TINJAUAN PUSTAKA Optimalisasi Produksi Embrio Domba Secara In Vitro Penggunaan Medium CR1aa dan Pengaruh Status Reproduksi

2. TINJAUAN PUSTAKA

Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel Satu siklus estrus terdiri dari fase folikular dan fase luteal. Fase folikular ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium yang berlangsung selama 3-4 hari Gordon 1997. Pada domba, sebanyak satu atau dua folikel besar menghasilkan estrogen yang dapat menekan pertumbuhan folikel kecil lainnya Hafez dan Hafez 2000. Fase luteal berlangsung selama kurang lebih 13 hari dan ditandai dengan pematangan corpus luteum yang menghasilkan progesteron dengan konsentrasi yang mencapai puncak pada hari ke-6 setelah ovulasi. Selama periode siklus estrus tidak ada perbedaan nyata antara jumlah folikel yang terdapat pada ovarium kiri dan kanan Gordon 1997. Setiap folikel sehat yang berdiameter 2 mm memiliki kesempatan untuk tumbuh menjadi folikel dominan yang siap untuk diovulasikan. Perkembangan folikel pada sapi dan domba ditandai dengan adanya gelombang pertumbuhan folikel. Satu gelombang didefinisikan sebagai suatu proses pertumbuhan folikel yang sinkron dari beberapa folikel kecil. Dari kelompok folikel kecil tersebut, salah satu diantaranya akan terseleksi dan tumbuh menjadi folikel dominan, sedangkan folikel lainnya akan terhenti pertumbuhannya dan menuju atresi. Setelah mencapai ukuran maksimal, folikel dominan juga akan mengalami atresi dan regresi. Atresi dari folikel dominan akan menyebabkan pertumbuhan gelombang folikel baru. Selama periode siklus estr us terjadi dua hingga tiga gelombang folikel. Pada gelombang yang kedua folikel dominannya akan menjadi folikel ovulatory sedangkan folikel dominan dari gelombang ketiga akan mengalami ovulasi Gambar 2.1. Gelombang pertumbuhan folikel terjadi bukan hanya selama siklus estrus, namun juga telah terjadi sebelum pubertas, selama kebuntingan dan selama periode post partus. Gambar 2.1. Skema Gelombang Pertumbuhan Folikel Sumber : Rasby dan Vinton 2001 Proses pertumbuhan folikel, ovulasi dan pembentukan CL sangat dipengaruhi oleh sirkulasi hormon reproduksi dalam tubuh. Gonadotrophin Releasing Hormone GnRH yang dihasilkan oleh hypothalamus berfungsi menstimulasi pengeluaran Follicle Stimulating Hormone FSH dan Luteinizing Hormone LH oleh hipofisa anterior sebagai respons terhadap estrogen atau progesteron. Ketika proses pertumbuhan folikel kecil recruitment berlangsung, mRNA untuk P450 aromatase meningkat. Pada saat seleksi morfologis, folikel dominan mengandung estrogen dengan konsentrasi tinggi dalam cairan folikel dan segera setelah proses seleksi berakhir, maka folikel dominan banyak mengandung mRNA untuk reseptor gonadotrophin dan hormon steroid Fortune et al. 2001. Masing-masing gelombang folikel meliputi proses pertumbuhan kelompok folikel kecil, seleksi, pembentukan folikel dominan dan selanjutnya mengalami atresi bila terdapat CL. Frekuensi LH yang tinggi menyebabkan folikel dominan dapat terus tumbuh dan mensekresikan estradiol dan inhibin. Atresi akan terjadi apabila frekuensi LH menurun. Jika folikel besar dari satu gelombang telah berhenti pertumbuhannya, maka akan terjadi kembali peningkatan konsentasi FSH yang menstimulasi pertumbuhan kelompok folikel baru. Folikel dominan tidak akan dapat diovulasikan pada fase luteal akibat adanya CL yang mensekresikan progesteron Binelli et al. 1999 dan terbatasnya frekuensi LH sehingga terjadilah atresi folikel dominan tersebut. Folikel besar yang muncul pada saat luteolisis akan menjadi folikel dominan dan selanjutnya mengalami ovulasi pada fase folikular Inskeep 2004. Pada domba dan kambing, folikel dominan dari gelombang folikel kedua yang dapat melakukan ovulasi Evans 2003b. Fase folikular dimulai dengan penghilangan efek negatif dari progester on sehingga konsentrasi GnRH kembali meningkat. Peningkatan konsentrasi GnRH akan menyebabkan peningkatan produksi FSH dan LH sehingga dapat mendukung pertumbuhan folikel. Folikel de Graaf akan menghasilkan lebih banyak estrogen. Jika estrogen telah menc apai batas ambang maksimal, maka akan memicu pengeluaran LH sehingga terjadilah ovulasi. Pada fase luteal, konsentrasi LH tidak dapat mencapai batas ambang maksimal, sehingga folikel dominan akan mengalami regresi dan penurunan sekresi estradiol dan inhibin menyebabkan terbentuknya gelombang folikel baru. Folikel dominan yang mengandung estradiol dan inhibin dengan konsentrasi tinggi berhubungan dengan penekanan konsentrasi FSH dalam sirkulasi darah Parker et al. 2002; Adams et al. 1992. Pematangan Oosit In Vitro Pematangan oosit meliputi pematangan sitoplasma dan inti Rehman et al. 2001 yang merupakan proses yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan fertilisasi dan perkembangan embrio selanjutnya. Proses pematangan inti yang berhubungan dengan aktivitas sintesis RNA Chohan dan Hunter 2003, ditandai dengan perubahan inti dari fase diplotene ke metafase II. Membran inti akan mengadakan penyatuan dengan vesikel membentuk Germinal Vesicle GV dan kemudian akan mengalami pelepasan membran inti Germinal Vesicle Break Down GVBD. Setelah GVBD terbentuk, kromosom dibungkus oleh mikrotubulus dan mikrofilamen yang sangat mempengaruhi keberhasilan pembelahan meiosis. Seiring dengan proses tersebut maka kebutuhan oksigen oosit akan meningkat. Oosit yang telah mengalami GVBD selanjutnya akan mencapai tahap metafase I. Metafase I M-I terjadi setelah 12-14 jam inkubasi dan diikuti oleh tahap anafase A-I dan telofase T-I yang berlangsung relatif singkat yaitu sekitar 14-18 jam setelah inkubasi. Selanjutnya oosit akan mencapai tahap metafase II M-II yang ditandai dengan terbentuknya badan kutub I sebagai oosit matang yang siap untuk difertilisasi Pawshe et al. 1994. Banyak oosit yang mati pada tahap GV, sebelum terjadinya pertumbuhan folikel akibat abnormalitas kromosom maupun kerusakan mitokondria Cecconi 2002. Pematangan sitoplasma yang sangat mempengaruhi proses produksi embrio normal secara in vitro Lonergan et al. 1994, ditandai dengan perpindahan granula korteks ke arah perifer, terjadi peningkatan jumlah dan perubahan morfologi mitokondria, modifikasi ultrastruktur dari kompleks golgi, serta terjadi akumulasi ribosom Fulka et al. 1998. Oosit yang dimatangkan secara in vitro dapat mengalami perkembangan yang menyerupai in vivo dengan menggunakan media yang mengandung komposisi dan keadaan yang meniru kondisi in vivo. Oosit dapat diambil langsung dengan berbagai cara seperti aspirasi, puncture dan penyayatan slicing Wani et al. 1999 dari folikel berdiameter 3-5 mm Moor et al. 1997 dan dimatangkan dalam media yang sesuai untuk kebutuhan metabolisme oosit selama proses pematangan. Oosit yang berasal dari folikel dengan diameter 2 mm akan mencapai metafase II dengan persentase yang rendah. Oosit dengan diameter 110-120 µ m, memiliki kemampuan mencapai tahap M-II lebih tinggi dan dapat dikoleksi dari folikel berukuran 3-4 dan 4 mm Fair et al. 1995. Oosit dengan diameter 100 µ m tidak dapat melakukan sintesis RNA maternal dan beberapa protein esensial dengan sempurna sehingga tidak dapat mencapai tahap M-II Otoi et al. 1997. Sel-sel kumulus berperan penting dalam proses pematangan oosit secara in vitro Setiadi 2002, yang selanjutnya juga akan mempengaruhi kualitas embrio yang dihasilkan. Apabila sel-sel kumulus dilepaskan sebelum maturasi, maka akan terjadi kelambatan dalam proses pematangan oosit atau bahkan tidak terjadi pematangan. Kehadiran sel-sel kumulus sangat berperan penting dalam proses transkripsi dan sintesis protein sebelum terjadinya GVBD pada oosit domba da n sapi Trounson 1992. Oosit yang memiliki sel kumulus lengkap menunjukkan perkembangan yang lebih baik dibandingkan dengan oosit yang telah dihilangkan sel kumulusnya terlebih dahulu Bilodeau-Goeseels dan Panich 2002. Ekspansi sel kumulus berguna untuk memfasilitasi pelepasan Cumulus Oocyte Complex COC dari dinding folikel, sehingga terjadi ovulasi dan juga mempercepat terjadinya reaksi akrosom spermatozoa. Ekspansi sel kumulus selama proses maturasi in vitro dipengaruhi oleh hormon gonadotrophin dan berguna untuk meningkatkan kemampuan fertilisasi dan perkembangan embrio selanjutnya, sehingga ekspansi sel kumulus dijadikan sebagai salah satu parameter keberhasilan IVM dan kriteria pemilihan oosit yang akan digunakan untuk IVF. Medium yang diguna kan untuk pematangan oosit dapat memberikan pengaruh tidak hanya untuk proses pematangan oosit tetapi juga untuk perkembangan embrio. Berbagai medium yang telah umum digunakan untuk pematangan oosit adalah seperti Tissue Culture Medium 199 TCM-199, Potassium Simplex Optimized Medium KSOM, Human Tubal Fluid HTF dan sebagainya Gardner dan Lane 2000. Ke dalam media tersebut juga perlu ditambahkan serum, hormon gonadotrophin, serta antibiotik yang dapat membantu memaksimalkan hasil pematangan Goto dan Iritani 1992. Penambahan 1 µ gml estradiol ke dalam medium TCM-199 tanpa serum dapat menurunkan persentase M-II dan tingkat blastosis secara nyata serta meningkatkan kerusakan inti Beker et al. 2002. Penambahan LH ke dalam medium maturasi menyebabkan peningkatan persentase metafase II pada oosit sapi Nakagawa dan Leibo 1997. Kombinasi rekombinan human FSH dan LH dalam medium maturasi terbukti dapat meningkatkan tingkat kematangan oosit domba Accardo et al. 2004. Penambahan serum ke dalam medium maturasi juga dapat meningkatkan pematangan inti dan pembentukan pronukleus. Medium yang tidak mendapat suplementasi serum hanya mampu mendukung terjadinya pematangan inti, tetapi pematangan sitoplasma tidak sepenuhnya teraktivasi Setiadi 1999. Pada tikus, penambahan Fetal Bovine Serum FBS ke dalam medium dapat memberikan efek positif terhadap pembelahan sel, meningkatkan pembentukan jumlah blastosis yang terbentuk dari morula dan meningkatkan kualitas blastosis yang dihasilkan Han dan Niwa 2003. Insulin-like Growth Factor-1 IGF-1 merupakan salah satu komponen yang terdapat dalam FBS, yang bertanggung jawab untuk ekspansi sel-sel kumulus oosit babi in vitro Singh dan Armstrong 1997. Namun, kehadiran serum sebagai sumber nitrogen juga menyebabkan perbedaan morfologis blastosis dari bentuk normal yang ditandai dengan adanya vesikel- vesikel seperti lemak dalam sitoplasma Gardner et al. 1994. Metabolisme oksidatif oosit meningkat selama proses pematangan. Hal ini ditandai dengan peningkatan metabolisme piruvat, glycine dan glutamin pada jam ke 12 dan 18 kultur. Namun metabolisme glukosa sangat rendah selama proses maturasi Rieger 1996. Penambahan cysteine sebagai prekursor glutathion yang mengalami reduksi GSH ke dalam medium maturasi dapa t meningkatkan aktivitas sel kumulus untuk membentuk glutathion. Disamping itu, taurin dan hypotaurin juga akan meningkatkan synthesis GSH selama proses pematangan oosit Wang et al. 1997; Niwa 1993. Oosit yang matang akan memiliki konsentrasi GSH yang lebih tinggi sehingga akan meningkatkan kemampuan pembentukan pronukleus jantan dalam oosit tersebut. Sintesis GSH selama pematangan oosit sangat berguna bagi proses dekondensasi kromatin spermatozoa untuk membentuk pronukleus jantan Yoshida et al. 1992. Disamping hal tersebut diatas, keberhasilan pematangan oosit in vitro juga dipengaruhi oleh lamanya waktu inkubasi pada inkubator CO 2 5. Pada kambing, lamanya pematangan in vitro dilakukan selama 24-26 jam. Jika waktunya kurang dari 24 jam, maka oosit umumnya baru berada pada tahap GV dan belum mencapai tahap metafase II. Sedangkan jika lebih dari 30 jam inkubasi, akan terjadi proses parthenogenesis spontan Boediono et al. 2000. Pada domba, tingkat maturasi oosit tidak mengalami perbedaan yang nyata setelah inkubasi selama 20, 24, 28 maupun 32 jam. Meskipun periode inkubasi 32 jam ditemukan adanya oosit yang mengalami kelainan kromatin Jaswandi et al. 2001. Komposisi gas dalam lingkungan kultur juga berpengaruh terhadap keberhasilan pematangan oosit dan kultur embrio. Jika tekanan oksigen diturunkan CO 2 5; O 2 5; N 2 90, maka daya tahan embrio lebih baik pada embrio yang dikultur tanpa co-culture dan ditambahkan serum. Namun jika dikultur pada CO 2 5, maka persentase blastosis tertinggi diperoleh dari penggunaan co-culture dan tanpa serum Watson et al. 1994. Perkembangan blastosis menurun jika dikultur dalam kondisi CO 2 5, O 2 7 dan N 2 88 Watson et al. 2000. Perkembangan oosit yang dimatangkan dalam lingkungan dengan konsentrasi CO 2 5 menghasilkan persentase morula dan blastosis yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan oosit yang dikultur dalam lingkungan dengan kombinasi gas CO 2 5, O 2 5 dan N 2 90 De Azambuja et al. 1993. Osmolaritas medium yang dipengaruhi oleh konsentrasi garam anorganik yang terkandung dalam medium dapat mempengaruhi tingkat pematangan oosit Mc Gaughey 1977 dan perkembangan embrio Galvin et al. 1993. Oosit dan embrio mencit dan hamster dapat berkembang dalam medium dengan osmolaritas 200-350 mOsM, namun pe rkembangan lebih baik dalam medium dengan osmolaritas 275-295 mOsM Gardner dan Lane 2000. Medium dengan konsentrasi NaCl yang tinggi dengan osmolaritas 355 mOsM menyebabkan banyak oosit matang dengan degenerasi kromosom Mc Gaughey 1977. Kapasitasi dan Fertilisasi In Vitro Kapasitasi merupakan syarat mutlak bagi spermatozoa untuk dapat membuahi sel telur, baik secara in vivo maupun in vitro. Selama kapasitasi terjadi perubahan pada membran plasma dan pelepasan enzim hyaluronidase serta zona lysin dari akrosom. Proses kapasitasi in vitro menyebabkan terjadinya peningkatan motilitas spermatozoa yang dikenal dengan ‘hyperaktivasi’. Akibat dari proses ini adalah terjadinya peningkatan motilitas spermatozoa dan reaksi akrosom sehingga spermatozoa mampu menembus corona radiata dan zona pellusida sel telur. Perubahan molekuler yang terjadi selama proses kapasitasi meliputi perubahan konsentrasi kalsium intraseluler, perubahan distribusi dan komposisi lemak serta perubahan pada fosforilasi protein dan aktivitas kinase Baldi et al. 1996. Selama kapasitasi berlangsung, kalsium ekstraseluler akan masuk ke dalam sel sehingga konsentrasi kalsium intraseluler meningkat. Disamping kalsium, juga terjadi perubahan konsentrasi K + , Na + dan Cl - intraseluler. Medium ya ng umum digunakan untuk kapasitasi spermatozoa dan fertilisasi in vitro adalah Brackett dan Oliphants BO; Brackett dan Oliphant 1975 dan Tyrode -Albumin-Lactat-Pyruvat TALP; Parrish et al. 1986. Medium BO terdiri dari garam-garam anorganik yang berguna untuk menjaga keseimbangan ion intra dan ekstraseluler selama kapasitasi dan fertilisasi. Disamping itu, ke dalam medium BO juga ditambahkan sodium piruvat dan lactat sebagai sumber energi, bovine serum albumin BSA serta caffeine dan heparin. Medium BO sudah digunakan sebagai medium IVF pada berbagai species seperti sapi Boediono et al. 1994, kambing Boediono et al. 2000 dan babi Yang et al. 1995. Secara in vitro, kapasitasi biasanya dapat diinduksi dengan penambahan calcium ionophores , kafein maupun heparin ke dalam medium atau dapat juga dilakukan dengan memaparkan spematozoa ke dalam tripsin dan pada suhu 5ºC dalam pengencer kuning telur Uguz et al. 1994. Disamping itu penambahan kombinasi kafein dan heparin dapat meningkatkan kemampuan spermatozoa untuk melakukan penetrasi ke dalam sel telur. Heparin dapat meningkatkan kemampuan spermatozoa sapi berikatan dengan protein zona pellusida Watanabe et al. 1997. Heparin sangat dibutuhkan untuk proses kapasitasi yakni 4-6 jam sebelum spermatozoa memiliki kemampuan untuk melakukan fertilisasi. Fertilisasi merupakan proses kompleks yang menghasilkan penggabungan dua gamet, restorasi jumlah kromosom somatik dan mulainya perkembangan suatu individu baru Gordon 1994. Fertilisasi secara in vitro hanya dapat terjadi setelah didahului oleh proses kapasitasi spermatozoa. Penetrasi spermatozoa ke dalam oosit akan menyebabkan oosit menyelesaikan pembelahan meiosis II yang ditandai dengan terbentuknya badan kutub II. Selanjutnya kromosom oosit akan membentuk pronukleus betina dan kromatin yang terdapat pada kepala spermatozoa akan mengalami dekondensasi dan kemudian membentuk pronukleus jantan Cleine 1996. Segera setelah penetrasi spermatozoa, maka konsentrasi cytostatic factor CSF yang terkandung dalam oosit akan menurun dan oosit akan memasuki interfase dengan mengeluarkan badan kutub-II dan membentuk pronukleus betina. Penurunan aktivitas Extracellular signal Regulated Kinase ERK12 mitogen- activated protein kinase MAPK sangat penting untuk pembentukan pronukleus setelah fertilisasi pada mencit. Hal berbeda pada babi, bahwa pembentukan pronukleus betina dapat terjadi sebelum penurunan aktivitas ERK12MAPK. Kejadian tersebut menunjukkan bahwa kinase memegang peranan penting dalam pemisahan kr omosom setelah fertilisasi Villa-Diaz dan Miyano 2003. Periode inkubasi spermatozoa dan oosit untuk fertilisasi in vitro tidak mempengaruhi perkembangan embrio pada tahap berikutnya Sumantri et al. 1997. Inkubasi spermatozoa dan oosit untuk keperluan IVF dilakukan selama 17-24 jam pada kambing Boediono et al. 2000, 18 jam pada domba Jaswandi et al. 2001 dan 5-15 jam pada sapi Sumantri et al. 1997. Keadaan abnormal dapat terjadi apabila hanya salah satu pronukleus yang berkembang haploid maupun adanya kejadian polispermia sehingga akan terbentuk embrio yang memiliki lebih dari dua pronukleus. Perkembangan Embrio In Vitro Zigot yang terbentuk dari hasil fertilisasi in vitro dapat tumbuh dan membelah menjadi 2, 4, 8 dan 16 sel sampai membentuk morula dan blastosis dalam medium kultur seperti TCM-199, Ham’s F-10, HTF, KSOM dan lain sebagainya Gardner dan Lane 2000 yang mengandung protein, sumber energi dan buffer. Disamping itu, kultur embrio perlu dilakukan dalam kondisi CO 2 5 agar sel dapat tumbuh dan membelah secara normal. Metode kultur embrio secara in vitro sangat mempengaruhi keberhasilan perkembangan embrio lebih lanjut dan proses implantasi pada tubuh resipien Petters 1992. Penambahan asam amino ke dalam medium kultur dapat memberikan efek positif dan negatif. Dalam medium maturasi oosit, asam amino dapat mempengaruhi frekuensi perkembangan, meningkatkan jumlah sel blastosis dan meningkatkan level mRNA maternal. Asam amino non esensial yag ditambahkan bersama bersama glutamin ke dalam medium kultur dapat meningkatkan perkembangan mencapai tahap 8-16 sel dan blastosis secara nyata. Namun jika hanya glutamin yang ditambahkan tidak mampu menstimulasi perkembangan embrio. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa disamping digunakan sebagai sumber energi, glutamin juga memainkan peranan sebagai pengatur osmolaritas medium. Kehadiran asam amino esensial saja tidak memberikan efek stimulasi seperti halnya pada penambahan asam amino non esensial bersama glutamin. Hal tersebut mengindikasikan secara jelas bahwa adanya perbedaan mekanisme transport bagi asam amino non esensial dan esensial dalam sel pada domba, sapi, mencit maupun hamster Steeves dan Gardner 1999. Namun disisi lain, asam amino dalam medium juga dapat meningkatkan level amonium yang dapat menghambat perkembangan blastosis dan pembelahan sel. Disamping itu, kehadiran asam amino dalam medium dapat meningkatkan kejadian fragmentasi sitoplasma pada embrio domba. Untuk mengatasi hal tersebut medium kultur harus diganti dengan medium baru setiap 48-72 jam Gardner et al. 1994. Perkembangan embrio tahap awal sering mengalami hambatan. Embrio mencit dan tikus sering mengalami hambatan pada tahap dua sel, sedangkan embrio sapi dan domba pada tahap delapan sel Gordon 1994. Keadaan tersebut dapat diatasi dengan mengganti glukosa sebagai sumber energi dengan piruvat dan laktat di dalam medium kultur yang digunakan. Leese et al. 1993 melaporkan adanya korelasi antara perkembangan blastosis dengan penggunaan glukosa. Glukosa lebih dibutuhkan selama perkembangan blastosis sedangkan piruvat digunakan oleh embrio selama tahap preimplantasi sebelum mencapai blastosis. Pada perkembangan embrio sapi tahap awal, terjadi peningkatan metabolisme glutamin dan piruvat namun metabolisme glukosa yang terjadi sangat rendah. Metabolisme glukosa baru mengalami peningkatan setelah tahap 8-16 sel, yang berhubungan dengan aktivasi genom embryonic Rieger 1996. Glukosa akan digunakan oleh embrio domba untuk diubah menjadi laktat dan dikeluarkan dari sel Gardner et al. 1993. Hambatan perkembangan pada tahap 8 sel pada sapi berhubungan dengan kualitas sitoplasma oosit. Oosit menggunakan seluruh mRNA dan protein untuk mencapai tahap 4 atau 5 sel, meskipun embrio yang gagal untuk melakukan transkripsi genomnya sendiri akan gagal untuk berkembang Meireless et al. 2004. Pada mamalia, demetilasi aktif dari metilasi cytosine pada genom spermatozoa untuk membentuk inti zigot sangat dipengaruhi oleh fungsi dari sitoplasma oosit yang penting untuk perkembangan embrio secara normal Young dan Beaujean 2004. Kualitas embrio yang dihasilkan dari oosit dengan kualitas kurang bagus dapat ditingkatkan dengan cara mengkultur oosit dan embrio dalam kelompok yang besar. Kemampuan pertumbuhan embrio lebih baik jika dikultur secara berkelompok, 20 embrio dalam 500 µ l medium Khurana dan Niemann 2000. Kecepatan pembentukan blastosis dan pembelahan sel embrio dipengaruhi oleh bangsa pejantan dan betina. Pada sapi, embrio yang berasal dari induk yang berbeda bangsa akan mengalami pembelahan sel dan pembentukan blastosis lebih cepat daripada embrio yang berasal dari induk dengan bangsa yang sama. Secara umum, blastosis lebih sering terbentuk dari embrio yang mencapai tahap 8 sel pada 48 jam setelah fertilisasi Boe diono et al. 2003.

3. PENGGUNAAN MEDIUM CR1aa UNTUK PRODUKSI EMBRIO DOMBA IN VITRO