8 direkonstrusi guna memperoleh pemaknaan dan pemahaman yang lebih
kontekstual.
2. Konsep Dasar Konteks Jika naëwu mempelajari relasi antarkata dalam struktur kalimat dan
memberikan konteks internal kebahasaan as-siyàqul lugawì ad-dàkhilì, maka balàgah berupaya melampaui konteks internal kebahasaan itu dengan aspek eksternal, di
luar bahasa, atau sering disebut dengan muqtaýal ëàl atau siyàq al-mawqif konteks situasi dan kondisi di luar teks, seperti: kondisi penerima pesan, persistiwa sosial,
sistem sosial budaya, dan sebagainya. Konteks dalam bahasa Arab disebut siyàq, berasal dari s-w-q, yang
mengandung arti: keberturutan, keberlanjutan at-tawàli atau kehadiran al- tawàrud
. Dengan kata lain, konteks meniscayakan kehadiran unsur-unsur bahasa yang dilihat secara berlanjut dan menyeluruh. Menurut Tammàm, konteks dapat
dilihat dari dua aspek. Pertama, keberlanjutan unsur-unsur yang menjadikan struktur dan kohesi itu terjadi. Inilah yang disebut dengan konteks teks siyàqun
naêê . Kedua, keberlanjutan dan kehadiran peristiwa yang menyertai penggunaan
bahasa dan mempunyai relasi dengan komunikasi. Inilah yang disebut dengan konteks situasi sosial atau siyàqul mawqif. Kedua konteks tersebut mempunyai
relasi seperti relasi umum dan khusus, yang disebut dalàlatun naêê penunjukan atau makna teks atau qarìnatun naêê indikator teks.
19
Konteks teks atau konteks bahasa itu sendiri merupakan objek kajian naêwu al-naëwu mawýù
‟uhu as-siyàq.
20
Karena, menurut Tammâm, nahwu mengkaji relasi antarkata dalam struktur kalimat sebagai sebuah sistem. Karena itu, pemahaman
terhadap kehadiran unsur-unsur yang membentuk kata, kalimat, paragraf dan wacana sangat menentukan makna. Konteks hadir dalam spektrum bahasa yang
luas dan menyeluruh, meliputi konstruksi morfologis, semantik, dan kosakata,
19
Tammàm Èassàn, Maqàlàt fil-Lugah wal Adab, Jilid II, h. 65.
20
Tammàm Èassàn, al- Ushùl: Diràsah Epistimùlujiyyah lil Fikril Lugawí „indal „Arab: al-Naëw –
Fiqhul Lugah – al-Balàgah, Kairo: ‗Àlamul Kutub, 2000, Cet. II, h. 245.
9 leksikon, serta mencakup aneka makna bahasa: makna konvensional, makna
rasional, dan makna natural. Dengan kata lain, qarìnatus siyàq indikator konteks merupakan qarìnah paling menentukan makna gramatikal maupun makna
kontekstual teks itu sendiri.
21
Sebagai contoh, sabda Rasulullah berikut:
َلوسرَلاق َملسمَ اورَُءا اَنمَءا اَامإَملسوَ يلعَهاَىلصَها
Jika diartikan secara leterlek, maka hadis ini tidak dapat dipahami dengan baik: ―Air itu dari air‖.
22
Jika dilihat konteks sosial, hadis yang sangat singkat ekonomis ini berkaitan dengan peristiwa yang
dialami oleh seorang sahabat dari Baní Sàlim, pada saat Nabi dan Abu Sa‘íd al-
Khudrí pergi ke kampung Quba‘, maka pesan yang disampaikan Nabi intinya adalah bahwa mandi wajib janàbah disebabkan oleh air sperma. Jadi, al-
mà‟ yang pertama itu berarti guslul janàbah, sedangkan al-
mà‟ yang kedua adalah manìyyul yumna
air sperma yang keluar, baik disebabkan oleh mimpi atau hubungan suami istri.
Konteks mempunyai signifikansi yang strategis dalam menentukan makna teks yang dikehendaki. Karena itu, ulama bahasa Arab di masa lalu merumuskan
signifikansi teks dengan pernyataan: ‖
لاقمَماقمَلكل
‖ Setiap konteks mempunyai teks atau ungkapannya tersendiri. Hal ini mengandung arti bahwa pemahaman
terhadap konteks, baik konteks kebahasaan as-siyàqul lugawì maupun konteks non- kebahasaan as-siyàqu ghairul lugawì, seperti misalnya asbàbun nuzùl dalam
penafsiran suatu ayat, menjadi suatu kemestian. Tammàm misalnya memberikan
21
Tammàm Èassàn, al- Bayân fi Rawâ‟i Al-Qur‟an: Diràsah Lugawiyyah wa Uslùbiyyah lin Naêê Al-
Qur‟ànì, Kairo: ‗Àlamul Kutub, 2000, Jilid I, h. 173.
22
Konteks sosial dari hadis tersebut dapat dipahami dari kelengkapan hadis berikut:
ا ثدح ىيحي نب ىيحي
بويأ نب ىيحيو ةبيتقو
باو رجح ن
لاق ىيحي نب ىيحي
ا ثدح نورخآا لاقو انربخأ ليعمسإ
رفعج نبا و و نع
رمن يبأ نبا ي عي كيرش نع يردخلا ديعس يبأ نب نمحرلا دبع نع
يبأ ىلص ها لوسر عم تجرخ لاق
ذإ ىتح ءابق ىلإ ني ثاا موي ملسو يلع ها خرصف نابتع باب ىلع ملسو يلع ها ىلص ها لوسر فقو ملاس ي ب يف ا ك ا
نع لجعي لجرلا تيأرأ ها لوسر اي نابتع لاقف لجرلا ا لجعأ ملسو يلع ها ىلص ها لوسر لاقف رازإ رجي جرخف ب ءاملا نم ءاملا امنإ ملسو يلع ها ىلص ها لوسر لاق يلع اذام نمي ملو تأرما
َ َملسمَ اورُ
َ
Lebih lanjut lihat Imam Nawawi, Syarë an- Nawawi „ala Muslim, bàb innamal mà‘u minal mà‘i,
Kairo: Darul Khair, 1996.
10 contoh bagaimana makna leksikal
اِإ
tidak selamanya berarti ―kecuali‖ istišnà‟, misalnya dalam surat Íàhà20:2-3 berikut:
ََ ةَرِكْذَتََاِإَ ٕ
ََ ىَقْشَتِلَََناَءْرُقْلٱَََكْيَلَعَاَْلَزنَأ اَم
ٖ َ َ ىَشَََْنَمِل.
Dalam ayat ini, konteks keseluruhan dan keterpaduan unsur- unsur bahasa dalam ayat ini menghendaki makna isti
šnà‟ eksepsi tersebut ditransformasi menjadi makna istidràk
نكل
, tetapi karena frase pada ayat setelah
اإ
itu merupakan frase penetapian dari ayat sebelumnya
23
: ―Tidaklah Kami menurunkan Al-
Qur‘an kepadamu Muëammad agar kamu menderita, tetapi bukan kecuali agar menjadi peringatan bagi orang mau mendekatkan diri dengan
hati penuh takwa.‖ QS. Íàhà20: 2-3. Dengan kata lain, melalui konteks, kita dapat memahami adanya mutasi makna
naqlul ma‟na dari makna leksikal menjadi makna kontekstual yang lebih relevan dan tepat untuk dimengerti pesannya.
Konteks tidak dapat dipisahkan dari struktur bahasa. Struktur linguistik Al- Qur‘an pada umumnya mengandung multi-interpretasi. Namun demikian,
pemahaman terhadap konteks redaksi ayat memungkin kita menyingkap makna
yang lebih mendekati kebenaran. Dengan kata lain, pemahaman konteks membuat interpretasi ayat-ayat Al-
Qur‘an tidak terkungkung oleh makna leksikal ma‟na mu‟jamì suatu lafaî atau ungkapan. Pengalihan makna leksikal menjadi makna
kontekstual mutlak dipengaruhi oleh pemahaman pembaca teks A- Qur‘an. Mutasi
dan transformasi makna sedemikian penting atau signifikan, karena Al- Qur‘an
memang diturunkan dan ditransmisikan dengan makna dan lafaî sekaligus dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sedemikian signifikansinya konteks teks dan konteks sosial, Tammàm Èassàn misalnya memberi contoh pemaknaan ayat berikut dengan pemahaman
yang sangat logis dan menarik:
ََاَو َ
َنُتوََُ َ
َاِإ َ
مُتنَأَو َ
ََنوُمِلْسم َ
لآ َ
نارمع ٖ
َ: ٕٔٓ
َ
Jika diartikan secara leksikal, maka redaksi terjemahannya adalah: ―Dan janganlah kalian
mati kecuali dalam keadaan Muslim .‖ Secara sepintas, penerjemahan tersebut seolah
23
Tammàm Èassàn, Maqàlàt fil Lugah wal Adab, Jilid II, h. 66.
11 tidak ―bermasalah‖. Akan tetapi jika dipahami secara rasional, maka seharusnya:
―mati itu tidak perlu dilarang‖ semua manusia pada akhirnya pasti mati, tanpa harus dilarang. Karena itu, konteks
redaksi ayat tersebut bukan melarang ―mati‖, melainkan ―memerintahkan umat Muslim untuk berpegang teguh atau
berkomitmen kuat iltizàm wa istiqàmah kepada Islam hingga mati‖.
24
Jadi, makna kontekstual ayat yang hampir selalu dibaca khatib pada setiap Jum‘at tersebut
adalah: ―Kalian harus memiliki komitmen dan sikap istiqamah yang kuat dalam beriman dan berislam hingga meninggal dunia dengan husnul khàtimah
‖.
Oleh karena itu, konteks mempunyai banyak fungsi, antara lain adalah a
mengukuhkan kepastian suatu penunjukan makna yang masih mengandung kemungkinan, b menjelaskan yang bersifat global, rujukan prenomina dan bacaan
yang tepat suatu kata dalam struktur kalimat, dan c merevisi penafsiran yang kurang atau tidak tepat, dan d menolak praduga adanya ayat-ayat yang saling
bertentangan.
25
Dalam kajian linguistik modern, pemahaman terhadap konteks dilandasi oleh sebuah asumsi bahwa sistem bahasa itu, termasuk bahasa Al-
Qur‘an, saling berkaitan satu sama lain di antara unsur atau unit-unitnya, dan selalu mengalami
perubahan dan perkembangan. Karena itu, dalam menentukan makna, diperlukan adanya penentuan berbagai konteks yang melingkupinya. Teori yang dikembangkan
oleh Wittgenstein maupun K. Ammer ini menegaskan bahwa makna suatu kata dipengaruhi oleh empat konteks, yaitu: a konteks kebahasaan, b konteks
emosional, c konteks situasi dan kondisi, dan d konteks sosio-kultural.
26
Konteks kebahasaan terkait erat dengan konstruksi bahasa itu sendiri. Kata mempengaruhi makna kalimat. Akan tetapi, kalimat keseluruhan rangkaian kata
mempengaruhi makna kata tertentu dalam kalimat itu. Artinya, makna kontekstual diperoleh dan dipahami dari keseluruhan konstruksi kata yang membentuk
24
Tammàm Hassàn, al-Bayàn fi Rawà ‟i‟ Al-Qur‟an... h. 164.
25
Abdullah, Zaid ‘Umar, ‖al-Siyàq Al-Qur‘àni wa Ašaruhu fil Kasyfi ‘an al-Manà‘ni‖, diakses dari http:alukah.net., 20 April 2010.
26
Farì d ‗Iwaý Haidar, „Ilmud Dalàlah: Diràsah Naîariyyah wa Tathbîqiyyah, Kairo: Maktabatul
Adab, 2005, h. 158.
12 kalimat.
27
Kata
لللصفلا
dalam enam kalimat berikut maknanya pasti berbeda, meskipun akar katanya sama. Perhatikan dan pahami konteks enam kalimat
berikut:
ٔ -
َ َانأرق
سما اَلصفلا َ
.كيديَنبَةيبرعلاَباتكَنم
bab, bagian
ٕ -
َ َلمأَو َعيبرلاَنإ
لصف ََ
.ة سلاَلوصفَنم
musim
ٖ -
َ َيَنآاَا نإ
لوأاَلصفلا َ
يساردلاَماعلاَاذ َنم َ.
semester
ٗ -
َ َاند اش
ياثلاَلصفلا َ
.ةيحرس اَنم
babak, episode
٘ -
َ َملتسي
َلماععلا َرارق
لمعلاَنمَلصفلا .َ
pemutusan hubungan kerja, PHK
ٙ -َ
َُلنِإۥ َ
َ لْولَقَل َ
َ للْصَف َ
رالطلا ٛٙ
َ: ٖٔ
firman pemisah antara yang hak dan yang batil
َ
Konteks kebahasaan berkaitan dengan struktur kata dalam kalimat yang dapat menentukan makna yang berbeda, seperti taqdìm posisi didahulukan dan
ta‟khìr diakhirkan, seperti:
باللتكلاَةءارللقَقأَدللمأ
berbeda dengan:
دللمأَاللمَأَباللتكلاَةءارللق
. Konteks emosional dapat menentukan makna bentuk kata dan strukturnya dari
segi kuat dan lemahnya muatan emosional, seperti dua kata yang berarti membunuh, yaitu:
لللتقوَلاللتغا
; yang pertama digunakan dalam pengertian membunuh orang yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dan dengan motif
politis, sedangkan yang kedua berarti membunuh secara membabi buta dan ditujukan kepada orang yang tidak memiliki kedudukan sosial yang tinggi. Konteks
situasi adalah situasi eksternal yang membuat suatu kata berubah maknanya karena adanya perubahan situasi. Sedangkan konteks kultural adalah nilai-nilai sosial dan
kultural yang mengitari kata yang menjadikannya mempunyai makna yang berbeda dari makna leksikalnya. Makna yang demikian dapat dijumpai dalam peribahasa,
seperti:
البزلاَليلسلاَ للب
maknanya adalah Nasi telah menjadi bubur, bukan Air bah telah mencapai tempat yang tinggi.
Menurut J.R. Firth, teori konteks sejalan dengan teori relativisme dalam pendekatan semantik bandingan antarbahasa. Makna sebuah kata terikat oleh
lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu. Teori ini juga mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol tidak mempunyai makna jika ia
terlepas dari konteks. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa setiap kata
27
Muë ammad ‗Alì al-Khùlì, „Ilmud Dalàlah „Ilmul -Ma‟na, ‗Amman: Dàrul Falàë, 2001, h.
69.
13 mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi. Kata baru
mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Singkatnya, hubungan makna itu, bagi Firth, baru dapat ditentukan setelah masing-masing kata
berada dalam konteks pemakaian melalui beberapa tataran analisis, seperti leksikal, gramatikal, dan sosio-kultural.
28
Dengan demikian, teks dan konteks ayat, pada gilirannya, dapat mengantarkan kita kepada penelusuran ekonomi bahasa Al-
Qur‘an, sehingga dapat diketahui dimensi dan implikasi keekonomiannya. C.
Dimensi Ekonomi Bahasa Al-Qur’an 1.
Definisi Ekonomi Bahasa A-Qur’an
Penggunaan bahasa dapat diklasifikasikan menjadi dua: berbahasa ekonomis dan tidak ekonomis. Jika dibandingkan dengan bahasa lainnya, bahasa
Arab memiliki sejumlah karakteristik yang unik. Selain dinilai sebagai lughatul isytiqàq
bahasa yang kaya derivasi, turunan kata, bahasa Arab juga dinilai sebagai bahasa yang ekonomis.
29
Ungkapannya ringkas atau pendek, tetapi maknanya luas, mendalam, dan kontekstual. Jadi, ekonomi iqtiêàd merupakan salah satu ciri khas
bahasa Arab
30
, termasuk bahasa A- Qur‘an.
Menurut Fakhruddin Qabawah, ekonomi bahasa iqtiêàd lugawì adalah penyampaian sebesar mungkin pesan makna oleh pengguna bahasa dengan
sesedikit mungkin penggunaan pemikiran dan ungkapan.
31
Dengan kata lain, ekonomi bahasa berorientasi kepada efisiensi penggunaan kata-kata, ungkapan,
frase, dan kalimat, tetapi mengandung makna dan pesan yang luas dan mendalam.
28
Faríd ‗Iwaý Èaidar, „ilmud Dalàlah..., h. 157.
29
Bahasa Arab, antara lain, memiliki karakteristik yang elastis murùnah, menganut sistem derivasi dan analogi isytiqàq wa qiyàs yang komprehensif, dan memiliki perbendaharaan kata
šarawàt lugawiyyah wa mufradàt yang kaya dan adaptif mampu beradaptasi menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Mengenai karakteristik bahasa Arab sebagai bahasa Semit, lihat selengkapnya
ulasan Aëmad Muëammad Qaddùr, Madkhal ila Fiqhil Lugatil „Arabiyyah, Damaskus: Dàrul Fikr,
1999, h. 52-55.
30
Menurut Tammàm Èassàn, bahasa Arab mempunyai tiga karakteristik utama, yaitu: durjiyyaut tanîìm
gradasi sistematika, iqtiêàd ekonomi, dan muràwagatul labs peniadaan bias. Ekonomi bahasa Arab terlihat pada penggunaan kata, ungkapan, dan kalimat yang ringkas, singkat,
dan padat, tetapi mengandung makna yang luas dan mendalam. Lihat Tammàm Èassàn, Maqàlàt fil Lugah wal Adab, Jilid II,
h. 289 dan seterusnya.
31
Fakhruddìn Qabàwah, al-Iqtiêàdul Lugawì fi Ëiyagatil Mufrad, Giza: al-Syarikatul Miêriyyah al-
‗Àlamiyyah, 2001, h. 31
14 Ekonomi bahasa juga mengandung pengertian efisiensi pemikiran dalam
berbahasa, karena aktivitas berbahasa pasti didahului dengan berpikir. Bahasa Al-
Qur‘an merupakan bahasa yang paling ekonomis: singkat, padat dan tepat, baik dari segi diksi, intensi, dan ekspresinya. Tujuan ekonomi bahasa Al-
Qur‘an adalah pertama, takhfìf peringanan dan pemudahan, baik pada level fonetik pelafalan, pengucapan maupun pada level morfologis konstruksi kata
menjadi lebih ringan, tidak berat dalam pengucapan maupun penulisannya. Selain itu, ekonomi bahasa Al-
Qur‘an juga dimaksudkan untuk memberikan rukhêah dispensasi. Hal ini sesuai dengan semangat ayat berikut:
َْدَقَلَو َ
اَنْرسَي َ
ََناَءْرُقْلٱ َ
َِرْكِذلِل َ
َْلَمَلف َ
نِم َ
َ رِكدم َ
رمقلا ٘ٗ
َ: ٔٚ
َ
Artinya: ―Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Quran untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?
‖ QS. Al-Qamar54: 17 Kedua,
kontekstualisasi substansi makna dan mabna konstruksi bahasa, baik pada tataran diksi maupun tataran ekspresi, termasuk gaya bahasa. Sebagai
contoh, pesan yang berisi perintah tidak selalu dan selamanya menggunakan verba imperatif
fi‟lul amr atau verba muýàri‟ present and future tense yang didahului dengan lamul -amr. Dalam konteks ini Al-
Qur‘an menampilkan maêdar infinitive sebagai pengganti amr, seperti dalam ayat berikut:
َْذِإَو َ
اَنْذَخَأ َ
ََق َثيِم َ
َِنَب ٓ
َ َ َرْسِإ
ٓ ََليِء
َ ََا
َ ََنوُدُبْعَلت
َ َاِإ
َ ََللٱ
َ َِنْيَدِل َوْلٱِبَو
َ ةرقبلاَُ ....ا ناَسْحِإ
ٕ َ :
ٖٛ َ
Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari Bani Isràìl, Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan
berbuat- baiklah kepada kedua orang tua… QS. al-Baqarah2: 83
Ketiga, peniadaan prenomina ýamìr yang dapat dipahami dari konteks
kalimat, tanpa harus disebutkan, sehingga irama redaksi ayat menjadi lebih indah dan menarik. Sebagai contoh, dapat dikemukakan beberapa ayat yang ýamìrnya
ditiadakan:
ٔ -
َْوَلَو َ
َنَأ َ
ََلَْأ َ
َ ىَرُقْلٱ ٓ
َ اوَُماَء
ٓ َ
اْوَقلتٱَو ٓ
َ اَْحَتَفَل
َ مِمْيَلَع
َ َ ت َكَرَلب
َ ََنِم
َ اَمسلٱ
ٓ َِءَ
َِضْرَْأٱَو َ
نِك َلَو َ
اوُبذَك ٓ
َ مُ ََْذَخَأَف
َ اََِِ
اوُناَك ٓ
َ ََنوُبِسْكَي
َ :فارعأا
َ ٜٙ
ٕ -
اوُكَحْضَيْلَلف ٓ
َ َ ايِلَق
َ اوُكْبَيْلَو
ٓ َ
ا رِثَك َ
اَزَج ٓ
َ ء ٓ
َ اََِِ
اوُناَك ٓ
َ ََنوُبِسْكَي
َ :ةبوتلا
َ ٕٛ
ٖ -
ََرَمَظ َ
َُداَسَفْلٱ َ
َِف َ
َِرَلبْلٱ َ
َِرْحَبْلٱَو َ
اَِِ َ
َْتَبَسَك َ
ىِدْيَأ َ
َِسا لٱ َ
مُمَقيِذُيِل َ
ََضْعَلب ََلٱ
ىِذ َ
اوُلِمَع ٓ
َ َْمُملَعَل
َ ََنوُعِجْرَلي
َ :مورلا
َ ٗٔ
15 Dalam tiga ayat tersebut terdapat ism mawêùl, yaitu mà dan al-la
ži. Biasanya setelah ism mawêùl terdapat êilah mawêùl yang dibarengi dengan ýamìr yang merujuk
kepada mawêùl -nya sebelumnya. Pada ayat pertama dan kedua, setelah bimà terdapat
fi‟il verba yang biasanya disertai ýamìr prenomina, sehingga redaksi yang biasanya digunakan orang Arab adalah bimà kànù yaksibùnahu. Demikian pula pada
ayat ketiga, setelah al-la ži, orang Arab biasanya meenghubungkan shilah mawshùl-nya
itu dengan ýamìr, sehingga redaksinya menjadi al-la ži „amilùhu. Namun demikian,
peniadaan ýamìr tersebut, membuat lebih ringan akhaffu diucapkan, tidak membuat makna menjadi kabur, dan tetap kontekstual.
Keempat, ekonomi bahasa Al-
Qur‘an juga didesain untuk penyesuaian ritme al-
íqà‟, rhytme redaksi dalam serangkaian ayat yang puitis dan menyentuh kalbu. Misalnya ayat berikut:
َ ايِزَت َ
َْنِِ َ
ََقَلَخ َ
ََضْرَْأٱ َ
َِت َو َمسلٱَو َ
ىَلُعْلٱ َ
ط ٕٓ
:َ ٗ
.
Secara gramatikal, sifat al-
„ulà asalnya adalah al-„ulyà, bentuk muannaš dari al-a‟là yang sangat tinggi, namun untuk menyesuaikan dengan ritme dan irama musikalitas
ayat, maka huruf yà‟ didelasi, sehingga menjadi al-„ulà. Ritme ayat yang dipadu
dengan naîm versivication atau keteraturan dan keindahan struktur dan gaya bahasa, menjadikan delasi
yà‟tersebut lebih mengena dan mempesona. Dalam aspek inilah terkandung salah satu bentuk kemukjizatan al-
Qur‘an dari segi bahasanya.
32
Dalam konteks ini, musikalitas ayat-ayat Al- Qur‘an termasuk sangat unik dan
tiada duanya di masa turunnya. Orang Arab mengakui dan mengagumi orisinalitas ritme dan keindahan lantunan ayat-ayat Al-
Qur‘an. Ketika dibacakan, menurut Muêíafà Ëàdiq ar-
Ràfi‘í, lagu dan ritme ayat itu serasa tidak dibacakan, melainkan mengalir bagaikan lantunan lagu yang merasuk dalam kalbu. Karena itu,
kemukjizatan bahasa Al- Qur‘an al-i‟jàzul lugawí al-bayànì tidak hanya terletak pada
akurasi diqqah pemilihan kata diksi, keserasian ungkapan dan kalimat, melainkan pada kesempurnaan bahasa al-kamàlul lugawì, pengulangan at-takràr,
keelokan gaya bahasa, dan musikalitasnya yang berkualitas, merdu, dan puitis.
33
2. Aneka Dimensi Ekonomi Bahasa Al-Qur’an