PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JIHAD DALAM ALQURAN TERJEMAHAN KEMENTERIAN AGAMA RI (ANALISIS WACANA) Disusun oleh: IBNUAFAN 108024000008 JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014M/

(1)

TERJEMAHAN KEMENTERIAN AGAMA RI

(ANALISIS WACANA)

Disusun oleh: IBNUAFAN 108024000008

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan daam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 15 September 2014


(3)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)

Oleh

Ibnuafan NIM: 108024000008

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. DR. Sukron Kamil M.A Drs. Ikhwan Azizi, M.Ag


(4)

(5)

a. Konsonan Tunggal

Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, dalam pedoman ini sebagian dilambangkan dengan huruf dan sebagian dilambangkan dengan tanda, dan sebagian lagi dilambangkan dengan huruf dan tanda sekaligus.

Huruf Arab

Nama Huruf Latin Keterangan

alif - tidak dilambangkan

bā’ b

-tā’ t

-ṡ ā’ ṡ s dengan satu titik di atas

jīm j

-ḥ ā’ ḥ h dengan satu titik di bawah

khā’ kh

-dāl d

-ż āl ż z dengan satu titik di atas

rā’ r

-zāi z

-sīn s

-syīn sy

-ṣ ād ṣ s dengan satu titik di bawah

ḍ ād ḍ d dengan satu titik di bawah

ṭ ā’ ṭ t dengan satu titik di bawah


(6)

kāf k

-lām l

-mīm m

-nūn n

-hā’ h

-wāwu w

-hamzah tidak dilambangkan atau ’

apostrof, tetapi lambang ini tidak dipergunakan untuk

hamzah di awal kata

yā’ y

-b. Konsonan Rangkap

Konsonan rangkap, termasuk tandasyaddah, ditulis rangkap.

Contoh : ditulis rabbanâ

ditulis qarraba

ditulis al-ḥ addu

c. Tā’ marbūṭ ah di akhir kata

Transliterasinya menggunakan :

a. Tā’ marbūṭ ah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya

h, kecuali untuk kata-kata Arab yang sudah terserap menjadi bahasa Indonesia, sepertisalat, zakat,dan sebagainya.


(7)

ditulis Fātimah

b. Pada kata yang terakhir dengantā’ marbūṭ ah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandangalserta bacaan kedua kata itu terpisah, maka tā’ marbūṭ ahitu ditransliterasikan denganh.

Contoh : ditulis rauḍ ah al-aṭfāl

c. Bila dihidupkan ditulist.

Contoh : ditulis rauḍ atul aṭfāl

Huruf ta marbuthah di akhir kata dapat dialihaksarakan sebagaitatau dialihbunyikan sebagaih(pada pembacaan waqaf/berhenti). Bahasa Indonesia dapat menyerap salah satu atau kedua kata tersebut.


(8)

salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan daam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 15 September 2014


(9)

Terorisme saat ini masih menjadi suatu perbincangan yang menarik di dunia internasional maupun di Indonesia. Teror dan kekerasan yang ditampilkannya acap kali membuat kengerian di di dalamnya.

Terorisme sendiri seringkali dikaitkan dengan Islam. Seperti halnya pada kasus Osama Bin Laden atau di Indonesia lebih terkenal dengan Bom Bali yang dilakukan oleh kelompok Imam Samudra dan kawan-kawannya. Kepolisian Republik Indonesia mengungkap bahwa para pengebom yang masih hidup kali itu mengakui kalau aksi yang mereka lakukan itu sebagai bentuk jihad menghadapi Amerika dan sekutu-sekutunya. Polisi pun membongkar jaringan teror yang umumnya mereka adalah kelompok Islam garis keras. Lantas apa yang memberikan keberanian begitu dahsyat dalam melakukan setiap aksinya?

Dalam hal ini persoalan ideologis mejadi jawabannya. Keyakinan ideologis dengan balutan spiritual menjadikan keberanian mereka tidak terhingga. Karena menurut mereka aksi yang dilakukannya itu untuk membela kehormatan Islam. Seperti halnya dalam terjemahan surat al-Baqarah: 191 “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.

Atas dasar ayat ini timbul wacana bahwa ada terjemahan Alquran yang mengajak orang untuk berbuat radikal bahkan terorisme. Kasus terorisme yang tak kunjung usai seringkali memunculkan term jihad. Jihad semakin populer dalam kaitannya dengan terorisme. Alquran menjadi sarana dalam mendoktrinasi para calon teroris.

Majelis Mujahidin Indonesia menuding, terdapat banyak kesalahan terjemahan Alquran yang diterbitkan oleh Kementerian Agama. Dan dari sekian banyak kesalahan diduga memicu orang untuk bertindak radikal. Kemenag pun membantah tudingan miring tersebut. Ini membuktikan terjemahan Kemenag mengundang perdebatan dan menjadikan diskursus menarik dalam mengungkap wacana terjemahan yang berkaitan dengan isu-isu terorisme.


(10)

dan karsa kepada makhluknya. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi

Besar Muhammad SAW. Pembawa risalah dan rahmat bagi alam semesta.

Ada hal yang patut penulis jelaskan di sini. Seandainya penulis mampu

menggunakan daya upaya yang dimiliki dengan maksimal untuk menyelesaikan

skripsi, mungkin tidak akan ada kata pengantar yang selesai. Namun itu tidak

akan mungkin. Penulis megetahui bahwa kemapuan diri ini terbatas tanpa adanya

bantuan dari orang lain.

Oleh karena itu, meskipun telah banyak hal yang diupayakan, tentunya

terlalu sombong kiranya untuk tidak mengucapkan terima kasih kepada mereka

yang telah memberi banyak bantuan, inspirasi, edukasi dan motivasi dalam

penyelesaian skripsi ini. Dengan senang hati tentunya nama mereka saya abadikan

di kertas ini:

Bapak Dr. Saehudin M.Ag, Kajur Tarjamah atas dedikasinya kepada

mahasiswanya dalam memberikan motivasinya, Bapak Dr. Moch Syarif

Hidayatullah M.Hum Sekjur Tarjamah dan Bapak Drs.H. Ahmad Syatibi M.Ag

yang juga memberikan arahan untuk menuntaskan studi akhir saya.

Bapak Prof. Dr Sukron Kamil M.Ag, dan Bapak Drs. Ikhwan Azizi M.A,

Pembimbing yang sangat sabar menunggu selesainya skripsi saya ini, dan telah

memberi banyak masukan, motivasi juga arahan yang tepat sampai skripsi ini


(11)

Almarhum Bapak saya, Muchtar berpesan “raih cita-citamu, jadilah anak

yang soleh dan selalu perbaiki akhlak”. Almarhumah Siti Humairoh yang telah memberi banyak pelajaran kesabaran.

Keluarga Saya yang lain Ncing Lani dan Bu Le, Zani, Baba Molan, Om

Ncup dan Bi Marti, Mamah Neneng, Umi Juju, Nenek Siti Hanah, Ibu Marsih, Ibu

Hj Eti dan Bapak H Priyo Utomo, Pak Ustadz Miftah dan Pak Ustadz Afif, Emak

Fatmah dan guru ngaji saya Kak Nunung yang telah mengajarkan saya membaca

Alquran.

Keluarga-keluarga lain yang telah membesarkan saya, LPM INSTITUT,

Legosodotco, Jurusan Tarjamah, Karang Taruna Rt 05, Kelompok KKN, The Rest

Area KMM RIAK, Marawis Al-Amanah.

Teman-teman saya, Polem Fajar Ismail, Umar Mukhtar buat pinjaman

referensinya, M Gustar Umam, Adnan Syafii, Nurshofa, Nine Gustriani, Siti

Suryani dan teman-teman Tarjamah lainnya, Dika Irawan, Iswahyudi, Hilman

Fauzi, Lilis Khalisotussurur dan Mas Doni Dole Purwanto, Mas Bowo, M Fanshoby, Iswahyudi, Egi Fajar, Abdul Kharis, Noor Rachmah Julia, Rina

Dwihana, Amelia Fitriani, Iit Septi, Dyah Citra Wardhani, Adhie Satya, Isnen

Hadi, Faris Bimantara, Mozza Dewi, Cimot Zulkifly, Nauli, Rian Bachtera,

Halim, Komeng Jimbe, Ipan, Gustia, dan Mbak Sisi yang udah ngasi hadiah ke Rinjani, Didik, Wahyu, Bayu, Mpok Nia dan Erni, Bang Maul, Setyarini


(12)

Jakarta, 25 April 2014


(13)

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Metodologi Penelitian ... 11

F. Riset Terdahulu ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II PIJAKAN TEORI ... 15

A. Analisis Wacana ... 15

1. Pengertian Analisis wacana ... 16

2. Analisis Wacana Teun Van Dijk ... 18

3. Kerangka Wacana Van Dijk ... 19

a. Dimensi Teks ... 21

b. Kognisi Sosial ... 27

c. Konteks Sosial ... 28

B. Teori Penerjemahan Alquran ... 28

1. Pengertian Terjemah ... 29

2. Unsur Teori Menerjemah ... 32

3. Metode Terjemahan Alquran ... 33

a. Terjemahan Harfiyah ... 33

b. Terjemahan Tafsiriyah atau Maknawiyah ... 34

BAB III WACANA TERORISME DAN PENGGUNAAN AYAT-AYAT JIHAD DALAM ALQURAN TERJEMAHAN KEMENTERIAN AGAMA ... 39

A. Pengertian Terorisme ... 39

B. Terorisme dan Warisan Pencerahan ... 40

C. Faktor Pendorong Gerakan Terorisme di Indonesia ... 43

D. Hubungan Terjemahan Ayat Alquran Kementerian Agama dengan Terorisme ... 46

. BAB IV ANALISIS WACANA TERHADAP PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JIHAD DALAM ALQURAN TERJEMAHAN KEMENTERIAN AGAMA ... 50


(14)

3. Struktur Mikro ... 58

4. Analisis Kognisi Sosial ... 70

5. Analisis Konteks Sosial ... 74

BAB V PENUTUP ... 79

A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 78


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mengapa bangsa yang katanya berbudaya, berbudi luhur dalam balutan

multikultural dan multireligius kini berubah menjadi masayarakat yang saling

memangsa jenisnya (homo homini lupus). Bangsa Indonesia kian hari makin akrab dengan berbagai bentuk perilaku neo-barbarian, yakni sosok dan komunitas yang

berprofil dan berstatus masyarakat modern, namun perilaku yang ditunjukkan

tergolong barbar.

Pandangan itu menjadi sulit dibantah ketika bangsa ini banyak mencatatkan

peristiwa kelam seputar kekerasan terorisme. Kasus peledakan bom seperti tragedi

Bali dan hotel JW Marriot Jakarta. Peristiwa ini berdampak bahwa Indonesia

dipopulerkan melakukan support to terrorism dan state of terrorism. Karena (asumsi dan hipotesisnya) di negara ini telah memberi kebebasan bagi

masing-masing pemeluk agama untuk mengimplementasikan dan mengembangkan ajaran

agamanya, termasuk fundamentalisme beragama.1

Selama ini terorisme sering diidentikkan dan dilekatkan pada penganut

fundamentalisme, utamanya fundamentalisme agama yang kemudian disebut

sebagai anak kandung Islam. Artinya agama Islam diposisikan sebagai terdakwa

1

Hasyim Muzadi dalam kata pengantar, Abdul Wahid dkk,Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum,(Bandung: Refika Aditama, 2004) h., v


(16)

yang ajaran-ajarannya membenarkan dan menghalalkan kekerasan sebagai tajuk

perjuangan. Apalagi sejak Amerika menuduh Osama bin Laden sebagai

satu-satunya dalang teroris penghancuran gedung kembar WTC dan Pentagon, Islam

makin disudutkan sebagai spirit utama lahirnya kekuatan-kekuatan fundamentalis

dan ekstremis, termasuk pelaku kekerasan atas nama agama atau jihad atas nama

Tuhan.

Di dalam kata pengantar buku Kejahatan Terorisme, Persepektif Agama, Ham

dan Hukum, Hasyim Muzadi berpendapat jika mengikuti asumsi atau tuduhan di

atas, tentu saja jika benar bahwa pelaku terorisme adalah gerakan

fundamentalisme, hal ini disebabkan karena adanya pemahaman keagamaan yang

eksklusif, skriptualis dan miskinnya pemahaman realitas historis dalam

menafsirkan pesan esoteris teks-teks kitab suci, sehingga mewariskan sikap-sikap

yang fanatik, dogmatik, eksklusif dan intoleran dalam menyikapi realitas

perbedaan dan kondisi pluralitas sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Bahkan

termasuk dalam menyikapi wilayah juang dalam mengimplementasikan prinsip

“menegakkan kebajikan dan mencegah kemunkaran”(amar ma’ruf nahi munkar).

2

Dampak dari sikap negatif di atas tadi tidak menutup kemungkinan bahwa hal

tersebut dapat mengarah ke tindakan terorisme. Teror mengandung arti

penggunaan kekerasan, untuk menciptakan atau mengondisikan sebuah iklim

ketakutan di dalam kelompok masyarakat yang lebih luas. Publikasi massa adalah

2

Hasyim Muzadi dalam kata pengantar, Drs. Abdul Wahid dkk,Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum,. h., vi


(17)

salah satu tujuan dari aksi kekerasan dari suatu aksi teror, sehingga pelaku merasa

sukses jika kekerasan dalam terorisme serta akibatnya dipublikasikan secara luas

di media massa.3

Jadi dampak berbagai peristiwa pengeboman yang terjadi selalu saja dikaitkan

dengan Islam. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai sejauh mana

pemahaman ke-Islaman itu sendiri pada tiap penganutnya? Islam sebagai agama

yang memiliki penganut terbanyak di Indonesia mempunyai andil besar dalam

pembentukan lingkungan damai dengan pemeluk agama lain. Ajaran Islam yang

dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia mempunyai implikasi yang kuat

terhadap cara berfikir dan bertindak masyarakat. Karena pada dasarnya Islam

memegang teguh ajaran yang terkandung dalam Alquran sebagai pedoman hidup.

Pemahaman Alquran secara penuh merupakan konsekuensi logis dalam

menjalankan ritus keagamaan baik dengan sang pencipta-Nya maupun dengan

makhluk lainnya. Alquran adalah teks, sebagai petunjuk tentu saja lahir dengan

sendirinya berbagai penafsiran. Mengenai hal itu objek kajian terhadap teks ini

tidak mengacu kepada realitas yang berada di luar teks, melainkan kepada realitas

yang digambarkan oleh teks itu sendiri.

Mengacu pada teks yang multitafsir itu, Alquran bukan hanya sebagai

pedoman hidup, namun di satu sisi juga menimbulkan polemik kebahasaan dan

3

Mengutip Yasraf Amir Piliang dalam bukunya yang berjudul Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam era Posmetafisika. AM Hendropriyono mengatakan dalam perkembangannya itu muncul suatu konsep yang memberi pengertian, bahwa terorisme adalah cara atau teknik intimidasi dengan sasaran sistematik, demi suatu kepentingan politik tertentu. A M

Hendropriyono, Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam.(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009) h., 25


(18)

berdampak lebih lanjut pada kekeliruan pemahaman, contohnya adalah pada kasus

ayat-ayat jihad yang katanya menjadi sarana doktrinasi dalam melakukan

aksi-aksi kekerasan maupun terorisme. Berikut ini adalah beberapa contoh ayat-ayat

jihad dalam Alquran terjemahan Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran

Kementerian Agama Republik Indonesia pada tahun 2007. Contoh dalam QS

al-Anfal 8:39.4

ﺎ َﻗ َو

ﻰ ﱠﺘ َﺣ

ن ﻮ ُﻜ َﺗ

ﺔ َﻨ ْﺘ ِﻓ

ِن ِﺈ َﻓ

ّﷲ

ﺎ َﻤ ِﺑ

Dan perangilah mereka, sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.

Masih terdapat beberapa ayat Alquran terjemahan Kementerian Agama yang

diterjemahkan dalam memahami teks yang terkait dengan jihad dan perang.

Berikut beberapa kutipan ayat lainnya dalam QS. 2:191:

4

Kemenag, Alquran Terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia(Bandung: Sigma Eksa Media, 2009). Alquran ini diterbitkan dan mengacu pada rekomendai sidang pleno Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran tahun 2007 di Wisma Haji Tugu Bogor.


(19)

Terjemahan :Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.5

Simak pula QS.9:123 versi Kemenag:

ا ْ

“Wahai orang-orang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas darimu, dan ketahuilah, bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”6

Menurut asumsi penulis, dalam pandangan masyarakat awam terhadap agama

maka rentan sekali disusupkan doktrin-doktrin mengenai ayat tersebut oleh kaum

radikalis untuk menggerakan aksi teror. Karena Islam adalah suatu keyakinan,

kalau tidak membaca Alquran bagaimana bisa mengetahui ajaran Islam itu sendiri.

Bila saja pemahaman ke-Islaman yang mendasar sebagai agama pembawa

rahmat kepada alam semesta rapuh maka bisa saja menciptakan manusia nihilistis

haus jihad karena merasa harus memerangi agama lain. Tak ada heroisme yang

5

Ibid, Alquran Terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia QS. 2:191

6


(20)

lebih membanggakan dan memuliakan manusia nihilis yang mengalami defisit

nilai-nilai dalam jiwanya selain dari pada menghabisi nyawa manusia lain atas

nilai-nilai luhur, entah itu hak asasi manusia ataupun nilai-nilai agama.

Dari sebab di atas, sangat mungkin terjadi penodaan agama melalui aksi jihad

bila kaum muslimin tidak memahami petunjuk dalam Alquran. Di dunia, Alquran

tertulis dalam bahasa Arab yang kemungkinan besar dapat menimbulkan berbagai

implikasi.Pertama, bahasa Arab merupakan bahasa yang mewakili unsur budaya Arab, sebab bahasa adalah sistem tanda dalam masyarakat yang mewakili hampir

seluruh (kalau tidak malah seluruhnya) aspek kehidupan masyarakat pemakainya7.

Kedua proses pemahaman Alquran oleh umat Islam Indonesia haruslah

melalui penerjemahan yang dalam prosesnya subyektifitas seorang penerjemah

menjadi mustahil untuk diikutsertakan. Ketiga, setiap pembaca Alquran saat ini

tidak memiliki akses langsung kepada pembuat teks akibat adanya perbedaan

ruang, waktu, tradisi, sehingga dapat mengakibatkan salah penafsiran.8

Sebagaimana yang dikatakan oleh Komaruddin Hidayat, proses pemahaman,

penafsiran dan penerjemahan atas sebuah teks selalu mengasumsikan adanya tiga

subyek yang terlibat, yaitu; dunia pengarang, dunia teks, dan dunia pembaca yang

masing-masing memiliki konteks tersendiri, sehingga jika memahami yang satu

7

E. Sumaryono,Hermeneutik; sebuah metode filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), cet. ke-2, h. 57-58

8

Hilman Latief,Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, (Yogyakarta: eLSAQ, 2003), h. 74-75


(21)

tanpa mempertimbangkan yang lain maka pemahaman kita atas teks menjadi

miskin.9

Tiga subyek ini yang kemudian dikenal dalam dunia hermeneutika dengan

unsur triadik (the Author, text, the reader)10. Karena itu, pemahaman dan penafsiran terhadap semua teks, termasuk teks-teks Alquran harus melibatkan

ketiganya. Selain itu, analisis konteks juga sangat diperlukan dalam memahami

peristiwa pewahyuan, sebab ayat Alquran tidak akan dapat dimengerti kecuali

dengan melihat konteks saat wahyu diturunkan.

Namun di satu sisi pula perlu adanya pertimbangan bahwa persoalan bahasa

juga menyangkut masalah komunikasi yang mempunyai keterbatasan fungsi

deskriptif dan hanya berkutat dengan sistem penandaan. Sistem penandaan ini

memungkinkan keterlibatan banyak unsur yang berpengaruh terhadap kesan

pemahaman seseorang terhadap sebuah teks secara subjektif.

Kembali ke persoalan keterkaitan antara pembaca terjemahan Alquran dengan

aksi teror, penulis mengasumsikan bahwa pemahaman yang tidak kontekstual

meyebabkan sempitnya pemikiran seorang pembaca terjemahan. Seperti

pernyataan Umaruddin Masdar, pembacaan Alquran secara tekstual telah

9

Komaruddin Hidayat,Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik,

(Jakarta: Paramadina,1996) 10

Ahmad Muzakky,Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, (UIN-Malang Press, 2007)


(22)

menyebabkan dunia pemikiran Islam baik fundamentalis, tradisonalis maupun

yang liberalis tidak pernah simetris dengan kenyataan yang dihadapi umat.11

Dari pernyataan Umar Masdar ini, bila dikaitkan dengan aksi jihad maka

kecenderungan pembaca Alquran dengan tekstual akan berpengaruh terhadap

tingkah laku dalam memahami ayat tanpa mengindahkan kontekstualitas yang

sedang terjadi dalam masyarakat. Di sisi lain pembacaan terjemahan secara

tekstual juga menimbulkan polemik dalam tubuh tim penerjemah Kemenag,

seperti pada mulanya, gagasan mengoreksi terjemah Alquran terbitan

Kementerian Agama oleh Amir Majelis Mujahidin Ustadz Muhammad Thalib,

lahir dari perspektif liberalis yang mendiskreditkan kitab suci umat Islam. Mereka

mengopinikan, bahwa aksi bom yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh

kelompok teroris ideologis, yang mendasarkan tindakannya pada Alquran.

Sejumlah ayat Alquran dinilai berpotensi menumbuhkan radikalisme dan

mengajak orang beraliran keras. Pernyataan Dirjen Bimas Islam Depag, Prof. Dr.

Nasaruddin Umar, dalam simposium Nasional bertema: ‘Memutus Mata Rantai

Radikalisme dan Terorisme’ di Jakarta, Rabu 28 Juli 2010, adalah contoh

aktualnya. Nasaruddin Umar menyatakan: “Ada terjemahan harfiyah Alquran

yang berpotensi untuk mengajak orang beraliran keras. Dia mencontohkan, “Dan bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai mereka…(Qs. 2:191).12

11

Umaruddin Masdar,Agama Kolonial ; Colonial Mindset dalam Pemikiran Islam Liberal(Yogyakarta: Klik.R, 2003), h. 15-16.

12

SimposiumMemutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorismediadakan pada Rabu 28 Juli 2010, merupakan sebuah usaha perspektif dan semangat baru atas isu-isu radikalisme dan


(23)

Selain itu pula ada faktor lain yang menyebabkan timbulnya aksi jihad di luar

pemahaman teks, yaitu, latar belakang sosial, politik, maupun ekonomi seperti

yang dikemukakan Abdul Jamil dan Muchlis M Hanafi, masing-masing Kepala

Balitbang dan Diklat Kemenag dan Kepala Bidang Pengkajian Alquran Puslitbang

Kemenag,

Katanya, “pemahaman terhadap teks Alquran yang parsial, sempit, dan sikap antipati terhadap perbedaan pandangan keagamaanlah yang menyebabkan mereka

jadi teroris. Faktanya, mayoritas penduduk di Indonesia menggunakan terjemahan

itu, tapi jumlah teroris tergolong minoritas bahkan bisa dihitung jari. Pada

umumnya mereka anti pemerintah, termasuk anti terjemahan Alquran yang

diterbitkan pemerintah.”13

Dari pemaparan tersebut bisa diasumsikan adanya pengaruh ekstrinsik teks

kepada pembaca dan pembacaan teks secara harfiah melahirkan dampak dan

perang wacana bagaimana teks Alquran bisa mempengaruhi tindakan seseorang

untuk menjadi teroris. Berdasarkan pemikiran di atas penulis membahas skripsi

ini dengan judul: PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JIHAD ALQURAN

TERJEMAHAN KEMENTERIAN AGAMA (ANALISIS WACANA).

terorisme. Simposium ini melibatkan Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia,Kepolisian Negara Republik Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Lazuardi Birru dan Lembaga Survei Indonesia.

13

Abdul Jamil dan M Muchlis Hanafi,

http://puslitbang1.balitbangdiklat.kemenag.go.id/index.phpKemenag Bantah Terjemahan Picu Aksi Terorisme. Akses pada 25 juni 2011.


(24)

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

Untuk dapat menemukan sebuah pembahasan secara lebih mendalam, penulis

membatasi objek penelitiannya pada ayat-ayat yang sering dijadikan referensi

dalam memperdebatkan aksi jihad yang kerap terjadi di Indonesia. Yaitu QS

al-Anfal 8:39, QS at-Taubah 9:123, QS al-Baqarah 2:191 Sedangkan perumusan

masalah dalam skripsi ini akan didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Bagaimana Lajnah Pentashihan menerjemahkan ayat-ayat jihad yang

memungkinkan munculnya gerakan radikalisme?

2. Bagaimana wacana yang berkembang dalam masyarakat terhadap hasil

terjemahan ayat-ayat jihad Alquran oleh Kementerian Agama?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Skripsi ini ditulis untuk merumuskan ulang terjemah sebagai sebuah disiplin

ilmu yang melahirkan berbagai persepsi tentang dunia asing. Hal ini penting untuk

membuat paradigma baru tentang teks yang dikaitkan dengan konteks

ke-Indonesiaan.

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah

1. Mengetahui metode terjemahan Alquran yang digunakan oleh

Kementerian Agama RI .

2. Mengetahui sejauh mana dampak yang terjadi ketika pembaca memahami


(25)

D. Manfaat penelitian

1. Penelitian diharapkan menjadi bahan rujukan bagi penerjemah dalam

menerjemahkan ayat-ayat yang mengarah pada terorisme.

2. Penelitian ini juga diharapkan menambah wawasan wacana terhadap

terorisme.

3. Diharapkan menjadi salah satu solusi rujukan mengatasi masalah terorisme

yang didasari pemahaman tekstual terhadap ayat Alquran yang mengarah pada

gerakan terorisme.

E. Metodologi Penelitian

Metode yang penulis pergunakan dalam membahas skripsi ini adalah

deskriptif analitis yang berusaha memberikan pemecahan masalah dengan jalan

mengumpulkan data, menyusun dan mengklarifikasinya, menganalisis dan

menginterpretasinya.

Data yang penulis dapatkan dalam skripsi ini diperoleh dari beberapa sumber,

baik primer maupun sekunder. Sumber primer dalam hal ini adalah Alquran.

Selain itu, penulis juga melakukan pendekatan pustaka melalui buku –buku,

artikel dalam koran dan bunga rampai.

Adapun mengenai metode analisis wacana, penulis gunakan dalam penelitian

ini akan membatasi dalam hal analisis wacana kritis dalam buku Teun A van Dijk


(26)

Discourses, Interaction and Cognition. Secara general analisis wacana dalam buku ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi

dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang

terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang

berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun

strategi-strategi di dalamnya. Analisis wacana tidak hanya didasarkan pada

analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi.

Pemahaman produksi teks pada akhirnya akan memperoleh pengetahuan mengapa

teks bisa demikian. Van dijk juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi,

dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi atau

pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks-teks

tertentu. Oleh karena itu, analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang

ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi

wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan.

Secara teknis, penulisan skripsi ini didasarkan pada buku Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang berlaku di lingkungan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Qulity Development and

Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Riset Terdahulu

Skripsi ini mengacu pada riset skripsi Nur’aini dalam Analisis semantik pada kata

Ƹ Ʋ Ҹ lj

dan

ﻢ ﻜ ﺣ

pada Alquran Terjemaan Depag dengan H. B Jassin (Studi Kasus: Surat Al Maidah). Selain itu, Analisis Semantik Terhadap penerjemahan


(27)

ayat-ayat tentang pemberlakuan Syariat Islam dalam Alquran Terjemahan Departeman Agamaoleh Makyun Subuki.

Kedua Skripsi ini menjadi landasan penulis bahwa memang penggunaan

terjemahan ayat-ayat Alquran yang keliru bisa membuat pemahaman yang keliru

pula.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih dapat memberikan penjelasan secara sistematis dan komprehensif

dengan melihat persoalan secara objektif maka penulis menyusun skripsi ini

berdasarkan urutan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan: terdiri dari lima sub bab yaitu; Pertama, Latar belakang masalah; kedua pembatasan dan perumusan masalah; ketiga, tujuan dan kegunaan

penelitian; keempat metode pembahasan; kelima manfaat penelitian dan; keenam,

Sistematika penulisan.

Bab II Analisis Wacana dan teori terjemah, terdiri dari empat subbab yaitu: pertama; pengertian wacana, kerangka analisis, dan ragam analisis wacana;

Kedua:, Terjemah; Sejarah; Pengertian; dan Ragamnya, dan; Ketiga, Relasi antara

Analisis Wacana dan Teori terjemah, berisi tentang hubungan wacana dengan

teori penerjemahan.

Bab III Analsis Wacana Terhadap Penerjemahan Ayat-Ayat “Teror” dalam Alquran terjemahan Kemenag. Bab ini terdiri dari tiga sub bab, yaitu: Pertama,

Pengertian Terorisme, , identifikasi beberapa hal yang dapat mendorong aksi


(28)

Kedua, wacana tentang teror, dalam kasus yang terjadi di Indonesia, dan; hubungan terjemahan ayat Alquran Kementerian Agama terhadap terorisme.

Bab IV Analisis Wacana Terhadap Penerjemahan Ayat-Ayat “Teror” Dalam Alquran Terjemahan Kementerian Agama Bab ini terdiri dari tiga sub bab:

Pertama, Kekeliruan Pemahaman Mendasar Dalam Terjemahan Ayat-ayat Alquran Tentang Jihad dan Perang. Kedua, Analisis Semantik Terjemahan Ayat “teror” dalam Alquran. Ketiga, Pembentukan Wacana Terhadap Penerjemahan Ayat-ayat “teror”QS. 2:191, QS. 8:39, QS.9:123.Keempat,Bantahan Terjemahan “Teror”.Kelima,Analisis Wacana Kritis.


(29)

BAB II PIJAKAN TEORI A. Analisis Wacana

1. Pengertian Analisis Wacana

Wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya berkata, berucap. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi

wacana.14Sedangkan pengertian wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam

hirarki gramatikal tertinggi dan merupakan satuan gramatikal yang tertinggi atau

terbesar. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh, seperti novel,

cerpen, atau prosa dan puisi, seri ensiklopedi dan lain-lain serta paragraf, kalimat,

frase, dan kata yang membawa amanat lengkap. Jadi, wacana adalah unit

linguistik yang lebih besar dari kalimat atau klausa.15

Istilah wacana dipakai dalam bahasa indonesia dipakai sebagai padanan

(terjemahan) kata discourse dalam bahasa Inggris. Secara etimologis kata

discourseitu berasal dari bahasa latindiscursus‘lari kian kemari’. Katadiscourse

itu diturunkan dari kata discurrere. Bentuk discurrere itu merupakan gabungan dari dis dan currere ‘lari, berjalan kencang’.16 Wacana atau discourse kemudian

14

Douglas dalam Mulyana,Kajian Wacana : Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana.(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hal. 3.

15

Kridalaksana dalam Yoce Aliah.Analisis Wacana Kritis. (Bandung: Yrama, 2009)

16

Wabster dalam Baryadi Praptomo,Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. (Yogyakarta: Pustaka Gondhosuli, 2002), hal. 1.


(30)

diangkat sebagai istilah linguistik. Dalam linguistik, wacana dimengerti sebagai

satuan lingual (linguistic unit) yang berada di atas tataran kalimat.17

Bagaimana teks dapat menciptakan suatu wacana, secara garis besar, dapat

disimpulkan pengertian wacana adalah satuan bahasa terlengkap daripada fonem,

morfem, kata, klausa, kalimat dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang

berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata,

disampaikan secara lisan atau tertulis ini dapat berupa ucapan lisan dan dapat juga

berupa tulisan, tetapi persyaratanya harus dalam satu rangkaian dan dibentuk oleh

lebih dari sebuah kalimat.

Sebagai objek kajian dan penelitian kebahasaan, Aspek-aspek yang

terkandung didalam wacana menyuguhkan kajian yang sangat beragam. Dalam

memahami wacana ada tiga hal yang paling penting yaitu, teks, konteks dan

wacana. Teks dalam pengertian umum, seperti yang diungkap oleh Rina Ratih

adalah dunia semesta, bukan hanya pada teks tertulis atau teks lisan. Adat istiadat,

kebudayaan, film dan drama juga termasuk teks.18 Dengan kata lain teks adalah

semua bentuk bahasa yang bukan hanya kata-kata baik dalam bentuk lisan

maupun tertulis. Teks adalah bentuk pelembagaan sebuah peristiwa dalam bentuk

tulisan bahkan teks juga dapat digambarkan sebagai setiap bentuk bahasa yang

tidak terbatas pada bahasa verbal lisan dan tulisan.19Konteks adalah situasi di luar

17

Baryadi Praptomo, Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. (Yogyakarta: Pustaka Gondhosuli, 2002), hal. 2.

18

Rina Ratih,“Pendekatan Intertekstual dalam pengkajian sastra,” dalam Metodologi Penelitian Sastra, ed. Jabrohim (Yogyakarta: Hanindita Graha Widia, 2001), h. 137

19

Alex Sobur,Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framming,(Bandung: Rosdakarya, 2001)h. 53


(31)

teks yang mempengaruhi penggunaan bahasa. Sedangkan wacana adalah apabila

konteks dan teks berada dan dimaknai secara bersama-sama.

Dalam konteks wacana, menurut J. D. Parera, harus terdiri dari tiga hal; (i)

setting, menyangkut waktu, tempat, dan situasi kejadian (ii) kegiatan, semua kegiatan yang terjadi dalam interaksi berbahasa dan (iii) relasi, hubungan dan

jenis hubungan yang terjadi dalam interaksi tersebut.20

Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan

memengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana

teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimasukkan dan sebagainya. Di sini wacana

kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian dari

analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama

dalam suatu proses komunikasi.

Di sini tidak hanya proses kognisi dalam arti umum, tetapi juga gambaran

spesifik dari budaya yang dibawa. Studi mengenai bahasa di sini memasukkan

konteks, karena bahasa selalu berada dalam konteks, dan tidak ada tindakan

komunikasi tanpa partisipan, interteks, situasi dan sebagainya.21

2. Analisis Wacana Teun van Dijk

Secara garis besar analisis wacana adalah tindakan dalam mengupas

ideologi yang tersirat dalam sebuah teks. Karena penelitian ini menggunakan

20

J. D. Parera,Teori Semantik(Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 120-121. 21

Eriyanto,Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. (Yogyakarta: LKIS, 2001) h. 9.


(32)

model teori Van Dijk maka perlu diketahui terminologi analisis wacana dari Van

Dijk sendiri yang dikutip dari buku“Aims of Critical Discourse Analysis”

Critical Discourse Analysis (CDA) has beome the general label for study of text and tal, emerging from critical linguistics, critical semiotics and in general rom socio-politically conscious and oppsitional way of investigating language, discourse and communication. As is the case many fields, approaches, and subdiscipline in language and discourse studies, however it is not easy precisely delimit the special principles, practice, aims, theories or methods of CDA.22

Studi wacana ini berasal dari analisis linguitik kritis. Merambah pada ilmu

social lainnya, seperti analisis semiotik kritis, bahasa, wacana, komunikasi, dan

ilmu sosial lainnya. Meski awalnya berasal dari bahasan wacana linguistic, tapi

tidak menutup kesempatan pada ilmu sosial lainnya.

Van Dijk memfokuskan kajiannya pada peranan strategis wacana dalam

proses distribusi dan reproduksi pengaruh hegemoni atau kekuasaan tertentu.

Salah satu elemen penting dalam proses ananlisi terhadap relasi kekuasaan atau

hegemoni dengan wacana adalah pola-pola akses terhadap wacana publik yang

tertuju pada kelompok-kelompok masyarakat. Secara teoritis bisa dikatakan agar

relasi antara suatu hegemoni dengan wacana bisa terlihat jelas, maka kita

membutuhkan hubungan kognitif dari bentuk-bentuk masyarakat, ilmu

pengetahuan, ideologi beragam representasi sosial lain yang terkait dengan pola

pikir sosial. Kaitannya adalah hubungan individu dengan masyarakat, serta

struktur sosial makro dengan mikro.

22

Teun Van Dijk,Aims of Critical Discourse Analysis, (Japan Siscorse, 1995) Vol. 1, h. 17.


(33)

Menurut Van Dijk, analisis wacana memiliki tujuan ganda: sebuah teoretis

sistematis dan deskriptif, yaitu struktur dan strategi di berbagai tingkatan wacana

lissan tertulis, dilihat baik sebagi objek tekstual dan sebagai bentuk praktik sosial

budaya antar tindakan dan hubungan. Sifat teks ini berbicara dengan relevan pada

struktur kognitif, sosial, budaya dan konteks sejarah. Dengan kata lain studi

analisis teks dalam konteks. Momentum penting dalam pendekatan tersebut

terletak pada fokus khusus yang terkait pada isu sosial-politik, dan terutama

membuat eksplisist cara penyalahgunaan kekuasaan kelompok dan mengakibatkan

ketidaksetaraan, legitimasi, atau ditantang dalam dan dengan wacana.23

3. Kerangka Wacana Van Dijk

Wacana digambarkan mempunyai tiga dimensi, yaitu teks, kognisi sosial

dan konteks sosial. Inti analisis Van Dijk adalah menggbungkan ketiga dimensi

tersebut dalam kesatuan analisis.

23

Teun Van Dijk,Discourse and society: Vol 4(2). (London: Newbury Park and New Delhi: Sage, 1993), h. 249.


(34)

Konteks Sosial

Kognisi Sosial

Teks

Gambar 1.24

Diagram Model Analisis Van Dijk

Sedangkan skema penelitian dan metode yang biasa dilakukan dalam

kerangka Van Dijk adalah sebagai berikut:

Tabel 125

Skema Penelitian dan Metode Van Dijk

Struktur Metode

Teks

Menganalisis strategi wacana yang digunakan untuk menggambarkan

seseorang atau peristiwa tertentu. Bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk memarjinalkan suatu

kelompok, gagasan atau peristiwa tertentu.

Linguistik Kritis

Kognisi Soisial

Menganalisis bagaimana kognisi penulis dalam memahami seseorang

atau peristiwa tertentu yang akan ditulis.

Wawancara

Konteks Sosial

Menganaisis bagaimana wacana yang

Studi Pustaka, penelusuran sejarah, dan wawancara.

24

Eriyanto, Analisis Wacana:Pengantar Analisis Teks Media, h. 224 25


(35)

berkembang di masyarakat, proses produksi dan reproduksi seseorang

atau peristiwa digambarkan.

a. Dimensi Teks

Sebagai bagian dari model analisis wacana dalam pewacanaan yang lebih

kompleks, Teun Van Dijk membagi dimensi teks pada pendekatan pencermatan

atas tiga tingkatan struktur wacana, yaitu: Struktur makro, strukutur supra, dan

struktur mikro (macrostructure, superstructure, and microstructure). Van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang dapat digunakan untuk melihat suatu

wacana yang terdiri dari berbagai tingkatan atau struktur dari teks yaitu

Tabel 2

Struktur Teks Van Dijk26

Struktur Makro

Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema yang diangkat suatu teks

Struktur Supra

Kerangka suatu teks: bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan

Struktur Mikro

Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya bahasa yang dipakai oleh suatu teks.

26


(36)

1) Struktur Makro

Struktur makro dalam teori wacana memiliki fungsi lebih terbatas. Hal ini

digunakan untuk menjelaskan berbagai pengertian tentang makna global, seperti

topik, tema, atau inti. Ini berarti bahwa struktur makro dalam wacana adalah objek

semantik. Menurut prinsip-prinsip semantik eksplisit, aturan yang harus

dirumuskan untuk menghubungkan makna kata dan kalimat (yaitu, struktur lokal)

dengan struktur makro semantik. Selanjutnya, struktur makro dalam teori wacana

diperlukan untuk menjelaskan gagasan intuitif koherensi: wacana A tidak hanya

koheren di tingkat lokal (misalnya, dengan koneksi berpasangan antara kalimat),

tetapi juga di tingkat global.27

Van Dijk menggambarkan gagasan struktur global adalah relatif jika hal itu

dapat didefinisikan hanya berkenaan dengan beberapa gagasan seperti struktur

lokal. Hal yang sama harus berlaku untuk gagasan struktur makro. Struktur makro

pada akhirnya dibutuhkan dalam menentukan makna global. Dalam prosesnya,

teori umum interaksi berbagai jenis struktur sosial, seperti konteks sosial dan

frame interaksi, aturan, konvensi, norma, dan berbagai kategori peserta seperti

fungsi atau peran, mungkin terkait dengan tindakan global dan tidak selalu

tindakan lokal masing-masing.28

Maka dalam artian ini pewacanaan yang disajikan dalam suatu teks

interaksi tidak hanya memungkinkan perencanaan dan pengendalian urutan

27

Teun A. van Dijk, Macrostructures An Interdisciplinary Study of Global Structures in Discourse, Interaction, and Cognition, (Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers 1980), h. 10.

28


(37)

tindakan di masa depan dan global tetapi juga menjamin koherensi dan fungsi

yang tepat dalam konteks sosial. Van Dijk mengasumsikan bahwa struktur makro

adalah semantik, analisis ini dimaksudkan sebagai kontribusi terhadap struktur

semantik global dalam bahasa alami.

Struktur global pada makro struktur adalah bagian dari wacana. Hal yang

sama berlaku untuk hubungan antara macrostructures semantik dan pragmatis. Wacana dalam bahasa alami bukan hanya objek gramatikal tapi ucapan pada saat

yang sama yang dapat berfungsi sebagai aksi sosial (tindak tutur). Urutan tindak

tutur, diungkapkan oleh ucapan-ucapan berikutnya kalimat dari wacana, juga

dapat diselenggarakan di tingkat global, sebagai tindakan macrospeech. Dengan kata lain, wacana juga mungkin menunjukkan struktur global yang tidak boleh

diperhitungkan dalam semantik atau dalam istilah skema melainkan dalam hal

tindakan, interaksi, dan khususnya tindak tutur dan konteks pragmatis yang sesuai

atau tidak.

2) Struktur Supra

Struktur supra atau (suprastructure) menunjuk pada kerangka suatu wacana atau skematika, seperti kelaziman percakapan atau tulisan yang dimulai dari

pendahuluan, dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri

dengan penutup.29Jadi struktur supra adalah salah satu cara untuk lebih mengatur

29

Sakban Rosidi,Analisis Wacana Kritis Sebagai Ragam Paradigma Kajian Wacana. Makalah pernah disajikan di Sekolah Bahasa, atas prakarsa Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Bahasa, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 15 Desember 2007.


(38)

urutan kalimat atau proposisi adalah untuk menetapkan berbagai fungsi untuk

kalimat-kalimat atau proposisi dalam urutan.

Dengan demikian, kita telah melihat bahwa kita dapat mengatakannya

'retoris', berfungsi sebagai 'penjelasan', 'spesifikasi,' 'perbandingan', atau

'kontradiksi. "Dalam hal ini Van Dijk memberikan kalimat atau proposisi untuk

kategori fungsional, yang menentukan jenis hubungan fungsional yang memiliki

hubungan dengan kalimat atau proposisi lainnya. Dengan demikian, B adalah

'spesifikasi' A, jika informasi dari B memerlukan informasi dari A, yang berarti

bahwa B harus memberikan keterangan lebih dari informasi umum bahwa A dan

B memiliki kesamaan.30Berikut ini adalah jenis-jenis struktur supra

1. Narasi:, seperti novel, drama, cerita pendek, cerita rakyat, dan mitos,

Dijk menceritakan kisah-kisah dalam percakapan sehari-hari untuk

mengungkapkan pengalaman pribadi atau untuk mengesankan

pendengar dengan apa yang terjadi pada diri kita.

2. Argumen: merupakan struktur penalaran dan argumentasi Skema untuk

penalaran diterima di dalam silogisme, dengan demikian, merupakan

karakteristik untuk apa yang kita pahami dengan gagasan yang lebih

umum dari suprastruktur.

3. Makalah Ilmiah atau Laporan Eksperimental: karya ilmiah yang

memiliki jenis skema konvensional atau bahkan kelembagaan yang

lebih dikenal pembaca buku juga menentukan skema dalam wacana.

30

Teun A. van Dijk, Macrostructures An Interdisciplinary Study of Global Structures in Discourse, Interaction, and Cognition, h. 108.


(39)

4. Artikel Surat Kabar: artikel dari surat kabar juga memiliki skema

tertentu dalam menentukan wacana yang tersusun dari pendahuluan,

ringkasan, maupun spesifikasi di dalamnya.

3) Struktur Mikro

Istilah macrostructures diperkenalkan oleh Van Dijk didasarkan atas kolektif praktis dan bukanlah sebagi istilah teoretis. Struktur mikro adalah nama

struktur yang terbangun dan berproses pada tingkat terpendek (Kata, frasa, klausa,

kalimat, dan hubungan antara kalimat), dengan kata lain mikro struktur

menjelaskan struktur wacana secara langsung.31

Istilah pertama terkenal dari tata bahasa klasik dan istilah kedua telah

diperkenalkan terutama yang disebut tata bahasa teks. Tata bahasa teks adalah tata

bahasa (apapun) yang tidak terbatas pada deskripsi kalimat yang terisolasi tetapi

juga memperhitungkan struktur di luar tingkat kalimat atau struktur karakteristik

wacana dan percakapan secara keseluruhan. Dengan teks kita memahami struktur

dasar abstrak wacana. Oleh karena itu, wacana merupakan gagasan observasional,

sedangkan teks adalah gagasan teoritis. Pada prinsipnya, wacana biasanya harus

menunjukkan struktur sentensial dan tekstual untuk dapat diterima dalam sebuah

komunitas bahasa, tapi ini tidak berarti bahwa teks dan wacana benar-benar selalu

memiliki struktur ini.

31

Ibid, h. 29. Diskursus kewacanaan yang dijelaskan oleh Van Dijk membuat suatu perbedaan signifikan antara penyebutan teks dan wacana 'wacana', bukan istilah 'teks', yang hanya digunakan dalam rekonstruksi tata bahasa abstrak bahasa alami. Perbedaan serupa sebenarnya akan berada di tempat untuk gagasan kalimat, yang juga digunakan ambigu baik sebagai istilah teoretis atau sebagai istilah observasional.


(40)

Jika dikaitkan dengan apa yang disebut dengan satuan mikro adalah wacana

struktur makro tidak akan terbentuk apabila tidak memiliki kelengkapan

komponen struktur mikro yang menyusunnya. Dengan kata lain microstructures

memegang peranan penting dalam pembentukan macrostructures yang saling berkaitan dengan konteks yang ada.

Ini berarti bahwa wacana global ditentukan oleh hubungan antara struktur

makro di satu sisi dan struktur semantik kalimat dan urutan (yaitu, mikro) di sisi

lain. Dalam bab ini, maka, penulis mulai merumuskan berbagai aturan yang

berkaitan dengan struktur makro-mikro. Meskipun memberikan ringkasan singkat

dari 'microlevel' analisis wacana (Fenomena seperti koneksi linear dan koherensi),

penulis juga membatasi diri pada semantik makro seperti tata bahasa dan hanya

menentukan bagaimana mikro menentukan, dan ditentukan oleh, struktur makro.

32

Hipotesa dari bab ini, kemudian, adalah bahwa wacana tidak dapat cukup

diperhitungkan di level mikro saja. Tanpa tingkat struktur makro, semantik tidak

dapat menjelaskan berbagai sifatnya.

Makna global dari wacana pada saat yang sama terlihat bahwa interpretasi

makro juga merupakan kondisi yang diperlukan untuk interpretasi kalimat dan

pembentukan koherensi lokal di level mikro tersebut. Akhirnya, hal ini diklaim

32

Van Dijk dalamMacrostructures an Interdisciplinary Study of Global Structures in Discourse, Interaction, and Cognition, menjelaskan bagaimana struktur makro dan mikro itu saling berkaitan. Pada ranah tertentu yang tingkatannya lebih tinggi untuk menunjukkan relevansi linguistik dan tata bahasa dari analisis macrostructures semantik, Van Dijk juga menganalisis berbagai cara di mana struktur makro mungkin lebih atau kurang langsung muncul dalam 'permukaan struktur' kalimat masing-masing wacana.


(41)

bahwa komponen makro adalah bagian sah dari semantik linguistik wacana dan

bukan hanya sebuah komponen dari model psikologis pengolahan wacana.33

b. Kognisi Sosial

Dalam kerangka analisis Van Dijk, pentingnya kognisi soial yaitu sebagai

model analisis pada kesadaran mental wartawan yang membentuk teks tersebut.

Karena, setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan,

prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa.. Dijk menggambarkan

bahwa setiap penulis memiliki beragam nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi

yang didapatkan dari kehidupannya,

Peristiwa dalam sebuah penulisan wacana dipahami berdasarkan skema atau

model. Skema dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup cara

pandang manusia, peranan sosial dan peristiwa liannya pada tiap penulis. Terdapat

beberapa skema/model yang dapat digunakan dalam analisis kognisi sosial

penulis, digambarkan sebagai berikut:34

Tabel 3

Skema/Model Kognisi Sosial Van Dijk Skema Person (Person Schemas)

Skema ini menjelaskan bagaimana seseorang menggambarkan dan memandang orang lain.

Skema Diri (Self Schemas)

Skema yang berhubungan dengan bagaimana diri sendiri dipandang, dipahami, dan digambarkan oleh seseorang.

Skema Peran (Role Schemas)

Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang dan menggambarkan peranan dan posisi seseorang dalam

masyarakat.

33

Teun A. van Dijk, Macrostructures An Interdisciplinary Study of Global Structures in Discourse, Interaction, and Cognition, h. 26.

34


(42)

Skema Peristiwa (Event Schemas)

Skema yang paling sering dipakai, karena setiap peristiwa selalu ditasirkan dan dimaknai dengan skema tertentu

c. Konteks Sosial

Dimensi ketiga dari analisis Van Dijk ini adalah konteks sosial, yaitu

bagimana wacana komunikasi diproduksi dalam masyarakat. Titik tekannya

adalah untuk menunjukkan makna dihayati bersama, kekuasaan sosial diproduksi

lewat praktik diskursus dan legitimasi. Menurut Van Dijk, terdapat dua poin

penting, yakni praktik kekuasaan (power) dan akses (acces).

Praktik kekuasaan didefinisikan sebagai kepemilikan oleh suatu kelompok

atau anggota untuk mengontrol kelompok atau anggota lainnya. Hal ini disebut

dengan dominasi, karena praktik seperti ini dapat memengaruhi letak atau konteks

sosial pemberitaan tersebut.

Kedua, akses dalam memengaruhi wacana. Akses ini menjelaskan

bagaimana kaum mayoritas memiliki akses yang lebih besar dibandingkan kaum

minoritas. Oleh karenanya, kaum mayoritas lebih punya akses kepada media

dalam memengaruhi wacana.

B. Teori Penerjemahan Alquran

1. Pengertian Terjemah

Sebelum menganalisis wacana pada ayat-ayat jihad dalam Alquran, ada

baiknya penulis menyinggung teori penerjemahan Alquran yang telah menjadi


(43)

Arab, tarjamah. Bahasa Arab sendiri menyerap istilah tersebut dari bahsa Armenia, turjuman35. Kata turjuman sebentuk dengan tarjaman dan turjuman yang berarti orang yang mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain36.

Dalam kegiatan penerjemahan, setiap jenis nash sepatutnya diperlakukan secara khusus. Perlakuan ini menyangkut masalah teoretis yang bertalian dengan

metode dan prosedur penerjemahan. Karena itu penerjemahan nash keagamaan berbeda dengan penerjemahan nash ilmiah, nas sastra dan jenis nas lainnya. Perbedaan perlakuan ini terkait erat dengan karakteristik isi dan bahasa yang

mengungkapkan konteks wacana di dalamnya.

Penerjemahan Alquran memang memerlukan penanganan tersendiri

karena bagi umat Islam, Alquran memiliki aneka dimensi dan fungsi yang perlu

dijaga. Di samping itu, cara pandang penerjemah nas-nas keagamaan tentu saja

berbeda dengan sudut pandang penerjemah lain.

Proses penerjemahan Alquran merupakan rangkaian tindakan yang

dilakukan penerjemah berdasarkan atas kualifikasinya dalam mengalihkan makna

dan maksud nas sumber ke dalam nas penerima untuk memperoleh terjemahan

yang berkualitas.

35

M. Didawi, dalam Syihabuddin,Penerjemahan Arab Indonesia.(Jakarta: Humaniora, 2005), h. 7

36


(44)

Terjemah memiliki arti mengalihbahasakan, sedangkan secara

terminologis, begitu banyak definisi yang tersaji. J. Levy seperti dikutip

Nurachman Hanafi mendefinisikan terjemah sebagai “a creative process which

always leaves the translation of freedom of choice between several approximately

equivalent possibilities of relizing situational meaning”.37Atau seperti dikutipnya

juga, Julian House menyebut terjemah sebagai “replacement of text in the source language by semantically and pragmatically equivalent text in the target

language”.38 Singkat kata, terjemah merupakan aktifitas pemindahan pesan dari

bahasa sumber ke bahasa sasaran, tanpa mengubah makna dan gaya bahasa yang

terkandung di dalamnya.

Meski secara pengertian terlihat sederhana, namun proses menerjemah

tidaklah mudah. Dalam proses penerjemahan, hal ihwal teks melewati serangkaian

interpretasi ulang tentang apa yang dipahami oleh seorang penerjemah pada

sebuah bahasa untuk diterjemahkan ke bahasa lainnya. Proses ini tetunya

melewati sebuah proses pencitraan, di mana gambaran tentang sebuah konsep,

baik itu sebagai sebuah peristiwa atau sebuah benda, direpresentasikan hanya

dengan satu atau beberapa kata. Hal ini dikarenakan bahasa merupakan simbol

dan sistem penandaan dari dunia nyata. Realitas adalah sebuah realitas yang

37

Nurrachman Hanafi,Teori dan Seni Menerjemahkaan, (Flores; Nusa Indah, 1986) h. 24 38


(45)

diketahui setelah dialihbahasakan, atau, realitas adalah realitas yang

terbahasakan.39

2. Unsur Teori Menerjemah

Dalam bidang linguistik, penerjemahan memang dikelompokkan dalam

bidang linguistik terapan karena sebagai teori yang yang telah dirumuskan dalam

linguistik teoretis diterapkan pada bidang penerjemahan. Linguistik teoretis

berfungsi sebagai pengembangan dan pemerkaya teori penerjemahan.

Lingusitik terapan atau linguistik interdisipliner merupakan sutu disiplin

ilmu karena dapat memenuhi syarat-syarat keilmiahan, yaitu bahwa ilmu ini

dikembangkan dengan metode ilmiah yang diakui kesahihannya di kalangan para

ahli bahasa secara objektif40.

Jadi tugas teori terjemah ialah (1) mengidentifikasi dan mendefinisikan

masah-masalah penerjemahan, (2) menunjukkan faktor-faktor yang perlu

dipertimbangkan dalam memecahkan masalah tersebut, (3) menyenaraikan

prosedur penerjemahan yang dapat diterapkan, dan (4) merekomendasikan

prosedur penerjemahan yang paling sesuai. Oleh karena itu, teori penerjemahan

yang berguna ialah yang muncul dari praktik penerjemahan. Tidak ada praktik

berarti tidak ada penerjemahan41.

39

H. Tedjoworo,Imaji dan Imajinasi; Suatu telaah filsafat postmodernisme, (Yoyakarta; Kanisius, 2001), h.27

40

Syihabuddin,Penerjemahan Arab Indonesiah. 14. 41


(46)

Unsur teori sangatlah penting bagi penerjemah yang berkedudukan sebagai

mediator antara penulis dan pembaca. Dia bertugas mengungkapkan ide penulis

kepada para pembaca dengan bahasa penerima yang ekuivalen dengan bahasa

sumber.42

3. Metode Terjemahan Alquran

Kualitas terjemahan Alquran sangat berkaitan erat dengan keterpahaman

terjemahan itu sendiri. Kualitas ini dapat bersifat intrinsik yaitu bertalian dengan

ketepatan, kejelasan, dan kewajaran nash. Namun, dapat pula bersifat ekstrinsik, yaitu berkenan dengan tanggapan pembaca dan pemahamannya terhadap

terjemahan.

Dalam telaah tentang nash, kualitas intrinsik tersebut diistilahkan dengan keterbacaan, keterpahaman, dan atau ketedasan. Ketiga istilah tersebut dipahami

secara bergantian dan didefinisikan sebagai derajat kemudahan sebuah nash untuk

dapat dipahami. Maka dalam hal ini, dari sudut tinjauan teoretis terdapat dua

metode utama dalam penerjemahan, yaitu metode hariah (literal) dan metode

maknawiah.43

a. TerjemahanHarfiah

Terjemahanharfiahadalah pengalihan bahasa yang dilakukan sesuai urut-urutan kata bahasa sumber. Dalam hal ini terdapat upaya memindahkan sejumlah

kata dari suatu bahasa kepada bahasa lain dengan kosa kata dan susunan bahasa

42

Ibid, h. 15. 43


(47)

yang susuai dengan bahasa aslinya.44Menurut Az-Zarqaniy, terjemahan seperti ini

tak ubahnya dengan kegiatan mencari padanan kata. Terjemahan ini juga disebut

dengan terjemahanlafdziyahataumusawiah

Terjemahan jenis ini dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata

yang terdapat dalam teks terlebih dahulu. Kemudian dicari padanan kata dalam

bentuk bahasa penerima, dan disusun sesuai dengan urut-urutan kata bahasa

sumber meskipun maksud kalimat menjadi tidak jelas. Sejatinya

terjemahanharfiahdalam definisi urut-urutan kata dan cakupan makna persis seperti bahasa sumber tidak mungkin dilakukan, karena masing-masing bahasa

selain mempunyai ciri khas sendiri dalam urut-urutan kata dan makna yang

terkandung di dalamnya.

b. Terjemahantafsiriyahataumaknawiah

Terjemahan jenis ini adalah alih bahasa tanpa terikat dengan urut-urutan

kata atau susunan kalimat bahasa sumber. Dalam definisi lain adalah

menerangkan pengertian yang terkandung dalam suatu kalam dengan bahasa yang

lain dengan terlepas dari kosa kata dan struktur kalimat bahasa lainnya.

Terjemahantafsiriyahmengutamakan ketepatan makna dan dimaksud secara sempurna dengan konsekuensi terjadi perubahan urut-urutan kata atau susunan

kalimat. Karena itu terjemahan ini juga dinamakan dengan

terjemahanmaknawiahkarena mendahulukan ketepatan makna. Az-Zarqaniy dan

44

Miftah Faridl dan Drs. Agus Syihabuddin,Al-Qur’an Sumber Hukum Islam(Bandung: Pustaka, 1989)h. 307


(48)

Manna’ al-Qattan sama-sama menamakan terjemahantafsiriyahdengan terjemahanmaknawiah, walaupun di antara keduanya memiliki perbedaan dalam aspek lain.45 Az-Zarqaniy memberikan nama terjemahantafsiriyahkarena teknik yang digunakan oleh penerjemah dalam memperoleh makna dan maksud yang

tepat, mirip dengan teknik penafsiran, padahal bukan semata-mata tafsir.

Metode yang dipakai dalam terjemahantafsiriyahadalah dengan memahami terlebih dahulu maksud teks bahasa sumber, kemudian maksud

tersebut disusun dalam kalimat bahasa penerima tanpa terikat dengan urut-urutan

kata atau kalimat bahasa sumber. Berikut ini adalah syarat-syarat kualifikasi

penerjemahan tafsiriyah kriteria diperbolehkannya sebuah terjemahan dapat diidentifikasi46:

a) Penerjemahan harus sesuai dengan konteks bahasa sumber dan konteks

bahasa penerima. Yang dimaksudkan penerjemahan harus sesuai

dengan konteks bahasa sumber adalah penerjemahan harus benar-benar

sejalan dengan yang dibicarakan dalam bahasa sumber. Contohnya

adalah tentang kata . Dalam konteks kisah Nabi Yusuf dalam

surat Yusuf ayat 10, kata berbeda dengan kata dalam

konteks teknologi otomotif yang berarti mobil. Kata dalam

kisah Nabi Yusuf tersebut bermaknabeberapa orang musafir.

45

Ibid, h. 307.

46

Dr. Ismail Lubis, MA.,Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Departemen Agama Edisi 1990, Jogja: Tiara Wacana, 2001, hal. 62-63


(49)

b) Penerjemahan harus sesuai dengan gaya bahasa sumber dan gaya

bahasa penerima. Yang dimaksud dalam poin ini adalah penerjemahan

benar-benar memperlihatkan kesesuaian gaya bahasa yang

dipertemukan. Contoh yang dapat diajukan adalah: gaya ath-thibāq

(ق ﺎ ﺒ ﻄ ﻟ ا) dalam bahasa arab sama dengan gaya bahasa antitesis dalam

bahasa Indonesia. Secara etimologi berarti berlawanan atau

bertentangan. Selain itu, terdapat beberapa gaya bahasa yang mesti

diketahui sebelum melakukan terjemahan, seperti:

(i) Gaya bahasa al-itnāb (ب ﺎ ﻨ ط ﻻ ا) dalam bahasa Arab sepadan dengan

gaya bahasapleonasme47 dalam bahasa Indonesia. Contohnya dalam kalimat bahasa Indonesia: Kejadian itu saya lihatdengan mata kepala sendiri. Dalam al-Qur’an contohnya dalam ayat : ل َﺰ ﻨ ﺗ ... (Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril...).

(ii) Dalam bahasa Indonesia terdapat gaya bahasametonimia48 yang sepadan dengan gaya bahasamajaz mursaldalam bahasa Arab,

47

Dr. Ismail Lubis, MA.,Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Departemen Agama Edisi 1990.Gaya bahasapleonasmeadalah gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata lebih banyak dari yang diperlukan untuk menyatakan suatu pikiran atau gagasan. Namun, meskipun kata yang berlebihan tersebut dihilangkan, maknanya tetap utuh.

48

Metonimiaadalah gaya bahasa yang menggunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal yang lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. yang memiliki artitangan


(50)

contohnya: yang memiliki arti dia banyak pemberiannya terhadapku.

c) Penerjemahan harus sesuai dengan ciri khas bahasa sumber dan ciri

khas bahasa penerima. Untuk memperoleh deskripsi yang jelas tentang

ciri khas bahasa sumber dan bahasa penerima akan dilihat

dariperistiwa bahasa,contohnya adalah:

(i) Bahasa Indonesia tidak mengenalfleksi(perubahan bentuk kata), baik konjugasi/tasrif (perubahan bentuk kata kerja),

maupundeklinasi/i’rab(perubahan bentuk kata benda/sifat) seperti

terdapat dalam bahasa Arab.

Konjugasi Tasrif

Bahasa Indonesia Bahasa Arab

Saya pergike pasar

Saya telah pergike pasar ق ﻮ ﺴ ﻟ ا

Pergilahke pasar

Deklinasi

Bahasa Indonesia Bahasa Arab

Mansursudah datang ٌر ﻮ ﺼ ﻨ ﻣ ء ﺎ ﺟ Saya sudah melihatMansur

Saya pergi denganMansur

Ali kecil


(51)

(ii) Bahasa Indonesia tidak mengenaljenis kelamin kataseperti yang terdapat dalam bahasa Arab.

Bahasa Indonesia

Bahasa Arab

Kamu kamu laki-laki :َﺖ ﻧ أ

ِﺖ ﻧ أ : kamu perempuan

Ia ia laki-laki:

: ia perempuan

Mereka mereka laki-laki:

: mereka perempuan Kamu sekalian kamu sekalian laki-laki:ﻢ ﺘ ﻧ أ

ﻦ ﺘ ﻧ أ : kamu sekalian perempuan

(iii) Bahasa Indonesia tidak mengenal bentukjamak dualisdan bentukjamak pluralis(jam’u at-taksir/broken plural, jam’u al -muzakkar as-salim/masculine sound plural, jam’u al-mu’annas as -salim/feminime sound plural) seperti dalam bahasa Arab.

Bahasa Indonesia Bahasa Arab

Sebuah buku ٌب ﺎ ﺘ ﻛ

Dua buah buku ِن ﺎ ﺑ ﺎ ﺘ ﻛ


(52)

BAB III

WACANA TERORISME DAN PENGGUNAAN AYAT-AYAT JIHAD DALAM ALQURAN TERJEMAHAN KEMENAG

A. Pengertian Terorisme

Dalam masyarakat Indonesia term terorisme akan selalu menjadi momok

perdebatan dan seolah-olah kerap kali dikaitkan dengan penganut Islam radikal.

Padahal kenyataanya gerakan terorisme tidak diajarkan oleh agama manapun.

Para ahli kontraterorisme mengatakan, teroris adalah para pelaku yang tidak

tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan

angkatan bersenjata tersebut.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan

"terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis,

pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Kata

teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata Latin terrere yang berarti

membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa menimbulkan

kengerian. Pada dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang

memiliki konotasi sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan

dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.49

49

Abdul Wahid dkk,Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum,


(53)

Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European

Convention on the Suppression of Terrorism (ECST) di Eropa tahun 1977 terjadi

perluasan paradigma arti dari Crimes Againts State menjadi Crimes Against

Humanity. Crimes Againts Humanity meliputi tindak pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan dan masyarakat umum ada

dalam suasana teror.50

Sedangkan Menurut Loebby Loqman,terorisme sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana tidak menentu serta menciptakan ketidakpercayaan

masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau

kelompok tertentu untuk menaati kehendak pelaku teror. Kegiatan terorisme

umumnya di lakukan dengan sasaran acak, bukan langsung kepada

lawan,sehingga dengan dilakukan teror tersebut diharapkan akan mendapatkan

perhatian pihak yang dituju.51

B. Terorisme dan Warisan Pencerahan

Ideologi eksplisit para teroris yang menyerang Twin Towers dan Pentagon

pada 11/9 ialah penolakan atas jenis modernitas dan sekularisasi yang di dalam

tradisi filsafat diasosiasikan dengan konsep Pencerahan. Dalam filsafat,

Pencerahan menggambarkan bukan hanya sebuah periode spesifik, yang secara

historis bertepatan dengan abad ke-18 melainkan juga afirmasi atas demokrasi dan

50

ibid,h., 23. 51

Loqman Loebby,Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Indonesia,(Jakarta: Universitas Indonesia,1990) h. 98


(54)

pemisahan kekuasaan politik dari kepercayaan keagamaan yang dijadikan fokus

oleh revolusi Perancis dan Revolusi Amerika.52

Dalam tulisannya, Kant menyatakan bahwa pencerahan ialah kebangkitan

manusia dari ketidakdewasaanya yang ditimpakan pada dirinya sendiri.

Ketidakdewasaan merupakan ketidakmampuan menggunakan pemahamannya

sendir tanpa bimbingan orang lain. Lebih sekadar segugus kepercayaan.

Pencerahan menandai putusnya hubungan masa lalu, yang dimungkinkan hanya

atas ketidaktergantungan individu di hadapan otoritas. Tepatnya

ketidaktergantungan inilah merupakan ciri modernitas.53

Lalu apa kaitan terorisme dengan Pencerahan? Di sini Habermas berpaling

dari modernitas dan menganggap bahwa fundamentalisme merupakan

inkarnasinya. Habermas berpendapat bahwa fundamentalisme sebagai suatu

fenomen yang secara eksklusif bersifat modern. Sebagaimana Kant, Habermas

memahami modernitas lebih merupakan suatu perubahan dalam sikap

kepercayaan dari pada sebuah korpus kepercayaan-kepercayaan yang koheren.54

Suatu sikap kepercayaan lebih menunjukkan jalan di mana kita percaya

ketimbang apa yang kita percaya. Jadi, fundamentalisme kurang berurusan dengan

suatu teks atau dogma keagamaan yang spesifik dan lebih berurusan dengan

modaitas kepercayaan. Apakah kita mendiskusikan kepercayaan fundamentalisme

52

Borradori Giovanna,Filsafat Dalam Masa Teror, Dialog dengan Jurgen Habermas dan Jacques Derrida,Pnrj. St Sunardi (Jakarta: Kompas, 2005), h. 22

53

Ibid, h. 22 54


(55)

Islam, Kristiani, atau Hindu, kita bicara tentang reaksi dalam bentuk kekerasan

terhadap cara modern memahami dan mempraktikkan agama. Dalam perspektif

ini, fundamentalisme bukanlah gerak kembali yang sederhana kepada suatu cara

pra-modern dalam berhubungan dengan agama: itu suatu respon panik kepada

modernitas yang dipersepsikan lebih sebagai ancaman daripada peluang.55

Selain hal tadi Habermas pun menyetujui bahwa setiap doktrin agama

didasarkan pada sebuah inti kepercayaan dogmatis; jika tidak, tidak akan ada iman

yang dimunculkannya. Namun dengan serbuan modernitas, agama-agama harus

“melepaskan diri dari doktrin mereka yang bersifat mengikat secara universal dan

penerimaannya secara politis,” agar sama-sama menjalani eksistensi di dalam

masyarakat majemuk. Transisi kepercayaan dari pra-modern ke yang modern

telah menjadi tantangan monumental bagi agama dunia. Terdapat

agama-agama yang klaimnya pada kebenaran ditunjang dan diteguhkan oleh

situasi-situasi politik “yang periferinya tampak kabur meremang di luar batas-batasnya.”

Modernitas menghasilkan suatu pluralitas bangsa-bangsa dan suatu pertumbuhan

begitu rupa di dalam kompleksitas sosial dan politik. Sehingga eksklusifitas

klaim-klaim yang mutlak menjadi begitu saja tidak dapat dipertahankan.56

55

Borradori Giovanna dalam terjemahan St Sunardi,Filsafat Dalam Masa Teror, Dialog dengan Jurgen Habermas dan Jacques Derrida,h. 23

56


(56)

C. Faktor Pendorong Gerakan Terorisme di Indonesia

Terorisme memang menjadi momok tersendiri bagi masyarakat di

Indonesia. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah mengapa terorisme selalu

diidentikkan dengan Islam? Padahal tidak menutup kemungkinan oknum agama

lainpun juga melakukan hal serupa. Memang semua aksi tersebut tidak mungkin

berlatar hanya dari sekadar aksi jihad saja, namun faktor dasar yang

mempengaruhi aksi terorisme adalah kemiskinan. Mahfudz Siddiq, Ketua komisi I

DPR (Kompas, 14/09/2011) mengatakan bahwa faktor utama terorisme dan

konflik agama di Indonesia dan mengambil konflik Ambon sebagai contohnya

adalah Kemiskinan di Ambon, sensitivitas kelompok pasca konflik dan akibat

konflik masa lalu berdasarkan etnis dan agama.

Namun Kapolri Jendral Timur Pradopo (Lampung Pos, 21/03/2012)

Mengatakan bahwa permasalahan yang menjadi akar kekerasan, radikalisasi dan

terorisme adalah; Pertama, persoalan kemiskinan yang masih melanda sebagian

umat. Kemiskinan seringkali memaksa seseorang untuk menghalalkan segala cara

untuk mendapatkan kehidupan. Kedua, ketidakpercayaan terhadap Negara dan

tidak memiliki perasaan takut terhadap penyelenggara negara. Ketiga, kurangnya

pendidikan dan keterbelakangan dalam memahami wacana bermasyarakat.

Ketika melihat term “terorisme” hal ini bukanlah sekadar persoalan semantik. Apakah orang menggunakan kata “teroris” ataupun tidak untuk

menggambarkan aksi-aksi kekerasan bergantung pada apakah aksi-aksinya dapat


(57)

pada pandangan orang yang bersangkutan: jika dunia dipandang damai, aksi-aksi

kekerasan akan sebagai suatu bentuk terrorisme. Jika dunia dianggap dalam

keadaan perang, aksi-aksi kekerasan bisa jadi diakui sebagai tindakan absah.57

Hal ini mengantarkan kembali pada pertanyaan lain, ketika agama

membenarkan kekerasan, apakah dengan demikian hal itu digunakan untuk

tujuan-tujuan politis? Ini bukanlah pertanyaan yang sederhana, sebagaimana ia

pertama kali mengemuka. Kejadian ini benar-benar pelik karena agama tidak

dapat disalahkan. Tapi tidak selalu mengarah pada kekerasan. Kasus-kasus

`seperti ini akan terjadi bila terdapat perpaduan dari sederetan situasi tertentu yang

bersifat politis, sosial dan ideologis58

Dari pemaparan tadi kita bisa mengambil hipotesa bahwa banyak orang

yang hanya mengutuk, atau paling banter memerangi terorisme. Namun mereka

lupa mengutuk dan tidak berupaya melenyapkan pemicu yang menyebabkan aksi

anarkistis tersebut. Senyatanya, kehadiran aksi-aksi semacam teroris, salah

satunya diakibatkan oleh semacam keangkuhan suatu atau sekelompok bangsa

tertentu dalam menyikapi kehidupan global. Dalam kondisi seperti itu, kelompok

yang memiliki power sering dan mudah menindas kelompok yang lebih lemah

dengan menggunakan alasan yang terkadang terlalu dicari-cari.59

57

Mark Jurgensmeyer,Teror atas nama Tuhan, Kebangkitan Global Kekerasan Agama,

Pnrj M. Sadat Ismail (Jakarta, Nizam Press:2002), h. 12. 58

Ibid.,h.13 59


(58)

Sementara kelompok yang lemah –dengan melakukan berbagai justifikasi

- mencoba melawan kekuasaan dan tekanan yang membelenggu mereka dengan

cara mereka sendiri. Oleh karena itu inti persoalan sebenarnya yang perlu

diselesaikan adalah bagaimana melenyapkan keangkuhan kekuasaan, dan

menggantinya dengan penciptaan dan pengembangan suatu sistem kehidupan

yang lebih manusiawi dalam arti yang sebenar-benarnya.

Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin jelas menolak dan melarang penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan al-ghayat ( ), termasuk tujuan yang baik sekalipun.60 Dalam hal ini Azyumardi Azra

berpendapat, bahwa terorisme sebagai kekerasan politik sepenuhnya bertentangan

dengan etos kemanusiaan. Islam menganjurkan umatnya untuk berjuang

mewujudkan perdamaian keadilan dan kehormatan, akan tetapi, perjuangan itu

haruslah tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau terorisme. Islam

menganjurkan dan memberi justifikasi kepada muslim untuk berjuang, berperang

harb(ب ﺮ ﺣ ) dan menggunakan kekerasanqitâl(ل ﺎ ﺘ ﻗ) terhadap para penindas musuh Islam dan pihak luar yang menunjukan sikap bermusuhan atau tidak mau hidup

berdampingan secara damai dengan Islam kaum muslimin.61 Selanjutnya, Azra

pun menambahkan bahwa dalam kaidahushuldalam Islam menegaskan

(tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara). Islam menegaskan bahwa

pembasmian suatu kemungkaran tidak boleh dilakukan dengan kemungkaran pula.

60

Abdul Wahid dkk,Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum,

(Bandung: Refika Aditama, 2004) h., 42 61

Azyumardi Azra,Terorisme dalam perspektif Agama,dalamKejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukumkomentar diterbitkan dalam harianKompas2 November 2002.


(59)

D. Hubungan Terjemahan Ayat Alquran Kementerian Agama dengan Terorisme

Dari semua hal tadi ada satu faktor yang menjadi perhatian penulis dalam

menyikapi fenomena yang terjadi. Faktor itu adalah ayat Alquran yang dijadikan

landasan “mereka” (teroris) dalam melakukan aksinya. Salah satunya adalah

Terjemahan :Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka,

dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.(QS. 2:191)

Selain itu dalam surat at-Taubah, ayat 123 versi Kemenag:

“Wahai orang-orang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang disekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Kembali ke pembahasan sebelumnya, pada dasarnya, kemunculan


(1)

78

ayat jihad tidak hanya koheren pada tingkat lokal teks, tetapi juga pada tingkat global (wacana).

2. Struktur Supra, sebagai sebuah skema telah memberikan pijakan dalam memahami pergulatan wacana terjemahan ayat-ayat jihad dari masing-masing kelompok ideologis.

3. Strutur mikro telah memberikan jawaban dari ketiga fragmen ayat-ayat jihad yang disajikan melalui telaah semantik historis. Hasilnya adalah terdapat perbedaan makna antara jihad dan perang (qital).

4. Kognisi Sosial dan konteks sosial yang tersaji pada hasil terjemahan Lajnah Pentashih memberikan kesadaran bahwa terdapat suatu sistem kuasa yang mengatur peredaran terjemahan Alquran di masyarakat. Sebagai lembaga otoritas, Lajnah Pentashih menyajikan terjemahannya sebagai satu-satunya terjemahan yang paling mendekati kebenaran dan bisa dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Sedangkan wacana yang berkembang (konteks sosial) dalam analisis ini adalah tudingan Majelis Mujahidin Indonesia terhadap buruknya kualitas terjemahan Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Kementerian Agama RI.

B. Saran

Mencermati wacana jihad dan terorisme tersebut, penulis ingin memberikan beberapa catatan sebagai saran untuk mengarahkan kita pada suatu cita-cita agar kualitas keterpahaman pada ayat-ayat jihad dan qital bisa dipahami dengan mudah oleh pembacanya.


(2)

79

1. Baca kembali Alquran, hadis dan berbagai pengetahuan sosial lainnya. Karena memahami Islam tidak bisa secara dogmatis, khususny tentang pemahaman agama yang menjelaskan ayat-ayat jihad dan wacana terorisme di masyarakat.

2. Penerjemah tidak cukup sekadar pengalih bahasa sumber ke bahasa sasaran. Penerjemah pula dalam hal ini dituntut untuk memainkan peran dalam mengetahui berbagai wawasan artinya sebagai subjek sosiologis, politis, filosofis, ekonomis maupun beragam ilmu lainnya. Artinya, penerjemah dituntut untuk melek pengetahuan. Terlebih lagi era akses keterbukaan informasi semakin mudah. Hal ini adalah peluang dalam memahami kembali berbagai kebudayaan lain melalui terjemahan.

3. Adakan kembali dialog antara Lajnah Petashih Alquran Kemenag RI dengan masyarakat untuk membahas kualitas terjemahan. Semakin sering diadakan dialog maka akan semakin baik pula kualitas terjemahan Alquran dan tentunya tingkat keterpahaman dalam membaca Alquran akan semakin baik.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A’la Abd,Melampaui Dialog Agama(Jakarta, Kompas: 2002).

Abas, Nasir,Membongkar Jamaah Islamiyyah(Jakarta: Grafindo, 2005).

Abu Zaid, Nasr Hamid, Teks Otoritas Kebenaran, dari judul asli An;Nashsh, as-Shulthah, al-Hakikah Penerjemah Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LKIS, 2012).

Albana, Jamal, Revolusi Sosial Islam: Dekonstruksi Jihad dalam Islam, Pnrj Kamran A Insyadi (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).

al-Buthi, Muhammad Said Ramadhan,Fikih Jihad, Penerjemah M. Abdul Ghofar, (Jakarta: Pustaka an-Nabba’ : 2001).

Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post-modernisme.(Jakarta: Paramadina, 1996).

Borradori, Giovanna, Filsafat Dalam Masa Teror, Dialog dengan Jurgen Habermas dan Jacques Derrida,Penerjemah St Sunanrdi (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005).

Chirzin, Muhammad,Jihad dalam Alqur.an, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,1997). Choiri Fauzi, Arifatul, Kabar-kabar Kekerasan Dari Bali, (Yogyakarta: Lkis),

2007.

Dijk, Teun Adrianus Van, Macrostructures An Interdisciplinary Study of Global Structures in Discourse, Interaction, and Cognition, (Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers 1980).


(4)

____________________. Aims of Critical Discourse Analysis, (Japan Siscorse, 1995) Vol. 1

_____________________. Discourse and society: Vol 4 (2). (London: Newbury Park and New Delhi: Sage, 1993)

_____________________. Text and Context. Explorations in the semantics and pragmatics of discourse ( Published in the United States of America by Longman Inc., New York) cetakan ke-6.

E. Sumaryono, Hermeneutik; sebuah metode filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), cet. ke-2.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. (Yogyakarta: LKIS).

Faiz al-Math, Muhammad, Keistimewaan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).

Halaby Hamdy, Muhammad, Menyambut panggilan Jihad, (Yogyakarta: Madani Pustaka, 2000).

Hendropriyono AM, Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009).

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina,1996).

Homaidi, Hamid, dalam jurnal Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme. (Jakarta: Lazuardi Birru, 2010).

Jurgensmeyer, Mark, Teror atas nama Tuhan, Kebangkitan Global Kekerasan Agama, Penerjemah M Sadat Ismail (Jakarta, Nizam Press:2002).


(5)

Kemenag RI, Alquran Terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia (Bandung: Sigma Eksa Media, 2009).

Khalik Ridwan, Nur, Detik-detik Pembongkaran Agama, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003.

Kridalaksana Harimurti,Kamus Linguistik.(Jakarta: Gramedia, 1984).

Latief, Hilman, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, (Yogyakarta: eLSAQ), 2003.

Loqman, Loebby,Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara Indonesia,(Jakarta: universitas Indonesia,1990).

Masdar, Umaruddin, Agama Kolonial ; Colonial Mindset dalam Pemikiran Islam Liberal(Yogyakarta; Klik.R, 2003).

Misrawi, Zuhairi, Al-Quran, Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007).

Moeliono A. M. (1989)Kembara Bahasa. Jakarta, Gramedia.

Muzakky Ahmad,Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, (UIN-Malang Press, 2007).

Pangabean, Samsurizal, Makna Jihad dalam Alquran. Dalam Jurnal Islamika Nomor 4, 1994.

Praptomo, Baryadi, Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. (Yogyakarta: Pustaka Gondhosuli, 2002).

Ratih Rina, “Pendekatan Intertekstual Dalam Pengkajian Sastra,” dalam Metodologi Penelitian Sastra, ed. Jabrohim (Yogyakarta: Hanindita Graha Widia,2001).


(6)

Rosidi, Sakban Analisis Wacana Kritis Sebagai Ragam Paradigma Kajian Wacana, Universitas Islam Negeri Malang 2007.

Samudera Imam,Aku Melawan Teroris(Solo: Jazeera, 2004).

Shihab, Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. X, Vol. 2.

Sobur, Alex, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framming,(Bandung: Rosdakarya, 2001). Suhendra, Yusuf,TeoriTerjemah, (Bandung: Mandar Maju, 1999)

Syihabuddin,Penerjemahan Arab Indonesia.(Jakarta: Humaniora, 2005).

Tedjoworo H., Imaji dan Imajinasi; Suatu Telaah Filsafat Postmodernisme, (Yoyakarta; Kanisius, 2001).

Wahid, Abdul dkk, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2004).

Wahid,Abdurrahman, Islam Tanpa Kekerasan(Yogyakarta: LKiS, 2000)

Internet:

Kemenag RI, http://puslitbang1.balitbangdiklat.kemenag.go.id/index.php Apologi Terjemah, Kementerian Agama RI.

Lajnah Pentashih, http://lajnah.kemenag.go.id/buku/unduh/category/14-pentashihanpada tanggal 12 september 2014.