Sighah Ijab dan Qabul
Pendapat pertama oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah, bahwa lafaz ijab dan qabul selain dua lafaz di atas nikah dan zawaj yang mengandung arti
kepemilikan akan sesuatu adalah sah, seperti lafaz hibah pemberian, at-tamlik memiliki, al-sadaqah bersedekah, al-tiyyah pemberian, dan lain-lain. Tetapi
dengan syarat niat nikah atau diketahui maksudnya oleh para saksi. Alasan-alasan yang dikemukakan pendapat ini adalah:
a Terdapat penggunaan kata hibah dalam al-Qur’an Surah al-Ahzab [33]: 50
berikut:
“Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang
mukmin. ”
b Penggunaan lafaz tamlik sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang
diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’ad ra. :
ق سرلا
لَص ه
ه لَع َمّلَسَ
ل جَر ل مل
ك ل َ ًااَم
ه مِدَق اًر َم
: دق
اَ َت كلَم اَ ب
َكَعَم َ م
أ رقلا ا
اخ ل .
“Sabda Rasulullah Saw. kepada seorang laki-laki yang tidak mempunyai harta untuk dijadikan mahar, lalu Nabi berkata kepadanya: “Aku telah memilikkan
menikahkan kamu dengannya, dengan apa yang kamu hafal dari ayat al- Qur’an.” HR. Bukhari.
21
21
Shahih al-Bukhari, Kitab al-Nikah, Bab Tazwij al- Mu’sir, hadis no. 5087.
c Suatu lafaz dapat digunakan dengan tujuan majaz
22
karena bentuk majaz tidak terbatas penggunaannya dalam lafaz-lafaz bahasa saja tetapi berlaku
juga dalam lafaz-lafaz syar‟i.
d Sighah adalah setiap perkataan yang mengandung saling rela dan
menerima dari calon suami, wali atau yang mewakili keduanya seperti perkataan, “Saya menikahkan”, “Memberikan hibah”, Mensedekahkan”,
dan lain-lain sambil menyebutkan mahar. Pendapat kedua, oleh ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, yang mengatakan
bahwa akad tidak sah apabila diucapkan selain lafaz nikah dan zawaj karena keduanya telah disebutkan dalam al-
Qur’an. Karena itu, seharusnya cukup hanya menggunakan keduanya tanpa membolehkan menggunakan lafaz yang lain.
Alasan pendapat ini adalah: a
Penggunaan dua lafaz ini nikah dan zawaj terdapat dalam al-Qur’an yang telah disebutkan sebelumnya.
b Berdasarkan sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan Jabir bin „Abdillah ra. :
َها قّتإ ف
ءاَسِنلا م كّ إف
ت َخأ َ اَمأب
ه م تلل حت ساَ
َج ر ف َ لَك ب
ه ا
د اد بأ با
هجام .
“Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka sebagai amanah Allah, dan halal bagimu
menggauli mereka karena kalimat Allah”. HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah
.
23
22
Lafaz Majaz adalah lafaz yang penggunaannya untuk menunjukkan makna lain yang benar berdasarkan qarinah alasan selain makna awal dasar yang dimaksudkan dari lafaz
tersebut. Muhit al-Muhit, h. 136.
23
Sunan Abu Dawud, Kitab al-Manasik, Bab Sifatu Hajjati an-Nabi, hadis no. 1905, jilid 2, h. 455; dan Sunan Ibnu Majah, Kitab al-Manasik, Bab Hajjatu Rasulillah, hadis no. 3074, jilid
2, h. 1022.
Yang dimaksud “kalimat Allah” dalam hadis di atas adalah kalimat yang terdapat dalam kitab-Nya, dan tidak ada kalimat tentang sighah dalam kitab-Nya
selain kedua lafaz di atas.
24
c Menggunakan qiyas tidak dibolehkan dalam masalah ini karena nikah
termasuk ibadah. Maka tidak sah sighah kecuali kedua lafaz di atas. d
Disebutkan dalam Surah al-Ahzab [33]: 50 berikut:
“Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang
mukmin. ”
Penggunaan lafaz hibah dalam ayat ini sangat jelas bahwa penggunannya hanya khusus terhadap Nabi dan tidak berlaku untuk yang lain. Sedangkan hadis:
دَق اَ ت كلَم
اَ ب َكَعَم
َ م أ رقلا
ق ّتم ه لع
.
“Aku memilikkan menikahkan kamu dengannya, dengan apa yang kamu hafal dari ayat al-
Qur’an.” HR. al-Bukhari dan Muslim.
Menurut riwayat yang sahih hadis di atas menggunakan kata “qad
ankahtuka”, “Aku menikahkanmu dengannya”.
Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat yang mengatakan tentang kebolehan menggunakan lafaz selain lafaz nikah dan zawaj dalam akad,
mengingat:
24
Asrorun Ni’am Sholeh. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta: eLSAS, 2008.
a. Klaim dari pendapat kedua bahwa hanya ada dua lafaz yang dikemukakan
oleh al- Qur’an, yaitu lafaz nikah dan zawaj, tidak dapat diterima
sepenuhnya karena nash ayat maupun hadis yang dijadikan dalil oleh pendapat kedua adalah bantahan atas klaim tersebut.
b. Khususiyah pengkhususan penggunaan kata hibah terhadap Nabi Saw.
dalam ayat di atas adalah tidak tepat karena khususiyah yang dimaksud adalah kebolehan Nabi menikah tanpa mahar bukan penggunaan kata
hibah. Ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Qurtubi
25
, “Perlakuan khusus terhadap Nabi di sini adalah seandainya wanita itu meminta mahar
sebelum bercampur berhubungan badan maka tidaklah dapat dipenuhi, karena meminta mahar sebelum berhubungan hanya berlaku di antara kita
bukan kepada Nabi Saw.”
26
Di sinilah letak kekhususan itu.
27
c. Kemudian di dalam menggunakan kata selain lafaz nikah disyaratkan niat
untuk mengetahui kepastian akad yang dilakukan agar para saksi mengetahui maksudnya. Karena ibrah yang menjadi pijakan dalam
melakukan akad itu adalah diketahuinya maksud pernyataan bukan karena berdasarkan lafaz-lafaznya.
25
Al-Qurtubi adalah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Faraj al-Ansari, al- Khazraji, al-Andalusi, terkenal dengan sebutan al-Qurtubi. Beliau dikenal ahli dalam bidang tafsir
dan termasuk salah satu pengikut mazhab Maliki, wafat di Mesir pada bulan Syawal 671 H1273 M.
Mu‟jam al-Muallifin, Jilid 8 h. 239.
26
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar al-Qurtubi, selanjutnya disebut al-Qurtubi, al- Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, tt. jilid 14, h. 210.
27
Asrorun Ni’am Sholeh. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta: eLSAS, 2008.
3 Akad Dengan Lafaz Selain Bahasa Arab
Lafaz selain bahasa Arab akan berlangsung karena ada dua kemungkinan: Pertama, lafaz diucapkan oleh orang yang tidak mengetahui bahasa Arab.
Mengenai keabsahan akad ini tidak ada perbedaan di antara para ulama. Mereka sepakat tentang keabsahan dengan syarat setiap yang terlibat dalam proses akad,
seperti calon suami, wali maupun para saksi, mengetahui dan memahami maksud dari lafaz tersebut.
Kedua, kemungkinan lafaz itu timbul dari orang tidak cakap dalam berbahasa Arab. Mengenai hal ini jumhur ulama memandang sah kecuali dalam
sebuah riwayat Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, memandang hal tersebut tidak sah.