Ibnu Umar dan Ibnu Zubair. Begitu pula, diriwayatkan bahwa Hasan bin Ali menikah tanpa kehadiran saksi. Kemudian, ia mengumumkan pernikahan itu.
46
Ibnu Mundzir mengatakan, “Tidak ada hadits yang menetapkan syarat kehadiran dua orang saksi di dalam pernikahan.”
Yazid bin Harun berkata, “Allah Swt. memerintahkan umat-Nya untuk
menghadirkan saksi di dalam praktik jual beli dan tidak memerintahkan untuk menghadirkan saksi di dalam pernikahan. Para ulama rasionalis mensyaratkan
kesaksian di dalam pernikahan dan tidak mensyaratkannya di dala m jual beli.”
Ketika sebuah akad pernikahan terlaksana, tapi kemudian dirahasiakan, dan para saksi diminta untuk menyembunyikannya, maka akad itu tetap sah,
meskipun dianggap makruh karena melanggar perintah diumumkannya suatu pernikahan. Ini merupakan
pendapat Syafi’i, Abu Hanifah, dan Ibnu Mundzir. Sementara itu, ulama yang menganggap bahwa pernikahan itu sebagai pernikahan
yang makruh adalah Umar, Urwah, Sya’bi, dan Nafi’. Menurut Imam Malik, pernikahan itu harus difasakh dibatalkan.
47
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Malik tentang seorang laki-laki yang menikahi perempuan dengan dihadiri oleh dua orang saksi laki-laki. Kemudian
kedua mempelai meminta para saksi untuk merahasiakan pernikahan mereka. Imam Malik berkata, “Keduanya harus dipisahkan dengan talak satu dan mereka
tidak boleh melakukan hubungan suami-isteri. Apabila keduanya telah melakukan hubungan itu, maka sang istri berhak secara penuh atas mahar yang diterimanya
dan kedua orang saksi itu tidak dipersalahkan atau dihukum.”
46
Ibid., h. 273.
47
Ibid., h. 273.
Apabila kita melihat Undang-Undang Ahwal Syakhshiyyah Syria Pasal 12 mengambil pendapat Mazhab Hanafi dalam masalah persaksian. Di dalamnya
tercantum bahwa, “ Dalam sahnya akad nikah disyaratkan kehadiran dua orang saksi lelaki, atau seorang lelaki dan dua orang perempuan, yang beragama Islam,
berakal, baligh serta mampu mendengar ucapan ijab dan qabul sekaligus memahaminya.”
48
4. Syarat-syarat Saksi
Untuk diterima kesaksian menjadi saksi, seorang saksi harus memenuhi beberapa syarat. Dibawah ini penulis kemukakan syarat-syarat saksi:
49
a. Islam
Islam adalah syarat untuk dapat diterima kesaksian saksi. Dalam hal ini, Imam Taqiyuddin mengutarakan:
“Maka saksi tidak dapat diterima dan orang kafir zalim atau kafir harabi, baik kesaksiannya terhadap muslim
maupun terhadap kafir, Imam Rofi’I berhujjah dengan sabda Saw.:
َلَع د ع م ّ إَف َ ل س لا ّاإ م ل أ د ر َغ َلَع د ل أ َداَ ّشلا لَ ق تا . اّ ّرلا ا م ر َغ َلَعَ م َس أ
“Tidak dapat diterima kesaksian pemeluk suatu agama terhadap yang bukan pemeluk agama mereka, kecuali orang-orang Islam karena mereka itu adalah
orang- orang yang adil baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain.”
HR. Abdur Rozzaq.
50
48
Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9, Jakarta: Darul Fikir, 2011, h. 79.
49
H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009, h. 111.
50
Imam Taqiyuddin, Op. Cit., h. 275.
b. Balig
Balig adalah syarat untuk dapat diterimanya saksi, dalam Sabda Nabi Saw.:
َع َع
ئا َش
َ َ
ض َ
ه َع
ن َ َع ا
ّنلا ِ
َص ل
ه َع
َل ه
َ َس
ل َم :
ف َع
َلقلا م
َع َث
َا : َث
ق َت سَ ّتَح م ئاّنلا َع كَ ّتَح ر غّصلا َعَ َظ
َر َ
َع َلا
ن َح
َ ّت ع
ق َل
أ َ
َق مرّتلا ّاإ عب أا د حأ ا
“Dari Aisyah r.a., Nabi Saw., bersabda: “Bebas dari tindakan hukum terhadap tiga orang, yaitu: orang tidur sampai ia bangun, anak-anak sampai ia dewasa, dan
orang gila sampai ia berakal atau sadar”. HR. Ahmad dan Imam yang empat kecuali Tirmidzi
.
51
Khusus dalam perbuatan yang melukai bagian badan ataupun pembunuhan di antara sesame anak-anak, menurut Imam Malik yang dikutip oleh
Abdurrahman Umar 1986: 48-49 kesaksian anak-anak dapat diterima dengan syarat anak-anak itu tidak berlainan pendapat dan memang tidak ada orang
dewasa yang turut bersama-sama mereka ketika peristiwa itu terjadi.
52
c. Berakal
Orang gila tidak dapat dijadikan saksi. Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah di atas menunjukkan hal tersebut.
d. Adil
Persyaratan adil ini termaktub dalam firman Allah Swt. dalam surat Al- Thalaq ayat 2 yang artinya:
51
Al- Shan’ani, Op. Cit., h. 180-181, Abdurrahman Umar, Op. Cit., h. 48.
52
H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009, h. 112.
…
“ … dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu …” Pengertian adil, menurut Syafi’i, adalah orang yang selalu berbuat shalih,
tidak pernah melakukan perbuatan dosa besar dan kecil yang berkaitan dengan hak-hak orang seperti mencuri sepotong roti dan perbuatan sehari-harinya tidak
terlepas dari sifat muru‟ah adat-adat kesopanan semisal menghindari makan-
makan di tengah jalan, buang air di jalanan, dan sebagainya.
53
Bagi Hanafi, orang yang menjadi saksi untuk kelangsungan akad nikah tidak disyaratkan orang yang adil. Bahkan keberadaan saksi, menurut ulama dari
kalangan zhahir, tidak diperlukan atau bukan termasuk rukun nikah, yang dibutuhkan hanya keberadaan wali dari pihak perempuan.
54
e. Ingatannya Baik
Kesaksian orang yang kemampuan daya ingatnya sudah tidak normal, pelupa, dan sering tersalah, jelaslah tidak dapat diterima kesaksiannya. Kesaksian
orang yang demikian ini diragukan kebenarannya, sebab akan banyak sekali yang memengaruhi ketelitiannya, baik dalam mengingat maupun dalam menggunakan
kesaksiannya. Oleh karena itu, kesaksiannya tidak dapat diterima.
f. Bersih dari Tuduhan
53
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan. Yogyakarta: Darussalam, 2004, h. 55.
54
Ibid., h. 57.
Persyaratan bersih dari tuduhan ini berdasarkan kepada hadis Nabi Muhammad Saw., yang artinya sebagai berikut:
“Dari „Abdullah bin Umar r.a. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak diperbolehkan kesaksian yang khianat laki-laki dan perempuan, orang yang
mempunyai permusuhan terhadap sudaranya dan tidak diperbolehkan kesaksian pembantu
rumah tangga terhadap tuannya.” HR. Abu Dawud.
Dalam hal kesaksian, seorang yang mempunyai rasa benci dan permusuhan tidak diperbolehkan menjadi saksi atas perkara lawannya, sebab
perasaan benci itu dapat memengaruhi secara negatif terhadap dirinya dalam memberikan kesaksian. Demikian pendapat jumhur ulama, kecuali Imam Abu
Hanifah.
55
55
H.M.A Tihami dan Sohari. Sahrani Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009, h. 114.