Analisis tataniaga ayam broiler di kecamatan parung kabupaten Bogor Jawa Barat

ANALISIS TATANIAGA AYAM BROILER
DI KECAMATAN PARUNG KABUPATEN BOGOR
JAWA BARAT

JOHANES F. TARIGAN

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAN CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Tataniaga
Ayam Broiler di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor Jawa Barat adalah benar
karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Johanes F. Tarigan
NIM H34104060

ABSTRAK
JOHANES F. TARIGAN. Analisis Tataniaga Ayam Broiler di Kecamatan Parung
Kabupaten Bogor Jawa Barat. Dibimbing oleh JOKO PURWONO.
Broiler adalah salah satu dari komoditi peternakan unggas yang memiliki
kontribusi produksi terbesar di Indonesia. Dari tahun 2009 hingga 2013 populasi
broiler terus mengalami peningkatan dari 1.026.378.580 menjadi 1.355.288.419.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis saluran tataniaga, lembaga
tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar dan efisiensi saluran
tataniaga berdasarkan marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan dan
biaya. Observasi dan wawancara dilakukan kepada peternak dengan menggunakan
metode convenience sampling dan snowball samplingkemudian lembaga tataniaga
menggunakan metode snowball sampling. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
tataniaga broiler di Parung terdiri dari 5 saluran dengan lembaga tataniaga yang
terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang pengecer dan

pemotongan. Saluran tataniaga III adalah saluran dengan nilai cost margin
terendahdan penyebaran profit margin yang merata, yang menunjukkan bahwa
saluran ini memiliki efisiensi tertinggi jika dibandingkan dengan saluran tataniaga
lainnya secara operasional.
Kata kunci : broiler, efisiensi, peternakan unggas, tataniaga
ABSTRACT
JOHANES F. TARIGAN. Broiler Marketing Analysis In Parung District Bogor
Regency West Java. Supervised JOKO PURWONO.
Broiler is one of poultry commodity that contributes the highest production in
Indonesia. From 2009 to 2013 the broiler’s population had been increased from
1.026.378.580 to 1.355.288.419. The research was aimed to analyze the
marketing channels, marketing institutions, marketing functions, marketing
structures, marketing conducts and efficiency marketing channels based on
marketing margin, farmer’s share and profit ratio againt cost. Observation and
interview were conducted to farmers by convenience and snowball sampling
method and for the marketing institution by snowball sampling method. The result
of this research showed that broiler’s marketing in Parung consist of 5
channels,they are marketing institute consist of traders, wholesalers,retailers,
andslaughterhouses. The marketing channel IIIis the channel that have the lowest
cost margins and have profit margins evenly spread, which indicates that this

channel has the highest efficiency compared with other channels operationally.
Keywords : broiler, efficiency, marketing,poultry

ANALISIS TATANIAGA AYAM BROILER
DI KECAMATAN PARUNG KABUPATEN BOGOR
JAWA BARAT

JOHANES F. TARIGAN

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas
segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Topik skripsi ini adalah tataniaga dan dilaksanakan pada bulan april hingga mei
2014 di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor.
Skripsi ini tidak dapat dapat diselesaikan tanpa bantuan, dukungan dan
arahan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ir. Joko Purwono, MS selaku dosen pembimbing yang memberikan
pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Ir. Juniar Atmakusuma,MS selaku dosen penguji dan Arif Karyadi, SP
selaku komisi akademik yang telah meluangkan waktu serta memberikan
kritik dan saran.
3. Dr. Ir. Netti Tina prilla, MM selaku dosen pembimbing akademik beserta
seluruh Dosen dan Staf Departemen Agribisnis.
4. Kedua orangtua serta kedua saudara penulis yang telah memberikan
dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Peternak dan lembaga tataniaga di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor,
penulis berterima kasih atas waktu, kesempatan, informasi, dan dukungan
yang telah diberikan.

6. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen, serta seluruh
pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
Kiranya skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

Johanes F. Tarigan

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Agribisnis Ayam Broiler
Tinjauan Penelitian Terdahulu

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Konseptual
Konsep Tataniaga
Konsep Lembaga Tataniaga
Saluran Tataniaga
Fungsi-fungsi Tataniaga
Struktur Pasar
Perilaku Pasar
Efisiensi Tataniaga
Marjin Tataniaga
Farmer’s Share
Rasio Keuntungan dan Biaya (R/C)
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Data dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Pengambilan Sampel
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis Saluran Tataniaga

Analisis Lembaga Tataniaga
Analisis Fungsi Tataniaga
Analisis Struktur Pasar
Analisis Perilaku Pasar
Analisis Marjin Tataniaga
Analisis Farmer’s Share
Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya (R/C)
Analisis Efisiensi Tataniaga
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Keadaan Umum Kabupaten Bogor
Keadaan Umum Kecamatan Parung
Karakteristik Peternak Sampel
Karakterstik Lembaga Tataniaga
Responden Pedagang Pengumpul
Responden Pedagang Besar
Responden Rumah Potong Ayam (RPA)

1
1
5

7
8
8
8
8
11
11
11
12
13
13
15
16
17
18
19
19
20
21
21

21
22
23
23
23
24
24
24
25
25
25
26
26
26
26
26
27
29
30
30

30

Responden Pedagang Pengecer
ANALISIS SALURAN, LEMBAGA DAN FUNGSI TATANIAGA
Sistem Saluran Tataniaga Ayam Broiler
Pola Saluran Tataniaga I
Fungsi Pertukaran pada Saluran Tataniaga I
Fungsi Fisik pada Saluran Tataniaga I
Fungsi Fasilitas pada Saluran Tataniaga I
Pola Saluran Tataniaga II
Fungsi Pertukaran pada Saluran Tataniaga II
Fungsi Fisik pada Saluran Tataniaga II
Fungsi Fasilitas pada Saluran Tataniaga II
Pola Saluran Tataniaga III
Fungsi Pertukaran pada Saluran Tataniaga III
Fungsi Fisik pada Saluran Tataniaga III
Fungsi Fasilitas pada Saluran Tataniaga III
Pola Saluran Tataniaga IV
Fungsi Pertukaran pada Saluran Tataniaga IV
Fungsi Fisik pada Saluran Tataniaga IV

Fungsi Fasilitas pada Saluran Tataniaga IV
Pola Saluran Tataniaga V
Fungsi Pertukaran pada Saluran Tataniaga V
Fungsi Fisik pada Saluran Tataniaga V
Fungsi Fasilitas pada Saluran Tataniaga V
Struktur Pasar
Struktur Pasar di Tingkat Peternak
Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul
Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Besar
Struktur Pasar di Tingkat Rumah Potong Ayam (RPA)
Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer
Perilaku Pasar
Perilaku Pasar pada Saluran Tataniaga I
Praktek Pembelian dan Penjualan
Sistem Penentuan Harga
Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga
Perilaku Pasar pada Saluran Tataniaga II
Praktek Pembelian dan Penjualan
Sistem Penentuan Harga
Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga
Perilaku Pasar pada Saluran Tataniaga III
Praktek Pembelian dan Penjualan
Sistem Penentuan Harga
Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga
Perilaku Pasar pada Saluran IV
Praktek Pembelian dan Penjualan
Sistem Penentuan Harga
Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga
Perilaku Pasar pada Saluran V
Praktek Pembelian dan Penjualan

30
31
31
32
32
33
33
34
34
35
35
36
38
38
39
40
40
40
40
41
41
42
42
44
44
45
45
45
46
46
46
46
47
47
47
47
47
48
48
48
49
49
50
50
50
50
50
50

Sistem Penentuan Harga
Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga
ANALISIS EFISIENSI TATANIAGA
Analisis Volume Distribusi
Analisis Marjin Tataniaga
Marjin Biaya
Marjin Keuntungan
Analisis Farmer’s Share
Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya
Efisiensi Tataniaga
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
Daftar Pustaka
LAMPIRAN

51
51
52
52
52
54
55
56
57
59
60
60
61
62
63

DAFTAR TABEL

1 Produksi Daging Nasional Tahun 2009-2013* (000 ton)
2 Populasi Ternak Unggas di Indonesia Tahun 2004-2008 (000 ekor)
3 Konsumsi Rata-rata per Kapita per Tahun Beberapa Bahan Makanan di
Indonesia Tahun 2008-2012
4 Populasi Ayam Broiler Menurut Propinsi
5 Karakteristik Pasar Berdasarkan Sudut Penjual dan Pembeli
6 Golongan Usia Peternak Sampel di Parung
7 Tingkat Pendidikan Peternak Sampel di Paung
8 Status Kepemilikan Kandang Peternak Sampel di Parung
9 Pengalaman Beternak Ayam Broiler di Parung
10 Responden Pelaku Tataniaga dan Jenis Lembaga Pemasaran
11 Pengalaman Usaha Pedagang Pengumpul
12 Fungsi Tataniaga Masing-masing Lembaga Tataniaga dalam Sistem
Tataniaga Ayam Broiler di Kecamatan Parung Tahun 2014
13 Struktur Pasar pada Masing-masing Lembaga Tataniaga Ayam Broiler
di Kecamatan Parung Tahun 2014
14 Perilaku Pasar yang Dihadapi oleh Lembaga Tataniaga Ayam Broiler di
Kecamatan parung Tahun 2014
15 Volume Distribusi Saluran Tataniaga Ayam Broiler di Kecamatan
Parung Tahun 2014
16 Marjin Tataniaga Ayam Broiler di Kecamatan Parung Tahun 2014
(Rp/kg)
17 Marjin Tataniaga, Cost Margin dan Profit Margin (Rp/kg)
18 Biaya Tataniaga Ayam Broiler di Kecamatan Parung Tahun 2014
(Rp/kg)
19 Keuntungan di tiap Lembaga Tataniaga

2
2
3
4
16
27
28
28
29
29
30
43
46
51
52
53
54
55
56

20 Farmer’s Share di Kecamatan Parung Tahun 2014
21 Rasio Keuntungan dan Biaya Tataniaga Ayam Broiler di Kecamatan
Parung Tahun 2014

57
58

DAFTAR GAMBAR

1 Hubungan Antara Fungsi-fungsi Pertama dan Turunan terhadap Marjin
Tataniaga dan Nilai Marjin Tataniaga
2 Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian Tataniaga Ayam Broiler
3 Saluran Tataniaga Ayam Broiler di Kecamatan Parung Tahun 2014

18
20
31

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4
5
6
7
8

Perhitungan Analisis Biaya Tataniaga
Perhitungan Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya
Biaya tataniaga (Rp/kg)
Marjin Tataniaga (Mi), Keuntungan (Li) dan Rasio Keuntungan dan
Biaya (R/C)
Profil Peternak Sampel di Lokasi Penelitian
Dokumentasi
Peta Kecamatan Parung
Biaya, Marjin Tataniaga Ayam Broiler di Kecamatan Parung

64
65
66
67
68
69
70
71

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah negara berkembang dengan jumlah populasi penduduk
sebanyak kurang lebih 237 juta jiwa pada tahun 2010 (angka BPS). Populasi
penduduk Indonesia sebagai negara berkembang akan terus bertambah setiap
tahunnya. Peningkatan jumlah populasi penduduk suatu negara akan berbanding
lurus dengan jumlah permintaan bahan pangan, terutama pangan berkualitas,
dengan kata lain kebutuhan konsumsi pangan akan terus meningkat. Selain
pertambahan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan, perbaikan tingkat
pendidikan, urbanisasi, perubahan gaya hidup (lifestyle) dan peningkatan
kesadaran akan gizi seimbang akan menyebabkan permintaan bahan pangan
berkualitas semakin tinggi. Hal ini merupakan peluang bagi sektor peternakan
dalam berproduksi dan mencerminkan bahwa agribisnis peternakan tetap memiliki
prospek pasar yang baik. Indonesia selayaknya mampu memenuhi kebutuhan
pangan asal ternak sendiri bahkan berpotensi menjadi negara pengekspor produk
peternakan. Hal ini dapat di lihat dari ketersediaan sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia yang cukup mendukung.
Prospek ekonomi dari komoditas peternakan sangat menguntungkan saat ini.
Salah satu sektor peternakan yang mempunyai prospek yang cukup menjanjikan
untuk dikembangkan adalah sektor peternakan unggas. Industri perunggasan
merupakan andalan subsektor peternakan yang memiliki peran strategis dalam
penyediaan bahan pangan, penyediaan lapangan pekerjaan, dan pembangunan
ekonomi Indonesia. Komoditas peternakan sendiri mempunyai nilai ekonomis
yang tinggi, sehingga usaha peternakan dapat menjadi sumber pendapatan yang
baik bagi masyarakat.
Komoditas peternakan unggulan dalam sektor peternakan unggas saat ini
adalah ayam ras pedaging atau biasa disebut dengan ayam broiler. Ayam Broiler
merupakan jenis ras unggas hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang
memiliki daya produktivitas tinggi dalam memproduksi daging (pertumbuhan
yang sangat cepat). Ayam broiler salah satu komoditas peternakan yang memiliki
peranan penting dalam kehidupan masyarakat sebagai sumber protein hewani
yang disukai dan digemari oleh banyak orang karena dagingnya memiliki kualitas
rasa dan tekstur yang baik, harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan
dengan komoditas daging penyedia protein hewani lainnya seperti misalnya
daging sapi. Hingga kini ayam broiler telah dikenal masyarakat Indonesia dengan
berbagai kelebihannya, hanya dengan waktu pemeliharaan 5 sampai 6 minggu
sudah bisa dilakukan pemanenan dengan kisaran bobot badan 1,3 hingga 1,8 kg.
Dengan waktu pemeliharaan yang relatif singkat dan menguntungkan maka
banyak peternak baru serta peternak musiman yang bermunculan di berbagai
wilayah Indonesia.
Selain ayam broiler, terdapat beberapa macam komoditas peternakan
lainnya di Indonesia, terutama komoditas penghasil daging. Produksi daging
secara nasional dapat dilihat pada Tabel 1.

2

Tabel 1. Produksi Daging Nasional Tahun 2009-2013* (000 ton)
No.

Jenis/ Species
2009
2.204,9
409,3

DAGING/ MEAT
Sapi Potong/ Beef
Cattle
2
Kerbau/ Buffalo
34,6
3
Kambing/ Goat
73,8
4
Domba/ Sheep
54,3
5
Babi/ Pig
200,1
6
Kuda/ Horse
1,8
7
Ayam
Buras/
247,7
Native Chicken
8
Ayam
Ras
55,1
Petelur/ Layer
9
Ayam
Ras
1.101,8
Pedaging/
Broiler
10
Itik/ Duck
25,8
11
Kelinci/ Rabbit
0,1
12
Burung Puyuh/
0,2
Quail
13
Merpati/ Pigeon
0,3
14
Itik
Manila/
Manila Duck
Sumber: Departemen Pertanian, 2013
Keterangan:
*Data Sementara
I
1

2010
2.366,2
436,5

Tahun
2011
2.554,2
485,3

2012
2.666,1
508,9

35,9
68,8
44,9
212,0
2,0
267,6

35,3
66,3
46,8
224,8
2,2
264,8

37,0
65,2
44,4
232,1
2,9
267,5

40,3
67,0
45,7
245,6
3,0
287,4

57,7

62,1

66,1

70,7

1.214,3

1.337,9

1.400,5

1.479,8

26,0
0,1
-

28,2
0,2
0,1

30,1
0,4
6,9

31,0
0,4
7,2

0,4
-

0,1
-

0,6
3,6

0,6
3,6

2013*)
2.827,8
545,6

Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa ayam ras pedaging/broiler memiliki
jumlah produksi nasional tertinggi jika dibandingkan dengan komoditas
peternakan penghasil daging lainnya, bahkan dari tahun 2009 hingga 2013 jumlah
produksinya cenderung meningkat. Komoditas ayam broiler sendiri pada tahun
2013 menyumbang 52,3% dari total produksi daging secara nasional.
Populasi ayam broiler mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan
ternak unggas lainnya. Jumlah populasi unggas terutama ayam broiler di
Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berikut ini data
perkembangan jumlah populasi ternak unggas di Indonesia dari tahun 2009
sampai 2013.
Tabel 2. Populasi Ternak Unggas di Indonesia Tahun 2009-2013* (000 ekor)
Unggas

2009
249.963

2010
257.544

Ayam Buras
Ayam Ras
111.418
105.210
Petelur/Layer
Ayam Ras
1.026.379
986.872
Pedaging/Broiler
Itik/Duck
40.676
44.302
Catatan: *Angka Sementara
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan, 2013

Tahun
2011
264.340

2012
274.564

2013*
290.455

124.636

138.718

147.279

1.177.991

1.244.402

1.355.288

43.488

49.295

50.931

Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa ayam broiler memiliki populasi tertinggi
jika dibandingkan dengan komoditi-komoditi peternakan unggas lainnya dimana

3

populasinya cenderung mengalami peningkatan, namun pada tahun 2010 terjadi
penurunan jumlah populasi ayam broiler jika dibandingkan dari tahun 2009, tetapi
melewati tahun 2010 populasi ayam broiler kembali mengalami peningkatan.
Dalam industri perunggasan saat ini ayam broiler masih menjadi komoditi
peternakan primadona dengan jumlah populasi tertinggi dibandingkan dengan
komoditas unggas lainnya.
Konsumsi rata-rata per kapita per tahun beberapa bahan makanan di
Indonesia dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Konsumsi Rata-rata per Kapita per Tahun Beberapa Bahan Makanan di
Indonesia Tahun 2008-2012
Satuan
Unit
2008
1
Daging Sapi
kg
0,365
2
Daging ayam broiler
kg
3,233
3
Daging ayam kampung
kg
0,574
4
Telur ayam broiler
kg
5,788
5
Telur ayam kampung
butir
4,171
6
Telur itik
butir
3,129
Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2008-2012
No

Bahan Makanan

2009
0,313
3,076
0,521
5,840
3,650
2,868

Tahun
2010
0,365
3,546
0,626
6,726
3,702
2,503

2011
0,417
3,650
0,626
6,622
3,754
2,816

2012
0,365
3,494
0,521
6,518
2,764
2,190

Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa tingkat konsumsi daging ayam broiler
dari tahun ke tahun cenderung stabil dan merupakan tingkat konsumsi tertinggi
kedua setelah konsumsi telur ayam broiler. Pertambahan jumlah penduduk dari
tahun ke tahun akan menyebabkan permintaan ayam broiler ikut mengalami
peningkatan. Ketersediaan ayam broiler di pasar konsumsi akan dipengaruhi oleh
permintaan dan penawaran ayam broiler tersebut.

4

Tabel 4. Populasi Ayam Broiler Menurut Propinsi
No.

Propinsi

1.836.413

2.028.221

3.085.271

2.959.212

3.185.354

Pertumbuha
n/ Growth
(20122013) (%)
7,64

43.063.188

45.154.980

40.167.721

42.813.178

44.790.497

4,63

13.495.318

14.946.984

15.117.321

17.439.623

18.137.208

4,00

29.710.959
10.655.107
11.751.130

41.501.411
11.226.605
20.397.910

38.043.692
11.237.263
20.160.062

38.165.987
11.442.871
20.943.860

39.883.405
12.368.640
23.038.246

4,50
8,09
10,00

5.874.583
24.087.464
5.309.164

6.449.002
24.203.461
7.145.828

6.189.874
25.788.858
7.418.210

6.195.941
26.782.929
12.495.825

6.796.947
27.963.200
13.745.408

9,70
4,41
10,00

6.437.755

6.600.275

6.675.518

7.573.940

7.357.459

-2,86

137.100

132.200

136.200

148.700

147.248

-0,98

455.258.895
58.350.965

497.814.154
64.332.799

583.263.441
66.239.700

610.436.303
76.906.291

680.452.807
80.082.520

11,47
4,13

5.276.897

5.435.521

5.770.832

5.814.935

6.113.547

5,14

147.006.266
80.023.212
5.263.645
1.787.163

56.993.631
41.146.851
5.404.657
3.044.243

149.552.720
52.272.333
6.206.641
3.279.246

155.945.927
54.151.644
5.872.311
3.538.158

159.844.575
59.932.454
5.642.550
3.599.019

2,50
10,68
-3,91
1,72

105.635

105.913

578.810

584.601

589.453

0,83

16.041.090

17.634.089

21.262.386

21.967.877

26.543.707

20,83

4.240.068

4.669.198

4.921.209

5.225.358

4.470.485

-14,45

28.659.441

39.947.496

43.647.767

40.603.189

49.527.380

21,98

39.485.000

38.993.063

36.510.354

39.474.540

40.264.031

2,00

2.654.090

1.218.390

1.556.974

2.195.225

2.304.986

5,00

5.784.910

5.172.902

5.136.202

6.915.137

7.952.408

15,00

16.373.046

17.928.549

18.497.399

21.791.654

24.039.220

10,31

996.406

1.185.021

1.045.428

1.104.308

1.286.170

16,47

1.347.640
1.258.854

1.226.142
423.743

240.600
867.008

535.200
876.889

550.200
885.695

2,80
1,00

127.787
925.933

136.208
952.878

145.684
79.458

130.490
251.186

139.089
427.766

6,59
70,30

529.296
2.524.160
1.026.378.580

557.884
2.761.502
986.871.712

648.876
2.247.811
1.177.990.869

612.509
2.506.219
1.244.402.016

645.862
2.580.884
1.355.288.419

5,45
2,98
8,91

2009

1

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

19

20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33

Nanggroe
Aceh
Darussalam
Sumatera
Utara
Sumatera
Barat
Riau
Jambi
Sumatera
Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka
Belitung
Kepulauan
Riau
D.K.I.
Jakarta
Jawa Barat
Jawa
Tengah
D.I.
Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa
Tenggara
Barat
Nusa
Tenggara
Timur
Kalimantan
Barat
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Timur
Sulawesi
Utara
Sulawesi
Tengah
Sulawesi
Selatan
Sulawesi
Tenggara
Gorontalo
Sulawesi
Barat
Maluku
Maluku
Utara
Papua Barat
Papua
Indonesia

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan
Keterangan:
*) Data sementara
-) Data tidak tersedia

2010

Tahun
2011

2012

2013*)

5

Propinsi Jawa Barat merupakan sentra ayam broiler di lihat dari jumlah
populasi ayam broiler tertinggi yang mencapai 680.452.807 pada tahun 2013
dengan persentase pertumbuhan (tahun 2012-2013) mencapai 11,47%. Jawa Barat
merupakan propinsi dengan jumlah populasi tertinggi sehingga menjadi tujuan
pasar utama produk peternakan termasuk ayam broiler. Usaha-usaha budidaya
ayam broiler yang berkembang memiliki skala usaha yang berbeda-beda dan pada
akhirnya akan bermuara pada perbedaan kemampuan penawaran ayam broiler
kepada konsumen. Dengan skala usaha yang berbeda maka pengusaha-pengusaha
ayam broiler akan memiliki saluran tataniaga yang berbeda pula, sesuai dengan
jumlah pasokan yang dimilikinya.
Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu propinsi yang mempunyai
populasi ayam broiler terbesar di Indonesia. Populasi ayam ini tersebar hampir di
semua kecamatan di Jawa Barat, termasuk salah satunya adalah Kecamatan
Parung, dimana kecamatan ini memiliki letak yang strategis, dekat dengan Depok,
Tangerang, Bogor dan Jakarta sebagai target pasar yang dominan. Kecamatan
Parung sebagai salah satu sentra produksi ayam broiler di Jawa Barat dimana pada
tahun 2012 Kecamatan Parung menghasilkan produksi daging broiler sebanyak
2.826.200 kg (Buku Data Peternakan Tahun 2012). Potensi peternakan ayam
broiler di Kecamatan Parung Bogor sebagai sentra produksi ayam broiler
memerlukan informasi pasar dan identifikasi pasar untuk mengetahui kemana,
bagaimana, kapan dan kepada siapa produk dipasarkan. Adanya perbedaan harga
jual dan marjin tataniaga yang tidak merata antara lembaga tataniaga dapat
menimbulkan rantai tataniaga yang tidak efisien. Oleh karena itu, dibutuhkan
penelitian untuk mengamati efisiensi tataniaga ayam broiler di Kecamatan Parung.
Efisiensi tataniaga tersebut berdampat pada tingkat harga broiler yang adil secara
ekonomis yang dapat membantu dalam peningkatan keuntungan para
pembudidaya ayam broiler dan lembaga tataniaga yang terlibat.
Tataniaga merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari seluruh
kegiatan usaha, begitu pula halnya dengan usaha peternakan ayam broiler.
Tataniaga ayam broiler termasuk ke dalam subsistem agribisnis hilir, kegiatan ini
dapat membantu peternak dalam menyalurkan hasil ternaknya agar sampai kepada
konsumen. Tataniaga ayam broiler melibatkan berbagai lembaga tataniaga.
Aktivitas tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga akan
memberikan nilai tambah bagi komoditas yang diperjual-belikan. Nilai tambah
yang dihasilkan perlu didistribusikan secara adil sesuai dengan faktor-faktor
produksi yang digunakan sehingga nilai tambah dapat dirasakan oleh setiap
lembaga tataniaga yang terlibat.
Perumusan Masalah
Hingga kini industri peternakan di dalam negeri masih didominasi oleh
investor asing seperti Charoen Pokphand, Japfa Comfeed, Sierad Produce dan CJ
Feed. Produsen besar tersebut umumnya terintegrasi dengan industri pakan ternak
dan pengolahan produk ternak. Peternakan rakyat yang jumlahnya lebih banyak
dari pabrikan besar tersebut kini mulai tersingkir. Padahal sebelumnya peternakan
rakyat inilah yang menguasai pasar. Hal ini karena peternakan rakyat belum
menggunakan teknologi modern yang membutuhkan investasi besar.

6

Sejumlah produsen besar mengembangkan pola kemitraan dengan
menjalin kerjasama dengan peternakan rakyat. Perusahaan besar tersebut
menyiapkan dana awal untuk membuka usaha peternakan rakyat. Produsen besar
memberikan fasilitas pemeliharaan dan sapronak (sarana produksi peternakan
seperti bibit DOC (day old chick) atau biasa disebut anak ayam umur sehari,
pakan, obat-obatan dan vitamin, sementara tugas peternak hanyalah
mengusahakan agar anak ayam (DOC) tetap sehat dan panen tepat waktu.
Umumnya kemitraan di Indonesia memiliki konsep contract farming
antara produsen besar dengan para peternak rakyat. Konsep kemitraan secara
umum yaitu dimana seorang peternak memelihara ayam untuk sebuah perusahaan
yang terintegrasi secara vertikal. Ada 2 pihak yang terlibat dalam kemitraan, yaitu
peternak dan perusahaan besar. Biasanya peternak menyediakan lahan, kandang,
peralatan dan tenaga kerja, sedangkan perusahaan menyediakan bibit berupa DOC
(day old chick), pakan, obat-obatan dan pengarahan manajemen.
Peternak baru memperoleh hasil setelah ayam yang dipelihara laku dijual.
Untuk pola kemitraan ternak ayam ini bagi hasil meliputi 2 bentuk, pertama,
setelah panen peternak akan memperoleh upah sekitar Rp 500 per ekor ayam,
kedua, peternak menerima upah dari selisih perhitungan antara jumlah modal yang
diberikan dan hasil penjualan ayam. Dalam pola kemitraan ini perusahaan akan
menjamin harga minimum ayam siap jual, artinya bila harga ayam di pasar sedang
jatuh, peternak tidak akan dirugikan karena produksi ayam akan dibeli perusahaan
inti dengan harga dasar yang telah disepakati.
Komoditas peternakan sendiri dalam proses produksinya mengandung
ketidakpastian (uncertanties) terkait dengan sifat musiman (seasional) dimana hal
ini menyebabkan terjadinya fluktuasi harga broiler. Komoditas peternakan
memiliki sifat mudah rusak (perishable) dan suplai yang tidak elastis (inelastic).
Sifat musiman berarti pada saat panen suplai melimpah, demand (permintaan)
tetap, maka harga cenderung turun, sebaliknya pada saat paceklik suplai menipis,
demand tetap (apalagi jika mengalami peningkatan) maka harga cenderung naik.
Suplai yang tidak elastis berarti tidak dapat memanfaatkan peluang adanya
kenaikan harga secara cepat. Jika tidak ada upaya pengelolaan logistik yang
efektif, perbaikan infrastruktur pemasaran, perbaikan saluran pemasaran,
perbaikan informasi pasar dan pengembangan agroindustri yang menciptakan nilai
tambah berbasis “perubahan bentuk” (form utility) maka fluktuasi harga yang
terjadi akan terus berulang. Fluktuasi harga ayam yang melonjak tinggi dapat
dikaji dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Rantai pasokan (supply chain)
komoditas dan produk ayam broiler ini disamping konsumen juga melibatkan
produsen bibit ayam/DOC (Day Old Chick/anak ayam umur sehari), pengusaha
peternakan, RPA (Rumah Potong Ayam), industri pakan, obat-obatan, dan
pengolahan. Persoalan lain yang memicu adanya fluktuasi harga yang sangat
tinggi adalah adanya informasi yang asimetrik (asymetric information). Informasi
yang simetrik atau yang sempurna bagi para pelaku industri ayam broiler akan
membantu pembentukan harga yang lebih baik, kalau terjadi asimetrik maka ada
kecenderungan pihak pedagang yang berlaku sebagai lembaga tataniaga
(intermediaries) menetapkan harga yang relatif rendah di tingkat peternak dan
relatif tinggi di pihak konsumen. Dalam keadaan semacam ini, para pedagang
tidak adil dalam menetapkan keuntungan mereka yang demikian besar. Informasi
yang tidak lengkap berakibat tidak adanya keseimbangan antara pasokan dan

7

kebutuhan. Informasi yang asimetrik juga membuat saluran pemasaran yang ada
tidak efisien.
Kecamatan Parung merupakan salah satu sentra produksi ayam broiler di
Kabupaten Bogor. Kegiatan budidaya ayam broiler di Kecamatan Parung telah
berlangsung cukup lama. Salah satu aspek permasalahan yang dialami oleh
peternak ayam broiler di Kecamatan Parung adalah kegiatan tataniaga. Kegiatan
tataniaga yang dilakukan dirasakan tidak efisien dan menjadikan pihak peternak
yang berperan sebagai pembudidaya berada di pihak yang lemah dalam
menentukan harga jual dimana peternak dalam rantai tataniaga berperan sebagai
price taker (penerima harga) karena tidak memiliki bargaining position yang kuat
dalam pasar jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga tataniaga yang lain.
Posisi tawar yang lebih kuat diantara lembaga tataniaga akan
mempengaruhi marjin di tingkat lembaga tataniaga dan peternak, yang pada
akhirnya akan berpengaruh pada tingkat keuntungan yang diterima oleh lembaga
tataniaga maupun peternak. Marjin tataniaga yang diperolah dari perbedaan harga
jual peternak dan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir dapat
menggambarkan seberapa efisien saluran tataniaga yang di tempuh oleh peternak.
Semakin besar selisih harga jual pembudidaya dengan harga yang dibayarkan oleh
konsumen akhir menjadi indikasi akan semakin tidak efisien saluran tataniaga dan
semakin sedikit farmer’s share yang diterima oleh peternak. Besarnya marjin
tataniaga, farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya akan menentukan
efisiensi tataniaga di Kecamatan Parung. Sistem tataniaga yang efisien akan
menciptakan kondisi usaha yang menguntungkan bagi peternak dan lembagalembaga tataniaga yang terlibat, sehingga meningkatkan harga jual dan
keuntungan peternak diperlukan saluran tataniaga yang efisien dalam
menyalurkan ayam broiler ke konsumen.
Mengacu pada perumusan masalah diatas maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan antara lain:
1. Bagaimana sistem saluran tataniaga ayam broiler, fungsi tataniaga, serta
lembaga tataniaga yang terlibat di Kecamatan Parung?
2. Bagaimana struktur dan perilaku pasar yang dihadapi oleh pelaku tataniaga
ayam broiler di Kecamatan Parung?
3. Bagaimana efisiensi tataniaga ayam broiler berdasarkan marjin tataniaga,
farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya yang terjadi di Kecamatan
Parung?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:
1. Menganalisis sistem dan saluran tataniaga ayam broiler, fungsi tataniaga dan
lembaga tataniaga.
2. Menganalisis struktur dan perilaku pasar yang dihadapi oleh pelaku tataniaga
ayam broiler di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat.
3. Menganalisis efisiensi tataniaga ayam broiler dengan menggunakan analisis
marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya.

8

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi peternak di daerah
Parung serta lembaga tataniaga, masyarakat, penulis, dan pembaca. Kegunaan
yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan dan
masukan dalam membuat keputusan pemasaran ayam broiler bagi peternak
dan lembaga tataniaga di daerah Parung.
2. Penelitian ini bagi masyarakat diharapkan dapat memberikan informasi dalam
upaya pemasaran ayam broiler yang efisien di Indonesia.
3. Penelitian ini bagi penulis diharapkan dapat menjadi sarana untuk
mengaplikasikan ilmu yang sudah didapatkan selama menuntut ilmu di IPB.
4. Penelitian ini bagi pembaca diharapkan dapat bermanfaat sebagai tambahan
informasi, literatur, dan bahan bagi penelitian selanjutnya.

TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Agribisnis Ayam Broiler
Ayam broiler (Gallus gallus domesticus) merupakan ayam yang cukup
populer di Indonesia, dipelihara khusus untuk memproduksi daging. Ayam broiler
memiliki ciri khas bulu berwarna putih dengan kulit kekuningan.
Pemeliharaannya tidak membutuhkan persyaratan yang cukup berat dan waktu
pemeliharaan yang cepat. Pada umumnya ayam broiler siap dipanen pada usia 3545 hari dengan bobot badan antara 1,2 sampai 1,9 kg/ekor. Ayam jenis ini adalah
ayam yang paling banyak diternakkan oleh masyarakat dan dipotong baik pada
tempat pemotongan tradisional maupun pada rumah pemotongan ayam modern.
Ayam broiler banyak dipelihara di daerah sekitar Jabotabek, Sukabumi, Cianjur,
daerah Priangan Timur, dan daerah lain di Indonesia (Priyatno, 2003).
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Adapun beberapa judul penelitian terdahulu yang berkaitan dengan
analisis tataniaga antara lain penelitian yang dilakukan oleh Isdiyanto (2002)
mengenai Analisis Saluran Pemasaran Ayam Kampung (Gallus domesticus) di
Jakarta Selatan. Isdiyanto (2002) dalam penelitiannya memperoleh 7 saluran
pemasaran, diantaranya: (1) peternak  pengumpul desa  pedagang antar
wilayah (PAW)  distributor utama  pedagang besar  konsumen, (2)
peternak  pengumpul desa  PAW  distributor utama  konsumen, (3)
peternak  pengumpul desa  PAW  distributor menengah  pedagang besar
 konsumen, (4) peternak  pengumpul desa  PAW  distributor menengah
 konsumen, (5) peternak  pengumpul desa  PAW  pedagang besar 
konsumen, (6) peternak  pengumpul desa  PAW  pedagang besar 
konsumen, dan (7) peternak  pengumpul desa  PAW  pedagang eceran 
konsumen. Saluran 7 adalah saluran yang dinilai paling efisien diantara saluransaluran yang lain. Hal ini dilihat dari jarak yang dekat dan sedikitnya lembaga

9

yang terlibat dalam saluran ini sehingga biaya pemasaran menjadi rendah dan
marjin pemasaran juga rendah, sementara rasio keuntungan terhadap biaya
mempunyai nilai yang relatif tinggi. Farmer’s share saluran ini juga tinggi
dikarenakan sedikitnya lembaga pemasaran yang terlibat.
Setiap lembaga pemasaran yang terlibat pada saluran melakukan fungsifungsi pemasaran yang berbeda-beda, antara lain fungsi pertukaran, fungsi fisik,
dan fungsi fasilitas, namun tidak semua lembaga pemasaran melakukan semua
fungsi yang ada. Peternak umumnya hanya melakukan fungsi pertukaran yaitu
penjualan, sedangkan pengumpul desa melakukan fungsi pertukaran berupa
penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa pengangkutan dan fungsi fasilitas
berupa pembayaran dan standarisasi. Lembaga pemasaran lainnya yaitu distributor
utama dan distributor menengah melakukan semua fungsi pemasaran kecuali
untuk pedagang besar dan pedagang pengecer. Tidak semua pedagang besar dan
pedagang pengecer melakukan fungsi fisik berupa pengangkutan, serta fungsi
fasilitas berupa pemberian informasi dan standarisasi. Struktur pasar yang
dihadapi oleh peternak, pengumpul desa dan pedagang antar wilayah (PAW)
cenderung bersifat oligopsoni murni, sementara PAW, distributor/pedagang besar
dan kecil serta konsumen menghadapi struktur pasar yang cenderung oligopoli
murni.
Safitri (2009) dalam penelitiannya mengenai Analisis Tataniaga Telur
Ayam Kampung di Kabupaten Bogor Jawa Barat menyatakan bahwa skala usaha
yang berbeda dan lokasi peternakan yang tersebar di berbagai tempat
mengakibatkan pemasaran telur ayam kampung di Kabupaten Bogor menghadapi
permasalahan harga dan biaya pemasaran. Pada pemasaran telur ayam kampung
harga yang diterima peternak (produsen) masih jauh lebih rendah dari harga yang
dibayarkan oleh konsumen akhir. Pada umumnya peternak bertindak sebagai
penerima harga (price taker). Proses pemasaran telur ayam kampung ini terjadi
melalui beberapa lembaga pemasaran, dimulai dari peternak sampai kepada
pedagang pengecer yang pada akhirnya berhubungan dengan konsumen. Panjang
atau pendeknya pola saluran pemasaran akan berpengaruh terhadap permintaan
(keuntungan) peternak pada setiap lembaga pemasaran yang terlibat, sehingga
perlu dikaji sistem pemasaran telur ayam kampung dengan mengidentifikasi
faktor-faktor pembentukan mekanisme pasar antara lain lembaga pemasaran, pola
saluran pemasaran, fungsi-fungsi pemasaran, struktur pasar, perilaku pasar serta
keragaan pasar sehingga terjadi permasalahan tersebut.
Penelitian Safitri (2009) menunjukkan terdapat 3 saluran pemasaran telur
ayam kampung di Kabupaten Bogor, antara lain: (1) peternak  pedagang
pengumpul desa (tengkulak)  pedagang grosir  pedagang pengecer 
konsumen, (2) peternak  pedagang grosir  pedagang pengecer  konsumen,
dan (3) peternak  pedagang pengecer  konsumen. Adapun lembaga-lembaga
yang terlibat yaitu peternak sebagai produsen, pedagang pengumpul (tengkulak),
pedagang grosir dan pedagang pengecer. Struktur pasar yang dihadapi peternak
mengarah kepada pasar oligopoli dikarenakan peternak yang hanya berjumlah 5
orang dan pedagang berjumlah 25 orang tidak dapat mempengaruhi harga
(peternak sebagai pricetaker). Begitupun pedagang pengumpul dan pedagang
grosir juga menghadapi pasar oligopoli, sedangkan pedagang pengecer
menghadapi struktur pasar persaingan sempurna, karena jumlah pedagang
pengecer cukup banyak dan produk yang dipasarkan homogen. Safitri (2009)

10

menyatakan bahwa saluran pemasaran 2 adalah saluran pemasaran yang paling
efisien karena memiliki nilai marjin pemasaran terendah, farmer’s share tertinggi,
dan juga kegiatan pemasaran pada saluran 2 menguntungkan bagi setiap lembaga
yang terlibat (peternak, pedagang grosir, dan pedagang pengecer) dengan farmer’s
share sebesar 63,89% serta rasio keuntungan dan biaya sebesar 7,27. Biaya
terkecil terdapat pada saluran 2 yaitu sebesar Rp 214 per butir, karena pada
saluran ini jarak distribusi cukup dekat dengan lokasi penelitian serta rantai
pemasarannya yang cukup pendek. Keuntungan pemasaran pada saluran 2 sebesar
Rp 436 dan merupakan salah satu dari yang terbesar. Dari sisi volume penjualan
saluran 2 sudah efisien karena bisa menjual sebanyak 2.500 butir telur per hari
kepada pedagang pengecer atau sekitar 20,8% dari total penjualan.
Ibniyah (2002) dalam penelitiannya yaitu Kajian Terhadap Efesiensi
Saluran Tataniaga Ayam Broiler pada PT. Nurasto Agheng (PT. NA) meyatakan
bahwa masalah utama yang sering dihadapi dalam tataniaga ayam broiler adalah
harga yang diterima peternak sebagai produsen berbeda sangat besar dengan harga
yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Oleh karena itu perlu diketahui saluran dan
fungsi-fungsi tataniaga yang terbentuk untuk mengetahui saluran mana yang
paling efisien. Penelitian Ibniyah (2002) menunjukkan terdapat 3 saluran tataniaga
dengan komoditi ayam broiler pada PT. NA, antara lain: (1) peternak plasma 
PT. NA/inti  pedagang pengumpul  pedagang pengecer  konsumen akhir,
(2) peternak plasma  pedagang pengumpul  pedagang pengecer  konsumen
akhir, dan (3) peternak plasma  pedagang pengecer  konsumen akhir. Adapun
struktur pasar yang terbentuk pada PT. NA yaitu oligopsoni dikarenakan inti dan
pedagang pengumpul mempunyai kekuatan untuk mengontrol fungsi dan kegiatan
tataniaga ayam broiler di PT. NA. Sementara saluran tataniaga yang paling efisien
adalah saluran tataniaga 3 karena nilai elastisitas transmisi harga peternak ke
pengumpul. Selain itu keuntungan yang diperoleh pada saluran 3 lebih besar jika
dibandingkan saluran tataniaga lainnya. Farmer’s share yang diperoleh pada
saluran 3 juga cukup besar dibandingkan saluran-saluran lainnya yaitu 81,9%.
Sulvadewi (2000) dalam penelitiannya dengan judul Analisis Ayam
Broiler pada Kelompok Peternak Plasma “Jaya Broiler” Kabupaten Kuningan
Propinsi Jawa Barat menyatakan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 472
Tahun 1996 menjelaskan usaha budidaya ayam broiler boleh dilakukan oleh
perusahaan peternakan dengan syarat mereka wajib melakukan pola kemitraan.
Perusahaan peternakan yang bermitra dengan peternak kecil ayam broiler harus
menjamin mutu daging yang dihasilkan, harga dan pemasaran. Kemitraan menurut
Suharno (1999) dalam Sulvadewi adalah suatu kerjasama bisnis antara peternak
sebagai plasma dan pengusaha (perusahaan peternakan/perusahaan di bidang
peternakan) sebagai inti untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut
harus dilakukan secara adil sehingga antara masing-masing pihak yang terlibat
mempunyai posisi dan kepentingan yang sama.
Hasil penelitian Sulvadewi (2000) menunjukkan bahwa bentuk hubungan
inti-plasma adalah sistem kredit yang pengembaliannya diperhitungkan setelah
panen dengan kebijakan subsidi silang. Perusahaan inti berperan sebagai
pengelola yang memberikan bimbingan, menyediakan sarana produksi peternakan
dan memasarkan hasil produksi. Dari penelitian Sulvadewi terdapat 3 saluran
tataniaga ayam broiler di Poultry Shop “Jaya Broiler” yaitu: (1) peternak  inti
 pedagang pengumpul Kuningan  pemotong  pengecer, (2) peternak  inti

11

 RPA Kuningan  pedagang pengecer, (3) peternak  inti  pedagang
pengumpul luar Kuningan. Pedagang pengumpul dan RPA (mengambil ayam
langsung ke peternak) diberi D.O (delivery order) oleh inti untuk mengambil
ayam ke peternak sebanyak yang tertera pada D.O dan pembayaran dilakukan
pada inti sesuai dengan kesepakatan. Ayam yang berasal dari peternak (100%)
melalui inti untuk di jual ke pedagang pengumpul Kuningan (20%), RPA (5%)
dan pedagang pengumpul luar Kuningan (75%).
Secara umum fungsi-fungsi pemasaran belum dilaksanakan secara baik
oleh masing-masing lembaga pemasaran, terutama fungsi fisik dan fungsi fasilitas.
Penyimpanan yang dilakukan pedagang pengecer masih sederhana, tidak ada
standarisasi yang dilakukan masing-masing lembaga pemasaran dalam pembelian
dan penjualan, pengolahan ayam di lokasi pemotongan kurang memperhatikan
nilai-nilai higienis. Fungsi fasilitas yang belum berjalan adalah informasi pasar,
umumnya lembaga pemasaran memanfaatkan jalur informasi yang tidak formal
karena peranan PINSAR (Pusat Informasi Pasar) belum dirasakan oleh masingmasing lembaga pemasaran.

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Konseptual
Konsep Tataniaga
Mubyarto (1994) mengemukakan bahwa fungsi dan peranan tataniaga
adalah mengusahakan agar pembeli memperoleh barang yang diinginkan pada
tempat, waktu, bentuk, dan harga yang tepat. Dahl dan Hammond (1977)
mengemukakan tataniaga merupakan rangkaian tahapan fungsi yang diperlukan
untuk mengubah dan membentuk input atau produk mulai dari titik produksi
primer sampai konsumen akhir. Rangkaian fungsi tersebut terdiri atas proses
produksi, pengumpulan, pengolahan, dan penyaluran oleh pedagang grosir,
pedagang pengecer, sampai kepada konsumen. Tataniaga dapat diartikan sebagai
suatu tempat atau wahana dimana ada kekuatan supply dan demand yang bekerja,
ada proses pembentukan harga dan terjadi proses pengalihan kepemilikan barang
maupun jasa.
Limbong dan Sitorus (1987) mengemukakan tataniaga adalah serangkaian
proses kegiatan atau aktivitas yang berhubungan dengan perpindahan hak milik
dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari
tangan produsen ke konsumen.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas maka tataniaga dapat diartikan
sebagai kegiatan yang dilakukan untuk mengantarkan barang dari produsen ke
konsumen melalui serangkaian fungsi yang terdiri dari proses produksi,
pengumpulan, pengolahan, dan penyaluran. Tataniaga terjadi karena adanya
kekuatan supply dan demand yang bekerja sehingga terjadi pembentukan harga
dan terjadi proses pengalihan kepemilikan barang.

12

Konsep Lembaga Tataniaga
Lembaga tataniaga adalah badan yang menyelenggarakan kegiatan atau
fungsi tataniaga, dimana terdiri dari golongan produsen, pedagang perantara, dan
lembaga pemberi jasa. Lembaga-lembaga perantara dibutuhkan karena jarak
antara produsen yang menghasilkan barang dan jasa seringkali berjauhan dengan
konsumen, sehingga fungsi lembaga perantara sangat dibutuhkan dalam
menggerakkan barang dan jasa dari produsen ke konsumen serta penghubung
informasi mengenai suatu barang dan jasa (Limbong dan Sitorus, 1987)
Penggolongan lembaga tataniaga menurut Limbong dan Sitorus (1987)
didasarkan pada fungsi, penguasaan terhadap suatu barang, kedudukan dalam
suatu pasar serta berdasarkan bentuk usahanya, yaitu:
1. Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan fungsi yang dilakukan
a. Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan pertukaran, seperti pengecer,
grosir, dan lembaga perantara lainnya.
b. Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan fisik, seperti badan
pengangkutan/transportasi, pengolahan dan penyimpanan.
c. Lembaga tataniaga yang menyediakan fasilitas-fasilitas tataniaga, seperti
informasi pasar dan kredit desa. Lembaga ini dapat berupa KUD (Koperasi
Unit Desa), Bank Unit Desa, dan sebagainya.
2. Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan penguasaan terhadap suatu
barang
a. Lembaga tataniaga yang menguasai dan memiliki barang yang dipasarkan,
seperti pedagang pengecer, grosir, pedagang pengumpul dan tengkulak.
b. Lembaga tataniaga yang menguasai tetapi tidak memiliki barang yang
dipasarkan, seperti agen, makelar atau broker dan lembaga pelelangan.
c. Lembaga tataniaga yang tidak menguasai dan tidak memiliki barang yang
dipasarkan, seperti lembaga pengangkutan, pengolahan dan perkreditan.
3. Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan kedudukannya dalam suatu
pasar
a. Lembaga tataniaga bersaing sempurna, seperti pengecer beras dan
pengecer rokok.
b. Lembaga tataniaga monopolistis, seperti pedagang bibit dan pedagang
benih.
c. Lembaga tataniaga oligopolis, seperti importir cengkeh dan perusahaan
semen.
d. Lembaga tataniaga monopolis, seperti perusahaan kereta api serta
perusahaan pos dan giro.
4. Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan bentuk usahanya
a. Berbadan hukum, seperti perseroan terbatas, firma dan koperasi.
b. Tidak berbadan hukum, seperti perusahaan perorangan, pedagang
pengecer dan tengkulak.
Berdasarkan uraian di atas maka lembaga tataniaga merupakan suatu
badan yang memiliki peran dalam menyelenggarakan kegiatan atau fungsi
tataniaga. Peran lembaga tataniaga diperlukan karena seringkali produsen tidak
dapat menjual langsung barang yang mereka produksi kepada konsumen sehingga
lembaga tataniaga berperan sebagai penyalur barang dari produsen ke konsumen
termasuk sebagai penghubung informasi.

13

Saluran Tataniaga
Menurut Limbong dan Sitorus (1987) saluran tataniaga dapat didefinisikan
sebagai himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil alih hak atau
membantu dalam pengalihan hak atas barang atau jasa tertentu selama barang atau
jasa tersebut berpindah dari produsen ke konsumen. Saluran tataniaga adalah
suatu usaha yang dilakukan untuk menyampaikan barang dan jasa dari produsen
sampai ke konsumen yang didalamnya terlibat beberapa lembaga tataniaga yang
menjalankan fungsi-fungsi tataniaga.
Menurut Limbong dan Sitorus (1987) terdapat beberapa faktor yang harus
dipertimbangkan dalam memilih saluran tataniaga, yaitu:
1. Pertimbangan pasar: siapa konsumen, rumah tangga atau industri, besarnya
potensi pembelian, bagaimana konsentrasi pasar secara geografis, berapa
jumlah pesanan dan bagaimana kebiasaan konsumen dalam membeli.
2. Pertimbangan barang: berapa besar nilai per unit barang tersebut, besar dan
berat barang (mudah rusak atau tidak), sifat teknis (berupa barang standar
atau pesanan) dan bagaimana luas produk perusahaan bersangkutan.
3. Pertimbangan dari segi perusahaan: sumber modal, kemampuan dalam
pengalaman manajerial, pengawasan penyaluran dan pelayanan yang
diberikan penjual.
4. Pertimbangan terhadap lembaga perantara: meliputi pelayanan yang dapat
diberikan oleh lembaga perantara, sikap perantara terhadap kebijakan
produsen, volume penjualan dan pertimbangan biaya.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas maka saluran tataniaga merupakan
rangkaian beberapa organisasi yang saling terlibat satu sama lain dalam proses
pemindahan barang dan jasa dari produsen ke konsumen, dimana tugas atau
aktivitas yang dilakukan dalam proses tersebut dinamakan fungsi-fungsi tataniaga
Fungsi-fungsi Tataniaga
Fungsi-fungsi tataniaga merupakan berbagai kegiatan atau aktivitas bisnis
yang terjadi dalam penyaluran barang dan jasa dari produsen ke konsumen.
Apabila fungsi-fungsi tataniaga berperan sebagaimana mestinya, tataniaga dapat
meningkatkan nilai ekonomi dan nilai tambah hasil. Dalam proses penyampaian
produk dari produsen ke konsumen akhir diperlukan berbagai kegiatan atau
tindakan-tindakan yang dapat memperlancar proses penyampaian barang atau jasa
bersangkutan, dan kegiatan tersebut dinamanakan fungsi-fungsi tataniaga
(Limbong dan Sitorus, 1987).
Menurut Limbong dan Sitorus, fungsi-fungsi tataniaga dapat
dikelompokkan menjadi tiga fungsi, yaitu:
1. Fungsi pertukaran: adalah kegiatan yang memperlancar perpindahan hak
milik dari barang dan jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran terdiri dari
dua fungsi, yaitu fungsi penjualan dan fungsi pembelian. Fungsi penjualan
merupakan kegiatan yang bertujuan mencari dan mengusahakan agar ada
pembeli atau ada permintaan pasar yang cukup baik pada tingkat harga
yang menguntungkan. Fungsi pembelian adalah pembelian persediaan
produksi untuk diolah dan dijual kembali.
2. Fungsi fisik: adalah semua kegiatan atau tindakan yang menimbulkan
kegunaan tempat, bentuk, waktu pada barang dan jasa. Fungsi fisik
meliputi penyimpanan, pengolahan dan pengangkutan.

14

a. Fungsi penyimpanan: bertujuan untuk membuat produk tersedia pada
waktu yang diinginkan. Selama pelaksanaan dilakukan beberapa
tindakan untuk menjaga mutu, terutama hasil-hasil pertanian yang
mempunyai sifat mudah rusak.
b. Fungsi pengolahan: merupakan kegiatan yang mengubah bentuk dari
dasar produk.
c. Fungsi pengangkutan: bertujuan untuk membuat produk tersedia pada
tempat yang sesuai. Jenis alat transportasi dan rute yang dipilih
berpengaruh terhadap biaya transportasi. Adanya keterlambatan dalam
pengangkutan dan jenis alat angkut yang tidak sesuai dengan sifat
barang yang diangkut dapat menimbulkan kerusakan dan penurunan
mutu barang yang bersangkutan.
3. Fungsi fasilitas: adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan
pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas ini
terdiri dari fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggungan risiko,
fungsi pembiayaan dan fungsi informasi.
a. Fungsi standarisasi: merupakan suatu ukuran atau penentuan mutu
suatu produk dengan berbagai bentuk, ukuran, kadar air, tingkat
kematangan, rasa, warna, dan kriteria lainnya. Grading merupakan
tindakan menggabungkan suatu produk menurut standarisasi yang
diinginkan oleh pembeli.
b. Fungsi penanggungan risiko: merupakan penerimaan atas kemungkinan
terjadinya kerugian karena kehilangan produk. Risiko yang dihadapi
dapat dibedakan menjad risiko fisik dan risiko pasar. Risiko fisik terjadi
pada fisik produk karena kecelakaan dan bencana alam. Risiko pasar
terjadi karena fluktuasi harga di pasar.
c. Fungsi pembiayaan: dibutuhkan khususnya dalam kegiatan operasional
tataniaga.
d. Fungsi informasi: merupakan kegiatan dalam mengumpulkan,
mengolah, dan menginterpretasikan data yang penting dalam
memperlancar operasi dari proses tataniaga. Penetapan harga yang
efektif tergantung dari seberapa baik pembeli dan penjual memperoleh
informasi.
Menurut Asmarantaka (2009) fungsi-fungsi tataniaga merupakan aktivitasaktivitas bisnis atau perlakuan oleh lembaga-lembaga tataniaga dalam proses
tataniaga. Dahl dan Hammond (1977) mengemukakan fungsi-fungsi tataniaga
sebagai serangkaian fungsi yang dipergunakan dalam mengerakkan input dari titik
produsen ke sampai titik konsumen akhir yang