Pelimpahan hak asuh anak kepada bapak (studi kasus putusan pengadilan agama Jakarta perkara nomor 1829/Pdp.G/2008/PAJT)

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.sy)

Oleh:

Ahmad Zamahsyari 107044202045

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

ii

PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK KEPADA BAPAK

(Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara

Nomor 1829/Pdt.G/2008/PAJT)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.sy)

Oleh : Ahmad Zamahsyari NIM : 107044202045

Di Bawah Bimbingan

Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A NIP. 195811281994031001

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AL- AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

iii Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 26 April 2011


(4)

iv

ABSTRAK

Ahmad Zamahsyari. NIM 107044202045. Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor 1829/Pdt.G/2008/PAJT). Skripsi, Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah, Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1432 H/2011 M. Isi: xii + 73 Halaman + 27 Halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak pada Perkara Nomor 1829/Pdt.G/2008/PAJT. Pada penelitian ini penulis memilih objek penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Penulis ingin mengetahui hal-hal yang menyebabkan pelimpahan hak anak kepada bapak kandungnya sebagai akibat perceraian. Selain itu juga, penulis ingin mengidentifikasi pertimbangan hukum hakim yang memberikan hak asuh anak kepada bapak kandungnya akibat terjadinya perceraian, yang seharusnya hak asuh itu berada ditangan ibu kandungnya.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang menekankan kualitas sesuai dengan pemahaman deskriptif. Penelitian ini berupa analisis terhadap kasus yang berkenaan dengan pelimpahan hak asuh anak kepada bapak kandungnya, yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Kriteria data yang didapatkan berupa data primer dan skunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, studi pustaka, dan studi dokumenter.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelimpahan hak asuh anak kepada bapak kandungnya dikarenakan Ibu anak tersebut tidak amanah, sibuk bekerja, keadaan ekonomi yang minim, dan tidak mempunyai kemauan dalam mendidik anak sehingga sejak umur 4 (empat) bulan anaknya diserahkan kepada tergugat II (ibu kandung dari tergugat I) yang beragama non muslim.

Kata Kunci : Pelimpahan Hak Asuh Anak, Bapak Kandung, Putusan Perkara Nomor 1829/Pdt.G/2008/PAJT.

Pembimbing : Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A Daftar Pustaka : Tahun 1970 s.d Tahun 2011


(5)

v

Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor 1829/Pdt.G//2008/PAJT) telah di ujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Tanggal 24 Mei 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah (Administrasi Keperdataan Islam).

Jakarta, 24 Mei 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM

NIP. 19550505 198203 1 012 PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil. SH, MA (……….) NIP: 1950 0361 9760 3100

2. Sekertaris : Hj.Rosdiana, MA (……….)

NIP. 1969 0610 2003 122001

3. Pembimbing : Dr. H. Supriyadi Ahmad, MA (……….) NIP. 1958 1128 1994 031001

4. Penguji I : Drs. H. Ahmad Mukri Aji, MA (……….) NIP. 1957 0312 1985 031003

5. Penguji II : Hj.Rosdiana, MA (……….) NIP. 1969 0610 2003 122001


(6)

vi

KATA PENGANTAR









Segala Puji bagi Allah swt, maha pencipta dan maha penguasa alam semesta yang telah melimpahkan taufiq dan hidayahnya kepada penulis terutama dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Sholawat serta salam tetap dilimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad saw serta keluarga, para sahabatnya yang baik yang selalu

berpegang teguh dengan syari’atnya.

Skripsi ini di tulis dalam rangka melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar strata satu (SI) dalam Program Studi Ahwal Al Syakhshiyah, Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul: “PELIMPAHAN HAK

ASUH ANAK KEPADA BAPAK” (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor 1829/Pdt.G/PAJT).

Untuk menyelesaikan Skripsi ini penulis banyak mendapat petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung dan tidak langsung yang terlibat dalam proses menyiapkan Skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan penghargaan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vii

Syakhsiyyah yang telah banyak memberikan arahan dan motivasi kepada penulis.

3. Dr. H. Supriyadi Ahmad, MA, Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan motivasi kepada Penulis dalam rangka menyiapkan Skripsi ini. Terima kasih juga atas segala kesabaran dalam memberi arahan dan masukkan kepada penulis hingga Skripsi ini bisa terselesaikan tepat pada waktunya.

4. Seluruh staff pengajar (dosen) dan civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Para Nara sumber dan staff Lembaga Pengadilan Agama Jakarta Timur yang telah memberikan penulis izin dan membantu meluangkan waktunya untuk melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan penelitian khususnya Bapak Hisni Mubarok, SHI, staff Panmud Hukum, Sub bag. Kepegawaian, Kepala Sub, Bag. Keuangan yang telah banyak membantu penulis mendapatkan data-data penelitian. Dan Ibu Hj. Munifah Djam’an yang telah memberikan informasi kepada penulis.

7. Ibu dan Bapak kandung (alm) tercinta yang telah merawat dan mengasuh serta mendidik dengan penuh kasih sayang dan memberikan pengorbanan yang tak


(8)

viii

terhitung nilainya. Semoga (alm) Bapak tenang disana dan diberikan tempat yang layak oleh Allah swt, amin ya rabbal alamin.

8. Kepada kedua (alm) kakanda Moh.Basyir dan Irfan Dadi terimakasih atas segala kasih sayang dan bimbinginnya, semoga kedua alm kakanda tenang disana dan diberikan tempat yang layak oleh Allah swt, amin ya rabbal alamin.

9. Kepada kakanda: Syaiful Bahri S.thi, Fitriyanah S.kom, Tuti Alawiyah, Rozanah,wati, yanti, adikku A.Zaki Al farisi dan juga semua kakak ipar dan juga keponakan. Terima kasih telah memberikan semangat serta dukungan, baik moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 10. Teman-teman senasib dan seperjuangan Administrasi Keperdataan Islam

Angkatan 2007, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu memberi warna dan meriahkan hari-hari waktu kuliah selama tiga tahun setengah ini.

Kepada semua pihak yang telah banyak memotivasi dan memberi inspirasi kepada penulis untuk mencapai kejayaan yang di impikan dan yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, moril maupun materiil sehingga terselesainya skripsi ini. Hanya ucapan dan terima kasih penulis haturkan semoga segala bantuan tersebut di terima sebagai amal baik di sisi Allah swt. Dan memperoleh pahala yang berlimpah ganda (amin).


(9)

ix

kemudahan bagi kita semua dalam menjalani hari esok, amin.

Jakarta, 22 Jumadil Ula 1432 H

Jakarta, 26 April 2011 M


(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Review Studi Terdahulu ... 9

E. Metode Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II : HADHANAH DALAM ISLAM A. Pengertian Hadhanah ... 14

B. Dasar Hukum Hadhanah ... 16

C. Syarat-Syarat Hadhinah dan Hadhin ... 20


(11)

xi

A. Sejarah Singkat ... 37 B. Struktur Organisasi ... 41 C. Tugas dan Wewenang ... 44

BAB IV: ANALISIS TERHADAP PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK KEPADA BAPAK

A. Duduk Perkara Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur ... 53 B. Pertimbangan Hukum Hakim ... 55 C. Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara

No. 1829/Pdt.G/2008/PAJT ... 61

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 68 B. Saran-saran ... 69


(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pedoman Wawancara ... 74

2. Hasil Wawancara ... 76

3. Surat Permohonan Dosen Pembimbing ... 80

4. Surat Mohon Data/ Wawancara ... 81

5. Surat Keterangan Hasil Wawancara ... 82

6. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No.1829/Pdt.G/2008 /PAJT ... 83


(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai mahkluk sosial tidak pernah lepas dari hubungannya dengan manusia lain. Manusia memiliki kepentingan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dengan perbedaan kepentingan ini hubungan yang dibangun antara manusia yang satu dengan manusia yang lain bisa mengaruh terbentuknya pertentangan, perselisihan, sengketa, bahkan permusuhan. Untuk menghindari terjadinnya hal ini, diperlukan norma atau rambu-rambu kehidupan. Selain norma agama, norma etika, di kenal juga norma hukum yang sangat penting peranannya dalam mengatur perilaku manusia dalam hidup bermasyarakat.1

Perkawinan harus dipahami sebagai ikatan manusia untuk menjelaskan hasrat seksualnya secara sah dan bertanggung jawab, dari sini akan terjalin hubungan kasih sayang cinta dan tanggung jawab untuk membentuk sebuah masyarakat kecil yang akan meneruskan perjalanan peradaban manusia.2

Islam memandang perkawinan mempunyai nilai-nilai keagamaan sebagai wujud ibadah kepada Allah. Mengikuti sunnah Nabi, dan mempunyai nilai-nilai

1

Muhammad Nasir, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Djambatan, 2003), cet.2, hal. 1

2


(14)

2

kemanusian untuk memenuhi naluri hidup dan menumbuhkan rasa kasih sayang dalam hidup bermasyarakat.3

R. Abdul Djamali mengungkapkan, sebelum melangsungkan perkawinan ada hal-hal yang perlu diperhatikan bagi calon suami istri yaitu: Pertama harus benar-benar bersedia melanjutkan hidup sebagai pelaksanaan perintah Allah. Kedua memerlukan ketelitian untuk memilih dan menetapkan calon sebagai pasangan hidup. Suatu pilihan akan menghasilkan yang baik kalau dilaksanakan melalui proses meneliti secara mendalam mengenai tingkah laku dan kehidupan sehari-hari, tidak semua orang dapat mengatur rumah tangganya dengan baik. Ketiga niat berumah tangga lebih dahulu memahami seluk beluk kehidupan wanita atau pria yang baik.4

Keempat berbagai kesiapan ilmu pengetahuan yang cukup, hal ini harus dimiliki setiap individu yang akan berkeluarga, baik kaum laki-laki maupun wanita, sehingga masing-masing mengetahui apa hak dan kewajiban serta posisinya jika sudah berkeluarga. Sebab bila seorang menikah tidak bisa memposisikan dirinya maka rumah tangga adalah awal dari sebuah masalah. Menurut bentuknya perkawinan mewujudkan susunan keluarga sebagai suami istri yang diridai Allah melalui ikatan perjanjian yang bernilai suci atau sakral. Pengertian ini identik dengan hukum nasional yang dicantumkan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan “perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang

3

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press. 2000), hal. 13

4


(15)

pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.“Untuk mewujudkan tujuan perkawinan tersebut maka akan terpenuhi kewajiban masing-masing dalam menegakkan rumah tangga suasana damai dan saling pengertian.

Muderis Zaini berpendapat bahwa keluarga mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai manusia sosial dan merupakan masyarakat kecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu, dan anak.5

Dalam Islam, perkawinan tidak terikat dalam ikatan mati dan tidak pula mempermudah terjadi perceraian. Perceraian baru boleh dilakukan jika benar-benar dalam kondisi yang sangat darurat dan terpaksa, sebagai solusi akhir dalam menyelesaikan masalah rumah tangga. Perceraian dibolehkan dan diperbolehkan apabila hal tersebut lebih baik dari pada tetap dalam ikatan perkawinan tetapi tidak tercapai kebahagian dan selalu ada dalam penderitaan, sebagaimana di tulis oleh Sayyid Sabiq bahwa lepasnya ikatan perkawinan sangat dilarang kecuali terdapat alasan yang dibenarkan terjadi hal yang sangat darurat.6

Perceraian bukan hanya merupakan bencana bagi pasangan suami istri,, namun juga merupakan malapetaka bagi fisik dan psikis anak-anak mereka. Peristiwa perceraian, apapun alasanya merupakan sesuatu yang sangat berdampak negatif bagi

5

Mudderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga System Hukum , (Jakarta : Sinar Grafika, 1992), hal.7

6


(16)

4

anak dimana pada saat itu, anak tidak dapat lagi merasakan nikmat kasih sayang sekaligus dari kedua orang tuanya. Padahal, merasakan kasih sayang kedua orang tua merupakan unsur penting bagi pertumbuhan mental seorang anak.

Menurut para fuqaha, hadhanah adalah hak untuk memelihara anak kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang sehat akalnya, jadi tidak termasuk disini pemeliharaan terhadap anak yang telah dewasa yang sehat akalnya.7

Bilamana terjadi perceraian, maka orang yang paling berhak mengasuh dan memelihara anak-anaknya adalah ibunya yang secara emosional lebih sabar dibandingkan ayahnya. Namun dalam hadhanah, Agama Islam memberikan syarat-syarat kepada seorang pengasuh yaitu : berakal, baligh, mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mendidik anak yang di asuh, dapat dipercaya, dan juga harus beragama Islam/seaqidah dengan sang anak.8

Sedangkan di dalam hukum Islam (Fikih), Mazhab Syi’ah Imamiyah dan Syafiiyah berpendapat bahwa seorang kafir tidak boleh mengasuh anak yang beragama Islam, sedangkan mazhab yang lainnya tidak mensyaratkannya. Sedangkan Ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa kemurtadan wanita atau laki-laki yang mengasuh, secara otomatis menggugurkan hak asuhnya.9

7

Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, Penerjemah Anshori Umar Sitanggal, dkk, (Semarang : Asy Syifa, 1981), hal. 450

8

Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqh Wanita, Penerjemah :M. Abdul Ghaffar E.M (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1998), hal. 435

9

Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah: Masykur A.B. dkk, Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Khomsah, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2006) h. 416-417


(17)

Dalam proses pemeliharaan anak dari kecil sampai baliq ada dua istilah yang berdekatan maksudnya yaitu kata hadhin dan kata wali, hadhin atau hadhinah adalah istilah yang dipakai bagi seseorang yang melakukan tugas hadhanah yaitu tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai bisa secara sederhana makan sendiri dan berpakaian sendiri dan bisa membedakan yang berbahaya baginya. Bila diukur dengan umur, sampai umur 7 atau 8 tahun. Pada masa sebelum umur tersebut, pada umumya seorang anak belum bisa mengatur dirinya dan belum bisa secara sederhana membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya.10

Orang yang akan menjadi pengasuh anak disyaratkan mempunyai kafa’ah atau martabat yang sepadan dengan kedudukan si anak, mampu melaksanakan tugas sebagai pengasuh anak. Karena, dengan adanya kemampuan dan kafa’ah, maka mencakup beberapa syarat tertentu, dan apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka gugurlah haknya untuk mengasuh anak.11

Kemudian masalah yang paling pokok dalam pemeliharaan anak adalah syarat-syarat yang akan menjadi hadhin, karena sifat seorang pengasuh akan berpengaruh kuat terhadap anak yang menjadi asuhannya, keberhasilan seorang anak dalam perkembangan, kedewasaan, dan pendidikannya. Sebab ciri dasar manusia adalah bersifat dinamis merdeka dan sosial. Maka pada saat inilah seorang anak

10

Satria Efendi M . Zein, ProblematikaHukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 220

11


(18)

6

diberikan pendidikan yang paling besar sifatnya seperti diajarinya seorang anak mengenal Tuhan sebagai bekal tauhid dan jiwanya.

Seperti yang terjadi dalam kasus perceraian pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1829/Pdt.G/2008/PAJT Perceraian antara Hamdy bin Bawazier (penggugat) dengan Inggriet Margarita Lasut binti Alfarits Lasut (tergugat I), hak pemeliharaan anak laki-lakinya yang bernama Imtiyaz Hamdy Bawazier jatuh ke pihak bapak bukan berada dipihak ibu. Karena anak laki-laki penggugat tersebut terlahir dari perkawinan secara Islam dan mempunyai orang tua dan ayah yang beragama islam, penggugat khawatir anak tersebut dipelihara dan diberi pendidikan yang berbeda dengan agama orang tuanya mengingat nenek (tergugat II) atau mertua dari penggugat yang mengasuh anak tersebut bukan beragama Islam (non muslim) sehingga tidak berlebihan kecemasan dan rasa khawatir yang dirasakan oleh orang tua anak sebagai ayahnya. Inilah yang menjadi latar belakang penulisan untuk mengambil skripsi dengan judul : “PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK KEPADA BAPAK” (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1829/Pdt.G/2008/PAJT ).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah dan spesifik, maka penulis memberikan batasan sesuai dengan judul yang diangkat pada penelitian ini sebagai berikut :


(19)

a. Anak dalam skripsi ini dibatasi pada anak kandung yang dilahirkan dari perkawinan yang sah kedua orang tuanya.

b. Bapak dalam skiripsi ini dibatasi pada wali nasab dalam hal ini adalah bapak kandung.

c. Putusan Pengadilan dibatasi pada dasar pertimbangan yurispudensi yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara hak hahdanah yang dilimpahkan kepada bapak dengan putusan perkara Nomor 1829/Pdt.G/2008/PAJT di Pengadilan Agama Jakarta Timur tentang gugatan pemeliharaan anak.

2. Perumusan masalah

Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bahwa pemeliharaan anak yang di bawah umur ketika terjadi perceraian adalah jatuh pada ibu. Namun pada kenyataannya banyak kasus perkara tentang hak asuh yang dilimpahkan kepada bapak. Hal inilah yang membuat Penulis terdorong menelusuri dan melakukan penelitian terkait dengan permasalahan tersebut. Maka dari perumusan tersebut dapat dirinci dalam pernyataan sebagai berikut :

a. Mengapa Hak asuh anak dalam perkara Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor 1829/Pdt.G/2008/PAJT dilimpahkan kepada bapak?

b. Bagaimana kewajiban bapak setelah putusan hak asuh anak yang dilimpahkan kepadanya?


(20)

8

c. Apakah dasar hukum yang digunakan dalam perkara tersebut sudah sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku?

d. Bagaimana majelis hakim mempertimbangkan Putusannya dalam perkara Nomor 1829/Pdt.G/2008/PAJT tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui hal-hal yang menyebabkan hak pemeliharaan atas seorang anak dibawah pemeliharaan dan kewajiban bapaknya sebagai akibat terjadinya perceraian.

b. Mengidentifikasi tentang pertimbangan hukum hakim yang memberikan hak pemeliharaan anak kepada bapak akibat terjadinya perceraian.

2. Manfaat Penelitian

a. Memberikan informasi tentang tinjauan yurispudensi hak asuh anak yang dilimpahkan kepada bapak.

b. Memberikan informasi tentang pertimbangan hukum hakim yang memberikan pemeliharaan anak kepada bapak akibat terjadinya perceraian.


(21)

D. Review Studi Terdahulu

Beberapa karya tulis yang berhubungan dengan skripsi ini, diantaranya adalah:

1. PENETAPAN HAK ASUH ANAK KEPADA IBU NON-MUSLIM (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat) oleh: Fauzan Kuswara (104044101430)

a. Isi

Skripsi ini membahas tentang masalah penetapan hak asuh anak oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat tentang hak asuh anak yang diberikan kepada ibu, meskipun si ibu diketahui beragama non-Muslim.

b. Perbedaan

Perkara perceraian antara pasangan beda agama dengan menetapkan hak asuh anak yang yang jatuh kepada ibu non muslim. Dalam putusan perkara No. 433/PDT.G/2007/PAJP, yang menetapkan hak asuh anak kepada ibu non muslim dan hal apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menetapkan hak asuh anak dalam perkara cerai gugat.

2. PENCABUTAN HAK ASUH ANAK DARI IBU (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 430/Pdt.G/2006/PA.dpk) oleh: Aditya NurPratama (105044101395).


(22)

10

a. Isi

Skripsi ini membahas tentang masalah mengenai Pemcabutan Hak Asuh Anak dari Ibu dengan membahas analisis putusan hakim pada perkara No. 430/PDT/2006/PA.dpk.

b. Perbedaan

Analisis Putusan Perkara No.430/PDT/2006/PA.DPK. dilakukan di Pengadilan Agama Depok. Karena akibat kelalaian Ibu terhadap anak yang mengakibatkan pencabutan hak asuh anak. Gugatan pencabutan hak asuh anak terjadi setelah adanya keputusan cerai dari pengadilan.

3. FASAKHNYA PERKAWINAN KARENA ISTRI KELUAR DARI AGAMA ISLAM (MURTAD) Oleh : Dewi Sapyuni 102044225080.

a. Isi

Skripsi membahas penyelesaian perkara karena faskhnya perkawinan karena istri keluar dari agama Islam (murtad). Penyebab perceraian karena istri keluar dari Islam (murtad) serta penguasaan hadhanah yang jatuh ditangan suami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

b. Perbedaan

Mengetahui pandangan hukum islam terhadap putusan Pengadilan Agama dalam menetapkan atau memutuskan hak hadhanah terhadap mantan istri yang murtad.


(23)

Telah melihat judul-judul skripsi di atas dapat dibuktikan bahwa penulis tidak melakukan tindakan plagiasi ataupun meniru atau mencontek sebagian ataupun keseluruhan isi dari skripsi yang sudah ada diatas. Untuk melaksanakan penulisan ini penulis sepenuhnya berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas

Syari’ah Hukum Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Metodologi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian dimana akan dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Dari sisi data yang digunakan, jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang menekankan kualitas sesuai dengan pemahaman deskriptif. Penelitian ini berupa analisis terhadap kasus yang berkenaan dengan pelimpahan hak asuh anak kepada bapak yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

2. Kriteria dan Sumber Data

a. Data primer yang bersumber dari hasil wawancara dengan hakim yang menyelesaikan perkara Nomor 1829/Pdt.G/PA Jakarta Timur, dan putusan No 1829/Pdt/G/PA Jakarta Timur.

b. Data sekunder yang bersumber dari hasil telaah tentang pelimpahan hak asuh anak kepada bapak dalam putusan Nomor 1829/Pdt.G/PA Jakarta Timur, UU


(24)

12

No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, buku-buku ilmiah, kitab-kitab klasik dan kontemporer yang terkait dalam pembahasan ini, makalah, peraturan perundangan-perundangan yang terkait, dan bahan bacaan asli yang ada hubungannya dengan skripsi yang dibuat oleh penulis.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Observasi, untuk mendapatkan data tentang pelimpahan hak asuh anak kepada bapak. Observasi dilakukan dengan langsung datang ke Pengadilan Agama. b. Wawancara mendalam (indept interview), yaitu teknik pengumpul data untuk

mendapat informasi dengan cara mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan kepada hakim yang memutus perkara tersebut. Wawancara ini untuk mendapatkan data tentang pelimpahan hak asuh anak kepada bapak.

c. Studi kepustakaan, untuk mendapatkan teori-teori dan konsep yang berkenaan dengan metode keputusan hakim melalui berbagai buku dan literatur yang dipandang mewakili (representative) dan berkaitan dengan obyek penelitian. d. Studi Dokumenter, yaitu menelaah bahan-bahan yang diambil dari dokumentasi

dan berkas yang mengatur tentang pemeriksaan putusan hadhanah serta putusan hakim yang menyangkut hadhanah.


(25)

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan Skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab pertama berisi pembahasan tentang latar belakang masalah, batasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metodelogi penulisan dan Sistematika Penulisan.

Bab kedua berisi pembahasan hadhanah dalam Islam yang meliputi tentang pengertian hadhanah, dasar hukum hadhanah, syarat-syarat hadhinah dan hadhin, pihak-pihak yang berhak dalam hadhanah, masa hadhanah.

Bab ketiga berisikan profil Pengadilan Agama Jakarta Timur yaitu sejarah singkat berdirinya, struktur organisasi, dan tugas dan fungsi.

Bab keempat berisi dalam bab ini yaitu mengenai analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Tentang Perkara Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak yang berisi tentang duduk perkara, pertimbangan hukum hakim, dan analisis penulis terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara No. 1829/Pdt.G/2008/PAJT.

Bab kelima berisi dalam bab ini membahas tentang kesimpulan dan saran-saran dari penelitian ini agar permasalahan hadhanah dapat dijelaskan dengan baik.


(26)

14

BAB II

HADHANAH

DALAM ISLAM

A. Pengertian Hadhanah

Berbicara masalah pemeliharaan anak, maka timbul apa yang dinamakan kewajiban bagi orang tua yang menyebabkan adanya anak itu, yaitu kedua orang tuanya. Hal ini dimaksudkan, agar kehidupan anak dapat sejahtera baik lahir maupun batin. Kewajiban yang dimaksud meliputi pemeliharaan sekaligus menyusui dan pendidikan.

Hadhanah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain yaitu memelihara, mendidik, mengatur, mengurus segala kepentingan/urusan anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan baik dan buruknya sesuatu atau tindakan bagi dirinya).1

Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam pengertian hadhanah juga telah dirumuskan didalam pasal 1 huruf 9 yang dimaksud pemeliharaan anak atau

hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.2

Menurut ulama fiqih seperti Muhammad Ibnu Ismail San’ani mengatakan

bahwa pemeliharaan anak atau hadhanah itu berasal dari kata (نضح) yang memiliki

1

M. Abdul Mujid dkk, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hal. 185

2

Muhammad Daud dkk. Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Ciputat : Logos, 1999), hal. 139


(27)

arti mengasuh atau memelihara, seperti dalam ungkapan : ( يبصلا نضح) “dia

mengasuh atau memelihara anak”.3

Secara etimologi kata hadhanahberarti “al-janb” yang berarti disamping atau berada di bawah ketiak”, atau bisa juga berarti melakukan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan.4 Maksudnya adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa mengerjakan keperluan diri sendiri.

Menurut Imam Taqiyyudin hadhanah ialah ibarat menjalankan untuk menjaga orang (anak) yang belum mumayyiz atau tidak berakal dan mengajarkannya akan kebaikan serta menjaganya dari sesuatu yang sangat membahayakannya.5

Menurut Muhammad Ibnu Ismail Al-San’ani, hadhanah adalah memelihara anak yang belum mampu mengurus diri dan menjaganya dari sesuatu yang dapat membinasakan atau membahayakan. Seperti dalam ungkapan :6

Para ulama fikih mendefinisikan hadhanah sebagai tindakan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar

3

Al-Imam Muhammad Ibnu Ismail San’ani, Subulussalam, Penerjemah : Abu Bakar Muhammad, (Bandung: Dahlan), juz.3. hal. 227

4

Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 166

5

Imam Taqiyudin Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar (Beirut Dar : al Fikr, 1994) hal. 49

6

Al-Imam Muhammad Ibnu Ismail San’ani, Subulussalam, Penerjemah : Abu Bakar Muhammad, (Bandung: Dahlan), juz.3. hal. 227


(28)

16

tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri mengahadapi hidup dan memikul tanggung jawab.

Dalam ajaran Islam diungkapkan bahwa tanggung jawab ekonomi keluarga berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga, dan tidak tertutup kemungkinan tanggung jawab itu beralih kepada isteri untuk membantu suaminya bila suaminya tidak mampu melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, amat penting mewujudkan kerja sama dan saling membantu antara suami istri dalam memelihara anak sampai ia dewasa. Hal ini yang dimaksud pada prinsipnya adalah tanggung jawab suami istri kepada anak-anaknya.7

Pemeliharaan anak itu juga adalah tugas dan tanggung jawab untuk memelihata, mengasuh, dan mendidik anak suami istri atau ayah dan ibu mempunyai tanggung jawab yang sama besarnya dalam melaksanakan pemeliharaan anak yang dilahirkan, pemeliharaan anak tersebut meliputi pemberian makan, pakaian, kesehatan, pendidikan dan juga perlindungan dari berbagai segala macam bahaya dan hal-hal yang lain yang diperlukan.

B. Dasar Hukum Hadhanah

Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam perkawinan. Adapun

7


(29)

dasar hukumnya tentang kewajiban orang tua dalam memelihara seorang anak dalam firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 233:







































































































































































Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.(al-Baqarah : 233)

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa hadhanah adalah salah satu kewajiban bagi kedua orang tua atau yang mendapatkan hak tersebut, pengabaian terhadap anak adalah suatu penganiyaan terhadap anak tersebut.

Pendidikan anak juga merupakan salah satu faktor yang amat penting dalam kehidupan keluarga. Orang tua berkewajiban untuk mengarahkan anak-anak mereka untuk menjadi orang-orang yang beriman dan berakhlak mulia, serta patuh dalam


(30)

18

melaksanakan ajaran agama dengan baik agar terhindar dari perbuatan dosa dan maksiat.8

Allah berfirman dalam surat at-Tahrim ayat 6:

















































































Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.(Q.S. At-Tahrim: 6)

Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah swt untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.9

Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya, dan orang yang mendidiknya.10

8

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakaahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 217

9

Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006) hal. 177

10


(31)

Pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam pengakuan ibu bapaknya, karena dengan adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan akalnya, membersihkan jiwanya,serta mempersiapkan diri anak dalam mengahadapi kehidupannya di masa yang akan datang.11

Suatu ketika datang sepasang suami istri kepada Rasulullah saw. Untuk meminta penetapan siapa yang lebih berhak untuk mengasuh anak, sedangkan mereka sudah bercerai. Dalam hadits nabi Rasulullah menyatakan:

12

Dari Abdullah bin Amr Ra. Sesungguhnya seorang perempuan datang dan mengadu

kepada Rasulullah,”Ya Rasulullah sesungguhnya anak ini perut saya yang

mengandungnya dan dari susu saya ia mendapat minuman, dan pangkuan sayalah yang menjadi penjaganya. Sedangkan ayahnya telah menceraikan saya, dan ia bermaksud memisahkan dia dari saya. Maka Rasulullah bersabda kepadanya: Engkau lebih berhak terhadap anakmu selama engkau belum kawin dengan orang lain. (Diriwayatkan oleh Abu Daud).

Hadits tersebut diatas menjelaskan bahwa ibulah yang lebih berhak untuk memelihara anaknya selama ia belum menikah dengan orang lain, dengan kata lain jika ibunya menikah maka praktis hak hadhanahnya itu gugur lalu berpindah kepada ayahnya. Karena jika ibunya menikah dengan orang lain, besar kemungkinan

11

Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, (Bandung : pustaka Setia, 1999), hal. 172

12

Syaikh Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan Abi Dawud (Riyadh : Maktabah al-Ma’arif li al-Nasyir wa al-Tawzi’ 1998), juz,II, hal. 32


(32)

20

perhatiannya akan beralih kepada suaminya yang baru, dan mengalahkan bahkan bukan tidak mungkin ia akan mengorbankan anaknya sendiri.

C. Syarat-Syarat Hadhinah dan Hadhin

Masalah yang paling pokok dalam pemeliharaan anak adalah syarat-syarat orang yang akan menjadi hadhin. Karena sifat seorang pengasuh akan berpengaruh kuat terhadap anak yang menjadi asuhannya, Seorang hadhinah (ibu asuh) yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan. Kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya.13

Syarat-syarat itu adalah:

1. Baliqh (dewasa), karena anak kecil dan meskipun mumayyiz, masih membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya. Seseorang yang belum dapat mengasuh dirinya tidaklah dapat mengasuh orang lain.14

2. Berakal sehat (tidak gila) karena itu bagi orang yang kurang akal tidak boleh mengasuh anak, karena mereka itu tidak dapat mengontrol dan mengurusi dirinya sendiri. Oleh karena itu ia tidak boleh diserahi dan dibebani mengurusi orang lain. Ulama Mazhab Maliki menambahkannya dengan cerdas, dan ulama Mazhab

13

Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 172

14


(33)

Hambali menambahkan bahwa pengasuh tidak menderita penyakit yang berbahaya/menular.15

3. Mampu mendidik, mampu melaksanakan tugas-tugas mengasuh dan cekatan, karena itu orang yang buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemaskan jasmaninya tidak boleh menjadi pengasuh. Tidak berusia lanjut, yang bahkan ia sendiri perlu mendapat perawatan, atau bukan orang yang tinggal dengan orang yang sakit menular atau bahkan orang yang suka marah kepada anak-anak, sekalipun kerabatnya sendiri. Keadaan yang demikian tidak akan bermanfaat kepada anak yang diasuhnya, bahkan akan membahayakan terhadap kedewasaan anak.

4. Amanah atau berakhlak mulia, seorang yang suka berbuat jahat dan munkar tidak layak diberi tugas mengasuh, seperti orang yang suka mencuri dan mabuk-mabukan, karena perbuatan mengasuh besar pengaruhnya kepada anak asuhannya. Dikhawatirkan nantinya anak dapat meniru perilaku dan perbuatan pengasuhnya. 5. Beragama Islam, orang kafir tidak boleh menjadi pengasuh anak yang beragama

Islam. Sebab pemeliharaan anak merupakan perwalian, sedangkan Allah tidak

membolehkan orang mu’min berada dalam penguasaan orang kafir. Firman Allah

dalam surat An-Nisa ayat 144, menyatakan:















































15


(34)

22

Artinya: Hai orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang-orang-orang mukmin. Inginkah kamu Mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)

Sedangkan Allah swt tidak membolehkan seorang mukmin dibawah perwalian orang kafir, Allah swt berfirman dalam surat An-Nisa ayat 141:

….



















Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (Q.S Annisa Ayat 141)

Golongan Hanafiyah, Ibnu Qasim, Maliki serta Abi Saur berpendapat bahwa hadhnah tetap dapat dilakukan oleh pengasuh yang kafir, sekalipun si anak kecil itu muslim sebab hadhanah tidak lebih dari menyusui dan melayani anak kecil.16 Persamaan agama tidaklah menjadi syarat bagi hadhinah kecuali jika dikhawatirkan ia akan memalingkan si anak dari agama Islam. Sebab, hal yang paling penting dalam hadhanah ialah hadhinah mempunyai rasa cinta dan kasih sayang kepada anak serta bersedia memelihara anak dengan sebaik-baiknya.17

Para ahli Fikih berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya anak diasuh oleh nonmuslim, Ulama mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali mensyaratkan bahwa pengasuh seorang muslimah atau muslim, karena orang non-Islam tidak punya kewenangan dalam mengasuh dan memimpin orang Islam, disampingkan

16

Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 177-179

17

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakaahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 222


(35)

itu juga dikhawatirkan pengasuh akan menyeret anak masuk ke dalam agamanya. Kalau orang Islam tidak ada maka (menurut Hambali) diperbolehkan kepada kafir zimmi karena kafir zimmi lebih dapat dipercaya dibandingkan kafir harbi. Namun, ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki tidak mensyaratkan pengasuh harus seorang muslimah, jika anak tersebut juga wanita. 18

Kriteria Islam disini juga termasuk sifat adil yang harus terdapat pada seseorang pengasuh. Adil dalam arti mampu menjalankan agama secara benar, dengan meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini adalah fasik yaitu tidak konsisten dalam beragama.19

Maka dari itu dari kesamaan agama antara si anak dengan pengasuhnya menjadi syarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, karena tugas dari

hadhin adalah tidak hanya memberikan pelayanan lahiriyah kepada si anak, tetapi juga bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kebaikan aqidah dan akhlaknya.

6. Ibunya belum menikah lagi, jika si ibu telah kawin lagi dengan laki-laki lain maka hak hadhanahnya hilang. Karena ia akan disibukkan dengan suaminya. Sehingga untuk mengasuh anak itu hampir tidak ada waktu lagi, bila ibunya kawin dengan laki-laki yang ada hubungan mahram dengan anak tersebut boleh mengasuh dan

18

Abdurrahman al-Jaziry, Al-Fiqh Ala al-Mazahib Al-Arba‟ah, (Beirut: Dar al-Fikr), Jilid IV, hal. 596-598

19

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh dan Munakahat dan UU Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hal. 329


(36)

24

memeliharanya dan hak hadhanahnya tidak hilang.20 Sebab paman itu masih berhak dalam masalah hadhanah. Dan juga karena hubungannya dan kekerabatannya dengan anak kecil tersebut sehingga dengan begitu akan bisa bersikap mengasihi serta memperhatikan haknya, maka akan terjadilah kerjasama yang sempurna di dalam menjaga si anak kecil itu, antara si ibu dengan suami yang baru ini.21 Berbeda halnya kalau suaminya itu orang lain. Sesungguhnya jika laki-laki lain ini mengawini ibu dari anak kecil tadi, maka laki-laki tadi tidak bisa mengasihinya dan tidak dapat memperhatikan kepentingannya dengan baik karenanya, nanti dapat mengakibatkan suasana tanpa kasih sayang, udara yang mesra dan keadaanya yang dapat menumbuhkan bakat dan pembawaan anak dengan baik.

Disebutkan didalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang berbunyi:

22

Artinya: “ Dari Abdullah bin Amr : Bahwa ada seseorang perempuan berkata :

“Ya Rasulullah! Sesungguhnya anakku laki-laki ini perutkulah yang jadi bejananya, lambungku yang jadi pelindungnya dan susuku yang jadi minumannya. Tiba-tiba sekarang ayahnya mau mencabutnya

20

Al- Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 2, (Darul Fattah: Kairo, tth), hal. 355

21

Al- Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 2, hal. 355

22

Syaikh Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan Abi Dawud (Riyadh : Maktabah al-Ma’arif li al-Nasyir wa al-Tawzi’ 1998), juz,II, hal. 32


(37)

dariku.”Maka Rasulullah saw bersabda:“Engkau lebih berhak terhadapnya, selama engkau belum kawin lagi “ .(HR Abu Dawud). 7. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan

dengan tuannya, sehingga ia tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil. Ibn Qayyim berkata : tentang syarat merdeka ini, tidaklah ada dalilnya yang meyakinkan hati. Hanya murid-murid dari tiga mazhablah yang menetapkannya. Dan Imam Malik berkata tentang seorang laki-laki yang merdeka yang punya anak dari budak perempuanya: sesungguhnya ibunya lebih berhak selama ibunya tidak dijual, maka hadhanahnya berpindah, dan ayahnyalah yang lebih berhak atas anaknya.23

Imam madzhab yang empat berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat yang menjadi pengasuh, perbedaan tersebut adalah :24

Imam Hanafi berpendapat bahwa, syarat-syarat pengasuh adalah:

1. Tidak murtad, sedang Islam tidak menjadikan syarat-syarat bagi seorang pengasuh.

2. Tidak Fasik, seperti pencuri atau pemabuk, orang seperti ini tidak layak diberi tugas mengasuh anak kecil.

3. Tidak kawin selain kepada bapaknya, kecuali kawin kepada orang yang sayang kepada anak.

23

Al- Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 2, (Darul Fattah: Kairo, tth), hal. 355

24

Abdurrahman al-Jaziry, Al-Fiqh Ala al- Mazahib Al-Arba‟ah, (Beirut: Dar al-Fikr), Jilid IV, hal. 596


(38)

26

4. Senantiasa memperhatikan anak asuhannya, (orang yang tidak suka meninggalkan anak).

5. Bapaknya tidak dalam keadaan susah yang akan memperlambat biaya pemeliharaan anak.

6. Merdeka, (bukan budak belian).

Menurut pendapat Imam Syafi’i syarat-syarat seorang pengasuh adalah :

1. Berakal, tidak gila kecuali gilanya itu kadang-kadang, seperti satu hari dalam satu tahun.

2. Merdeka, tidak ada hak memelihara bagi hamba sahaya. 3. Islam, tidak ada hak memelihara bagi orang kafir.

4. „Iffah (dapat menjaga kesucian diri), tidak ada hak pemeliharaan bagi orang yang fasik, walaupun hanya meninggalkan shalat.

5. Amanah dan dapat dipercaya dalam segala urusan. 6. Bertempat tinggal di tempat anak asuhanya.

7. Ibunya tidak kawin kepada selain mahram anak yang menjadi asuhannya itu. Sedangkan pendapat Imam Hambali adalah sebagai berikut :

1. Berakal, tidak ada hak hadhanah bagi orang gila. 2. Merdeka, bukan hamba sahaya.

3. Tidak lemah, seperti buta yang dapat menghalangi maksud hadhanah. 4. Tidak mempunyai penyakit menular, seperti lepra.

5. Tidak menikah dengan orang lain kecuali dengan kerabat (mahram), seperti paman.


(39)

Adapun Imam Malik syarat-syarat pengasuh itu meliputi : 1. Berakal.

2. Mampu menjaga anak yang menjadi asuhannya, tidak ada hak hadhanah bagi orang lemah, seperti buta.

3. Berada di tempat anak yang menjadi asuhannya, sampai anak asuhannya dewasa. 4. Dapat dipercaya, tidak ada hak hadhanah bagi orang fasik, seperti pemabuk

pencuri dan pezina.

5. Tidak terkena penyakit menular, yang dapat menular kepada anak asuhannya seperti kusta.

6. Hemat, tidak ada hak hadhanah bagi orang boros.

7. Tidak menikah dengan orang lain kecuali dengan mahramnya, seperti paman.25 Kemudian syarat-syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) adalah sebagai berikut:26

1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.

2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah pengasuhan siapapun.

25

Abdurrahman al-Jaziry, Al-Fiqh Ala al- Mazahib Al-Arba‟ah, hal. 596

26

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh dan Munakahat dan UU Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hal. 329


(40)

28

Tetapi didalam Peraturan Perundang-Undang Perkawinan di Indonesia baik itu didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ataupun Inpres nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam tidak ada satupun pasal yang membahas masalah mengenai syarat-syarat atau persyaratan bagi sesorang yang berhak mendapatkan hak asuh anak. Di dalam Kompilasi Hukum Islam hanya mengatur bahwa apabila si pemegang hak asuh anak tidak mampu menjaga keselamatan jasmani dan rohani si anak, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanahnya kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanahnya pula. Sebagaimana dalam pasal 156 huruf c disebutkan :

(c) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.27

D. Pihak-Pihak yang Berhak dalam Hadhanah

Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu, memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya, seperti makan, pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan bangun dan tidur. Oleh karena itu, orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu baik (saleh) di kemudian hari. Di

27

Abduraahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), hal. 151


(41)

samping itu juga, ia harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu.28

Ulama fikih berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang memiliki hak

hadhanah tersebut, apakah hak hadhanah milik wanita (ibu atau yang mewakilinya) atau hak anak yang diasuh.29 Jika wanita lebih berhak mendidik dan mengasuh anak daripada laki-laki, maka sesuai ijma ulama ibu kandung si anak tentu lebih berhak mengasuh anaknya setelah terjadi perpisahan (antara suami dan istrinya), baik karena talak, meninggalnya suami atau suami menikah dengan wanita lain, karena ibu jauh memiliki kelembutan dan kasih sayang, kecuali jika ada penghalang yang menghapuskan hak si ibu untuk mengasuh anak.30

Ulama berbeda pendapat siapa yang paling berhak mengasuh anak setelah ibu kandung atau urutan hak asuh anak jika ternyata ada penyebab yang menghalangi ibu kandung untuk mendapatkan hak asuhnya. Perbedaan pendapat ini disebabkan tidak adanya dalil qath‟i yang secara tegas membahas masalah ini. Hanya saja keempat imam madzhab lebih mendahulukan kalangan kerabat dari pihak ibu dibandingkan dari kalangan kerabat dari pihak ayah dalam tingkat kerabatan yang sama (misalnya mendahulukan nenek dari pihak ibu dari pada nenek pihak ayah).

28

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakaahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, hal. 217-218

29

Andi Syamsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 116

30

Aby Yazid, “Hadhanah-Hak Asuh Anak”, artikel ini diakses pada 09 Februari 2011 dari


(42)

30

Maka dari itu para Ulama memberikan urutan dan skala prioritas hak mengasuh anak bagi para wanita, sesuai dengan kemaslahatan anak tersebut. Menurut mereka, naluri kewanitaan mereka lebih sesuai untuk merawat dan mendidik anak, serta adanya kesabaran mereka dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak lebih tinggi dibanding kesabaran seorang laki-laki.31

Urut-urutan prioritas orang yang berhak mengasuh anak, menurut ulama fikih adalah sebagai berikut:

a. Kalangan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang paling berhak mengasuh anak adalah:32

1. Ibu kandungnya sendiri 2. Nenek dari pihak ibu 3. Nenek dari pihak ayah

4. Saudara perempuan (kakak perempuan) 5. Bibi dari pihak ibu

6. Anak perempuan saudara perempuan 7. Anak perempuan saudara laki-laki 8. Bibi dari pihak ayah.

b. Kalangan Mazhab Maliki berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari:

31

Andi Syamsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, hal. 118

32 Aby Yazid, “

Hadhanah-Hak Asuh Anak”, artikel ini diakses pada 09 Februari 2011 dari


(43)

1. Ibu kandung

2. Nenek dari pihak ibu 3. Bibi dari pihak ibu 4. Nenek dari pihak ayah 5. Saudara perempuan 6. Bibi dari pihak ayah

7. Anak perempuan dari saudara laki-laki 8. Penerima wasiat

9. Dan kerabat lain (ashabah) yang lebih utama.

c. Kalangan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari:33 1. Ibu kandung

2. Nenek dari pihak ibu 3. Nenek dari pihak ayah 4. Saudara perempuan 5. Bibi dari pihak ibu

6. Anak perempuan dari saudara laki-laki 7. Anak perempuan dari saudara perempuan 8. Bibi dari pihak ayah.

33

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Penerjemah: Masykur A.B. dkk, Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Khomsah, (Jakarta: Lentera, 2006), hal. 415-416


(44)

32

9. Dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi si anak yang mendapat bagian warisan ashabah sesuai dengan urutan pembagian harta warisan. Pendapat

Mazhab Syafi’I sama dengan pendapat mazhab Hanafi.

d. Kalangan Madzhab Hanbali berpendapatbahwa hak anak asuh dimulai dari:34 1. Ibu kandung

2. Nenek dari pihak ibu 3. Kakek dan ibu kakek 4. Bibi dari kedua orang tua 5. Saudara perempuan seibu 6. Saudara perempuan seayah 7. Bibi dari ibu kedua orangtua 8. Bibinya ibu

9. Bibinya ayah

10.Bibinya ibu dari jalur ibu 11.Bibinya ayah dari jalur ibu 12.Bibinya ayah dari pihak ayah

13.Anak perempuan dari saudara laki-laki

14.Anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah

15.Kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.

34


(45)

Apabila saudara perempuannya pun dianggap tidak layak maka hak

hadhanahnya pindah ke pihak laki-laki dengan urutan prioritas sebagai berikut:35 a. Ayah

b. Kakek yang terdekat c. Saudara seayah dan seibu

d. Saudara lelaki ataupun kerabat lainnya dari pihak ayah dimulai dari jarak yang paling dekat.

Jika para wali berdasarkan hukum ini tidak ada juga, maka hakim atau pengadilan menunjuk orang yang akan melakukan hadhanah sekaligus menjadi walinya.

a) Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan.36

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu. Bila bapak tidak memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

35 Aby Yazid, “

Hadhanah-Hak Asuh Anak”, artikel ini diakses pada 09 Februari 2011 dari

http://abiyazid.woordpress.com/2008/02/.../hadhanah-hak-asuh-anak/-html

36

R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT.Pradnya Paramita), hal. 549


(46)

34

b) Menurut pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam:

“pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya”.

Dengan demikian jelas bahwa anak yang belum dewasa tidak dapat mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum karena itu segala perbuatan yang menyangkut kepentingan anak tetap menjadi tanggung jawab orang tua.

E. Masa Hadhanah

Dalam literatur fiqih disebutkan dua periode bagi anak dalam kaitannya dengan hadhanah, yaitu masa sebelum mumayyiz, dan masa sesudah mumayyiz, periode sebelum mumayyiz adalah dari waktu lahir sampai usia menjelang tujuh tahun atau delapan tahun. Pada masa tersebut pada umumnya seorang anak belum lagi

mumayyiz atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya.37

Periode yang kedua yaitu periode mumayyiz, yaitu masa dimana usia anak tujuh tahun sampai menjelang baliq berakal. Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan masa yang berbahaya dan mana yang bermanfaat bagi dirinya.38

37 Ali Abdulloh,”

Hadhanah”, artikel ini diakses pada 09 Februari 2011 dari http:// aliabdulloh.blogspot.com/2010/01/hadhanah/html.

38

Ali Abdulloh,”Hadhanah”, artikel ini diakses pada 09 Februari 2011 dari http:// aliabdulloh.blogspot.com/2010/01/hadhanah/html.


(47)

Beberapa ulama madzhab berselisih pendapat mengenai masa asuh anak, karena didalam Al-Qur’an tidak terdapat ayat-ayat dan hadis yang menerangkan tentang masa hadhanah dan juga kapan berakhirnya masa hadhanah seorang anak akibat perceraian, perbedaan tersebut diantara seperti39:

Imam Syafi’i berpendapat, tidak ada batasan tertentu bagi asuhan. Anak tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibunya atau ayahnya. Kalau si anak sudah sampai pada tingkat ini, dia disuruh memilih apakah bersama ibu atau ayahnya.

Imam Hanafi berpendapat, bahwa masa asuhan tujuh tahun untuk laki-laki, dan Sembilan tahun untuk perempuan. Mereka menganggap bagi perempuan lebih lama, sebab agar dia dapat menirukan kebiasaan-kebiasaan kewanitaan dari perempuan (ibu) yang mengasuhnya.40

Imam maliki berpendapat, bahwa masa asuhan, anak laki-laki adalah sejak dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga menikah.

Imam hambali berpendapat, bahwa masa asuhan anak laki-laki dua tahun, sedang anak perempuan tujuh tahun, sesudah itu si anak disuruh memilih apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya, lalu si anak tinggal bersama orang yang dipilihnya itu.41

39

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, hal. 417-418

40

Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 185

41


(48)

36

Berdasarkan pendapat-pendapat para ulama diatas, tampak bahwa tidak ada ketentuan-ketentuan yang jelas mengenai masa pengasuhan anak (hadhanah). Pada umumnya para fukaha sepakat usia pengasuhan anak, dibatasi sampai anak tersebut sudah mencapai usia mumayyiz.

Kemudian didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan pasal 47 menjelaskan “anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.42

Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang kapan berakhirnya masa hadahanah :43

a. Di dalam pasal 105 menjelaskan Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

b. Pasal 98 ayat 1 menjelaskan batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

Dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 47 menyatakan anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.

42

R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT.Pradnya Paramita), h. 551

43


(49)

37

BAB III

PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR

A. Sejarah Singkat

Di wilayah Nusantara, sebelum pemerintahan kolonial Belanda terdapat empat macam lembaga Pengadilan, Pengadilan Pradata, Padu, Adat dan Peradilan Serambi. Pengadilan Pradata merupakan Pengadilan Kerajaan yang menangani kasus-kasus tindak pidana dan kasus-kasus makar yang ditangani oleh Raja secara langsung. Sedangkan Pengadilan Padu ditangani oleh pejabat yang ditunjuk oleh Raja menangani kasus-kasus perdata dan pidana ringan.

Pengadilan Adat menangani yang berhubungan dengan sengketa masyarakat adat ditangani oleh Kepala Adat kebanyakan terdapat di wilayah Indonesia diluar Pulau Jawa. Pengadilan Serambi, pada masa Sultan Agung memerintah kerajaan Mataram, mengggantikan pengadilan Pradata yang kewenangannya meliputi kasus pidana dan perdata. Kekuasaan Pengadilan serambi dijabat oleh Raja, akan tetapi dalam prakteknya ditangani oleh para Penghulu yang diangkat oleh Raja.1

Pada awal pemerintahan Kolonial Belanda, keberadaan Pengadilan Agama masih tetap dipertahankan. Bahkan keberadaanya diakui dalam Staats Blaad 1882 Nomor 152 tanggal 19 Januari 1882 untuk Pengadilan Agama di wilayah Jawa dan Madura dan dalam Staatsblaad 1937 Nomor 638 untuk Pengadilan Agama diwilayah

1


(50)

38

Kalimantan Selatan dan Timur, meliputi perkawinan, perceraian, waris dan wakaf. Sejak 1 april 1937, kewenangan Pengadilan Agama diwilayah Jawa dan Madura dipersempit hanya berwenang mengadili kasus perkawinan dan perceraian, sedangkan kasus waris dan wakaf menjadi wewenang Ladraad (sekarang Pengadilan Negeri).2

Sebagai kelanjutan dari sikap pemerintahan Hindia Belanda terhadap Peradilan Agama, pada tahun 1982 dengan ketetapan Komisaris Jenderal tanggal 12 maret 1828 nomor 17 khusus untuk Jakarta ditiap-tiap distrik dibentuk satu majelis distrik yang terdiri dari :

1. Komandan Distrik sebagai Ketua

2. Para penghulu masjid dan Kepala Wilayah sebagai anggota3

Majelis ada perbedaan semangat dan arti terhadap pasal 13 Staatsblad 1820 Nomor 22, maka melalui resolusi tanggal 1 Desember 1835 Pemerintah dimasa itu mengeluarkan penjelasan pasal 13 Staatsblad Nomor 22 tahun 1820 sebagai berikut :4

“Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa sejenis yang harus diputus menurut hukum Islam, maka “pendeta” memberi keputusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembiyaan yang timbul dari

keputusan dari para “pendeta” itu harus diajukan kepada pengadilan

-pengadilan biasa”.

Penjelasan ini dilatarbelakangi pula oleh adanya kehendak dari pemerintah Hindia Belanda untuk memberlakukan politik konkordansi dalam bidang hukum,

2

R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, 1970, hal. 68

3

Dadang Muttaqien, dkk, Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UI Press, 1999), h. 41.

4


(51)

karena beranggapan bahwa bahwa hukum Eropa jauh lebih baik dari hukum yang telah ada di Indonesia. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1838 di Belanda diberlakukan Burgerlijk Wetboek (BW).

Akan tetapi dalam rangka pelaksanaan politik konkordansi itu, Mr. Scholten van Oud Haarlem yang menjadi Ketua Komisi penyesuain Undang-Undang Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda membuat sebuah nota kepada pemerintahannya, dalam nota itu dikatakan bahwa5 :

Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan mungkin juga perlawanan jika diadakan pelanggaran terhadap agama orang Bumi Putera, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap

dalam lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat mereka”.

Secara khusus, sejarah lahirnya Pengadilan Agama kelas 1A Jakarta Timur di pimpin oleh menteri Agama RI yang tersebut dalam keputusan Menteri Agama RI Nomor 67 Tahun 1963 jo Nomor 4 Tahun 1967.6

Adapun kronologis Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah Sebagai Berikut: 1) Pada saat itu, Pengadilan Agama di tanah Betawi hanya memiliki satu Pengadilan

Agama yaitu “Penghadilan Agama Istimewa Jakarta Raya” yang dibantu oleh dua

(2) kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah. Kemudian warga ibukota ini kian bertambah, sehingga terbitlah Keputusan Menteri Agama Nomor 67

Tahun 1963 jo Nomor 4 Tahun 1967 yang berbunyi antara lain: “Membubarkan

5

www.pa-jakartatimur.net (diakses pada 09 februari 2011)

6


(52)

40

kantor-kantor cabang Pengadilan Agama (bentuk lama) dalam daerah khusus Ibukota Jakarta Raya. (Keputusan Menteri Agama Nomor 67 Tahun 1963 jo Nomor 4 Tahun 1967)7

2) Pada tahun 1966 Gubernur kepala daerah khusus Ibukota Jakarta melalui keputusan beliau Nomor Ib.3/1/1/1966 tanggal 12 Agustus 1966 membentuk Ibukota Negara ini menjadi 5 wilayah dengan sebutan Kota Administratif. Membentuk kantor-kantor Cabang Pengadilan Agama yang baru sederajat atau setara dengan Kantor Agama tingkat II, yaitu :

a) Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Pusat b) Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur c) Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat d) Kntor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dan e) Kantor Cabang Pengadilan Agam Jakarta Utara.

3) Pengadilan Agama istimewa daerah khusus Ibukota Jakarta Raya yang daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan daerah Ibukota Jakarta Raya, adalah kantor induk Pengadilan Agama Jakarta Raya,ditetapkan berkedudukan di kota Jakarta Pusat dan secara khusus bertugas pula sebagai Pengadilan Agama sehari-hari bagi wilayah kekuasaan Jakarta Pusat.8

Berdasarkan pertimbangan tersebut, melalui keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor Ib.3/I/I1966 tanggal 12 Agustus 1966, maka

7

Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Timur Tahun 2009, hal.32

8


(53)

pada tanggal 18 Pebruari 1967 diresmikan sebutan maupun operasional Pengadilan Agama di lima wilayah Daerah Khusus Ibukota, terutama Pengadilan Agama Jakarta Timur menjadi berikut:

1. Pengadilan Agama Jakarta Pusat 2. Pengadilan Agama Jakarta Utara 3. Pengadilan Agama Jakarta Barat 4. Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dan 5. Pengadilan Agama Jakarta Timur

Pengadilan Agama Jakarta Timur, terbentuk dan berdiri berdasarkan keputusan menteri Agama RI Nomor 4 tahun 1967 tanggal 17 Januari 1967. Pendirian Pengadilan Agama diwilayah hukum daerah ibukota (DKI) Jakarta.9

B. Struktur Organisasi

Berdasarkan surat keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 004 Tahun 1992 tentang susunan organisasi serta surat keputusan Menteri Agama RI Nomor 303 Tahun 1990 tentang susunan organisasi ditetapkan bahwa struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur sebagaimana berlaku pada Pengadilan Agama di lingkungan Departemen Agama RI, adalah sebagai berikut:10

a. Ketua : Drs. H. Wakhidun AR, SH, M. Hum

b. Wakil Ketua : Drs. H. Muh. Abduh Sulaeman, SH, MH

9

Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Timur Tahun 2009, hal. 35

10


(54)

42

c. Dewan Hakim :

- Dra. Hj. Saniyah KH

- Drs. Abu semen Bastoni, SH - Drs. H Fauzi M Nawawi - Dra. Nurroh Sunnah, SH - Hj. Nani Setyawati, SH

- Drs.HM. Fadjri Rivai, SH, MH - Hj. Yustimar, SH

- Drs. Nasrul

- Elvin Nailana, SH.MH - Drs. Mahmudin

- Drs. Uwaisul Qumy

- Drs. Achmad Harun Shofa, SH - H. Abdillah, SH

- Drs. Achmad Busyro, MH - Hj. Munifah Djam’an, SH

d. Panitera/Sekertaris : Drs. H. Syaiful Anwar

e. Wakil Sekertaris : Drs. H. Ujang Mukhlis, SH, MH f. Wakil Panitera : H. Hafani Baihaqi, Lc, SH g. Ka. Sub. Keuangan : Sanjaya Langgeng Santoso h. Ka. Sub. Kepegawaian : Hamim Nafan, SHI


(55)

i. Ka. Sub. Umum : Muhammad Zuhri

j. Panmud Permohonan : H. Bangbang Sri Pancala, SH k. Panmud Gugatan : Ali Mushofa, SH

l. Panmud Hukum : Pahrurrozi, SH m. Panitera Pengganti :

- Drs. Ade Faqih - Siti Makbullah, SH - Aday, S.Ag

- Syamsul Rizal, SH - Sumaryuni, SH - Hamdani, SHI - Mastanah, SH - Titiek Indriyaty, SH - Dra. Siti Nurhayati - Idris M Ali, SH - Nova Asrul Lutfi, SH - Hj. Spa Icthtiyatun, SH. MH

n. Jurusita :

- Moch. Sidik - Zulkipli


(56)

44

m. Jurusita Pengganti :

- Burhamzah - Budi Sukirno - Obang Hasyim. A - Ikbal Bisry - Sri Mulyati - Veny Rarmawati - Rahmah Sufiyah, SH - Muhammad Sayhon - Tati Yulianti

C. Tugas dan Wewenang

Wilayah hukum/yuridikasi yang dimaksud pada pembahasan ini bermuara pada istilah kewenangan memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan suatu perkara bagi pengadilan.

Peradilan agama mempunyai wewenang atau kekuasaan atau sering disebut kompetensi yang menyangkut dua hal:11

1. Kompetensi relatif yaitu kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan.

11

Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 137


(57)

Wilayah kekuasaan hukum (yuridiksi) Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah wilayah daerah Kotamadya Jakarta Timur yang terdiri dari 10 (sepuluh) kecamatan dan 65 kelurahan.

Adapun batas-batas wilayahnya adalah :

1.Sebelah utara dengan : Kodya Jakarta Utara dan Kodya Jakarta Pusat 2. Sebelah barat dengan : Kodya Jakarta Selatan

3. Sebelah selatan dengan : Kabupaten Bogor /Kodya Depok 4.Sebelah timur dengan : Kabupaten Bekasi/Kota Bekasi.12

Luas wilayah : 18.877.77 Ha. Jumlah penduduknya 3.050.713 jiwa (besumber data BAPEKO TAHUN 2003). Jumlah penduduk yang beragama Islam 2.569.390 jiwa (bersumber data Depag. Tahun 2003). Kodya Jakarta Timur adalah wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Timur, adapun 10 wilayah kecamatan tersebut adalah sebagai berikut

1) Kecamatan Matraman, terdiri dai 6 (enam) kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 153.484 jiwa :

a. Kelurahan Kebon Manggis b. Kelurahan Palmerah c. Kelurahan Pisangan Baru d. Kelurahan Kayu Manis e. Kelurahan Utan Kayu Utara f. Kelurahan Utan Kayu Utara

12


(1)

74

PEDOMAN WAWANCARA

Responden : Anggota Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur

1. Bagaimana proses pengambilan keputusan di Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam masalah pemeliharaan anak atau hadhanah ketika terjadi perceraian?

2. Apa yang menjadi pertimbangan majelis hakim dalam putusan No. 1829.Pdt.G/2008/PAJT, sehigga hak asuh anak yang belum mumayyiz dilimpahkan kepada bapak?

3. Apa landasan hukum yang digunakan hakim dalam melimpahkan hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada bapak dalam perkara No. 1829.Pdt.G/2008/PAJT? 4. Bagaimana kebijakan majelis hakim dalam memutuskan perkara hadhanah? 5. Menurut ibu sebagai majelis hakim, dalam hal faktor-faktor apa saja kasus

hadhanah yang ghoiru mumayyiz bias dilimpahkan dan ditetapkan hak pemeliharaan dan pengasuhannya kepada bapak?

6. Bagaimana jika kedua orang tua si anak adalah muslim, kemudian setelah terjadi perceraian si ibu sibuk bekerja dan tidak mampu merawat dan mendidiknya lalu si ibu menyerahkan anaknya kepada neneknya yang non muslim, tetepi bapak lebih memperhatikan anaknya dibandingkan ibu dan neneknya lalu kepada siapa bapak/ibu hakim memutuskan hak pengasuhanya?dan apa yang menjadi pertimbanganya?


(2)

75

7. Didalam masalah hadhanah, yang paling dipentingkan adalah kemaslahatan bagi si anak, bagaimana mewujudkan hal tersebut ketika orang tua bercerai, khususnya dalam putusan No. 1829.Pdt.G/2008/PAJT?


(3)

76

HASIL WAWANCARA

Nama Responden : Hj. Munifah Djam’an, SH Jabatan : Hakim Anggota

Di tempat : Ruang Mediasi Pengadilan Agama Jakarta Timur

1. Bagaimana proses pengambilan keputusan di Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam masalah pemeliharaan anak atau hadhanah ketika terjadi perceraian?

Jawab : Proses penyelesaian dalam masalah pemeliharaan anak masalah ini prosesnya sama seperti perkara biasa yang mana didahulukan dengan surat gugatan, kemudian upaya mediasi atau perdamaian dari hakim, jawab menjawab dari penggugat dan tergugat, pembuktian dan terakhir kesimpulan dalam masalah ini.

2. Apa yang menjadi pertimbangan majelis hakim dalam putusan No. 1829.Pdt.G/2008/PAJT, sehigga hak asuh anak yang belum mumayyiz limpahkan kepada bapak?

Jawab : Yang menjadi pertimbangan majelis hakim disini adalah untuk kepentingan anak atau kemaslahatan anak tersebut, karena majelis hakim melihat tidak adanya kecakapan ibu dalam mengurus anak, dan tidak adanya kemauan dalam mendidik anak, sehingga anak tersebut diserahkan kepada ibu kandungnya (nenek dari anak).


(4)

77

3. Apa landasan hukum yang digunakan hakim dalam melimpahkan hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada bapak dalam perkara No. 1829.Pdt.G/2008/PAJT?

Jawab: Dalam hal ini hakim menggunakan pasal 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 anak berhak diasuh orang tuanya sendiri, kecuali ada hal-hal yang menentukan lain, maksudnya orang tua atau si ibu sudah tidak mampu dan sudah tidak memperdulikan anaknya seperti kasus dalam putusan ini, dan juga berdasarkan pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan juga berdasarkan pasal 105 huruf (a) KHI inpres No. 1 Tahun 1974.

4. Bagaimana kebijakan majelis hakim dalam memutuskan perkara hadhanah? Jawab : Kebijakan hakim dalam memutuskan perkara hadhanah sudah sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku dan sesuai dalam kasus atau perkara ini. Pada perkara hadhanah No 1829 kami telah mengambil Undang-Undang Perlindungan anak karena untuk kepentingan kemaslhatan anak tersebut, selanjutnya kami mengambil dari beberapa kitab fiqih, salah satunya ialah kitab fiqih sunnah karangan sayyid sabiq dan juga kitab fiqih yang lain yang didalamnya membahas mengenai syarat-syarat hadhanah salahsatunya adalah amanah, mampu mendidik, beragama Islam, dan juga sesuai dengan keterangan-keterangan para saksi.

5. Menurut ibu sebagai majelis hakim, dalam hal faktor-faktor apa saja kasus hadhanah yang ghoiru mumayyiz bias dilimpahkan dan ditetapkan hak pemeliharaan dan pengasuhannya kepada bapak?


(5)

Jawab : Faktor-faktor yang mana hak asuh anak bias dilimpahkan dan ditetapkan hak pemeliharaannya kepada bapak disebabkan karena ibu tidak bisa mengurus anak dengan baik, tidak amanah, tidak mempunyai waktu dan kesempatan untuk memperhatikan anak, dan tidak mempunyai tempat tinggal tetap yang selalu berpindah-pindah sehingga bapak sulit sekali untuk menemuinya.

6. Bagaimana jika kedua orang tua si anak adalah muslim, kemudian setelah terjadi perceraian si ibu sibuk bekerja dan tidak mampu merawat dan mendidiknya lalu si ibu menyerahkan anaknya kepada neneknya yang non muslim, tetepi bapak lebih memperhatikan anaknya dibandingkan ibu dan neneknya lalu kepada siapa bapak/ibu hakim memutuskan hak pengasuhanya?dan apa yang menjadi pertimbanganya?

Jawab : Dalam masalah kasus ini sangat kasuistik dan tidak adanya ketentuan yang mengatur apakah orang Islam atau orang non muslim yang boleh mengasuh anak, tetapi dalam masalah ini majelis hakim telah mempertimbangkan adanya kekhawatiran, tidak adanya kebakuan hukum, dan juga majelis hakim melihat bahwa anak yang dilahirkan dari kedua orang tua muslim dan juga pernikahan dengan cara Islam, jadi kami melihat disini kembali dari sumber awal anak itu berasal dari pernikahan secara Islam, dan disini juga kami memutuskan lebih mementingkan kemaslahatan anak dan tidak adanya pluralisme dalam agama.


(6)

79

7. Didalam masalah hadhanah, yang paling dipentingkan adalah kemaslahatan bagi si anak, bagaimana mewujudkan hal tersebut ketika orang tua bercerai, khususnya dalam putusan No. 1829.Pdt.G/2008/PAJT?

Jawab : Dalam mewujudkannya si anak dapat dilihat dari kesenangan bathin, kesenangan bathin dalam hal ini dasarnya adalah nafkah lahiriyah dari bapak, apabila tidak ada kesenangan bathin nafkah tidak akan dapat mewujudkan kepentingan-kepentingan dalam mengurusi anak tersebut.

8. Apakah hadhanah dalam hal ini menguntungkan atau merugikan bagi anak? Jawab : Jelas hadhanah dalam hal ini menguntungkan si anak, khususnya dalam perkembangan jiwa anak, pendidikan anak, akhlak anak, apabila diasuh oleh orang yang bertanggung jawab dan selalu memberikan kasih sayang, perhatian, pendidikan yang baik, maka anak tersebut tidak akan merasa kehilangan kasih sayang dan pendidik dari orang tua yang mengasuhnya, kemudian hadhanah dapat juga merugikan bagi anak, apabila orang yang mengasuhnya tidak memberikan kasih sayang bagi si anak, artinya dalam hal ini tidak terlalu peduli dan serius dalam mendidik anak karena tidak ada kemauan dalam mengasuh anaknya dan memikirkan kesibukan dirinya sendiri daripada mengurusi anak.

Responden