Standardisasi Ekstrak Etanol Tanaman Katumpangan Air (Peperomia pellucida L. Kunth)

(1)

STANDARDISASI EKSTRAK ETANOL TANAMAN

KATUMPANGAN AIR (

Peperomia pellucida

L. Kunth)

SKRIPSI

MUCHAMMAD IRSYAD

NIM. 109102000019

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI


(2)

STANDARDISASI EKSTRAK ETANOL TANAMAN

KATUMPANGAN AIR (

Peperomia pellucida

L. Kunth)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

MUCHAMMAD IRSYAD

NIM. 109102000019

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA


(3)

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Muchammad Irsyad

NIM : 109102000019

Tanda Tangan :


(4)

(5)

(6)

Nama : Muchammad Irsyad Program Studi : Farmasi

Judul : Standardisasi Ekstrak Etanol Tanaman Katumpangan Air (Peperomia pellucida L. Kunth)

Katumpangan air (Peperomia pellucida L. Kunth) merupakan salah satu tanaman obat potensial yang digunakan masyarakat untuk pengobatan asam urat, rematik, sakit kepala, maupun sakit perut. Kandungan kimia yang terkandung dalam tanaman ini adalah alkaloid, tanin, saponin, flavonoid, dan triterpenoid. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan beberapa parameter non spesifik maupun parameter spesifik dari ekstrak etanol tanaman katumpangan air. Standardisasi ekstrak tanaman obat perlu dilakukan untuk menjaga penggunaan obat alami yang tidak sesuai syarat mutu. Standardisasi dilakukan dengan menetapkan parameter spesifik dan non spesifik dari tiga tempat tumbuh yang berbeda yaitu Tangerang Selatan, Bogor, Yogyakarta. Hasil standardisasi untuk parameter spesifik menunjukkan organoleptik ekstrak (kental, warna coklat hijau kehitaman, rasa pahit dan berbau khas), dengan kandungan senyawa larut dalam air (7,39%±0,433

– 13,29%±3,311), larut dalam etanol (15,33%±0,635 – 16,68%±0,898), dan kadar total flavonoid (3,807%±0,007 – 4,244%±0,003). Hasil untuk parameter non spesifik menunjukkan kadar air (12,25%±0,372 – 16,34%±0,655), kadar abu total (1,21%±0,117 - 2,78%±0,458), kadar abu tidak larut asam (0,19%±0,030 – 1,62%±0,152), susut pengeringan (21,62%±2,257 – 24,98%±0,697), dan bobot jenis (1,00g/mL±0,000 – 1,00g/mL±0,002). Hasil pengujian cemaran mikroba (0,61 x 103 – 1,13 x 103 koloni/g) sedangkan pengujian cemaran kapang/khamir (0,1 x 102 – 1,7 x 102 koloni/g) serta hasil pengujian logam timbal (0,15 – 0,18 mg/kg), cadmium (0 – 0,11 mg/kg), dan arsen (< 0,005 µg/kg).

Kata kunci : katumpangan air (Peperomia pellucida L. Kunth), standardisasi, spesifik, non spesifik


(7)

Nama : Muchammad Irsyad Program Studi : Pharmacy

Judul : Standardization of Extract Ethanol of Katumpangan Air (Peperomia pellucida L. Kunth)

Peperomia pellucida L. unth known as “ atumpangan ir” is one of the

potential medicinal plants that used for the treatment of the gout, rheumatism, headache, and abdominal pain. Chemical constituents contained in this plant are alkaloids, tannins, saponins, flavonoids, and triterpenoids. This study aims to establish some non-specific parameters and the specific parameters of the ethanol extract from katumpangan air. Standardization needs to be done to keep the use of natural medicines that do not fit the quality requirements. Standardization is done by determine the specific and non-specific parameters of three different growth places such as the South Tangerang, Bogor, and Yogyakarta. The results of standardization for specific parameters showed organoleptic extract (thick, blackish green brown color, bitter taste and characteristic odor), the content of water-soluble compounds (7,39%±0,433 – 13,29%±3,311), soluble in ethanol (15,33%±0,635 – 16,68%±0,898), and total flavonoid content (3,807%±0,007 – 4,244%±0,003). Results for non-specific parameter shows moisture content (12,25%±0,372 – 16,34%±0,655), total ash content (1,21%±0,117 – 2,78%±0,458), acid insoluble ash content (0,19%±0,030 – 1,62%±0,152), drying shrinkage (21,62%±2,257 – 24,98%±0,697), and specific gravity (1,00g/mL±0,000 – 1,00g/mL±0,002). Microbial contamination testing results (0,61x103– 1,13x103 coloni/g) while the contaminant testing mold/yeast (0,1x102

– 1,7x102 coloni/g) as well as test results lead metal (0,15 – 0,18 mg/kg), cadmium (0 – 0,11 mg/kg), and arsenic (<0.005µg/kg).

Keywords : katumpangan air (Peperomia pellucida L. Kunth), standardization, specific, non specific


(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Skripsi dengan judul “Standardisasi Ekstrak Etanol Tanaman Katumpangan Air (Peperomia pellucida L. Kunth)” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian akhir guna mendapatkan gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini penulis menyadari ada beberapa pihak yang sangat memberikan kontribusi kepada penulis. Maka perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih yanng sebesar-besarnya khususnya kepada :

1. Ibu Puteri Amelia, M. Farm., Apt. sebagai pembimbing I dan Ibu Marissa Angelina, M. Farm., Apt. sebagai pembimbing II yang telah rela meluangkan waktu, pikiran dan tenaganya untuk membimbing serta memotivasi penulis selama penelitian.

2. Dr. Linar Zalinar Udin selaku Kepala Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia beserta staff atas penggunaan segala fasilitas dan bantuannya selama penelitian.

3. Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Ayahanda ambang rif isworo dan Ibunda Noor Sa’diyah yang selalu

memberikan kasih sayang semangat dukungan dan do’a terbaik yang tak

terhingga di setiap langkah penulis.

6. Pakdhe Choiruzad, Budhe Tini, Om Aflah, Tante Dewi, yang telah memberikan semangat dan doa selama penelitian ini.


(9)

selama penelitian.

8. Bapak/Ibu Dosen yang telah membimbing penulis selama mengikuti proses kuliah dan praktikum serta staff akademika di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Pemberi semangat yang selalu mendoakan dan selalu sabar menghadapi penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, Pratiwi Ramelia.

10.Teman-teman dekat penulis, Muhammad Arif, Gian Pertela, Indah Fadlul Maula, Nadya Zahrayny. Serta teman penelitian di LIPI Serpong Puslit Kimia, Risda dan Neneng.

11.Teman-teman Farmasi angkatan 2009 atas dukungan, pertemanan dan kerjasamanya.

12.Semua pihak yang telah membantu penulis selama ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya.

Jakarta, September 2013


(10)

Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Muchammad Irsyad NIM : 10910200019 Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul

STANDARDISASI EKSTRAK ETANOL TANAMAN KATUMPANGAN AIR (Peperomia pellucida L. Kunth)

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Dengan demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Ciputat

Pada Tanggal : 25 September 2013

Yang menyatakan


(11)

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian... 3

1.4 Manfaat Penelitian... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Katumpangan Air (Peperomia pellucida L. Kunth)... 5

2.1.1 Klasifikasi Tanaman... 5

2.1.2 Nama Daerah ... 5

2.1.3 Deskripsi ... 5

2.1.4 Tempat Tumbuh ... 6

2.1.5 Kandungan Kimia ... 6

2.1.6 Khasiat ... 7

2.2 Ekstraksi ... 7

2.2.1 Pengertian Ekstraksi ... 7

2.2.2 Metode Ekstraksi ... 8

2.3 Ekstrak ... 9

2.4 Standardisasi... 10

2.4.1 Standardisasi Menjamin Keseragaman Khasiat ... 15

2.4.2 Standardisasi untuk Uji Klinik ... 15

2.4.3 Standardisasi Menjamin Aspek Keamanan dan Stabilitas Ekstrak ... 15

2.4.4 Standardisasi Meningkatkan Nilai Ekonomi ... 16

2.5 Penentuan Mutu Ekstrak ... 16


(12)

BAB III METODE PENELITIAN ... 27

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 27

3.2 Bahan dan Alat ... 27

3.2.1 Bahan Uji ... 27

3.2.2 Bahan Kimia... 27

3.2.3 Alat ... 27

3.3 Prosedur Kerja ... 28

3.3.1 Determinasi Sampel ... 28

3.3.2 Penyiapan Simplisia ... 28

3.3.3 Pembuatan Ekstrak ... 28

3.3.4 Penentuan Parameter-parameter Standardisasi ... 29

3.3.4.1 Parameter Spesifik ... 29

a. Identitas ... 29

b. Penetapan Organoleptik Ekstrak ... 29

c. Penentuan Kadar Senyawa Terlarut dalam Pelarut Tertentu ... 29

d. Identifikasi Kandungan Kimia Ekstrak ... 30

e. Kadar Total Flavonoid... 32

3.3.4.2 Parameter Non Spesifik ... 33

a. Penetapan Susut Pengeringan ... 33

b. Penetapan Kadar Air ... 33

c. Penetapan Kadar Abu ... 34

d. Penentuan Bobot Jenis ... 35

e. Penentuan Cemaran Mikroba dan Kapang .. 35

f. Penentuan Cemaran Logam ... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1 Hasil Determinasi Tanaman ... 37

4.2 Hasil Ekstrak Etanol Katumpangan Air ... 37

4.3 Hasil Parameter-parameter Standardisasi... 38

4.3.1 Parameter Spesifik ... 38

4.3.2 Parameter Non Spesifik... 39

4.4 Pembahasan ... 40

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

5.1 Kesimpulan... 56

5.2 Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58


(13)

Gambar 2.1 Tanaman Katumpangan Air (Peperomia pellucida L. Kunth) ... 6

Gambar 2.2 Skema alat dan proses pemisahan KLT ... 20

Gambar 2.3 Diagram skematis Spektrofotometer UV-Vis ... 23

Gambar 2.4 Diagram skematis Spektrofotometer Serapan Atom ... 24

Gambar 4.1 Pola kromatogram KLT dengan fase gerak 40:60 ... 44

Gambar 4.2 Hasil uji cemaran mikroba P. pellucida Tangerang Selatan ... 48

Gambar 4.3 Hasil uji cemaran mikroba P. pellucida Bogor ... 49

Gambar 4.4 Hasil uji cemaran mikroba P. pellucida Yogyakarta ... 50

Gambar 4.5 Hasil uji cemaran kapang P. pellucida Tangerang Selatan ... 51

Gambar 4.6 Hasil uji cemaran kapang P. pellucida Bogor ... 52

Gambar 4.7 Hasil uji cemaran kapang P. pellucida Yogyakarta ... 53

Gambar L.1 Ekstrak etanol P. pellucida Tangerang Selatan ... 65

Gambar L.2 Ekstrak etanol P. pellucida Bogor ... 65

Gambar L.3 Ekstrak etanol P. pellucida Yogyakarta ... 65

Gambar L.4 Maserasi simplisia P. pellucida ... 65

Gambar L.5 Penghalusan simplisia P. pellucida ... 65

Gambar L.6 Pemekatan maserat dengan vacuum rotary evaporator ... 65

Gambar L.7 Furnace ... 66

Gambar L.8 Sperktrofotometer UV-Vis ... 66

Gambar L.9 Autoklaf ... 66

Gambar L.10 Bagan pembuatan masing-masing ekstrak P. pellucida ... 74

Gambar L.11 Kromatogram ekstrak etanol P. pellucida sebelum UV 254nm ... 92

Gambar L.12 Kromatogram ekstrak etanol P. pellucida setelah UV 254nm ... 92 Gambar L.13 Kromatogram ekstrak etanol P. pellucida setelah pereaksi H2SO4 92


(14)

Tabel 4.1 Hasil rendemen ekstrak etanol katumpangan air ... 37

Tabel 4.2 Parameter identitas dan organoleptik ekstrak ... 38

Tabel 4.3 Parameter kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu ... 38

Tabel 4.4 Identifikasi golongan kimia ekstrak ... 38

Tabel 4.5 Parameter non spesifik ekstrak katumpangan air ... 39

Tabel 4.6 Parameter non spesifik cemaran-cemaran... 40

Tabel 4.7 Nilai Rf dengan perbandingan fase gerak 40:60 ... 44

Tabel L.1 Senyawa terlarut dalam air ... 76

Tabel L.2 Senyawa terlarut etanol ... 78

Tabel L.3 Kadar air ... 80

Tabel L.4 Kadar abu total... 82

Tabel L.5 Kadar abu tidak larut asam ... 84

Tabel L.6 Susut pengeringan... 86

Tabel L.7 Bobot jenis ... 88

Tabel L.8 Cemaran mikroba ... 90

Tabel L.9 Cemaran kapang/khamir ... 91

Tabel L.10 Nilai Rf dengan fase gerak n-heksan : etil asetat ... 93

Tabel L.11 Cemaran logam ... 94


(15)

Lampiran 1 Alur Penelitian ... 63

Lampiran 2 Determinasi Tanaman Katumpangan Air ... 64

Lampiran 3 Bahan dan Alat Penelitian ... 65

Lampiran 4 Hasil Uji Cemaran Logam ... 67

Lampiran 5 Kurva Kalibrasi Standar Quersetin ... 71

Lampiran 6 Kurva Kalibrasi Standar Logam Pb+, Cd+, As+ ... 72

Lampiran 7 Skema Perolehan Ekstrak P. pellucida ... 74

Lampiran 8 Perhitungan Rendemen Ekstrak... 75

Lampiran 9 Perhitungan Senyawa Terlarut Air ... 76

Lampiran 10 Perhitungan Senyawa Terlarut Etanol ... 78

Lampiran 11 Perhitungan Kadar Air ... 80

Lampiran 12 Perhitungan Kadar Abu Total ... 82

Lampiran 13 Perhitungan Kadar Abu Tidak Larut Asam ... 84

Lampiran 14 Perhitungan Susut Pengeringan ... 86

Lampiran 15 Perhitungan Bobot Jenis ... 88

Lampiran 16 Perhitungan Cemaran Mikroba ... 90

Lampiran 17 Perhitungan Cemaran Kapang/Khamir ... 91

Lampiran 18 Pola Kromatogram KLT ... 92

Lampiran 19 Perhitungan Cemaran Logam ... 94


(16)

1.1 LATAR BELAKANG

Tanaman obat sudah sejak zaman dahulu dipergunakan untuk meningkatkan kesehatan, memulihkan kesehatan, pencegahan penyakit dan penyembuhan oleh masyarakat Indonesia. Indonesia memiliki berbagai keaneka ragaman hayati sehingga Indonesia kaya akan sumber bahan obat alam dan tradisional yang digunakan untuk ramuan obat tradisional secara turun temurun (Saifudin, 2011). Dalam dasa warsa terakhir, perhatian dunia terhadap obat-obatan dari bahan alam (obat tradisional) menunjukkan peningkatan, baik di negara-negara berkembang maupun di negara-negara maju. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa hingga 65% dari penduduk negara-negara maju telah menggunakan pengobatan tradisional (Depkes, 2007).

Pengembangan obat tradisional diusahakan agar dapat sejalan dengan pengobatan modern. Berbagai penelitian dan pengembangan yang memanfaatkan kemajuan teknologi juga dilakukan sebagai upaya peningkatan mutu dan keamanan produk yang diharapkan dapat lebih meningkatkan kepercayaan terhadap manfaat obat tradisional juga didukung oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, tentang fitofarmaka, yang berarti diperlukan adanya pengendalian mutu simplisia yang akan digunakan untuk bahan baku obat atau sediaan galenik (BPOM, 2005).

Salah satu cara untuk mengendalikan mutu simplisia adalah dengan melakukan standardisasi simplisia. Standardisasi diperlukan agar dapat diperoleh bahan baku yang seragam yang akhirnya dapat menjamin efek farmakologi tanaman tersebut (BPOM, 2005). Selain itu dilakukannya standardisasi diperlukan untuk menjamin aspek keamanan dan stabilitas ekstrak. Fakta menyebutkan bahwa obat berbasis tumbuhan telah melekat di dalam kehidupan masyarakat dimana Indonesia merupakan negara terkaya biodiversitasnya, kecenderungan masyarakat kembali ke alam meneguhkan peran penting tumbuhan sebagai sumber obat bahkan berpotensi nilai


(17)

ekonomi tinggi. Pemikiran pemerintah yang menjadi isu besar adalah bagaimana menjamin obat yang berbasis herbal di atas memiliki mutu yang terukur, mampu mendukung derajat kesehatan dan terjamin keamanan terbebas dari bahan dan mikroba berbahaya serta bagaimana menaikkan nilai ekonomi sehingga menjadi negara produsen yang bermartabat (Saifudin, 2011).

Pemerintah RI melalui Depkes-BPOM mulai mengintensifkan pembuatan standar dan acuan standardisasi bahan obat alam. Namun, ekstrak tanaman yang sudah dibakukan standardisasinya baru sedikit. Hal ini jika dibandingkan dengan ribuan tanaman obat dan berpotensi obat sangatlah penting untuk dilakukan standardisasi untuk tanaman lainnya. Dengan demikian prospek dan pekerjaan standardisasi bahan obat alam merupakan isu besar dan tantangan besar hingga tahun-tahun mendatang. (Saifudin, 2011).

Tanaman katumpangan air (Peperomia pellucida L. Kunth) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Selatan tetapi umumnya ditemukan di Asia Tenggara (Purba, 2007). Tanaman ini biasa digunakan masyarakat untuk pengobatan asam urat, rematik, sakit kepala maupun sakit perut. Bagian tanaman yang sering digunakan masyarakat ini yaitu seluruh dari tanaman ini, atau sering disebut herba. Bahkan di Filipina tanaman ini yang disebut masyarakat sekitar disebut pansit-pansitan dapat dimanfaatkan sebagai obat antara lain untuk menurunkan kadar asam urat dan untuk mengobati masalah ginjal (Majumder, Pulak et al., 2011). Di Kalimantan oleh penduduk lokal, banyak digunakan dengan cara direbus dan air rebusannya diminum untuk mengatasi sakit reumatik karena asam urat tinggi. Selain itu juga dimanfaatkan sebagai obat untuk mengatasi penyakit ginjal, sakit perut, abses, bisul, jerawat, radang kulit, luka bakar, batuk, diare, masuk angin serta hipertensi (Purba, 2007). Sedangkan di Amerika Selatan masyarakatnya menggunakan rebusan daun dan batangnya untuk pengobatan asam urat dan artritis (Majumder, Pulak, 2011).


(18)

antiinflamasi (Wijaya dan Monica, 2004), memiliki efek antipiretik (Khan,

et al., 2008), antimikroba dan antikanker (Wei, et al., 2011) dan memiliki efek analgetik (Mulyani, 2011). Selain itu juga di Indonesia juga sudah ada produk berlabel jamu yang dipasarkan untuk pengobatan asam urat dengan komposisi adanya campuran ekstrak P. pellucida. Dengan banyaknya penggunaan masyarakat terhadap tanaman katumpangan air ini maka dirasa perlu untuk dilakukan proses standardisasi sehingga dapat dibuat bahan baku obat yang terjamin mutunya.

Pada penelitian ini dilakukan standardisasi terhadap ekstrak tanaman katumpangan air yang berasal dari tiga tempat tumbuh daerah yang berbeda yaitu Tangerang Selatan, Bogor, dan Yogyakarta dengan menetapkan parameter standar umum ekstrak yaitu parameter non spesifik yang meliputi susut pengeringan, bobot jenis, kadar air, kadar abu, cemaran mikroba dan kapang, dan cemaran logam berat, serta parameter spesifik yang meliputi identitas ekstrak, organoleptik ekstrak, senyawa terlarut dalam pelarut tertentu, pola kromatogram, dan kandungan kimia ekstrak.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Belum dilakukannya standardisasi tanaman katumpangan air (P. pellucida L. Kunth).

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1. Menetapkan parameter non spesifik yang meliputi susut pengeringan, bobot jenis, kadar air, kadar abu, cemaran mikroba dan kapang, dan cemaran logam berat pada ekstrak etanol tanaman katumpangan air (P. pellucida L. Kunth).

2. Menetapkan parameter spesifik yang meliputi identitas ekstrak, organoleptik ekstrak, senyawa terlarut dalam pelarut tertentu, pola kromatogram, dan kandungan kimia ekstrak pada ekstrak etanol tanaman katumpangan air (P. pellucida L. Kunth).


(19)

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah dari tanaman katumpangan air dalam upaya menjamin keamanan penggunaan bahan baku yang digunakan sebagai obat.


(20)

2.1 KATUMPANGAN AIR (Peperomia pellucida L. Kunth) 2.1.1 Klasifikasi Tanaman

Adapun klasifikasi tumbuhan ini adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Superdivision : Spermatophyta Division : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida (Dicotyledons) Subclass : Magnoliidae

Order : Piperales Family : Piperaceae Genus : Peperomia

Species : Peperomia pellucida L. Kunth (sumber: Majumder, Pulak et al, 2011)

2.1.2 Nama Daerah

Nama daerah dari tumbuhan ini adalah sladanan, rangu-rangu, suruhan (Jawa), saladaan (Sunda), tumpangan air (Sumatera, Jakarta), gofu goroho (Ternate), ulasiman bato (Filipina), cao hu jiao (Cina) (Hariana, Arief., 2006)

2.1.3 Deskripsi

Katumpangan Air (Peperomia pellucida L. Kunth) merupakan tumbuhan yang biasanya tumbuh liar di tempat-tempat yang lembab dan bergerombol. Tumbuhan katumpangan air merupakan famili Piperaceae (suku sirih-sirihan) dengan genus Peperomia. Tumbuhan ini mudah dijumpai di kebun, halaman rumah, tepi jalan, di pinggiran selokan, dan di tempat lain yang lembab atau berair. Tumbuhan ini berbunga sepanjang tahun. Tumbuh berumpun secara liar pada iklim


(21)

tropis dan subtropis. Tingginya sekitar 10-20 cm, dengan batang yang tegak, bercabang, lunak dan berwarna hijau pucat dengan akar yang serabut dangkal dan berwarna putih. Memiliki bunga majemuk berbentuk bulir yang terdapat pada pangkal. Lebar daun katumpangan air ini sekitar 0.5-2 cm berbentuk hati dan panjang sekitar 4 cm (Hariana, Arief., 2006).

Gambar 2.1 Tanaman Katumpangan Air (sumber: koleksi pribadi, 2013)

2.1.4 Tempat Tumbuh

Tumbuhan ini tersebar luas di Amerika Selatan dan banyak negara-negara Asia, tumbuh sekitar 400 m dpl (diatas permukaan laut) sebagai gulma di sepanjang pinggir jalan, di perkebunan, di tanah lembab dan di tempat teduh sekitar rumah yang biasanya menggerombol. Sebagian besar tumbuhan ini banyak ditemukan di daerah tropis (Majumder, Pulak et al., 2011). Peperomia pellucida

secara luas didistribusikan di banyak negara Amerika dan Asia Selatan (Arrigoni-Blank, 2002).

2.1.5 Kandungan Kimia


(22)

2011), flavonoid (Majumder, Pulak et al, 2011), Selain itu menurut Majumder Pulak (2011) juga memiliki aktivitas antijamur.

2.1.6 Khasiat

Katumpangan air (P. pellucida L. Kunth) sering digunakan sebagai ramuan dalam pengobatan tradisional. Tumbuhan ini memiliki manfaat dalam pengobatan sakit kepala, demam, sakit perut, abses, bisul dan gangguan ginjal (Oloyede, 2011). Menurut penelitian Sio, Susie O (2001) P. pellucida L. Kunth dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan asam urat. Berbagai penelitian sudah dilakukan dan menunjukkan bahwa tanaman ini memiliki aktivitas analgesik, antipiretik, antiinflamasi, hipoglikemik (Sheikh H., et al, 2013), antibakteri (Xu Su, 2005), antijamur (Majumder, Pulak et al, 2007), antimikroba dan antikanker (Wei et al, 2011).

P. pellucida mempunyai banyak khasiat sebagai obat, namun karakterisasinya belum ada dan masih sedikit yang meneliti tentang kandungan kimianya. Menurut Hembing (2006), P. pellucida berkhasiat untuk mengatasi nyeri pada rematik, penyakit asam urat, radang kulit, luka terpukul dan luka bakar ringan. Bagian yang digunakan adalah herba. Menurut hasil penelitian Muhtadi (2004), tentang aktivitas antidiabetes ekstrak etanol dari herba suruhan (Peperomia pellucida

H.B.&K.), hasil penapisan fitokimia dari ekstrak etanol menunjukkan adanya golongan senyawa steroida.

2.2 EKSTRAKSI

2.2.1 Pengertian Ekstraksi

Pengambilan bahan aktif dari suatu tumbuhan, dapat dilakukan dengan cara ekstraksi. Pengertian ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. Pengetahuan mengenai golongan senyawa aktif yang dikandung dalam simplisia akan mempermudah proses pemilihan pelarutan dan cara ekstraksi yang tepat (Depkes, 2000). Prinsip


(23)

ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam senyawa non polar. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi, dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna (Ansel, 1989).

2.2.2 Metode Ekstraksi

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes, 2000) yaitu:

1). Cara dingin a. Maserasi

Maserasi ialah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinyu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya. b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.


(24)

2). Cara Panas a. Refluks

Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

b. Sokletasi

Sokletasi ialah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendinginan balik.

c. Digesti

Digesti merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.

d. Infusa

Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air mendidih, temperatur terukur 96oC - 98oC selama waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekok

Dekok adalah infus yang waktunya lebih lama (lebih dari 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.

2.3 EKSTRAK

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes, 2000). Ada beberapa jenis


(25)

ekstrak yakni: ekstrak cair, ekstrak kental dan ekstrak kering. Ekstrak cair jika hasil ekstraksi masih bisa dituang, biasanya kadar air lebih dari 30%. Ekstrak kental jika memiliki kadar air antara 5-30%. Ekstrak kering jika mengandung kadar air kurang dari 5% (Voigt, 1994).

2.4 STANDARDISASI

Standardisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standard (kimia, biologi dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya. Persyaratan mutu ekstrak terdiri dari berbagai parameter standar umum dan parameter standar spesifik. Pengertian standardisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir obat (obat, ekstrak atau produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan (ajeg) dan ditetapkan terlebih dahulu (Depkes, 2000).

Mengingat obat herbal dan berbagai tanaman memiliki peran penting dalam bidang kesehatan bahkan bisa menjadi produk andalan Indonesia maka perlu dilakukan upaya penetapan standar mutu dan keamanan ekstrak tanaman obat (Saifudin, 2011).

Dalam standardisasi obat herbal dapat meliputi dua aspek: (Depkes, 2000)

1. Aspek parameter spesifik

Parameter spesifik adalah aspek kandungan kimia kualitatif dan aspek kuantitatif kadar senyawa kimia yang bertanggung jawab langsung terhadap aktivitas farmakologis tertentu.

1) Identitas (parameter identitas ekstrak) meliputi : deskripsi tata nama, nama ekstrak (generik, dagang, paten), nama lain tumbuhan (sistematika botani), bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun dsb) dan nama Indonesia tumbuhan.


(26)

2) Organoleptik

Parameter organoleptik ekstrak meliputi penggunaan panca indera mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa guna pengenalan awal yang sederhana se-objektif mungkin.

3) Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu

Yaitu melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol/air) untuk ditentukan jumlah larutan yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetrik. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya heksana, diklorometan, metanol. Tujuannya untuk memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan.

4) Uji kandungan kimia ekstrak a) Pola kromatogram

Dilakukan sebagai analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang khas. Bertujuan untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram (KLT/KCKT)

b) Kadar kandungan kimia tertentu

Suatu kandungan kimia yang berupa senyawa identitas atau senyawa kimia utama ataupun kandungan kimia lainnya, maka secara kromatografi instrumental dapat dilakukan penetapan kadar kandungan kimia tersebut. Instrumen yang dapat digunakan adalah densitometri, kromatografi gas, KCKT atau instrumen yang sesuai. Tujuannya memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggung jawab pada efek farmakologi (Depkes, 2000).

2. Aspek parameter non spesifik

Parameter non spesifik adalah segala aspek yang tidak terkait dengan aktivitas farmakologis secara langsung namun mempengaruhi aspek keamanan dan stabilitas ekstrak dan sediaan yang dihasilkan.


(27)

1) Susut pengeringan dan bobot jenis

a) Parameter susut pengeringan yaitu pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105°C selama 30 menit atau sampai berat konstan yang dinyatakan sebagai nilai persen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap/atsiri dan sisa pelarut organik menguap) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer/lingkungan terbuka. Adapun tujuan menentukan susut pengeringan untuk memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. b) Parameter bobot jenis adalah masa per satuan volume pada suhu

kamar tertentu (25°C) yang ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat lainnya. Adapun tujuan menentukan bobot jenis ekstrak yaitu memberikan batasan tentang besarnya masa per satuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih dapat dituang.

2) Kadar air

Yaitu pengukuran kandungan air yang berada di dalam bahan, dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara titrasi, destilasi atau gravimetrik. Adapun tujuan menentukan kadar air untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air di dalam bahan.

3) Sisa pelarut

Yaitu menentukan kandungan sisa pelarut tertentu (yang memang ditambahkan). Untuk ekstrak cair berarti kandungan pelarutnya, misalnya kadar alkohol. Adapun tujuan menentukan sisa pelarut untuk memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang memang seharusnya tidk boleh ada. Sedangkan untuk ekstrak cair menunjukkan jumlah pelarut (alkohol) sesuai dengan yang ditetapkan.


(28)

4) Cemaran logam berat

Yaitu menentukan kandungan logam berat secara spektroskopi serapan atom yang lebih valid. Adapun tujuan uji cemaran logam berat untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu (As, Pb, Cd) melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi kesehatan.

5) Cemaran mikroba

Yaitu menentukan (identifikasi) adanya mikroba yang patogen secara analisis mikrobiologis. Adapun tujuan dari uji cemaran mikroba untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung mikroba patogen dan tidak mengandung mikroba non patogen melebihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan berbahaya (toksik) bagi kesehatan.

6) Cemaran kapang/khamir

Yaitu menentukan adanya jamur secara mikrobiologis. Adapun uji ini dilakukan untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung semaran jamur melebihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan aflatoksin yang berbahaya bagi kesehatan (Depkes, 2000).

Pemerintah melalui Departemen Kesehatan dan Badan POM menetapkan standar dan parameter mutu dan keamanan bahan apapun termasuk bahan obat herbal yang dikonsumsi oleh masyarakat. Standar inilah yang digunakan oleh institusi yang memiliki kepentingan dengan obat herbal dan mereka harus menepati mutu produk yang telah ditetapkan (Saifudin, 2011).

Produsen, suplier, agen, pengimpor dan pengekspor berbahan baku ekstrak wajib menaati ketentuan pengujian, parameter hasil dan metode yang digunakan termasuk instrumentasi dan parameter keamanan. Untuk itu harus melakkukan proses standardisasi ekstrak jika produk herbal beredar di masyarakat sebagai obat herbal terstandard dan fitofarmaka (Saifudin, 2011).


(29)

Terdapat 3 kategori obat herbal yang beredar di Indonesia, yakni: (Saifudin, 2011)

1. Jamu

Suatu bahan pengobatan tradisional namun sudah terdaftar di institusi pemerintah yang tanpa dilakukan standardisasi yang belum mengalami standardisasi dan belum diteliti khasiat atau farmakologinya baik secara pra klinik maupun klinik.

2. Obat herbal terstandar

Suatu bahan baku telah distandardisasi dan telah diteliti serta terbukti khasiatnya secara pra klinik pada hewan uji.

3. Fitofarmaka

Suatu bahan baku telah distandardisasi dan khasiatnya telah dibuktikan secara klinik pada pasien manusia.

Idealnya ekstrak yang ditetapkan parameter mutu dan keamanannya adalah ekstrak yang berasal dari tanaman yang telah diteliti dan ditetapkan efek farmakologis dan toksisitas kliniknya, yakni telah teruji pada pasien sehingga output yang dihasilkan adalah produk dengan nilai ekonomi dan berdaya guna tinggi (Saifudin, 2011).

Masyarakat secara turun temurun atau mengikuti tren dalam mengonsumsi obat herbal tertentu yang sebenarnya banyak diantaranya belum mengalami penelitian farmakologi maupun toksikologinya. Demikian pula jamu yang beredar di pasaran, hendaknya minimal bahan baku ekstraknya telah ditetapkan aspek parameter non spesifiknya (Saifudin, 2011).

Sudah menjadi tugas pemerintah untuk menetapkan parameter mutu dan menjaga keamanan masyarakat dalam penggunaan obat herbal sehingga bahan obat herbal apapun yang telah dikonsumsi masyarakat tetap pada batas aman meskipun bahan atau produk belum mengalami uji farmakologi pra klinik maupun klinik (Saifudin, 2011).


(30)

2.4.1 Standardisasi Menjamin Keseragaman Khasiat

Mayoritas penggunaan bahan obat berbasis herbal di Indonesia masih bersifat tidak terukur baik kepastian tanaman, takaran, cara penyiapan sehingga tidak menjamin konsistensi khasiat. Salah satu tujuan dari standardisasi adalah menjaga konsistensi dan keseragaman khasiat dari obat herbal. Standardisasi melibatkan pemastian kadar senyawa aktif farmakologis melalui analisis kuantitatif metabolit sekunder yang akan menjamin keseragaman khasiat.

Tercatat sekitar 997 industri obat tradisional di Indonesia dan 98 diantaranya adalah produsen dengan skala besar dan sedang. Produsen dengan skala besar dan sedang telah mampu mengekspor produknya ke negara lain. Selain itu juga banyak bahan mentah rempah dan obat herbal diekspor ke luar negeri tanapa mengalami pengolahan. Problem yang seringkali dihadapi adalah belum terstandardnya bahan baku yang diperdagangkan bahkan dijumpainya kontaminan mikrobiologis pada produk obat herbal.

2.4.2 Standardisasi untuk Uji Klinik

Uji Klinik adalah uji senyawa kimia obat, obat herbal, ekstrak dan berbagai sediaan pada dosis tertentu dengan target biologis manusia agar memberikan respon biologis berupa parameter-parameter klinik perbaikan dari kondisi patologis yang terkait dengan penyakit tertentu. Untuk itu semua aspek dituntut terdesain dan dikontrol dengan baik. Respon uji klinik sangat ditentukan oleh konsistensi dosis. Jika jumlah zat aktif yang diberikan tidak konsisten maka disini peran besar standardisasi untuk menjaga senyawa-senyawa aktif selalu konsisten terukur antarperlakuan.

2.4.3 Standardisasi Menjamin Aspek Keamanan dan Stabilitas Ekstrak

Tempat tumbuh tanaman, penanganan pasca panen, proses ekstraksi, penyimpanan simplisia tanaman dan ekstrak juga mempengaruhi elemen keamanan terhadap pemakaian logam berat,


(31)

pestisida dalam tanah, udara dan air, jenis dan jumlah mikroorganisme dan metabolit pencemar berbahaya. Keberadaan air di dalam suatu ekstrak juga mempengaruhi stabilitas bahan baku bahkan bentuk sediaan yang nantinya dihasilkan. Untuk itu dilakukan berbagai analisis untuk menentukan batas minimal kadar air, zat dan jumlah mikroba pencemar. Proses standardisasi yang meliputi aspek kimiawi metabolit sekunder, jumlah cemaran mikroba minimal dan cemaran logam berat sangatlah penting karena terkait dengan khasiat dan keamanan pada konsumen.

2.4.4 Standardisasi Meningkatkan Nilai Ekonomi

Tanaman obat dan rempah Indonesia mempunyai potensi besar sebagai produk unggulan. Belum tingginya upaya lintas sektoral dan terpadu antara swasta-pemerintah-perguruan tinggi untuk mengangkat secara sistematis natural product Indonesia mengakibatkan banyak produk ekspor herbal yang berdaya tawar rendah. Standardisasi adalah upaya penting untuk menaikkan nilai ekonomi produk alam Indonesia.

2.5 PENENTUAN MUTU EKSTRAK

Lingkungan tempat tumbuh tanaman obat sangat mempengaruhi kualitas dan keamanan bahan baku ekstrak dan produk akhir yang dihasilkan. Tanaman budidaya akan lebih bisa dikontrol untuk meningkatkan mutu. Beberapa aspek yang mempengaruhi mutu ekstrak adalah (Saifudin, 2011):

1. Kesahihan tanaman

Tanaman obat sangat banyak dan sangat mirip secara morfologi sehingga secara fundamental perlu dihindari kesalahan dalam pengambilan spesies.

2. Genetik

Tanaman budidaya cenderung mempunyai genetik yang lebih seragam sehingga mudah mengontrol kandungan senyawanya. Namun,


(32)

kimianya yang kurang baik tetapi bisa ditanggulangi dengan pembentukan ekstrak dan proses standardisasi.

3. Lingkungan tempat tumbuh

Kualitas tanah, mutu air, dan iklim akan mempengaruhi kualitas serta kuantitas metabolit sekunder (senyawa alami). Adanya pencemaran logam berat dan mikroorganisme asing akan mempengaruhi keamanan pada konsumen karena logam berat akan terakumulasi dan akan terbentuk metabolit baru jika terdapat mikroorganisme asing.

4. Waktu panen

Pemanenan sebaiknya dilakukan pada saat tanaman mengandung kadar metabolit tertinggi. Untuk itu perlu diperhatikan musim panen, kematangan organ terpilih dan siklus biosintesis harian. Semua berdasarkan penelitian ilmiah terkait.

5. Penanganan pasca panen

Teknologi pasca panen berupa penggunaan alat, pengeringan yang aman dan baik, pengepakan dan penyimpanan mempengaruhi ekstrak. Demikian juga dengan pengeringan sinar matahari langsung harus dikontrol agar zat-zat penting tidak rusak.

6. Teknologi ekstraksi

Pemilihan metode ekstraksi disesuaikan dengan kemampuan industri pembuat. Metode ekstraksi apapun yang terpenting harus memenuhi standar tidak dipermasalahkan. Penggunaan pelarut dan peralatan logam atau kaca untuk ekstraksi harus cermat.

7. Teknologi pengentalan dan pengeringan ekstrak

Umumnya standardisasi dilakukan terhadap ekstrak kental yakni ekstrak yang cukup liat karena masih mengandung air. Pengentalan umumnya menggunakan tangas air, vacuum oven, freeze bulk dryer. 8. Cara menyimpan ekstrak

Penyimpanan yang baik yaitu dengan menyimpan yang menghindarkan dari kontaminasi dan menjaga stabilitas ekstrak serta metabolit yang terkandung. Kondisi ruangan yang lembab dapat


(33)

menyebabkan uap air terabsorpsi ke dalam ekstrak sehingga kadar air meningkat. Sebaiknya penyimpanan dilakukan di dalam ruang berpengatur udara.

2.6 KROMATOGRAFI

Kromatografi adalah suatu metode pemisahan berdasarkan perbedaan perpindahan dari komponen-komponen senyawa diantara dua fase yaitu fase diam, dapat berupa zat cair atau zat padat, dan fase gerak, dapat berupa gas atau zat cair (Depkes, 1995; Stahl, 1985). Fase diam dapat berupa bahan padat dalam bentuk molekul kecil, atau dalam bentuk cairan yanng dilapiskan pada pendukung padat atau dilapiskan pada dinding kolom. Fase gerak dapat berupa gas atau cairan. Jika gas digunakan sebagai fase gerak, maka prosesnya dikenal sebagai kromatografi gas. Dalam kromatografi cair dan juga kromatografi lapis tipis, fase gerak yang digunakan selalu cair (Gandjar dan Rohman, 2007).

Kromatografi dapat dibedakan atas berbagai macam tergantung pada pengelompokannya. Menurut Gandjar dan Rohman kromatografi dibedakan berdasarkan mekanisme pemisahannya menjadi: kromatografi adsorbsi, kromatografi partisi, kromatografi pasangan ion, kromatografi penukar ion, kromatografi eksklusi ukuran, dan kromatografi afinitas.

Berdasarkan pada alat yang digunakan, kromatografi dapat dibagi atas: kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, kromatografi cair kinerja tinggi, dan kromatografi gas (Gandjar dan Rohman, 2007).

Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan terutama dilakukan dengan mengunakan salah satu atau gabungan dari beberapa teknik tersebut dan dapat digunakan pada skala mikro maupun makro (Harborne, 1987).

Dalam penggunaan kromatografi untuk tujuan kualitatif dapat mengungkapkan ada atau tidak adanya senyawa tertentu dalam cuplikan. Sedangkan untuk tujuan kuantitatif dapat menunjukkan banyaknya masing-masing komponen campuran. Selain penggunaan kualitatif dan kuantitatif, kromatografi dapat digunakan untuk tujuan preparatif yaitu untuk


(34)

memperoleh komponen campuran dalam jumlah memadai dalam keadaan murni.

Selama pemisahan kromatografi, solut individual akan membentuk profil konsentrasi yanng simetris atau dikenal juga dengan profil Gaussian dalam arah aliran fase gerak. Profil dikenal juga dengan puncak atau pita, secara perlahan-lahan akan melebar dan sering juga membentuk profil yang asimetrik karena solut-solut melanjutkan migrasinya ke fase diam (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.6.1 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu metode pilihan kromatografi secara fisikokimia. Kromatografi lapis tipis merupakan bentuk kromatografi planar. Berbeda dengan kromatografi kolom yang mana fase diamnya dikemas di dalamnya, pada kromatografi lapis tipis fase diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca atau plat aluminium. Kromatografi lapis tipis ini dapat dikatakan sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom (Gandjar dan Rohman, 2007).

Fase diam yang biasa digunakan dalam kromatografi lapis tipis adalah silika dan serbuk selulosa. Lempeng KLT telah tersedia di pasaran dan telah ditambah dengan reagen fluoresen untuk memfasilitasi deteksi bercak solut. Selain itu lempeng KLT juga telah ditambahkan dengan agen pengikat seperti kalsium sulfat. Sedangkan fase gerak yang digunakan harus memiliki kemurnian yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan kromatografi lapis tipis merupakan teknik yang sensitif (Gandjar dan Rohman, 2007).

Fase gerak pada kromatografi lapis tipis dapat dipilih menggunakan sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat sudah diatur sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal (Gandjar dan Rohman, 2007).


(35)

Pemisahan pada kromatografi lapis tipis akan optimal jika sampel ditotolkan dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda. Untuk memperoleh reprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5 µL. Jika volume sampel yang akan ditotolkan lebih besar dari 2-10 µL maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar totolan. Setelah sampel ditotolkan pada lempeng KLT, tahap selanjutnya adalah mengembangkan sampel tersebut dalam suatu bejana kromatografi yang sebelumnya telah dijenuhkan dengan fase gerak (Gandjar dan Rohman, 2007).

Selama proses pengembangan, bejana kromatografi harus tertutup rapat. Jumlah volume fase gerak harus mampu mengelusi lempeng sampai ketinggian lempeng yang telah ditentukan. Setelah lempeng terelusi, dilakukan deteksi bercak. (Gandjar dan Rohman, 2007).

Gambar 2.2 Skema alat dan proses pemisahan KLT

Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun biologi. Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk

Chamber

Plat KLT Spot sampel

Pelarut (Solvent) Garis pensil


(36)

Fluoresensi sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluoresensi, membuat bercak akan terlihat jelas. Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi maka bahan penyerapnya akan diberi indikator yang berfluoresensi, dengan demikian bercak akan kelihatan hitam sedang latar belakangnya akan terlihat berfluoresensi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Kromatografi lapis tipis digunakan secara luas untuk analisis solut-solut organik terutama dalam bidang biokimia, farmasi, klinis, forensik, baik untuk analisis kualitatif atau untuk analisis kuantitatif. Penggunaan umum kromatografi lapis tipis adalah untuk menentukan banyaknya komponen dalam campuran, identifikasi senyawa, memantau berjalannya suatu reaksi, menentukan efektifitas pemurnian, menentukan kondisi yang sesuai untuk kromatografi kolom, serta untuk memantau kromatografi kolom, melakukan screening sampel untuk obat (Gandjar dan Rohman, 2007).

Harga Rf dihitung dengan menggunakan perbandingan sebagaimana persamaan sebagai berikut:

Harga maksimum Rf adalah 1, sampel bermigrasi dengan kecepatan sama dengan fase gerak. Harga minimum Rf adalah 0, dan ini teramati jika sampel tertahan pada posisi titik awal di permukaan fase diam (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.7 SPEKTROFOTOMETRI

Spektrofotometri adalah ilmu yang mempelajari tentang penggunaan spektrofotometer. Spektrofotometer adalah alat yang terdiri dari spektrofotometer dan fotometer. Spektofotometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan, atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Spektrofotometer adalah suatu instrumen untuk mengukur


(37)

transmitans atau absorbans suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang, pengukuran terhadap berbagai sampel pada suatu panjang gelombang tunggal dapat pula dilakukan (Underwood and Day, 2002). Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu, dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi.

2.7.1 Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometri UV-Vis adalah alat yang digunakan untuk mengukur serapan yang dihasilkan dari interaksi kimia antara radiasi elektromagnetik dengan molekul atau atom dari suatu zat kimia pada daerah ultraviolet (200-400 nm) dan sinar tampak (400-800 nm). Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif.

Teknik spektroskopi pada daerah ultraviolet dan sinar tampak biasa disebut spektroskopi UV-Vis. Dari spektrum absorpsi dapat diketahui panjang gelombang dengan absorbans- maksimum dari suatu unsur atau senyawa. Konsentrasi suatu unsur atau senyawa juga dengan mudah dapat dihitung dari kurva standar yang diukur pada panjang gelombang dengan absorbans maksimum.

Absorbsi cahaya UV-Vis mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi. Energi yang terserap kemudian terbuang sebagai cahaya atau tersalurkan dalam reaksi kimia. Absorbsi cahaya tampak dan radiasi ultraviolet meningkatkan energi elektronik sebuah molekul, artinya energi yang disumbangkan oleh foton-foton memungkinkan electron-electron itu mengatasi kekangan inti dan pindah keluar ke orbital baru yag lebih tinggi energinya. Semua molekul dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-Vis karena mereka mengandung elektron, baik sekutu


(38)

maupun menyendiri, yang dapat dieksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi (Underwood and Day, 2002).

Suatu pernyataan dalam suatu penetapan kadar atau pengujian mengenai panjang gelombang serapan maksimum mengandung implikasi bahwa maksimum tersebut tepat pada atau dalam batas 2 nm dari panjang gelombang yang ditetapkan (Depkes, 1995).

Suatu spektrofotometri UV-Vis tersusun dari sumber spektrum tampak yang kontinyu, monokromator, sel pengabsorbsi untuk larutan sampel atau blanko dan suatu alat untuk mengukur perbedaan absorbsi antara sampel dan blangko ataupun pembanding (Khopkar, 2003)

Gambar 2.3 Diagram skematis Spektrofotometer UV-Vis (sumber: Underwood and Day, 2002)

2.7.2 Spektrofotometri Serapan Atom

Spektroskopi serapan atom digunakan untuk analisis kuantitatif unsur-unsur logam dalam jumlah sedikit (trace) dan sangat sedikit (ultratrace). Cara analisis ini memberikan kadar total unsur logam dalam suatu sampel dan tidak tergantung pada bentuk molekul dari logam dalam sampel tersebut. Cara ini cocok untuk analisis sedikit logam karena mempunyai kepekaan yang tinggi (batas deteksi kurang dari 1 ppm), pelaksanaannya relatif sederhana. Spektroskopi serapan atom didasarkan pada penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral, dan sinar diserap biasanya sinar tampak atau ultraviolet. Perbedaan terletak pada bentuk spektrum, cara pengerjaan sampel dan peralatannya (Gandjar dan Rohman, 2007).


(39)

Metode spektroskopi serapan atom mendasarkan pada prinsip absorbsi cahaya oleh atom. Atom-atom akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang tertentu mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom yang mana transisi elektronik suatu atom bersifat spesifik. Dengan menyerap suatu energi, maka atom akan memperoleh energi sehingga suatu atom pada keadaan dasar dapat ditingkatkan energinya ke tingkat eksitasi (Gandjar dan Rohman, 2007). Keberhasilan analisis dengan spektroskopi serapan atom ini tergantung pada proses eksitasi dan cara memperoleh garis resonansi yang tepat serta temperatur nyala harus sangat tinggi (Gandjar dan Rohman, 2007). Pengukuran dalam spektroskopi serapan atom ini didasarkan pada radiasi yang diserap oleh atom yang tidak tereksitasi dalam bentuk uap (Hermanto, 2009).

Dapat dilihat diagram skematis dari alat spektrofotometer serapan atom dibawah ini:

Gambar 2.4 Diagram skematis Spektrofotometer Serapan Atom (sumber: Anshori, 2005)

1. Sumber sinar

Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga (hollow cathode lamp). Lampu ini terdiri dari atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan anoda. Katoda


(40)

dilapisi dengan logam tertentu. Tabung logam ini diisi dengan gas mulia (neon atau argon) dengan tekanan rendah (10-15 torr). Bila antara anoda dan katoda diberi suatu selisih tegangan yang tinggi (600 volt), maka katoda akan memancarkan berkas-berkas elektron yang bergerak menuju anoda yang mana kecepatan dan energinya sangat tinggi. Elektron-elektron dengan energi tinggi ini dalam perjalanannya menuju anoda akan bertabrakan dengan gas-gas mulia yang diisikan.

Akibat dari tabrakan-tabrakan ini membuat unsur-unsur gas mulia akan kehilangan elektron dan menjadi ion bermuatan positif. Ion-ion gas mulia yang bermuatan positif ini akan bergerak ke katoda yang mana pada katoda ini terdapat unsur yang sesuai dengan unsur yang akan dianalisis. Atom-atom unsur dari katoda ini kemudian akan mengalami eksitasi ke tingkat energi-energi elektron yang lebih tinggi dan akan memancarkan spektrum pancaran dari unsur yang sama dengan unsur yang akan dianalisis. 2. Nyala (Flame)

Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan menjadi bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi. Pada cara spektrofotometri serapan atom, nyala ini berfungsi atom dari tingkat dasar ke tingkat yang lebih tinggi. Sumber nyala yang paling banyak digunakan adalah campuran asetilen sebagai bahan pembakar dan udara sebagai pengoksidasi.

3. Monokromator

Pada spektrofotometer serapan atom, monokromator dimaksudkan untuk memisahkan dan memilih panjang gelombang yang digunakan dalam analisis. Di samping sistem optik, dalam monokromator juga terdapat suatu alat yang digunakan untuk memisahkan radiasi resonansi dan kontinyu yang disebut dengan


(41)

4. Detektor

Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat pengatoman. Biasanya digunakan tabung pengandaan foton (photomultiplier tube).

5. Readout

Readout merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai sistem pencatatan hasil. Pencatatan hasil dilakukan dengan suatu alat yang telah terkalibrasi untuk pembacaan suatu transmisi atau absorbsi. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau berupa kurva dari suatu recorder yang menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi.

Untuk keperluan analisis kuantitatif dengan spektrofotometer serapan atom, maka sampel harus dalam bentuk larutan. Ada beberapa cara untuk melarutkan sampel, yaitu:

a) Langsung dilarutkan dengan pelarut yang sesuai b) Sampel dilarutkan dalam suatu asam

c) Sampel dilarutkan dalam suatu basa atau dilebur dahulu dengan basa kemudian hasil leburan dilarutkan dalam pelarut yang sesuai

Metode pelarutan apapun yang akan dipilih untuk dilakukan analisis spektrofotometer serapan atom, yang terpenting adalah bahwa larutan yang dihasilkan harus jernih, stabil, dan tidak mengganggu zat-zat yang akan dianalisis (Gandjar dan Rohman, 2007).


(42)

3.1 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari hingga Agustus 2013 di Laboratorium Bahan Alam, Pusat Penelitian Kimia – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK), Serpong.

3.2 BAHAN DAN ALAT 3.2.1 Bahan Uji

Bahan uji yang digunakan adalah seluruh bagian tanaman katumpangan air (Peperomia pellucida L. Kunth) dengan spesifikasi batang yang tegak dan lunak dengan akar yang serabut dangkal dan berwarna putih. Tanaman ini diperoleh dari 3 tempat tumbuh yang berbeda, yaitu Tangerang Selatan (Jl. Raya Puspiptek, Kota Tangerang Selatan), Bogor (Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor), dan Yogyakarta (Jl. Cangkringan, Kecamatan Tirtomartani, Kabupaten Sleman).

3.2.2 Bahan Kimia

Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol 70%, kloroform LP, aquadest, etanol 95%, metanol, n-heksn, etil asetat, H2SO4 2M, pereaksi Meyer, pereaksi Dragendorf, serbuk Mg,

HCl pekat, FeCl3 1%, NaOH 1N, eter, pereaksi Lieberman-Buchard,

HCl 4N, AlCl3 10%, Na asetat 1M, kuersetin, H2SO4 encer, HNO3

pekat, Nutrient Agar (NA), Potato Dextrose Agar (PDA), HNO3 pekat,

HClO4.

3.2.3 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik, labu erlenmeyer, vacuum rotary evaporator, cawan penguap,


(43)

cawan petri, kertas saring, tabung reaksi, pipet tetes, oven, krus, kertas saring bebas abu, piknometer, labu ukur, cawan petri, inkubator, plat KLT, hot plate, desikator, Spektrofotometer UV-Vis, Spektrofotometer Serapan Atom

3.3 PROSEDUR KERJA 3.3.1 Determinasi Sampel

Determinasi terhadap P. pellucida dari ketiga tempat tumbuh dilakukan di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor, Jawa Barat.

3.3.2 Penyiapan Simplisia

Simplisia yang berasal dari ketiga tempat tumbuh yang berbeda dipisahkan terlebih dahulu dari masing-masing lokasi agar dalam penyiapan simplisia tidak tercampur. Penyiapan simplisia tanaman katumpangan air dilakukan dengan cara sortasi basah untuk memisahkan kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari batang dan daun. Kemudian dilakukan pencucian untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang masih menempel pada bahan yang sudah disortasi basah. Tahap selanjutnya adalah proses pengeringan dalam oven pada suhu 45°C (Depkes, 1985) selama 5 hari dan dilakukan sortasi kering. Kemudian dilakukan penggilingan untuk mendapatkan serbuk simplisia.

3.3.3 Pembuatan Ekstrak

Masing-masing ekstrak dibuat dengan memaserasi ±1kg simplisia kering katumpangan air (Peperomia pellucida L. Kunth) yang sudah dibuat serbuk dengan etanol 70%. Proses maserasi dilakukan sampai hasil maserat mendekati tidak berwarna dan setiap 24 jam dilakukan penyaringan. Maserat dikumpulkan lalu dikentalkan dengan menggunakan vacuumrotary evaporator. Kemudian dihitung rendemen


(44)

3.3.4 Penentuan Parameter-parameter Standardisasi 3.3.4.1 Parameter spesifik

a) Identitas ekstrak (Depkes, 2000)

Deskripsi tata nama, nama lain tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan dan nama Indonesia tumbuhan.

b) Penetapan organoleptik ekstrak (Depkes, 2000)

Penetapan organoleptik ekstrak, meliputi bentuk, warna, bau, dan rasa.

c) Penentuan kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu (Depkes, 2000)

1. Kadar senyawa yang larut dalam air

Sejumlah 1 gram ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 20 mL air-kloroform LP (1:1) kemudian disaring. Diuapkan 20 mL filtrat hingga kering dalam cawan penguap, residu dipanaskan pada suhu 105ºC hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air terhadap berat ekstrak awal.

Ket : A1 = Bobot cawan + residu setelah pemanasan (g)

A0 = Bobot cawan kosong (g)

B = Bobot sampel awal (g)

2. Kadar senyawa yang larut dalam etanol

Sejumlah 1 gram ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 20 mL etanol 95%. Hasil maserasi disaring cepat dengan menghindari penguapan etanol, kemudian diuapkan


(45)

20 mL filtrat hingga kering dalam cawan penguap, residu dipanaskan pada suhu 105ºC hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam etanol terhadap berat ekstrak awal.

-

Ket : A1 = Bobot cawan + residu setelah pemanasan (g)

A0 = Bobot cawan kosong (g)

B = Bobot sampel awal (g)

d) Identifikasi Kandungan Kimia Ekstrak 1. Penapisan golongan kimia ekstrak

a. Uji alkaloid

Sejumlah ekstrak ditambahkan 10 mL kloroform-amoniak, lalu disaring ke dalam tabung reaksi. Filtrat ditambahkan dengan beberapa tetes H2SO4 2M dan dikocok

sehingga terpisah dua lapisan. Lapisan asam yang terdapat di bagian atas dipipet ke dalam dua tabung reaksi. Masing-masing tabung reaksi ditambahkan pereaksi Meyer (5 g KI dilarutkan dalam 90 mL air dan ditambahkan perlahan HgCl2 sambil diaduk dan diencerkan hingga volume 100

mL) dan pereaksi Dragendorff (campuran Bi(NO3)2 5H2O

dalam asam nitrat dan larutan KI). Adanya alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya endapan putih dengan pereaksi Meyer dan endapan jingga sampai merah coklat dengan pereaksi Dragendorff. (Atmoko, T., 2009).

b. Uji Flavonoid

Sejumlah ekstrak ditambah air secukupnya dan dipanaskan selama 5 menit, kemudian disaring. Filtrat ditambahkan sedikit serbuk Mg dan 1 mL HCl pekat, kemudian larutan dikocok. Keberadaan flavonoid ditandai dengan terbentuknya warna kuning, jingga atau merah.


(46)

c. Uji Saponin

Sejumlah ekstrak ditambah air secukupnya dan dipanaskan selama 5 menit, setelah itu ditambahkan beberapa tetes HCl pekat. Adanya saponin ditandai dengan terbentuknya busa/buih yang stabil selama ± 15 menit (Atmoko, T., 2009).

d. Uji Tanin

Sejumlah ekstrak dalam tabung reaksi ditambah air secukupnya dan dipanaskan selama 5 menit, lalu disaring. Filtrat ditambahkan FeCl3 1%. Adanya tanin ditandai

dengan terbentuknya warna hijau kebiruan (Atmoko, T., 2009).

e. Uji Kuinon

Sejumlah ekstrak dalam tabung reaksi ditambah air, dididihkan selama 5 menit, lalu disaring. Filtrat ditambah NaOH 1N. Adanya kuinon ditandai dengan terbentuknya warna merah (Ciulei, I.,1984).

f. Uji Steroid dan Triterpenoid

Sejumlah ekstrak diekstraksi dengan eter dan fraksi yang larut dalam eter dipisahkan. Lapisan eter dipipet dan diuji dengan pereaksi Lieberman Buchard (asam asetat anhidrat : H2SO4 pekat = 3:1). Warna merah atau violet

menunjukkan adanya triterpenoid dan warna hijau atau biru menunjukkan adanya steroid (Atmoko, T., 2009).

2. Pola kromatogram

a. Profil KLT ekstrak (Helmi A, 2006)

Ekstrak (5 mg) dilarutkan dengan metanol sebanyak 1 mL untuk memperoleh larutan uji. Larutan uji dari ketiga tempat lokasi ditotolkan pada plat KLT dan dielusi dengan fase gerak n-heksan:etil asetat dengan perbandingan 100:0;


(47)

80:20; 60:40; 40:60; 20:80; 0:100. Kemudian dihitung nilai Rf-nya dan dibandingkan dari ketiga sampel tersebut.

e) Kadar Total Flavonoid (Chang, et al., 2002)

 Pembuatan larutan uji

Sebanyak 1 gram dari masing-masing ekstrak ditimbang, kemudian dihidrolisis dengan HCl 4N selama 30 menit dan disaring. Ekstrak disari/dilarutkan dengan 15 mL etil asetat sebanyak 3 kali. Kemudian fraksi etil asetat dikumpulkan dan dipekatkan. Hasil ekstrak etil asetat dimasukkan labu kemudian dilarutkan dengan metanol hingga 25 mL.

 Pengukuran Spektrofotometer UV

Larutan uji dipipet 0,5 mL yang kemudian dilarutkan dengan metanol 1,5 mL pada tabung reaksi. Selanjutnya larutan ditambahkan pereaksi dengan komposisi: 0,1 mL AlCl3 10%, 0,1 mL Na asetat 1M, dan 2,8 mL aquadest.

Larutan dicampur hingga homogen dan diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit. Larutan diukur serapannya pada spektrofotometer UV dengan panjang gelombang 415 nm dengan menggunakan larutan blangko tanpa AlCl3 namun

diganti dengan aquadest. Kadar flavonoid total dinyatakan dengan kesetaraan pembanding kuersetin.

Pembuatan kurva kalibrasi dilakukan dengan pembanding kuersetin

Sebanyak 25 mg kuersetin dilarutkan dengan metanol dalam labu 100 mL dan diencerkan hingga batas, larutan ini digunakan sebagai larutan induk. Kemudian dibuat 5 konsentrasi berbeda dengan diencerkan menggunakan metanol. Tiap konsentrasi dipipet 0,5 mL kemudian dilarutkan dengan 1,5 mL metanol. Setelah itu


(48)

masing-0,1 mL AlCl3 10%, 0,1 mL Na asetat 1M, dan 2,8 mL

aquadest. Larutan dicampur homogen dan diinkubasi suhu kamar selama 30 menit. Larutan diukur serapannya pada spektrofotometer UV dengan panjang gelombang 415 nm dengan blangko tanpa kuersetin.

3.3.4.2 Parameter Non Spesifik

a) Penetapan Susut Pengeringan (Depkes, 2000)

Sebanyak 1 gram ekstrak ditimbang dalam cawan yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105ºC selama 30 menit dan ditimbang. Ratakan dengan menggoyangkan hingga merupakan lapisan setebal (5 mm-10 mm) dan dikeringkan pada suhu penetapan hingga bobot tetap, buka tutupnya, biarkan cawan dalam keadaan tertutup dan mendingin dalam desikator hingga suhu kamar, kemudian dicatat bobot tetap yang diperoleh.

Ket : A = Bobot sampel sebelum dipanaskan (g) B = Bobot sampel setelah dipanaskan (g) (Selawa, W., 2013)

b) Penetapan Kadar Air (Metode gravimetri) (Depkes, 2000)

Sebanyak 1 gram ekstrak ditimbang dalam wadah yang telah ditara. Dikeringkan pada suhu 105ºC selama 5 jam di dalam oven dan setelah itu ditimbang. Kadar air dihitung dalam persen terhadap berat sampel awal.

Ket : A = Bobot sampel sebelum dipanaskan (g) B = Bobot sampel setelah dipanaskan (g) (Selawa, W., 2013)


(49)

c) Penetapan Kadar Abu (Depkes, 2000)

Sebanyak 1 gram ekstrak ditimbang (B) dengan seksama ke dalam krus dan ditimbang dahulu (A0), dipijarkan

perlahan-lahan. Kemudian suhu dinaikkan secara bertahap hingga 600 ± 25ºC sampai bebas karbon, selanjutnya didinginkan dalam desikator, serta timbang berat abu (A1). Kadar abu dihitung dalam

persen terhadap berat sampel awal.

Ket : A1 = Bobot krus + ekstrak setelah pemijaran (g)

A0 = Bobot krus kosong (g)

B = Bobot sampel awal (g)

Kadar abu yang tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 mL asam sulfat encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut asam dikumpulkan dengan menyaring melalui kertas saring bebas abu yang sebelumnya telah ditimbang (C), dicuci dengan air panas, disaring dan ditimbang (A1), ditentukan kadar

abu yang tidak larut asam dalam persen terhadap berat sampel awal.

Ket : A1 = Bobot krus + ekstrak setelah pemijaran (g)

A0 = Bobot krus kosong (g)

B = Bobot sampel awal (g)

C = Bobot kertas saring bebas abu (g)


(50)

d) Penentuan Bobot Jenis (Depkes, 2000)

Gunakan piknometer bersih dan kering. Piknometer yang akan digunakan ditimbang terlebih dahulu. Piknometer diisi dengan aquadest kemudian diatur suhunya 25°C, dan ditimbang. Aquadest dalam piknometer dikeluarkan dan dikeringkan untuk dimasukkan ekstrak cair 5%. Ekstrak cair dimasukkan ke dalam piknometer kemudian diatur suhu 25°C, dan ditimbang.

Ket : A1 = Bobot piknometer + ekstrak cair (g)

A0 = Bobot piknometer kosong (g)

B = Bobot piknometer + aquadest (g)

e) Penentuan Cemaran Mikroba dan Kapang (Depkes, 2000) 1. Cemaran mikroba

Larutan ekstrak dibuat dengan pengenceran 1:10 dengan cara melarutkan 1 gram ekstrak ke dalam labu ukur 10 mL. Dilanjutkan dengan pengenceran 1:100 dan 1:1000. Untuk penentuan angka lempeng total (ALT) dipipet 1 mL dari tiap pengenceran ke dalam cawan petri yang steril (duplo) dengan menggunakan pipet yang berbeda dan steril untuk tiap pengenceran. Ke dalam tiap cawan petri dituangkan 15 mL media Nutrient Agar yang telah dicairkan bersuhu 45°C. Cawan petri digoyangkan dengan hati-hati (diputar dan digoyangkan ke depan dan ke belakang ke kanan dan ke kiri) hingga sampel bercampur rata dengan larutan ekstrak. Kemudian dibiarkan hingga campuran dalam cawan petri membeku. Cawan petri dengan posisi dimasukkan ke dalam lemari inkubator suhu 35°C selama 24 jam. Dicatat pertumbuhan koloni pada masing-masing cawan setelah 24


(51)

jam dan menentukan Angka Lempeng Totalnya (Depkes, 2000).

2. Cemaran Kapang/Khamir

Larutan ekstrak dibuat dengan pengenceran 1:10 dengan cara melarutkan 1 gram ekstrak ke dalam labu ukur 10 mL. Dilanjutkan dengan pengenceran 1:100 dan 1:1000. Media agar yang digunakan adalah Potato Dextrose Agar

(PDA). PDA dicairkan dengan suhu 45°C, lalu dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 15 mL, biarkan membeku dalam cawan. Sebanyak 0,5 mL dari tiap pengenceran larutan ekstrak dipipet ke dalam cawan petri yang steril (metode sebar atau spreader) dengan menggunakan pipet yang bebeda dan steril untuk tiap pengenceran. Cawan petri digoyangkan dengan hati-hati hingga sampel tersebar secara merata pada media. Kemudian diinkubasikan pada suhu kamar (25°C) selama 7 hari, lalu ditentukan jumlah kapang dan khamir/g sampel (Depkes, 2000).

f) Penentuan Cemaran Logam (Saifudin, 2011)

Penetapan kadar As, Pb dan Cd dengan metode Atomic Absorption Spectroscopy (AAS). Penetapan kadar ketiga logam berat dengan cara destruksi basah. 1 gram ekstrak ditimbang dan ditambahkan 10 mL HNO3 pekat, setelah itu dipanaskan dengan hot plate hingga volume setengahnya. Ekstrak yang kental dan dingin ditambahkan HClO4 5 mL, kemudian dipanaskan hingga

asap putih hilang dan biarkan dingin kemudian dibilas dengan aquadest dan disaring ke labu ukur 50 mL. Tambahkan aquadest hingga 50 mL. Sampel diukur dengan alat AAS. Berdasarkan buku monografi ekstrak tumbuhan obat nilai logam Pb tidak lebih dari 10 mg/kg, logam Cd tidak lebih dari 0,3 mg/kg, sedangkan


(52)

4.1 HASIL DETERMINASI TANAMAN

Untuk identifikasi tanaman yang digunakan dalam penelitian ini, maka dilakukan determinasi di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong, Bogor. Hasil determinasi menunjukkan bahwa semua sampel yang digunakan merupakan spesies Peperomia pellucida L. Kunth.

Lihat Lampiran 2.

4.2 HASIL EKSTRAK ETANOL KATUMPANGAN AIR

Proses ekstraksi tanaman katumpangan air dilakukan menggunakan metode maserasi. Persentase perolehan ekstrak etanol (rendemen) yang dapat dihitung menggunakan rumus :

Tabel 4.1 Hasil rendemen ekstrak etanol katumpangan air No. Lokasi

Tumbuh

Bobot awal yang ditimbang

Bobot ekstrak

yang diperoleh Rendemen 1. Tangerang

Selatan 600 gram 41 gram 6,833 % 2. Bogor 1000 gram 78 gram 7,8 % 3. Yogyakarta 800 gram 105 gram 13,125 %

Hasil rendemen menunjukkan bahwa jumlah ekstrak etanol yang berasal dari yogyakarta lebih besar (13,125 %) dibandingkan dengan lokasi tempat tumbuh di tangerang selatan (6,833 %) dan bogor (7,8 %). Nilai rendemen yang dihasilkan tidak bergantung pada jumlah simplisia yang digunakan, melainkan kondisi alamiah senyawa.


(53)

4.3 HASIL PARAMETER-PARAMETER STANDARDISASI 4.3.1 Parameter Spesifik

Hasil pengujian parameter spesifik ekstrak katumpangan air dapat dilihat pada tabel-tabel berikut:

Tabel 4.2 Parameter identitas dan organoleptik ekstrak

Tabel 4.3 Parameter kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu

No. Parameter Tangerang

Selatan Bogor Yogyakarta

Rentang Nilai (%)

1. Kadar senyawa

larut air 13,29% 7,42% 7,39%

7,39±0,433 – 13,29±3,311 2. Kadar senyawa

larut etanol 15,68% 15,33% 16,68%

15,33±0,635 – 16,68±0,898

Tabel 4.4 Identifikasi golongan kimia ekstrak

Kandungan

Hasil Tangerang

Selatan Bogor Yogyakarta

Alkaloid

 Meyer + + +

 Dragendorff + + +

Parameter Hasil

Identitas Ekstrak :

Nama ekstrak Nama latin Bagian tanaman

Ekstrak tanaman katumpangan air

Peperomia pellucida L. Kunth Seluruh bagian tanaman

Organoleptik Ekstrak :

Bentuk Warna Rasa Bau

Ekstrak kental

Coklat hijau kehitaman Pahit


(54)

Saponin + + +

Tanin + + +

Kuinon - - -

Steroid - - -

Triterpenoid + + +

4.3.2 Parameter Non Spesifik

Tabel 4.5 Parameter non spesifik ekstrak katumpangan air

No. Parameter Tangerang

Selatan Bogor Yogyakarta

Rentang

Nilai Syarat

1. Kadar Air 12,25% 16,34% 13,05% 12,25±0,372 –

16,34±0,655 5 – 30%

2. Kadar Abu

Total 2,78% 1,78% 1,21%

1,21±0,117 –

2,78±0,458 -

3.

Kadar Abu Tidak Larut

Asam

1,62% 0,64% 0,19% 0,19±0,030 –

1,62±0,152 -

4. Bobot Jenis

(g/mL)

1,00 g/mL

1,00 g/mL

1,00 g/mL

1,00±0,000 –

1,00±0,002 -

5. Susut

Pengeringan 21,62% 24,98% 21,89%

21,62±2,257 –


(55)

Tabel 4.6 Parameter non spesifik cemaran-cemaran

No. Parameter

Hasil

Batas maksimal Tangerang

Selatan Bogor Yogyakarta 1. Cemaran

Mikroba

0,61 x 103 koloni/g

0,12 x 103 koloni/g

1,13 x 103 koloni/g 10

4

koloni/g

2. Cemaran

Kapang

0,1 x 102 koloni/g

1,7 x 102 koloni/g

1,1 x 102

koloni/g 10

3

koloni/g

3. Cemaran Logam

Timbal (Pb) 0,18 mg/kg 0,15 mg/kg 0,16 mg/kg 10 mg/kg

4. Cemaran Logam

Cadmium (Cd) 0,11 mg/kg 0,10 mg/kg - 0,3 mg/kg

5. Cemaran Logam

Arsen (As) - (limit deteksi alat 0,005 µg/kg) - (limit deteksi alat 0,005 µg/kg) - (limit deteksi alat 0,005 µg/kg) 5 µg/kg 4.4 PEMBAHASAN

Penelitian “Standardisasi ekstrak etanol tanaman (Peperomia pellucida L. unth ” bertujuan untuk menetapkan parameter-parameter standardisasi dari ekstrak P. pellucida ini sehingga kedepannya dapat memberikan informasi ilmiah dari P. pellucida yang mana dapat menjamin produk akhir. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena belum adanya batasan standar dari ekstrak P. pellucida. Ekstrak P. pellucida yang digunakan dalam pengujian diperoleh dari proses ekstraksi yang menggunakan metode maserasi. Metode maserasi ini dipilih sebagai metode dalam mengekstraksi karena merupakan cara penyarian yanng sederhana dimana pelarut akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Penggunaan pelarut etanol 70% karena memiliki sifat yang mampu melarutkan hampir semua zat, baik yang bersifat polar maupun nonpolar serta kemampuannya untuk mengendapkan protein dan menghambat kerja enzim sehingga dapat terhindar proses hidrolisis dan oksidasi (Voigt, 1994). Etanol 70% juga merupakan pelarut yang disarankan


(56)

dikumpulkan dan dipekatkan dengan menggunakan vacuum rotary evaporator sampai diperoleh ekstrak kental.

Ekstrak etanol dari simplisia P. pellucida yang berasal dari ketiga daerah tempat tumbuh yaitu Tangerang Selatan, Bogor dan Yogyakarta menghasilkan rendemen ekstrak yang tertera pada tabel 4.1. Penetapan rendemen ini bertujuan untuk mengetahui jumlah kira-kira simplisia yang dibutuhkan untuk pembuatan sejumlah tertentu ekstrak kental. Pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa persentase rendemen dari daerah Tangerang Selatan sebesar 6,833%, untuk daerah Bogor sebesar 7,8% dan untuk daerah Yogyakarta sebesar 13,125%. Hasil rendemen juga dapat menunjukkan kemungkinan jumlah senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak. Perbedaan rendemen yang cukup jauh disebabkan perbedaan tempat tumbuh antar sampel. Dari data rendemen yang diperoleh bahwa kandungan air

P. pellucida yang tumbuh di yogyakarta rendah sehingga menyebabkan rendemennya jauh lebih tinggi dibanding sampel di 2 tempat lainnya.

Ekstrak yang diperoleh memiliki identitas yaitu ekstrak tanaman

Peperomia pellucida L. Kunth dengan bangian yang digunakan seluruhnya. Pada pemeriksaan organoleptik ekstrak yang meliputi bentuk, warna, rasa dan bau diperoleh hasil ekstrak yanng berkonsistensi kental, berwarna coklat hijau kehitaman, berasa pahit, berbau khas. Penentuan parameter organoleptik ekstrak ini bertujuan memberikan pengenalan awal ekstrak secara objektif dan sederhana yang dilakukan dengan menggunakan panca indera.

Parameter spesifik selanjutnya yaitu penentuan kadar senyawa terlarut dalam air dan etanol. Kedua pelarut ini merupakan cairan pelarut yang diperbolehkan dan memenuhi syarat kefarmasian. Menurut Aziz Saifudin penggunaan pelarut air dimaksudkan untuk melarutkan senyawa polar dan etanol untuk melarutkan senyawa kurang polar yang terdapat dalam ekstrak. Parameter ini dapat memberikan informasi berupa jumlah kandungan senyawa yang dapat diekstraksi. Hasil dari pengujian kadar senyawa yang terlarut dalam air diperoleh sebesar 13,29%±3,31 untuk daerah tangerang selatan, 7,42%±1,25 untuk daerah bogor dan 7,39%±0,43 untuk daerah yogyakarta, sedangkan untuk kadar senyawa terlarut dalam etanol sebesar


(57)

15,68%±0,39 untuk daerah tangerang selatan, 15,33%±0,63 untuk daerah bogor dan 16,68%±0,89 untuk daerah yogyakarta. Dengan hasil seperti ini menunjukkan kadar senyawa dalam ekstrak lebih banyak terlarut dalam etanol dibandingkan dalam air, hal ini disebabkan pelarut yang digunakan pada proses ekstraksi menggunakan pelarut organik yaitu etanol sehingga senyawa-senyawa yang tersari/terserap lebih besar senyawa organik dibanding dengan senyawa anorganik. Penetapan kadar ekstrak larut air dan etanol bukanlah hal yang berdampak terkait efek farmakologisnya namun sebagai perkiraan kasar senyawa-senyawa yang bersifat polar (larut air) dan senyawa aktif yang bersifat semi polar-nonpolar (larut etanol) (Saifudin, 2011).

Identifikasi golongan senyawa kimia yang terkandung dalam

P. pellucida dilakukan dengan menggunakan reaksi kimia (warna dan endapan). Untuk mengidentifikasi golongan senyawa kimia, jumlah ekstrak yang digunakan untuk identifikasi disamakan jumlahnya antara ketiganya. Berdasarkan hasil identifikasi golongan kimia ekstrak menunjukkan bahwa ekstrak mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid, dan triterpenoid. Pada identifikasi alkaloid, dengan diberikan kloroform dan amoniak yang mana pemberian kloroform bertujuan untuk melarutkan senyawa yang ada di dalam ekstrak dan penambahan amoniak bertujuan untuk memutus ikatan antara asam dan alkaloid yang terikat secara ionik. Kemudian penambahan asam sulfat dimaksudkan untuk mengikat kembali alkaloid menjadi garam alkaloid agar dapat bereaksi dengan pereaksi-pereaksi logam yang spesifik untuk alkaloid sehingga menghasilkan kompleks garam anorganik yang tidak larut. Pembentukan endapan putih dengan Meyer dan endapan jingga hingga merah coklat dengan Dragendorff terjadi karena terbentuknya senyawa kompleks yang tidak larut. Hasil skrining alkaloid dengan menggunakan pereaksi Meyer, P. pellucida Tangerang Selatan, Bogor dan Yogyakarta menunjukkan hasil yang sama. Namun, dengan menggunakan pereaksi Dragendorff terdapat perbedaan yaitu pada


(1)

LAMPIRAN 18

POLA KROMATOGRAM KLT

Gambar L.11 Kromatogram ekstrak etanol P. pellucida sebelum UV


(2)

Perbandingan

Nilai Rf Tangerang

Selatan Bogor Yogyakarta

100 : 0 - - -

80 : 20

Rf2 0,0975 0,1036 0,0975

Rf3 - - 0,1707

60 : 40

Rf1 0,0853 0,0853 0,0731

Rf2 0,5853 0,5975 0,5975

Rf3 - - 0,7317

40 : 60

Rf1 0,2682 0,2439 0,2439

Rf2 0,7926 0,7926 0,7804

Rf3 - - 0,8536

20 : 80

Rf1 0,4878 0,4878 0,4756

Rf2 0,8536 0,8536 0,8536

Rf3 - - 0,9024

0 : 100

Rf1 0,6463 0,6463 0,6341

Rf2 0,8902 0,8902 0,8902


(3)

LAMPIRAN 19

PERHITUNGAN CEMARAN LOGAM

Cemaran logam (Pb, Cd, As) diidentifikasi dengan menggunakan alat Atomic Absorption Spectrfotometer

Tabel L.11 Cemaran logam

Logam Persamaan linier Nilai r Absorbansi

Konsentrasi logam dalam

ekstrak TANGERANG SELATAN

Pb y = 0,0063x + 0,0004 0,9989 0,001534 0,18 ppm Cd y = 3,4321x + 0,0067 0,9949 0,377998 0,11 ppm As y = 0,0016x – 0,0003 0,9986 -0,0024 - ppb

BOGOR

Pb y = 0,0063x + 0,0004 0,9989 0,001345 0,15 ppm Cd y = 3,4321x + 0,0067 0,9949 0,343677 0,10 ppm As y = 0,0016x – 0,0003 0,9986 -0,0033 - ppb

YOGYAKARTA

Pb y = 0,0063x + 0,0004 0,9989 0,001408 0,16 ppm Cd y = 3,4321x + 0,0067 0,9949 0,000467 - ppm


(4)

y=a+bx

Konsentrasi logam Pb (Tangerang Selatan) y = a + bx

y = 0,0063x + 0,0004 0,001534 – 0,0004 = 0,0063x

x = 0,18 ppm Konsentrasi logam Cd (Bogor)

y = a + bx

y = 3,4321x + 0,0067 0,343677 – 0,0067 = 3,4321x

x = 0,10 ppm Konsentrasi logam As (Yogyakarta)

y = a + bx

y = 0,0016x - 0,0003 -0,0023 + 0,0003 = 0,0063x


(5)

LAMPIRAN 20

PERHITUNGAN TOTAL FLAVONOID

Tabel L.12 Total flavonoid Sampel Absorbansi Konsentrasi awal

(µg/mL)

Kadar Total Flavonoid (%) TANGERANG SELATAN

1 2,489 424,847 4,248

2 2,485 424,169 4,242

3 2,486 424,339 4,243

Rata-rata % total flavonoid dalam sampel 4,244% ± 0,003

BOGOR

1 2,456 419,254 4,193

2 2,448 417,898 4,179

3 2,445 417,390 4,174

Rata-rata % total flavonoid dalam sampel 4,182% ± 0,009

YOGYAKARTA

1 2,225 380,102 3,801


(6)

Perhitungan total flavonoid pada ekstrak P. pellucida Tangerang Selatan Perhitungan % total flavonoid = onsentrasi awal x volume akhir x fp x

% total flavonoid =

1 g

% total flavonoid = 4,248%

Perhitungan total flavonoid pada ekstrak P. pellucida Bogor Perhitungan % total flavonoid = onsentrasi awal x volume akhir x fp x

% total flavonoid =

1

% total flavonoid = 4,193%

Perhitungan total flavonoid pada ekstrak P. pellucida Yogyakarta Perhitungan % total flavonoid = onsentrasi awal x volume akhir x fp x

% total flavonoid =

1