BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian faktor resiko mayor pada pasien SKA Periode Januari - Desember 2013 yang dirawat inap di RSUP H. Adam
Malik Medan diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Prevalensi faktor resiko mayor pada pasien STEMI sebesar 104 orang 65,8, NSTEMI sebesar 32 orang 20,3 dan APTS
sebesar 22 orang 13,9. 2.
Prevalensi faktor resiko mayor yang terbanyak pada pasien STEMI adalah hipertensi dengan sebesar 80 orang 50,6.
3. Prevalensi faktor resiko mayor yang terbanyak pada pasien
NSTEMI adalah hipertensi dengan sebesar 29 orang 18,9. 4.
Prevalensi faktor resiko mayor yang terbanyak pada pasien APTS adalah hipertensi dengan sebesar 18 orang 11,4.
5. Faktor resiko mayor pada pasien SKA paling banyak terdapat
pada pasien laki-laki dengan hipertensi sebesar 127 orang 80,4.
6.2 Saran
1. Diharapkan melalui penelitian ini, tenaga kesehatan dapat
mengenali dan mengawal faktor resiko mayor dari terjadinya SKA.
2. Diharapkan kepada masyarakat untuk peduli mengenai faktor
resiko mayor pada SKA dan dapat mengambil tindakan preventif.
3. Menjadi sumber informasi dalam penanggulangan SKA
4. Dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang ini dan
sebagai acuan untuk penelitian berikutnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sindroma Koroner Akut
2.1.1 Definisi Sindroma Koroner Akut
Sindroma koroner akut SKA adalah sebuah kondisi yang melibatkan ketidaknyamanan dada atau gejala lain yang disebabkan oleh
kurangnya oksigen ke otot jantung miokardium. Sindroma koroner akut ini merupakan sekumpulan manifestasi atau gejala akibat gangguan pada
arteri koronaria Torry et al, 2012.
2.2 Klasifikasi Sindroma Koroner Akut
Sebelum era fibrinolitik, infark miokardium dibagi menjadi Q- wave dan non Q-wave. Pembagian ini berdasarkan evolusi gambaran
elektrokardiogram EKG yang terjadi pada beberapa hari setelah serangan. Infark miokardium tipe Q-wave menggambarkan adanya infark
transmural. Sedangkan infark non Q-wave menggambarkan infark yang terjadi hanya pada lapisan subendokardium. Pada saat ini, istilah yang
dipakai adalah STEMI ST elevation myocardial infarction, NSTEMI non ST elevation myocardial infarction, dan angina pektoris tidak stabil
Myrtha, 2012. Oleh itu, sindroma koroner akut mencakup penyakit jantung koroner yang bervariasi mulai dari Torry et al, 2012:
i. angina pektoris tidak stabil
ii. infark miokard tanpa ST-elevasi NSTEMI
iii. infark miokard dengan ST-elevasi STEMI
Ketiganya merupakan suatu spektrum klinis yang disebut sindroma koroner akut Myrtha, 2012. Ketiga gangguan ini disebut sindroma
koroner akut karena gejala awal serta manajemen awal sering serupa Torry et al, 2012.
Ketiganya mempunyai dasar patofisiologi yang sama, hanya berbeda derajat keparahannya Myrtha, 2012.
Universitas Sumatera Utara
2.2.1 Angina Pektoris Tidak Stabil
Istilah lain yang sering digunakan untuk angina tidak stabil ATS adalah Angina preinfark, Angina dekubitus, dan Angina kresendo.
Insufisiensi koroner akut atau sindroma koroner pertengahan. Bentuk ini merupakan kelompok suatu keadaan yang dapat berubah seperti keluhan
yang bertambah progresif, sebelumnya dengan angina stabil atau angina pada pertama kali. Angina dapat terjadi pada saat istirahat maupun
bekerja. Pada patologi biasanya ditemukan daerah iskemik miokard yang mempunyai ciri tersendiri Anwar, 2004.
Sindroma ATS telah lama dikenal sebagai gejala awal dari infark miokard akut IMA. Banyak penelitian melaporkan bahwa ATS
merupakan resiko untuk terjadinya IMA dan kematian. Beberapa penelitian retrospektif menunjukkan bahwa 60-70 penderita IMA dan
60 penderita mati mendadak pada riwayat penyakitnya mengalami gejala prodroma ATS. Sedangkan penelitian jangka panjang mendapatkan
IMA terjadi pada 5-20 penderita ATS dengan tingkat kematian 14-80. ATS menarik perhatian karena letaknya di antara spektrum angina
pektoris stabil dan infark miokard, sehingga merupakan tantangan dalam upaya pencegahan terjadinya infark miokard Anwar, 2004.
Angina pektoris tidak stabil adalah suatu spektrum dari sindroma iskemik miokard akut yang berada di antara angina pektoris stabil dan
infark miokard akut. Terminologi ATS harus tercakup dalam kriteria penampilan klinis sebagai berikut Anwar, 2004:
i.Angina pertama kali Angina timbul pada saat aktifitas fisik. Baru pertama kali dialami
oleh penderita dalam priode 1 bulan terakhir ii.Angina progresif
Angina timbul saat aktifitas fisik yang berubah polanya dalam 1 bulan terakhir, yaitu menjadi lebih sering, lebih berat, lebih lama,
timbul dengan pencetus yang lebih ringan dari biasanya dan tidak
Universitas Sumatera Utara
hilang dengan cara yang biasa dilakukan. Penderita sebelumnya menderita angina pektoris stabil.
iii.Angina waktu istirahat Angina timbul tanpa didahului aktifitas fisik ataupun hal-hal yang
dapat menimbulkan peningkatan kebutuhan O
2
miokard. Lama angina sedikitnya 15 menit.
iv.Angina sesudah IMA Angina yang timbul dalam periode dini 1 bulan setelah IMA
2.2.2 Infark Miokard tanpa elevasi segmen ST
Infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST NSTEMI adalah oklusi sebagian dari arteri coroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan
miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG Farissa, 2013. Secara klinis angina pektoris tidak stabil memiliki diagnosis yang
sama dengan NSTEMI tetapi pada APTS tidak dijumpai kerusakan miokard dan dijumpai pada gambran EKG yang abnormal atau EKG
normal dan juga tidak terjadi peningkatan troponin Furqan, 2013.
2.2.3 Infark Miokard dengan elevasi segmen ST
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST ST Elevation Myocardial Infarct merupakan bagian dari spektrum sindroma koroner
akut SKA yang terdiri atas angina pektoris tidak stabil, IMA tanpa elevasi segmen ST, dan IMA dengan elevasi segmen ST Farissa, 2013.
Infark miokard akut dengan elevasi ST STEMI terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid Farissa, 2013.
2.3 Patofisiologi Sindroma Koroner Akut
Universitas Sumatera Utara
Hampir semua kasus infark miokardium disebabkan oleh aterosklerosis arteri koroner. Untuk memahaminya secara komprehensif
diperlukan pengetahuan tentang patofisiologi iskemia miokardium. Iskemia miokardium terjadi bila kebutuhan oksigen lebih besar daripada
suplai oksigen ke miokardium. Oklusi akut karena adanya trombus pada arterikoroner menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke miokardium
Gambar 1. Contoh lain, pada pasien dengan plak intrakoroner yang bersifat stabil, peningkatan frekuensi denyut jantung dapat menyebabkan
terjadinya iskemi karena meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium, tanpa diimbangi kemampuan untuk meningkatkan suplai oksigen ke
miokardium Myrtha, 2012.
Gambar 1: Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan oksigen miokardium
Jika terjadi penyempitan arteri koroner, iskemia miokardium merupakan peristiwa yang awal terjadi. Daerah subendokardial
merupakan daerah pertama yang terkena, karena berada paling jauh dari aliran darah. Jika iskemia makin parah, akan terjadi kerusakan sel
miokardium. Infark miokardium adalah nekrosis atau kematian sel miokardium. Infark miokardium dapat terjadi nontransmural terjadi pada
Universitas Sumatera Utara
sebagian lapisan atau transmural terjadi pada semua lapisan. Faktor- faktor yang berperan dalam progresi SKA dapat dilihat pada gambar 2
Myrtha, 2012.
Gambar 2: Faktor-faktor yang berperan untuk terjadinya SKA
2.3.1 Pembentukan Plak Ateroskerotik
Pada saat ini, proses terjadinya plak aterosklerotik dipahami bukan proses sederhana karena penumpukan kolesterol, tetapi telah diketahui
bahwa disfungsi endotel dan proses inflamasi juga berperan penting. Proses pembentukan plak dimulai dengan adanya disfungsi endotel
karena faktor-faktor tertentu. Pada tingkat seluler, plak terbentuk karena adanya sinyal-sinyal yang menyebabkan sel darah, seperti monosit,
melekat ke lumen pembuluh darah Myrtha, 2012.
2.3.1.1 Inisiasi Proses Aterosklerosis : Peran Endotel
Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika intima arteri besar dan arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama
hidup sampai akhirnya bermanifestasi sebagai SKA. Proses aterosklerosis ini terjadi melalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel, migrasi kolesterol
LDL low-density lipoprotein ke dalam tunika intima, respons inflamatorik, dan pembentukan kapsul fibrosis Myrtha, 2012.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa faktor resiko koroner turut berperan dalam proses aterosklerosis, antara lain hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan
merokok. Adanya infeksi dan stres oksidatif juga menyebabkan kerusakan endotel. Faktor-faktor resiko ini dapat menyebabkan kerusakan
endotel dan selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel. Disfungsi endotel memegang peranan penting dalam terjadinya proses
aterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan proses inflamasi, migrasi dan proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan akhirnya
menyebabkan pertumbuhan plak. Endotel yang mengalami disfungsi ditandai hal-hal sebagai berikut Myrtha, 2012 :
i. Berkurangnya bioavailabilitas nitrit oksida dan produksi
endothelin-1 yang berlebihan, yang mengganggu fungsi hemostasis vaskuler
ii. Peningkatan ekspresi molekul adhesif misalnya P-selektin,
molekul adhesifantarsel, dan molekul adhesif sel pembuluh darah, seperti Vascular Cell Adhesion Molecules-1 [VCAM1]
iii. Peningkatan trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa
substansi aktif lokal.
2.3.1.2 Perkembangan Proses Aterosklerosis: Peran Proses Inflamasi
Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan
molekul adhesif endotel. Jika sudah berada pada lapisan subendotel, sel- sel ini mengalami differensiasi menjadi makrofag. Makrofag akan
mencerna LDL teroksidasi yang juga berpenetrasi ke dinding arteri, berubah menjadi sel foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks
Myrtha, 2012.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3: Pembentukan fatty streaks
Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin misalnya monocyte chemoattractant protein-1, tumor
necrosis factor α, IL-1, IL-6, CD40, dan c-reactive protein yang makin mengaktifkan proses ini dengan merekrut lebih banyak makrofag, sel T,
dan sel otot polos pembuluh darah yang mensintesis komponen matriks ekstraseluler pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos pembuluh darah
bermigrasi dari tunika media menuju tunika intima, lalu mensintesis kolagen, membentuk kapsul fibrosis yang menstabilisasi plak dengan cara
membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah. Makrofag juga menghasilkan matriks metalloproteinase MMPs, enzim yang mencerna
matriks ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak Gambar 3 Myrtha, 2012.
2.3.1.3 Stabilitas Plak dan Kecenderungan Mengalami Ruptur
Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel otot polos dan makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas plak
dan kecenderungan untuk mengalami ruptur Myrtha, 2012.
Universitas Sumatera Utara
LDL yang termodifikasi meningkatkan respons inflamasi oleh makrofag. Respons inflamasi ini memberikan umpan balik, menyebabkan
lebih banyak migrasi LDL menuju tunika intima, yang selanjutnya mengalami modifikasi lagi, dan seterusnya. Makrofag yang terstimulasi
akan memproduksi matriks metalloproteinase yang mendegradasi kolagen. Di sisi lain, sel otot pembuluh darah pada tunika intima, yang
membentuk kapsul fibrosis, merupakan subjek apoptosis. Jika kapsul fibrosis menipis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran
darah terhadap zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini menyebabkan terbentuknya bekuan Myrtha, 2012.
Proses proinflamatorik ini menyebabkan pembentukan plak dan instabilitas. Sebaliknya ada proses antiinflamatorik yang membatasi
pertumbuhan plak dan mendukung stabilitas plak. Sitokin seperti IL-4 dan TGF-
β bekerja mengurangi proses inflamasi yang terjadi pada plak. Hal ini terjadi secara seimbang seperti pada proses penyembuhan luka.
Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika bergeser ke arah pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lumen pembuluh
darah dan menjadi rentan mengalami rupture Gambar 4 Myrtha, 2012.
Gambar 4: Pembentukan lesi aterosklerotik yang semakin kompleks
2.3.1.4 Disrupsi Plak, Trombosis, dan SKA
Universitas Sumatera Utara
Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan seiring berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul
bila stenosis lumen mencapai 70-80. Mayoritas kasus SKA terjadi karena ruptur plak aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya
menyumbat kurang dari 50 diameter lumen. Mengapa ada plak yang ruptur dan ada plak yang tetap stabil belum diketahui secara pasti.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul fibrosa yang tipis, dan inflamasi dalam plak merupakan predisposisi
untuk terjadinya ruptur Myrtha, 2012. Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks
subendotelial akan terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi
trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. Trombosit berperan dalam proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga
melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan jalur hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan bersamaan
dengan sistem hemostasis primer yang dimediasi trombosit. Proses hemostasis primer maupun sekunder bisa dilihat pada gambar 5 Myrtha,
2012. Ada 2 macam trombus yang dapat terbentuk:
a. Trombus putih: merupakan bekuan yang kaya trombosit.
Hanya menyebabkan oklusi sebagian. b.
Trombus merah: merupakan bekuan yang kaya fibrin. Terbentuk karena aktivasi kaskade koagulasi dan penurunan perfusi pada
arteri. Bekuan ini bersuperimposisi dengan trombus putih, menyebabkann terjadinya oklusi total.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5: Skema pembentukan trombus dan target farmakologi obat-obat penghambat pembentukan trombus
2.4 Gambaran Klinis
SKA merupakan suatu kontinuum. Gejala muncul apabila terjadi ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen jantung.
Angina stabil ditandai dengan adanya plak ateroskerosis dengan stenosis permanen. Gejala klinis muncul apabila kebutuhan oksigen melebihi
suplai oksigen ke jantung latihan, stres. Jika terjadi dalam jangka waktu lama, biasanya didapatkan aliran darah kolateral yang signifikan. Angina
tidak-stabil terjadi karena menurunnya perfusi ke jantung disrupsi plak menyebabkan terbentuknya trombus dan penurunan perfusi atau
peningkatan kebutuhan oksigen oxygen mismatch. Trombus biasanya bersifat labil dengan oklusi tidak menetap. Pada angina tidak stabil,
miokardium mengalami stres tetapi bisa membaik kembali. NSTEMI terjadi bila perfusi miokardium mengalami disrupsi karena oklusi
trombus persisten atau vasospasme. Adanya trombolisis spontan, berhentinya vasokonstriksi, atau adanya sirkulasi kolateral membatasi
Universitas Sumatera Utara
kerusakan miokardium yang terjadi. Sedangkan STEMI terjadi bila disrupsi plak dan thrombosis menyebabkan oklusi total sehingga terjadi
iskemia transmural dan nekrosis Myrtha, 2012.
2.5 Faktor Resiko Sindroma Koroner Akut
Berdasarkan buku kardiologi oleh Bender 2006, diketahui bahwa faktor risiko seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi
dua atau lebih faktor risiko antara lain: faktor yang tidak dapat dikendalikan nonmodifiable factors dan faktor yang dapat dikendalikan
modifiable factors. Faktor yang dapat dikendalikan, yaitu: merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes mellitus, stress, makanan tinggi
lemak, dan kurang fisik. Sedangkan faktor yang tidak dapat dikendalikan, yaitu: usia, jenis kelamin, sukuras, dan riwayat penyakit keluarga
Furqan, 2013.
2.5.1 Faktor Resiko Mayor 2.5.1.1 Hipertensi
Hipertensi pada koroner jantung biasanya disebabkan meningkatnya tekanan darah dan mempercepat timbulnya aterosklerosis.
Peningkatan tekanan darah menyebabkan beban jantung menjadi berat, sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri faktor miokard pada
akhirnya menyebabkan angina dan infark miokardium. Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi. Peningkatan tekanan darah
yang menetap, menurut Anwar 2004, akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga
memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner faktor koroner. Hal ini menyebabkan angina pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark
lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibandingkan orang normal dalam penggunaan oksigen oleh miokardium Furqan, 2013.
2.5.1.2 Hiperlipidemia
Universitas Sumatera Utara
Hiperlipidemia meningkatkan konsentrasi lemak dalam darah. Secara klinis, hiperlipidemia merupakan akumulasi berlebih salah satu
lemak utama dalam darah sebagai kelainan metabolisme ataupun kelainan transportasi lemak. Pada buku Hurst’s dijelaskan bahwa kolesterol
merupakan prasyarat terjadi penyakit koroner pada jantung. Kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh arteri koroner.
Jika hal tersebut terus berlangsung, akan membentuk plak sehingga pembuluh arteri coroner yang mengalami inflamasi atau terjadi
penumpukan lemak akan mengalami aterosklerosis Fuster et al, 2010. Hiperlipidemia juga disebabkan karena abnormalnya lipoprotein dalam
darah. Hal ini disebabkan karena meningkatnya LDL kolesterol dan menurunnya HDL kolesterol Kumar, 2009.
Peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida dapat mengindikasikan adanya faktor resiko untuk aterosklerosis. Kadar
kolesterol di atas 180 mgdL pada orang berusia 30 tahun atau kurang, atau di atas 200 mgdL untuk berusia lebih dari 30 tahun. Bila kadar
kolesterol di atas 200 mgdL merupakan faktor resiko terjadinya penyakit jantung koroner. Hiperkolesterolemia berkaitan erat dengan proses
aterosklerosis pada usia 30-49 tahun, bila kadar kolesterol mencapai 260 mgdL, kemungkinan terjadinya klinis aterosklerosis 3-5 kali
dibandingkan dengan kadar kolesterol 220 mgdL. Di bawah usia 50 tahun, hiperkolesterolemia mengungguli faktor resiko hipertensi, obesitas
dan faktor Furqan, 2013.
2.5.1.3 Merokok
Merokok dapat mengubah metabolisme, khususnya dengan meningkatnya kadar kolersterol darah dan di samping itu dapat
menurunkan HDL. Tingginya kadar kolesterol darah mempunyai pengaruh yang besar terhadap terjadinya penyakit jantung koroner
Furqan, 2013.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Framingham dalam Anwar 2004, mendapatkan kematian mendadak akibat penyakit jantung koroner pada laki-laki
perokok 10x lebih besar dari pada bukan perokok dan pada perempuan perokok 4,5x lebih daripada bukan perokok. Hal ini disebabkan
meningkatnya beban miokard yang dipicu oleh katekolamin dan menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi CO sehingga menimbulkan
takikardi, vasokonstriksi pembuluh darah, mengubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 Hb menjadi karboksi -Hb.
Semakin sering menghisap rokok akan menyebabkan kadar HDL kolesterol makin menurun. Penurunan kadar HDL kolesterol pada
perempuan lebih besar dibandingkan laki–laki perokok. Efek merokok ini akan berdampak langsung pada peningkatan tingkat diabetes disertai
obesitas dan hipertensi, sehingga orang yang merokok cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada yang bukan perokok
Furqan, 2013. Merokok juga dapat mengubah konsentrasi serum lemak, terjadi
peningkatan peroksidasi LDL lalu dimetabolisme oleh makrofag, gangguan intoleransi glukosa dan resistensi insulin sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah. Jika frekuensi dan intensitas merokok meningkat, maka kecenderungan terjadi kerusakan pembuluh darah lebih
tinggi sehingga lebih mudah terjadi aterosklerosis Furqan, 2013.
2.5.1.4 Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus DM adalah suatu sindroma klinis kelainan
metabolik, ditandai oleh adanya hiperglikemia dan hiperlipidemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin atau keduanya. Dalam penelitian
Suyono 2003, diabetes melitus merupakan faktor resiko penyakit jantung koroner dengan perbandingan dua kali lebih tinggi disbanding
non diabetes melitus. Diabetes melitus bukan merupakan faktor tunggal resiko penyakit jantung koroner namun obesitas, hipertensi, dan
hiperlipidemia juga sering menggambarkan gangguan karbohidrat.
Universitas Sumatera Utara
Dengan tingginya kadar insulin pada penderita DM dalam sirkulasi darah menjadi salah satu faktor meningkatnya aterosklerosis Furqan, 2013.
Menurut Supriyono 2008, yang dimaksud dengan penderita DM
dengan kadar gula darah puasa 120 mgdl atau kadar gula sewaktu 200 mgdl akan cenderung mengalami aterosklerosis pada usia yang lebih dini
dan penyakit yang ditimbulkan lebih cepat dan lebih berat pada penderita
diabetes dari pada non- diabetes. Pada keadaan ini, insulin berdampak
penting dalam metabolisme lipid dan kelainan-kelainan lipid pada penderita diabetes. Selain meupakan faktor resiko penyakit jantung
koroner, diabetes berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik dan peningkatan trombogenesis
peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan kadar fibrinogen
Furqan, 2013.
2.5.2 Faktor Resiko Minor
Antara faktor minor sindroma koroner akut adalah berikut Anwar, 2004:
a Obesitas
b Stress
c Kurang olahraga
d Laki-laki
e Perempuan menopause
2.6 Terapi Sindroma Koroner Akut
Sejak 1960‐an, ketika terapi standard menjadi istirahat penuh bed rest dan defibrilasi jika diperlukan, angka kematian infark miokard
akut menurun terus. Penurunan yang stabil ini disebabkan oleh beberapa faktor Lyrawati, 2008:
a Meningkatnya informasi dan edukasi untuk masyarakat
mengenai perlunya mencari bantuan medis sesegera mungkin jika ada dugaan terjadi nyeri dadajantung.
Universitas Sumatera Utara
b Adanya obat‐obat baru beta blocker pada ~1970an
c Tersedianya obat trombolisis pada ~1980‐an
d Pengembangan angioplasi koroner dan stent pada
~1990an e
Diketahuinya faktor resiko yang dapat dimodifikasi misalnya hipertensi, diabetes, merokok dan strategi penatalaksanaannya.
Artikel ini akan membahas terapi obat terkini untuk SKA dan pentingnya intervensi koroner perkutan primer primary percutaneous coronary
intervention, PCI sebagai alternatif trombolisis pada infark miokard akut. Keberhasilan terapi SKA bergantung pada pengenalan dini gejala
dan transfer pasien segera ke unitinstalasi gawat darurat. Terapi awal untuk semua SKA, yang diberikan oleh tenaga paramedik ataupun pada
unitinstalasi gawat darurat sebenarnya sama. Manifestasi angina tidak stabil dan MI akut seringkali berbeda. Umumnya, gejala MI akut bersifat
parah dan mendadak, sedangkan infark miokard tanpa elevasi segmen ST NSTEMI atau angina tidak stabil berkembang dalam 24‐72 jam atau
lebih. Pada kedua kasus tersebut tujuan awal terapi adalah untuk menstabilkan kondisi, mengurangi rasa nyeri dan kecemasan pasien.
Stabilisasi akan tercapai dengan berbagai tindakan. Oksigen diberikan untuk menjaga kadar saturasi dan memperbaiki oksigen yang sampai ke
miokard. Diamorfin 5 mg jika perlu diikuti dengan injeksi intravena perlahan 2,5‐5 mg diberikan sebagai analgesik dan untuk mengurangi
kecemasan pasien. Selain itu juga menurunkan respon adrenalin, frekuensi nadi heart rate dan tekanan darah, dan kebutuhan oksigen
miokard. Morfin 10 mg diikuti dengan dosis 5‐10mg injeksi intravena perlahan merupakan alternatif pilihan jika diamorfin tidak dapat
digunakan Lyrawati, 2008. Metoklopramid 10 mg intravena diberikan untuk mengatasi mual,
dan gliseril trinitrat sublingual untuk menurunkan atau meredakan nyeri dada. Pada pembuluh darah koroner, agregasi platelet dan pembentukan
trombus dilakukan oleh tromboksan A2 TXA‐2 yang dihasilkan oleh
Universitas Sumatera Utara
platelet yang teraktivasi, dan dikatalisis oleh enzim siklooksigenase 1 COX‐1. Pasien yang diduga infark miokard harus diberi aspirin 300
mg secepat mungkin untuk membatasi trombus. Aspirin menghambat COX‐1 dalam platelet, menghambat produksi TXA‐2 dan agregasi
platelet. Pasien yang alergi aspirin diberi clopidogrel 300 mg Lyrawati, 2008.
Pada saat tiba di rumah sakit, pasien akan dihubungkan dengan pencatat elektrokardiogram. Hitung darah komplit juga harus dilakukan,
demikian juga kadar urea dan elektrolit, uji fungsi hati, fungsi tiroid, profil lipid dan kadar gula. Pada kondisi ini, semua pasien dengan elevasi
segmen ST atau left bundle branch block baru dianggap menunjukkan infark miokard akut. Diperlukan reperfusi segera dengan trombolisis atau
PCI primer. Pasien nyeri dada yang tidak menunjukkan elevasi segmen ST dianggap sebagai pasien NSTEMIangina tidak stabil, dan kadar
troponin harus diperiksa 12 jam setelah onset nyeri dada Lyrawati, 2008.
Universitas Sumatera Utara
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang