Pengaruh Minuman Sari Tempe Terhadap Respon Glukosa Darah Post-Prandial Pada Laki-Laki Dewasa

PENGARUH MINUMAN SARI TEMPE TERHADAP RESPON
GLUKOSA DARAH POST-PRANDIAL PADA LAKI-LAKI
DEWASA

DESIANI RIZKI PURWANINGTYAS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Minuman Sari
Tempe terhadap Respon Glukosa Darah Post-Prandial pada Laki-Laki Dewasa
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Desiani Rizki Purwaningtyas
NIM I151130071

RINGKASAN
DESIANI RIZKI PURWANINGTYAS. Pengaruh Minuman Sari Tempe terhadap
Respon Glukosa Darah Post-Prandial pada Laki-Laki Dewasa. Dibimbing oleh
EVY DAMAYANTHI dan HADI RIYADI
Besaran masalah Diabetes Mellitus (DM) di Indonesia cukup
mengkhawatirkan. Padahal DM dapat menurunkan kualitas hidup dan usia
harapan hidup serta meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Pengontrolan kadar
glukosa darah post-prandial penting dilakukan untuk pencegahan DM karena
hiperglikemia post-prandial merupakan kelainan awal metabolisme glukosa
sebelum menjadi DM. Tempe mengandung beberapa komponen seperti protein
dengan BCAA (Branched Chain Amino Acid) cukup tinggi, isoflavon khususnya
genistein, dan serat pangan yang berpotensi untuk mengendalikan kadar glukosa
darah. Sari tempe dapat dijadikan alternatif untuk mengonsumsi tempe dengan

lebih praktis.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian
minuman sari tempe terhadap respon glukosa darah post-prandial pada laki-laki
dewasa. Adapun tujuan khususnya adalah: 1) mengidentifikasi karakteristik
subjek yang meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan IMT; 2)
mengidentifikasi asupan dan tingkat kecukupan gizi makro (energi, protein,
lemak, dan karbohidrat), kebiasaan konsumsi isoflavon, serta aktivitas fisik
subjek; 3) menganalisis pengaruh waktu pengukuran terhadap kadar glukosa darah
post-prandial pada masing-masing perlakuan; 4) menganalisis pengaruh sari
tempe dan susu sapi terhadap kadar glukosa darah post-prandial, luas AUC (Area
Under Curve), dan skor glukosa; dan 5) menganalisis hubungan antara tingkat
kecukupan gizi makro, asupan isoflavon (genistein dan total isoflavon), dan
tingkat aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial.
Desain penelitian ini adalah cross-over controlled trial yang terdiri atas
tiga tahap intervensi yang dilakukan dengan metode tes toleransi glukosa oral
(TTGO). Ada tiga perlakuan: kontrol (300 ml air putih + 75 g glukosa murni),
susu sapi (300 ml susu sapi + 75 g glukosa murni), dan sari tempe (300 ml sari
tempe + 75 g glukosa murni). Subjek berjumlah 11 laki-laki dewasa berusia 21-29
tahun yang merupakan mahasiswa IPB dan diambil menggunakan teknik
purposive sampling. Kriteria inklusinya adalah tidak memiliki penyakit serius

(DM, kanker, penyakit kardiovaskular, penyakit hati, dan penyakit ginjal), tidak
ada riwayat keluarga penyandang DM, IMT normal (18.5-24.9 kg/m2), tidak
memiliki intoleransi laktosa dan alergi protein susu dan protein kedelai, tidak
merokok dan mengonsumsi minuman beralkohol, tidak mengonsumsi obat-obatan
atau suplemen, serta bersedia menandatangani informed consent.
Data yang dikumpulkan adalah karakteristik subjek, tingkat kecukupan
gizi makro dengan kuesioner food recall 2x24 jam, kebiasaan konsumsi isoflavon
dengan kuesioner frekuensi konsumsi pangan semi-kuantitatif, tingkat aktivitas
fisik berdasarkan recall 2x24 jam, dan kadar glukosa darah dengan pengukuran
menggunakan finger-prick capillary blood samples method. Luas AUC (area
under curve) dan skor glukosa dihitung dengan memanfaatkan data kadar glukosa
darah menggunakan metode trapezoid. Analisis statistik yang dilakukan
menggunakan SPSS 16.0 for Windows. Analisis deskriptif menggambarkan rata-

rata, SEM (Standard Error of Mean), nilai minimum, dan nilai maksimum.
Repeated ANOVA dan uji lanjut Tukey digunakan untuk menganalisis pengaruh
waktu pengukuran terhadap kadar glukosa darah post-prandial. Sementara itu,
pengaruh perlakuan terhadap kadar glukosa darah post-prandial, luas AUC, dan
skor glukosa dianalisis berdasarkan hasil dari oneway ANOVAdan uji lanjut
Tukey. Analisis korelasi Pearson digunakan untuk menganalisis hubungan antara

tingkat kecukupan gizi makro, asupan isoflavon, dan tingkat aktivitas fisik dengan
kadar glukosa darah dua jam post-prandial.
Penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata usia, tingkat pendidikan,
pendapatan, dan IMT subjek secara berturut-turut adalah 22.8 ± 0.6 tahun; 16 ±
0.3 tahun; Rp 1,059,091 ± 93,375.6; dan 22.4 ± 0.6 kg/m2. Rata-rata tingkat
kecukupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat subjek secara berturut-turut
adalah 84.2 ± 2.6; 104.6 ± 5.7; 92.7 ± 2.5; dan 75.5 ± 3.0 persen. Sebagian besar
subjek mengalami defisit energi ringan (45.5% subjek) dan defisit karbohidrat
tingkat sedang (54.5% subjek). Namun, lebih dari separuh subjek (54.5%)
memiliki tingkat kecukupan lemak dan protein normal atau cukup. Rata-rata
asupan genistein dan total isoflavon subjek per hari secara berturut-turut adalah
21.8 ± 2.7 mg dan 39.6 ± 5.1 mg. Pangan mengandung isoflavon yang paling
sering dikonsumsi subjek adalah tahu dan tempe dengan rata-rata frekuensi 6.4 ±
1.8 dan 6.0 ± 0.9 per minggu. Sebagian besar subjek (63.6%) memiliki tingkat
aktivitas fisik dalam kategori ringan dengan rata-rata nilai PAL 1.42 ± 0.02.
Semua perlakuan menghasilkan pola kurva glukosa darah yang sama
hanya berbeda ketinggian antar perlakuan. Kurva mulai meningkat sejak awal dan
mencapai puncaknya pada menit ke-30 lalu terus menurun hingga menit ke-120.
Pada semua perlakuan, rata-rata kadar glukosa darah puasa (menit ke-0) signifikan
lebih rendah daripada kadar glukosa darah post-prandial pada setiap waktu

pengukuran. Rata-rata kadar glukosa darah perlakuan kontrol pada menit ke-30
signifikan lebih tinggi dibandingkan menit ke-15. Setelah menit ke-30, rata-rata
kadar glukosa darah tidak berbeda nyata menit ke-15 dan 30. Kadar glukosa darah
post-prandial perlakuan susu sapi antar waktu pengukuran tidak berbeda nyata.
Kadar glukosa darah puncak perlakuan sari tempe signifikan lebih tinggi
dibandingkan pada menit ke-15, 60, 90, dan 120. Rata-rata kadar glukosa darah
perlakuan sari tempe signifikan lebih rendah dibandingkan kontrol pada menit ke60, 90, dan 120 dan dibandingkan susu sapi pada menit ke-90 dan 120. Luas AUC
perlakuan sari tempe signifikan lebih rendah dibandingkan kontrol pada 0-90 dan
0-120 menit. Skor glukosa perlakuan sari tempe signifikan lebih rendah
dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan susu sapi.
Rata-rata kadar glukosa darah dua jam post-prandial subjek setelah
mengkonsumsi larutan 75 g glukosa murni adalah 114.1 ± 4.9 mg/dl. Tingkat
kecukupan energi dan karbohidrat signifikan berhubungan positif dengan kadar
glukosa darah dua jam post-prandial. Tingkat aktivitas fisik signifikan berkorelasi
negatif dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial.

Kata kunci: glukosa darah post-prandial, laki-laki dewasa, sari tempe, skor
glukosa

SUMMARY

DESIANI RIZKI PURWANINGTYAS. Effect of Tempeh Milk on Post-Prandial
Plasma Glucose Responses in Young Men). Supervised by EVY DAMAYANTHI
and HADI RIYADI.
Magnitude of DM in Indonesia is worried enough. Whereas DM decrease
quality of life and life expectancy and increase healthcare budget. Managing
postprandal blood glucose is important for preventing DM because postprandal
hyperglycemic is early glucose homeostatic disorder before to be DM. Tempeh
contains any components like protein with high BCAA, isoflavon especially
genistein, and dietary fiber which are potential to control blood glucose. Tempeh
milk can be selected as alternative of tempeh consumption which more
practically.
General objective of this study was to examine effect of tempeh milk on
postprandial plasma glucose responses in young men. Spesific objectives of this
study were to: 1) identify subject characteristics which include age, education
level, income, and BMI; 2) identify intake and adequacy level of macronutrient
(energy, protein, fat, and carbohydrate), isoflavone consumption habitually, and
physical activity of subjects; 3) analyze effect of measuring time on postprandial
plasma glucose levels in each group; 4) analyze effect of tempeh mlk and cow
milk on postprandial plasma glucose levels, AUC, and glucose score; and 5)
analyze correlation between macronutrient adequacy level, isoflavone intake

(genistein and total isoflavone), and physical activity level with 2-h postprandal
plasma glucose level.
The design of this study was cross-over controlled trial which consisted of
three phase of intervention with used oral glucose tolerance test (OGTT) method.
There were three group: reference (300 mineral water + 75 g pure glucose), cow
milk (300 ml cow milk + 75 g pure glucose), and tempeh milk (300 ml tempeh
milk + 75 g pure glucose). Eleven young men aged 21-29 years old who were
Bogor Agricultural students volunteered in this study with purposive sampling.
The inclusion criteria were no serious illness (DM, cancer, cardiovascular
disorder, liver disease, renal failure, etc), no family history of DM, normal BMI
(18.5-24.9 kg/m2), no lactose intolerance and allergy of cow milk and soy protein,
no smoking and alcohol consumption, no use regular medications and
supplements, and gave written informed consent.
The collected data were subjects characteristcs, intake and adequacy level
of macronutrient from 2 x 24-h food recaal questionnaires, isoflavone
consumption habitually from semi-quantitative food frequency questionnaires,
physical activity level (PAL) from PAL recall 2 x 24-h questionnaires, and plasma
glucose levels from measurement with finger-prick capillary blood samples
method. AUC and glucose score was measured from plasma glucose levels with
trapezoid method. The data were analyzed using descriptive and inferential

statistics with SPSS version 16 for Windows software. Descriptive analysis were
run on all measures and the results were given as mean ± SEM, minmum, and
maximum. Repeated ANOVA and Tukey’s multiple comparsons test were used to
analyze effect of measurement time on postprandial plasma glucose levels in each
group. Effect of tempeh milk and cow milk on postprandial plasma glucose levels,

AUC, and glucose score were analyzed by one-way ANOVA and Tukey’s
multiple comparisons test. Pearson’s correlation test was used to analyze
correlation between macronutrient adequacy and physical activity level with 2-h
post-prandial blood glucose level.
This study showed that the mean ± SEM of age, education level, income,
and BMI of subjects were 22.8 ± 0.6 years old; 16 ± 0.3 years; IDR 1,059,091 ±
93,375.6; and 22.4 ± 0.6 kg/m2 respectively. The mean ± SEM of energy, protein,
fat, and carbohydrate adequacy level were 84.2 ± 2.6; 104.6 ± 5.7; 92.7 ± 2.5; dan
75.5 ± 3.0 percent. Most of subjects had mild energy deficit (45.5% subjects) and
moderate energy deficit (54.5% subjects). But, more of half of subjects (54.5%)
had normal (enough) protein and fat adequacy level. The mean ± SEM of
genistein and total isoflavone intake of subjects per day were 21.8 ± 2.7 mg and
39.6 ± 5.1 mg. The most frequently isoflavone contained food consumption were
tofu (6.4 ± 1.8 times per week) and tempeh (6.0 ± 0.9 times per week). Most of

subjects (63.6%) had sedentary lifestyle with mean ± SEM of PAL value was 1.42
± 0.02.
All group showed same trend of postprandial plasma glucose curve with
different height. After ingestion reference and test drink, plasma glucose rise to
the maximum after 30 min and decreased until 120 min. In all group, the mean of
fasting plasma glucose level was significant lower than postprandial plasma
glucose levels in each measuring time. In reference group the mean of plasma
glucose level at 30 min was significant lower than 15 min. After 30 min,
postprandial plasma glucose levels weren’t significant with 15 and 30 min. In cow
milk group, postprandial plasma glucose levels among measuring time weren’t
significant different. In tempeh milk group, the peak plasma glucose level was
significant higher than 15, 60, 90, and 120 min. The mean of postprandial plasma
glucose levels of tempeh milk group were significant lower than reference group
at 60, 90, and 120 min and significant lower than cow milk group at 90 and 120
min. AUC of tempeh milk group was significant lower than reference group at 090 min and 0-120 min. Glucose score of tempeh milk was significant lower than
reference and cow milk.
The mean of 2-h postprandial plasma glucose level after ingestion 75 g
pure glucose was 114.1 ± 4.9 mg/dl. Energy and carbohydrate adequacy level
significantly related with 2-h postprandial plasma glucose level with positive
correlation. Physical activity level significantly related with 2-h postprandial

plasma glucose level with negative correlation.

Keywords: glucose score, postprandial plasma glucose, tempeh milk, young men

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

PENGARUH MINUMAN SARI TEMPE TERHADAP RESPON
GLUKOSA DARAH POST-PRANDIAL PADA LAKI-LAKI
DEWASA

DESIANI RIZKI PURWANINGTYAS


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Imu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Made Astawan, MS

PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan Kehadirat Allah Swt. atas limpahan karunia dan
rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis yang
berjudul “Pengaruh Minuman Sari Tempe terhadap Respon Glukosa Darah PostPrandial pada Laki-Laki Dewasa” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini:
1. Prof Dr Ir Evy Damayanthi, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir
Hadi Riyadi, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan
waktu, pikiran, dan tenaganya untuk memberikan bimbingan dan semangat
dengan sangat bijak.
2. Prof Dr Ir Made Astawan, MS selaku penguji luar komisi dan Prof Dr Ir
Dodik Briawan, MCN selaku moderator pada ujian tesis atas saran dan
masukan yang diberikan.
3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas beasiswa BPPDN (Beasiswa
Porgram Pascasarjana Dalam Negeri) yang telah diberikan selama dua tahun.
4. Suamiku Sukma Arfianto atas dukungan materi, motivasi, dan bantuannya
dalam mengambil sampel darah, pelaksanaan penelitian, dan dalam
penyusunan tesis beserta anakku tersayang Daidzein Tsaqib Arfianto yang
selalu menjadi penyemangat dalam menyusun tesis dan menyelesaikan studi.
5. Ibu, mbah yayi, dan semua keluarga besar atas do’a, kasih sayang, dan
dukungannya baik secara moril maupun materil yang senantiasa dicurahkan
untuk penulis.
6. Sahabatku Debby Nurfariza Putri, Nazhif Gifari, Fachruddin Perdana atas
kebersamaan dan motivasinya selama menjalani perkuliahan, Kak Sanya
Anda Lusiana dan Lutfi atas motivasi dan bantuannya selama seminar.
7. Teman-teman Pascarsarjana Gizi Masyarakat 2013 atas kebersamaan dalam
suka maupun duka yang telah banyak memberikan pelajaran berharga untuk
penulis.
8. Responden penelitian yang telah banyak membantu penulis dalam
memperoleh data penelitian.
9. Mba Nurul beserta staf Prodi Gizi Masyarakat lain dan staf-staf Sekolah
Pascasarjana IPB atas arahan dan kemudahannya dalam mengurus
administrasi.
10. Seluruh pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Tesis ini diharapkan bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkepentingan
khususnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Agustus 2016

Desiani Rizki P.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ..................................................................................................
i
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. iii
PENDAHULUAN
Latar Belakang .......................................................................................... 1
Rumusan Masalah ..................................................................................... 3
Tujuan Penelitian ....................................................................................... 3
Hipotesis .................................................................................................... 3
Manfaat Penelitian ..................................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA
Diabetes Mellitus (DM) .......................................................................... 5
Regulasi Glukosa Darah ......................................................................... 6
Glukosa Darah Post-Prandial ................................................................. 7
Tempe ..................................................................................................... 8
Isoflavon ................................................................................................. 10
Indeks Glikemik Pangan ......................................................................... 13
Gizi Makro .............................................................................................. 14
Energi ............................................................................................... 14
Karbohidrat ...................................................................................... 14
Lemak .............................................................................................. 16
Protein .............................................................................................. 16
Penilaian Konsumsi Pangan .................................................................... 17
Metode Food Recall ......................................................................... 18
Kecukupan Gizi ...................................................................................... 19
Aktivitas Fisik ......................................................................................... 19
KERANGKA PEMIKIRAN ....................................................................... 21
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................. 23
Desain Penelitian .................................................................................... 23
Kriteria dan Cara Penarikan Subyek ....................................................... 25
Jenis dan Cara Pengumpulan Data .......................................................... 26
Pengolahan dan Analisis Data ................................................................ 27
Definisi Operasional ............................................................................... 32
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Subyek ............................................................................... 34
Asupan dan Tingkat Kecukupan Gizi Makro ......................................... 34
Energi ............................................................................................... 35
Karbohidrat ...................................................................................... 37
Lemak .............................................................................................. 39
Protein .............................................................................................. 40
Kebiasaan Konsumsi Isoflavon ............................................................... 43
Aktivitas Fisik ......................................................................................... 45
Respon Glukosa Darah Post-Prandial Perlakuan Kontrol ..................... 47

Respon Glukosa Darah Post-Prandial Perlakuan Susu Sapi .................
Respon Glukosa Darah Post-Prandial Perlakuan Sari Tempe ...............
Pengaruh Perlakuan terhadap Respon Glukosa Darah Post-Prandial ...
Luas AUC (Area Under Curve) Glukosa Darah ....................................
Skor Glukosa ..........................................................................................
Hubungan Tingkat Kecukupan Gizi Makro, Asupan Isoflavon,
dan Tingkat Aktivitas Fisik dengan Kadar Glukosa Darah Dua
Jam Post-Prandial ..................................................................................
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................
Kesimpulan .............................................................................................
Saran .......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
LAMPIRAN .................................................................................................

50
51
53
57
59

62
64
65
66
72

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

Halaman
Kriteria diagnosis gangguan glukosa darah ............................................ 5
Kandungan isoflavon dalam bahan pangan ............................................ 10
Nilai physical activity ratio (PAR) beberapa kegiatan ........................... 20
Variabel dan cara pengumpulan data ..................................................... 26
Pengkategorian dan analisis data ............................................................ 27
Karakteristik subyek ............................................................................... 34
Asupan dan tingkat kecukupan energi subyek ....................................... 36
Asupan dan tingkat kecukupan karbohidrat subyek ............................... 37
Asupan dan tingkat kecukupan lemak subyek........................................ 39
Asupan dan tingkat kecukupan protein subyek ...................................... 40
Frekuensi konsumsi pangan yang mengandung isoflavon ..................... 43
Asupan isoflavon subyek per hari .......................................................... 45
Tingkat aktivitas fisik subyek ................................................................. 46
Rata-rata luas AUC (Area Under Curve) glukosa darah ........................ 58
Rata-rata selisih luas AUC antar perlakuan ........................................... 58
Hubungan tingkat kecukupan gizi makro, asupan isoflavon,
dan tingkat aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah dua jam
post-prandial ........................................................................................... 62

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.

Halaman
Perbandingan respon glukosa darah post-prandial penyandang
DM dan orang non DM .......................................................................... 8
Struktur kimia isoflavon genistein dan daidzein .................................... 11
Kerangka pemikiran penelitian pengaruh minuman sari tempe
terhadap respon glukosa darah post-prandial pada laki-laki
dewasa .................................................................................................... 22

4.

Tahapan penelitian pengaruh minuman sari tempe terhadap
respon glukosa darah post-prandial pada laki-laki dewasa ....................
5. Contoh perhitungan luas AUC glukosa darah.........................................
6. Respon glukosa darah post-prandial (rata-rata ± SEM)
perlakuan kontrol (75 g glukosa murni) ..................................................
7. Respon glukosa darah post-prandial (rata-rata ± SEM)
perlakuan susu sapi (300 ml susu sapi + 75 g glukosa murni)................
8. Respon glukosa darah post-prandial (rata-rata ± SEM)
perlakuan sari tempe (300 ml sari tempe + 75 g glukosa murni)............
9. Pengaruh perlakuan terhadap respon glukosa darah postprandial ...................................................................................................
10. Pengaruh perlakuan terhadap skor glukosa .............................................

24
30
47
51
52
52
60

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Formulir informed consent ........................................................................ 73
2. Surat izin etik penelitian (ethical approval) .............................................. 74
3. Dokumentasi penelitian ............................................................................. 75

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan nasional suatu negara dapat dilihat dari
berbagai hal. Usia harapan hidup merupakan salah satu indikator keberhasilan
pembangunan nasional. Penyakit tidak menular (Non-communicable diseaseNCD) merupakan masalah kesehatan yang dapat menurunkan kualitas hidup dan
usia harapan hidup. Penyakit tidak menular tersebut banyak terjadi baik di negara
maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan data WHO
report on NCD sebanyak 67.9 persen kematian di dunia disebabkan oleh penyakit
tidak menular (WHO 2014).
Salah satu penyakit tidak menular yang perlu diwaspadai adalah diabetes
mellitus (DM) khususnya DM tipe II. Diabetes melitus adalah penyakit
metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal
(hiperglikemia) yang disertai gejala sering merasa lapar (polifagia), rasa haus yang
berlebihan (polidipsi), dan sering kencing (poliuria) terutama di malam hari. Satu
dari 11 orang dewasa di dunia mengalami DM dan 50 persen di antaranya tidak
terdeteksi sejak dini. Indonesia menempati peringkat ketiga dunia dalam jumlah
orang dewasa dengan gangguan toleransi glukosa dan peringkat ketujuh dunia
dalam jumlah orang dewasa yang mengalami DM (IDF 2015). Di Indonesia
prevelensi penyandang DM meningkat hampir dua kali lipat yakni 1.1 persen pada
2007 menjadi 2.1 persen pada 2013 (Kemenkes 2013). Suyono (2006)
menuturkan bahwa prediksi WHO akan terjadi peningkatan penyandang DM
secara pesat di dunia dari 171 juta orang pada tahun 2000 menjadi 366 juta orang
pada 2030. Berdasarkan hasil survey WHO pada 1995 Indonesia menempati
peringkat ketujuh jumlah penyandang DM, yaitu 4.5 juta jiwa. WHO
memproyeksikan jumlah tersebut akan naik menjadi 12.4 juta jiwa pada tahun
2025 dan menempati peringkat lima secara global.
Besaran masalah (magnitude) DM cukup mengkahawatirkan. Padahal, DM
dapat menurunkan kualitas hidup manusia bahkan tidak jarang menimbulkan
kematian. Pada perlakuan usia yang sama, penyandang DM memiliki risiko struk
dua kali lipat. Diabetes merupakan penyebab utama gagal ginjal dan kebutaan
karena retinopati. Penyandang DM membutuhkan biaya perawatan tiga kali lipat
lebih besar dibandingkan orang tanpa DM dan rata-rata biaya perawatan mencapai
15 persen anggaran nasional biaya perawatan kesehatan (WHO 2014).
WHO (2014) juga memaparkan bahwa diet yang tidak sehat merupakan
salah satu faktor risiko penyakit tidak menular termasuk DM tipe II. Diet tidak
sehat yang merupakan faktor risiko DM tipe II adalah tingginya konsumsi pangan
yang berdensitas energi tinggi, tinggi konsumsi lemak jenuh, dan rendahnya
konsumsi serat pangan. Konsumsi pangan yang memiliki indeks glikemik tinggi
juga akan mengarah pada kondisi hiperglikemia.
Diabetes dapat dicegah dengan mempertahankan kondisi glukosa darah
dalam batas normal melalui konsumsi pangan. Salah satu pangan yang bermanfaat
untuk mencegah terjadinya hiperglikemia adalah tempe kedelai (Ghozali et al.
2010). Menurut Muchtadi (2012) tempe merupakan pangan tradisional Indonesia

2
yang terbuat dari kedelai melalui proses fermentasi menggunakan kapang
Rhizopus sp. Tempe adalah salah satu sumber protein nabati utama bagi
masyarakat Indonesia. Harga tempe cukup terjangkau, tetapi tempe memiliki
banyak manfaat bagi kesehatan, salah satunya adalah untuk mengendalikan kadar
glukosa darah. Kandungan protein pada tempe kedelai dapat mengontrol kadar
glukosa darah. Chang et al. (2008) menuturkan bahwa pemberian suplemen
kedelai yang mengandung 23.9 g protein kedelai signifikan dapat menurunkan
kadar glukosa darah post-prandial pasien DM. Menurut Gunnerud et al. (2012)
pemberian minuman berbasis kedelai signifikan menurunkan kadar glukosa darah
post-prandial. Asam-asam amino pada protein tempe kedelai yang turut berperan
sebagai agen antihiperglikemik adalah asam amino rantai bercabang/BCAA,
yaitu: isoleusin, leusin, dan valin. Nilsson et al. (2004) memaparkan bahwa asam
amino isoleusin, leusin, valin, lisin, dan treonin memiliki efek insulinogenik
(pelepasan insulin). Selain itu dengan adanya proses fermentasi, protein pada
tempe lebih mudah dicerna.
Di samping protein, isoflavon merupakan salah satu komponen pada
tempe yang turut berperan sebagai agen antihiperglikemik. Isoflavon pada tempe
juga telah mengalami degradasi akibat aktivitas kapang selama fermentasi
sehingga mempunyai bioavailabilitas lebih baik dibandingkan isoflavon pada
kacang kedelai (Astawan 2008). Cheng et al. (2008) suplementasi 100 mg
isoflavon dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa. Menurut Lee & Lee
(2001) senyawa isoflavon yaitu genistein akan menghambat enzim α-glukosidase
dan menghambat uptake glukosa di brush border usus halus. Menurut Astawan
(2008) tempe juga banyak mengandung serat pangan. Serat akan membuat nilai
indeks glikemik pangan menjadi lebih rendah. Pangan dengan indeks glikemik
rendah baik untuk pencegahan ataupun pengendalian DM. Jadi terdapat beberapa
komponen pada tempe dengan berbagai mekanisme aksi yang membuat tempe
berpotensi mengendalikan kadar glukosa darah.
Penelitian tentang tempe semakin berkembang. Efek antihiperglikemik
tempe telah teruji pada beberapa penelitian dengan subjek hewan percobaan
(animal assay). Diperlukan pengujian efek antihiperglikemik tempe pada manusia
dengan melihat kadar glukosa darah post-prandial agar lebih terlihat jelas efek
hipoglikemiknya. Kontrol terhadap kadar glukosa darah post-prandial perlu
dilakukan karena hiperglikemia post-prandial merupakan kelainan awal
homeostatis glukosa sebelum menjadi DM tipe II (WHO 2006). Hasil metaanalisis Levitan et al. (2005) menunjukkan bahwa kadar glukosa darah postprandial juga berhubungan dengan risiko kematian karena penyakit
kardiovaskular. Laki-laki dipilih sebagai subjek agar mengurangi terjadi
bias/kerancuan efek isoflavon karena adanya tingginya kadar hormon estrogen
pada perempuan. Minuman sari tempe dijadikan bahan yang diteliti efeknya
karena praktis. Tempe tidak hanya dapat dijadikan lauk, tetapi juga dapat
dijadikan camilan sehat dan praktis dengan cara diolah sebagai minuman. Dengan
mempertimbangkan hal-hal tersebut, penelitian mengenai pengaruh minuman sari
tempe terhadap respon glukosa darah post-prandial pada laki-laki dewasa penting
untuk dilakukan.

3

Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dikaji pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana karakteristik subjek yang meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan, dan IMT (Indeks Massa Tubuh)?
2. Bagaimana asupan dan tingkat kecukupan gizi makro (energi, protein, lemak,
dan karbohidrat), kebiasaan konsumsi isoflavon, serta aktivitas fisik subjek?
3. Bagaimana pengaruh waktu pengukuran terhadap kadar glukosa darah postprandial pada masing-masing perlakuan?
4. Bagaimana pengaruh perlakuan sari tempe dan susu sapi terhadap kadar
glukosa darah post-prandial, luas AUC (Area Under Curve), dan skor glukosa?
5. Bagaimana hubungan antara tingkat kecukupan gizi makro, asupan isoflavon
(genistein dan total isoflavon), dan tingkat aktivitas fisik dengan kadar glukosa
darah dua jam post-prandial?

Tujuan Penelitian
Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh pemberian
minuman sari tempe terhadap respon glukosa darah post-prandial pada laki-laki
dewasa.
Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik subjek yang meliputi umur, tingkat pendidikan,
tingkat pendapatan, dan IMT?
2. Mengidentifikasi asupan dan tingkat kecukupan gizi makro (energi, protein,
lemak, dan karbohidrat), kebiasaan konsumsi isoflavon, serta aktivitas fisik
subjek.
3. Menganalisis pengaruh waktu pengukuran terhadap kadar glukosa darah postprandial pada masing-masing perlakuan.
4. Menganalisis pengaruh sari tempe dan susu sapi terhadap kadar glukosa darah
post-prandial, luas AUC (Area Under Curve), dan skor glukosa.
5. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan gizi makro, asupan isoflavon
(genistein dan total isoflavon), dan tingkat aktivitas fisik dengan kadar glukosa
darah dua jam post-prandial.

Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
H0 : Tidak terdapat perbedaan nyata antara efek perlakuan dan kontrol terhadap
respon glukosa darah post-prandial.
H1 : Perlakuan minuman sari tempe memberikan efek yang lebih baik terhadap
respon glukosa darah post-prandial dibandingkan kontrol.

4
Manfaat Penelitian
Bagi masyarakat secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi dan pengetahuan di bidang pangan, gizi, dan kesehatan
terutama mengenai manfaat tempe untuk mengontrol kadar glukosa darah postprandial. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk promosi diet sehat
dalam jangka pendek untuk pencegahan hiperglikemia dan dalam jangka panjang
untuk mencegah dan mengurangi prevalensi DM. Sementara itu bagi pemerintah
penelitian ini dapat bermanfaat dalam membuat kebijakan-kebijakan program
pangan, gizi, dan kesehatan terutama yang berkaitan upaya-upaya dalam
menurunkan prevalensi penyakit degeneratif seperti DM dengan pemanfaatan
tempe. Bagi swasta penelitian ini dapat bermanfaat untuk acuan dalam
mengembangkan produk-produk berbasis tempe untuk pencegahan DM dan
produk untuk penyandang DM.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Diabetes Mellitus (DM)
Diabetes mellitus merupakan serangkaian gangguan metabolisme glukosa
yang ditandai tingginya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia). Terdapat tiga
jenis DM, yaitu: DM gestational, DM tipe I, dan DM tipe II. DM gestational
merupakan peningkatan intoleransi glukosa yang terjadi pada saat hamil.
Intoleransi tersebut akan hilang setelah melahirkan. DM tipe I (juvenile) terjadi
karena kerusakan autoimun pada pankreas sehingga sel β pankreas tidak mampu
menghasilkan insulin yang memadai (defisiensi insulin absolut) dan sebagian
besar terjadi karena faktor genetik (ADA 2006).
Sementara itu, pada sebagian besar kasus DM tipe II terjadi kombinasi
resistensi insulin dan kerusakan sel β pankreas. Tingkat insulin yang dihasilkan
kemungkinan normal atau menurun, tetapi terjadi penurunan sensitivitas jaringan
dalam merespon insulin (ADA 2006). Ada beberapa faktor risiko DM tipe II
seperti genetik atau riwayat penyakit pada keluarga, usia tua, obesitas, diet yang
tidak sehat, dan kurangnya aktivitas fisik. Pada DM tipe II terjadi pola sekresi dan
kinerja insulin yang abnormal, penurunan uptake seluler glukosa, dan peningkatan
kadar glukosa post-prandial (Price dan Wilson 2005).
Diagnosis klinis adanya diabetes dibuat berdasarkan pemeriksaan di
laboratorium. Penyandang penyakit ini mengalami hiperglikemia (kadar glukosa
darah di atas normal). Kriteria diagnosis DM, gangguan toleransi glukosa, dan
gangguan glukosa puasa berdasarkan WHO (2006) dapat dilihat pada Tabel 1.
Adanya DM juga ditandai dengan timbulnya glukosuria jika hiperglikemianya
berat dan melebihi ambang kemampuan ginjal untuk glukosa. Hal tersebut
menyebabkan peningkatan pengeluaran urin (poliuria). Oleh karena itu, akan
timbul rasa haus yang berlebihan (polidipsi). Glukosa hilang bersama urin
sehingga penyandang penyakit ini mengalami keseimbangan kalori negatif
kemudian terjadi penurunan berat badan. Penyandang DM akan sering merasa
lelah dan mengantuk. Rasa lapar yang berlebihan (polifagia) juga akan timbul
karena kehilangan kalori (IDF 2015).
Tabel 1 Kriteria diagnosis gangguan glukosa darah
Jenis pengukuran glukosa darah
Kadar glukosa darah
Normal
Glukosa darah puasa
60-109 mg/dl
Glukosa darah sewaktu
> 200 mg/dl
Glukosa darah 2 jam post-prandial
< 140 mg/dl (7.8 mmol/l)
Gangguan glukosa puasa (impaired fasting glucose)
Glukosa darah puasa
110-125 mg/dl (6.1-6.9 mmol/l)
Glukosa darah 2 jam post-prandial
< 140 mg/dl (7.8 mmol/l)
Gangguan toleransi glukosa (impaired glucose tolerance)
Glukosa darah puasa
< 126 mg/dl (< 7 mmol/l)
Glukosa darah 2 jam post-prandial
140-200 mg/dl (7.8-11.1 mmol/l)
Diabetes Mellitus (DM)
Glukosa darah puasa
≥ 126 mg/dl (≥ 7 mmol/l)
Glukosa darah 2 jam post-prandial
≥ 200 mg/dl (≥ 11.1 mmol/l)
Sumber: IDF (2015)

6
Diabetes dapat menurunkan kualitas hidup manusia bahkan tidak jarang
menimbulkan kematian. Tingginya kadar glukosa darah secara terus menerus akan
merusak jaringan-jaringan tubuh sehingga pada orang DM dapat timbul berbagai
macam komplikasi. Pada perlakuan usia yang sama, penyandang DM memiliki
risiko struk dua kali lipat. Diabetes merupakan penyebab utama gagal ginjal dan
kebutaan karena retinopati. Penyandang DM membutuhkan biaya perawatan tiga
kali lipat lebih besar dibandingkan orang tanpa DM dan rata-rata biaya perawatan
mencapai 15 persen anggaran nasional biaya perawatan kesehatan (WHO 2014).

Regulasi Glukosa Darah
Mahan & Stump (2008) memaparkan bahwa karbohidrat terabsorbsi
ditransportasikan dalam bentuk glukosa melalui vena portal. Hati merupakan
organ utama yang menerima glukosa darah portal. Sekitar 50 persen glukosa
terabsobsi memasuki hati melalui non-insulin dependent transporter GLUT 2.
GLUT merupakan salah satu fasilitator transport glukosa yangtidak tergantung
pada ion natirum (Na). Hati membantu mengontrol jumlah glukosa yang
memasuki aliran darah setelah makan. Pada kondisi glukosa darah yang tinggi, di
dalam hati juga terjadi peningkatan sintesis glikogen, peningkatan glikolisis, dan
fosforilasi glukosa oleh glukokinase, serta peningkatan sintesis asam lemak dan
trigliserida. Sebaliknya, pada kondisi puasa atau kelaparan, di dalam hati akan
terjadi pemecahan glikogen (glikogenolisis), peningkatan glukoneogenesis
(pembentukan/sintesis glukosa yang berasal dari konversi asam amino dan asam
laktat), oksidasi asam lemak, dan sintesis badan keton.
Selain hati, pankreas juga merupakan organ yang memiliki peranan
penting dalam regulasi glukosa darah. Pankreas memproduksi dua hormon
penting yang mengatur glukosa darah, yaitu: hormon insulin yang diproduksi oleh
sel β pulau Langerhans dan hormone glukagon yang diproduksi sel α pulau
Langerhans pankreas (Wardlaw & Hampl 2007). Pada saat terjadi peningkatan
glukosa darah, insulin dilepaskan ke aliran darah. Insulin berikatan dengan
reseptor sel jaringan perifer yang sensitif terhadap insulin (seperti sel otot dan
adiposa) dan memfasilitasi glukosa memasuki sel-sel tersebut dengan bantuan
transporter GLUT 4. Di dalam hati, insulin memfasilitasi oksidasi glukosa dan
sintesis glikogen serta menghambat glukoneogenesis. Jika asupan pangan
berlebihan atau konsentrasi glukosa di dalam darah masih tinggi, insulin juga akan
memfasilitasi sintesis asam lemak dan menyimpannya di sel adiposa. Dalam
kondisi puasa atau kelaparan, pankreas melepaskan hormon glukagon. Hormon ini
bekerja terutama di hati memfasilitasi glikogenolisis untuk mempertahankan
konsentrasi glukosa darah. Ketiadaan insulin membuat glukagon menghambat
oksidasi glukosa dan menstimulasi glukoneogenesis (Andrali et al. 2008).
Menurut Mahan & Stump (2008) beberapa hormon lain yang ikut berperan
dalam mempertahankan level glukosa darah adalah epinefrin, norepinefrin,
kortisol, dan hormon pertumbuhan (growth hormone). Epinefrin diproduksi oleh
kelenjar medulla adrenal sedangkan norepinefrin diproduksi oleh ujung saraf
periferal. Produksi kedua hormon tersebut meningkat pada saat marah ataupun
takut yang menghasilkan fight-or flight response. Untuk menghadapi respon
tersebut, glukosa diperlukan untuk menyediakan energi ekstra. Pada konsentrasi

7

glukosa darah yang rendah, epinefrin dan norepinefrin akan menstimulasi
mobilisasi glikogen otot untuk diubah menjadi glukosa serta menstimulasi
glukosa untuk melepaskan trigliserida yang kemudian akan diubah menjadi badan
keton. Glukokortikoid kortisol merupakan hormon steroid yang diproduksi oleh
korteks adrenal dalam kondisi puasa/kelaparan atau stress. Kortisol meningkatkan
level glukosa darah terutama dengan cara menstimulasi terjadinya
glukoneogenesis. Kortisol memudahkan pelepasan lemak dari jaringan adiposa
dan asam amino dari otot yang merupakan substrat untuk sintesis ATP dan
gluconeogenesis. Hormon pertumbuhan yang diproduksi oleh kelenjar pituitary
anterior juga berperan dalam meningkatkan konsentrasi glukosa darah.
Mekanisme kerjanya antagonis dengan insulin dengan mengurangi uptake glukosa
seluler. Namun, hormon pertumbuhan meningkatkan uptake asam amino dan
sintesis protein oleh semua sel. Hormon pertumbuhan juga meningkatkan
mobilisasi lemak untuk dijadikan energi.

Glukosa Darah Post-Prandial
Packer & Sies (2008) mendefinisikan bahwa glukosa darah post-prandial
menunjuk
kan kadar glukosa darah setelah konsumsi pangan. Peningkatan
kadar glukosa darah post-prandial secara cepat dengan nilai yang tinggi
mengindikasikan adanya hiperglikemia post-prandial. Studi-studi epidemiologi
dan intervensi menunjukkan bahwa hiperglikemia post-prandial merupakan faktor
risiko langsung dan independen untuk terjadinya penyakit kardiovaskular (Packer
& Sies 2008). Hasil meta-analisis Levitan et al. (2005) menunjukkan bahwa kadar
glukosa darah post-prandial juga berhubungan dengan risiko kematian karena
penyakit kardiovaskular.
Mengacu pada CDC (2007) tes toleransi glukosa oral (TTGO) merupakan
metode standar yang sering digunakan untuk pengukuran glukosa darah postprandial. Metode tersebut cukup sederhana, yakni dengan pengukuran tunggal
glukosa plasma setelah 2 jam konsumsi 75 atau 100 g glukosa murni. TTGO
merupakan alat yang valid merepresentasikan metabolisme glukosa setelah
konsumsi pangan. Pengukuran kadar glukosa darah dengan metode ini sebagian
besar dilakukan dengan menggunakan metode finger prick capillary blood
samples. Pembuluh darah kapiler pada jari tangan khususnya jari tengah dan jari
manis dipilih karena darah yang diambil dari pembuluh kapiler mempunyai
variasi kadar glukosa darah pada panelis yang lebih kecil dibandingkan darah
yang diambil dari pembuluh vena. Selain itu, pengukuran menggunakan
pembuluh darah vena kurang memenuhi nilai etis penelitian (Ragnhild et al.
2004). Sekitar 8-10 jam sebelum pengukuran subjek dipuasakan dengan tujuan
agar kadar gula darah kembali normal tidak ada pengaruh dari karbohidrat
makanan saat dianalisis. Sebelum dan selama dua jam pasca-pemberian pangan
atau tiga jam jika dilakukan pada penyandang diabetes subjek diambil sampel
darahnya sebanyak 50 µL setiap 15 menit pada jam pertama kemudian setiap 30
menit pada jam kedua untuk diukur kadar glukosanya (menit ke-0, 15, 30, 45, 60,
90, 120) (CDC 2007). Gambar 1 berikut menginformasikan mengenai kurva
perbandingan glukosa darah post-prandial antara penyandang DM dengan orang
sehat yang tidak mengalami DM dengan menggunakan metode TTGO.

8

Waktu (jam)
Sumber: Wardlaw & Hampl (2007)
Gambar 1 Perbandingan respon glukosa darah post-prandial penyandang DM dan
orang non DM
Pola kurva standar glukosa darah post-prandial antara penyandang DM
berbeda dengan orang non DM. Pada penyandang DM setelah mengonsumsi 75 g
glukosa murni, kadar glukosa darah akan mencapai titik puncak yang lebih tinggi
dibanding pada orang non DM. Puncak kadar glukosa darah pada orang sehat non
DM normalnya maksimal 150 mg/dl. Sementara itu, pada orang DM puncak kadar
glukosa darahnya bisa mencapai lebih dari 250 mg/dl. Setelah mencapai titik
puncak, penurunan glukosa darah pada penyandang DM menunjukkan kurva yang
lebih curam yang berarti laju penurunan kadar glukosa darahnya lebih cepat
(Wardlaw & Hampl 2007).

Tempe
Muchtadi (2012) memaparkan bahwa tempe adalah pangan tradisional
khas Indonesia yang umumnya terbuat dari kacang kedelai melalui proses
fermentasi menggunakan kapang khususnya Rhizopus sp.. Proses fermentasi
membutuhkan oksigen untuk metabolisme kapang dan pembentukan miselia yang
yang menghubungkan biji-biji kedelai membentuk tekstur kompak pada tempe
yang secara umum berwarna putih. Senyawa-senyawa kompleks yang terdapat
pada kedelai akan dihidrolisis menjadi senyawa yang lebih mudah dicerna selama
proses fermentasi.
Dibandingkan kedelai, kadar zat antigizi pada tempe lebih rendah. Fitat
yang dapat menghambat penyerapan beberapa mineral akan diuraikan menjadi
inositol dan fosfat oleh enzim fitase yang dihasilkan selama fermentasi. Selain
itu, bioavailabilitas beberapa zat gizi pada tempe seperti protein, beberapa vitamin
B, dan isoflavon lebih mudah dicerna dibandingkan pada kedelai. Tempe
merupakan pangan nabati dengan protein berkualitas tinggi dengan nilai PER
hampir setara dengan beberapa pangan hewani (Muchtadi 2012).
Kadar protein tempe dan kedelai hampir sama. Namun, dari kedelai
menjadi tempe terdapat peningkatan jumlah asam amino bebas. Hal tersebut
terjadi karena kapang tempe menghasilkan enzim protease yang menghidrolisis

9

ikatan peptide pada protein menjadi asam amino bebas (Koswara 1992). Asamasam amino yang mengalami peningkatan adalah arginine (Ghozali et al. 2010),
treonin, metionin, leusin, dan lisin (Zamora & Veum 1998). Hasil penelitian Utari
(2011) menunjukkan bahwa arginin merupakan asam amino yang dominan pada
tempe. Tempe juga mengandung asam-asam amino rantai bercabang (branched
chain amino acids-BCAAs). Minuman berbasis tempe mengandung 180.9 mg
BCAA/g protein dengan rincian: 83.6 mg leusin, 48.3 mg isoleusin, dan 49 mg
valin (Jauhari 2014).
Meskipun pengolahan kedelai menjadi tempe akan menurunkan
kandungan total isoflavon. Namun, senyawa isoflavon yang terdapat pada kedelai
akan lebih mudah diserap setelah diolah menjadi tempe. Sebagian besar isoflavon
pada kedelai tersedia dalam bentuk glikosida (terikat pada molekul glukosa),
yaitu: genistin, daidzin, dan glycetin. Selama fermentasi terjadi hidrolisis
enzimatis yang akan melepaskan molekul glukosa dari isoflavon dan dihasilkan
isoflavon dalam bentuk aglikon (tidak terikat), yaitu: genistein, daidzein, dan
glycitein. Bentuk aglikon tersebut lebih mudah diserap di dalam usus
dibandingkan bentuk glukosida (Astawan 2008). Dalam 100 g tempe kukus
mengandung 24.8 mg isoflavon. Sementara itu, menurut Surya (2011) 300 ml sari
tempe mengandung 4.7 mg daidzein, 2.3 daidzin, 4.8 mg genistein, dan 3.5 mg
genistin dengan jumlah total isoflavon sebesar 15.3 mg.
Tempe tidak hanya dijadikan sebagai lauk. Seperti halnya kedelai,
pengolahan tempe juga dapat divariasikan menjadi minuman seperti minuman sari
tempe atau yang biasa masyarakat awal menyebutnya dengan susu tempe.
Pembuatan minuman sari tempe cukup mudah, yaitu meliputi pemotongan,
perebusan tempe, penggilingan, penyaringan, penambahan bahan tambahan
pangan jika diperlukan, perebusan sari tempe misalnya dengan metode
pasteurisasi, dan pengemasan.
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu baik pada manusia atau hewan
percobaan, kedelai; tempe; maupun minuman yang terbuat dari kedelai atau tempe
memiliki manfaat positif terhadap kadar glukosa darah. Pemberian pakan berbasis
tempe dengan arginin 1.4 persen dan 1.6 persen dapat menurunkan kadar glukosa
darah pada tikus diabetes (Ghozali et al. 2010). Hasil penelitian Simmons (2011)
menunjukkan bahwa kedelai dapat dijadikan bahan untuk suplementasi snack
dalam jumlah yang cukup banyak untuk menurunkan kadar glukosa darah postprandial. (Gunnerud et al. 2012) menuturkan bahwa pemberian minuman berbasis
kedelai sebanyak 9 g protein dapat menurunkan kadar glukosa darah postprandial secara signifikan. Pemberian susu kedelai dengan dosis 90 ml/kg BB
pada tikus yang diinduksi DM tipe 2 mampu menurunkan kadar glukosa darah
dan insulin plasma secara signifikan (Handayani et al. 2009). Sinaga &
Wirawanni (2012) menuturkan bahwa pemberian 280 ml susu kedelai selama 14
hari pada wanita prediabetes dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa
sebesar 26.3 mg/dl meskipun variabel aktifitas fisik, perubahan IMT, dan
perubahan asupan serat turut berkontribusi 56.1 persen terhadap penurunan kadar
glukosa darah puasa tersebut.

10
Isoflavon
Isoflavon merupakan senyawa fitokimia yang termasuk ke dalam golongan
flavonoid yang mempunyai aktivitas antioksidan. Isoflavon juga merupakan
senyawa fitoestrogen yang dapat bertindak seperti hormon estrogen dengan
berikatan pada reseptor estrogen karena memiliki struktur yang mirip dengan 17-β
estradiol. Senyawa bioaktif ini dapat ditemukan pada pangan nabati seperti pada
kacang-kacangan, beberapa sayuran dan buah-buahan. Kacang kedelai merupakan
sumber utama isoflavon (Wang & Murphy 1994).
Ada dua bentuk isoflavon, yaitu bentuk glikosida yang terikat pada
molekul glukosa dan aglikon yang dalam bentuk bebas. Sebagian besar pada
tanaman mentah isoflavon yang ditemukan dalam bentuk tidak aktif karena
terkonjugasi dengan molekul glukosa (glikosida) yaitu: genistin, daidzin, dan
glycitin (Wiseman et al. 2002). Proses pengolahan dan fermentasi kedelai akan
melepaskan molekul glukosa yang terikat pada isoflavon glikosida tersebut
menghasilkan isofl