil perkawinan dikumpulkan dalam cawan petri, kemudian dicuci dengan larutan formalin 4 %, tujuannya adalah untuk melepaskan cairan yang melekat pada telur dan menghindari telur dari penyakit.

b. Seleksi telur. Telur-telur yang telah dicuci dan terlepas dari ikatan lendir yang menyatukannya, kemudian diseleksi di laboratorium dengan menggunakan mikroskop binokuler. Dipilih telur-telur yang berbentuk oval dan tidak mengempis, kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri dan ditetaskan pada suhu kamar dengan kelembaban yang cukup. Dalam usaha menjaga kelembaban pada tengah hari dapat dilakukan dengan penyemprotan air pada kertas pelembab.


(54)

Tahap ini dilakukan pencatatan untuk jumlah telur yang diinkubasikan, masa inkubasi sampai telur menetas, serta jumlah telur yang menetas.

c. Setelah telur menetas, larva awal instar 1 ditimbang, dimasukkan daun pakan yang masih muda ke dalam wadah pemeliharaan sehingga larva berpindah ke daun, dengan menggunting daun di sekitar tempat larva tersebut, kemudian dipindahkan dalam wadah pemeliharaan yang telah diberi pakan daun.

d. Larva instar pertama sampai instar ketiga diberikan daun muda dan setiap hari pakan diganti, sedangkan mulai instar keempat sampai instar enam diberikan daun agak tua, pakan diberikan tiga kali setiap hari (pagi, siang dan sore hari).

e. Pakan yang diberikan dalam perlakuan masing-masing ditimbang terlebih dahulu untuk mendapatkan berat basah awal dari pakan. Daun diukur bahan keringnya dengan mengeringkan dalam oven dengan suhu 105 0C selama 24 jam. Setelah larva dibiarkan makan selama 24 jam, kemudian ditimbang berat feses dan sisa pakan, setelah itu diadakan pengeringan terhadap sisa pakan, diukur bahan kering sisa pakan dan bahan kering feses dari masing-masing perlakuan dengan mengeringkan sisa pakan dan feses dalam oven dengan suhu 105 0C selama 24 jam. Masing-masing perlakuan dibungkus dengan aluminium foil dan diberi label agar sampel tidak tertukar, kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat kering sisa pakan dan feses.

f. Dicatat perilaku larva tiap instar serta masa ekdisis antar fase sampai larva memasuki fase pupa (pembentukan kokon). Kemudian tahapan berikutnya dilakukan pengujian kualitas kokon (yaitu jumlah kokon baik, kokon cacat, bobot


(55)

kokon, persentase kulit kokon) dan kualitas filamen (panjang filamen dan berat filamen) serta diamati mortalitas selama penelitian.

g. Parameter yang diukur dan cara pengukuran (ISA, 1990).

1. Stadium, waktu perkembangan dalam satu siklus (mulai dari inkubasi telur sampai imago bertelur lagi).

2. Bobot badan setiap tahapan, bobot badan satu larva pada setiap tahapan instar.

3. Konsumsi pakan, jumlah pakan yang dimakan setiap periode instar dari setiap larva.

4. Daya cerna, presentase pakan yang dapat dimanfaatkan oleh larva.

5. Kualitas kokon, mutu kokon yaitu untuk mengetahui bentuk kokon, kokon normal dan kokon cacat, bobot kokon, % kulit kokon dan kualitas filamen (panjang filamen dan berat filamen) . Cara pengukuran. Adapun urutan dari tiap parameter tersebut sebagai berikut :

a. Stadium dihitung mulai dari telur sampai imago. Lama instar dihitung dari mulai telur menetas (instar 1) atau ganti kulit (instar ke-2 – instar ke-6) sampai dengan istirahat/moulting (hari).

b. Pertambahan bobot badan (PBB). PBB basah (gram) adalah bobot akhir instar - bobot awal instar.

c. Konsumsi bahan kering (gram), bahan kering pakan yang diberikan-bahan kering sisa pakan.


(56)

Kadar air pakan d. BK pakan yang diberikan = bobot basah x 1 - ---

100

e. BK sisa pakan = sisa pakan setelah dikeringkan/dioven 1050C selama 24 jam.

100 f. Konsumsi bahan segar = BK konsumsi pakan x ---

1- KA pakan BK konsumsi pakan-BK feses g. Daya cerna (%) = --- x 100 BK konsumsi pakan

BK feses = Bobot feses setelah dioven 105 0C selama 24 jam.

3.6. Kualitas Kokon 3.6.1. Uji Kualitas Kokon

Kokon A. atlas yang telah terbentuk ditimbang bobot isi pupanya minimum 7 hari setelah mulai pembentukan kokon. Kurang dari waktu tersebut filamen belum terbentuk sempurna dan tidak perlu ditunggu hingga berakhirnya masa pupasi dengan munculnya imago. Kokon yang sudah tidak berisi pupa kokon/filamennya masih dapat proses. Cara pengukuran untuk menentukan kualitas kokon adalah sebagai berikut :

1. Bentuk kokon dilihat secara visual, antara kokon yang normal dan cacat Jumlah kokon cacat

2. Persentase Kokon cacat = --- x 100 % Jumlah total kokon


(57)

3. Bobot kokon segar ditimbang setiap kokon yang normal dengan pupanya.

4. Bobot kulit kokon adalah bobot kokon segar setelah dikeluarkan pupanya. Bobot kulit kokon

5. Persentase kulit kokon = --- x 100 % Bobot seluruh kokon

6. Panjang serat sutera adalah panjang benang yang digulung dari sebutir kokon. 7. Berat filamen yaitu ditimbang berat filamen dari sebutir kokon.

Data hasil pengukuran dari setiap parameter pengujian kualitas kokon ini adalah untuk menentukan mutu kokon. Penentuan kokon ke dalam kelas mutu kokon dilakukan dengan uji visual dan uji laboratorium. Parameter uji visual (bentuk kokon, bobot kokon dan persentase kulit kokon). Sedangkan uji laboratorium yaitu panjang filamen dan berat filamen. Untuk menentukan kualitas kokon dan kualitas filamen, digunakan modifikasi dari kriteria kualitas kokon yang sering dilakukan pada Bombyx mori, karena dii Indonesia belum ada standar Nasional untuk kriteria kualitas kokon pada ulat sutera liar.

3.6.2. Uji Visual

Klasifikasi mutu kokon yang dimodifikasi dari kriteria kualitas kokon Bombyx mori. Tabel 2. Klasifikasi Kokon Berdasarkan Kokon Cacat (Saleh, 2000; Moerdoko, 2002)

Nomor Kokon Cacat (%) Kelas Mutu (grade) 1 〈 1 A

2 1,1-4 B 3 4,1-8 C 4 〉 8 D


(58)

Dari hasil tabel ini, apabila jumlah kokon yang diuji terdapat kokon cacat kurang dari 1 %, maka dapat dikatakan kokon tersebut masuk kelas mutu (Grade) A.

Tabel 3. Klasifikasi Berdasarkan Bobot Kokon (Saleh,2000 ; Moerdoko, 2002) Nomor Bobot Kokon (g) Kelas Mutu (grade)

1 〉 10 A 2 8-9,9 B 3 7-7,9 C 4 〈 7 D

Tabel 4. Klasifikasi Kulit kokon (Saleh, 2000; Moerdoko, 2002) Nomor Bobot Kulit Kokon Kelas Mutu (grade) 1 〉 2 A

2 1,5-1,9 B 3 1-1,4 C 4 〈 0,9 D

Tabel 5. Klasifikasi Prosentase Kulit Kokon (Saleh, 2000 ; Moerdoko, 2002) Nomor % Kulit Kokon Kelas Mutu (grade)

1 〉 25 A 2 20-24,9 B 3 15-19,9 C 4 〈 14,9 D


(59)

Untuk menentukan kelas kokon digunakan langkah-langkah sebagai berikut ; misalkan : a. Bobot kokon rata-rata setelah ditimbang 1,8 gram, berarti masuk kelas B. b. Prosentase kulit kokon rata-rata 20 %, masuk kelas B.

c. Prosentase kokon cacat rata-rata 15 %, masuk kelas C.

d. Kelas akhir merupakan kelas terendah dari hasil yang didapatkan dari tiga parameter tersebut.

Kerena kelas terendah adalah kelas C, yaitu prosentase kokon cacat, maka kesimpulannya adalah kualitas kokon tersebut masuk kelas C. Penentuan kokon ini dapat dikembangkan, dengan mengaitkan harga/kg dari kokon.

3.6.3 Uji laboratorium (Panjang filamen dan berat filamen )

Uji laboratorium, sampai saat ini di Indonesia belum ada sarana dan prasarana untuk mengadakan pengujian dengan alat yang modern, yang digunakan hanya sebatas untuk mengetahui panjang filamen dengan menggunakan “hand spund” (alat pemintal tradisional). Pengujian panjang filamen dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : persiapan bahan, penyortiran, pemasakan, pencucian, pemerasan, pengeringan dan penyeratan benang. Dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Persiapan bahan : Disiapkan (Kokon, soda kaustik (NaOH), sabun netral (cap tangan/kunci, teepol (deterjen), air..

b. Penyortiran dan penimbangan: sebelum proses pemasakan, kokon harus dibersihkan dari sisa-sisa kotoran yang ada pada kokon, kemudian kokon tersebut ditimbang, demikian pula dengan bahan lain yang akan digunakan.


(60)

Plot 1: 20, artinya (1 gram kokon 20 ml air) : Sabun netral (cap tangan) : 15 : 20 g/l, Soda kaustik (NaOH) : 2 cc/l, Suhu (sampai mendidih), Waktu : 1 jam. Prosedurnya adalah : Bahan ditimbang (kokon, sabun dan soda), diisi bak celup dengan air plot, kokon dimasukkan ke dalam bak celup, kemudian proses pemasakan. Proses pemasakan tujuannya adalah untuk menghilangkan serisin yang terdapat pada kokon, setelah itu kokon dikeluarkan untuk dicuci. Proses pencucian dilakukan dengan bertahap, yaitu : air panas, air hangat kemudian dengan air dingin, selanjutnya kokon tersebut disimpan di atas saringan. Setelah itu proses pemerasan barulah dipintal satu persatu memakai hand spund (alat pemintal tradisional.)

Tahapan pengolahan benang dari kokon, yaitu dimulai dari persiapan bahan (kokon, soda kaustik/NaOH, sabun netral, teepol/deterjen dan air), kemudian dilanjutkan dengan penyortiran, penimbangan bahan, pemasakan/perebusan kokon, pencucian, penyeratan benang pada setiap butir kokon, pengeringan benang sampai proses pemintalan ditentukan dengan metode sederhana. Urutan prosesnya disajikan pada Gambar 3. Sutera mengandung fibroin, serisin, lilin dan garam-garam mineral. Serisinnya dihilangkan melalui proses pemasakan (degumming). Sebelum pemasakan, kokon harus dibersihkan terlebih dahulu dari sisa-sisa kotoran yang ada pada kokon, kemudian kokon dan bahan-bahan yang akan digunakan ditimbang. Proses pemasakan (degumming) tersebut bertujuan untuk menghilangkan serisin yang terdapat pada kokon, setelah itu kokon dikeluarkan untuk dicuci. Proses pencucian dilakukan dengan bertahap, yaitu : air panas, air hangat kemudian dengan air dingin. Selanjutnya kokon tersebut disimpan di atas saringan (ditiriskan). Setelah itu proses pemerasan barulah dipintal satu persatu dengan alat pemintal tradisional (hand spund).


(61)

3.7. Prosedur Pengolahan Kokon A. atlas dan Hasilnya Menjadi Benang

Dengan menggunakan “Hand Spund” (Alat pemintal ), kokon Attacus atlas dapat diolah menjadi benang. Prosedur pengolahan kokon menjadi benang dapat dilihat pada Gambar 3.

Persiapan Bahan

Penyortiran

Penimbangan

Pemasakan

Pencucian

Penyeratan Benang

Pengeringan

Pemintalan


(62)

Hasil dari proses degumming (pemasakan) dari kokon berupa filamen yang lembut dan dapat diurai dengan baik. Hal ini disebabkan zat perekat berupa serisin yang terdapat pada setiap filamen kokon telah dihilangkan, sehingga benangnya dapat terurai dan tidak putus-putus pada saat penyeratan benang atau proses pemintalan. Filamen serat sutera Attacus atlas seringkali putus, hal ini disebabkan kokon dari Attacus atlas telah berlubang. Hasil uji laboratorium untuk mengukur panjang filamen dan berat filamen dapat dilihat pada Tabel 24 dan 26. Namun sampai saat ini di Indonesia belum ada sarana dan prasarana untuk mengukur panjang filamen memakai alat yang lebih modern, karena selama ini hanya menggunakan “ Hand spun”.

3.8. Analisa data

Data yang diperoleh dari pengamatan dianalisis dengan menggunakan metode sidik ragam (Anova). Apabila diperoleh pengaruh nyata dilanjutkan dengan uji lanjut jarak berganda (Steel and Torrie, 1993).

Dengan Model matematis :

Xij = µ + ti + Σij

Dimana : Xij = X perlakuan ke-i, ulangan ke-j µ = rataan umum

ti = Perlakukan ke-i


(63)

BAB IV

Hasil Dari Aspek Biologi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) Selama Proses Habituasi dan Domestikasi Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh

4.1. Perubahan tingkah laku

Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua macam pakan daun sirsak dan teh, telah terjadi perubahan tingkah laku dari alam dan di ruangan (Tabel 6).

Tabel 6. Perubahan tingkah laku A. atlas dari alam dan di ruangan _______________________________________________________________

Karakteristik di alam Karakteristik di ruangan _______________________________________________________________

- Sangat aktif & selalu berpindah - Lebih tenang tempat

- Siklus hidupnya panjang - Siklus hidupnya pendek - Produksi telur rendah - Produksi telur tinggi

Berdasarkan Tabel 6 dapat dijelaskan bahwa terjadi perubahan tingkah laku dari liar di alam menjadi tenang dalam ruangan. Selama proses habituasi berlangsung (F1-F2) A. atlas dapat beradaptasi dengan kondisi dalam ruangan, sehingga tampak terjadi perubahan tingkah laku, yaitu larva lebih tenang, imago tidak terbang jauh, dapat menkonsumsi dan memanfaatkan pakan dengan baik, proses oogenesis dan embriogenesis menjadi cepat dan siklus hidupnya menjadi lebih pendek. Berdasarkan hasil pengamatan selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian pakan daun sirsak dan teh dalam ruangan, menunjukkan keberhasilan hidup (100 %), jumlah telur yang banyak dan kualitas kokon yang baik (Tabel 13).


(64)

Di alam cuaca sering berfluktuatif dengan kisaran suhu di bawah 20 0C dan di atas 30 0C. Kondisi ini yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas ulat sutera liar Attacus atlas. Pada tahap larva aktifitas kehidupan jadi terganggu dam kesehatannya jadi memburuk, suhu di atas 30 0C mengakibatkan pakan cepat layu, larva tercekam dan tidak bisa menkonsumsi pakan dengan baik, sehingga mengganggu pertumbuhan ulat sutera. Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan mikrobia patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada ulat sutera. Bila kelembaban dan suhu berubah secara ekstrim maka akan menyebabkan ulat sutera tidak bisa beradaptasi, sehingga kesehatan ulat sutera menjadi buruk.

Di dalam ruangan/laboratorium suhu berkisar antara 20 0C-29 0C. Masing-masing fase perkembangan mempunyai suhu optimal yang berbeda-beda. Masa inkubasi telur dan ulat kecil (instar 1-3) kisaran suhu berkisar antara 22 0C-24 0C, karena pada tahapan instar ini larva masih peka terhadap rangsangan sinar matahari secara langsung yang dapat mengganggu kulit/tubuh larva . Ulat besar (instar 4-6) suhunya berkisar antara 24-29 0C dengan kelembaban 68-70 %, tahapan ini aktivitas fisiologis ulat sutera menuju pematangan larva, pola makan secara teratur dan pembentukan protein sutera dengan serat-seratnya. Masa pupasi berada pada kisaran suhu 26-29 0C. Jika suhu di bawah 26 0

C atau kelembaban yang tinggi, menyebabkan kemunculan imago menjadi cacat, sayapnya kerdil dan tidak mengembang, sehingga tidak bisa melakukan aktivitas lainnya seperti tidak bisa terbang dan berkopulasi, masa pupasinya menjadi lambat.


(65)

4.2. Proses Habituasi dan Domestikasi A. Atlas (F1-F2) Pada Pakan Daun Sirsak Hasil pengamatan selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2), dari 160 ekor larva yang dipelihara diambil 250 butir telur dari 3 ekor betina yang selalu dikawinkan, kemudian ditetaskan dan dipelihara pada pakan daun sirsak, dapat dijelaskan sebagai berikut : Total waktu yang diperlukan A. atlas yang diberikan pakan daun sirsak untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya, mulai dari telur sampai imago bertelur lagi memerlukan waktu F1 : 64-88 hari dengan rataan 76,0 ± 8,14 hari (Tabel 7)

Tabel 7. Daur Hidup Habituasi F1 Pada Daun Sirsak (n = 80).

Setelah hasil dari F1 kemudian dilanjutkan dengan proses pemeliharaan pada generasi kedua (F2), total waktu yang diperlukan Attacus atlas yang diberikan pakan daun sirsak untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya pada F2 ini, yaitu mulai dari telur

Lamanya waktu (hari)

Stadium _________________________________________________ Kisaran Rata-rata

________________________________________________________ 1. Inkubasi telur 10-12 11,40 ± 0,89 2. Larva 34-47 39,55 ± 4,38 a) Instar 1 5 - 8 6,20 ± 1,06 b) Instar 2 5 - 7 5,85 ± 0,59 c) Instar 3 4 - 6 5,10 ± 0,64 d) Instar 4 4 - 6 4,75 ± 0,64 e) Instar 5 6 - 8 6,55 ± 0,60 f) Instar 6 10-12 11,0 0± 0,85 3. Munculnya Imago 20-29

a) Jantan 20-28 23,33 ± 3,06 b) Betina 27-29 28,0 0± 0,71

___________________________________________________________ • Lamanya umur imago jantan 2-4 hari dan imago betina 2-10 hari


(66)

sampai imago bertelur lagi memerlukan waktu 56-76 hari dengan rataan 66,0 ± 6,72 hari (Tabel 8).

Tabel 8. Daur Hidup Habituasi F2 Pada Daun Sirsak (n= 80)

4.3. Proses Habituasi dan Domestikasi A. atlas (F1-F2) Pada Pakan Daun Teh Dari 160 ekor larva yang dipelihara diambil 250 butir telur dari 3 ekor betina yang telah dikawinkan, kemudian ditetaskan dan dipelihara pada pakan daun teh, didapatkan bahwa total waktu yang diperlukan A. atlas dengan pemberian pakan daun teh untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya, yaitu mulai dari telur sampai imago bertelur lagi untuk generasi pertama (F1) memerlukan waktu 63-82 hari dengan rataan 72,5 ± 7,48 hari (Tabel 9).

Lamanya waktu (hari)

Stadium _________________________________________________ Kisaran Rata-rata

________________________________________________________ 1. Inkubasi telur 6-8 7,25± 0,96

2. Larva 30-40 33,95± 4,12 a) Instar 1 4-6 4,90± 0,79 b) Instar 2 4-6 4,70± 0,73 c) Instar 3 4-5 4,60 ± 0,50

d) Instar 4 4-5 4,65 ± 0,49 e) Instar 5 6-8 6,90 ±0,72 f) Instar 6 8-10 8.20 ± 0.89 3. Munculnya Imago 20-28 •

a) Jantan 20-24 23,33 ± 0,58 b) Betina 23-28 24,74 ±2,22

___________________________________________________________ • Lamanya umur imago jantan 2-4 hari dan imago betina 2-10 hari


(67)

Tabel 9. Daur Hidup Habituasi F1 Pada Pakan Teh (n=80) ________________________________________________________

Lamanya waktu (hari)

Stadium _________________________________________________ Kisaran Rata-rata

________________________________________________________ 1. Inkubasi telur 10-12 11,0± 0,82

2. Larva 33-44 38,75± 4,29 a) Instar 1 4-6 5,20± 0,62 b) Instar 2 4-6 5,05± 0,69 c) Instar 3 4-6 4,90 ± 0,72

d) Instar 4 4-6 5,15 ± 0,67 e) Instar 5 7-8 7,75± 0,79 f) Instar 6 10-12 10,7 ± 0,83 3. Munculnya Imago 20-26 •

a) Jantan 20-25 21,33 ± 1,53 b) Betina 23-26 25,0 ± 1,41

___________________________________________________________ • Lamanya umur imago jantan 2-4 hari dan imago betina 2-10 hari

Setelah hasil dari F1 dilanjutkan pemeliharaan pada generasi kedua (F2), yaitu diambil dari 5 ekor betina yang telah dikawinkan, dari 250 butir telur ditetaskan hanya 160 ekor. Total perkembangan 56-74 hari dengan rataan 65,0 ± 8,19 hari (Tabel 10).

Tabel 10. Daur Hidup Habituasi F2 Pada Pakan Daun Teh _______________________________________________________

Lamanya waktu (hari)

Stadium _________________________________________________ Kisaran Rata-rata

________________________________________________________ 1. Inkubasi telur 6-8 6,75± 0,96

2. Larva 30-39 33,80± 3,69 a) Instar 1 4-6 4,65± 0,81 b) Instar 2 4-5 4,50± 0,51 c) Instar 3 4-5 4,40 ± 0,50

d) Instar 4 4-5 4,55 ± 0,51 e) Instar 5 6-8 7,3 ±0,86 f) Instar 6 8-10 8,40 ± 0,50 3. Munculnya Imago 20-27•

a) Jantan 20-24 22,20 ± 1,77 b) Betina 20-27 22,67 ± 1,71


(68)

Selama proses habituasi (F1-F2) dari bulan Februari 2006-Juli 2006, kondisi suhu dan kelembaban di lokasi penelitian disajikan pada tabel 11.

Tabel 11. Kisaran Suhu dan Kelembaban Selama Proses Habituasi (F1-F2) ____________________________________________________________________

Bulan Kisaran Suhu Rata-rata Kelembaban Rata-rata (0C) (0C) (%) (%) ____________________________________________________________________ Pebruari 20-24 23,08 87-96 88,53 Maret 21-26 24,83 72-95 85,74 April 22-27 25,09 70-92 84,52 Mei 22-27 25,39 63-88 78,50 Juni 23-28 26,58 60-80 70,91 Juli 23-29 26,77 60-78 71,75

___________________________________________________________________ Proses habituasi (F1-F2) pada masing-masing fase perkembangan, dipelihara pada ruangan dan kisaran suhu yang berbeda. Masa inkubasi telur 22 0C-24 0C, ulat kecil (instar 1-3) dan ulat besar (instar 4-6) pada kisaran suhu ruang 24 0C-29 0C, Masa pupasi dan perkawinan imago 26 0C-29 0C.


(69)

4.4. Ciri morfologi Attacus atlas ( Lepidoptera : Saturniidae) dan Perilakunya 4.4.1. Imago

Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) adalah salah satu jenis serangga yang merupakan ngengat terbesar dan atraktif dari ordo Lepidoptera. Serangga ini hidup secara liar di alam, Attacus atlas memiliki sayap berwarna menyolok dengan fenestrata transparan dan bintik seperti mata besar, bentangan sayapnya bisa mencapai 25 cm, memiliki tuberkel (duri) di bagian dorsal.

Keluarnya ngengat dari dalam kokon berlangsung pada malam hingga pagi hari, antara pukul 21.00 hingga sekitar pukul 09.00. Imago keluar melalui lubang di ujung anterior kokon, yang telah terbentuk saat pembuatan kokon. Imago yang baru keluar dari kokon biasanya masih basah oleh suatu cairan yang berwarna putih keruh, sayap belum terbentuk sempurna. Imago yang baru keluar ini akan segera mencari ranting, atau dahan dan akan mengambil posisi menggantung dengan abdomen berada di bawah, sehingga mudah mengembangkan sayapnya. Setelah beberapa saat sayap akan mulai mengembang.

Sayap yang baru mengembang ini kondisinya masih lemah dan belum dapat digunakan untuk terbang. Sayap yang telah mengembang sempurna beberapa jam kemudian akan segera mengeras dan cukup kuat digunakan untuk terbang. Imago yang keluar dari kokon akan berada di sekitar kokon hingga matahari terbit. Imago ini bila tidak terganggu akan aktif terbang pada sore menjelang malam. Imago ini bila terganggu akan mengeluarkan cairan berwarna putih dari anusnya.


(70)

Gambar 4. Imago Attacus atlas

Imago jantan dan betina dapat dibedakan berdasarkan bentuk antenanya. Imago jantan mempunyai bulu-bulu antena yang panjang dan lebar, sedangkan imago betina mempunyai bulu-bulu yang pendek dan lebih kecil. Warna antena coklat kemerahan, tubuh imago betina biasanya lebih besar dari imago jantan.

Proses perkawinan dimulai saat imago betina mengeluarkan semacam zat pemikat lawan jenis yang disebut pheromone. Ngengat jantan yang cara mendeteksi adanya pheromone dengan antena yang panjang dan melebar akan segera mencari dan mendatangi imago betina. Perkawinan akan berlangsung selama sehari penuh dari dinihari hingga menjelang malam hari.

Setelah melakukan perkawinan, imago betina akan segera bertelur. Imago betina akan meletakkan telurnya berjajar di bawah daun dan kadang-kadang ada yang diranting, wadah pemeliharaan, dan tempat lain yang dianggap cocok. Imago betina yang tidak melakukan perkawinan tetap akan bertelur dengan pola peletakan telur yang sama. Selama proses habituasi dan domestikasi A. atlas (F1-F3), imago betina mampu menghasilkan telur sebanyak 100 sampai 362 butir.


(71)

4.4.2. Telur

Telur dihasilkan oleh imago betina baik yang telah kawin maupun yang tidak. Telur yang dapat menetas menjadi larva adalah telur yang telah dibuahi. Imago betina yang tidak melakukan perkawinan akan menghasilkan telur steril yang tidak menetas menjadi larva.

Ciri-ciri telur A. atlas secara umum berwarna putih kehijauan, bentuk oval agak gepeng dengan ukuran panjang 2,5-2,7 mm, lebar 2,1-2,3 mm dan tinggi 2,1 mm. Telur yang baru keluar dari imago betina biasanya dilindungi oleh suatu cairan berwarna kemerahan hingga coklat. Cairan ini bersifat lengket ketika basah yang berfungsi untuk melekatkan telur pada substrat. Cairan ini disekresi oleh imago betina bersamaan dengan keluarnya telur. Induk betina biasanya meletakkan telurnya di daun, ranting, wadah pemeliharaan, dan tempat lain yang cocok (Gambar 5).


(72)

Penetasan telur biasanya berlangsung pada pagi hari antara pukul 05.00 hingga sekitar 9.30 pagi. Masa bertelur 2 sampai 10 hari, yang diletakkan secara berkelompok. Setelah masa inkubasi telur antara 10 sampai 12 hari, telur mulai menetas menjadi larva. Larva-larva ini menggunakan sisa kulit telurnya sebagai makanan pertama ketika baru menetas, sebelum menggunakan daun sebagai makanan utamanya.

4.4.3. Larva

Pada tahap larva, A. atlas memiliki 6 tahapan instar. Pada setiap instar, ciri-ciri, ukuran dan perilaku larva berbeda sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan larva. Pergantian masa instar ditandai dengan pergantian kulit (molting). Instar pertama dimulai saat larva menetas dari telur hingga pergantian kulit yang pertama. Pergantian kulit pada larva menandai pergantian masa instar, demikian selanjutnya sampai instar keenam. Pada instar keenam diakhiri saat larva mulai merajut kokon untuk selanjutnya memasuki periode pupa.

Pergantian kulit pada tahap larva sangat diperlukan dalam pertumbuhan dan perkembangan larva, karena kulit dari zat kitin telah mengeras dan tidak mungkin lagi untuk tumbuh dan mengembang. Pada akhir instar, kulit ini harus dilepaskan dan diganti yang baru untuk melangsungkan pertumbuhan dan perkembangan larva.

Pergantian kulit dilakukan pada saat pertumbuhan larva telah mencapai maksimal yang ditandai dengan larva tidak aktif makan dan banyak berdiam diri dengan menggulungkan kepalanya membentuk huruf C atau J. Kondisi ini berlangsung kurang lebih selama 6-24 jam hingga terjadi pergantian kulit. Pergantian kulit terjadi pada seluruh lapisan kutikula dinding tubuh, kepala, dan lapisan-lapisan kutikula trakea, usus


(73)

depan dan usus belakang yang dilakukan dalam bentuk potongan-potongan melalui anusnya (Borror, 1992).

Larva yang selesai melakukan pergantian kulit akan diam sebentar dan sesaat kemudian larva akan memakan sebagian eksuvalennya. Kulit yang baru terbentuk tidak tertutup oleh bubuk putih. Bubuk putih ini akan semakin menebal dengan bertambahnya umur tiap instar. Aktivitas makan larva akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur instar larva.

4.4.3.1 Larva instar pertama

Larva yang baru menetas panjangnya rata-rata 0,5-0,9 cm (rataan dari 4 ekor larva ) (Gambar 6). Kepala berwarna hitam, bagian dorsal tubuh terdapat scolus berwarna kuning pucat tanpa bubuk putih dan bagian ventral larva hitam kehijauan.

Gambar 6. Larva instar 1 yang diletakkan pada daun

Larva yang baru menetas akan memakan sebagian dari sisa kulit telurnya sebelum memakan daun. Larva segera aktif untuk mencari makan dan tempat yang cocok untuk

Daun sirsak larva A. atlas


(74)

berlindung. Larva biasanya berlindung di bawah daun untuk menghindari sinar matahari secara langsung.

Setelah memakan sisa kulit telurnya, beberapa saat kemudian larva mulai memilih daun-daun yang muda dan memakan di bagian tepi daun. Ketersediaan daun-daun muda sangat diperlukan pada instar awal, pemeliharaan larva instar 1 harus mendapatkan perhatian yang lebih, terutama terhadap predator, pengaruh lingkungan fisik, cuaca, pakan, karena pada instar awal ini larva sangat rentan terhadap kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan.

Ukuran larva instar 1 menjelang molting antara 1-1,3 cm, warnanya menjadi kuning pucat dan menjadi kurang aktif bergerak. Molting dapat berlangsung beberapa menit dengan gerakan ke kiri dan ke kanan, mengangkat dan menurunkan kepalanya hingga kulit bagian prothoraks robek dan segera melepaskan kulit kepala serta seluruh bagian tubuh lainnya. Setelah kulitnya terkelupas, larva akan berdiam sebentar untuk menguatkan kulit sebelum memakan eksuvalennya.

4.4.3.2. Larva instar kedua

Setelah mengalami pergantian kulit yang pertama, larva mulai memasuki instar kedua. Pada awal instar 2 ini, panjang larva rata-rata 1,31 cm dan mencapai 1,7 cm di akhir instar 2. Instar 2 scolus mulai tertutup bubuk putih, kepala berwarna kecoklatan, dan bagian ventral larva masih berwarna hijau gelap. Terdapat bercak merah di lateral segmen ke 3, 4 dan 8-10. Dengan bertambahnya umur larva, bubuk putih semakin menebal dan mendominasi warna larva (Gambar 7). Kecepatan memakan daun pada


(75)

instar 2 lebih cepat bila dibandingkan instar 1, sehingga daun-daun yang termakan pun lebih banyak.

Gambar 7. Larva Attacus atlas instar 2

Aktivitas makanpun semakin meningkat, sesuai dengan meningkatnya kebutuhan metabolisme larva. Beberapa saat setelah larva aktif makan, larva akan beristirahat, larva kembali meneruskan aktivitas makannya. Perilaku ini biasanya dialami pada instar-instar awal (instar-instar 1 dan 2)

4.4.3.4 Larva instar ketiga

Ciri morfologi larva instar 3 hampir sama dengan larva instar 2, hanya ukuran tubuh semakin besar dan panjang. Panjang larva instar 3 berkisar antara 1,71 -3 cm, bubuk putih dan bercak merah di bagian lateral segmen mendominasi warna larva, kepala berwarna merah kecoklatan (Gambar 8). Menjelang molting mencapai 3,5-3,8 cm.


(76)

4.4.3.5 Larva Instar keempat

Larva instar 4 ditandai dengan pergantian kulit yang ketiga. Pada awal instar 4 panjang larva mencapai 3,81 cm (dari 1 ekor larva). Ciri morfologi larva instar 4 berbeda dengan instar-instar sebelumnya. Setelah berganti kulit, kepala berwarna kehijauan, bercak merah di bagian lateral segmen 3, 4 dan 8-10 warnanya memudar menjadi agak kekuningan (Gambar 9). Pada akhir instar bercak ini hampir tidak kelihatan. Warna kepala akan berubah menjadi kekuningan seiring dengan perkembangan larva, pada awal instar warna bagian dorsal dan ventral larva hijau kebiruan, dan di akhir instar bagian dorsal tertutupi oleh bubuk putih. Panjang tubuh larva di akhir instar dapat mencapai 5,5 cm (dari 1 ekor larva). Perbedaan antara awal dan akhir instar terlihat pada ukuran tubuh yang semakin gemuk dan kokoh. Pada larva instar 4 ini, aktivitas makan larva lebih meningkat bila dibandingkan dengan instar sebelumnya. Larva mampu makan daun-daun yang telah tua dengan pola makan mulai teratur yaitu makan daun di bagian pangkal sampai ke ujung dan menyisakan ibu tulang daun. Larva makan dan tidak mengenal waktu, pada pagi hari, siang dan malam hari, baik hujan, maupun panas.

Gambar 7. Larva Attacus atlas instar IV Gambar 9 Larva Attacus atlas Instar 4


(77)

4.4.3.6 Larva Instar kelima

Ciri morfologi larva instar 5 hampir sama dengan larva instar 4. Hal yang membedakan adalah ukuran tubuh yang semakin besar, gemuk dan kokoh. Ukuran panjang tubuh larva instar 5 antara 5,51-8 cm (rataan dari 4 ekor larva).

Pertambahan ukuran tubuh larva instar 5 terlihat sangat nyata. Seiring dengan kecepatan larva menkonsumsi pakan daun sirsak maupun daun teh. Larva mampu menghabiskan seluruh bagian daun kecuali ibu tulang daunnya, baik daun yang muda maupun daun yang sudah tua. Pola makan larva instar 5 sudah teratur, yaitu dengan memakan daun setengah bagian dan di kiri atau di kanan ibu tulang daun, dari pangkal hingga ke ujung daun (Gambar 10).

Aktivitas makan larva berlangsung terus menerus sepanjang hari yang diikuti dengan periode istirahat beberapa saat. Pada periode ini pengaruh lingkungan terhadap larva relatif kecil, karena perilaku larva tidak menunjukkan hal-hal yang lain dari biasanya. Hal ini kemungkinan karena larva sudah beradaptasi secara baik terhadap kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Perubahan lingkungan yang tidak ekstrim akan memberikan pengaruh yang kecil terhadap metabolisme larva.


(78)

4.4.3.7 Larva instar Keenam

Larva instar 6 merupakan tahapan terakhir stadium larva. Larva instar 6 ini memiliki ciri-ciri : ukuran tubuh relatif sangat besar, gemuk dan kokoh, panjang tubuh mencapai 8.1-12 cm (rataan dari 4 ekor larva) (Gambar 11).

Gambar 11 Larva Attacus. atlas instar 6

Pada awal instar tubuh berwarna hijau cerah dengan bintik-bintik berwarna hitam di bagian dorsal thoraks dan di sekitar anal. Gerakan larva terlihat lamban karena tubuh yang gemuk dan kokoh. Aktivitas makan larva sangat tinggi, dikarenakan larva instar 6 merupakan periode terakhir untuk memperoleh makanan sebagai cadangan energi pada stadium pupa.

Menjelang berakhirnya larva instar 6, tubuh dominan berwarna putih di bagian dorsal, hijau kekuningan di bagian ventral dan lateral. Larva menjadi kurang aktif makan dan aktif berjalan-jalan dari dan ke daun atau ke sudut mencari tempat yang tepat untuk membuat kokon. Kondisi ini diawali ketika larva masih aktif makan, tetapi feses yang dikeluarkan bersifat encer atau diare. Beberapa saat kemudian larva menjadi kurang aktif makan.

Larva instar 6 biasanya memilih daun sebagai tempat melekatkan kokon yang aman. Larva yang telah menemukan daun yang cocok akan segera merajut kokon pada


(79)

daun tersebut. Larva instar 6 membuat kokon dengan menggunakan cairan sutera yang akan segera mengering. Pada saat merajut kokon sudah tidak memakan daun, aktivitas sepenuhnya digunakan untuk membuat kokon.

4.3.4 Pembentukan kokon dan Pupa

Pembentukan kokon (Gambar 12), dimulai ketika larva instar 6 mulai mengeluarkan cairan sutera yang dilekatkan pada wadah pemeliharaan atau pada daun, yang akan digunakan untuk melekatkan kokon. Serat-serat yang terbentuk ini berfungsi untuk menguatkan daun agar tidak jatuh ketika daun sudah tua dan mengering. Setelah menguatkan agar tidak mudah jatuh, larva akan meneruskan pembuatan kokon pada daun tersebut. Pembentukan kokon ini dilakukan larva hingga terbentuk kokon sempurna. Larva akan membentuk kokon dengan memanfaatkan daun sebagai tempat melekatkan kokonnya. Biasanya daun dilipat bagian ujung dan tepi daun, dan dihubungkan dengan serat-serat sutera sehingga akan terbentuk suatu rongga tempat pupa. Bagian kokon yang menghadap ke atas biasanya terdapat lubang sebagai tempat keluar imago. Posisi larva sebelum berubah menjadi pupa biasanya dengan kepala ada di bagian atas, sehingga pada saat pupa calon kepala imago berada di atas, posisi ini akan menguntungkan ketika imago keluar dari kokon.

Pembentukan kokon biasanya dimulai pada sore hari. Larva akan tertutup seluruhnya kurang dari 6 jam. Larva yang telah tertutup ini masih terus merajut kokon hingga kokon tersebut terbentuk sempurna. Hal ini terlihat pada kokon yang masih tipis. Setelah kokon tersebut sempurna larva akan berdiam diri beberapa saat kemudian mempersiapkan metamorfosa dari larva menjadi pupa. Kokon yang di dalamnya masih


(80)

terbentuk larva atau sudah menjadi pupa dapat diketahui dengan menggoyang-goyangkan kokon. Apabila isi dalam kokon tidak dapat bergeser berarti isi di dalam kokon masih berwujud larva, dan apabila isi kokon tersebut bergeser, dan terdapat rongga antar isi kokon dan kokon berarti larva telah berubah menjadi pupa.

Larva instar 6 akan membuat kokon sesuai dengan ukuran tubuhnya. Tahapan pupa merupakan stadium yang lemah. Keberadaan kokon sangat diperlukan untuk menjaga pupa dari gangguan luar. Selain itu kokon berfungsi untuk menjaga agar kondisi luar pupa (dalam kokon) tetap sesuai dan menjaga dari pengaruh lingkungan yang buruk yang akan mengganggu perkembangan pupa.

Gambar 12. Pembentukan Kokon Attacus atlas

Kokon yang terbentuk sempurna berbentuk elips, ujungnya membulat, dan pada ujung anteriornya terdapat celah. Kokon berwarna coklat keemasan, kokon yang baru terbentuk masih agak lemah dan agak basah, oleh pengaruh sinar matahari dan gerakan angin, lama kelamaan akan lebih kuat dan lebih kering.

Gambar 13. Kokon Attacus atlas yang terletak pada daun Daun sirsak


(81)

Tahap pupa merupakan tahapan yang paling penting dalam perkembangan metamorfosis dari larva menjadi imago. Dalam stadium ini terjadi organogenesis yaitu pembentukan organ-organ imago antara lain pembentukan sayap, kaki, kepala dan struktur reproduksi. Selama tahapan pupa tidak boleh terganggu agar proses organogenesis berlangsung sempurna. Apabila dalam proses ini terganggu maka akan menyebabkan kegagalan pembentukan organ dan kemungkinan besar akan menyebabkan kematian .

Pupa Attacus atlas (Gambar 14 b) bertipe obteca yang berwarna coklat hingga coklat tua. Pada stadium ini sudah dapat diketahui jenis kelamin imago, yaitu dengan melihat bentuk dan ukuran calon antena imago. Calon-calon organ yang lain juga sudah dapat terlihat antara lain calon kepala, sayap dan abdomen. Pada saat ini calon organ tersebut masih dalam proses pembentukan organ. Kondisi lingkungan pupa sangat mempengaruhi perkembangan pupa. Pupa akan berkembang menjadi imago, sedangkan imago akan segera bertelur untuk meneruskan generasinya.

Gambar 14 a. Bentuk kulit kokon Attacus atlas b. Bentuk pupa Attacus atlas

a

b


(82)

4.5. PEMBAHASAN

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di lapangan oleh Situmorang (1996) pada tanaman keben (Baringtonia asiatica K.) dan mahoni (Sweetenia mahagoni) , Tjiptoro (1997) pada tanaman gempol (Nauclea orientalis L.), Widyarto (2001) pada tanaman dadap (Eryhrina lithospermata M.) dan Wahyudi (2000) pada tanaman mahoni, disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Keberhasilan hidup A. atlas pada dadap, gempol, mahoni, keben, sirsak & teh Jumlah larva (n= 100 ekor).

____________________________________________________________ Keberhasilan hidup (%)

Peneliti _________________________________________________ Dadap Gempol Mahoni Keben Teh Sirsak ____________________________________________________________ Widyarto (2001) 19,17 44,58

Situmorang (1996) 10 10 Tjiptoro (1997) 44

Wahyudi (2000) 10

Ali Awan (2007) 100 100 _____________________________________________________________

Dari Tabel 12 dapat dijelaskan bahwa beberapa penelitian yang dilakukan di lapangan, menunjukkan hasil sebagai berikut : Situmorang (1996) yang memelihara A. atlas pada tanaman mahoni dan keben mengatakan bahwa dari 100 ekor larva yang dipelihara hanya 10 % yang berhasil, bobot kokon ada pupa antara 6,6-11,8 gram. Tjiptoro (1997) melaporkan bahwa dari 100 ekor larva yang dipelihara pada tanaman gempol yang berhasil 44 %, total perkembangan 73.308 hari. Widyarto (2001) yang memelihara pada tanaman dadap dari 100 ekor yang berhasil mencapai masa pupasi hanya 19,17 % dan 44,58 % pada tanaman gempol. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan hidup Attacus atlas yang dipelihara di ruangan/laboratorium lebih tinggi bila dibandingkan dengan di lapangan (Tabel 12).


(83)

Tabel 13. Keberhasilan Hidup Pada Berbagai Stadia A. atlas (F1-F2) pada pakan daun sirsak dan teh

______________________________________________________________________ Sirsak Teh

Fase Perkembangan _____________________________________________________ F1 F2 F1 F2 Periode larva (%) 100 100 100 100 Masa Pupasi (%) 100 100 100 100 Munculnya Imago (%) 10 15 15 22,5 Imago Jantan (%) 3,75 5 5 8.75 Imago Betina (%) 6,25 10 10 13,75 Sex ratio (1:1,5) (1:1,6) (1:1,6) (1:1,6)

Jumlah telur /ngengat (137,8±25,5) (165,8±9,32) 182,5±26,72) (193,8±29,28) ______________________________________________________________________ Berdasarkan Tabel 13, dari total 320 ekor larva A. atlas (F1-F2) selama proses habituasi dan domestikasi yang dipelihara pada pakan daun sirsak dan teh, menunjukkan keberhasilan hidup yang cukup tinggi. Keberhasilan hidup yang tinggi ini dapat dilihat dari periode larva yang 100 % mencapai masa pupasi, munculnya imago sebanyak 8 ekor (10 %) pada F1 meningkat menjadi 12 ekor (15 %) pada F2 untuk pakan sirsak. Sedangkan pada daun teh, munculnya imago 12 ekor (15 %) pada F1 meningkat menjadi 18 ekor (22,5 %) pada F2. Jumlah telur yang cukup banyak yaitu pada pakan daun sirsak, F1 : 137,8 butir/ngengat meningkat menjadi 165,8 butir/ngengat pada F2. Sedangkan pada pakan daun teh, F1 182,5 butir/ngengat meningkat menjadi 193,8 butir/ngengat pada F2. Kemunculan imago dan produksi telur yang cukup tinggi di laboratorium, bila dibandingkan dengan di alam yang hanya 10 %. Keberhasilan hidup yang tinggi ini disebabkan terjadinya perubahan tingkah laku dari alam menjadi lebih tenang dalam ruangan dan A. atlas telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan kualitas pakan yang tersedia secara berkesinambungan. Selama proses habituasi dan domestikasi A. atlas


(84)

(F1-F2) dalam ruangan, menunjukkan tahapan perkembangan sebagai berikut (Gambar 15).


(1)

Lampiran 3

Gambar a dan b lokasi pengambilan sampel kebun peternakan ulat Cisomang Purwakarta

B

A


(2)

B

Gambar a. Tempat inkubasi telur b. Kandang perkawinan imago


(3)

Lampiran 5

A A

B

C Gambar a. Rak pemeliharaan ulat b. Wadah masa pupasi


(4)

B Gambar a. Alat perebusan kokon


(5)

Lampiran 7

Gambar a. Alat Hund Spund untuk proses penyeratan benang b. Hasil Penyeratan pada tiap sampel

c. Benang hasil penyeratan

A

B


(6)

A

B Gambar a. Mesin tenun