Dampak Penolakan Itsbat Nikah terhadap Hak Perempuan

(1)

DAMPAK PENOLAKAN ITSBAT NIKAH TERHADAP HAK

PEREMPUAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

RIA AMALIYAH 105044201463

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

DAMPAK PENOLAKAN ITSBAT NIKAH TERHADAP HAK

PEREMPUAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

RIA AMALIYAH 105044201463

Dibawah bimbingan: Pembimbing

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA NIP : 19955050 519820 31012

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul DAMPAK PENOLAKAN ITSBAT NIKAH TERHADAP HAK PEREMPUAN telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 5 Oktober 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyah.

Jakarta, 5 Oktober 2009 Megesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA,MM. NIP. 19550505 198203 1012

PANITIA UJIAN

Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA (………) NIP :19955050 519820 31012

Sekretaris : Kamarusdiana, S. Ag, MH (………) NIP : 19720224 19980 31003

Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA (………) NIP : 19955050 519820 31012

Penguji I : Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi (………) NIP : 19940080 519620 21001

Penguji II : Kamarusdiana, S.Ag, MH__ (………) NIP : 19720224 199980 31003


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima hukuman dan sanksi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 14 Agustus 2009

Ria Amaliyah 105044201463


(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT karena atas rahmat dan inayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Selanjutnya shalawat dan salam senantiasa kami persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membimbing umatnya ke jalan yang benar sekaligus menyempurnakan akhlak manusia melalui petunjuk illahi.

Rasa syukur saya persembahkan kepada Allah atas nikmat yang tak terhitung jumlahnya yang telah dianugerahkan kepada penulis. Salah satunya nikmat Iman dan Islam, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

Selama masa perkuliahan hingga tahap penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motifasi bagi penulis. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi. Ucapannya terima kasih penulis haturkan kepada Bapak:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dibawah kepemimpinannya telah banyak membantu dalam menyelesaikan proses belajar mengajar di Fakultas Syariah dan Hukum tempat penulis menimba ilmu.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA. Selaku ketua Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah, yang sekaligus sebagai dosen pembimbing yang telah


(6)

mentransformasi ilmunya serta memotivasi penulis sehingga penulis bisa terselesaikan skripsi ini.

3. Kamarusdiana, S. A.g. MH, Sekretaris Prodi Ahwal Al-Syakhshiyah, yang sekaligus juga bertindak Penguji II (dua) dalam sidang munaqasyah.

4. Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi, selaku Penguji I (satu) dalam sidang munaqasyah, yang telah memberikan saran-saran dan kritik yang sangat berguna untuk lebih sempurna dalam tulisan ini.

5. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum khususnya dosen Ahwal Al-Syakhsiyah yang telah memberikan materi perkuliahan, ilmu, dan bimbingan akhlak semua kuliah hingga selesai skripsi ini.

6. Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Teristimewa kedua orang tua penulis yang tercinta, Ayahanda Amarullah S.pd dan Ibunda Maswanih S.pd yang tidak henti-hentinya mendoakan dan memberikan pengorbanan yang telah memberikan segenap kesabaran, ketulusan dan keikhlasan serta cinta dan kasih sayang, serta dukungan baik moril maupun materil yang tiada terhitung nilainya, serta senantiasa mendoakan dan membimbing penulis. Serta kakak kandungku Richa Widuri Amd. Keb yang telah memberi semangat penulis, dan untuk adik tersayang Refiyanti, Rohmatunisa, Rain radithiyah Al-Kahfi Putra Terima kasih telah memberikan banyak bantuan, semoga dari Allah SWT dapat balasan yang lebih baik. Amin.


(7)

8. Abdul Harits Muhammad, S.Kom dan keluarga yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat MAHAD AL-ZAYTUN, meirly zaiwarni, S.E yang telah memberikan motivasi, saran, dan teman-teman penyejuk hati dalam suka maupun duka yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

10. Teman-teman Fakultas Syariah dan Hukum, khusunya Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Angkatan 2005, Kawan-kawan KKS cijulang 2008. Terima kasih telah banyak membantu serta bertukar pikiran baik selama belajar hingga detik pelaksanaan wisuda.

Jakarta, 14 Agustus 2009


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 7

D. Kajian Terdahulu ... 8

E. Metodelogi Penelitian... 10

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II ITSBAT NIKAH DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM A. Pengertian Nikah dan Itsbat nikah ... 15

B. Dasar Hukum Itsbat Nikah ... 17

C. Akibat Hukum Itsbat Nikah ... 18


(9)

BAB III HAK-HAK PEREMPUAN DALAM PERKWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG

PERKAWINAN

A. Keberpihakkan Hukum Terhadap Perempuan ... 30 B. Perempuan Dalam Undang-Undang Perkawinan... 38

BAB IV IMPLIKASI ITSBAT NIKAH TERHADAP HAK PEREMPUAN A. Itsbat Nikah Dan Posisi Perempuan Dalam Pernikahan... 43 B. Implikasi Itsbat Nikah Terhadap Perempuan... 48

BAB V PENUTUP

A. Penutup ... 59 B. Saran-saran... 60

DAFTAR PUSTAKA... 62

LAMPIRAN

1. Lampiran Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa dengan

Nomor: 46/Pdt.P/2008/PA. TigaRaksa ... 65 2. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan menurut Hukum Islam sebagaimana di tegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam sama artinya dengan pernikahan, yaitu aqad yang sangat kuat atau

mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya sebagai ibadah.1

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2

Dalam Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang Perkawinan

1

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, bandung: Citra Umbara, 2007. h. 282.

2


(11)

No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang didalamnya terdapat tentang pencatatan perkawinan.3

Untuk mencapai ikatan lahir batin yang kuat seperti yang dimaksud di atas, undang-undang perkawinan pasal 2 ayat (2) telah menentukan keharusan adanya pencatatan pada tiap-tiap perkawinan, pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Pasal tersebut berbunyi : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.4

Bagaimanapun juga pencatatan perkawinan itu sangat besar mashlahahnya bagi umat manusia, lebih-lebih di era globalisasi seperti sekarang ini. Adapun oknum-oknum yang tidak mencatat perkawinannya karena mungkin perkawinan yang dilakukan bermasalah, misalnya melaksanakan nikah mut’ah, kawin sirri, atau melakukan poligami liar dan sebagainya, pasangan tersebut tidak mempunyai akta perkawinan yang sah, untuk itu memerlukan pengukuhan kembali terhadap perkawinan yang sudah dilakukan yang lebih dikenal dengan istilah Itsbat Nikah.5

Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami istri mempunyai salinannya. Namun dalam prakteknya, tak dapat dipungkiri bahwa sampai sekarang masih sering terjadi perkawinan yang

3

“Analisis Yuridis Status Hukum Istri yang Menikah di Bawah Tangan Berdasarkan Ketentuan yang Berlaku Tentang Perkawinan”, artikel ini diakses pada 17 Juli 2009 dari

http://intanghina.wordpress.com/2008/05/27/analisis-yuridis-status-hukum-istri-yang-menikah-di-bawah-tangan-berdasarkan-ketentuan-yang-berlaku-tentang-perkawinan.

4

Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat 2.

5

Yayan Sofyan, “Itsbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak Dicatat Setelah Diberlakukan UU No. 1 Tahun 1974 Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, Ahkam IV, no. 8 (2002): h. 70.


(12)

dilakukan secara “ilegal” yang sering juga disebut dengan “perkawinan dibawah tangan” karena tidak dicatat secara resmi oleh pegawai pencatat nikah.6

Perkawinan telah cukup dan memenuhi, apabila syarat dan rukunnya menurut ketentuan fiqh terpenuhi, tanpa diikuti pencatatan, apalagi akta nikah kondisi semacam ini di praktekkan sebagian masyarakat dengan menghidupkan praktek nikah sirri tanpa melibatkan petugas pegawai pencatat nikah (PP3N) sebagai petugas resmi yang diserahi tugas itu belum lagi, apabila ada oknum yang memanfaatkan “peluang” ini, untuk mencari keuntungan pribadi, tanpa mempertimbangkan sisi dan nilai keadilan yang merupakan misi utama sebuah perkawinan, seperti poligami liar tanpa izin istri pertama, atau tanpa izin dari Pengadilan Agama kenyataan semacam ini, menjadi hambatan besar suksesnya pelaksanaan Undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut.7

Sebagaimana dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan ayat 2. Dan apabila tidak mendapatkan izin dari pengadilan, maka perkawinan tersebut tidak mendapatkan kekuatan hukum. Hal ini tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 56 ayat 3 sebagai berikut: ”Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum”.8

6

Yayan Sofyan, “Itsbat Nikah Bagi Perkawinan, h. 69.

7

Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1, h. 90.

8

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, 1998, h. 34.


(13)

Dalam hal ini ada peraturan yang mengatur masalah pencatatan perkawinan yang menjadi tuntutan perkara. Maka, apabila pencatatan tidak dilakukan, ada akibat hukum bagi perkawinan tersebut dan yang dirugikan adalah pihak perempuan. Hukum perkawinan hanya mengakui sah perkawinan yang tercatat. Konsekuensinya, akses perempuan pada keadilan juga dibatasi, hanya perempuan yang menikah secara tercatat yang dilindungi haknya oleh hukum.9

Masalah yang muncul kemudian adalah bagaimana itsbat nikah yang diakibatkan karena tidak mempunyai surat izin poligami. Dalam masalah ini terdapat kasus itsbat nikah yang diajukan oleh pihak perempuan, tetapi permohonan itsbat nikah tersebut ditolak oleh pihak Pengadilan Agama. Terkait dengan hal tersebut bagaimana kedudukan kaum perempuan serta anak yang disebabkan karena tidak adanya surat izin poligami.

Kendati belum ditopang oleh penelitian resmi, fakta dilapangan menunjukkan banyaknya pasangan khususnya para perempuan yang baru menyadari akan pentingnya pencatatan perkawinan ketika dihadapkan oleh problematika hukum misalnya, ketika terjadi perceraian, pihak perempuan tidak dapat menuntut pembagian harta gono-gini, hak waris, perwalian anak dan lain sebagainya. Masyarakat sering bersikap yang penting sah menurut agama. Setelah menikah di bawah tangan pasangan baru menyadari bahwa ada akibat hukum apabila perkawinan tidak dicatatkan dan akan merugikan perempuan dan anak baik materil maupun moril.

9

Ahmad Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, Mimbar Hukum No. 26 Tahun IVV (Mei-Juni, 1996), h. 50.


(14)

Dengan demikian eksistensi itsbat nikah sangat perlu pada setiap warga negara yang tidak dicatatkan dan didaftarkan di kantor urusan Agama (KUA) setempat karena akan menimbulkan akibat hukum apabila tidak dilakukan, terlebih lagi terhadap istri dan anak-anaknya.

Terkait dengan dampak negatif dari maraknya peraktek pernikahan sirri, terutama pihak perempuan dan anak dengan adanya beberapa kasus, termasuk diantaranya tentang penolakan permohonan itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama, maka penulis tertarik untuk mengangkat dalam sebuah penelitian dengan judul “DAMPAK PENOLAKAN ITSBAT NIKAH TERHADAP HAK PEREMPUAN”.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merasa sangat perlu untuk membatasi, agar permasalahan dalam penelitian skripsi ini tidak meluas serta menjaga kemungkinan penyimpangan dalam penelitian skripsi ini, maka dalam penulisan ini penulis memfokuskan dan membatasi masalah hanya dalam ruang lingkup: Implikasi itsbat nikah yang ditolak terhadap kaum perempuan

2. Perumusan Masalah.

Mestinya Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan Pasal 2 menyatakan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, dan juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 5,


(15)

namun pada kenyataannya masyarakat masih banyak yang tidak mencatatkan pernikahannya di Pegawai pencatatan nikah karena pernikahan yang dilakukan bermasalah dengan tidak adanya dokumen formal dilihat dari dampaknya sangat merugikan kaum perempuan dan anak.

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penulis akan merinci masalahnya dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana Implikasi Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Hak Perempuan?

b. Apakah Setiap Perkawinan Yang di Lakukan di Luar Peraturan Undang-undang Dapat Di Itsbatkan di Pengadilan Agama?

c. Bagaimana Kedudukan Perkawinan Yang tidak Dapat Di Itsbatkan di Pengadilan Agama?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penyusunan skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui seberapa jauh hukum positif di indonesia yang dapat mendukung keberadaan kaum perempuan

b. Untuk mengetahui kedudukan perkawinan yang dilakukan di luar undang-undang menurut hukum formal.


(16)

c. Untuk mengetahui implikasi penolakan itsbat nikah.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

a. Secara akademik menambah ilmu pengetahuan dibidang hukum perdata serta mengembangkan ilmu dibidang syariah, khususnya dalam bidang perkawinan. b. Mengetahui kedudukan perkawinan yang itsbat nikahnya ditolak oleh

Pengadilan Agama dan mengetahui implikasi terhadap perempuan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis khususnya dan masyarakat pada umumnya, tentang kaum perempuan yang itsbat nikahnya ditolak.

c. Sebagai pengingat, bahwa pencacatan ataupun pengesahan perkawinan adalah kekuatan atau kepastian hukum sebagai bukti yang sangat penting.

D. Kajian Terdahulu

Tinjauan kajian terdahulu sudah cukup banyak studi yang di lakukan seputar hukum perkawinan yang nikah di bawah tangan baik ditinjau menurut perspektif hukum islam maupun perundang-undangan. Namun, sepanjang yang penulis ketahui, belum ada seorangpun yang menulis tentang penolakan Permohonan itsbat nikah.

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, ada beberapa karya ilmiah yang secara spesifik serumpun dengan judul yang diangkat oleh penulis. Biarpun objek kajiannya sama, namun masih terdapat perbedaan yang mendasar. Misalnya “Analisa Penetapan hakim No. 74/P2/1990/PA. Sumber Cirebon Tentang Pengesahan


(17)

perkawinan (Itsbat nikah) yang dilaksanakan malalui kawin gantung di PA”. Sumber cirebon. Yang di susun oleh Imroah Pada Tahun 2007. Skripsi ini lebih fokus kepada itsbat nikah sebelum adanya undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang dilakukan melalui kawin gantung yang perkawinannya di itsbatkan di Pengadilan Agama Sumber Cirebon dengan membahas analisis Penetapan hakim pada perkara No. 74/P.2/1990/PA. Sumber cirebon.10

Kemudian yang kedua “Itsbat nikah sesudah berlakunya undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan (Studi kasus di Pengadilan Agama Jakarta Timur) yang disusun oleh Ahmad Taridi pada Tahun 2005. Skripsi ini lebih fokus kepada itsbat nikah yang terjadi sesudah berlakunya undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Timur.11

Kemudian yang ketiga “Itsbat nikah dan proses penyelesaiannya di Pengadilan Agama (Studi analisis Jakarta Timur) yang disusun oleh Ulfa Fouziyah pada Tahun 2008. Skripsi ini lebih fokus kepada banyaknya kasus itsbat nikah yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Timur dan ingin mengetahui bagaimana proses

10

Imroah, “Analisa Penetapan Hakim No. 74/P2/1990/PA. Sumber Cirebon Tentang Pengesahan perkawinan (Itsbat nikah) yang dilaksanakan malalui kawin gantung di PA”. Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2007), h. 58, t.d

11

Ahmad Taridi, “Itsbat Nikah Sesudah Berlakunya undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi kasus di Pengadilan Agama Jakarta Timur)”, Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2005)”, h. 60, t.d


(18)

persidangan itsbat nikah sesudah dan sebelum adanya undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.12

Dari beberapa kajian terdahulu, seluruhnya mengambil dari kajian itsbat nikah, sepengetahuan penulis hingga saat ini belum ada penelitian ini yang menjadikan judul penelitian “Penolakan Permohonan Itsbat Nikah dan Implikasinya Terhadap hak Perempuan”.

E. Metodelogi Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan

Jenis penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, yaitu dalam penelitian ini pada umumnya menganalisis fakta-fakta atau kejadian-kejadian yang relevan dengan norma-norma hukum. Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (state approach) yaitu melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian.13 Oleh karenanya langkah

12

Ulfa Fouziyah, “Itsbat Nikah dan Proses Penyelesaiannya di Pengadilan Agama (Studi analisis Jakarta Timur)”, Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2008)”, h. 63, t,d

13

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang-Jawa Timur: Bayu Media Publishing, 2007), h. 295.


(19)

awal dalam analisis ini adalah identifikasi fakta-fakta hukum berupa perbuatan, peristiwa atau keadaan-keadaan.14

2. Sumber Data

Pengumpulan data yang diperoleh melalui bahan hukum primer yakni bahan hukum terdiri atas peraturan perundang-undangan No. 1 Tentang Perkawinan Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 7, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, buku-buku Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk mewujudkan Keadilan Gender, dan buku Perempuan dan Hukum Menuju Hukum Yang berprespektif Kesetaraan dan Keadilan. Dan bahan hukum sekunder yakni buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, studi kepustakaan (library researsch) dari buku-buku literature dan tulisan-tulisan majalah, internet dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini.15

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam menghimpun seluruh data dan fakta yang menunjang permasalahan adalah sebagai berikut Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh landasan teoritis berupa konsep dari

14

M. Syamsudin, Operasional Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 143.

15


(20)

berbagai literatur yang terkait dengan materi pokok permasalahan yang akan penulis bahas, baik dari buku-buku karangan ilmiah, undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, laporan penelitian serta peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Teknik Analisis Data

Pada penelitian normatif, pengolahan data hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan tertulis, sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk mengadakan pekerjaan analisis dan konstruksi. Adapun kegiatan-kegiatan dalam analisis data yaitu:

a. Mengelompokkan dan membuat sistematika dari data-data yang dikumpulkan sesuai dengan rumusan masalah.

b. Memilih pasal-pasal dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaan untuk menganalisis data-data yang telah dikelompokkan dan sistematika sesuai rumusan masalah tersebut. c. Kemudian data dianalisis secara hukum dengan metode induktif. Metode

induktif yaitu mempelajari suatu yang bersifat khusus kemudian dikembangkan manjadi kesimpulan yang bersifat


(21)

5. Teknik Penulisan Skripsi

Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2007. Serta untuk penulisan ayat Al-Qur’an dan al-Hadits ditulis satu spasi termasuk terjemahan Al-Qur’an dan Hadits dalam penulisannya diketik 1 spasi meskipun kurang dari enam baris dan penulisan skripsi ini menggunakan ejaan yang disempurnakan (EYD), kecuali nama pengarang, daftar pustaka ditulis di awal.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika skripsi ini kurang lebih penulis uraikan sebagai berikut:

Bab Pertama membahas tentang Pendahuluan yang berisi Tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kajian Terdahulu, Metodelogi Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Bab Kedua Mengenai Itsbat Nikah dalam Prespektif Hukum Islam yang meliputi: Pengertian Nikah dan Itsbat Nikah, Dasar Hukum Itsbat Nikah, Akibat Hukum dari Itsbat Nikah, Hubungan Itsbat Nikah dengan Pencatatan Perkawinan.


(22)

Bab Ketiga Mengenai Prosedur Mengajukan Itsbat Nikah yang meliputi: Alasan-alasan Permohonan Itsbat Nikah, Nikah yang Dapat Diitsbatkan, Syarat dan Prosedur Itsbat Nikah.

Bab Keempat Menguraikan Implikasi Itsbat Nikah Terhadap Hak perempuan yaitu Keberpihakan Hukum Terhadap Hak Perempuan, Itsbat Nikah dan Posisi Perempuan dalam Pernikahan.

Bab Kelima ini Merupakan Bab Penutup yang terdiri dari; Kesimpulan dan Saran-saran.


(23)

BAB II

ITSBAT NIKAH DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM A. Pengertian Nikah dan Itsbat Nikah

Perkawinan dalam ilmu Fiqh menggunakan kata nikah yang berasal dari bahasa arab

atau

yang berarti kawin atau mengawini.16 Sedangkan kata nikah berarti “ Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.17 Sedangkan menurut Ulama Fiqih nikah adalah Akad yang membolehkan terjadinya istimna (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wat’i, dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau sepersusuan.18 Nikah suatu ikatan keagamaan yang dianjurkan syara’.19

Masalah dalam kaitan dengan pernikahan (perkawinan) kita juga bisa lihat peraturan perundang-undangan yang berlaku di indonesia dalam kaitan ini Undang-undang R.I No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan instruksi

16

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1461.

17

Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama,

(Jakarta: Intermasa, 1991), h. 187.

18

Wahbah al -Zuhaily, al Fiqh al Islami wa al Adillatuhu, (Damsyiq, Dar Fikr, 1998), h. 29.

19

Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqiy, Hukum-hukum Fiqh Islam: Tinjauan Antar Mazhab, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), cet ke-2, h. 222.


(24)

Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merumuskan “Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.20

Al-Qur’an menggambarkan perkawinan atau pernikahan sebagai hubungan yang dalam dan kuat. Suami istri harus bergaul dengan baik dalam rumah tangga. Islam benar-benar menghalalkan pernikahan, karena ia merupakan perlindungan dari keburukan seksual, pernikahan juga berfungsi kesinambungan umat manusia. Pernikahan harus dipublikasikan agar diketahui oleh masyarakat banyak, hal ini di maksudkan untuk menghindari kecurigaan dan fitnah. Seluruh makhluk di dunia ini diciptakan berpasang-pasangan, dan hal ini telah menjadi tanda atas kekuasaannya kehendak tuhan, sesuai hubungan antara pria dan wanita merupakan pelaksanaan kehendaknya.21

Itsbat nikah merupakan gabungan dari dua kalimat yakni itsbat dan nikah. Itsbat merupakan kata masdar yang terambil dari kata

-

-

yang mempunyai makna penetapan atau pembuktian.22

20

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, bandung: Citra Umbara, 2007. h. 2.

21

Abdul Wahab Bauhdiba, Sexuality In Islam. Yogyakarta, 2004, Cet. Pertama, h. 54. 22


(25)

Dari dua kalimat di atas dapat digabungkan bahwa itsbat nikah adalah penetapan oleh pengadilan agama atas ikatan atau akad yang membolehkan terjadinya hubungan suami istri, sebagaimana yang dirumuskan dalam kamus besar bahasa indonesia bahwa, itsbat nikah adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah. Singkatnya itsbat nikah adalah penetapan oleh pengadilan atas perkawinan yang sah, tetapi tidak mempunyai akta nikah.23

B. Dasar Hukum Itsbat Nikah

Itsbat nikah berasal dari bahasa arab

(

)

yang merupakan masdar dari kata

-

-

yang mempunyai makna penetapan, penentuan atau pembuktian. Yang dimaksud dengan itsbat nikah adalah suatu penetapan, penentuan, pembuktian atau pengabsahan Pengadilan terhadap pernikahan yang telah dilakukan karena alasan-alasan tertentu.24

Yang menjadi dasar hukum dari itsbat nikah adalah Bab XIII Pasal 64 ketentuan peralihan Undang-undang perkawinan yaitu untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan lama

23

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,1999).

24

Yayan Sofyan, “Itsbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak Dicatat Setelah Diberlakukan UU No. 1 Tahun 1974 Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, Ahkam IV, no. 8 (2002): h. 75.


(26)

adalah sah. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku 1 Pasal 7, yang terkandung dalam pasal 64 undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan tersebut dikualifikasikan sebagai upaya hukum yang disebut dengan “itsbat nikah”.25

Seperti dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 7 ayat 1 dan 2 menyebutkan:

1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah.

2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.26

C. Akibat Hukum Itsbat Nikah

Setelah dikabulkannya itsbat nikah, maka yang berkepentingan akan mendapatkan bukti otentik tentang pernikahannya yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menyelesaikan persoalan di Pengadilan Agama nantinya. Dengan demikian pencatatan pernikahan merupakan persyaratan formil sahnya perkawinan, persyaratan formil ini bersifat prosedural dan administratif. Isbat

25

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal: 64, h. 25.

26


(27)

nikah punya implikasi memberi jaminan lebih konkret secara hukum atas hak anak dan perempuan jika pasangan suami-istri bercerai.27

Dengan adanya pencatatan perkawinan maka eksistensi perkawinan dianggap syah apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu:

1) Telah memenuhi ketentuan hukum materil. Yaitu telah dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun menurut hukum islam

2) Telah memenuhi ketentuan hukum formil yaitu telah dicatatkan pada pegawai pencatat nikah yang berwenang.

Sebaliknya perkawinan yang tidak tercatatkan dan tidak pula dimintakan itsbat nikahnya maka kedudukan perkawinan itu adalah:

1) Tidak mempunyai kekuatan hukum karena dianggap tidak pernah ada perkawinan sehingga tidak menimbulkan akibat hukum.

2) Tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan perkawinan yang baru sebagaimana diatur dalam pasal 24 undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan yaitu “Barang siapa karena perkawinan masih teirkat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ini.

27

Kompas Cetak, Isbat Nikah Upaya Menjamin Hak Anak dan Perempuan, artikel ini diakses pada tanggal 12 Juni 2008 dari http://64.203.kompascetak/0609/18/swara/2950477htm.


(28)

3) Tidak dapat dijadikan dasar hukum menjatuhkan pidana berdasarkan ketentuan pasal 219 KUHP (kitab undang-undang hukum perdata).

4) Tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut hak oleh pihak wanita sebagai istri dan juga anak-anaknya.28

D. Hubungan Itsbat Nikah Dengan Pencatatan Perkawinan

Pencatatan Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah yang masing-masing suami istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan diantara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak-hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, memiliki bukti otentik perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Di dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 3

28

Ahmad Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, Mimbar Hukum No. 26 Tahun IVV (Mei-Juni, 1996), h. 51-52.


(29)

dijelaskan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.29

Oleh karena itu untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah dan rahmah setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana disebutkan di dalam Kompilasi Hukum Islam tentang pencatatan perkawinan, menjelaskan dalam pasal 5 yaitu:

Pasal 5 ayat (1): Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat.

Pasal 5 ayat (2): pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No. 22 tahun1946 jo dan Undang-undang No. 32 tahun 1954 tentang penetapan berlakunya undang-undang Republik Indonesia tanggal 21 november No. 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk di seluruh daerah luar jawa dan madura.30

Tehnik pelaksanaannya, dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 6 yang menyebutkan :

1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pegawai pencatat nikah

29

Ahmad Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Cet. V, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 251-252.

30


(30)

2. Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.31

Secara rinci peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Bab II pasal 2 menjelaskan tentang :

1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan, nikah, talak, dan rujuk.

2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-perundangan mengenai pencatatan perkawinan.

3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah sampai dengan pasal 9 Peraturan Pemerintah PP No. 9

31

Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1, h. 109.


(31)

Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ini.32

Dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menjelaskan:

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan yang akan dilangsungkan.

2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

3. Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan suatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama bupati kepala daerah.33

Tata cara pemberitahuan rencana perkawinan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (pasal 4 Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan) adapun hal-hal yang diberitahukan meliputi: Nama, Umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (pasal 5

32

Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama,

h. 32.

33


(32)

Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dengan adanya pemberitahuan ini, kemungkinan terjadinya pemalsuan atau penyimpangan identitas dapat di hindari. 34

Tindakan yang harus diambil oleh Pegawai Pencatat nikah setelah menerima pemberitauan, diatur dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan sebagai berikut:

1. Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang.

2. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) pegawai pencatat meliputi pula:

a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu.

b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat tinggal orang tua calon mempelai.

34


(33)

c. Izin tertulis atau izin Pengadilan sebagai dimaksud pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.

d. Izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 4 undang-undang, dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai istri. e. Dispensasi pengadilan/pejabat sebagai dimaksud pasal 7 ayat (2)

undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. f. Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian

surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.

g. Izin tertulis dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM atau PANGAB, apabila salah seorang anggota calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata.

h. Surat kuasa otentik atau diawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat nikah, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.35

Ketentuan dalam klausul Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 6 ayat (1) dan (2) di atas memberi manfaat, Pertama: memelihara ketertiban hukum yang menyangkut kompetensi relatif, kewilayahan dari pegawai pencatat nikah.

35


(34)

Kedua: menghindari terjadinya pemalsuan atau penyimpangan hukum lainnya, seperti : identitas calon mempelai dan status perkawinan mereka. Penelitian pegawai pencatat nikah juga bermaksud untuk meneliti status perkawinan seseorang baik calon suami atau calon istri oleh karena itu, jika diperlukan calon mempelai melampirkan surat-surat yang telah disebutkan diatas.36

Mengingat kesadaran masyarakat yang menjadi subyek hukum tidak sama, mungkin karena tidak tahu atau karena hal lain, sehingga ketentuan-ketentuan tersebut di atas belum dapat berjalan dengan baik, peraturan perundang-undangan memberi alternatif atau kelanggaran kepada pihak-pihak karena suatu hal harus segera melangsungkan perkawinan. Yaitu mengajukan izin tertulis, izin pengadilan, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 tahun.37

Apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa akta nikah karena adanya sesuatu sebab, Kompilasi Hukum Islam (KHI) membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan nikah) kepada Pengadilan Agama sehingga bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinannya. Dalam pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengungkapkan sebagai berikut:

1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah.

36

Kompilasi Hukum Islam, Pasal: 7, h. 15.

37


(35)

2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

3. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. b. Hilangnya Akta Nikah.

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkwinan.

4. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.38

Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan suatu hal yang sangat penting, dalam Al-Qur’an masalah hutang piutang Allah menganjurkan kepada kita untuk mencatatkan seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 282:

! "

38


(36)

#$%

!

&

'()

*+

,

-./012

( 4567

8

9

:;<=

>%*

?@ =

BC&

4:

"

D7

E#F!

G%*

&

9

D/

HI8

J:

" KL

M

-1:5<=

ND7

O

N :

P

9

:;6R

>8: 8

S+

:FN T%*

U

O%>(:

.V

%*

SVC; >%*

WOC& .

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaknya seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya” (Al-Baqarah: 2/282).

Para pemikir islam (Faqih) dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan ada aktanya, sehingga mereka menganggap hal itu tidak penting. Namun, bila diperhatikan pertimbangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan serta sejalan dengan kaidah Fiqh:

!"#

$% &' ﻡ

)

*$+

,

”Menolak kemudhoratan lebih didahulukan dari pada memperoleh kemaslahatan ”.39

39

Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqih, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya dengan Anglo Media, 2004), Cet Ke-1, h. 148.


(37)

Dengan demikian, pelaksanaan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan tuntutan dari perkembangan hukum dan mewujudkan kemaslahatan umum di Negara Republik Indonsia.40 Dan Usaha ini dimaksudkan agar setiap pihak dapat mengerti dan menyadari betapa pentingnya nilai ketertiban dan keadilan dalam perkawinan yang menjadi pilar tegaknya kehidupan berumah tangga.

Menurut ahmad Rofiq pencatatan perkawinan merupakan syarat administratif perkawinan. Tetapi walaupun hanya sebagai suatu kewajiban administratif saja, ia mempunyai cakupan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu perkawinan. Manfaat dari pencatatan perkawinan ini adalah:

Pertama: Manfaat yang bersifat preventif yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan baik menurut agama dan kepercayaannya ataupun menurut perundang-undangan yang berlaku di indonesia. Dengan ini dapat dihindari pelanggar terhadap kompetensi relatif pegawai pencatat perkawinan. Atau menghindari terjadinya pemalsuan (penyimpangan hukum), seperti identitas calon mempelai, status perkawinan, perbedaan agama dan usia calon mempelai tersebut.41

40

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) Cet. Ke-1, h. 29-30.

41


(38)

Kedua: Manfaat akta nikah yang bersifat refresif yaitu bagi suami istri yang karena sesuatu perkawinannya tidak dibuktikan dengan akta nikah, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan) kepada Pengadilan Agama, pencatatan inilah disebut sebagai tindakan refresif, yang dimaksudkan untuk membentuk masyarakat, agar didalam melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan aspek-aspek hukum fiqh saja, tetapi aspek-aspek keperdataannya juga perlu diperhatikan secara seimbang.42

Dalam pembahasan diatas tampaklah hubungan itsbat nikah dengan pencatatan perkawinan. Dimana esensi dari itsbat nikah itu sendiri adalah pencatatan perkawinan. Dengan tercatatnya suatu perkawinan, maka pihak yang bersangkutan akan mendapatkan bukti otentik, telah terjadinya perkawinan tersebut yang berwujud dalam bentuk akta nikah, maka bagi yangbelum mendapatkan dapat dimintakan itsbat nikah (Pengesahan Nikah).

42


(39)

BAB III

HAK PEREMPUAN DALAM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

A. Keberpihakan Hukum Terhadap Kaum Perempuan

Selama abad ke-19 sejarah hukum cenderung merupakan pencatatan peningkatan pengakuan hak-hak pribadi yang seringkali dianggap hakiki dan mutlak. Untuk abad ke-20 sejarah itu dirombak dengan cara menetapkan kerangka dasar lain yang memperhatikan pengakuan yang lebih luas terhadap kebutuhan, permintaan, maupun kepentingan-kepentingan sosial.43

Kepentingan merupakan suatu keinginan atau permintaan yang ingin dipenuhi manusia, baik secara pribadi maupun melalui hubungan antar-pribadi, atau melalui kelompok. Menurut Roscoe Pound seseorang ahli hukum dari Amerika dan mantan dekan Harvard Law School, pound beranggapan keadilan dapat dilaksanakan menurut maupun tanpa hukum. Keadilan menurut hukum bersifat yudisial, sedangkan keadilan tanpa hukum mempunyai ciri administratif. Di satu sisi hukum memang bisa digunakan sebagai acuan yang paling adil dan paling mengayomi, namun pihak lain, janganlah diabaikan bahwa hukum juga bisa digunakan sebagai alat untuk mendefinisikan kekuasaan

43

Soejono, Soekanto, Prespektif Sosiologis Studi Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Rajawali, 1985), h. 30.


(40)

dan kepentingan, dan tentunya akan ada pihak menjadi korban dari hukum yang tidak adil.44

Sifat hakiki dari hukum adalah kepastian dan formal keadilan menuntut bahwa hukum berlaku umum, dalam arti materi hukum dituntut agar sesuai dengan mungkin dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat. Bagaimana menentukan apakah hukum itu adil atau tidak, perlu kita perhatikan bahwa kita bergerak di tingkat faktual Oleh karena itu, tuntutan keadilan dapat diterjemahkan bahwa hukum harus sesuai mungkin dengan cita-cita keadilan masyarakat yang bersangkutan. Jika keadilan dapat dilaksanakan dengan maupun tanpa hukum asalkan ada keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Salah satu bentuk ketidakadilan yang menimpa laki-laki dan perempuan adalah ketiadakadilan jender.45

Uraian di atas dapat memberi sedikit gambaran bahwa masalah keadilan tidak mudah untuk dirumuskan apalagi kalau dikaitkan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dalam lapangan hukum yang berbeda atau dalam kondisi tempat atau waktu yang berlainan, dalam hubungan laki-laki dan perempuan justru mengakibatkan ketidakadilan bagi perempuan. Rumusan keadilan ulpianus seorang pakar hukum klasik berpendapat lebih sesuai untuk diterapkan pada hubungan antara laki-laki dan perempuan karena harus

44

Sulistyowati, Irianto, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum Yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Universitas Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, 2008), h.

45

Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Jender, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2005), Cet. 1. h. 59.


(41)

memenuhi tiga unsur yaitu; (1) sikap batin dan perilaku yang sesuai dengan kesusilaan, (2) tidak merugikan orang lain secara sewenang-wenang, (3) memberikan pada semua orang bagiannya.46

Indonesia mendukung Undang-undang atau pun peraturan-peratuan yang berpihak pada kaum perempuan, baik di tingkat nasional maupun internasional. “Undang-undang tersebut sangat penting untuk meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan, serta melindungi mereka dari kekerasan”, adanya Undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga tersebut merupakan upaya memberi perlindungan bagi kaum perempuan dan anak-anak hingga dalam urusan domestik suatu keluarga, Namun Perlindungan hukum terhadap wanita dalam sistem hukum nasional belum begitu menggembirakan. Kita masih dapat melihat adanya peraturan perundang-undangan yang menempatkan wanita sebagai subordinasi dari pria. Salah satunya adalah peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Sebuah kebijakan termasuk di dalamnya hukum dan peraturan perundang-undangan dikeluarkan adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan golongan tertentu.47

Dalam masyarakat di mana terdapat nilai-nilai kultural perempuan mencerminkan ketidakadilan jender akan sangat berpengaruh hukum. Substansi

46

Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Jender, h. 56.

47

“Perlindungan Hukum Bagi Perempuan dalam Perkawinan”, artikel ini diakses pada 17 Juli 2009 dari http://wap.fajar.co.id/index.php.


(42)

hukum di indonesia juga mendukung dan memperkuat jender. Acuan pertama untuk menyatakan bahwa indonesia telah menganut dan menerapkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan adalah pasal 27 Undang-undang dasar 1945 tentang amandemen (ayat 1) yang meletakkan hak-hak dasar bahwa: “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya”. Atas dasar pasal tersebut indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi internasional yang bertujuan untuk menghapus diskriminasi dan meningkatkan status perempuan.48

Terutama mengingat bahwa isi Konvensi Wanita memuat hak-hak Perempuan yang harus dipenuhi agar tindak diskriminasi terhadap perempuan disemua bidang kehidupan dapat dihapus, seperti dalam pasal 16 konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan tentang kesetaraan dalam perkawinan dan hubungan keluarga pasal 15 ayat (1) Negara-negara pihak wajib memberikan kepada perempuan persamaan hak dengan laki-laki di muka hukum. (2) Negara-negara pihak wajib memberikan kepada perempuan, dalam hal sipil, kecakapan hukum yang sama dengan laki-laki dan kesempatan yang sama untuk menggunakan kecakapan tersebut. Secara khusus, negara harus memberikan kepada perempuan persamaan hak untuk mengikat kontrak dan untuk mengelola kepemilikan dan wajib memberi perlakuan yang sama

48


(43)

kepada laki-laki dan perempuan di semua tingkat prosedur di muka hakim dan peradilan. Sesuai Dalam pasal 16 ayat 1 dan ayat 2 yaitu;

1. Negara-negara pihak harus mengambil semua langkah tindakan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam segala hal yang berkaitan dengan perkawinan dan hubungan dalam keluarga dan khususnya harus menjamin, berdasarkan kesetaraan laki-laki dan perempuan;

a) Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan

b) Hak yang sama untuk bebas memilih pasangan dan memasuki jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan penuh darinya. c) Hak dan tanggung jawab yang sama selama pernikahan dan pada

pemutusan perkawinan.

d) Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas dari status perkawinan mereka, dalam urusan yang berhubungan dengan anak-anak mereka dalam semua hal kepentingan anak-anak harus diutamakan.

e) Hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah dan jarak kelahiran anak-anak mereka dan untuk memperoleh akses, pada informasi, pendidikan dan sarana agar mereka dapat menggunakan hak tersebut.

f) Hak dan tanggung jawab yang sama dalam hal pemeliharaan, perwalian, pengasuhan dan pengangkatan anak, atau lembaga-lembaga sejenis di


(44)

mana konsep-konsep ini ada dalam perundang-undangan nasional dalam semua hal kepentingaan anak wajib diutamakan.49

Sejalan dengan peratifikasian konvensi-konvensi internasional tersebut, kebebasan pemerintah indonesia pada tahun 1974 tentang perkawinan melakukan reformasi hukum keluarga (Undang-undang Perkawian No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Tetapi, dalam pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dikatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”. Ini berarti dalam soal perkawinan perempuan harus tunduk pada hukum agamanya, sedangkan kawasan hukum agama menyentuh mengenai hak-hak kewarisan, hak atas kekayaan, pemeliharaan anak, perceraian, pengangkatan anak, perwalian anak, dan poligami. Jadi, negara memberi persamaan kepada perempuan, tetapi kalau agama menentukan lain, negara tidak ikut campur.50

Terdapat peraturan perundang-undangan yang tidak responsif dan terdapat peraturan perundang-undangan yang menjamin kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki, tetapi tidak sedikit peraturan perundang-undangan, termasuk kebijakan, dan rancangan undang-undang sekalipun, yang tidak responsif terhadap kepentingan perempuan, malahan berimplikasi terhadap terjadinya diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Hal ini

49

Kelompok Kerja convetion Watch, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender/Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia; edisi III. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2007), h. 65.

50


(45)

menunjukkan bahwa terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan satu sama lain, baik secara vertikal maupun horizontal. Mengenai hierarki peraturan perundang-undangan yang sangat dikenal sarjana hukum, sebenarnya keadaan ini tidak boleh terjadi. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, apalagi undang-undang dasar. Namun, inilah yang terjadi di indonesia.51

Padahal Undang-undang dasar 45 Pasal 27 (b) menyebutkan telah menyatakan kesamaan di muka hukum bagi setiap warga negara, tetapi terdapat banyak undang-undang sampai peraturan daerah, yang mengandung rumusan yang berstandar ganda. Contohnya dalam pasal 34 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengenai perkawinan memberikan status kepada suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga, dengan berbagai implikasinya, terutama bagi perempuan bekerja karena tidak dianggap sebagai pencari nafkah utama. Kondisi diatas menunjukkan bahwa hukum sesungguhnya tidak netral (tidak berpihak) dan objektif (secara tepat).

Perbedaan jender sebetulnya tidak menjadi masalah selama tidak melahirkan ketidakadilan jender. Namun ternyata perbedaan jender baik melalui mitos-mitos, sosialisasi, kultur, dan kebijakan pemerintah telah

51

Sulistyowati, Irianto, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum Yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Universitas Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 33.


(46)

melahirkan hukum yang tidak adil bagi perempuan. Sedangkan hukum adalah pencerminan dari standar nilai yang dianut oleh masyarakat.52

Bias jender dari pemahaman keagamaan ini menyebabkan terjadinya ketimpangan peran sosial wanita dalam posisi dan interaksinya di masyarakat. Karena itulah dengan adanya justifikasi teologis tersebut banyak kaum hawa yang merasa dirinya tidak bisa disejajarkan dengan kaum pria. Kaum pria dianggap lebih pintar, lebih hebat, dan lebih segalanya. Kalau kaum wanita meminta sekedar untuk “disejajarkan” kaum pria tidak akan keberatan, namun akan keberatan bila “didominasi” oleh kaum hawa sebagaimana dalam sistem

matriarchal. Keberatan tersebut kembali didasarkan pada tafsir teologis agama, bahwa pria adalah pemimpin wanita. Tuntutan kaum hawa untuk mensejajarkan diri dengan kaum pria bukan berarti ingin “mendominasi” pria sebagaimana dalam sistem matriachal, melainkan untuk menuntut hak agar bisa diberikan peran dan kesempatan yang sama dengan pria untuk berkiprah dalam bidang kemasyarakatan dan pemerintahan.53

B. Hak Perempuan Menurut Undang-Undang Perkawinan

Allah SWT telah memberikan kepada perempuan hak untuk memilih baik dalam aqidah, pernikahan, dan semua isi kehidupan lainnya. Bahkan

52

Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Jender, h. 20. 53


(47)

perempuan diberikan kebebasan dalam memiliki harta benda. Melakukan transaksi jual beli, hibah, dan sebagainya. Islam benar-benar menjaga hak-hak kaum perempuan. Islam menempatkan seorang perempuan sebagai ibu, saudara perempuan, istri dan anak dan Islam telah menempatkan mereka dalam posisi yang sangat agung.54

Seorang perempuan muslimah akan selalu bergandeng tangan suaminya dalam mengarungi bahtera kehidupan dengan saling tolong menolong, menunjukkan kejalan yang benar. Islam telah mengakhiri perbudakan terhadap kaum perempuan, secara tidak langsung telah memberikan kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan kembali kehormatan, kemudian memiliki suami dan anak dalam sebuah keluarga yang utuh. Islam juga telah memberikan hak untuk meminta talak ketika hal tersebut memang harus dilakukan.55

Karena itu, merupakan hal yang amat penting untuk disadari oleh semua pihak. Lebih-lebih perempuan sendiri bahwa harkah dan martabat mereka sama sekali tidaklah berbeda dengan laki-laki. Penekanan ini perlu karena sebagian kita, laki-laki atau perempuan tidak menyadari hal tersebut dan menduga agama yang menetapkan adanya perbedaan martabat itu.56

54

Ali Hosein Hakeem, Membela Perempuan Menakar Feminisme dengan Nalar Agama,

(Jakarta, Al-Huda, 2005), h. 44. 55

Ali Hosein Hakeem, Membela Perempuan, h. 44. 56


(48)

Betapapun, kita harus berkata dan yakin bahwa laki-laki dan perempuan adalah sepasang makhluk Tuhan yang memiliki martabat dan kadar yang sama, tetapi harus diakui pada bahwa terdapat perbedaan-perbedaan diantara mereka, melalui perbedaan-perbedaan itu, masing-masing memiliki kemandirian yang pada akhirnya bertujuan mengantar kepada terciptanya hubungan yang harmonis diantara keduanya sebagai prasyarat bagi terwujudnya masyarakat yang penuh kedamaian dan kesejahteraan bagi semua pihak.57

Semua manusia setara dihadapan Allah SWT dan tidak ada pembedaan yang dibuat antara laki-laki dan perempuan. Manusia karena fitrahnya mampu mendaki rangkaian gradasi (tingkat-tingkat) kesempurnaan spritual yang berpuncak pada kedekatan maksimum dihadapan illahi.

Perempuan (pada umumnya) adalah merupakan jenis manusia yang paling banyak memerlukan perlindungan pada masa-masa yang lalu, dikala laki-laki menggunakan hak cerai secara semena-mena perempuanlah yang banyak mengalami penderitaan akibat perceraian semacam ini bukan saja merupakan pukulan moril bagi perempuan tetapi juga sangat memberatkan hidupnya. Ia harus mencari nafkah untuk dirinya sendiri, dan tidak jarang juga nafkah untuk anak-anaknya yang seharinya adalah tanggung jawab si mantan suami. Pada umumnya perempuan enggan menuntut mantan suaminya untuk

57


(49)

membayar nafkah tersebut. Ia lebih suka bersikap diam walaupun dengan konsekwensi penderitaan.58

Bahwa dalam hukum keluarga islam khususnya dalam pernikahan ada titik-titik perbedaan aturan hukum berkenaan dengan soal kewajiban antara hak pria (suami) serta kewajiban dan hak perempuan (istri). Itu bukan perbedaan yang diproyeksikan untuk melakukan tindakan diskriminatif oleh siapa dan terhadap siapapun, melainkan harus dipahami semata-mata sebagai pembagian tugas (job deskription) yang sangat sistematik dan teratur guna mencapai tujuan dari pelaksanaan akad nikah dan pembentukan rumah tangga yang dikehendaki.59

Perbedaan biologis hormonal dan patalogis antara perempuan dan laki-laki melahirkan seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan pembentukan budaya atau lingkungan masyarakat pada tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan sehingga pembentukan karakter melekat pada diri perempuan dan laki-laki. Dengan perbedaan anatomi tunuh biologis hormonal dan patalogis, mengakibatkan perbedaan psikis terhadap psikologi perempuan dan laki-laki. Dengan kosrat wanita seperti melahirkan, haid, menyusui, maka banyak keadaan-keadaan labil yang merupakan sifat dari perempuan. Ketika

58

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h. 170.

59


(50)

haid, emosional perempuan lebih tinggi daripada laki-laki, ketika melahirkan banyak waktu-waktu yang tersita untuk mengurusi dirinya dan bayi didalam kandung. Pada dasarnya peran untuk meraih prestasi maksimum, tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan.

Karena perempuan memiliki sebuah status khusus. Agar sukses meniti langkah dijalan ilahiah yang dianutkan, ia harus menampilkan dirinya dalam suatu cara yang membuatnya tidak akan disalahpahami dan dilecehkan oleh kaum laki-laki.60

Dalam pasal 31 undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan menyatakan: Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum dan pihak suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.61

Kewajiban perempuan yang telah memiliki suami yaitu kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan bathin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh Hukum Islam, dan kewajiban istri juga

60

Ali Hosein Hakeem, Membela Perempuan, h. 276.

61


(51)

menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.62

62


(52)

BAB IV

IMPLIKASI ITSBAT NIKAH TERHADAP HAK PEREMPUAN

A. Itsbat Nikah Dan Posisi Perempuan Dalam Pernikahan

Perkawinan yang sah telah diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” dihubungkan dalam pasal 2 ayat 2 yaitu: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.63

Sebuah perkawinan akan memiliki kekuatan hukum dimata negara apabila dilakukan menurut ketentuan yang berlaku di negara ini. Adapun mengenai keabsahan status perkawinan yang dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diatur di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 64 yang berbunyi: “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ini berlaku dijalankan menurut peraturan-peraturan lama adalah sah.64

Dari ketentuan ini maka perkawinan yang ada sebelum undang-undang ini berlaku adalah sah. Begitu juga masalah itsbat nikah pun tetap sah. Karena

63

Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Pasal 1, h. 2.

64

Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama,


(53)

itsbat nikah ini sudah ada dan melembaga dalam himpunan penetapan dan putusan Pengadilan Agama tahun 50-an. Kemudian setelah diundangkannya Undang-undang No. 7 tahun 1989 yang menggantikan segala landasan hukum Peradilan Agama, sebenarnya memang lembaga itsbat nikah tidak dimekarkan tetapi tidak berarti hilang.65

Kelemahan dalam Undang-undang ini kemudian dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat (2) yang berbunyi: “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama”. Dan pada ayat (3) Berbunyi: Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan itsbat nikah yaitu:

2) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian b. Hilangnya Akta Nikah

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang

No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

65

Damsyi Hanan, Permaalahan Istbat Nikah: kajian terhadap pasal 2 uu No. 1/1974 dan pasal 7 KHI, (Jakarta, Alhikmah & Ditbinbapera,1997), h, 77.


(54)

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

3) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.66

Pemberian mahar merupakan lambang (tanda) kecintaan suami terhadap istrinya. Kewajiban pemberian mahar yang dibebankan kepada suami dan bukan kepada istri pada hakekatnya berkaitan dengan realitas sosial bahwa laki-laki biasanya berinisiatif mengungkapkan perasaan cintanya kepada perempuan dan meminangnya, bukan sebaliknya. Untuk menegaskan ketulusannya dan untuk perhatian si perempuan (calon istri), si laki-laki perlu memberikan sesuatu kepadanya sebagai mahar. Karena perempuan memiliki kecantikan, kelembutan dan daya tarik tersendiri, menyebabkan laki-laki terpikat hatinya untuk melamarnya.67

Hukum Islam, pada umumnya mempunyai tujuan “melindungi” wanita, Hukum Islam memberi batasan yang tepat tentang hak-hak wanita dan menunjukkan perhatian yang mendalam untuk menjaminnya dalam Al-Qur’an dan hadits memerintahkan kepada suami untuk memperlakukan istri dengan

66

Kompilasi Hukum Islam, Pasal 7, h. 16. 67

Hadidjah dan La jamaa, Hukum Islam & Undang-undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (STAIN: Ambon Press, 20007), h. 71.


(55)

adil, baik dan perhatian. Al-Qur’an dan hadits juga memberi konsepsi yang lebih bermoral mengenai pernikahan dan menuju untuk mempertinggi kedudukan perempuan muslimah dengan memberinya hak-hak yuridis sekitar pernikahan dan kerumahtanggaan dimana pihak istri mutlak berhak memperoleh mahar (mas kawin) dimana syarat, hak mendapatkan tempat tinggal dan terutama hak belanja dan hak-hak kesejahteraan kerumahtanggaan lainnya68

Kewajiban suami kepada istrinya setelah dilangsungkan akad pernikahan adalah memberikan mahar atau sidaq, seperti dalam Al-Qur’an ini:

XY Z[1\ N%*

H^

12

_[*

`/

FY =(:

?@XR [

N

-1:

;

L

a

?@ =%>(: b

9

c+

Od-@ = *

c

.

?@XR

*e

M

- 5?R "

@ =

*e

%

&

$f

[g\% 'h

i?jKk

fg

l 12

9

N 8

G ;FN ;m

n

O

&

o^qr

o^Gs G"

a 8

tuGs .

,d-vDw xj 8

9

D/

Z[ ,

?@ =%>(: b

NT

8

y5B1ze j "

n

O

&

L^

!G &

vDw xjKl%*

9

cM

M KL

{NT

:

|NTg=

O

)

! -.

/

Artinya : “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan

68

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 170.


(56)

sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Qs. An-Nisa: 24)

Islam telah menetapkan dengan tepat dan pasti bahwa orang laki-laki mempunyai kelebihan satu derajat diatas perempuan. Ilmu biologi dan psikologi membuktikan adanya perbedaan kedua jenis tersebut. Islam memperlihatkan standar yang benar. Kemudian membatasi tugas-tugas kedua jenis itu derajat mereka sesuai dengan perbedaan keadaannya. Islam telah memperhatikan tiga perkara dalam menetapkan hak-hak perempuan.69

Pertama: Larangan kepada laki-laki untuk menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya dalam memimpin keluarga dan mengurusi keluarga dan menjadikannya sebagai alat untuk menganiaya perempuan sehingga hubungan antara perempuan dan laki-laki seperti pelayan dan tuannya.

Kedua: Semua kesempatan wajib diberikan kepada perempuan untuk mengembangkan keahlian dan bakatnya yang asli dalam batas-batas tatanan sosial secara optimal dan melakukan pekerjaan untuk mengembangkan peradaban dengan cara sebaik-baiknya.

Ketiga: Bagi perempuan mudah untuk mencapai tingkat keberhasilan dan kemajuan tertinggi. Disamping itu setiap kemajuan dan kesuksesan harus dicapai dengan tetap sebagai perempuan.

69

Muhammad Ibrahim, Al-Jamal Fiqhul Mar’atil Muslimah. (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), h. 403.


(57)

Apa yang telah diberikan Islam kepada perempuan berupa hak-hak peradaban dan ekonomi yang luas dengan memperlihatkan ketiga perkara ini secara penuh disamping derajat kemuliaan yang tinggi dan hukum moral adalah termasuk jaminan yang tetap dan kekal untuk memelihara hak-hak dan derajatnya ini.70

B. Implikasi Itsbat Nikah Terhadap Perempuan

Sesuai dengan tuntutan perkembangan, dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, hukum keluarga di Indonesia mengaturnya dalam pencatatan perkawinan, pentingnya pencatatan pernikahan bagi kehidupan berumah tangga pada pasangan suami istri, maka pemerintah membuat suatu aturan tentang pencatatan perkawinan yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban perkawinan di masyarakat dan kepastian hukum ini merupakan suatu upaya yang diatur dalam perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (Mitsaqon al Gholidhon) perkawinan, dan lebih khusus lagi bagi perempuan dan anak-anak71 dalam kehidupan rumah tangga.

Melakukan pernikahan sesuai dengan prosedur administrasi pernikahan yang sah berguna untuk menjamin terpeliharanya hak-hak dan kewajiban para pihak, baik hak suami, hak istri maupun hak anak. Melalui pencatatan

70

Muhammad Ibrahim, Al-Jamal Fiqhul Mar’atil Muslimah, h. 406 71

Atho Muzhar, Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberelisasi, (Jakarta:Titian Ilahi Pers, 1998), h. 180.


(58)

pernikahan, suami atau istri akan cenderung lebih bertanggung jawab menjalankan kewajiban-kewajibannya dalam berumah tangga. Apabila salah satu suami atau istri tidak bertanggung jawab, maka dengan akta nikah yang dimilikinya, pihak yang dirugikan dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya.72

Dalam pencatatan perkawinan, Perbedaan yang dapat diungkap dari pandangan Hukum Islam dan hukum positif mengenai kedudukan hukum pencatatan perkawinan adalah tidak ada, karena keduanya sama-sama memandang pencatatan perkawinan adalah tidak ada, karena keduanya sama-sama memandang pencatatan perkawinan sebagai perkara yang wajib dilakukan oleh pasangan yang hendak menikah.

Sedangkan dalam hal akibat hukumnya terdapat perbedaan antara keduanya, yaitu bahwa dalam Hukum Islam, pencatatan perkawinan itu tidak berakibat pada legalitas perkawinan itu sendiri dimata hukum perkawinan yang tidak dicatatkan dalam pandangan hukum Islam tetap mendapat pengakuan hukum mengenai telah terjadinya perkawinan tersebut, sepanjang perkawinan itu memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh hukum agama. Salah satu wujud pengakuan itu yaitu hubungan seksual antara suami-istri yang dianggap halal, dan anak keturunannya dinasabkan kepada nasab suami.

72

A. Sutarmadi, Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:Anggaran DOP/DIPA/Non reguler Fakultas Syariah dan Hukum, 2006), h. 1.


(59)

Sedangkan akibat hukum pencatatan perkawinan dalam hukum positif berakibat pada legalitas perkawinan itu sendiri di mata hukum. Dalam pandangan hukum positif perkawinan yang tidak dicatat dan tidak mendapatkan pengakuan hukum, karenanya perkawinan itu dianggap tidak pernah terjadi dimata hukum, walaupun perkawinan tersebut telah dilakukan berdasarkan ketentuan agama atau kepercayaan yang dianut. Hal ini secara otomatis juga menyebabkan anak yang dilahirkan dari pernikahan itupun juga diakui oleh hukum sebagai anak orang tuanya, apalagi anak itu tidak memiliki akta lahir, karena dalam pembuatan akta lahir diharuskan menyerahkan akta nikah sebagai bukti adanya perkawinan sebagai sebab adanya anak tersebut.

Perkawinan yang dilakukan di luar peraturan perundang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum status perkawinannya dan harus disahkan nikahnya di pengadilan agama yaitu dengan itsbat nikah, itsbat nikah yang dapat diajukan ke pengadilan agama terbatas pada pasal 7 ayat 3, yaitu Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, hilangnya akta nikah, adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dengan disahkannya


(60)

pernikahan tersebut maka akan memperoleh bukti otentik dan sah dimata hukum dan negara dalam perwujudan akta nikah.

Menurut pandangan penulis bagi pasangan suami istri yang itsbat nikahnya diterima oleh pengadilan agama maka perkawinannya mempunyai kekuatan hukum dan kepastian hukum, seperti dalam kaidah hukum Islam, apabila perkawinannya itu dicatatkan lewat pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah, sangat jelas mendatangkan maslahat bagi tegaknya rumah tangga. Dimana esensi dari itsbat nikah itu sendiri adalah pencatatan perkawinan. Dengan dicatatkannya perkawinan maka pihak tersebut akan mendapatkan bukti otentik telah terjadinya perkawinan tersebut yang berwujud dalam bentuk akta nikah.

Sehingga dampaknya anak-anak yang terlahir dari pernikahan itu mendapatkan hak-haknya, seperti akta kelahiran, yang nantinya dapat bermanfaat untuk kehidupannya dimasa depan, seperti didaftarkan pada sebuah sekolahan. Dan bisa mendapatkan hak atas harta gono-gini dan harta warisan, dan anak akan lebih kuat hubungan hukum terhadap ayah kandungnya.

Dan seorang istri juga dapat kelakuan yang baik dari hukum dengan status pernikahannya dianggap sah oleh Negara, dan dipandang oleh masyarakatpun bukan isrti simpanan tetapi istri yang sah dimata hukum Negara, dan berhak mendapatkan harta gono-gini, harta warisan dari perkawinan yang


(1)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:

1. Apabila terjadi penolakan itsbat nikah maka implikasi penolakan itsbat nikah terhadap hak perempuan adalah perempuan sulit untuk mendapatkan hak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi, istri juga tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami, dan jika suami meninggal dunia dan terdapat warisan maka istri dan anak sulit mendapatkan hak dari harta warisan, dan anak kesulitan mendapatkan akta kelahiran sebab orang tuanya tidak memiliki akta nikah dan hak-hak anak sulit atas biaya pendidikan dan kebutuhan si anak.

2. Bahwa perkawinan yang dilakukan diluar peraturan undang-undang atau dibawah tangan dapat diitsbatkan di pengadilan agama dengan syarat-syarat yang sesuai dengan pasal 7 kompilasi hukum islam (KHI) ayat 3, perkawinan yang dilakukan diluar peraturan undang-undang sama juga perkawinan yang tidak tercatat tidak mempunyai kepastian hukum dan kekuatan hukum, sesuai pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974


(2)

Tentang Perkawinan, yang intinya perkawinan itu sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing dan perkawinan harus dicatat menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku diindonesia yaitu undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 2, Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 5 dan 6, dan peraturan pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang no. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 2.

3. Kedudukan perkawinan yang tidak bisa diitsbatkan tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga suatu saat bila didatangkan masalah maka pasangan suami istri tidak dapat melakukan upaya hukum. yang tidak bisa diitsbatkan karena melanggar undang-undang dan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan undang-undang. Dalam pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI), Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah dan dalam ayat 2 dijelaskan dalam hal perkawinan tidak dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke pengadilan Agama, dan untuk mengajukan itsbat nikah di Pengadilan Agama terdapat batasan-batasan sebagaimana ditegaskan pasal 7 ayat 3 Kompilasai Hukum Islam (KHI).

B. Saran-saran

Untuk Mengakhiri tulisan ini, penulis ajukan beberapa saran sebagai berikut:


(3)

1. Bagi pasangan yang ingin melakukan perkawinan hendaklah mencatat perkawinannya. untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat dan melindugi hak-hak pasangan suami istri, baik administrasi maupun tertib nasab.

2. Kepada penegak keadilan atau hakim, dan kepala pelaksana petugas pencatatan nikah atau Kantor Urusan Agama (KUA) disarankan untuk perlu mensosialisasikan Undang-undang Tentang perkawinan pada masyarakat melalui seminar dan penyuluhan, agar tidak terjadi perkawinan dibawah tangan melalui khatib, dan ceramah.

3. Kajian ini tentang itsbat nikah (Pengesahan nikah) diharapkan dapat dimasukkan ke dalam kurikulum pelajaran mulai dari tingkat Madrasah Tsanawiyah (SMP) hingga Madrasah Aliyah (SMA). Dengan demikian seputar itsbat nikah (Pengesahan nikah) dapat dipahami masarakat sejak dini.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemah

A. Sutarmadi, Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:Anggaran DOP/DIPA/Non reguler Fakultas Syariah dan Hukum, 2006)

Abbas, Ahmad Sudirman. Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqih, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya denga Anglo Media, 2004.

Abdul Wahab Bauhdiba, Sexuality In Islam. Yogyakarta, 2004, Cet. Pertama, h. 54. Abdullah, Gahani, Abdul, Dr., Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan

Pengadilan Agama, Jakarta: Internusa, 1991.

Ali, Zainuddin. “Hukum Perdata Islam Di Indonesia”. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Ibrahim, Muhammad, Fiqhul Mar’atil Muslimah, Jakarta: Pustaka Amani , 1995. Arto, A Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1996.

____________, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, Mimbar

Hukum No. 26 Tahun IVV (Mei-Juni, 1996).

Az-Zuhaily, Wahba. al Fiqh al Islami Wa Adillatuhu, Damsiq: Dar al Fikr,. 1989: Mizan, 1999.

Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia. Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, 1998.

“Dampak Perkawinan dibawah Tangan” artikel ini di akses pada tanggal 7 Juli 2009 dari http://wap.indosiar.com/berita-3.asp?id=21434&idjenis=6.

Di akses pada tanggal 17 Juni 2009 dari http://nasevi.blogspot.com/2009 0401archive. html

Faouziyah, Ulfah, “Itsbat Nikah dan Proses Penyelesaiannya di Pengadilan Agama (Studi analisis Jakarta Timur)”, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Hadidjah, dan La jamaa. Hukum Islam & Undang-undang Anti kekerasan dalam

Rumah Tangga, STAIN Ambon Press, 2007, Cet. 1.

Hanan, Damsyi, Permasalahan Itsbat Nikah, Kajian terhadap pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 7 KHI, Mimbar Hukum, No. 31. Jakarta: Alhikmah & Ditbinbapera, 1997.


(5)

Hakeem, Hosein, Ali, Membela Perempuan Menakar Feminisme dengan Nalar Agama, Jakarta: Al-Huda, 2005

Indra, Hasbi, Dr, MA, dkk, Potret Wanita Shalehah, Jakarta: Penamadani, cet. II, 2004.

Imroah, “Analisa Penetapan Hakim No. 74/P2/1990/PA. Sumber Cirebon Tentang Pengesahan perkawinan (Itsbat nikah) yang dilaksanakan malalui kawin gantung di PA Sumber Cirebon”. Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.

Irianto, Sulistyowati, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum Yang berprespektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Universitas Indoensia , 2006)

Kelompok Kerja convetion Watch, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk

Mewujudkan Keadilan Gender/Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas

Indonesia; edisi III. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2007.

LBH Apik. Di akses pada tanggal 20 Juli 2009 dari http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh tangan.htm

M. Hasbi Ash Shiddieqiy, Teungku, Hukum-hukum Fiqh Islam: Tinjauan Antar Mazhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.

M. Quraish Shihab, Perempuan, Jakarta, Lentera Hati, 2005.

Mudzar, Atho. Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisional dan Liberalisasi, Jakarta: Titian Ilahi Pers, 1998.

Munawir, Ahmad Warson. “Al Munawir Kamus Arab-Indonesia”. Cet. Ke- 14. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.

Nasution, Khairuddin, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta: INIS, 2002.

“Perlindungan Hukum Bagi Perempuan dalam Perkawinan”, artikel ini diakses pada 17 Juli 2009 dari http://wap.fajar.co.id/index.php.

“Pentingnya Akta Kelahiran Anak”, artikel ini di akses pada tanggal 9 Juli 2009 dari http://www.idlo.int/docNews/256DOC1.pdf.

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet. Ke-1, 1995.

Soekanto, Soerjono, Prespektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta, Rajawali, 1985.

Sofyan, Yayan, Itsbat Nikah bagi Perkawinan yang tidak dicatat, setelah diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Ahkam IV”. No. 08 (2002).

Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Syamsudin, M. Operasional Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Taridi, Ahmad, “Itsbat Nikah Sesudah Berlakunya undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi kasus di Pengadilan Agama Jakarta Timur)”.


(6)

Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam bandung: Citra Umbara, 2007.

Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, Jakarta: Asa Mandiri, cetakan pertama, 2007.

Widanti, Agnes, Hukum Berkeadilan Gender, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2005.

Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama: Undang-undang N0. 7 tahun 1989, Jakarta: Pustaka Kartini: 1993.