Metode Solid State Reaction

Polarisasi spontan merupakan sifat dasar dari semua kristal piezoelektrik dan reversibel, hanya berlaku dalam bahan ferroelektrik. Fase terbanyak ferroelektrik berasal dari fase non-polar dan semua polarisasi bersifat reorientationable. Besarnya Ps dalam kristal tunggal secara langsung berkaitan dengan pergeseran atom-atom serta pembalikannya kembali ferroelektrik dan dapat dihitung dari posisi atom dalam sel satuan jika diketahui. Adapun untuk bahan dielektrik kurva hysteresis akan menjadi terbalik, karena tidak dapat menghasilkan polarisasi spontan, sehingga kurva PE-nya menjadi sebuah garis lurus tanpa hysteresis Moulson Herbert, 2003. Material piezoelektrik yang banyak diproduksi dan diaplikasikan pada saat ini adalah PZT, karena material ini memiliki sifat-sifat piezoelektrik yang sangat baik Hussain dkk. 2009. Semakin baik sifat piezoelektriknya maka akan semakin baik pula pengaplikasiannya. Hanya saja, PZT mengandung timbal Pb lebih dari 60 Cross, 2004. PZT juga mempunyai nilai konstanta piezoeletrik d 33 = 460 pCN, faktor kopling K p = 5,56, P r = 39,2 µCcm 2 , medan koersif E c = 14,9 kVcm, dan suhu Curie yang tinggi yaitu 450 o C Donnelly et al. 2008.

2.5. Metode Solid State Reaction

Metode reaksi padatan Solid State Reaction disebut juga denga metode kering atau metode konvensional. Solid State Reaction merupakan reaksi padatan yang terjadi antar partikel yang bereaksi di atas permukaan yang dipengaruhi oleh sifat kehomogenan bahan, tekanan saat kompaksi, suhu sintering, dan lamanya waktu pemanasan. Metode padat merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk sintesa bahan anorganik mengikuti rute yang hampir universal yaitu melibatkan pemanasan komponen-komponen pada suhu tinggi dengan periode yang relatif lama. Reaksi ini melibatkan pemanasan campuran dua atau lebih padatan untuk membentuk produk yang juga berupa padatan Calton, 2009. Tahapan dari metode Solid State Reaction, yaitu: a. Blendingpenggerusan Bertujuan untuk menghomogenisasi bahan dan disertai juga dengan pengecilan butiran agar permukaan kontak antar partikel dapat lebih maksimal. Universitas Sumatera Utara b. Compactingkompaksi Bertujuan agar jarak antar butiran seminimal mungkin, sehingga memungkinkan terjadi proses difusi yang lebih cepat. c. Sinteringpemanasan Proses kalsinasi didefinisikan sebagai pengerjaan sampel pada temperatur tinggi tetapi masih dibawah titik leleh tanpa disertai penambahan reagen dengan maksud untuk mengubah bentuk senyawa dalam konsentrat. Temperatur kalsinasi berpengaruh terhadap fasa suatu zat, dimana fasa adalah bagian dalam suatu material yang berbeda dengan bagian-bagian lainnya dalam hal struktur atau komposisi Van Vlack, 1995. Berubahnya fasa dan struktur dari material akibat temperatur karena ketika suatu material dipanaskan maka akan terjadi peningkatan energi memungkinkan atom-atom bergetar pada jarak antar atom yang lebih besar Zeffry, 2015. Selain temperatur berpengaruh terhadap perubahan fasa, temperatur juga berpengaruh terhadap ukuran butir. Akibat meningkatnya temperatur maka difusi atom juga semakin meningkat, sehingga meningkat pula pembentukan nukleus-nukleus fasa baru yang sama. Antara nukleus-nukleus ini terdapat batas butir yang memisahkannya serta dipisahkan dengan pori-pori. Temperatur yang dinaikkan secara terus menerus, menyebabkan terjadi pengecilanpenghilangan pori-pori tesebut. Apabila pori-pori sangat mengecil maka mereka tidak mampu lagi mengunci batas butir terhadap pengaruh gaya pertumbuhan butir Smallman Bishop, 2000. Kalsinasi merupakan proses pemanasan suatu objek dengan tujuan membersihkan objek tersebut dari pengotor-pengotor organik. Kalsinasi perlu dilakukan karena dalam pembuatan kristal sering kali terdapat pengotor-pengotor, terutama pengotor organik Sumari et al.2008. Proses sintering adalah proses penggabungan partikel- partikel serbuk melalui peristiwa difusi pada saat suhu meningkat Callister, 1994. Pada dasarnya sintering adalah peristiwa pengecilan pori-pori antara partikel bahan, pada saat yang sama terjadi penyusutan komponen, dan Universitas Sumatera Utara diikuti oleh pertumbuhan grain serta peningkatan ikatan antar partikel yang berdekatan, sehingga menghasilkan bahan yang lebih mampatkompak Richerson, 1982. Peristiwa sintering dapat dilukiskan seperti pada Gambar 2.5 Callister, 1994. Suhu sintering mempengaruhi proses penyusutan, sedangkan pengaruh waktu sintering tidak banyak. Sintering umumnya dapat terjadi di dalam produk pada suhu tidak melebihi dari setengah sampai dua pertiga dari suhu meltingnya, suhu yang membuat atom cukup mampu untuk berdifusi Ramlan, 2001. Gambar 2.5. Perubahan Struktur Mikro pada Saat Sintering Callister, 1994

2.6. Morphotropic Phase Boundary MPB