PEMBAHASAN UMUM Optimalisasi Produksi Embrio Domba Secara In Vitro Penggunaan Medium CR1aa dan Pengaruh Status Reproduksi

5. PEMBAHASAN UMUM

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari serangkaian penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa pada domba, terdapat kecenderungan jumlah folikel yang lebih sedikit pada pasangan ovarium yang memiliki folikel dominan tanpa corpus luteum, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata dengan jumlah folikel dari kelompok pasangan ovarium lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kehadiran inhibin dan estradiol yang dihasilkan oleh folikel dominan terbukti dapat menekan sekresi Follicle Stimulating Hormone FSH ; Souza et al. 1998; Gonzalez-Bulnes et al. 2004. Inhibin A yang dihasilkan selama pertumbuhan folikel dominan menimbulkan feedback negatif terhadap sekresi FSH selama periode postpartum maupun siklus estrus. Sedangkan estradiol hanya memberikan sedikit efek terhadap sekresi FSH jika dibandingkan dengan inhibin A, terutama selama periode postpartum fase midluteal dari siklus estrus Kaneko et al. 2002. Kehadiran folikel dominan pada pasangan ovarium lebih berpengaruh terhadap kualitas oosit yang dihasilkan. Keberadaan oosit dengan kualitas baik dan layak yang berasal dari pasangan ovarium dengan folikel dominan tanpa corpus luteum paling rendah dan berbeda nyata dengan jumlah oosit kualitas baik yang dapat dikoleksi dari ketiga kelompok pasangan ovarium lainnya. Hal ini diduga sebagai akibat adanya tekanan terhadap sekresi FSH, sehingga pertumbuhan oosit dalam folikel subordinat menjadi tidak optimal, yang berimplikasi pada oosit kualitas baik yang dapat dikoleksi dari pasangan ovarium dengan folikel dominan menjadi lebih sedikit. Tingkat maturasi oosit dengan kualitas baik, yang memiliki lebih dari dua lapis sel kumulus dan sitoplasma homogen dalam medium TCM-199 atau CR1aa menunjukkan adanya perbedaan nyata. Hasil pematangan inti oosit domba lebih baik dalam medium TCM-199 daripada menggunakan medium CR1aa. Hal tersebut menunjukkan besarnya pengaruh komposisi dari masing-masing medium terhadap tingkat maturasi. Sebagai medium komersial yang mengandung banyak protein, sumber energi dan vitamin yang cukup kompleks, medium TCM-199 terbukti dapat digunakan sebagai medium pematangan pada berbagai spesies seperti sapi Sumantri et al. 1998; Boediono et al. 2003, domba Jaswandi et al. 2001; Gomez et al. 1998 dan babi Wang et al. 1997. Walaupun pada beberapa spesies lain CR1aa dapat digunakan sebagai medium pematangan oosit dan tidak berbeda nyata dengan kemampuan TCM -199, namun terlihat bahwa pada domba terjadi fenomena lain. CR1aa yang pada awalnya memang digunakan sebagai medium untuk kultur embrio sapi Rosenkrans et al. 1993 ; Rosenkrans dan First 1994 t idak cukup mampu menyamai kemampuan TCM -199 dalam mematangkan inti oosit domba in vitro. Osmolaritas medium optimal untuk 48 jam pertama kultur sebelum tahap 4 sel adalah sebesar 290 dengan kisaran 280-320 mOsM dan untuk tahap setelah 4 sel adalah sebesar 256 dengan kisaran 220-270 mOsM Nguyen et al. 2003. Dalam penelitian ini, osmolaritas medium maturasi adalah sebesar 287-312 mOsM, medium kapasitasi 272-285 mOsM, medium fertilisasi 277-293 mOsM dan medium kultur 272-288 mOsM. Perkembangan oosit dan embrio lebih baik dalam medium dengan osmolaritas 275-295 mOsM Gardner dan Lane 2000. Tingkat fertilisasi yang dicapai sangat tergantung dari kemampuan spermatozoa untuk membuahi sel telur. Spermatozoa dapat melakukan proses kapasitasi dan reaksi akrosom in vitro dengan menambahkan kafein dan heparin ke dalam masing-masing medium fertilisasi yang digunakan. Tingkat fertilisasi yang lebih tinggi dan berbeda nyata dalam medium CR1aa-kafein daripada dalam medium BO-kafein. Diduga adanya perbedaan osmolaritas medium menyebabkan perbedaan hasil yang diperoleh. Rata-rata osmolaritas medium dalam penelitian ini adalah sebesar 320 mOsM untuk BO-kafein dan 280 mOsM untuk CR1aa- kafein. Perbedaan osmolaritas medium akan mempengaruhi tekanan osmotik intra dan ekstraseluler sehingga berpengaruh pada metabolisme sel secara umum. Tingkat fertilisasi oosit domba dalam medium BO -kafein maupun CR1aa- kafein lebih tinggi daripada hasil yang diperoleh Rusiyantono dan Boediono 2003 pada oosit kambing. Namun tingkat fertilisasi oosit domba dalam medium CR1aa-kafein lebih rendah daripada hasil yang dilaporkan oleh Djuwita et al. 2005 sebesar 84. Perbedaan hasil yang diperoleh diduga akibat perbedaan jenis spermatozoa yang digunakan. Boediono et al. 2003 melaporkan adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan embrio dengan induk dari jenis yang sama dibandingkan embrio hibrid. Fenomena tersebut diduga juga terjadi pada domba yang digunakan pada penelitian ini, dimana sumber oosit berasal dari domba lokal yang genetiknya tidak diketahui secara pasti dan spermatozoa dari domba garut, sehingga embrio yang dihasilkan merupakan suatu persilangan. Tingkat pembelahan sel tidak berbeda dalam medium TCM-199 maupun CR1aa. Namun terlihat adanya kecenderungan peningkatan kemampuan pembelahan sel dalam medium CR1aa. Hal tersebut diduga akibat adanya perbedaan bahan penyusun dari kedua medium, dimana TCM-199 mengandung glukosa yang dapat menghambat pertumbuhan embrio tahap awal. Pada penelitian ini banyak ditemukan kejadian pembelahan asimetris dan fragmentasi embrio setelah hari ketiga kultur. Kejadian fragmentasi embrio juga sering ditemukan pada embrio manusia. Dugaan penyebab terjadinya fragmentasi embrio adalah konsentrasi spermatozoa yang terlalu tinggi dalam proses fertilisasi in vitro yang menyebabkan tingginya radikal bebas yang terbentuk dalam medium, terjadi shock akibat perubahan suhu dan pH serta efek dari protokol stimulasi hormonal Elder 1999. Fragmentasi embrio diduga berhubungan dengan tidak adanya filamen actin perinuklear pada beberapa blastomer Wu et al. 2001. Fragmentasi pada blastomer juga terjadi akibat adanya anomali kromatin Delimitreva 2002 seperti aneuploidy dan mosaicism Van Blerkom 2003. Kejadian fragmentasi akan menyebabkan embrio gagal mencapai tahap implantasi.

6. KESIMPULAN UMUM DAN SARAN