Itsbat Nikah Dan Kaitannya Dengan Status Anak Yang Lahir Sebelum Perkawinan Disahkan (Studi Pada Pengadilan Agama Klas IA Medan)

(1)

TESIS

OLEH

SYAFITRI YANTI

087011120/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

T E S I S

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SYAFITRI YANTI

087011120/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

Nama Mahasiswa : Syafitri Yanti

Nomor Pokok : 087011120

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing,

Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, Ph.D

Pembimbing Pembimbing

Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA

2. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn


(5)

(2) KHI menentukan dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan irsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan yang tidak memiliki bukti pencatatan dapat diajukan itsbat nikah pada pengadilan agama yang disertai dengan persyaratan tertentu. Penulisan bertujuan untuk menjelaskan tata cara pengajuan itsbat nikah yang dilakukan pada Pengadilan Agama Klas IA Medan, proses penetapan itsbat nikah di Pengadilan Agama Klas IA Medan dan kendala yang dihadapi dan status anak yang lahir sebelum dilakukannya itsbat nikah.

Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang pengajuan itsbat nikah pada Pengadilan Agama Klas IA Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengajuan itsbat nikah dilakukan dengan alasan perkawinan yang dilakukan sebelum adanya Undang-undang perkawinan, atau dapat juga dilakukan karena kehilangan akta nikah atau buku nikah, untuk pengurusan perceraian dan guna mengesahkan status anak untuk memperoleh warisan dan beberapa alasan lainnya. Tata cara pengajuan itsbat nikah pada Pengadilan Agama Klas IA Medan pengajuan permohonan, pengumuman melalui media masa dan pemeriksaan materi. Proses penetapan istbat nikah dilakukan setelah hakim pengadilan menerima permohonan dan melakukan pemeriksaan dan pertimbangan hakim adalah tujuan dari permohonan untuk memperoleh Akta Nikah dan lengkapnya persyaratan yang disertai dengan keterangan saksi, pernikahan yang dilakukan dapat dibuktikan dengan adanya wali nikah dan saksi, tidak ada larangan kawin serta pernikahan memenuhi rukun nikah. Akibat hukum yang timbul adalah perkawinan yang diajukan pengesahan tersebut menjadi sah dapat dimintakan pencatatan dan Akta Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA). Demikian pula dengan status anak dalam perkawinan menjadi jelas sebagai anak yang sah. Pengesahan nikah dapat juga digabungkan dengan gugatan perceraian atau dapat pula digabungkan dengan gugatan warisan yang cara penyelesaiannya diputus bersama-sama dalam satu putusan. Majelis hakim dalam memenuhi suatu permohonan itsbat nikah hendaknya melakukan penelusuran yang jelas mengenai alat bukti dan saksi yang diajukan pemohon agar terhindar dari kemungkinan dilakukannya penyelundupan hukum oleh pihak yang tidak bertanggung jawab guna melegalkan perkawinan poligami yang dilakukan dibawah tangan Kepada pemohon itsbat nikah agar dapat mengajukan permohonan yang lengkap sesuai dengan persyaratan yang ditentukan guna menghindari keterlambatan proses penetapan pengesahan. Kepada pihak kepaniteraan Pengadilan Agama Klas IA Medan agar dalam memberikan penjelasan tentang pengajuan itsbat nikah memberikan keterangan yang jelas mengenai persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon agar mempermudah pemeriksaan dan permohonan tidak ditolak. Agar setiap perkawinan yang dilakukan dibawah tangan (tidak dicatat) dapat diajukan itsbat nikah apabila memenuhi rukun dan syarat nikah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi pihak isteri dan anak mengenai statusnya dalam perkawinan.


(6)

Article 7 (1) of the Islamic Law Compilation clearly states that a marriage can only be proven through a Marriage Certificate issued by the Marriage Registration Officer. Article 7 (2) determines thai in case the marriage cannot be proven through a Marriage Certificate the application of confirmation of their marriage (itsbat nikahnya) can be submitted to the Religious Court with certain condition.

The purpose of this study was to expalin the procedures of submitting the application for marriage confirmation and the decision process of marriage confirmation in the Religious Court Class I A Medan, the constraints faced and status of child(ren) born before the confirmation of marriage obtained.

this analytical descriptive study with normative juridical approach explains as wellas analyzes the submission of applicatioin for marriage confirmation in the Religious Court Class I A Medan.

The result of this study showed that the application for marriage confirmation can be submitted with the reason that the marriage was conducted before the issuance of Law on Marriage or the couples lost their marriage certificate or to arrange for a divorce, to legalize the status of the couples'child(ren), to obtain a heritage, and so forth. The procedures of submitting the application for marriage confirmation the religious Court Class I A Medan are through mass media and material examination. The decision process of marriage confirmation is taken after the judge receives the application, examines the application. The judge's consideration is that the purpose of this application is to obtain a Marriage Certificate, all requirements needed are met, and testimony of witness (es), the marriage done can be proven through the presence of the bride' guardian and withnesses, there is no restriction of marriage and met all of the basic marriage requirements. Its legal consequence is that the marriage confirmed is legal and can be registered in and the Marriage Certificate can be issued bythe Sub-district Religious Affairs Office. The status of their children is clear and legal. The marriage legalization can be done together with the claim of divorce or heritage whose settlement is combined in one decision.

In granting the application for marriage confirmation, the judges should clearly trace the evidence and witnesses submitted by the applicant to avoid from any attempt to legalize the underhanded polygamy marriage. The marriage confirmation applicant should follow the legal procedures and meet the requirements needed so that the decision process of legalization is not behind the schedule. The management of the Religious Court Class I A Medan should provide clear information about the requirements needed to submit the application for marriage confirmation that the application submitted is not refused. the application for each underhanded (non-registered) marriage confirmation can be submitted if the legal marriage terms and conditions are met. this is intended to protect and legalize the status of wife and child (ren).


(7)

Puji syukur dipanjatkan sampaikan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul Itsbat Nikah dan Kaitannya Dengan Status Anak yang Lahir Sebelum Perkawinan Disahkan (Studi Pada Pengadilan Agama Klas Ia Medan).Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, Ph.D., Bapak Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA dan Bapak Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MAselaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara


(8)

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku ketua program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.

6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan.

7. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2008 yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 8. Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta,

kasih sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya Ayahanda Dr. H. Mazrisyaf Muazdan Ibunda Hj. Nunung Suheriyanti serta Saudara-saudaraku Bang Eka dan Fedri yang telah memberikan semangat dan doanya.

Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada suami tercinta Harisman Iskandar Sinaga yang selama ini telah menjadi inpirasi dan memberikan semangat sehingga menjadi motivasi warna tersendiri dalam kehidupan


(9)

besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.Amin Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, Juli 2011 Penulis,


(10)

I. Identitas Pribadi

Nama : Syafitri Yanti

Tempat/Tanggal lahir : Medan, 18 September 1984

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Karya Wisata Komp. Citra Wisata Blok V No. 9 Medan

II. Keluarga

Nama Ayah : Dr. H. Mazrisyaf Muaz

Nama Ibu : Hj. Nunung Suheriyanti

Nama Suami : Harisman Iskandar Sinaga

Nama Abang : Nusa Eka Syahputra

Nama Adik : Syafed Rianda

III. Pendidikan

SD Taman Asuhan P. Siantar Lulus Tahun 1997

SLTP Taman Asuhan P. Siantar Lulus Tahun 2000

SMU Al-Azhar Medan Lulus Tahun 2003

S1 Fakultas Hukum UISU Medan Lulus Tahun 2007


(11)

ABSTRAK ………... i

ABSTRACT .……... ii

KATA PENGANTAR ……... iii

RIWAYAT HIDUP………….………... vi

DAFTAR ISI ………….……… vii

DAFTARTABEL ……….. ix

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar belakang …... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian …... 9

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ………... 10

G. Metode Penelitian ... 22

BAB II. TATA CARA PENGAJUAN ITSBAT NIKAH YANG DILAKUKAN PADA PENGADILAN AGAMA KLAS IA MEDAN A. Perkawinan dan Pengaturannya di Indonesia ……… 27

B. Pencatatan sebagai Syarat Untuk Melahirkan Akibat Hukum Perkawinan ………. 41

C. Kaitan Perkawinan dan Itsbat Nikah ………. 58

D. Pengajuan Isbat Nikah yang Dilakukan pada Pengadilan Agama Klas IA Medan ……… 67

BAB III. PROSES PENETAPAN ITSBAT NIKAH PADA PENGADILAN AGAMA KLAS IA MEDAN DAN KENDALA YANG DIHADAPI A. Prosedur Pengajuan Itsbat Nikah ………. 77

B. Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Itsbat Nikah ……… 86 C. Kendala yang Dihadapi dalam Pengajuan Itsbat Nikah


(12)

A. Pengertian Anak dan Keluarga ………. 97 B. Hubungan Itsbat Nikah dengan Status Anak dalam

Perkawinan ……….. 105

C. Status Anak yang Lahir Sebelum dilakukan Itsbat

Nikah ……… 110

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ……... 123 B. Saran ……... 125 DAFTAR PUSTAKA ……... 127 LAMPIRAN


(13)

TABEL 1. JUMLAH PERMOHONAN YANG MASUK PADA KEPANITERAAN PENGADILAN AGAMA KLAS IA

MEDAN ……….. 70

TABEL 2. ALASAN PENGAJUAN ITSBAT NIKAH PADA

PENGADILAN AGAMA KLAS IA KOTA MEDAN


(14)

(2) KHI menentukan dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan irsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan yang tidak memiliki bukti pencatatan dapat diajukan itsbat nikah pada pengadilan agama yang disertai dengan persyaratan tertentu. Penulisan bertujuan untuk menjelaskan tata cara pengajuan itsbat nikah yang dilakukan pada Pengadilan Agama Klas IA Medan, proses penetapan itsbat nikah di Pengadilan Agama Klas IA Medan dan kendala yang dihadapi dan status anak yang lahir sebelum dilakukannya itsbat nikah.

Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang pengajuan itsbat nikah pada Pengadilan Agama Klas IA Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengajuan itsbat nikah dilakukan dengan alasan perkawinan yang dilakukan sebelum adanya Undang-undang perkawinan, atau dapat juga dilakukan karena kehilangan akta nikah atau buku nikah, untuk pengurusan perceraian dan guna mengesahkan status anak untuk memperoleh warisan dan beberapa alasan lainnya. Tata cara pengajuan itsbat nikah pada Pengadilan Agama Klas IA Medan pengajuan permohonan, pengumuman melalui media masa dan pemeriksaan materi. Proses penetapan istbat nikah dilakukan setelah hakim pengadilan menerima permohonan dan melakukan pemeriksaan dan pertimbangan hakim adalah tujuan dari permohonan untuk memperoleh Akta Nikah dan lengkapnya persyaratan yang disertai dengan keterangan saksi, pernikahan yang dilakukan dapat dibuktikan dengan adanya wali nikah dan saksi, tidak ada larangan kawin serta pernikahan memenuhi rukun nikah. Akibat hukum yang timbul adalah perkawinan yang diajukan pengesahan tersebut menjadi sah dapat dimintakan pencatatan dan Akta Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA). Demikian pula dengan status anak dalam perkawinan menjadi jelas sebagai anak yang sah. Pengesahan nikah dapat juga digabungkan dengan gugatan perceraian atau dapat pula digabungkan dengan gugatan warisan yang cara penyelesaiannya diputus bersama-sama dalam satu putusan. Majelis hakim dalam memenuhi suatu permohonan itsbat nikah hendaknya melakukan penelusuran yang jelas mengenai alat bukti dan saksi yang diajukan pemohon agar terhindar dari kemungkinan dilakukannya penyelundupan hukum oleh pihak yang tidak bertanggung jawab guna melegalkan perkawinan poligami yang dilakukan dibawah tangan Kepada pemohon itsbat nikah agar dapat mengajukan permohonan yang lengkap sesuai dengan persyaratan yang ditentukan guna menghindari keterlambatan proses penetapan pengesahan. Kepada pihak kepaniteraan Pengadilan Agama Klas IA Medan agar dalam memberikan penjelasan tentang pengajuan itsbat nikah memberikan keterangan yang jelas mengenai persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon agar mempermudah pemeriksaan dan permohonan tidak ditolak. Agar setiap perkawinan yang dilakukan dibawah tangan (tidak dicatat) dapat diajukan itsbat nikah apabila memenuhi rukun dan syarat nikah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi pihak isteri dan anak mengenai statusnya dalam perkawinan.


(15)

Article 7 (1) of the Islamic Law Compilation clearly states that a marriage can only be proven through a Marriage Certificate issued by the Marriage Registration Officer. Article 7 (2) determines thai in case the marriage cannot be proven through a Marriage Certificate the application of confirmation of their marriage (itsbat nikahnya) can be submitted to the Religious Court with certain condition.

The purpose of this study was to expalin the procedures of submitting the application for marriage confirmation and the decision process of marriage confirmation in the Religious Court Class I A Medan, the constraints faced and status of child(ren) born before the confirmation of marriage obtained.

this analytical descriptive study with normative juridical approach explains as wellas analyzes the submission of applicatioin for marriage confirmation in the Religious Court Class I A Medan.

The result of this study showed that the application for marriage confirmation can be submitted with the reason that the marriage was conducted before the issuance of Law on Marriage or the couples lost their marriage certificate or to arrange for a divorce, to legalize the status of the couples'child(ren), to obtain a heritage, and so forth. The procedures of submitting the application for marriage confirmation the religious Court Class I A Medan are through mass media and material examination. The decision process of marriage confirmation is taken after the judge receives the application, examines the application. The judge's consideration is that the purpose of this application is to obtain a Marriage Certificate, all requirements needed are met, and testimony of witness (es), the marriage done can be proven through the presence of the bride' guardian and withnesses, there is no restriction of marriage and met all of the basic marriage requirements. Its legal consequence is that the marriage confirmed is legal and can be registered in and the Marriage Certificate can be issued bythe Sub-district Religious Affairs Office. The status of their children is clear and legal. The marriage legalization can be done together with the claim of divorce or heritage whose settlement is combined in one decision.

In granting the application for marriage confirmation, the judges should clearly trace the evidence and witnesses submitted by the applicant to avoid from any attempt to legalize the underhanded polygamy marriage. The marriage confirmation applicant should follow the legal procedures and meet the requirements needed so that the decision process of legalization is not behind the schedule. The management of the Religious Court Class I A Medan should provide clear information about the requirements needed to submit the application for marriage confirmation that the application submitted is not refused. the application for each underhanded (non-registered) marriage confirmation can be submitted if the legal marriage terms and conditions are met. this is intended to protect and legalize the status of wife and child (ren).


(16)

A. Latar Belakang

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun 1974) menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur bahwa perkawinan dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskan perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsqan ghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan.1

Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi untuk seumur hidup karena perkawinan mengandung nilai luhur. Dengan adanya ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang dibangun di atas nilai-nilai sakral karena berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila. Maksudnya adalah bahwa perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja

1


(17)

atau ikatan bathin saja tetapi harus kedua-duanya, terjalinnya ikatan lahir bathin merupakan fondasi dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal.2

Iman Jauhari mengemukakan bahwa :

Suatu perkawinan tidak hanya didasarkan pada ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, tetapi merupakan perwujudan ikatan lahir dan batin antara suami isteri. Ikatan lahir tercermin adanya akad nikah, sedangkan ikatan batin adanya perasaan saling mencintai dari kedua belah pihak.3

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu.

2. Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan. 3. Perkawinan berasas monogami.

4. Calon suami istri harus sudah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan.

5. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun. 6. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka pengadilan.

7. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.4

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang menimbulkan akibat hukum baik terhadap hubungan antara pihak yang

2K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996,

hal. 15.

3Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami,

Penerbit Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003.hal. 3


(18)

melangsungkan perkawinan itu sendiri, maupun dengan pihak lain yang mempunyai kepentingan tertentu. Apabila dari perkawinan tersebut dilahirkan anak-anak, maka timbul hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Didasarkan Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 hukum antara orang tua dengan anak menimbulkan kewajiban orang tua, antara lain tanggung jawab untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai mereka mandiri.

Hukum perkawinan tidak terlepas dari persyaratan adanya kecakapan para pihak atau ketentuan mengenai umur para pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Selain itu, perkawinan juga harus dilakukan pencatatan memenuhi ketentuan yang berlaku dalam hal ini ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun 1974.

Pasal 6 UU No. 1 Tahun 1974 mengenai syarat perkawinan ditentukan bahwa: (1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.5

Dalam penjelasan Pasal 6 UU No. 1 Tahun 1974 ditentukan bahwa oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka


(19)

sebaiknya dilakukan antara orang yang benar-benar telah cakap dan mampu bertanggung jawab dan umur 21 tahun sesuai dengan ketentuan dewasa dalam KUH Perdata.

Selanjutnya dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 ditentukan bahwa :

(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

(3) Ketetuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) Pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).6

Menurut penjelasan Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 pembatasan umur perkawinan dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami isteri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan. Di dalam Hukum Islam juga tidak ditentukan batas usia minimal seseorang dikatakan dewasa. Seperti dikatakan Ahmad Rofiq bahwa :

Masalah kematangan fisik dan jiwa seseorang dalam konsep Islam tampaknya lebih ditonjolkan, pada aspek yang pertama yaitu fisik. Hal ini menurutnya dapat dilihat misalnya dalam pembebanan hukum (taklif) bagi seseorang, yang dalam term teknis disebut mukallaf (dianggap mampu menanggung beban hukum). Rasulullah dalam sebuah hadis mengatakan : “Terangkat pertanggungjawaban seseorang dari tiga hal: orang yang tidur hingga ia bangun, orang gila hingga ia sembuh, dan anak-anak hingga ia mimpi dan mengeluarkan air mani (ihtilam)”.7

6Pasal 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

7Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995,


(20)

Menurut isyarat hadits tersebut kematangan seseorang dilihat pada gejala kematangan seksualitasnya, yaitu keluar mani bagi laki-laki dan menstruasi atau haid bagi perempuan. Dari segi umur kematangan ini masing-masing orang berbeda saat datangnya. Namun hadits ini setidaknya telah memberikan gambaran, bahwa pada umumnya pada usia 15 tahun.

Sehubungan dengan perihal kedewasaan, baik dalam hubungan perikatan maupun perkawinan tersebut tidak terlepas dari ketentuan mengenai umur atau kecakapan para pihak untuk memenuhi ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini para pihak atau subjek hukum dipersyaratkan untuk memenuhi syarat kedewasaan. Perkawinan dilakukan setelah adanya kesepakatan antara pihak pria dan pihak wanita untuk melangsungkan perkawinan. Kemudian keinginan tersebut didaftarkan dan diumumkan oleh pihak Pegawai Pencatat Nikah dan jika tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana dimaksud, perkawinan dapat dilangsungkan. Ketentuan dan tata caranya diatur dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai berikut :

(1)Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat.

(2)Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(3)Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilangsungkan di hadapan Pengawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang tua.8

8 Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Ketentuan Pelaksanaan


(21)

Kalau perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak, Pegawai Pencatat menyiapkan Akta Nikah dan salinannya dan telah diisi mengenai hal-hal yang diperlukannya, seperti diatur dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Akta nikah atau akta perkawinan memuat hal-hal sebagai berikut :

(1) Nama, tanggal, tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami istri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami tedahulu.

(2) Nama, agama/kepercayaan, dan tempat kediaman orang tua mereka. (3) Izin kawin.

(4) Dispensasi. (5) Izin Pengadilan. (6) Persetujuan

(7) Izin pejabat yang ditunjuk oleh Menhankam/Pangab bagi angkatan bersenjata.

(8) Perjanjian perkawinan apabila ada

(9) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama Islam.

(10) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.9

Dengan demikian, Akta Nikah menjadi bukti otentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara kenyataannya ia mampu atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibacanya, maka pihak istri

9 Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Ketentuan Pelaksanaan


(22)

yang dirugikan dapat mengadu dan mengajukan gugatan perkaranya ke Pengadilan Agama.

Selain itu, Akta Nikah juga berfungsi untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta dimaksud, upaya hukum ke pengadilan tidak dapat dilakukan. Dengan demikian, Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa Akta Nikah karena adanya sesuatu sebab, Kompilasi Hukum Islam (KHI) membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan nikah) kepada Pengadilan Agama sehingga yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinannya. Pasal 7 ayat (2) KHI mengungkapkan bahwa :

Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya Akta Nikah;

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974;

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974.10

10

Pasal 7 ayat (2) Insrtuksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia


(23)

Permohonan itsbat nikah di atas, menurut Pasal 7 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan ini. Hasil penelitian pada Pengadilan Agama Klas IA Medan diketahui bahwa dalam periode tahun 2009 terdapat 36 pengajuan itsbat nikah yang kesemuanya telah mendapat penetapan oleh hakim Pengadilan Agama Klas IA Medan.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut mengenai pengajuan itsbat nikah pada Pengadilan Agama Klas IA Medan. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul

ITSBAT NIKAH DAN KAITANNYA DENGAN STATUS ANAK YANG

LAHIR SEBELUMNYA(Studi Pada Pengadilan Agama Klas IA Medan)”.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan diteliti dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian ini. Adapun pokok permasalahan tersebut akan dikelompokkan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tata cara pengajuan itsbat nikah yang dilakukan pada Pengadilan Agama Klas IA Medan ?


(24)

2. Bagaimana proses penetapan itsbat nikah di Pengadilan Agama Klas IA Medan dan kendala yang dihadapi ?

3. Bagaimanakah status anak yang lahir sebelum dilakukannya itsbat nikah ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui tata cara pengajuan itsbat nikah yang dilakukan pada Pengadilan Agama Klas IA Medan.

2. Untuk mengetahui proses penetapan itsbat nikah di Pengadilan Agama Klas IA Medan dan kendala yang dihadapi.

3. Untuk mengetahui status anak yang lahir sebelum dilakukannya itsbat nikah. D. Manfaat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut: 1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan hukum perkawinan pada khususnya, terutama mengenai masalah pengajuan itsbat nikah sebagai salah satu upaya penetapan pengesahan nikah melalui pengadilan.


(25)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para praktisi dan masyarakat, khususnya kepada pasangan kawin yang belum memiliki akta nikah, agar lebih mengetahui tentang pentingnya akta nikah baik dalam hubungan perkawinan maupun untuk melakukan perceraian dan prosedur pengajuan itsbat nikah pada Pengadilan Agama.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sejauh yang diketahui, penelitian tentang “ITSBAT NIKAH DAN KAITANNYA DENGAN STATUS ANAK YANG LAHIR SEBELUMNYA (Studi Pada Pengadilan Agama Klas IA Medan)”, belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini. F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu termasuk ketergantungannya pada metodologi, karena aktivitas penelitian hukum dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.11


(26)

Menurut Bintoro Tjokroamijoyo dan Mustofa Adidjoyo “teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka fikir (Frame of

thingking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul didalam

bidang tersebut“.12

Sedangkan Kerangka Teori pada penelitian Hukum Sosiologis atau empiris yaitu kerangka teoritis yang didasarkan pada kerangka acuan hukum, kalau tidak ada acuan hukumnya maka penelitian tersebut hanya berguna bagi sosiologi dan kurang relevan bagi Ilmu Hukum.13 Hukum tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial.14

Oleh karena itu, hukum tidak bersifat statis melainkan hukum bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan Masyarakat. Namun demikian perkembangan masyarakat tersebut perlu diatur dengan suatu ketentuan hukum guna terciptanya suatu kepastian hukum yang dapat melindungi hak dan kewajiban subjek hukumnya.

Oleh karena itu dalam penelitian ini kerangka teori yang dijadikan pisau analisisnya adalah dengan aliran hukum positif yang analitis atau teori hukum positif dari Jhon Austin yang mengatakan bahwa :

Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical

12Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo,Teori dan Strategi Pembangunan Nasional,

CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988, hal. 12.

13Ibid, hal 127


(27)

system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.15

Menurut Jhon Austin sebagimana dikutip Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, apa yang dinamakannya sebagai hukum mengandung di dalamnya suatu perintah, sanksi kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang tidak memenuhi unsur-unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagaipositive law, tetapi hanyalah merupakan

positive morality. Unsur perintah ini berarti bahwa pertama satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, kedua pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati, ketiga perintah itu adalah pembedaan kewajiaban terhadap yang diperintah, keempat, hal ketiga hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat.16

Hukum mengatur perilaku manusia dalam setiap hubungan hukum yang dilakukannya. Tata hukum bertitik tolak dari pemahaman tentang tanggung jawab manusia dan perlindungan hak-hak manusia sebagai subjek hukum. Sejak seorang anak dilahirkan hidup adalah subjek hukum. Anak dilahirkan karena adanya perkawinan orang tuanya.

Jadi kerangka teori yang dijadikan sebagai fisio analisis dalam penelitian ini adalah kerangka menurut Mazhab Positivisme pendapat John Austin yaitu adanya

15 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju,

Bandung, 2002, hal. 55.

16 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum,Citra Aditya


(28)

pengaruh timbal balik nyata antara hukum dengan masyarakat berupa teori yang mengacu pada peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan kebiasaan dalam masyarakat dan mengamati bagaimana pengaruh peraturan perundang-undangan terhadap masyarakat.

Dengan demikian kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum perkawinan, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini.17

Perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di dalam masyarakat adat, perkawinan adalah suatu rangkaian upacara yang merubah status laki-laki menjadi suami dan dari seorang perempuan menjadi isteri. Di kalangan masyarakat adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya berdasarkan ikatan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan. Disamping itu ada kalanya suatu perkawinan merupakan sarana untuk memperbaiki


(29)

hubungan kekerabatan yang telah menjauh atau retak, atau merupakan sarana pendekatan dan perdamaian kerabat.18

Perkawinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) adalah pertalian yang sah antara seorang pria dan wanita untuk waktu yang lama atau suatu hubungan hukum anatara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara.

Suatu perkawinan dapat dilaksanakan jika memenuhi beberapa persyaratan yang berupa syarat material dan formal. Syarat materil/subyektif, yaitu syarat-syarat yang melekat pada pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, yang diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974, terdiri dari :

1. Harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak.

2. Harus mendapat ijin orang tua, apabila calon pengantin belum berumur 21 tahun.

3. Harus sudah mencapai umur 19 (sembilanbelas) tahun bagi pria dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun.

4. Tidak ada larangan perkawinan.

5. Tidak masih terikat dalam suatu perkawinan kecuali bagi mereka yang agamanya mengijinkan untuk berpoligami.

6. Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami atau isteri yang hendak dikawini.

7. Harus telah lewat waktu tunggu/masa iddah bagi janda.19

Syarat-syarat formal/obyektif adalah syarat tentang tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang. Tata cara

18 Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita,

Jakarta, 1983, hal. 187.


(30)

melangsungkan perkawinan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Ketentuan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perkawinan dilakukan setelah adanya kesepakatan antara pihak pria dan pihak wanita untuk melangsungkan perkawinan. Kemudian keinginan tersebut didaftarkan dan diumumkan oleh pihak Pegawai Pencatat Nikah dan jika tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana dimaksud, perkawinan dapat dilangsungkan. Ketentuan dan tata caranya diatur dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai berikut :

1. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.

2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

3. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pengawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.20

Apabila perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak, Pegawai Pencatat menyiapkan Akta Nikah dan salinannya dan telah diisi mengenai hal-hal yang diperlukannya. Hal ini merupakan implementasi dari ketentuan Pasal 12 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu :

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan diwajibkan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat perkawinan.

20 Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Ketentuan Pelaksanaan


(31)

2. Perkawinan dilangsungkan sepuluh hari sejak pengumuman kehendak perkawinan tersebut.

3. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaannya.

4. Perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

5. Sesaat setelah perkawinan dilangsungkan kedua mempelai menandatangani akta perkawinan. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh kedua mempelai kemudian ditandatangani oleh dua orang saksi dan pegawai pencatat.21

Lebih lanjut ketentuan ini diatur dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Akta nikah atau akta perkawinan memuat hal-hal sebagai berikut :

(1) Nama, tanggal, tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami istri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami tedahulu.

(2) Nama, agama/kepercayaan, dan tempat kediaman orang tua mereka. (3) Izin kawin.

(4) Dispensasi. (5) Izin Pengadilan. (6) Persetujuan

(7) Izin pejabat yang ditunjuk oleh Menhankam/Pangab bagi angkatan bersenjata.

(8) Perjanjian perkawinan apabila ada

(9) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama Islam.

(10) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.22

Dengan demikian, Akta Nikah menjadi bukti otentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara kenyataannya ia mampu

21Pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

22 Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Ketentuan Pelaksanaan


(32)

atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibaca dan disetujuinya pada saat melangsukan pernikahan, maka pihak istri yang dirugikan dapat mengadu dan mengajukan gugatan perkaranya ke Pengadilan Agama.

Selanjutnya dapat pula dijelaskan bahwa Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seseorang untuk berpoligami. Perkawinan seseorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu yang diputuskan pengadilan. Prinsip yang dianut adalah bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan para pihak harus masak jiwa dan raganya dan adanya itikad baik, agar tujuan perkawinan dapat tercapai dan mendapatkan keturunan yang baik.

Perkawinan bukan hanya masalah antara seorang pria dan seorang wanita yang akan melaksanakan perkawinan melainkan juga menimbulkan akibat hukum, baik terhadap suami isteri, harta kekayaan, maupun hubungan antara pasangan tersebut dengan anak yang lahir dari perkawinan.

Anak yang lahir dari suatu perkawinan mempunyai hak dan kewajiban. Masalah hak dan kedudukan anak benar-benar dilindungi oleh Negara. Pengertian anak berdasarkan Undang-undang No.23 Tahun 2002 adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Di dalam suatu perkawinan yang sah sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan menganut prinsip bahwa anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut


(33)

adalah anak kandung yang sah yang diakui oleh Negara dan terdaftar sebagai anak yang lahir dari perkawinan yang sah dengan bukti akta kelahiran yang dikeluarkan oleh lembaga catatan sipil.23

Semua anak yang lahir dari perkawinan ayah dan ibunya adalah anak kandung. Apabila perkawinan ayah dan ibunya sah, maka anaknya adalah anak kandung yang sah. Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Dilihat dari segi perlindungan hukum anak, maka hal ini sangat merugikan anak yang lahir di luar perkawinan, karena ia tidak berhak dibiayai hidup dan pendidikan oleh ayahnya, yang turut menyebabkan ia lahir didunia dan oleh karena itu seharusnya ikut bertanggung jawab atas kehidupan dan kesejahteraan anak tersebut.24

Untuk dapat membuktikan asal usul seorang anak dapat dilakukan dengan cara :25

1. Adanya akte kelahiran 2. Surat keterangan kenal lahir

3. Kesaksian dua orang yang sudah dewasa, dilengkapi dengan surat keterangan dokter, bidan, dukun bayi, dan lain-lainnya.

Menentukan apakah seorang anak lahir sebagai akibat dari suatu perkawinan atau bukan dilihat dari panjang masa kehamilan ibunya, namun Undang-undang

23J Satrio,Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang,

Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 5.

24K. Wantjik Saleh,Op.Cit,hal.44

25 Martiman Prodjohamidjojo,Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan Peraturan Pelaksanaan,Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, hlm.43


(34)

Perkawinan tidak mengatur mengenai hal ini seperti juga dalam Hukum Adat. Pada asasnya, anak yang dilahirkan lebih dari 179 (seratus tujuhpuluh Sembilan) hari sesudah perkawinan, tidak dapat diingkari keabsahannya, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 251 Kitab Undang-undang Hukum Pedata.26

Setiap anak mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan khusus,kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan sesuai dengan martabat kemanusiaan, untuk itu diperlukan Undang untuk melindungi kepentingan anak. Undang-undang perlindungan anak yaitu Undang-umdang No.23 Tahun 2002 dibentuk untuk mengatur bahwa semua tindakan yang menyangkut diri anak harus mempertimbangkan sepenuhnya kepentingan terbaik si anak. Negara wajib memberikan perawatan yang memadai jika orang tua atau wali gagal memberikannya. Perlindungan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab negara tetapi terutama menjadi tanggung jawab orang tua anak tersebut. Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur mengenai kekuasaan orang tua dimana kekuasaan orang tua yang tidak hanya menyangkut hak asuh orang tua tetapi juga pengurusan orang tua terhadap hak anak yang berhubungan dengan harta kekayaan atau warisan.

Didasarkan Undang-undang No.1 Tahun 1974 diatur mengenai kekuasaan orang tua bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Salah seorang atau kedua orang


(35)

tuanya dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang.27

Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai pemeliharaan anak yang masih dibawah umur atau belum dewasa adalah hak ibunya, sedangkan seluruh biaya pemeliharaan anak adalah tanggung jawab ayah menurut kemampuannya sampai anak itu dewasa atau mandiri.

2. Konsepsi

Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional sebagai berikut :

1. Pengajuan adalah suatu upaya yang dilakukan untuk memperoleh suatu penetapan mengenai suatu keadaan tertentu.

2. Itsbat nikah adalah permohonan pengesahan nikah (penetapan nikah) kepada Pengadilan Agama sehingga akad nikah yang sebelumnya tidak

27Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama,Mandar Maju, Bandung, 1992, hal.149


(36)

sah atau tidak memiliki bukti yang sah mempunyai kekuatan hukum yang sah menurut ketentuan hukum yang berlaku.28

3. Pengesahan adalah suatu penetapan pengadilan (Mahkamah Syar’iyah) tentang adanya suatu peristiwa hukum tertentu dalam hal ini suatu pernikahan.29

4. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.30

5. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.31

6. Status anak adalah kedudukan dan hubungan secara hukum anak dengan orang tuanya dalam hal ini terhadap anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat sebelum dilakukan itsbat nikah.32

7. Pengadilan Agama Klas IA Medan adalah lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan perkawinan bagi umat Islam melalui proses persidangan termasuk penetapan itsbat nikah.

28 Zainuddin Ali,

Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 29.

29Ibid.

30Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

31Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

32Yola Ardiza, Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Poligami Tanpa Izin Dan Kaitannya dengan Status Anak Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi di Pengadilan Agama Klas I-A Medan),MKN Fakultas Hukum USU, Medan, 2010, hal 30.


(37)

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Rancangan penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan penelitian deskriptif analitis yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang pengajuan itsbat nikah dan status anak yang lahir sebelum itsbat nikah. Penelitian ini merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.33 Menggambarkan

masalah-masalah hukum dan menganalisa masalah-masalah tersebut, sehingga dapat ditarik kesimpulan.

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).

Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek


(38)

normatif yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

2. Sumber data

Sumber data berasal dari penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari :

1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari :

a. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ketentuan Hukum Perkawinan

b. Teori hukum perkawinan dan keluarga

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer, misalnya buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan peneltian ini.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan hukum sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus bahasa Indonesia.

Selain itu, juga dilakukan penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang tidak diperoleh dalam penelitian kepustakaan dan data primer untuk mendukung analisis permasalahan yang telah dirumuskan.


(39)

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian tesis ini dipergunakan tehnik pengumpulan data sebagai berikut :

a. Penelitian kepustakaan (library research)

Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah, peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan pengajuan itsbat nikah dan status anak yang lahir sebelum itsbat nikah.

b. Penelitian Lapangan (field research)

Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer yang berkaitan dengan materi penelitian.

Metode yang digunakan yaitu wawancara (depth interview) secara langsung kepada responden dan informandengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Adapun penelitian lapangan dilakukan dengan cara mewawancarai narasumber yaitu Hakim dan Panitera Pengadilan Agama Medan sebagai responden dan Ketua Pengadilan Agama Medan sebagai informan.

4. Alat Pengumpulan Data

Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :


(40)

a. Studi Dokumen yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang perjanjian perkawinan. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting.

b. Wawancara34 dengan menggunakan pedoman wawancara (interview

quide)35. Wawancara dilakukan terhadap responden dengan menggunakan

pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan dengan cara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam (depth interview). Adapun narasumbernya meliputi Hakim dan Panitera Pengadilan Agama Medan serta Ketua Pengadilan Agama Medan.

5. Analisis Data

Dalam analisis data dilakukan penyusunan data primer dan data sekunder secara sistematis. Selanjutnya data primer dan data sekunder yang telah disusun secara sistematis dianalisis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang

34Herman Warsito,

Loc.cit, yang menyatakan wawancara merupakan alat pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) pedoman wawancara, dan situasi wawancara.

35 Ibid, hal. 73. Menyatakan pedoman wawancara yang digunakan pewawancara,

menguraikan masalah penelitian yang biasanya dituangkan dalam bentuk daftar pertanyaan. Isi pertanyaan yang peka dan tidak menghambat jalannya wawancara.


(41)

berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini sehingga diperoleh kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa analisis data akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan kalimat yang sistematis untuk menmperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.


(42)

BAB II

TATA CARA PENGAJUAN ITSBAT NIKAH YANG DILAKUKAN PADA PENGADILAN AGAMA KLAS IA MEDAN

A. Perkawinan dan Pengaturannya di Indonesia 1. Pengertian dan Asas Perkawinan

Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin.36Di samping itu perkawinan

merupakan ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang perempuan yang telah dewasa menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bersifat kekal dan abadi menuju kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.

Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara suami istri, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu perkawinan.

Ikatan lahir dalam suatu perkawinan, yaitu hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut Undang-Undang, hubungan mana mengikat kedua pihak, dan pihak lain dalam masyarakat, sedangkan ikatan batin, yaitu hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja.

36 Rien G. Kartaapoetra, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Bina Aksara, Jakarta,Cetakan I


(43)

Antara seorang pria dan wanita artinya dalam satu masa ikatan lahir batin itu hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita saja. “Suami isteri adalah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan lahir batin berarti tidak pula ada fungsi sebagai suami-isteri”.37 R. Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah “persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal”.38 Artinya bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum baik karena apa yang

ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di dalamnya.39

Dalam konsepsi hukum Perdata Barat, menurut Vollmar yang dikutip dalam Sudikno Mertokusumo bahwa “perkawinan itu dipandang dari segi keperdataan saja. Maksudnya bahwa undang-undang tidak ikut campur dalam upacara-upacara yang diadakan oleh Gereja, melainkan undang-undang hanya mengenal “perkawinan perdata”, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang Pegawai Catatan Sipil”.40

Secara etimologi perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama dengan kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”

37Achmad Samsudin dalam Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian,

UNS, Semarang, 2005,hal 74.

38 R. Soetojo Prawirohamidjijo, hal.35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 61.

39 Sudikno Mertokusumo,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta,

2001. hal 61.


(44)

menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan bersuami isteri.41

Menurut bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah.42 Al-nikah yang

bermaknaal-wathi’ danal-dammu wa al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul danakad.43Istilah nikah yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia,

sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti kata nikah mempunyai dua makna, yaitu perjanjian/akaddan bersetubuh/berkumpul.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan perkawinan menurut hukum perdata perdata yang mengartikan perkawinan merupakan perjanjian yang setia mensetiai, dan sama-sama bertanggung jawab dalam menunaikan tugasnya sebagai suami-isteri atas keselamatan dan kebahagiaan rumah tangga. Perjanjian tersebut harus sesuai dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Menurut Soedaryono Soemin syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, terdiri dari :

1. Kesepakatan

Adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela diantara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi tidak

41W. J. S. Poerwadarminta,Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

1994, hal. 453.

42Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/

pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hal. 468.

43Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 38.


(45)

ada kesepakatan apabila dibuat atas dasar paksaan, penipuan, atau kekhilafan.

2. Kecakapan

Para pihak yang membuat perjanjian haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum yang cakap (dewasa). Tidak cakap adalah orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang-orang dewasa yang ditempatkan dalam pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa. Mereka yang belum dewasa menurut UU Perkawinan adalah anak-anak karena belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.

3. Hal tertentu

Obyek yang diatur dalam perjanjian harus jelas, tidak samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya fiktif, misal: orang jelas, anak siapa.

4. Sebab yang dibolehkan

Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misal: adanya paksaan dalam menikah.44

Jadi, “perkawinan adalah perjanjian yang diadakan oleh dua orang yaitu antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.45

Bermacam-macam pendapat yang dikemukakan mengenai pengertian perkawinan. Perbedaan diantara pendapat-pendapat itu tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan yang sungguh-sungguh antara satu pendapat dengan pendapat yang lain, tetapi lebih memperlihatkan keinginan setiap pihak perumus, mengenai banyak jumlah unsur-unsur yang hendak dimasukkan dalam perumusan pengertian perkawinan itu disatu pihak, sedangkan dipihak lain dibatasi pemasukan unsur-unsur

44Soedaryono Soemin. Hukum Orang dan Keluarga. Sinar Grafika, 1992, hal 6. 45Ibid., hal 6.


(46)

tersebut dalam perumusan pengertian perkawinan. Perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan:46

a. Perkawinan dilihat dari segi hukum

Dipandang dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian al-Qur'an Surat an-Nisaa ayat (21) menyatakan “... perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “mitsaaqan ghaliizhaan”. Hal ini juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian karena adanya:

1) cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu.

2) cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talaq, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.

b. Perkawinan dilihat dari segi sosial.

Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang belum/tidak menikah.

c. Pandangan perkawinan dari segi agama; suatu segi yang sangat penting. Dalam agama, perkawinan dianggap sebagai suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, dimana kedua belah pihak dihubungkan

46

Sayuti Thalib,Hukum Kekeluargaan Indonesia, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1986,Jakarta,hal. 47-48.


(47)

menjadi pasangan suami isteri atau saling meminta untuk menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah sebagaimana diingatkan oleh al-Qur'an Surat an-Nisaa ayat (1).

Asal hukum melakukan perkawinan menurut pendapat sebagian sarjana hukum Islam adalah ibahah atau kebolehan atau halal. Oleh karena itu, berdasarkan pada perubahan 'illah nya, maka dari ibahah atau kebolehan hukum melakukan perkawinan dapat beralih menjadi sunnah, wajib, makruh dan haram:47

a. Hukumnya beralih menjadi sunnah.

Dengan 'illah: seseorang apabila dipandang dari segi jasmaninya telah wajar dan cenderung untuk kawin serta sekedar biaya hidup telah ada, maka baginya menjadi sunnah untuk melakukan perkawinan.

b. Hukumnya beralih menjadi wajib.

Dengan 'illah: seseorang apabila dipandang dari segi biaya kehidupan telah mencukupi dan dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaniahnya sudah sangat mendesak untuk kawin, sehingga jika tidak kawin akan terjerumus kepada penyelewengan, maka menjadi wajiblah baginya untuk kawin.

c. Hukumnya beralih menjadi makruh.


(48)

Dengan 'illah: seseorang apabila dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak dan belum ada biaya untuk hidup, sehingga jika ia kawin hanya akan membawa kesengsaraan hidup bagi anak dan istrinya, maka makruhlah baginya untuk kawin.

d. Hukumnya beralih menjadi haram.

Dengan 'illah: apabila seorang laki-laki hendak mengawini seorang wanita dengan maksud menganiaya atau memperdayainya maka haramlah bagi laki-laki itu untuk kawin dengan perempuan yang bersangkutan sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an Surat an-Nisaa ayat (24) dan ayat (25) serta dalam al-Qur'an Surat al-Baqarah ayat (231). Ketentuan demikian juga berlaku bagi seorang laki-laki yang hendak mengawini seorang wanita walaupun tidak ada niat dan maksud menganiaya atau memperdayainya sebagai ketentuan ayat-ayat yang bersangkutan tetapi menurut perhitungan yang wajar dan umum, bahwa perkawinannya itu akan berakibat penganiayaan secara langsung bagi wanita yang bersangkutan.

Perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian suci antara seorang pria dan seorang wanita yang memiliki segi-segi hukum perdata. Asas-asas hukum perkawinan Islam adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, kebebasan


(49)

memilih pasangan, kemitraan suami isteri, untuk selama-lamanya, dan monogami terbuka:48

a. Asas Kesukarelaan

Asas kesukarelaan merupakan asas terpenting dalam perkawinan Islam. Kesukarelaan tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami tetapi juga antara kedua orang tua calon mempelai. Kesukarelaan orang tua adalah sendi asasi perkawinan Islam.

b. Asas Persetujuan Kedua Belah Pihak

Asas persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis dari

asas yang pertama. Ini berarti tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan. Persetujuan calon mempelai wanita harus diminta oleh orang tua atau walinya dan diamnya calon mempelai wanita dapat diartikan sebagai persetujuan. Hadits Nabi mengatakan bahwa tanpa persetujuan pernikahan dapat dibatalkan. Persetujuan yang dibuat dalam keadaan pikiran yang sehat dan bukan karena paksaan.

Jika calon suami atau calon isteri tidak memberikan pernyataan setujunya untuk kawin, maka tidak dapat dikawinkan. Persetujuan tentunya hanya dapat dinyatakan oleh orang yang cukup umur untuk kawin baik dilihat dari keadaan

48Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 139-141.


(50)

tubuhnya maupun dilihat dari kecerdasan pikirannya. Istilah dalam Islam disebut akil baligh, berakal, atau dewasa.49

c. Asas Kebebasan Memilih Pasangan

Asas kebebasan memilih pasangan juga disebutkan dalam Sunnah Nabi. Diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa pada suatu ketika seorang gadis bernama Jariyah menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya. Setelah mendengar pengaduan itu, Nabi menegaskan bahwa ia (Jariyah) dapat memilih untuk meneruskan perkawinan dengan orang yang tidak disukainya itu atau meminta supaya perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan orang lain yang disukainya. Dengan demikian, setiap pihak bebas memilih pasangannya dan jika tidak suka boleh membatalkan perkawinan.50

d. Asas Kemitraan Suami Isteri

Dalam beberapa hal kedudukan suami isteri adalah sama, namun dalam beberapa hal berbeda (lihat Q.S. an-Nisaa ayat 34 dan Q.S. al-Baqarah ayat 187). Asas kemitraan suami isteri dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat (sifat asal dan pembawaan). Suami menjadi kepala keluarga sedangkan isteri menjadi penanggung jawab pengaturan rumah tangga.

e. Asas Untuk Selama-lamanya

49

Sayuti Thalib,Op.Cit., hal. 66.


(51)

Asas untuk selama-lamanya menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup (Q.S. ar-Ruum ayat 21). Karena asas ini pula maka perkawinan mut’ah yaitu perkawinan sementara untuk bersenang-senang selama waktu tertentu saja, seperti yang terdapat pada masyarakat Arab Jahiliyah dahulu dan beberapa waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi Muhammad. Perkawinan dilaksanakan untuk selama-lamanya tanpa diperjanjikan jangka waktunya. Tujuan perkawinan adalah untuk membina cinta dan kasih sayang selama hidup serta melanjutkan keturunan.

f. Asas Monogami Terbuka

Pada prinsipnya perkawinan Islam menganut asas monogami, namun dalam hal-hal tertentu dibolehkan berpoligami. Laki-laki boleh mempunyai maksimal empat orang isteri (lihat Q.S. An-Nisaa ayat 129). Syarat utamanya adalah bisa berlaku adil diantara isteri-isterinya. Dalam Al-Quran Surat An-Nisaa ayat (129) Allah berfirman bahwa tidak seorang manusia pun yang dapat berlaku adil, karenanya kawinilah seorang wanita saja. Poligami hanya untuk keadaan darurat, agar terhindar dari dosa.

Apabila dilihat dari ketentuan hukum perkawinan nasional asas hukum perkawinan adalah ketentuan perkawinan yang menjadi dasar dan dikembangkan dalam materi batang tubuh dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Oleh karena itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat


(52)

mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.51Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala

sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 atau UU perkawinan berlaku yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah.52

2. Tujuan Perkawinan

Ada beberapa tujuan dari disyariatkannya perkawinan atas umat Islam, diantaranya adalah:53

a. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah agar dapat melanjutkan generasi yang akan datang. Hal ini terlihat dari isyarat Q.S. an-Nisaa ayat (1).

b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh dengan ketenangan hidup dan rasa kasih sayang. Penyaluran nafsu syahwat untuk menjamin kelangsungan hidup dapat saja ditempuh melalui jalur luar perkawinan, namun dalam mendapatkan ketenangan hidup bersama suami isteri tidak mungkin didapatkan kecuali melalui jalur perkawinan.

Selain yang disebutkan di atas, perkawinan juga bertujuan untuk:54

a. Menenteramkan jiwa. Bila telah terjadi akad nikah, isteri merasa jiwanya tenteram karena ada yang melindungi dan ada yang bertanggung jawab dalam rumah

51Amir Syarifudin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2007, hal. 25 52

Sudarsono,Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta , 2005, hal. 9.

53Amir Syarifuddin,Op.Cit., hal. 46-47. 54

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Prenada Media, Jakarta, 2003, hal. 13-21.


(53)

tangga. Suami pun merasa tenteram karena ada pendampingnya untuk mengurus rumah tangga, tempat menumpahkan perasaan suka dan duka serta teman bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan.

b. Memenuhi kebutuhan biologis. Kecenderungan cinta lawan jenis dan hubungan seksual sudah ada tertanam dalam diri manusia atas kehendak Allah. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan biologis harus diatur melalui lembaga perkawinan agar tidak terjadi penyimpangan sehingga norma-norma agama dan adat istiadat tidak dilanggar.

c. Latihan memikul tanggung jawab. Perkawinan merupakan pelajaran dan latihan praktis bagi pemikulan tanggung jawab dan pelaksanaan segala kewajiban yang timbul dari pertanggung jawaban tersebut. Maksud dan tujuan akad nikah adalah untuk membentuk kehidupan keluarga yang penuh kasih sayang dan saling menyantuni satu sama lain (keluarga sakinah).

Maksud pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga, adapun tujuannya adalah untuk menciptakan keluarga sakinah yang ditandai dengan adanya kebajikan sebagaimana diajarkan dalam Al-Quran Surat an-Nisaa ayat (19), serta diliputi dengan suasana “mawaddah warahmah” yang ditentukan dalam al-Quran Surat ar-Ruum ayat (21).55 Sedangkan menurut pasal 3 Kompilasi Hukum Islam,

perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

55


(54)

Tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan itu: (1) berlangsung seumur hidup, (2) cerai dibutuhkan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan (3) suami-isteri membantu untuk mengembangkan diri. Sedangkan suatu keluarga dikatakan bahagia apabila memenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah.

“Kebutuhan jasmaniah, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, seperti: adanya seorang anak yang berasal dari darah dagingnya sendiri”.56 “Tujuan perkawinan menurut

Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.57Artinya tujuan perkawinan itu adalah:

a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.

b. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan. c. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan

antara kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (isteri), yang mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada bertolongtolongan, antara satu kaum (golongan) dengan yang lain.58

Dalam hal ini Yani Trizakia yang mengutip pendapat Abdullah Kelib yang mengatakan bahwa :

Al-Qur’an sebagaimana sumber pokok tidak memberikan pedoman bahwa kaum pria atau suami menjadi “qowwamun” atas kaum wanita

56Sudikno Mertokusumo,Op.Cit., hal 62.

57Departemen Agama RI, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama, Jakarta, 2000, hal 14.


(55)

yang menjadi istrinya. Kandungan qowwamun inilah yang menjadi sifat responsive dalam membina rumah tangga yang bahagia. Kehidupan rumah tangga yang baik menjadi wajib hukumnya menurut syari’at Islam.59

Jadi, dengan perkataan ikatan lahir batin tersebut dimaksudkan bahwa hubungan suami isteri tidak boleh semata-mata hanya berupa ikatan lahiriah saja dalam makna seorang pria dan wanita hidup bersama sebagai suami isteri dalam ikatan formal, tetapi juga kedua-duanya harus membina ikatan batin. Tanpa ikatan batin, ikatan lahir mudah sekali terlepas. Jalinan ikatan lahir dan ikatan batin itulah yang menjadi pondasi yang kokoh dalam membangun dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.60

Rumah tangga yang dibentuk haruslah didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti bahwa norma-norma (hukum) agama harus menjiwai perkawinan dan pembentukan keluarga yang bersangkutan. Oleh karena itu, jelaslah bahwa perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak semata-mata hubungan hukum saja antara seorang pria dan seorang wanita, tetapi juga mengandung aspek-aspek lainnya seperti agama, biologis, sosial, dan adat-istiadat.61

Agar tujuan tercapai, maka setelah terjadinya perkawinan harus ada keseimbangan kedudukan antara suami isteri. Dengan demikian, segala sesuatu yang terjadi dalam

59Yani Trizakia,Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005, hal. 29. 60

Mohammad Daud Ali,Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 27.


(56)

keluarga merupakan hasil putusan bersama antara suami isteri berdasarkan hasil perundingan yang didasari oleh sifat musyawarah.62

B. Pencatatan sebagai Syarat Untuk Melahirkan Akibat Hukum Perkawinan Perkawinan merupakan salah satu perbuatan hukum yang dapat dilaksanakan olehmukallafyang memenuhi syarat.Ta'rif(pengertian) perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tanggasakinah, mawaddahdanrahmah.63

Perkawinan merupakan akad atau perjanjian, namun demikian bukan berarti bahwa perjanjian pada perkawinan ini sama artinya dengan perjanjian biasa yang diatur dalam Buku III KUH Perdata. Perbedaannya bahwa pada perjanjian biasa, para pihak yang berjanji bebas untuk menentukan isi dan bentuk perjanjiannya, sebaliknya dalam perkawinan, para pihak tidak bisa menentukan isi dan bentuk perjanjiannya selain yang sudah ditetapkan oleh hukum yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perbedaan lain yang dapat dilihat adalah dalam hal berakhirnya perjanjian, bahwa pada perjanjian biasa, berakhirnya perjanjian ditetapkan oleh kedua belah pihak, misalnya karena telah tercapainya apa yang menjadi pokok perjanjian atau

62

Djaren Saragih,Hukum Perkawinan Adat dan Undang-undang tentang Perkawinan serta Peraturaan Pelaksanaannya, Tarsito, Bandung , 1992, hal. 16.


(57)

karena batas waktu yang ditetapkan telah berakhir, jadi tidak berlangsung terus menerus. Sebaliknya perkawinan tidak mengenal batasan waktu, perkawinan harus kekal, kecuali karena suatu hal di luar kehendak para pihak, barulah perkawinan dapat diputuskan, misalnya karena pembatalan perkawinan.

Soemiyati mengatakan bahwa :

Pemutusan perkawinan tidaklah sesederhana seperti dalam pemutusan perjanjian biasa, yang ditetapkan lebih awal dalam isi perjanjiannya. Bagaimana sebab putusnya ikatan perkawinan, prosedurnya maupun akibatnya pemutusannya, tidak ditetapkan oleh para pihak, melainkan hukumlah yang menentukannya. Perjanjian dalam perkawinan mempunyai karakter khusus, antara lain bahwa kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.64

Penyelenggaraan perkawinan di beberapa komunitas masyarakat, ada kalanya tidak menghiraukan kehendak sebenarnya dari calon yang akan kawin, bahkan dalam banyak kasus, si pria atau si wanita baru mengetahui dengan siapa dia akan dikawinkan pada saat perkawinannya akan dilangsungkan. Sering pula terdengar kasus bahwa perkawinan telah berlangsung sesuai dengan kehendak yang melangsungkan perkawinan, tetapi bertentangan dengan kehendak pihak lain, misalnya dari pihak keluarga, baik dari keluarga pria atau dari keluarga wanita. Konsekuensi dari keadaan yang demikian ini menyebabkan tidak adanya kebahagiaan

64 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty,


(58)

dalam rumah tangga dan akhirnya dengan terpaksa ikatan perkawinan tersebut diputuskan.

Mengingat berbagai macam persoalan yang terjadi di masyarakat, maka diperlukan adanya keseragaman hukum perkawinan di Indonesia. Pada tahun 1974 pemerintah telah mengeluarkan ketentuan hukum yang berlaku secara nasional, yakni dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) pada tanggal 2 Januari 1974.

Di dalam penjelasan umum UU Perkawinan disebutkan bahwa karena tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan materiil dan spritual.

Membentuk keluarga adalah membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, isteri, dan anak, sedangkan membentuk rumah tangga yaitu membentuk kesatuan hubungan suami-isteri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman bersama. Dalam hal ini bahagia diartikan sebagai adanya kerukunan antara suami-isteri, dan anak-anak dalam rumah tangga. Dalam rumah tangga mereka mendambakan kehidupan yang kekal artinya berlangsung terus menerus seumur hidup, dan tidak boleh diputuskan begitu saja, atau dibubarkan menurut pihak-pihak.


(1)

3. Agar setiap perkawinan yang dilakukan dibawah tangan (tidak dicatat) dapat diajukan itsbat nikah apabila memenuhi rukun dan syarat nikah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi pihak isteri dan anak mengenai statusnya dalam perkawinan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Teks

Afandi, Ali., Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta, Bina Aksara, 1986.

Ahmad, Ruben,Upaya Penyelesaian Masalah Anak Yang Berkonflik dengan Hukum di Kota Palembang, Makalah, FH. Sriwijaya, Palembang, 2005.

Alhamdani,Risalah Nikah, Hukum Perkawinan Islam,Jakarta, Pustaka Amani, 1989. As Syaukani, Naulul Authar (Alih Bahasa KH, Adib Bisri.et.al) Jilid VI, Penerbit

Asy-Syifa, Semarang, 1994.

Ashshofa, Burhan,Metode Penelitian Hukum,Rineka Cipta, Jakarta, 2001.

Badri, R., Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan dan KUHP, Surabaya Amin Surabaya, 1985.

Bagir al-Habsyi, Muhammad, Fiqh Praktis Menurut al-Qur'an-as-Sunnah dan Pendapat para Ulama, Mizan Media Utama, Buku II Cet. I, Bandung 2002. Effendi M. Zein, Satria,Probematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis

Yurisprudensi dengan pendekatan Ushuliyah), Prenada Media, Jakarta, 2004. Hadikusuma, Hilman,Hukum Perkawinan Adat,Alumni, Bandung, 1977.

---,Hukum Perkawinan Indonesia,Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1990 ---,Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum

Agama,Mandar Maju, Bandung, 1992.

Harahap, M. Yahya,Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, CV. Zahir, cet. I, Medan 1975

Hassan, Kumpulan Soal Tanya Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama. Diponegoro, Bandung, 1983.

Hazairin, Tinjauan mengenai Undang-undang RI. No. 1 Tahun 1974, Tintamas Indonesia, Jakarta cet. I, 1975.


(3)

Hisyam, M.,Penelitian Ilmu-Ilmu Soaial,Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996.

Ichsan. Achmad,Hukum Perkawinan Bagi yang Beragama Islam.Pradnya Paramita, Jakarta, 1986.

Instruksi Presiden RI No. 1 Th. 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama RI, 2000.

Kansil, C.S.T., Modul Hukum Perdata,Jakarta, Pradnya Pramita, Jakarta, 1995. Kartaapoetra, Rien G., Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Bina Aksara,

Jakarta,Cetakan I 1988..

Loebis, A.B., UU Perkawinan Yang Baru (Komentar dan Analisa). Jakarta, tt. Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.

Melialia, Djaja S., Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga,Bandung, Nuansa Aulia, 2006.

Moeliono, Anton M.,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1988. Mukti Arto, A.,Praktek-praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta, Tahun 2003.

Munawir, A.W.,Kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, Pustaka Progresif, Surabaya 1997.

Nuruddin, Amiur & Azhari Akmal Tarigan,Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Prenada Media, Jakarta, 2004.

Poerwadarminta, W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994.

Poesponoto, Soebakti, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.

Prawirohamidjodjo, R. Soetojo, dan Asis Safioedin, Hukum Orang Dan Keluarga, Bandung, Alumni, 1982.

Prawirohamijoyo R. Soetoyo,Pluralism Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia,Airlangga University Press, Surabaya, 1988.


(4)

Prodjohamidjojo, Martiman, Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan Peraturan Pelaksanaan,Pradnya Paramita, Jakarta, 1991.

---, Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, Karya Gemilang, Jakarta, 2007.

Raharjo, Satjipto,Ilmu Hukum,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Ramulyo, Mohd. Idris,Hukum Perkawinan Islam,Jakarta, Bumi Aksara, 2002. Rasjidi, Lili., Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, PT.

Remaja Rosdakarya, cet. I, Bandung, 1991.

Rasjidi, Lili, dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002.

Rofiq, Ahmad,Hukum Islam di Indonesia,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995. Ruslan,.Warta Perundang-UndanganNo. 2333. Jakarta. Kamis 19 Februari 2004. Saleh, K. Wantjik,Hukum Perkawinan Indonesia,Jakarta, Balai Pustaka, 1996. Salim HS,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),Jakarta, Sinar Grafika, 2005. Satrio, J.,Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang,Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.

Soekanto, Soerjono,Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986. ---.,Intisari Hukum Keluarga,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.

---., dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982.

---, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ),Yogyakarta, Liberty, 1999.


(5)

Sosroatmojo, Arso.,Hukum Perkawinan di Indonesia,Cet 1, Bulan Bintang, Jakarta, 1975.

Subekti R., Ringkasan Hukum Keluarga dan Hukum Waris,Jakarta, Intermasa, 1985. ---,Pokok Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1993.

Sudarsono,Hukum Perkawinan Nasional,Jakarta, Rineka Cipta, 1991. ---,Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.

Sulistini, Elise T., Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara Perdata, Bina Aksara, cet. I, Jakarta, 1978.

Sunggono, Bambang., Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002.

Supramono, Gatot, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan, Jakarta, 1998.

Sutanto, Retnowulan, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, cet. VIII, Mandar Maju, Bandung 1997.

Syahrani, Ridwan dan Abdurrahman, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia,Alumni, Bandung, 1978.

Tahir Hamid, Andi, Beberapa Hal Baru tentang Peradilan Agama dan Bidangnya, Sinar Grafika.

Thong Kie, Tan, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2007.

Thalib, Muhammad, Orang Barat Bicara Poligami, Wihdah Press, Yogyakarta, Tahun 2004.

Warsito, Herman,Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997

Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973.

Zuffran Sabrie, H. M.,Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah. Departemen Agama RI, Jakarta, 1998.


(6)

B. Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentangPerlindungan Anak

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Insrtuksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentangKompilasi Hukum Islam di Indonesia Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007

TentangPencatatan Nikah.

Keputusan Menteri Agama (KMA) No 477 Tahun 2004 Tentang Pegawai Pencatatan Nikah.


Dokumen yang terkait

Aspek Pembuktian Oleh Para Pihak Dalam Permohonan Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama (Studi Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Kota Medan)

6 125 217

Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Poligami Tanpa Izin Dan Kaitannya dengan Status Anak Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi di Pengadilan Agama Klas I-A Medan)

2 35 156

Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan Dan Anak (Studi Analisis Penetapan Nomor 0244/Pdt.P/2012/Pa.Js)

1 9 98

Respon Masyarakat Tenjolaya Bogor Terhadap Pelayanan Itsbat Nikah Terpadu Pengadilan Agama Cibinong

2 24 88

Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan Dan Anak (Studi Analisis Penetapan Nomor 0244/Pdt.P/2012/Pa.Js)

1 4 98

Itsbat nikah akibat pernikahan di bawah tangan bagi pasangan menikah di bawah umur (studi analisis penetapan pengadilan agama Cibinong Nomor: 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn)

4 22 105

Akibat Pembatalan Perkawinan Karena Adanya Pemalsuan Identitas dan Kaitannya Dengan Kedudukan Anak Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Pada Pengadilan Agama Medan Kelas-IA)

3 26 124

TINJAUAN YURIDIS TENTANG ITSBAT NIKAH (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta) Tinjauan Yuridis Tentang Itsbat Nikah (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta).

0 1 16

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA E. Pengertian Perkawinan - Aspek Pembuktian Oleh Para Pihak Dalam Permohonan Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama (Studi Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Kota Medan)

0 0 49

Aspek Pembuktian Oleh Para Pihak Dalam Permohonan Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama (Studi Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Kota Medan)

0 0 11