Perspektif al qur'an tentang keputusasaan : telaah tafsir tematik tentang ayat ayat yang menggambarkan berputus asa dan pencegahan dalam al qur'an

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)

Disusun oleh :

Muhammad Ramdhani M NIM : 104034001175

JURUSAN TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

iii

PEDOMAN TRANSLITE

RASI

a. Padanan Aksara Huruf

Arab

Huruf

Latin Keterangan

ا tidak dilambangkan

B be

T te

ث Ts te dan es

ج J je

ح H ha dengan garis di bawah

خ Kh ka dan ha

D de

ذ Dz de dan zet

ر R er

Z zet

س S es

Sy es dan ye

S es dengan garis di bawah

ض D de dengan garis di bawah

ط T te dengan garis di bawah

ظ Z zet dengan garis di bawah

ع „ koma terbalik diatas hadap kanan

غ Gh ge dan ha

ف F ef

ق Q ki

K ka

ل L el

م M em

N en

و W we

ـه H ha

ء ` apostrof

ي Y ye

b. Vokal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A fathah

I kasra

U dammah


(5)

iv

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ــ â a dengan topi di atas

يــــــ î i dengan topi di atas

وـــــــ û u dengan topi di atas

d. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf )لا(, dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh يسم لا = al-syamsiyyah, يرم لا = al-qamariyyah.

e. Tasydîd

Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti huruf-huruf samsiyyah.

f. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut diikuti kata sifat (na‘t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.

g. Huruf Kapital

Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya . Contoh ر بلا = al-Bukhâri.


(6)

vi

4,01 cmKATA PENGANTAR

ميحرلا نمحرلا ها مسب

Alhamdulillah syukur kepada-Nya atas nikmat yang diberikan, shalawat dan salam selalu terhaturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.

Atas karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Ushuludin & Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memotivasi penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini. Khususnya penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.beserta para pembantu Dekan.

2. Bapak Drs. Bustamin, M. Si selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis dan Bapak Muslimselaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.

3. Bapak Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA selaku pembimbing penulisan skripsi. Terima kasih atas bimbingan serta waktu luangnya yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

4. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Syarif Hidayatullah, pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vii

Munawwarah. Semoga kita bisa bersama-sama sukses mulia.

6. Reza Fajrin, Muhammad Baehaqi Darussalam dan Bahtar Atam yang terus menyemangati saya dalam menyelesaikan Skripsi ini serta membantu dalam bentuk moril yang tiada batasnya.

7. Keluarga Besar Teater el-Na'ma yang selalu menghadirkan energi cinta yang luar biasa dalam setiap proses berkesenian dan memaknai kehidupan dalam diri penulis .

8. Seluruh sahabat saya yang menghadirkan segala rasa kalian hadir dengan segala macam informasi dan cinta yang saya rindukan.

Semoga amal baik mereka mendapat balasan yang melimpah dari Allah SWT , selalu ditunjukkan hidayah-Nya dan senantiasa berada dalam lindungan-Nya.

Akhirnya, kritik dan saran selalu penulis harapkan demi kesempurnaan

skripsi ini.

Jakarta, 14 September 2011


(8)

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN..……….i

PEDOMAN TRANSLITERASI……….iii

KATA PENGANTAR……….vi

DAFTAR ISI………viii

BAB I PENDAHULUAN ……….……….1

A. Latar belakang Masalah ………..1

B. Tinjauan Pustaka ...………8

C. Pembahasan dan perumusan masalah ………..10

D. Tujuan Penelitian ………..12

E. Metodologi penelitian ………..12

F. Sistematika Penulisan ………..13

BAB II KERANGKA TEORITIS ………..15

A. Definisi dan Makna Keputusasaan ………..15

1. Terminologi Umum ………..15

2. Terminologi al-Quran ………..16

B. Keputusasaan dalam Perspektif ………..19

1. Perspektif Psikologi ………..19


(9)

ix

1. Ya’isa ………32

2. Qanatha ………41

3. Ablasa ………45

B. Penyebab-penyebab keputusasaan ………49

1. Hilangnya Rahmat Allah ………49

2. Kekufuran ………51

3. Ditimpa malapetaka dan musibah ………52

4. Buruk sangka kepada Allah ………....53

C. Solusi al-Quran dalam menghadapi keputusasaan ………55

1. Sabar ………55

2. Syukur ………59

BAB IV PENUTUP ……….67

A. Kesimpulan ……….67

B. Saran-saran ……….69

DAFTAR PUSTAKA ……….70 LAMPIRAN


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk yang sempurna di antara ciptaan Allah SWT1. Kesempurnaan penciptaan pada manusia ini tidak dalam term fisikal, melainkan secara mental-psikologis, moralitas dan akal potensi penciptaan. Potensi penciptaan secara mendasar termanifestasikan dalam dua unsur yaitu potensi kebaikan dan keburukan. Untuk dapat berhasil mengarungi kehidupan dan melerai dinamika di dalamnya, manusia harus mampu mengejawantahkan potensi yang dimilikinya dalam term kesempurnaan ilahiah yaitu penghambaan secara utuh baik ketika suka maupun duka.

Eksistensi manusia sebagai makhluk sempurna menjadikan mereka sebagai khalifah di muka bumi, Sebagaimana Allah telah berfirman :

1

Q.S al-Tin (95):4














(11)

























































Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."2

Karena itu manusia dituntut untuk mampu mengendalikan dirinya, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap masyarakat sebagai aspek yang mengiringi keberadaannya.

Dewasa ini, dinamika kehidupan manusia terus meningkat dan semakin kompleks. Perkembangan zaman yang seyogyanya mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat dunia yang berarti juga terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan bagi mereka ternyata belum mampu mewujudkan kebahagiaan hakiki. Namun nyatanya masih saja ada manusia yang mengambil tindakan melanggar ketentuan ilahi sebagai akumulasi dari ketidakbahagiaan.

Dapat dikatakan bahwa korelasi yang terjadi di dunia mengambil bentuk hubungan kausalitas tetapi tidak semua hubungan tersebut bersumber dari luar diri manusia. Sebagai bentuk hubungan kausalitas yang bersumber dari dalam diri manusia ialah gejala atau bentuk tindakan seseorang yang mengalami

2


(12)

3

keputusasaan, di antaranya tindakan bunuh diri karena kemiskinan, kehilangan harta benda, merampok karena gagal mendapatkan pekerjaan, gantung diri karena turun pangkat, atau memotong urat nadi karena gagal dalam meraih cita-cita. di sisi lain, juga terekam adanya orang kaya bunuh diri, istri pengusaha terjun dari gedung tinggi, dan lain sebagainya. Kedua fakta tersebut memperlihatkan dua model manusia terhadap hubungan dirinya dan kehidupan. Jika yang pertama terjadi sebagai akibat akumulasi dari kesusahan yang dirasakan. Maka yang kedua terjadi karena ketidakmampuan memaknai hakekat kecukupan dan kehidupannya.

Jadi, secara garis besar dapat penulis ungkapkan bahwasanya faktor ekonomi, beratnya tekanan hidup serta melencengnya harapan seseorang terhadap sesuatu yang diinginkanya, maka akan berpotensi untuk menimbulkan rasa keputusasaan. Karena pada dasarnya, putus asa adalah salah satu potensi negatif baik itu dalam bentuk sedih, marah, malu, bahagia, bangga, dan sebagainya.





















Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan. (Q.S. Fushilat :49)

Meskipun demikian putus asa tidak dianjurkan oleh al-Quran sebagaimana yang tertera dalam firmannya :


































(13)

Hai anak-anakku, pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".3

Sebagai manusia yang mempunyai tujuan hidup tentu akan sangat merugi apabila kebahagiaan yang bersifat sementara, seolah-olah menjadi tujuan akhir dari kehidupan dengan melupakan kebahagiaan yang hakiki di kehidupan selanjutnya. Al-Quran mensinyalir tentang hal tersebut seperti terdapat pada surat Ali „Imrân 1524.

Pada hakikatnya manusia harus bisa menempatkan alam dunia sebagai pijakan untuk kemudian melangkah pada alam yang sebenarnya yaitu akhirat yang abadi. Tentunya dengan tidak melupakan kebahagiaan dunia. Agama dibutuhkan untuk membawa manusia pada kebahagiaan yang hakiki.

Al-Quran hadir sebagai petunjuk bagi seluruh manusia dari persoalan individu sampai masalah internasional dalam pelbagai aspek kehidupan5. Al-Quran juga hadir untuk membimbing manusia agar bisa mengembangkan potensi positifnya

3

Pada surat Yûsuf ayat 87, Allah SWT mengingatkan pesan Nabi Ya‟kub kepada anak-anaknya tatkala hendak berangkat ke Mesir untuk mencari Yusuf, ''Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. Jalaluddin al-Mahalli,Jalaluddin al-Suyuti, terj. Bahrun Abu Bakar, Tafsir Jalalain (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004). vol. 1, hal. 925

. ...                                 

…. di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang

menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka[239] untuk menguji kamu, dan Sesunguhnya Allah Telah mema'afkan kamu. dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang orang yang beriman.

5


(14)

5

dan mengeliminasi potensi negatif yang ada dalam dirinya. Al-Quran juga telah memberikan tuntunan kepada manusia untuk dapat menjadi makhluk sempurna yaitu makhluk yang menggunakan akal dan pikiranya serta bersikap senantiasa dilandasi oleh hati, perasaaan dan kesanggupan secara jasmani. Karena secara esensial, manusia tidak akan mendapatkan cobaan atau tempaan hidup melebihi batas kemampuannya.

Masalahnya adalah bahwa cara manusia berpikir dan bersikap tidak mampu menerjemahkan kehendak (pikiran) Tuhan secara utuh dalam limpahan dan anugrah-Nya. Allah Swt berfirman dalam Ali-Imran ayat 156 berikut:





















































Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada Saudara-saudara mereka apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: "Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh." akibat (dari perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan.

Berbagai disiplin ilmu yang muncul dan berkembang seolah menjadi rujukan manusia modern untuk memecahkan masalah mereka sekaligus mengambil solusi darinya, diantaranya adalah ilmu psikologi dan filsafat kehidupan bahkan pada karya-karya dalam bidang sastra dijadikan referensi pokok untuk menghadapi realitas kekinian. Meskipun demikian, keputusasaan dalam menghadapi masalah


(15)

masih saja ditemukan, bahkan di negara maju sekalipun. Di lain pihak, mereka yang memakai al-Quran sebagai falsafah kehidupan seolah tidak menemukan jawaban atas persoalan yang mereka hadapi. Lalu bagaimana seharusnya al-Quran berlaku? Padahal janji Allah adalah menghilangkan rasa duka cita pada manusia apabila ia menerima al-Quran dengan keyakinan dan mengamalkannya.

Sebelum menjawab pertanyaan di atas perlu kiranya disadari bahwa fenomena yang terjadi pada kehidupan ummat manusia, kebanyakan dari mereka hanya memfungsikan al-Quran sebatas hiasan rumah yang disusun rapih dalam sebuah rak buku ataupun sebagai hiasan dinding, naifnya lagi mereka hanya sekedar untuk membacanya saja namun tidak banyak yang berusaha untuk mengaplikasikan serta mengamalkan mushaf tersebut. Pada akhirnya, wajar jika Allah belum mengabulkan atau memberikan janjinya terhadap manusia tersebut, karena sesungguhnya Allah akan memberikan janjinya ketika mereka mau mengaplikasikan serta mengamalkannya, tentunya dengan harapan mencari keridhaan serta pertolonganya.

Dengan kata lain, al-Quran akan terasa bermakna dan berguna sebagai petunjuk hidup ummat manusia di muka bumi ini, jikalau al-Quran difungsikan serta dimanifestasikan sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada mereka (manusia) yaitu mengimani, membaca (menafsirkan) serta mengaplikasikanya. Selanjutnya, kompleksitas zaman merupakan sebuah tantangan yang perlu dihadapi. Al-Quran memiliki peran penting untuk menjawab tantangan tersebut, karena ayat-ayat yang tertera di dalamnya merupakan kata kunci dalam menjawab permasalahan yang berkemabang dalam kehidupan


(16)

7

manusia hingga akhir zaman nanti. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sampai kapanpun penafsiran ayat-ayat al-Quran merupakan proses yang tidak mengenal titik henti.6

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa umat Islam sebagai makhluk yang mengimani al-Quran dituntut untuk dapat mengkolaborasikan antara al-Quran sebagai teks (nash) yang terbatas, dengan perkembangan problem dan perubahan sosial yang dihadapi manusia sebagai konteks yang tak terbatas7, dengan tujuan untuk mendapatkan benang merah di antara keduanya. Muhammad Syahrur mengatakan bahwa, al-Quran harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan zaman yang dihadapi umat manusia.

Berangkat dari itu, bahwa al-Quran diturunkan ke dunia ini memiliki beranekaragam tujuan yaitu diantaranya menjadi petunjuk (Hudâ)8, penerang hidup manusia (Bayân)”,9 pembeda antara yang benar dan salah (Furqan)”,10 dan juga sebagai penyembuh penyakit hati (Syifâ al-Qalb),”11 serta menjadi petuah atau nasehat bahkan menjadi peringatan bagi umat manusia.

Setiap manusia ingin mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan, akan tetapi

penderitaan selalu datang. “Putus asa” sebagai penyakit jiwa selalu menjadi masalah serius dalam kehidupan umat manusia. karena itulah al-Quran sebagai penyembuh penyakit jiwa di sini dapat menemukan perannya tersebut bila

6

Abdul mustaqim, dkk, Studi al-Quran Kontemporer: wacana baru berbagi metodologi

Tafsir (id.), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hal,.xii 7

Abdul Mustaqim, dkk, Studi al-Quran, hal. ix

8

Achmad Gholib, Studi Islam: Pengantar Memahami Agama, Al-Qur‟an, Al-hadits dan

sejarah Peradaban Islam (jakarta:penerbit Faza Media, 2006), hal.43

9

Q.S. al-An’âm (06):157

10

Q.S. al-Furqân (25):1

11


(17)

disinergikan dengan realitas kontemporer sebagai upaya menuntun kembali manusia hingga sampai ke jalan Allah.

 





   

 

 



Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,Masuklah ke dalam syurga-Ku.

Berdasarkan latar belakang masalah dan pemikiran di atas penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisa bentu-bentuk keputus asaan dalam al-Quran serta kiat menghadapi agar tidak disudutkan kenyataan dan menemukan cahaya Allah dengan mengabil solusi dari al-Quran, untuk itu penulis mengambil judul

PERSPEKTIF AL-QURAN TENTANG KEPUTUSASAAN: “Telaah Tafsir Tematik tentang ayat-ayat yang menggambarkan “berputus asa” dan Pencegahannya dalam al-Quran”

B. Tinjauan Pustaka

Dari berbagai macam literature yang penulis kumpulkan, baik berupa artikel, makalah, skripsi ataupun buku yang membahas tentang keputus-asaan dengan berbagai perspektif yang berbeda. Namun, diantaranya terdapat beberapa buku yang hanya membahasnya secara singkat dan masih jauh dari substansinya. Pasalnya, putus asa merupkan salah satu bagian dari dilema kehidupan, biasanya dalam pembahasannya disandingkan dengan tema lain, seperti kesedihan, kebahagiaan. Diantaranya, seperti yang terdapat dalam karya Aid al-Qarni yang berjudul “Lâ Tahzan”, dengan mengungkap bentuk-bentuk kesedihan beserta


(18)

9

penyikapannya. Beliau memakai kaca mata budaya dan sosial Timur Tengah yang dibenturkan pada permasalahan modernisme di Timur Tengah dan dunia pada umumnya yaitu dengan memunculkan ayat-ayat al-Quran dan hadits.

Masih dalam karyanya yang lain yaitu dengan judul “Jangan Putus Asa; Pintu Tobat Selalu Terbuka”, beliau mencoba mengarahkan agar setiap manusia jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah, karena rahmat Allah begitu luas dan selalu ada ampunan bagi meraka yang benar-benar mau bertobat. Di samping itu, buku ini juga menawarkan solusi mengenai kiat-kiat agar tidak mudah berputus asa sesuai dengan al-Quran beserta haditsnya.

Selain Aid al-Qarni, terdapat juga karya lainnya, yaitu dengan judul buku

“hakikat kebahagiaan dan kesengsaraan dalam pandangan al-Quran dan hadits”. Buku yang diterjemahkan oleh M. Aiman As-Sabrany ke dalam bahasa Indonesia tersebut juga menawarkan tips (kiat-kiat) memperoleh bahagia dan menghindari kesengsaraan menurut al-Quran dan hadits. Buku lainya, karya David Starr Jordan yang berjudul The Philosophie of Despair mendeskripsikan putus asa dalam kaca mata filusuf. Namun, buku ini lebih banyak mendeskripsikan keputus asaan yang dituangkan ke dalam bentuk syair.

Dalam skripsi yang berjudul “Musibah Menurut al-Quran; Telaah Terhadap Surat al-Baqarah 155-157” yang ditulis oleh saudari Layli, mahasiswi dari fakultas Ushuluddin, jurusan Tafsir Hadits periode 2003; membahas tentang musibah dan solusi menghadapinya yaitu dengan cara sabar dan shalat, namun ia tidak membahas keputusasaan sebagai efek kronik dari musibah yang dialami. Maka dari sejumlah karya tulis yang penulis temukan belum ada pembahasan


(19)

tentang tema putus asa dengan solusi al-Quran secara komprehensif. Yaitu membiarkan al-Quran berbicara tentang keputusasaan dengan jalan keluarnya, dimana ayat yang satu menerangkan ayat yang lain.

Penulis akui, tema ini bukan kajian baru dalam dunia keislaman. Akan tetapi, poin penting yang menjadi kelebihan skripsi penulis dengan penulis lain adalah adanya pembahasan secara komprehensif dari disiplin ilmu lain, yaitu psikologi dengan keilmuan tersebut penulis mengambil teori-teori maupun paradigma kemanusiaan untuk menganalisa gejala-gejala psikis manusia dalam kaitannya dengan keputusasaan. Selanjutnya filsafat, penulis juga mengambil dan meminjam metode serta kerangka berfikirnya yang radic (mendalam). Tujuannya agar dapat menganalisa serta menyentuh esensi masalah dalam menghasilkan sebuah solusi selain memperkaya khazanah penulis tentang tema „keputusasaan‟ tersebut.

Selain itu, adanya solusi yang ditawarkan sesuai dengan ajaran agama Islam dalam al-Qur‟an juga menjadi daya tarik tersendiri dari skripsi yang penulis susun dibandingkan dengan tulisan-tulisan lain yang sejenis. Dengan adanya pembahasan yang koheren dalam ilmu psikologi dan filsafat serta pengajuan solusi bagi orang yang putus asa dalam al-Qur‟an membuat tulisan penulis menjadi sebuah karya yang berbeda dan lebih baik secara kualitas isi.


(20)

11

Penelitian ini mengungkap persoalan bentuk keputusasaan dan kiat menanggulanginya menurut petunjuk al-Quran. Dengan demikian pembahasan ini diupayakan merujuk pada ayat-ayat yang penulis anggap paling tepat menggambarkan keputusasaan dan kontekstualisasi realitas sosial, sekaligus mencari solusi dari ayat-ayat yang berhubungan. Untuk sampai pada tema tersebut ada sejumlah kata kunci yang dapat digunakan sebagai bahan penelusuran, diantaranya: kata (al-ya`su) yang artinya putus asa, (al-Qanath) yang artinya putus asa-putus harapan, (Ablasa) putus asa-terdiam, berputus asa.

Ketiga kata tersebut akan penulis akomodir dan dijadikan sebagai kesatuan bahasan. Setelah dilakukan penelusuran terhadap ketiga kata tersebut dengan menggunakan indeks al-Quran, susunan Sukmadjaya Asyarie dan Rosy Yusuf

diperoleh data bahwa kata „ya`isa‟ disebut sebanyak sepuluh kali, „qanatha‟ sebanyak lima kali dan „ablasa‟ sebanyak lima kali juga. Dengan demikian pembahasan tentang gambaran putus asa dan solusi yang ditawarkan al-Quran dalam mencegahnya, sepenuhnya akan merujuk pada ketiga kata tersebut beserta derivasinya dalam al-Quran.

Dari pemaparan di atas, maka penulis merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut : Bagaimana al-Quran menggambarkan berputus asa (ya`isa,

qanata dan ablasa) sebagai sebuah fenomena kemanusiaan? Apa Solusi yang


(21)

D. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini secara Formal untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) pada jurusan Tafsir hadits. Adapun tujuan non formalnya adalah ingin memberikan sumbangsih pada khazanah tafsir al-Qur‟an. Selain itu penulis ingin memberikan wawasan tentang tema kputus-asaan, bentuk-bentuk, penyebab-penyebab dan bagaiman solusi al-Quran serta cara mencegah keputus-asaan yang ditimbullkan dari musibah yang sering terjadi.

E. Metodologi penelitian

1. Jenis Penelitian

Skripsi ini menggunakan metode penilitian kualitatif dengan mencoba menganalisis hal-hal yang berkaitan dengan putus asa dalam al-Qur‟an melalui penelusuran literatur untuk kemudian diolah sebagai alat penguji hipotesa awal penulis.

2. Sumber Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan penulis dibagi ke dalam 2 bagian:

A. Data Primer

al-Quran itu sendiri

B. Data Sekunder:

Jurnal dan literatur lain terkait dengan permasalahan yang dibahas seperti kitab-kitab dan tafsir-tafsir dan lain sebagainya.


(22)

13

3. Teknik Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan penulis akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan pendekatan tematik untuk menganalisis permasalahan yang dibahas.

Mengenai teknik penulisan, peneliti berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi” terbitan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008-2009.

F. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi lebih sistematis, penulis membagi pembahasan dalam skripsi ini mejadi beberapa bab, sebagai berikut:

Bab I : PENDAHULUAN. Berisikan latar belakang masalah, tinjauan pustaka, pembahasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : KERANGKA TEORITIS. Menggambarkan tentang definisi dan makna keputusasaan dalam terminologi umum dan perspektif

al-Qur‟an. Kemudian membahas keputusasaan dalam perspektif psikologi dan filsafat.

Bab III : INDENTIFIKASI AYAT-AYAT KEPUTUSASAAN


(23)

menunjukan arti putus asa, penyebab-penyebab keputus asaan dan solusi

al-Qur‟an dalam menghadapi keputusasaan.

Bab IV : PENUTUP. Adalah kesimpulan dan saran dari penulis atas tema yang diangkat.


(24)

15

BAB II

KERANGKA TEORITIS

A. Definisi dan Makna Keputusasaan 1. Terminologi Umum

Membahas kata putus asa, berarti mengupas secara mendalam makna yang terkandung dalam kata tersebut, hal ini ditunjukan dengan maksud agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam mengartikan putus asa yang sesungguhnya.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, putus asa diartikan secara terpisah. Putus adalah tidak berhubung atau juga bisa disebut hilang; tidak ada lagi; tidak mempunyai lagi (harapan atau pikiran)1 sedangkan asa adalah harapan2, jadi putus asa merupakan hilangnya sebuah harapan.

Sedangkan Secara umum putus asa bisa juga diartikan sebagai suatu sikap emosi yang berupa perasaan tidak sanggup dan tidak ada harapan sama sekali, sehingga mengakibatkan pengurangan aktivitas fisik maupun mental3.

Sedangkan, menurut paradigma psikologis, putus asa disebut sebagai suatu kondisi kejiwaan yang sangat tidak menyenangkan berkenaan dengan hilangnya harapan akan berhasilnya usaha seseorang untuk mencapai tujuan atau memuaskan keinginan yang telah dicanangkan sebelumnya4.

1

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007), hal .914 2

Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal.68 3

Sudarsono, Kamus Filsafat dan Psikologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal.55

4


(25)

Penulis juga mengutip pengertian lain mengenai putus asa, yaitu timbulnya kelesuan, penurunan atau kemerosotan dan keadaan tertekan secara mental dan emosi5.

2. Terminologi al-Qur’an

Pada dasarnya, manusia memiliki sifat mudah putus asa. Hal ini terungkap dalam al-Qur‟an. Kehidupan manusia memang selalu menghadapi cobaan dan masalah, oleh karenanya manusia cenderung mudah mengalami sikap putus asa.

Putus asa dideskripsikan dalam al-Quran dengan 3 kata, yaitu

(

Ya'isu

),

(

Qanatha

),

(

Ablasa

)

masing-masing memiliki makna

tersendiri. Sebelum beranjak dalam pembahasan, perlu kiranya penulis mendeskripsikan makna kata-kata tersebut dengan memberikan pemisahan terhadap ketiga kata yang memaknai makna putus asa yang tertulis dalam al-Quran.

Hal tersebut bertujuan agar mampu memahami dan mendalami mengapa al-quran memberikan tiga kata kunci tersebut. Mengenai kata yang pertama yaitu kata yang merupakan bentuk isim fi’il dengan kata dasar

dan mashdarnya . Dalam terjemahannya ke bahasa Indonesia, kata

tersebut bermakna terputusnya harapan darinya6. makna kata dan

5

M D J al-Barry, Kamus Ilmiah Kontemporer, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal.59

6Louis Ma‟luf al


(26)

17

adalah lawan dari raja' (harapan) atau bisa dikatakan juga berputus asa dari sesuatu.

Abi Basyar Amr bin Utsman bin Kanbar seorang ahli nahwu dan sastra, menyatakan bahwa kata (ya`isa) memiliki dua karakter dalam bahasa Arab. Pertama (ya'isa-yay'asu) dan kedua ( ya'isa-yay'asu) Dari kedua kata tersebut tersusun menjadi satu kesatuan kata, yaitu

. Sebagai contoh dalam kalimat (

seseorang beputus asa dari sesuatu maka ia berputus asa dari hal tersebut). 7 Sedangkan secara istilah adalah sebuah sikap yang dialami oleh seseorang atau masyarakat, baik dari kalangan penguasa maupun rakyatnya. Kondisi ini mengakibatkan kehinaan, ketertindasan atau kelemahan dan kekerdilan serta ketundukan dalam kepasrahan.8

Dalam al-Quran kata (putus asa) terdapat pada sepuluh ayat al-Quran dengan berbagai maksud dan tujuan yang Allah turunkan kepada hamba-hambanya agar mencegah diri dari perasaan berputus asa dan menegaskan bahwa sikap putus asa merupakan salah satu sifat orang-orang kafir.

Selanjutnya adalah kata

,

berasal dari kata

-

yang memiliki persamaan makna dengan kata (yang paling sangat

7

Ibnu Manzur, Lisanul Arab, Beirut dar al-fikr, 1994 . vol 6, hal. 259 8

Imam Majd ad Din Abi as Sa‟adat al Mubarak bin Muhammad Ibnu al Atsir,

Al-Nihâyah fi gharîbi al-hadîts wa al-atsâr. Daar al Ma‟rifah, Beirut-Libanon 2001. vol 4, hal. 262


(27)

berputus asa)9. Adapun bentuk masdar dari adalah

. Untuk memperkuat argumentasi tersebut, maka penulis mengkutip dari penjelasan salah satu Ulama di bidang ilmu nahwu dan sastra yaitu Abul Fath Utsman bin Jinni Al-Mushily10 menyatakan bahwa bentuk kata

mempunyaipadanan kata yang sama dengan .

Di dalam kitab at-tahdzib, dan memiliki makna sinonim yaitu putus asa dari kebaikan. Abu „Amr bin Al „ Ala, berpendapat bawa seburuk-buruknya manusia adalah yang berputus asa dari rahmat Allah SWT (jadi kata putus asa disini bisa menggunakan kata atau ) 11.

Sedangkan dalam Al-Nihâyah fî gharîbi al-hadîts wa al-atsâr menjelaskan bahwa berarti sikap putus asa yang berlebih-lebihan untuk bisa keluar dari krisis yang dialami individu atau kolektif menyebabkan kehinaan, ketertindasan atau kelemahan dan kekerdilan serta ketundukan dan kepasrahan.

Pembahasan selanjutnya adalah kata yang berasal dari kata berarti dengan terjemahan bahasa Indonesianya adalah putus asa atau menyesal. Oleh Karena itu, kata iblîs diambil dari kata balasa, tetapi nama iblis yang sesungguhnya adalah , dan disebutkan juga dalam al-Quran : . Jadi dari ayat di atas dapat kita ketahui

9Mu’jam al

-Wasîth al-Qahiroh, (Maktabah al-Syaroq al-Dauliyah: 2008), hal.1790 10

H.R. Taufiqurrochman, S.H. “Leksikologi Bahasa Arab”, (UIN Malang Press, Malang,

2008), hal.299 11


(28)

19

bahwasanya iblîs yang diambil dari kata balasa telah mengalami putus asa dari rahmat Allah SWT. Sebab itu, putus asa juga merupakan salah satu sifat dari iblis, mereka menciptakan kondisi yang akan mendorong manusia ke arah keterpurukan. Di samping itu, Iblis bersembunyi di dalam emosi para manusia, membisikkan ketidakadilan hidup terhadap korban-korbannya12. Melalui emosi dia akan merangkak ke dalam pikiran manusia dan mewujudkan visi kehancuran manusia. Adapun identifikasi mengenai kata

terdapat dalam al-Quran.

Dari ketiga kata kunci yang terdapat di dalam al-Quran, dapat disimpulkan bahwa putus asa merupakan sebuah kondisi perasaan hati yang pada akhirnya dapat membelenggu manusia secara utuh dalam keterpurukan yang disebabkan dari perasaan takut, kelemahan dan ketidak berdayaan.

B. Keputusasaan dalam Perspektif 1. Perspektif Psikologi

Zakiah Drajat dalam bukunya yang berjudul Psikoterapi Islam, menyatakan bahwa putus asa merupakan sikap seseorang yang selalu murung, tak acuh terhadap dirinya dan orang lain, tidak berusaha mencapai sesuatu, tidak minta tolong, diam, malas bergerak, dan cenderung mengurung diri. Orang putus asa biasanya lari ke dalam dunia khayalan, dan juga terbiasa

12

http://www.afroarticles.com/article-dashboard/Article/Desperation-and-Despair--the-Devil-s-Playground/214455


(29)

memenuhi kebutuhan dengan caranya sendiri, tidak memikirkan hari depan, tidak bekerja, tidak melatih diri untuk apa saja13.

Keputusasaan adalah fase emosi yang menyakitkan. Keputusasaan dimulai dari rasa takut. Seseorang bisa berada dalam kondisi putus asa manakala rasa takutnya muncul. Sebaliknya, apabila ia tidak dalam keadaan digeluti rasa takutnya maka ia akan terjaga dari perasaan putus asa itu sendiri. Sebagai contoh seorang tawanan dihukum mati maka ia harus merasakan takut mati sebelum ia akan memasuki fase putus asa itu sendiri. Akan tetapi ketakutan mungkin sering ada dan dalam bentuk yang sangat kuat tanpa sebuah sikap keputusasaan. Seorang tahanan sering menampilkan ketakutan besar, tetapi ia tidak merasakan putus asa.14

Pada kenyataannya, terdapat korelasi kuat antara ketakutan dan keputusasaan. Takut biasanya merangsang upaya, sedangkan putus asa adalah efek dari ketakutan. Ketakutan adalah aktif, sedangkan putus asa bersifat pasif. Dalam keputusasaan, yang sering tampak adalah kelesuan, sementara rasa takut selalu menimbulkan sebuah pergolakan yang intens dalam setiap aktivitas. Ketakutan dalam fungsi aslinya adalah merangsang tindakan bertahan, selain itu ketakutan biasanya terjadi pada individu dengan kondisi abnormal, sedangkan putus asa terjadi pada kondisi individu dalam keadaan normal. Dari pemaparan di atas sudah jelas, bahwasanya rasa takut berbeda dengan putus asa, yang bersifat langsung dan transitif. Sebagai contoh : Aku

13

Zakiah darajat, Psikotrapi Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 2002), hal.72-74 14

M. Stanley Studies in The Evolutionary Psychology of Feeling Hiram, New York : MaC Millan & CO, 1895, hal.121-126


(30)

21

takut rasa sakit atau cedera, tapi putus asa hanya ada dalam kaitannya dengan hal mental.15

Jadi intinya, putus asa merupakan efek dari ketakutan yang berlebihan. "Saya putus asa untuk bebas," berarti mengalami sebuah kemunduran emosi pada suatu pengalaman yang menyakitkan. Rasa ketidakmampuan yang lengkap dan permanen untuk mencapai sebuah akhir. Keputusasaan ini membungkuk dan berada di bawah alam sadar serta hancur oleh rasa sifat tak terelakkan dan kekeliruan yang tidak dapat diperbaiki, baik itu positif ataupun negatif. Dengan arti lain putus asa berarti tidak ada harapan.

Selain dari faktor ketakutan, putus asa juga biasa terjadi karena timbulnya kecemasan. Cemas merupakan bentuk lain dari emosi yang berkaitan erat dengan putus asa. Cemas adalah hasil langsung, karena merasa dari kognisi tiba-tiba pada hal kesulitan besar dan kenyerian yang dekat. Cemas juga sebagai tahap transisi yang cepat dalam perasaan terhadap putus asa, sebagai suhu yang tiba-tiba jatuh dari harapan, kecemasan itu bisa juga merupakan sebuah sikap awal dari keputusasaan. Berangkat dari itu, pada dasarnya cemas bersifat sementara, namun mampu mengendap dengan cepat dalam keputusasaan atau berubah naik menjadi harapan baru.

Dalam pemahaman perspektif psikologis ini, penulis berupaya memberikan pemisahan antara makna Putus asa, Stress dan Depresi, dengan harapan dapat membuka wacana pada hal tersebut meskipun pada ketiga kata ini memiliki korelasi satu sama lain.

15


(31)

Stres dalam tinjauan psikologis adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis16, stres juga merupakan gejala gangguan kesehatan jiwa yang sangat unik, hal ini merupakan bagian dari persoalan yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Karena pada dasarnya setiap orang dari berbagai lapisan masyarakat memiliki potensi yang sama untuk dapat mengalami stress. Stres yang menimpa seseorang tidak sama antara satu orang dengan yang lainnya, walaupun faktor penyebabnya boleh jadi sama. Terdapat beberapa penyebab mengapa seseorang menjadi stres, antara lain17:

1. Stres Kepribadian (Personality Stress)

Merupakan stres yang dipicu oleh masalah dari dalam diri seseorang itu sendiri. Berkaitan dengan cara pandang pada masalah dan kepercayaan atas dirinya. Orang yang selalu menyikapi segala tekanan hidupnya dengan sikap positif, maka akan kecil kemungkinan terkena resiko stres jenis yang satu ini.

2. Stres Psikososial (Psychosocial Stress)

Biasanya stres ini dipicu oleh hubungan relasi dengan orang lain di sekitarnya atau akibat situasi sosial lainnya. Contohnya seperti stres adaptasi lingkungan baru, masalah cinta, masalah keluarga, stres macet di jalan raya, diolok-olok, dan lain-lain.

16

James P. Chaplin, Kamus lengkap Psikologis, (PT Raja Grafindo Persada, 2006),

hal.488 17

http://organisasi.org/jenis-macam-kategori-pemicu-stress-penyebab-stres-psikologis-manusia


(32)

23

3. Stres Bioekologi (Bio-Ecological Stress)

Pada hal ini biasanya stres dipicu oleh dua hal. Pertama yaitu faktor ekologi/lingkungan, seperti polusi udara dan cuaca. Kedua diakibatkan oleh kondisi biologis, seperti akibat datang bulan, demam, asma, jerawatan, tambah tua, dan banyak lagi akibat penyakit dan kondisi tubuh lainnya.

4. Stres Pekerjaan (Job Stress)

Stres pekerjaan adalah stress yang dipicu oleh pekerjaan seseorang. Persaingan jabatan, tekanan pekerjaan, deadline, terlalu banyak kerjaan, ancaman phk, target tinggi, usaha gagal, persaingan bisnis, adalah beberapa hal umum yang dapat memicu munculnya stress akibat karir pekerjaan.

Jika kondisi stres ini berlangsung lama, maka seseorang tersebut akan masuk ke dalam sebuah kondisi yang acapkali disapa dengan depresi. Selanjutnya, dalam disiplin ilmu psikologi, depresi didefinisikan sebagai perasaan yang menimbulkan rasa putus asa. Perasaan ini membawa reaksi emosional sebagai berikut18 :

a. Mati rasa, Reaksi ini membawa seseorang yang depresi untuk tidak menerima kenyataan yang terjadi. Biasanya pada awalnya, orang tersebut berupaya tegar di hadapan orang lain.

18

Janet Horwood, Penghiburan Bagi Orang Yang Mengalami Depresi, (Bina Rupa


(33)

b. Setelah kenyataan ternyata lebih menyakitkan dan orang tersebut tidak kuat lagi menahannya, muncul amarah yang luar biasa dan meledak-ledak, serta tidak terkontrol.

c. Tahap reaksi yang terakhir adalah, munculnya trauma atau kesedihan yang berlarut dan berkepanjangan. Pada tahap ini, orang tersebut merasa kehilangan harga diri karena tidak mampu menyelsaikan masalah atau kenyataan pahit yang menimpanya.

Pada literatur lain, penulis mendapatkan pengertian dari depresi. Greg Wilkinson memaknainya sebagai gangguan suasana hati yang bervariasi dengan berat ringannya terhadap bermacam-macam orang, dan berapa lama hal itu bertahan. Perasaan ini kadangkala kambuh kembali dan dihubungkan dengan sejumlah besar gejala mental dan psikis yang berbeda.19

Dalam hal ini, Greg menilai ada beberapa gejala depresi yang secara umum dapat ditemui. Pertama, depresi yang disebabkan suasana hati. Pada faktor ini akibat yang muncul adalah sedih, kecewa, murung, putus asa, rasa cemas dan tegang, kurangnya kegembiraan, kurangnya kepuasan diri, hilangnya kasih sayang, menangis berlebihan, perubahan suasana hati yang tidak terduga, perubahan jiwa yang ditandai oleh sikap, serta mudah tersinggung. Kedua, dengan penyebab gangguan pikiran. Pada proses ini, orang tersebut akan kehilangan minat, merasa kehilangan harga diri, kepekaan yang berkurang, muncul perasaan tidak berguna, timbul rasa malu, adanya rasa tidak berdaya, mudah lupa, dan kurang konsentrasi.

19

Greg Wilkinson, Depression, dialih bahasakan oleh Meitasari Tjandrosa dengan judul


(34)

25

Ketiga, gejala lainnya adalah dorongan. Hal ini menyebabkan seseorang

ingin lari dari kehidupan, menarik diri dari pergaulan, merasa terpojok, dalam melakukan aktivitas merasa tampak tidak menarik dan tidak berarti lagi.

Keempat, Fisik. Pada gangguan ini, seseorang akan mengalami perasaan akan

kondisi badan yang menurun, merasa cepat lelah, pegal-pegal, sakit, kehilangan nafsu makan, kehilangan berat badan ideal, gangguan tidur, kehilangan nafsu seks, tidak bisa santai, berdebar-debar dan berkeringat dalam jumlah yang tidak wajar, agitasi, lamban, konstipasi (susah buang air besar). Kelima, berdasarkan penilaian. Pada tahap ini orang tersebut akan mengalam delusi (perasaan bersalah) dan halusinasi (seakan mendangar suara-suara yang menakutkan dirinya, seperti ancaman mati karena penyakit mematikan yang terngiang-ngiang di telinga dalam intensitas yang tinggi)20.

Dalam tahap ini dapat digaris bawahi bahwa, Depresi adalah sebuah penyakit psikis atau kejiwaan yang cukup berat, sedangkan putus asa dan stres adalah salah satu jembatan menuju kondisi tersebut. Depresi dapat terjadi pada siapapun baik orang tua ataupun orang muda sedangkan putus asa tidak dapat dimasuki oleh anak-anak, putus asa bisa dirasakan ketika seseorang memberikan harapan yang berlebih kepada apa yang diangankannya namun tidak dapat direalisasikan, sedangkan stress adalah tekanan fisik dan mental yang diakibatkan rutinitas yang tiada henti, apabila seseorang berada dalam kondisi stres yang terus menerus, maka pada akhirnya ia akan masuk ke sebuah kondisi depresi.

20


(35)

2. Perspektif Filsafat

Dalam ranah filsafat, tidak banyak penulis temui diskusi tentang putus asa, baik secara langsung maupun tidak. Di antara para filosof yang membicarakan tentang keputus-asaan adalah Sören Kierkegaard, ia merupakan seorang tokoh filsafat eksistensialis sekaligus bisa disebut juga bapak pada aliran ini mengatakan, bahwa putus asa adalah salah satu emosi manusia yang paling signifikan yang memberikan dorongan pada pemikiran yang bermanfaat tentang sifat dari kondisi manusia21.

Putus asa dalam pandangan Kierkegaard merupakan sebuah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Satu-satunya obat dari keputusasaan adalah kematian. Karena pada dasarnya setiap orang pasti akan mengalami sebuah keputusasaan baik itu hal yang disadari atau tidak22.

Selanjutnya, Kierkegaard membagi keputusasaan menjadi tiga jenis, di mana hal tersebut merupakan sesuatu bentuk keputusasaan yang biasa dialami oleh manusia dengan beragam tingkatannya. Selain itu, di dalam bukunya yang berjudul The Sickness Unto Death, ketiga hal ini justru menjadi point terpenting untuk dibahas. Adapun ketiga point tersebut adalah :

1. Keputusasaan yang tidak disadari oleh dirinya sendiri atau putus asa karena keterbatasan.

21

http://metapsychology.mentalhelp.net/poc/view_doc.php?type=book&id=2882 22

Sören Kierkegaard ,The Sickness Unto Death Published by Princeton University Press,


(36)

27

Putus asa semacam ini biasanya lahir dari ketidaktahuan. Banyak orang mengalami kondisi seperti ini, baik mereka menyadarinya atau tidak. Dalam hal ini biasanya, mereka seakan-akan baik, namun jiwanya merasakan kehampaan terutama ketika melihat banyak orang dan hal-hal di sekitarnya, dengan cara menyibukkan dengan segala macam urusan duniawi, dengan seolah-olah menjadi bijaksana, seseorang lupa pada dirinya, lupa pada namanya sendiri, dan tidak percaya lagi pada dirinya sendiri. Putus asa semacam ini sangat banyak dialami namun sedikit mereka yang menyadarinya.

2. Putus asa dalam menolak untuk menerima diri sendiri atau putus asa pada kelemahan dirinya sendiri.

Dalam kategori ini, bentuk keputusasaan berupa tidak ingin menjadi diri sendiri yang sebenar-benarnya, yakni dengan cara merubah dirinya menjadi orang lain bahkan dilakukan dengan cara mati-matian. Pada akhirnya manusia tersebut menolak untuk bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Makhluk yang seperti ini biasanya beranggapan bahwa

„hidup hanyalah sebuah permainan dari sebuah perubahan‟. Oleh karena itu, pada saat putus asa, ketika bantuan tidak ada yang datang, maka orang tersebut berusaha ingin menjadi orang lain.

Keputusasaan semacam ini, dapat menyebabkan seseorang menjadi gila karena dia tidak tahu akan dirinya yang sebenarnya. Dalam fenomena keputusasaan semacam ini, seseorang beranggapan bahwa dengan mencintai kemewahan dan kegelamoran maka orang tersebut akan merasa


(37)

nyaman dalam hidupnya. Atau dengan kata lain, dia hanya mengenal apa yang dia kenakan tanpa mengenal dirinya yang sebenarnya.23

3. Kesadaran dari diri sendiri tetapi penolakan untuk tunduk kepada kehendak Tuhan atau bisa disebut putus asa dengan cara pembangkangan.

Berbeda dengan putus asa yang sebelumnya yaitu putus asa terhadap penolakan diri sendiri. Justru dalam kategori ini keputusasaan untuk menjadi diri sendiri. Atau bisa juga disebut putus asa pembangkangan. Pada fase ini, menurut mereka, bahwa identitas diri datang bukan dari "luar" tetapi langsung dari diri sendiri. Hal ini berakar pada kesadaran suatu ketidak terbatasan, menjadi berhubungan dengan yang tak terbatas.

Pada tahap ini, seseorang akan merasa mendapatkan sebuah keabadian atau besar kemungkinan dari mereka tidak mengakui sang Pencipta. Mereka menolak untuk menerima suatu aspek dari luar dirinya atau dapat dikatakan tidak ada yang sempurna selain dirinya. Karena mereka merasa dirinyalah yang menciptakanya.

Manusia ini selalu menantang untuk tidak mengakui kekuasaan selain miliknya sendiri. Artinya mereka hanya memperhatikan dirinya sendiri, yakni dengan mempotensikan dirinya sebagai sesuatu dengan cara menyamakan antara yang terbatas atau tidak. Dalam proses keinginannya untuk menjadi Tuhan sendiri, ia beranggapan bahwa harus benar-benar menjadi mengenal dirinya sebagai yang tak terbatas dan dalam

23


(38)

29

pandangannya bahwa ia adalah penggerak itu sendiri. Namun justru ini adalah bentuk keputusasaan yang tertinggi karena menafikkan keberadaan manusia sebagai yang terbatas dan menyatakn diri sebagai yang tak terbatas. 24

Guna mempertajam analisis pada perspektif filsafat ini, penulis juga mengungkapkan pandangan para filosof lainya yaitu seperti Henri Bergson. Beliau merupakan seorang filosof asal Prancis yang tersohor dengan filsafat manusia-nya. Pada teori terdahulu, manusia tidak bebas, dibatasi oleh faktor-faktor kehidupan, tidak bisa mengaktualisasikan dirinya. Menurut Henri, manusia bebas adalah manusia yang memiliki kesadaran akan keber-ada-annya. Manusia menjadi bebas, jika perbuatannya memancar dari kepribadian orang tersebut seutuhnya. Mengungkapkan jati dirinya. Sadar akan ada-nya25.

Oleh sebab itu, jika manusia sadar akan dirinya maka mereka akan tahu siapa Tuhannya. Ketika mereka telah mengetahui akan Tuhannya niscaya kelak mereka akan jauh dari keputusasaan yang akan menimpa dirinya. Karena mereka tahu bahwa diri mereka hanya makhluk yang lemah, ketika mereka dihadapkan dengan permasalahan yang mendera dirinya mereka tidak akan sanggup untuk memikulnya sendiri. Namun, mereka langsung bergegas untuk memohon bantuan kepada Tuhannya, sehingga mereka tidak langsung cepat berputus asa atas beban

24

http://www.hebrew4christians.com/Articles/Despair/despair.html 25

K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Prancis Jilid II, (Jakarta: Gramedia, 1996), hal.1314


(39)

permasalahan yang sedang dipikulnya. Karena ada kekuatan lain yang mampu untuk membantunya keluar dari masalah, yaitu Tuhan.

Kemudian Sartre, filsuf lain yang juga berasal dari Prancis, beliau memiliki argumen lainnya. Menurutnya, manusia adalah makhluk yang bebas memilih. Dalam hidup manusia, tentu hanya ada 2 pilihan: menjadi

manusia bebas dengan memiliki kesadaran akan ”ada” nya. Atau, menjadi

manusia yang tidak bebas, penuh dengan kekhwatiran yang ditandai akan kecemasan. Cemas dalam menemukan ”ada” nya dan terkadang juga pada saat menjaganya26.

Dalam hal ini Sartre membedakan antara cemas atau takut. Cemas adalah perasaan yang menghinggapi diri manusia yang faktornya berasal

dari dalam diri sendiri (keber ”ada” annya). Sementara takut adalah perasaan yang menghinggapi diri manusia dengan faktor benda-benda lain di luar diri manusia itu sendiri27.

Sedangkan filsafat Islam mempunyai argumen tersendiri dalam menanggapi keputusasaan. Menurutnya, secara garis besar kehidupan manusia hanya memiliki dua pilihan, yaitu menjadi manusia baik atau menjadi manusia yang celaka. Menjadi baik, berarti memilih yang baik dalam segala perbuatannya selama hidup. Memilih celaka berarti, melakukan perbuatan buruk dengan sadar28.

Menurut hemat penulis, berdasarkan pembahasan di atas mengenai putus asa dalam ranah filsafat, memang tidak mengena secara langsung.

26

K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Prancis Jilid II, hal.96-97 27

K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX,hal.95 28


(40)

31

Akan tetapi, jika kita menela‟ah dan mengkonstruksi berbagai pernyataan

filosuf di atas lebih dalam, jelas bahwa mereka sedang membicarakan manusia. Kesemua filosuf sadar, bahwa manusia hidup dengan beragam pilihan yang terkadang menggiurkan. Selain itu, tidak sedikit pula di antara mereka yang salah dalam menentukan pilihanya tersebut.

Pilihan-pilihan itu, tidak bisa tidak, harus dijalani dan dipilih salah satunya oleh manusia. Tentunya, setiap manusia memiliki angan-angan dan cita-cita agar mendapatkan yang terbaik bagi dirinya..

Ada adagium bahwa Kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan. Inilah yang menjadi acuan dalam mempelajari keputusasaan. Para manusia, dengan segenap kemampuan dan kelebihan yang dimilikinya, berusaha meraih apa yang mereka harapkan. Namun, tidak sedikit dari mereka yang kemudian gagal dan tak mampu bangkit kembali, sehingga dalam bahasa filsafat Islam, memilih menjadi manusia celaka. Melakukan sesuatu untuk meraih apa yang mereka harapkan dengan perbuatan buruk, yang –ironisnya- dilakukan dengan sadar. Inilah titik temu pembahasan putus asa dalam filsafat yang diargumentasikan oleh para filosuf.


(41)

32

A. Ayat-ayat al-Qur’an tentang Keputusasaan

Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya, al-Quran telah mengasosiasikan putus asa dengan 3 kata, yaitu

(

Ya'isu

),

(

Qanatha

),

(

Ablasa

)

sesuai dengan pendefinisian masing-masing. Maka pada bab ini,

penulis akan mencoba mengidentifikasi pada ayat mana saja dalam al-Quran yang memuat ketiga kata tersebut.

1. Ya'isa

Kata terdapat di dalam sepuluh1 ayat al-Quran dengan berbagai maksud dan tujuannya masing-masing. Allah menurunkan wahyu tersebut agar Hamba-hambanya selalu menghindarkan diri dari perasaan berputus asa. Karena pada dasarnya, putus asa merupakan salah satu sifat dari orang-orang kafir. Seperti apa yang telah diterangkan pada ayat berikut :





















1


(42)

33

”Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari kami, Kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, Pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih” (Hud: 9)

Terma putus asa dalam ayat tersebut diwakili oleh kata laya'usu yang asal katanya ya`isa-yay`asu mengindikasikan bahwa makna putus asa disini menggunakan bentuk mubalaghah dengan penambahan huruf (lam) yang menggambarkan kondisi yang teramat sangat dari keadaan suatu perbuatan.

Ayat ini menggambarkan perangai manusia, ketika didatangkan oleh Allah kepadanya suatu nikmat, sehingga ia dapat merasakan atau mengecap nikmat tersebut, maka ia menjadi lupa daratan. Tetapi jikalau nikmat itu dicabut oleh-Nya dengan tiba-tiba, justru mereka menjadi putus asa. Seyogyanya, mereka berpikir bahwa roda takdir Ilahi itu senantiasa berputar, ketika hari ini senang belum tentu keesokan harinya merasakan hal yang sama. Sebagai perumpamaan sebuah barang yang dimilikinya, hari ini ia merasa senang karena mampu meraih barang tersebut dengan harga mahal, akan tetapi keesokan harinya ia menjadi orang yang tidak bersyukur lantaran barang tersebut hilang dari tangannya.2

Bagi orang-orang yang beriman, ia selalu sadar bahwa setiap sesuatu yang diberikan oleh Allah sifatnya sementara atau dengan kata lain hanya sebuah titipan (amanah), yang sewaktu-waktu dapat di ambil dari dirinya. Akan tetapi, bagi orang kafir maupun kufur, ia merasa nikmat tersebut kekal untuknya. Sehingga, jika di ambil nikmat itu daripadanya maka ia akan putus asa.

2


(43)

Sebagai penegas, bahwasanya pada kalimat yang terdapat di ujung ayat tersebut adalah “tidak berterima kasih”. Maksud tidak berterima kasih di sini diartikan sebagai bagian dari kafir, yaitu kufur nikmat. Mereka hanya mengeluh karna kekurangan. Namun tidak pernah ingat akan anugrah illahi yang telah diberikan kepadanya.3

























































”Maka tatkala mereka berputus asa dari pada (putusan) Yusuf4 mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik. berkatalah yang tertua diantara mereka: "Tidakkah kamu ketahui bahwa Sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan nama Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. sebab itu Aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi Keputusan terhadapku. dan dia adalah hakim yang sebaik-baiknya". (QS. Yusuf : 80)

Kemudian dalam ayat ini kembali terdapat kata istasy`asu, yang menggunakan bentuk fi'il madhi jika dipahami maksudnya adalah putus asa yang terjadi pada waktu yang lampau. Dalam ayat ini Ya‟qub berkata kepada anak-anaknya, ”wahai anak-anakku, kembalilah ke Mesir. Carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya (Bunyamin) dan janganlah kalian berputus asa terhadap rahmat Allah Swt, sebab

3

Hamka,Tasir al-Azhar ,PT Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984, Vol 12, hal.21

4

yakni putusan Yusuf yang menolak permintaan mereka untuk menukar Bunyamin dengan saudaranya yang lain


(44)

35

tidaklah berputus asa terhadap rahmat Allah kecuali orang yang mengingkari kekuasaan-Nya dan kafir kepadanya.”

Oleh karena itu, manusia harus berbaik sangka kepada Rabb-nya. Bahkan, tiap kali mereka merasakan kesusahan dan bencana datang bertubi-tubi atasnya, maka ia harus lebih banyak mengharapkan rahmat-Nya dan memohon kemudahan dari-Nya5.



































”Hai anak-anakku, pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir" (Yusuf: 87)

Imam Al-Alusi berkata :

”Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah yakni tidak berputus asa dari kemudahan dan jalan keluar yang diberikan-Nya. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang

kafir karena ketidak tahuan mereka mengenai Allah ta‟ala dan sifa t-sifatNya, bagi seseorang yang memiliki pengetahuan tidak akan berputus asa dalam kondisi apapun. Ucapan merupakan pengukuhan dari Ya‟qub atas sesuatu yang sebenarnya telah diketahui oleh anak-anaknya”.6





















Dan apabila kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah Dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa (al-Isra‟: 83)

5 „Ai

d al-Qarni, Tafsir Muyassar, terj. Tim Penerjemah Qisthi Press (Qisthi Press, Jakarta, 2008 Jilid 2), hal. 323

6

Al-Alusi, Abu al-Sana Shihab al-Din al-Sayyid Mahmud. Rûh al-Ma’ âni Fi Tafsir al Quran al Azim wa al Sab’ al Matsani,. Beirut: Dar al Kutub al „Ilmiyah, 1994: vol 5, hal.13-44


(45)

Dalam dua ayat di atas, kata ya`isa-yay`asu mengambil bentuk fi'il mudhari'

majzum, dan fi'lu nahyi yang bermakna bahwa Allah benar-benar sangat melarang

perbuatan putus asa untuk masa yang akan datang, semacam peringatan. Sedangkan dalam surat al-Isra' kata ya`usan menggunakan bentuk mubalaghah yang mengindikasikan bahwa ketika manusia diberikan kenikmatan, mereka terpedaya dan menyebabkan mereka memasuki sebuah perasaan putus asa yang benar-benar terpuruk. Ayat ini menyatakan bahwa, sesungguhnya manusia apabila dikaruniakan kesehatan dan kebahagiaan kepadanya, maka mereka tidak lagi mensyukuri nikmat Rabbnya. Bahkan sebaliknya, apabila ditimpa penyakit atau kemiskinan, mereka berputus asa dari rahmat Allah7.























Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab yang pedih (al-‟Ankabut: 23)

Pada ayat ini Allah Swt memberikan gambaran tentang orang-orang yang berputus asa dari rahmat Allah itu seperti apa, terlihat dari keterangan sebelum kata ya`isû dalam bentuk fi'il mâdhi dengan dhomir mustatir yang diperlihatkan dari penempatan dhamir "hum" (mereka) setelah bersamaan dengan fi'il.

7

Wahbah Zuhaili Dkk, Buku Pintar Quran Seven in One, (Jakarta : al Mahira, 2008), hal.291


(46)

37

Dalam tafsir al-Muyassar,‟Aid al-Qarni mengatakan pada ayat ini bahwa barangsiapa yang mendustakan dan mengingkari bukti-bukti yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya dalam kitab-Nya dan mengingkari petunjuk ke-Esaan serta keTuhanan maka mereka tidak akan meraih cita-cita untuk selamanya dan tidak pula mendapat tempat dalam rahmat Allah, yakni ketika mereka melihat azab-Nya. Apabila mereka melihat hukuman yang Allah janjikan kepada musuh-musuh-Nya, niscaya mereka akan merasakan siksaan yang pedih yang menyakitkan di api Neraka Jahanam8.

Sama dengan ayat sebelumnya, kata putus asa di sini menggunakan bentuk fi'il

tsulasimujarrod (asalnya) tanpa tambahan hanya dibubuhi dhamir.



























Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang dimurkai Allah. Sesungguhnya mereka Telah

putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang Telah berada dalam kubur berputus asa (al-Mumtahanah: 13).

Di sini bahwa Allah SWT memberikan peringatan kepada orang-orang beriman yang mentaati Allah dan Rasulnya. Janganlah menjadikan kaum yang dimurkai Allah sebagai penolong, karena sebenarnya mereka itu berada dalam sikap keputus asaan dari mendapatkan kenikmatan dan kebaikan akhirat karena mereka sendiri yang telah mengingkarinya, seperti orang-orang kafir telah

8„Ai


(47)

berputus asa atas kebangkitan mereka dari dalam kubur. Orang kafir adalah orang-orang yang dimurkai oleh Allah .

Selanjutnya, mengenai makna keputusasaan di dalam kalimat “Sesungguhnya mereka Telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang Telah berada dalam kubur berputus asa, Ibnu Jarir Ath-Thabari berpendapat bahwasanya kaum yang dimurkai Allah di hari akhirat dan kebangkitan nanti adalah dari kalangan Yahudi karena mereka telah berputus asa dari rahmat Allah, sebagaimana orang-orang kafir yang masih hidup berputus asa dari rahmat Allah di dunia. Selain itu, semasa hidup mereka juga selalu berputus asa terhadap orang-orang yang telah mati dan berada dalam kubur, karena mereka telah meyakini adanya siksa Allah terhadap mereka setelah mereka mati.9

Asbabun Nuzul ayat ini adalah : menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari Ibnu Ishaq yang bersumber dari Ibnu Abbas, ayat ini diturunkan setelah Abdullah bin Umar da Zaid bin al-Harits bersahabat rapat dengan golongan kaum Yahudi10.

...















...Orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku... (al-Maidah: 3)

Pada ayat di atas, digunakan fi'il mâdhi untuk mengeneralisir bahwa seluruh orang kafir itu telah berputus asa karena tidak akan bisa mengalahkan agama

9Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib at

-Thabari. Jâmi’ al-Bayân Fî Tafsîr Al-Quran, Dar el-Kutub al-„Ilmiyah (Beirut), 1992, hal. 53 - 54

10


(1)

67 BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan yang telah diuraikan penulis pada bab-bab sebelumnya maka pada akhir penelitian ini penulis mengemukakan kesimpulan sebagai jawaban dari perumusan masalah , antara lain yang dapat penulis simpulkan:

Bahwasanya terma keputusasaan dalam al-Quran diungkapkan dengan tiga kata yang berbeda dan memiliki arti yang berbeda-beda sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan berkaitan dengan penjelasan dan arahan al-Quran terhadap fenomena keputusasaan dalam kehidupan umat manusia.

kata-kata tersebut ialah al-Ya'su , al-Qanath dan ablasa kata-kata tersebut mengacu kepada makna bahwasanya keputusasaan ialah sifat manusia yang salah dan berlebihan.

Dalam hal kata putus asa di al-Quran, bahwa penggunaan al-ya'su lebih diutamakan untuk mereka orang-orang kafir yang sudah benar-benar putus asa dari rahmat Allah, hal ini dapat diindikasikan dari adanya penggunaan bentuk mubalaghah dalam kata putus asa yang jika dipahami bahwa, kesalahan yang mereka perbuat merupakan sebuah kondisi yang amat sangat membekas dan menyakitkan hal ini disebabkan karena mereka terlalu terpedaya oleh kenikmatan yang diberikan sehingga mereka lupa kepada Allah Swt, kemudian ada juga fi'il madhi yang mengeneralisir bahwa


(2)

seluruh orang kafir itu telah berputus asa karena tidak akan bisa mengalahkan agama Islam.

Sedangkan penggunaan al-Qanath lebih banyak menggunakan fi'il mudhari' dengan maksud bahwa keputusasaan senantiasa berada dalam benak setiap manusia dalam keadaan lemah dan terpojok, sedangkan penggunaan ablasa hampir dari semua ayatnya menggunakan bentuk isim fail yang jika dipahami bahwa orang-rang yang putus asa termasuk kedalam bujuk rayu iblis yang senantiasa akan menyesatkan seluruh manusia yang menjadikan manusia durhaka kepada Allah dan membuat mereka menjadi orang-orang musyrik.

Akibat buruk dari sifat putus asa sendiri ialah bahwa putus asa bagi seseorang membuat dirinya menjadi hina dan kerdil lantaran ia menutup diri terhadap suatu kebaikan secara berlebihan yang bahkan menimbulkan keterpurukan bagi dirinya, karena keputus asaannya menjauhkan rahmat Allah atas dirinya.

Solusi dalam pemecahan masalah keputusasaan seperti yang terdapat di dalam al-Quran ialah hendaknya melatih diri untuk bersabar, senantiasa bersyukur dan membiasakan diri untuk tersenyum.

Jika bisa bersabar pasti bisa bersyukur dan orang-orang yang bersyukur jauh dari kekufuran dan bahkan dapat kembali mengundang rahmat Allah atau nikmat-nikmat yang sedianya Allah berikan kembali pada mereka yang bersyukur. Sehingga terbebas dari keputusasaan, kemudian dianjurkan juga agar selalu tersenyum dengan tujuan relaksasi agar dapat dengan mudah berfikir positif terhadap sesuatu perkara.


(3)

B. Saran-Saran

Atas fenomena mistis yang banyak diambil masyarakat sebagai langkah untuk mendapatkan jalan keluar bagi masalahnya atas nama keputusasaan. Maka, hendaknya pemerintah menangani hal ini secara pro-aktif, seperti menanggulangi kemiskinan dengan sasaran yang tepat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

al-Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus

Amin, Samsul Munir, Percik Pemikiran Para Kiai, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2009

al-Barry, M D J, Kamus Ilmiah Kontemporer, Bandung: Pustaka Setia, 2000 Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX Prancis Jilid II, Jakarta: Gramedia, 1996 Bustamam, Hanna Djumhana, Integrasi psikologi dengan Islam, Jakarta: Pustaka

Pelajar, 1997

Buya, Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz XII, PT Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984 Chaplin, James P., Kamus lengkap Psikologis, PT Raja Grafindo Persada, 2006 Darajat, Zakiah, Psikotrapi Islam Jakarta : bulan bintang, 2002

Gholib, Achmad, Studi Islam: Pengantar Memahami Agama, Al-Qur’an, Al -hadits dan Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Penerbit Faza Media, 2006

al-Hamd, Muhammad bin Ibrahim, Cara Bertaubat Menurut al-Quran dan as-Sunnah, terj. Muhibburahman , pustaka Imam asy-Syafi„i. Jakarta , 2007

Hasbi ash-shiddieqy, Tengku Muhammad, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nuur, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000, Jilid 3

Horwood, Janet, penghiburan Bagi Orang Yang Mengalami Depresi, Bina Rupa Aksara: Jakarta, 1993

Ibn Manzhur, Lisan al-‟Arab, Beirut : dar al-Fikr, 1994

Jabir al-Jazair, Abu Bakar, Ensiklopedia Muslim, (ter) Fadhil Bahri, Jakarta: Darul Falah, 2000 Cet. 1

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007)

Kierkegaard, Sören, The Sickness Unto Death, Published by Princeton University Press, Princeton, New Jersey, 1941


(5)

al-Maqdisy, al-Husni, Kamus Faturrahman, Beirut: Daar el Fikr, 1995

al-Mubarak, Imam Majd ad Din Abi as Sa‟adat, bin Muhammad Ibnu al Atsir, Al-Nihâyah fi gharîbi al-hadîts wa al-atsâr. Daar al Ma‟rifah, Beirut-Libanon 2001. vol.4

Mustaqim, Abdul, dkk, Studi al-Quran Kontemporer: Wacana Baru Berbagi Metodologi Tafsir (id.), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002

Mu‟jam al-Wasith al-Qahiroh, Maktabah al-Syaroq al-Dauliyah: 2008

an-Najar, Amir, al –‘ilmu an-Nafs al-Shufiyah, Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf Studi Komparatif Dengan Ilmu Jiwa Kontemporer, (terj) Hasan Abrori, MA, Jakarta : Pustaka Azzam, 2001

Nuh, Sayyid Muhammad ‘Afatun ‘Alâ ath-Thâriq; Terapi Ruhiyah Aktifis Dakwah terj Fakhruddin Nur syam lc, Hawin M. Jasiman, Mahmud Mahfud (Solo: Media Insan Press, 2006)

Qadir Abu Faris, Muhammd Abdul, Menyucikan Jiwa, terj. Habiburrahman Saerozi, Gema Insani Press, Jakarta. 2005

al-Qardhawi, Yusuf, as-Sabr fi Al-Qur’an, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989 al-Qarni, Aidh, Jangan Putus Asa: Pintu Taubat Selalu Terbuka; terj. M.

Misbach, (Jakarta: Robbani Press, 2005)

---, La Tahzan, (terj) Samson Rahman dengan JanganBersedih, Qisthi Press : Jakarta, 2007

---, Tersenyumlah, (terj) Ayip Faishol & Zainal Abidin, Penerbit Pustaka azzam, Cet. 2004

---, Tafsir Muyassar, Qisthi Press, Jakarta, 2008 Jilid 2

Quthb, Sayyid. Fi Dzhilâl al-Quran terj. As‟ad yasin, Abdul aziz, (Gema Insani Press, Jakarta, 2000), Jilid ke-9

al-Sayyid Mahmud, Al-Alusi, Abu al-Sana Shihab al-Din. Rûh al-Ma’ âni Fi Tafsir al Quran al Azim wa al Sab’ al Matsani,. Beirut: Dar al Kutub al „Ilmiyah, 1994: vol 5

Shaleh, Qomaruddin, Asbabun Nuzul, Bandung: CV Diponegoro, 1991 Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1995 ---, Tafsir al-Mishbah, Lentera Hati, Jakarta: 2002, Vol: 12


(6)

Stanley, M, Studies in The Evolutionary Psychology of FeelingHiram, New York : MaC Millan, 1895

Sudarsono, Kamus Filsafat dan Psikologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1993

Taufiqurrochman, H.R., “Leksikologi Bahasa Arab”, UIN Malang Press, Malang, 2008

at-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib.

Jâmi’ Al-Bayân Fî Tafsîr Al-Quran, Dar el-Kutub al-„Ilmiyah

(Beirut), 1992

Wilkinson, Greg, Depression, dialihbahasakan oleh Meitasari Tjandrosa dengan judul Depresi, Arcan: Jakarta, 1991

al-Yassuî, Louis Ma‟luf, Al-Munjid fi al-Lughah wal al-A„lam, Dar al-Mashriq Zaid, Abu, The Textuality of the Koran, Islam and Europe in Past and Present,

Nias,1997

Zuhaili, Wahbah, Dkk, Buku Pintar Quran Seven in One, (Jakarta : al Mahira, 2008)

Website

http://tarbiyahislam.wordpress.com/2007/07/02/tabahlah-menghadapi-musibah/ http://www.afroarticles.com/article-dashboard/Article/Desperation-and-Despair-- the-Devil-s-Playground/214455

http://organisasi.org/jenis-macam-kategori-pemicu-stress-penyebab-stres-psikologis-manusia

http://metapsychology.mentalhelp.net/poc/view_doc.php?type=book&id=2882 http://www.hebrew4christians.com/Articles/Despair/despair.html