Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

2. Bagaimanakah pembatalan perjanjian sewa menyewa rumah secara sepihak sebelum jangka waktu sewa berakhir? 3. Bagaimanakah akibat hukum terhadap pihak yang melakukan wanprestasi? 2. Nama : Indah Mulyanti NIM : 087011142 Judul Tesis : Suatu Tinjauan Perjanjian Sewa Menyewa Rumah Berjangka Pendek Sehubungan dengan Pekerja Kontrak Studi Kasus Di Kota Batam. 3. Nama : Lila Meutia NIM : 097011127 Judul Tesis : Penyerahan Hak Sewa Sebagai Jaminan Hutang Di Bank Studi Di Kantor Notaris Medan Dari ketiga judul yang menyangkut perjanjian sewa menyewa rumah tersebut, permasalahan, fokus dan kajiannya serta literatur yang digunakan tidak persis sama. Oleh karena itu penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Akta Sewa Menyewa Rumah Yang Dibuat Di hadapan Notaris Study Di Kantor Notaris” belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya dan dapat di pertanggung jawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara Adanya perbedaan pandangan dari berbagai pihak terhadap suatu objek, akan melahirkan teori-teori yang berbeda, oleh karena itu dalam suatu penelitian termasuk penelitian hukum, pembatasan-pembatasan kerangka baik teori maupun konsepsi merupakan hal yang penting agar tidak terjebak dalam polemik yang tidak terarah. ”Pentingnya kerangka konsepsional dan landasan atau kerangka teoritis dalam penelitian hukum, dikemukakan juga oleh Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, bahkan menurut mereka kedua kerangka tersebut merupakan unsur yang sangat penting 20 . “Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori” 21 . ”Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep” 22 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum, maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami perjanjian sewa menyewa rumah yang dibuat oleh Notaris. 20 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.7 21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 6 22 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 19 Universitas Sumatera Utara Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori kepastian hukum. Teori Kepastian hukum mengandung 2 dua pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibabankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan 23 . Hukum memang pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud kongkrit. Oleh karenanya pertanyaan tentang apakah hukum itu senantiasa merupakan pertanyaaan yang jawabannya tidak mungkin satu. Dengan kata lain, persepsi orang mengenai hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Kalangan hakim akan memandang hukum itu dari sudut pandang mereka sebagai hakim, kalangan ilmuwan hukum akan memandang hukum dari sudut profesi keilmuan mereka, rakyat kecil akan memandang hukum dari sudut pandang mereka dan sebagainya. Di dalam Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. “Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian 23 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008, hal 158 Universitas Sumatera Utara harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing”. 24 ”Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk mengikatkan diri satu sama lain” 25 . Menurut Pasal 1320 KUHPerdata perjanjian harus memenuhi 4 empat syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya, hal tersebut adalah : 1. Kesepakatan para pihak 2. Kecakapan untuk membuat Perjanjian misalnya : cukup umur, tidak dibawah pengampuan dll 3. Menyangkut hal tertentu 4. Adanya kausa yang halal Dua hal yang pertama disebut sebagai syarat subyektif dan dua hal terakhir disebut syarat objektif. Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada syarat subjektif akan memiliki konsekuensi untuk dapat dibatalkan vernietigbaar. 1 Kesepakatan para pihak “Sepakat maksudnya adalah bahwa dua belah pihak yang mengadakan perjanjian setuju atau seia sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian, dengan kata lain mereka saling menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik” 26 24 R.Setiawan, Pokok –Pokok Hukum Perikatan,cet 4, Bina Cipta, Bandung,1987 25 Wardah Yuspin, Op.cit. hal.125 Universitas Sumatera Utara Adanya kemauan dan kehendak kedua belah pihak yang membuat perjanjian, jadi tidak boleh hanya karena kemauan satu pihak saja, ataupun terjadinya kesepakatan oleh karena tekanan salah satu pihak yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak. Dalam hal suatu kesepakatan, ada beberapa teori yang menyatakan kapan kesepakatan itu terjadi antara lain yaitu Teori Pengetahuan veernemingstheorie mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima dan Teori Kepercayaan vetrowenstheorie mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan 27 . Kesepakatan itu ditatanya bebas, artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak manapun, betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak. Berpedoman kepada ketentuan KUHPerdata Pasal 1312 bahwa tiada sepakat yang sah apabila diberikan karena : a. Kekhilafan atau kekeliruan dwaling “Kesepakatan yang diberikan karena salah pengertian atau kekhilafan, paksaan, penipuan memperlihatkan adanya kecacatan dalam kesepakatan itu wilsgebrik”. 28 Terhadap persetujuan yang demikian para pihak atau yang bukan batal demi hukum. Kekhilafan yang dapat batal demi hukum adalah mengenai hal pokok atau hal yang essensial dalam persetujuan tersebut, hal ini terdapat dalam Pasal 1322 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa : 26 R.Subekti, Hukum Perjanjian, cetakan ke IV, PT Intermasa, Jakarta, 1976, Hal 17 27 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-PRESS, Jakarta, 1984, hal. 120 28 Wirjono Prodjodikoro, Opcit hal 45 Universitas Sumatera Utara Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persertujuan. Kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut M.Yahya Harahap mengatakan bahwa dwaling atau kekhilafan atau salah pengertian yang menyebabkan lenyapnya persetujuan harus mengenai : 1. Pokok atau maksud obyek persetujuan 2. Kedudukan hukum subjek yang membuat suatu persetujuan 3. Hak subjek hukum yang bersangkutan. 29 b. Pemerasan atau paksaan dwang Pemaksaan dwang terjadi apabila orang yang dipaksa itu tidak mempunyai pilihan hukum lain kecuali harus menyetujui persetujuan tersebut. Wiryono Projodikoro mengatakan dalam Pasal 1324 Kitab Undang-undang Hukum Perdata paksaan itu sepantasnya menakutkan suatu pihak terhadap suatu ancaman, bahwa apabila ia tidak menyetujui perjanjian yang bersangkutan, maka ia akan menderita suatu kerugian yang nyata. Perumusan dari Pasal 1324 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menurut beliau belum sempurna harus ditambahkan bahwa yang diancam itu harus merupakan hal yang tidak diperbolehkan oleh hukum. 30 c. Penipuan bedrog “Dalam hal penipuan, menurut M. Yahya Harahap bahwa satu macam pembohongan saja tidaklah cukup untuk adanya penipuan, melainkan harus ada suatu rangkaian pembohongan yang dalam hubungannya satu dengan yang lainnya merupakan suatu tipu muslihat.” 31 29 M.Yahya Harahap, Op.cit hal 7. 30 Wiryono Prodjodikoro, Asas- Asas hukum perjanjian,Bale, Bandung, 1989, hal 3 31 M.Yahya Harahap, Op.cit hal 27. Universitas Sumatera Utara 2 Kecakapan untuk membuat perjanjian “Untuk sahnya suatu perjanjian memerlukan kecakapan dari subyek yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain setiap orang yang sudah dewasa , waras akal budinya adalah cakap menurut hukum” 32 . Pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa yang tidak cakap membuat suatu perjanjian adalah : a. Orang yang belum dewasa b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-Undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu. d. Orang yang belum dewasa yang dimaksud dalam hal ini adalah seperti yang ditunjuk oleh pasal 330 KUHPerdata yakni mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin. Pasal 433 KUHPerdata menentukan mereka yang ditaruh di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap atau terlalu boros sehingga tidak mampu bertanggung jawab atas kepentingan sendiri karena itu dalam melakukan suatu perbuatan hukum mereka diwakili oleh pengampunya curator. 32 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, Hal.73 Universitas Sumatera Utara 3 Suatu Hal tertentu ”Didalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur.” 33 Dalam hal ini undang-undang menentukan bahwa objek yang diperjanjikan haruslah dapat ditentukan, paling tidak jenisnya. Lebih lanjut Pasal 1333 KUH Perdata menjelaskan bahwa tidaklah menjadi halangan jumlah barang yang belum tentu, asal saja jumlah itu pada kemudian dapat ditentukan atau dihitung. ”Menurut M.Yahya tentang objekprestasi perjanjian harus dapat ditentukan adalah suatu yang logis atau praktis. Tak akan ada arti dari perjanjian jika undang-undang tidak menentukan hal demikian.” 34 ”Dengan demikian dapat dimengerti, agar perjanjian itu memenuhi kekuatan hukum yang sah, bernilai dan mempunyai kekuatan yang mengikat, prestasi yang menjadi objek perjanjian harus tertentu sekurang-kurangnya jenis objek itu harus tertentu.” 35 4 Suatu Sebab Yang Halal Untuk sah nya suatu perjanjian, undang-undang mensyaratkan adanya kausa yang halal. Undang-undang tidak memberikan penjelasan tentang kausa, yang 33 A.Qiram Syamsuddin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Liberty, Yogyakarta,, 1985, Hal.10 34 M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, Hal. 10 35 Wiryono Projodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung, 1989, Hal.40 Universitas Sumatera Utara dimaksud dengan kausa bukan hubungan sebab akibat, tetapi isi atau maksud dari perjanjian. ”Isi dari perjanjian pada hakikatnya mencerminkan tujuan atau maksud yang akan dicapai oleh para pihak. Maksud atau tujuan ini merupakan tafsir dari sebab kausa.” 36 ”Menurut Subekti, yang dimaksud dengan sebab atau kausa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.” 37 Dalam bahasa yang praktis dapat dikatakan, menurut undang-undang suatu sebab yang halal itu apabila tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan. Dengan kata lain sebab atau kausa yang melahirkan perjanjian adalah suatu sebab atau kausa yang sah dan halal. 38 Pengertian hubungan sewa menyewa diatur dalam Pasal 1548 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yaitu : Sewa menyewa ialah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya. Dalam hubungan sewa menyewa yang menyewakan memberi hak pemakaian saja kepada penyewa dan bukan hak milik. Perjanjian sewa menyewa tidak memberikan suatu hak kebendaan, tetapi hanya memberi suatu hak perseorangan, terhadap yang menyewakan ada hak “persoonlijk” terhadap pemilik, akan tetapi hak orang yang menyewakan ini mengenai juga suatu benda, yaitu suatu barang yang disewakan 39 Dari defenisi pasal 1548 Kitab Undang- undang Hukum Perdata dapat dilihat bahwa ada tiga unsur yang melekat, yaitu : 36 Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, hal.27 37 Wiryono Prodjodikoro, Op.Cit hal.28 38 Ibid, hal.35 39 Ibid, hal.36 Universitas Sumatera Utara 1. Barang 2. Jangka waktu 3. Pembayaran Untuk menunjukan bahwa itu merupakan perjanjian sewa menyewa, maka penyewa yang diserahi barang yang dipakai, diwajibkan membayar harga sewa atau uang sewa kepada pemilik barang. Pada hakekatnya sewa menyewa tidak dimaksud berlangsung terus menerus, melainkan pada saat tertentu pemakaian dari barang tersebut akan berakhir dan barang akan dikembalikan lagi kepada pemilik semula, mengingat hak milik atas barang tersebut tetap berada dalam tangan pemilik semula. Walaupun dalam Pasal 1548 KUHPerdata dikatakan bahwa sewa menyewa itu berlangsung selama waktu tertentu, yang berarti bahwa dalam perjanjian sewa menyewa harus selalu ditentukan tenggang waktu tertentu, tetapi dalam perjanjian sewa menyewa itu dapat juga tidak ditetapkan suatu jangka waktu tertentu, asal sudah disetujui harga sewa untuk satu jam, satu hari, satu bulan, dan lain-lain. Jadi para pihak bebas untuk menentukan berapa lama waktu tersebut. Dalam praktek pada umumnya perjanjian sewa menyewa ini diadakan untuk jangka waktu tertentu, sebab para pihak menginginkan adanya suatu kepastian hukum. ”Dalam perjanjian sewa menyewa terdapat dua belah pihak yang selalu mengikatkan diri untuk berprestasi satu sama lain. Pihak inilah yang menjadi subjek Universitas Sumatera Utara sewa menyewa. Subjek sewa menyewa merupakan subjek hukum dan subjek hukum ini ada dua yaitu : orang pribadi dan badan hukum ” 40 . Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Menurut R.Suroso subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum berhak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap bertindak dalam hukum, sesuatu pendukung hak rechstbevoegdheid dan merupakan sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban 41 . Manusia bukanlah satu-satunya subjek hukum. Dalam lalu lintas hukum diperlukan sesuatu hal lain yang bukan manusia yang menjadi subjek hukum. ”Sudikno Mertokusumo menyatakan disamping orang dikenal juga subjek hukum yang bukan manusia yang disebut badan hukum. Badan hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu dapat menyandang hak dan kewajiban” 42 Dalam perjanjian sewa menyewa ditemui adanya sesuatu yang menjadi objek. Pada dasarnya apa yang menjadi objek sewa menyewa adalah apa yang merupakan objek hukum. Jadi objek sewa menyewa adalah objek hukum. ”Objek hukum rechtsubject adalah segala sesuatu yang bermanfaat dan dapat dikuasai oleh subjek hukum serta dapat dijadikan objek dalam suatu hubungan hukum” 43 Dalam penelitian ini, yang menjadi objek perjanjian sewa menyewa adalah rumah. 40 Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Fakultas Hukum USU, Medan, 1996, hal. 3 41 R.Suroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hal. 223 42 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hal. 68 43 Ibid, Hal 69 Universitas Sumatera Utara Dalam perjanjian sewa menyewa juga dikenal adanya wanprestasi, dan yang dimaksud dengan “wanprestasi adalah apabila seorang debitur tidak melakukan prestasi sama sekali atau melakukan prestasi yang keliru atau terlambat melakukan prestasi, maka dalam hal-hal yang demikian inilah yang disebut seorang debitur melakukan wanprestasi”. 44 ”Wanprestasi atau cidera janji itu ada kalau seseorang debitur tidak dapat membuktikan, bahwa tidak dapat dilakukan prestasi adalah diluar kesalahannya atau dengan kata lain debitur tidak dapat membuktikan adanya “overmacht”. 45 Jadi dalam hal ini debitur jelas bersalah. Wanprestasi dapat timbul dari dua hal : a. Kesengajaan, maksudnya perbuatan itu memang diketahui atau dikehendaki oleh debitur. b. Kelalaian, maksudnya debitur tidak diketahui adanya kemungkinan bahwa akibat itu akan timbul 46 .

2. Kerangka Konsepsi