LATAR BELAKANG spm 2013 spm 2013

I-1 BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Provinsi Gorontalo dibentuk berdasarkan Undang-undang RI Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Gorontalo. Wilayah administrasi Provinsi Gorontalo pada awal terbentuknya memiliki 2 dua kabupaten dan 1 satu kota, yaitu Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Boalemo dan Kota Gorontalo. Selanjutnya pada tahun 2003, berdasarkan Undang-undang RI Nomor 6 Tahun 2003 terbentuk Kabupaten Pohuwato dan Bone Bolango. Pada tahun 2007 berdasarkan Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2007 terbentuk Kabupaten Gorontalo Utara. Dengan demikian sampai dengan tahun 2012 wilayah adiministrasi Provinsi Gorontalo menjadi 5 lima kabupaten dan 1 satu kota. Luas Wilayah Provinsi Gorontalo 12.215.44 KM2 atau seluas 0,63 persen dari luas wilayah Indonesia. Batas administrasi Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Utara dan sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah. Jumlah Penduduk Provinsi Gorontalo berdasarkan Data Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo Tahun 2011 sebanyak 1.040.164 orang dengan laju pertumbuhan penduduk 2,28 persen pertahun. Perekonomian Provinsi Gorontalo menunjukan Performa pertumbuhan yang cukup signifikan yaitu 2011 mencapai 7,68 atau berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional dengan PDRB per kapita mencapai Rp. 8.612.114,00. Kontribusi PDRB didominasi oleh sektor pertanian 29,59, sektor jasa-jasa 27,52, sektor perdagangan, hotel dan restoran 10,31, sektor keuangan, perumahan, dan jasa perusahaan 10,19. Sementara sektor lainnya hanya memberikan sumbangan kurang dari 10. Anonimous, 2012. Pertumbuhan ekonomi yang dipengaruhi oleh pembangunan infrastruktur dasar, peningkatan daya beli masyarakat, penurunan angka kemiskinan, dan berkembangnya investor yang berinvestasi di Provinsi Gorontalo. Namun demikian tantangan yang terbesar perlu menjadi perhatian adalah ketersediaan SDA, dan daya dukung, daya tampung lingkungan. I-2 Selama kurun waktu 2001 sampai dengan 2012, degradasi lingkungan dan bencana alam terjadi dibeberapa wilayah Provinsi Gorontalo. Berbagai program dan kegiatan telah dilaksanakan sejak terbentuk SKPD yang berwenang menangani permasalahan lingkungan hidup pada tahun 2004, akan tetapi laju pencemaran dan kerusakan lingkungan ini belum optimal dapat ditangani SKPD yang berwenang di bidang lingkungan hiddup, baik pada tataran kabupatenkota maupun di tingkat provinsi. Undang - undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai payung dasar sekaligus acuan bagi Pemerintah Daerah untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup. Disamping itu penetapan jenis dan target pelayanan bidang lingkungan hidup melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 19 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Daerah KabupatenKota serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 20 Tahun 2008 tentang Juknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah Provinsi maka, akan jelas bagi Pemerintah Daerah Provinsi, kabupatenkota untuk melaksanakan jenis pelayanan minimal di bidang lingkungan hidup. Penetapan Standar Pelayanan Minimal SPM ini bukan berarti menghapuskan kewajiban daerah untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup lainnya, karena SPM hanya sebagian kecil kewajiban dan tanggungjawab yang diemban pemerintah, masih ada kewajiban dan tanggung jawab lain seperti yang dicantumkan dalam PP 382007. Pemanfaatan sumber daya alam diharapkan dapat memacu pembangunan daerah di lain pihak juga diharapkan lestari sehingga pembangunan dapat berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang tidak dilakukan sesuai dengan daya dukungnya dapat menimbulkan krisis pangan, krisis air, krisis energi dan kerusakan lingkungan. Sumberdaya alam di Provinsi Gorontalo saat ini menghadapi tantangan dan tekanan yang semakin kuat. Beberapa permasalahan lingkungan hidup di Provinsi Gorontalo yang harus segera ditangani adalah kerusakan Danau Limboto, penurunan kualitas air sungai dan danau akibat erosi, penambangan emas tanpa izin PETI, perusakan hutan dan lahan, kerusakan terumbu karang dan mangrove, rendahnya tingkat ketaatan kegiatan dan atau usaha untuk melakukan upaya pengelolaan lingkungan, kebersihan dan kehijauan kota clean and green city yang belum I-3 merata antar KabupatenKota, kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan hidup masih rendah, longsor dan banjir yang terjadi setiap tahun. Gambar 1.2. Danau Limboto di desa Hutuo tahun 2012. Danau Limboto yang merupakan salah satu ‘landmark’ ekosistem Provinsi Gorontalo sudah dalam kondisi kritis. Danau ini terletak di DAS sungai Bone Bolango, berada di ketinggian 4,5 m diatas permukaan laut dpl dan memiliki luas ± 3000 ha penelitian tahun 2002. Penelitian terdahulu pada tahun 1962 melaporkan luas Danau Limboto jauh lebih besar yakni 4250 ha. Ini merupakan sebuah degradasi ekosistem yang sangat memprihatinkan. Danau Limboto yang dikelilingi oleh 5 lima Kecamatan dan muara dari 5 sungai besar setiap tahun mengalami penyusutan luas dan pendangkalan. Penyebab utamanya adalah kurangnya air yang tertahan dan sedimentasi akibat penggundulan hutan di bagian hulu. Berbagai aktivitas masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan danau mengancam dan memperburuk kelestarian fungsi danau terutama illegal logging, penimbunan sampah, dan illegal fishing. Sementara itu sebagian wilayah permukaan danau sudah ditempati oleh masyarakat. Hasil monitoring kualitas air danau menunjukkan beban pencemaran organik yang tinggi seperti terlihat pada kandungan oksigen terlarut pada air danau berkisar 1,7 mgl s.d. 5,9 mgl. Hasil pengukuran kualitas air danau limboto oleh BALIHRISTI bekerjasama dengan PUSARPEDAL-Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa tiga parameter kimia kadarnya telah berada diatas baku mutu kelas II Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 di seluruh lokasi yang di pantau yaitu: sulfida, fenol,dan oksigen terlarut. Semakin luasnya tutupan gulma eceng gondok di permukaan air danau menjadi pencemar biologis yang semakin mempercepat pendangkalan danau Limboto. I-4 Pencemaran kimiawi dan biologis, okupasi wilayah danau oleh masyarakat, serta penangkapan dan budidaya ikan yang tidak ramah lingkungan masih terus berlangsung. Akibatnya fungsi-fungsi ekologis, ekonomis, dan sosial dari danau tidak optimal. Masalah-masalah yang ada ini jika tidak segera ditangani, maka diperkirakan kurang dari 25 tahun ke depan Danau Limboto akan punah. Fungsi- fungsi danau akan hilang seperti sumberdaya perikanan air tawar bagi penduduk sekitarnya dan sebagai penyangga kehidupan dan tata air bagi masyarakat di bantaran sungainya. Provinsi Gorontalo memiliki banyak sungai kecil dan besar. Diantaranya yang utama adalah Sungai Bone, Sungai Bolango, Sungai Paguyaman, Sungai Buladu, dan Sungai Taluduyunu. Beberapa diantara sungai-sungai ini telah mengalami pencemaran mulai dari tercemar ringan sampai tercemar sedang. Kerusakan sungai berupa sedimentasi akibat berbagai kegiatan di segmen hulu seperti peladangan yang berpindah-pindah, pembuangan limbah domestik dari pemukiman yang padat di daerah sempadan sungai, dan kegiatan Pertambangan Emas Tanpa Ijin PETI. Masyarakat di sekitar sungai masih membuang limbah rumah tangga dan limbah kegiatan PETI langsung ke badan air mengakibatkan turunnya kualitas air sungai. Hal ini tampak dari peningkatan kadar Hg, BOD, COD, E. coli dan Colifom. Selain faktor tersebut di atas untuk Sungai Paguyaman penurunan kualitas sungai juga disebabkan aliran limbah dari Pabrik Gula PT. Tolangohula. Gambar 1.3. Sungai Bone dilihat dari Jembatan Gantung Tulabolo Balihristi 2011. I-5 Berdasarkan hasil perhitungan Status Mutu Air Tahun 2012 untuk baku mutu air kelas II dengan menggunakan Metode Indeks Pencemaran, Sungai Paguyaman pada bagian hulu Cemar Sedang, bagian tengah Cemar Ringan dan bagian hilir Cemar Ringan. Sementara itu Sungai Biyonga yang menjadi sumber air minum ABAM bagi masyarakat Kabupaten Gorontalo memiliki Status Mutu air yaitu pada bagian hulu Cemar Ringan, bagian tengah Cemar Ringan dan bagian hilir Cemar Ringan sedangkan Sungai Bone memiliki Status Mutu air yaitu pada bagian hulu Cemar Ringan, bagian tengah Cemar Ringan dan bagian hilir Cemar Ringan, juga sungai ini telah mengalami pendangkalan akibat sedimentasi di bagian hulu hingga hilir sehingga seri ng menimbulkan banjir di Kota Gorontalo yang berada pada kawasan rendah di bagian hilirnya. Di bagian muara terbentuk delta yang meluas sehingga menganggu aktifitas pelabuhan di Kota Gorontalo. Pada bagian lain di Kabupaten Goronyalo, Sungai Totopo sesuai hasil penelitian Badan Penelitian, Pengembangan, dan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Balitbangpedalda Propinsi Gorontalo pada Tahun 2005 menyimpulkan bahwa Sungai Totopo di Bumela telah tercemar logam berat Merkuri Hg yang diakibatkan oleh kegiatan PETI. Kandungan Merkuri pada sampel air mencapai 0,010 mgl, melebihi ambang batas kandungan Merkuri yang dipersyaratkan pada PP 82 diakibatkan oleh kegiatan PETI yaitu 0,002 mgl. Penelitian lain yang dilakukan oleh Pusat Studi Lingkungan Hidup PSLH Institut Teknologi Bandung ITB Tahun 2006 menyimpulkan bahwa 2 dua sungai lainnya di Provinsi Gorontalo, yaitu: Sungai Motomboto dan Mopuya di Kecamatan Suwawa dan Bone Pantai yang juga telah tercemar logam Merkuriair raksa Hg. Pada kualitas tanah umumnya tanah kritis di Provinsi Gorontalo adalah lahan yang tidak pernah digunakan karena keadaan fisik tanah curam, lalu Gambar 1.4. Sungai Buladu I-6 menjadi tempat aktivitas penambangan galian C, berupa pasir gunung dan produksi batu bata. Beberapa penduduk masih melaksanakan aktifitas pertanian secara intensif dilahan-lahan kritis tanpa adanya perlakuan konservasi. Hal ini berimplikasi kerusakan lingkungan khususnya bentangan lahan di daerah tersebut dan dampak negatif bagi daerah di bawahnya. Secara umum, lahan kritis merupakan salah satu indikator adanya degradasi lingkungan, sebagai akibat dari berbagai jenis pemanfaatan sumberdaya lahan yang kurang bijaksana di dalam Unit Daerah Aliran Sungai DAS. Lahan kritis yang terdapat di dalam suatu DAS, sebagaimana karakter dari ruang DAS itu sendiri disamping mempunyai dampak lokal yaitu produktivitas lahan dan kesejahteraan masyarakat rendah, juga mempunyai efek eksternal seperti kejadian banjir, tanah longsor dan rusaknya berbagai fasilitas publik di bagian hilir. Kejadian bencana alam yang sering terjadi di Provinsi Gorontalo adalah banjir. Lokasi yang terparah adalah wilayah Kota Gorontalo. Masalah utama terjadi bencana banjir setiap tahun di Kota Gorontalo yaitu adalah penyusutan dan pendangkalan sebagian besar daerah di Danau Limboto lalu beralih menjadi pemukiman dan lahan pertanian, dan kerusakan pada DAS Bolango- Bone. Masalah sampah masih menjadi persoalan yang tiada hentinya. Pertambahan penduduk dan arus urbanisasi yang pesat telah menyebabkan timbulan sampah pada perkotaan semakin tinggi dan harus dikelola setiap hari. Di satu sisi kemampuan pemerintah rendah sementara di sisi lain kesadaran masyarakat juga rendah. Bahkan sebagian masyarakat menganggap bahwa masalah sampah tanggung jawab pemerintah semata. Sebagian masyarakat juga beranggapan sampah bukanlah masalah bila tidak berada di sekitarnya. Walaupun pemerintah Daerah Kota Gorontalo telah memberikan pelayanan dengan memungut retribusi sampah yang rendah namun kesadaran masyarakat dapat dikatakan masih belum optimal mengenai masalah sampah. Pengangkutan sampah ke TPA juga terkendala jumlah kendaraan yang kurang mencukupi dan kondisi peralatan yang sudah tua. Masalah lainnya adalah pengelolaan TPA yang tida k sesuai dengan kaidah-kaidah yang ramah lingkungan dan belum diterapkannya pendekatan reduce, reuse dan recycle 3 R. Luas keseluruhan ruang terbuka hijau, baik Taman Kota maupun Hutan Kota yang ada di Kota Gorontalo sesuai dengan Profil Kota sebesar 8,39 Ha yang terdiri atas : Taman Kota berjumlah 21 buah dan yang dinilai hanya satu yaitu Taman Taruna Remaja karena taman ini dapat diakses oleh masyarakat umum I-7 sedangkan yang lain hanya merupakan pemanfaatan ruang sudut-sudut kota. Kawasan Hutan Kota sebagaimana SK Walikota No. 359 Tahun 2004 Tentang Penetapan Kawasan Hutan Kota di Kota Gorontalo. Dampak positif atau manfaat ruang terbuka hijau antara lain penambahan O2, penambahan kelembaban udara dan peningkatan kelestarian air. Manfaat regulatif terdiri atas penurunan suhu, meredam kebisingan, memperkecil silau cahaya, perlindungan tanah, mengurangi polusi udara dan menjaga kondisi lingkungan dan manfaat fisiologi antara lain berupa keindahan serta kesehatan fisik dan mental manusia. manfaat hutan kota disamping manfaat yang bersifat ekonomis juga ada manfaat yang bersifat non ekonomis. Manfaat yang bersifat ekonomis misalnya dengan dikembangkan dan terwujudnya hutan kota, maka dapat menarik wisatawan baik domestik maupun asing untuk menikmatinya. Sedangkan manfaat yang bersifat non ekonomis misalnya dapat menambah keindahan kota, penangkal gangguan alam, penangkal polusi, sarana kesahatan, olah raga, rekreasi dan wisata serta sebagai daerah resapan air Masih rendahnya kesadaran masyarakat dan para pemangku kepentingan dalam pengelolaan lingkungan terlihat dengan masih kentalnya persepsi bahwa pengelolaan lingkungan hidup merupakan tugas dan tanggung jawab dari institusi lingkungan saja. Padahal pengelolaan lingkungan hidup pada dasarnya merupakan tangung jawab semua pihak dan harus terintegrasi dengan setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh semua instansi pemerintah, industri, dan masyarakat. Disamping itu bagi dunia usaha masih ada anggapan bahwa pengelolaan lingkungan hidup sebagai penambahan beban biaya dan belum diinternalisasikan sebagai komponen biaya yang merupakan bagian dari biaya produksi barangjasa yang dihasilkan. Berlakunya Otonomi Daerah juga menyebabkan pembangunan daerah lebih dititikberatkan pada pertumbuhan sektor ekonomi yang berorientasi jangka pendek. Pembangunan bidang lingkungan hidup dipandang lebih berorientasi jangka panjang. Kondisi tesebut menyebabkan program-program pengelolaan lingkungan hidup dinomorduakan dan kalah dari program lain karena sering diangap mempunyai dampak yang tidak langsung tehadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berangkat dari hal tersebut diatas, maka Pemerintah Provinsi Gorontalo memandang bahwa pelayanan bidang lingkungan ke pada masyarakat sudah menjadi keharusan sehingga lebih diperhatikan dan ditingkatkan sesuai kondisi daerah serta tetap memperhatikan peraturan perundangan yang berlaku. I-8

B. DASAR HUKUM