38 C selama 24 jam. Kapasitasi Spermatozoa dan Fertilisasi In Vitro

Kawasaki, Japan 10 IUml, Luteinizing Hormone LH; Chorulon ® , Intervet International B.V., Boxmer, Holland 10 IUml, Estradiol Oestradiol Benzoate ® , Intervet International B.V., Boxmer, Holland 1 ìgml dan penicillin-streptomycin Gibco, Grand Island, NY, USA 100 IUml. Pematangan oosit dilakukan dalam medium maturasi dalam bentuk drop masing-masing 50 µl untuk 10-15 oosit dan ditutup dengan mineral oil Sigma Chemical Co. St. Louis MO, USA dalam inkubator CO 2

5, 38 C selama 24 jam. Kapasitasi Spermatozoa dan Fertilisasi In Vitro

Kapasitasi dan fertilisasi dilakukan mengikuti metode penelitian pada bab 3 hal 18-19. Medium fertilisasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah CR1aa yang disuplementasi dengan caffeine benzoate 2.5 mM dan heparin 20 µ gml Shimizu, Japan. Konsentrasi spermatozoa yang digunakan untuk keperluan IVF adalah sebesar 2.10 6 spermatozoaml. Spermatozoa disiapkan dalam bentuk drop masing-masing seba nyak 100 ìl dalam cawan petri untuk 20-25 oosit dan ditutup dengan mineral oil Boediono et al. 2003. Oosit yang telah dicuci dalam medium fertilisasi sebanyak dua kali untuk keperluan fertilisasi kemudian diequilibrasi selama 30 menit sebelum IVF. Oosit kemudian dipindahkan ke dalam drop spermatozoa dan diinkubasi selama 18 jam dalam inkubator CO 2 5, 38 C. Perkembangan Embrio In Vitro Setelah 18 jam, oosit dicuci dalam medium kultur sebanyak dua kali dan dipindahkan ke dalam 50 ìl medium kultur CR1aa yang disuplementasi dengan FBS 10, insulin Sigma, USA 5 µ gml dan penisillin-streptomisin 100 IUml. Perkembangan embrio diamati sampai hari kelima. Penggantian medium kultur dilakukan setiap 48 jam. Evaluasi Jumlah folikel yang terdapat pada masing-masing pasangan ovarium dan oosit yang terkoleksi dengan teknik pencacahan yang dihitung berdasarkan kualitasnya. Oosit yang terkoleksi dibedakan menjadi oosit dengan kualitas baik dan tidak baik. Oosit dengan kualitas baik merupakan oosit yang memiliki lebih dari dua lapis sel kumulus dan memiliki sitoplasma yang homogen sedangkan kelompok oosit dengan kualitas tidak baik merupakan oosit yang memiliki selapis atau tidak memiliki sel kumulus dan sitoplasma yang tidak homogen, sehingga tidak layak digunakan untuk produksi embrio in vitro. Pengamatan status inti oosit setelah maturasi dan fertilisasi in vitro dilakukan mengikuti metode penelitian bab 3 hal 19-20. Tingkat kematangan inti dihitung dengan membandingkan jumlah oosit yang mencapai M-II dengan jumlah oosit yang dimaturasi. Proses fertilisasi yang diamati meliputi dekondensasi kepala spermatozoa dan pembentukan pronukleus PN jantan. Sel telur yang telah mengalami fertilisasi ditandai dengan terbentuknya dua pronukleus jantan dan betina, 2 PN atau lebih 2PN dalam sitoplasma sel telur. Tingkat fertilisasi merupakan perbandingan antara jumlah sel telur yang dibuahi membentuk dua atau lebih pronukleus dengan jumlah keseluruhan sel telur yang difertilisasi. Tingkat pembelahan dan perkembangan embrio diketahui dengan pengamatan menggunakan mikroskop inverted pada hari kedua hingga kelima. Tingkat pembelahan diperoleh dengan menghitung persentase jumlah zigot yang berhasil membelah dibandingkan dengan keseluruhan jumlah zigot yang dikultur. Sedangkan tingkat perkembangan embrio diperoleh dengan menghitung jumlah embrio yang mencapai tahap 4 dan 8 sel serta morula dibandingkan dengan keseluruhan jumlah zigot yang membelah. Analisis Data Data dianalisis dengan analisis sidik ragam ANOVA dalam bentuk rancangan acak lengkap masing-masing empat perlakuan dan tujuh kali ulangan. Uji terhadap perbedaan perlakuan dilakukan dengan Duncan’s Multiple Range Test DMRT Steel dan Torrie 1993. Data diolah menggunakan program SAS system. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Ovarium Domba Keadaan umum ovarium domba yang diamati dalam penelitian ini berdasarkan keberadaan corpus luteum CL dan folikel dominan FD pada pasangan ovarium individu yang dikoleksi dari rumah potong hewan. Dari keempat kelompok pasangan ovarium yang diamati, terlihat bahwa jumlah folikel terbanyak 15.88±10.68 ditemukan pada pasangan ovarium yang memiliki CL tanpa FD, namun tidak terdapat perbedaan nyata dengan kelompok lainnya P0.05 Tabel 4.1. Kehadiran CL pada pasangan ovarium akan memberikan korelasi positif terhadap jumlah folikel Boediono et al. 1995. CL menghasilkan progesteron yang dapat menghambat pertumbuhan folikel dominan mencapai ovulasi sehingga akan mengurangi pengaruh negatif dari inhibin dan estradiol yang dihasilkan oleh folikel dominan dalam menghambat pertumbuhan folikel subordinat. Sehingga hal tersebut menyebabkan jumlah folikel subordinat yang tumbuh menjadi lebih banyak pada pasangan ovarium yang memiliki CL daripada ovarium yang memiliki FD. Tabel 4.1 Jumlah folikel dan oosit yang terkoleksi dari pasangan ovarium dengan status reproduksi berbeda Status reproduksi Jumlah oosit terkoleksi dengan kualitas CL FD Jumlah pasangan ovarium Jumlah folikel Baik Tidak Baik + + 8 15.75± 4.95 a 7.94 ± 2.59 a 12.38 ± 5.64 a + - 8 15.88 ±10.60 a 7.27 ± 3.11 a 9.00 ± 6.47 a - + 8 11.00 ± 7.58 a 4.40 ± 1.50 b 11.07 ± 3.26 a - - 8 1213 ± 12.10 a 6.87 ± 3.20 a 10.80 ± 5.97 a Ket. CL: Corpus Luteum, FD: Folikel Dominan. Huruf berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata P 0.05. Kualitas oosit yang dapat terkoleksi dengan teknik pencacahan dari empat kelompok pasangan ovarium terlihat pada Tabel 4.1. Jumlah oosit dengan beberapa lapis sel kumulus dan memiliki sitoplasma yang homogen kualitas baik yang terkoleksi dari kelompok pasangan ovarium yang memiliki FD tanpa CL sangat rendah dan berbeda nyata dengan kelompok lainnya. Hambatan terhadap perkembangan folikel yang dihasilkan oleh folikel dominan ternyata juga mempengaruhi kualitas oosit yang dihasilkan. Penilaian terhadap kualitas oosit sebagai salah satu upaya melakukan seleksi terhadap oosit yang akan dimaturasi sangat mempengaruhi keberhasilan produksi embrio in vitro. Morfologi oosit berdasarkan kekompakan dan jumlah lapisan sel kumulus berakibat positif terhadap maturasi, fertilisasi dan pertumbuhan serta perkembangan embrio in vitro de Wit et al. 2000; Bilodeau- Goeseels dan Panich 2002. Tidak satu pun oosit yang gundul mampu mencapai embrio tahap 8-16 sel Khurana dan Niemann 2000. Jumlah folikel yang terdapat pada ovarium yang memiliki CL lebih banyak dan kualitas oosit yang lebih baik dibandingkan dengan ovarium tanpa CL. Pada pasangan ovarium yang memiliki CL dan FD, keberadaan CL yang menghasilkan progesteron dalam sirkulasi tubuh akan menyebabkan hambatan pertumbuhan folikel dominan mencapai ovulasi sehingga dapat menekan pengaruh negatif folikel dominan terhadap pertumbuhan dan perkembangan folikel subordinat lainnya. Hal tersebut menyebabkan jumlah folikel subordinat yang terbentuk lebih banyak dengan kualitas oosit yang lebih baik Taylor dan Rajamahendran 1991. Progesteron akan lebih tinggi 100 hingga 1000 kali dalam cairan folikel daripada dalam darah perifer. Pada pasangan ovarium yang memiliki CL menghasilkan progesteron dan FD yang mengandung cairan folikel dengan konsentrasi inhibin yang tinggi dan sedikit progesteron sehingga total progesteron dapat mengatasi efek negatif dari inhibin Brussow et al. 2003. Konsentrasi progesteron dalam cairan folikel dari folikel dominan sangat rendah Hazeleger et al. 1995 dan berbanding terbalik dengan konsentrasi inhibin Gandolfi et al. 1997 dan estradiol Fortune et al. 2001. Sekresi follicle stimulating hormone FSH tidak dipengaruhi oleh progesteron melainkan oleh estradiol dan inhibin yang diproduksi oleh folikel selama periode siklus Souza et al. 1998. Konsentrasi estradiol yang tinggi dalam cairan folikel dominan akan mempertahankan konsentrasi FSH pada level basal. Inhibin dan estradiol akan menyebabkan terjadinya efek negatif dan menurunkan konsentrasi FSH sehingga pertumbuhan folikel subordinat akan terhambat dan selanjutnya mengalami regresi dan atresi Adams et al. 1992; Machatkova et al. 1996; Mc Gee dan Hsueh 2000; Parker et al. 2003. Ginther et al. 1989, Vassena et al. 2003, Evans 2003a dan Gonzalez-Bulnes et al. 2004 menyatakan bahwa folikel dominan menghasilkan efek penekanan terhadap folikel lain secara sistemik dengan menekan pelepasan FSH. Inhibin merupakan glikoprotein yang secara spesifik akan menghambat sekresi FSH McNeily et al. 1988. Inhibin terdiri dari dua ikatan disulfida á dan â subunit untuk membentuk inhibin A dan inhibin B, yang diproduksi oleh sel granulosa ovarium. Inhibin B diproduksi oleh folikel antral sedangkan inhibin A dihasilkan oleh folikel dominan Findlay et al. 1990; Welt et al. 2001. Pada sapi inhibin predominan yang ditemukan dalam cairan folikel adalah inhibin A, sedangkan konsentrasi inhibin B yang terukur sangat rendah. Inhibin B tidak ditemukan dalam serum sapi dengan menggunakan Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay ELISA. Pengaruh inhibin A yang terdapat dalam plasma darah akan menurunkan jumlah folikel subordinat, menurunkan konsentrasi FSH Findlay et al. 1990; Bleach et al. 2001 serta menurunkan integritas fungsional dari pertumbuhan folikel kecil sehingga tidak dapat menjadi folikel dominan Parker et al. 2003. Pada saat proses seleksi dalam gelombang pertumbuhan folikel, folikel dominan memiliki kandungan estradiol yang tinggi dalam cairan folikel dan sel granulosa dari folikel dominan akan memproduksi estradiol yang jauh lebih tinggi daripada folikel subordinat secara in vitro. Setelah proses seleksi, maka folikel dominan memiliki level mRNA yang tinggi untuk reseptor gonadotrophin dan enzym steroidogenic Fortune et al. 2001. Inhib in memperlihatkan pengaruh terhadap sirkulasi FSH selama tahap awal fase luteal. Inhibin dan estradiol mengkontrol pengeluaran FSH selama gelombang folikular pertama. Sekresi FSH tidak dipengaruhi oleh progesteron melainkan oleh estradiol dan inhibin yang diproduksi oleh folikel selama periode siklus Souza et al. 1998. Tingkat Pematangan Inti Oosit Domba In Vitro Oosit yang digunakan untuk produksi embrio in vitro merupakan oosit dengan kualitas baik yang seragam, yaitu yang memiliki beberapa lapis sel kumulus dengan sitoplasma homogen. Sebanyak 75.51 oosit dari kelompok pasangan ovarium yang memiliki CL dan FD mencapai tahap M-II dan tidak berbeda nyata P0.05 dengan tingkat pematangan inti dari kelompok pasangan ovarium yang hanya memiliki CL tanpa FD dan pasangan ovarium tanpa CL dan FD. Sedangkan tingkat pematangan inti oosit dari kelompok pasangan ovarium yang memiliki FD tanpa CL sangat rendah 42.86 dan berbeda nyata dengan tingkat maturasi inti oosit dari kelompok pasangan ovarium yang memiliki CL dan FD Tabel 4.2. Hal tersebut menunjukkan bahwa kehadiran CL dan FD pada pasangan ovarium masih memberikan pengaruh terhadap tingkat kematangan oosit domba in vitro. Tabel 4.2. Tingkat kematangan inti oosit dari pasangan ovarium dengan status reproduksi berbeda Status reproduksi Jumlah Status inti CL FD oosit GVBD M I M II TI + + 49 4 8.16 b 7 14.29 a 37 75.51 a 1 2.04 a + - 44 2 4.55 b 12 27.27 a 29 65.91 ab 1 2.27 a - + 49 14 28.57 a 13 26.53 a 21 42.86 b 1 2.04 a - - 43 7 16.28 b 9 20.93 a 26 60.47 ab 1 2.33 a Ket. GVBD: Germinal Vesicle Break Down, MI: Metaphase I, MII: MetaphaseII, TI: Tidak Teridentifikasi. Huruf berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata P0.05. Secara umum tingkat pematangan inti oosit yang berasal dari pasangan ovarium yang memiliki FD tanpa CL menunjukkan kecenderungan penurunan P0.05. Hal tersebut menunjukkan bahwa inhibin memberikan pengaruh negatif terhadap proses pematangan inti secara in vitro. Hasil penelitian pada sapi menggunakan teknik ultrasonografi dengan perlakuan pemberian hormon FSH menunjukkan bahwa jumlah folikel, jumlah oosit yang teraspirasi, jumlah oosit yang hidup dan selanjutnya mengalami pembelahan dan membentuk blastosis secara in vitro , paling rendah pada hewan yang memiliki FD jika dibandingkan dengan hewan yang tidak memiliki FD. Disamping itu, pemberian FSH pada hewan yang memiliki FD tidak memberikan respon yang positif untuk perkembangan folikel subordinat Ooe et al.1997. Varishaga et al.1998 menyatakan bahwa jumlah oosit yang terkoleksi, tingkat pembelahan dan tingkat blastosis tertinggi diperoleh dari pasangan ovarium yang memiliki CL tanpa FD dan disusul oleh oosit yang berasal dari ovarium yang memiliki CL dan FD. Disisi lain, hasil penelitian Vassena et al. 2003 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata dalam perolehan tingkat blastosis sapi berdasarkan perbedaan status reproduksi ovarium yang ditandai dengan keberadaan CL dan FD, walaupun secara umum tingkat blastosis semakin meningkat pada ovarium yang memiliki CL. Diduga CL yang menghasilkan progesteron dapat berfungsi mengatasi efek negatif yang ditimbulkan oleh keberadaan inhibin yang dihasilkan oleh FD Varishaga et al. 1998. Parker et al. 2003 dan Evans et al. 2002 menyatakan bahwa inhibin A yang tinggi pada saat keberadaan folikel dominan akan menekan sekresi FSH dan pertumbuhan folikel lainnya pada sapi dan domba. Tingkat Fertilisasi Oosit In Vitro Tingkat fertilisasi yang diamati dengan menghitung jumlah oosit yang dapat membentuk dua atau lebih pronukleus tertinggi berasal dari kelompok pasangan ovarium yang memiliki CL dan FD 63.04, walaupun tidak terdapat perbedaan yang nyata dengan ketiga kelompok lainnya P0.05. Hal ini diduga akibat kualitas oosit yang digunakan adalah seragam yaitu oosit dengan kualitas baik yang terlebih dahulu mengalami pematangan in vitro dan pengaruh negatif dari inhibin akibat kehadiran FD sudah tidak memberikan kontribusi terhadap tingkat fertilisasi in vitro Tabel 4.3. Tabel 4.3 Tingkat fertilisasi oosit kualitas baik dari pasangan ovarium dengan status reproduksi berbeda Status reproduksi Status inti CL FD Jumlah oosit DK 1 PN 2 PN 2 PN TF + + 46 5 10.87 2 4.35 28 60.87 1 2.17 29 63.04 + - 42 8 19.05 5 11.90 25 59.52 1 2.38 26 61.90 - + 51 4 7.84 9 17.65 26 50.98 26 50.98 - - 47 4 8.51 7 14.89 24 51.06 24 51.06 Ket. DK: Dekondensasi, PN: Pronukleus, TI: Tidak Teridentifikasi, TF: Tingkat Fertilisasi. Keberhasilan fertilisasi oosit secara in vitro juga dipengaruhi oleh kehadiran sel-sel kumulus. Kejadian fertilisasi yang abnormal dilaporkan banyak terjadi pada oosit yang tidak memiliki sel kumulus Vanderhyden dan Armstrong 1989. Jika sel kumulus dibuang sebelum proses maturasi maka hanya 4-26 oosit saja yang akan mencapai tahap M-II dan menghasilkan tingkat fertilisasi serta perkembangan embrio yang sangat rendah. Beberapa kemungkinan yang menjelaskan pentingnya sel kumulus untuk proses fertilisasi adalah: 1 sel kumulus mampu memfasilitasi sel spermatozoa untuk melakukan penetrasi dan fertilisasi, 2 sel kumulus dapat menginduksi sel spermatozoa sapi melakukan kapasitasi dan reaksi akrosom dan 3 sel kumulus dapat memfasilitasi spermatozoa melakukan penetrasi dan fertilisasi dengan mencegah terjadinya pengerasan zona zona hardening Zhang et al. 1995. Kehadiran sel kumulus pada sistim kultur secara signifikan dapat meningkatkan perkembangan embrio mencapai tahap morula, bla stosis dan hatched blastocyst. Kultur Embrio Domba In Vitro Tidak terdapat perbedaan nyata dalam tingkat pembelahan dan perkembangan embrio antara keempat kelompok pasangan ovarium yang berbeda Tabel 4.4. Namun kecenderungan tingkat pembelahan sel yang lebih tinggi tetap berasal dari kelompok pasangan ovarium yang memiliki CL dan FD 48.65. Hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas oosit yang digunakan memegang peranan penting dalam optimalisasi produksi embrio in vitro. Oosit dengan kualitas seraga m yang baik dan layak yang digunakan, menghasilkan tingkat pembelahan embrio yang tidak berbeda nyata dari keempat kelompok pasangan ovarium dengan status reproduksi berbeda Tabel 4.4. Tabel 4.4 Tingkat perkembangan embrio in vitro dari pasangan ovarium dengan status reproduksi berbeda Status reproduksi Perkembangan embrio mencapai tahap CL FD Tingkat pembelahan sel 4 sel 8 sel Morula + + 183748.65 1018 55.56 618 33.33 318 16.67 + - 163941.03 716 43.75 316 18.75 116 6.25 - + 83522.86 58 62.50 48 50.00 18 12.5 - - 153839.47 615 40.00 21513.33 115 6.67 Boediono et al. 1999 melaporkan bahwa tingkat perkembangan embrio kambing mencapai 2 sel yang berasal dari ovarium dengan CL cenderung lebih tinggi 20 daripada yang berasal dari ovarium tanpa CL 12,23. Tingkat pembelahan sel dan persentase blastosis lebih tinggi pada oosit sapi yang dikoleksi pada hari ke 15 dan 16 siklus estrus dan menjadi sangat rendah ketika oosit dikoleksi pada hari ke 19 dan 20 estrus Machatkova et al. 1996, dimana terdapat folikel dominan yang menghasilkan estradiol dan inhibin. Varisanga et al. 1998 melaporkan bahwa jumlah oosit, tingkat pembelahan embrio dan persentase blastosis tertinggi diper oleh dari pasangan ovarium yang memiliki CL. Keberadaan CL pada pasangan ovarium mengindikasikan bahwa hewan sedang berada dalam status siklus reproduksi aktif dan CL dapat mengatasi efek negatif dari kehadiran folikel dominan, sehingga dapat meningkatkan jumlah dan kualitas oosit yang terkoleksi dari ovarium dengan CL. Pada embrio sapi, akuisisi kemampuan perkembangan terjadi pada tahap awal pembelahan sel Setiadi et al. 1995 karena transisi antara faktor maternal dan zigot dimulai pada tahap 4-8 sel sehingga embrio sangat sensitif terhadap kondisi kultur selama proses transkripsi dari faktor maternal kepada genom embryonic Matsui et al. 1995. Perkembangan embrio sapi in vitro juga dipengaruhi oleh faktor individu dan jumlah folikel yang terdapat pada ovarium Sumantri et al. 1998. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa status reproduksi ovarium yang didasarkan atas keberadaan corpus luteum dan folikel dominan dapat mempengaruhi jumlah oosit dengan kualitas baik yang terkoleksi dan tingkat pematangan inti oosit P0.05. Tingkat fertilisasi dan pembelahan embrio yang berasal dari oosit kualitas baik yang dimatangkan in vitro tidak dipengaruhi oleh status reproduksi dari pasangan ovarium yang digunakan. SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan disarankan untuk melakukan kajian lebih lanjut mengenai hubungan status reproduksi ovarium dengan level hormonal.

5. PEMBAHASAN UMUM