Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan

(1)

ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA

PERJANJIAN MUSYARAKAH YANG DIBUAT NOTARIS

STUDI BANK SUMUT SYARIAH MEDAN

TESIS

Oleh

IMELDA

077011029/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA

PERJANJIAN MUSYARAKAH YANG DIBUAT NOTARIS

STUDI BANK SUMUT SYARIAH MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

IMELDA

077011029/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA PERJANJIAN MUSYARAKAH YANG DIBUAT NOTARIS STUDI BANK SUMUT SYARIAH MEDAN Nama Mahasiswa : Imelda

Nomor Pokok : 077011029 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui komisi pembimbing,

(Prof.H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) Ketua

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B,MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 13 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn

3. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA


(5)

ABSTRAK

Musyarakah atau Syirkah yang dikenal di dunia perbankan adalah salah satu sistem dasar bagi bank-bank Islam. Sistem ini melahirkan pemikiran eksistensi bank Islam yang bukan hanya menyuplai dana akan tetapi sebagai partner bagi para nasabah. Hubungan yang terjalin antara bank dengan nasabah adalah hubungan berserikat (partnership) bukan hubungan kreditur dan debitur seperti halnya pada bank-bank konvensional. Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberikan jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasehat hukum yang tidak ada cacatnya (onbreukbaar atau unimpearchable). Dalam hal ini Notaris berperan dalam melalukan perjanjian musyarakah. Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna. Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat dalam suatu akta otentik merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan pembuktian dan persyaratan yang terdapat pada akta.

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistimatis mengenai masalah perjanjian pembiayaan musyarakah, bentuk akad, perbedaan bentuk perjanjian dengan bank konvensional. Penelitian ini juga menganalisa data dan fakta yang ditemukan dengan berbagai aspek hukum baik dari segi syariah Islam, hukum perdata maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis empiris dan pendekatan normatif. Pendekatan yuridis empiris yaitu suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian dihubungkan dengan data, prilaku dan kebiasaan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat.

Perjanjian dalam pembiayaan musyarakah pada bank syariah di Indonesia pada preakteknya secara tertulis baik dibuat dihadapan Notaris (akta otentik) dengan tetap memperhatikan nilai-nilai syariah Islam sebagaimana diatur muamalah dalam Islam. Walaupun di dalam Islam telah terjadi ijab dan qabul suatu perjanjian sudah sah tetapi di dalam perbankan Islam yang ada di Indonesia harus ada seseorang yang mencatatnya perjanjian tersebut yaiutu Notaris. Pada hakekatnya kekuatan pembuktian yang melekat pada akta Notaris sebagai akta otentik memiliki kekutan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang terdapat pada akta Notaris merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan pembuktian yang terdapat padanya, yaitu kekuatan pembuktian formil dn materiil. Sedangkan didalam bank konvensional tidak dikenal dengan perjanjian perkongsian seperti yang ada di dalam bank syariah. Pembuktian formil artinya apa yang dinyatakan dan dicantumkan dalam akta itu adalah benar merupakan uraian kehendak pihak-pihak. Alasan mengapa jaminan merupakan syarat mutlak dalam


(6)

perbankan syariah antara lain adalah karena dua hal, pertama, jaminan hanya di fungsikan sebagai alat bukti adanya itikad baik dari nasabah, kedua, karena sifat pembiayaan itu sendiri yang lebih cenderung berfungsi sebagai akad sosial, sehingga jaminan pada hakekatnya bukan merupak syarat mutlak untuk memperoleh pembiayaan dalam perbankan syariah

Kata Kunci : Perjanjian Musyarakah


(7)

ABSTRACT

Musyarakah and Syirkah well know in banking is one of the fundamental system of Islamic banks. The system result in the idea of existence for the customers. The relationship underwent between the banks and the customers includes a partnership rather than that between creditor and debtor as ib conventional banks. Any community needa afigure with the reliable and accurate statements, including the signature and stamp to allow a stronger guarantee and evidence as an impartial expert and legal advisory without impeachment (onbreukbaar or unimpeachable). In the case, notary plays a role in making an musyarakah contract. The authentic decree is a perfect evidence or proof. The capitality and requirements contained in the decree.

The present study is a descriptive intended to have an entire, complete and systematic description of the funding contract of musyarakah , shapes of decree, difference between the contract and the conventional one. The study also analyzed the data and facts found in various legal aspects in terms of either Islamic syariah, personal law and other statutory rules. The approach used in the study included juridical empiric and normative methods. The former included a study of statutory rules which are than related to the data, attitude and habit of life and progress in society.

The contract in a musyarakah funding of syariah banks in Indonesia in practice is made in Indonesia in practice is made in written in the presence of Notary (authentic decree) by staying considering the Islamic syariah values as stipulated in the Islamic muamalah. Although in Islam, thre have been ijab and qabuk of a legal contract, but in Islamic banking of Indonesia, there might be someone who records the contract, namely a notary . Actually the capability of examination attached to the notary decree is binding and perfect. The perfect and binding capability of examination stipulated in the notary is the combination of several capability of examination found in the notary, formla and materil. Whereas the conventional banks unknown a partnership or join contract as in syariah ones. The formal examination means what is cited or stipulated in the decree is true and it is a description of the willingness of the parties. The reasons why guarantee is a mandatory requirement in syariah banking include, the first, the guarantee is only functioned as an evidence material of goodwill of any customer, and the second, due to the property of such a funding it self that more tend to function as a social decree so that the guarantee is actually not a mandatory requirement to get fund in syariah banking.


(8)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulilah penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan kepada kita semua kesehatan, Rahmat dan Hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul :

”ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA PERJANJIAN

MUSYARAKAH YANG DIBUAT NOTARIS (Studi Bank Sumut Syariah

Medan)”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKN), pada program studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam Penulisan tesisi ini penulis telah banyak mendapat bimbingan, pengarahan dan bantuan dari semua pihak maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada seluruh Dosen Pembimbing yaitu kepada Bapak .Prof. H.M. Hasballah Thaib,MA,PhD, Prof. Dr. Muhammad

Yamin,SH,CN,MS, Syahril Sofyan, SH, MKn, yang telah banyak memberikan

bimbingan dan masukkan demi kesempurnaan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terimakasih atas semua bimbingan, bantuan dan dorongan penulis sampaikan kepada :


(9)

1. Bapak Prof.Dr.Charuddin P. Lubis DTM & H., Sp.A(k)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan meyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof.Dr.Ir.T Chairun Nisa B, MSc. Selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas diberikannya penulis kesempatan menjadi mahasisiwi Sekolah Pascasarjana Program Magister Kenotariatan .

3. Ketua dan Staff Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yaitu kepada

Ibu Dr. T Keizerina Devi Azwar, Sh, M.Hum.,CN. Selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

• Seluruh Staff Biro Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

4. Bapak – Ibu Guru Besar dan staff pengajar pada program studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.

5. Terima Kasih sebesar-besar nya kepada Pimpinan dan Staff PT Bank Sumut Syariah Cabang Medan, atas di berikan nya kesempatan saya meneliti di Bank Sumut Syariah.


(10)

6. Secara khusus dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada orang-orang yang saya sayangi Papa H. Erman Yacub dan Ibunda

Hj. Ridhawaty, kepada saudara-saudara ku Irma Irfana,drg, Indah Erianti,drg, Indriani, Ismail Yacub,ST, Zulfirman, Antika Putri dan Annisa Shafa Ananda. Yang telah memberikan dorongan dan bantuan moril

maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

7. Kepada rekan-rekan mahasiswa Program Pascasarjana Angkatan tahun 2007, yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada saya dalam menyelesaikan tesis ini.

8. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan penelitian tesis ini, baik secara langsung maupun tidak lansung.

Akhirnya atas segala bantuan semua pihak semoga mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Harapan penulis semoga tesis ini dapat memberikan khazanah baru dan sumbangan pemikiran yang bermanfaat di dunia perbankan syariah dan pendidikan di Indonesia.

Medan, Juli 2009 Wassalam

Penulis


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : Imelda

Tempat/tgl Lahir : Pematangsiantar, 7 Januari 1984

II. Orang Tua

- Ayah : H. Erman Yacub - Ibu : Hj. Ridhawaty Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Komplek. Menteng Indah Blok A2 Nomor 4

Medan

III. PENDIDIKAN

Tahun 1996 : Menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar di SD Muhammadiyah Pematangsiantar

Tahun 1999 : Menyelesaikan Pendidikan Sekolah Menengah lanjut Pertama, SMP Sultan Agung Pematangsiantar

Tahun 2002 : Menyelesaikan Pendidikan Sekolah Menengah Atas, SMA Negeri 4 Pematangsiantar

Tahun 2006 : Menyelesaikan Pendidikan Strata-1 Fakultas Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... x

DAFTAR ISTILAH ... xi

BAB I PENDAHULUAN ………....……….. 1

A. Latar Belakang ………. 1

B. Perumusan Masalah ………. 10

C. Tujuan Penelitian ………. 10

D. Manfaat Penelitian ………... 11

E. Keaslian Penelitian ……….. 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ……….. 12

1. Kerangka Teori ……….… 12

2. Konsepsi ……… 21

G. Metode Penelitian ……… 22

1. Spesifikasi Penelitian ……… 22

2. Lokasi Penelitian ……….. 23

3. Sumber Data ………. 23

4. Alat Pengumpulan Data ……… 25


(13)

BAB II KEKUATAN PEMBUKTIAN PERJANJIAN MUSYARAKAH

YANG DIBUAT NOTARIS ... 26

A. Pengertian Alat Bukti dan Pembuktian ... 26

B. Maksud dan Tujuan Pembuktian ... 28

C. Macam-macam Alat Bukti ... 29

D. Pembiayaan Musyarakah ... 41

E. Prinsip dan Konsep Bank Syariah ... 46

F. Dasar Hukum dan Landasan Bank Syariah di Indonesia ... 53

BAB III PERBEDAAN ANTARA PERJANJIAN MUSYARAKAH YANG DI BANK SYARIAH DENGAN PERJANJIAN PERKONGSIAN DI BANK KONVENSIONAL ... 61

A. Selayang Pandang Bank Sumut Syariah, Sejarah, Kegiatan Usaha dan Prinsip Oprasional ... 61

B. Perjanjian Musyarakah yang ada di Bank Syariah... 67

C. Perjanjian Perkongsian di Bank Konvensional ... 85

BAB IV. BENTUK JAMINAN DALAM PERJANJIAN MUSYARAKAH.. 94

A. Bentuk Jaminan Dalam Perbankan Islam ... 94

B. Bentuk Jaminan Pada Perjanjian Pembiayaan Musyarakah di Bank Sumut Syariah ... 101

C. Jaminan Nasabah Sebagai Pelunasan Hutang Bermasalah ... 106

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 118

A. Kesimpulan ... 118

B. Saran ... 119


(14)

DAFTAR SINGKATAN

ABISINDO : Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia ATM : Anjungan Tunai Mandiri

BAMUI : Badan Arbitrase Muamalat Indonesia BASYARNAS : Badan Arbitrase Syariah Nasional

BI : Bank Indonesia

BPRS : Badan Perkreditan Rakyat Syariah BUK : Bank Umum Konvensional

BUS : Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah

CAR : Capital Adequacy Ratio

(Rasio Kebutuhan Penyediaan Modal Minimum) DPK : Dana Pihak Ketiga

DPS : Dewan Pengawas Syariah DSN : Dewan Syariah Nasional

FDR : Financing to Deposit Ratio

(analog dengan LDR pada bank konvensional)

FKPPS : Forum Komunikasi Pengembangan Perbankan Syariah IFSB : Islamic Financial Services Board

KCS : Kantor Cabang Syariah KCK : Kantor Cabang Konvensional

L/C : letter of credit

LLL (3L) : Legal Landing Limit

MES : Masyarakat Ekonomi Syariah MUI : Majelis Ulama Indonesia

NPL : Non Performing Loan (Kredit bermasalah)

PBI : Peraturan Bank Indonesia

PLS : Profit and Loss Sharing (Bagi Hasil)

US : Unit Syariah

UU : Undang-Undang


(15)

DAFTAR ISTILAH

Akad : Identik atau sama dengan perjanjian karena dilahirkan dari kontrak atau persetujuan.

Bank Syariah/ Bank Islam

: Mencakup bank umum syariah, BPR Syariah dan Unit Usaha Syariah dari bank umum konvensional

Dual banking system : Terselenggaranya dua sistem perbankan (konvensional dan syariah secara berdampingan) yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku

Murabahah : Akad jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.

Mudharabah : Akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Mudarib : Dalam kontrak mudharabah, salah satu orang atau

pihak yang bertindak sebagai pengusaha

Musyarakah : Akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk

usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan

Mutual investor relationship

: Pola hubungan kemitraan antara nasabah debitur dengan bank.

Riba

Syariah

Unit Usaha Syariah

:

:

:

Secara harafiah berarti penambahan atas harta pokok pinjaman karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan, hal tersebut dikenal dengan bunga.

Secara harafiah berarti jalan Allah seperti yang ditunjukkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad. Istilah ini dipakai untuk yang berhubungan dengan hukum Islam.

Unit kerja di kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah


(16)

DAFTRAR LAMPIRAN

Lampiran I : Akad Pembiayaan Musyarakah (akta otentik)


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Islam merupakan bagian dalam tata hukum Indonesia, yang mana bagi setiap muslim, sudah menjadi kehidupan sehari-hari menerapkan aturan yang telah di titahkan oleh Allah, karena agama Islam, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam pembangunan ekonomi dan juga institusi keuangan. Institusi keuangan yang mempunyai peranan penting terhadap perkembangan ekonomi sebuah negara modern khususnya perbankan. Tidak dapat dinafikan, bahwa bank memang menyediakan kebutuhan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Melalui sektor keuangan ini, dana atau potensi yang ada dalam masyarakat dapat dikembangkan kepada kegiatan yang bersifat produktif, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat diwujudkan. Selain itu institusi perbankan juga merupakan elemen penting dari sistim pembayaran. “Karena tanpa sistem perbankan yang baik, kehidupan modern tidak mungkin akan tercipta.”1

Bank syariah atau bank Islam, dalam dunia perbankan Indonesia saat ini sudah tidak lagi dianggap menjadi barang asing, akan tetapi sudah menjadi bagian dalam sistem perbankan Islam, dengan penerapan dual banking sistem, karena prinsip syariah Islam dalam perbankan telah membuktikan bahwa bukan hanya sekedar

1

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid IV, Dana Bhakti Wakaf, Jakarta, 1992, hlm.380


(18)

wacana ilmiah dan teoritis, akan tetapi sudah membuktikan menjadi sebuah praktik yang secara empiris telah memberikan kontribusi dalam sistem perbankan Indonesia.2

”Bank Islam dalam melakukan aktivitas usahanya tidak berdasarkan kepada bunga, tetapi berdasarkan prinsip syariah, yaitu dengan sistim pola bagi hasil terhadap keuntungan atau kerugian”.3 Dengan sistem pola bagi hasil terhadap untung dan rugi, pihak-pihak yang berkaitan mesti melakukan aktivitas yang bertanggung jawab serta bersungguh-sungguh dalam menjalankan amanah yang diberikan. Dan hal tersebut merupakan karakteristik dasar dalam melahirkan suatu sistim hukum ekonomi yang stabil dengan sistem pembahagian hasil yang bebas dari bunga atau riba.

”Musyarakah atau Syirkah yang dikenal di dunia perbankan adalah salah satu sistem dasar bagi Bank-bank Islam”.4 Sistem ini melahirkan pemikiran eksistensi bank Islam yang bukan hanya menyuplai dana akan tetapi sebagai partner bagi para nasabah. Hubungan yang terjalin antara bank dengan nasabah adalah hubungan berserikat (partnership) bukan hubungan kreditur dan debitur seperti halnya pada bank-bank konvensional. Dari prinsip ini akan terlihat dengan jelas pemikiran berserikatnya bank-bank Islam dengan para nasabah sebagai pelaksana operasional, dalam menanggung usaha-usaha spekulasi yang mungkin mengalami kerugian sementara kapasitas kerja terpenuhi.

2

Achjar Iljas, Sistem Perbankan Syari’ah Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, (Editor Azhari Akmal Tarigan) Ekonomi dan Bank Syariah Pada Millenium Ketiga, IAIN Press, Medan,2002, hlm 8.

3

Agustianto, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Respon Terhadap Persoalan Ekonomi

Kontemporer, Cipta Pustaka Media, Bandung, 2002, hlm.105. 4

Hasballah Thaib, Hukum Aqad (kontrak) Dalam Fiqih Islam Dan Praktek Di Bank Sistem


(19)

Kehadiran bank syariah di Indonesia didasari oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Transaksi yang dijalankan dalam bank syariah diharapkan berdasar pada ketentuan-ketentuan yang ada di dalam hukum perjanjian Islam. Secara yuridis mengenai prinsip perbankan syariah berdasarkan syariah Islam dengan peraturan perundang-undangan Indonesia, khususnya dalam pelaksanaan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah pada bank syariah (murabahah, musyarakah dan mudharabah), bentuk perjanjian dalam pembiayaan berdasarkan prinsip syariah di bank syariah, apabila telah memenuhi syarat secara syariah Islam dan peraturan perundang-undangan. Pembuatan perjanjian atau akad pembiayaan didasarkan dan tidak boleh bertentangan dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional yang mengatur tentang pembiayaan musyarakah. Terdapatnya ketentuan peraturan perundang-undangan dalam akad pembiayaan berdasarkan prinsip syariah diperbolehkan, dengan syarat tidak bertentangan Al-Quran dan As-Sunnah.

Dengan perkembangan perbankan Syariah di Indonesia tersebut menunjukan adanya upaya mencari suatu sistem keuangan berbeda dari sistem yang berlaku selama ini, dan mampu menjawab dan memberikan solusi permasalahan yang dihadapi terutama dalam perkembangan dunia perbankan, yang semakin memperlihatkan rapuhnya sistim perbankan kapitalisme dan sosialisme tersebut.

Dalam pencarian sebagaimana juga diprediksi oleh John Naisbit dan Patricia Abudderne dalam Megatrenda 2000 menyatakan “bahwa kehidupan masyarakat abad


(20)

21 akan kembali memperhatikan pentingnya aspek spiritual.”5 karena lebih memperhatikan aspek keadilan dan sosial yang tidak terlepas dari pengaruh prinsip dan nilai-nilai agama dalam setiap aspek kehidupan manusia.

Dalam perbankan Islam yang menerapkan sistem syariah tersebut bukan hanya sekedar kebebasan berkontrak dan bagi hasil dari produk-produk yang di dalam hukum positif dinyatakan sebagai prinsip Syariah, akan tetapi penerapan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam yang harus ditanamkan dalam sistem perbankan Islam tersebut secara utuh. Karena bank syariah cenderung dioprasikan dengan kinerja yang menerapkan dengan mempergunakan produk syariah akan tetapi pada prinsip penerapannya sama dengan bank konvensional.

Kegiatan pembiayaan bank syariah menawarkan jasa perbankan kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan musyarakah adalah merupakan salah satu produk perbankan syariah yang memerlukan diadakannya perjanjian (aqad) yang mengikat pemberi biaya (bank) dan penerima biaya (nasabah).

Musyarakah (syirkah) dari segi bahasa bermakna ikhtilath (pencampuran) yaitu penggabungan dua bagian atau lebih, yang tidak bisa dibedakan lagi antara satu bagian dengan bagian yang lain satu bagian yang lain. Sedangkan menurut syara’

5

M.Ridwan, Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi Dalam Perspektif Ekonomi Islam, (Azhari Akmal Tarigan, (editor)), Ekonomi dan Bank Syariah Pada Milenium Ketiga, IAIN Pres, Medan 2002, hlm.59.


(21)

musyarakah adalah transaksi antara dua orang atau lebih yang dua-duanya sepakat untuk melakukan kerja yang bersifat finansial dengan tujuan mencari keuntungan.6 Transaksi musyarakah mengharuskan adanya ijab dan qabul selanjutnya juga tergantung kepada sesuatu yang ditransaksikan, yaitu harus sesuatu yang bisa dikelola. Dan sesuatu yang bisa dikelola, atau sesuatu yang ditransaksikan, atau transaksi syirkah ini haruslah sesuatu yang di wakilkan, sehingga sesuatu yang bisa dikelola tersebut sama-sama mengikat mereka.

Keberadaan jaminan dalam perbankan konvensional adalah merupakan suatu keharusan dalam penyaluran kredit, sedangkan dalam perbankan syariah khususnya dalam pembiayaan, jaminan boleh dimintakan atau tidak dimintakan dari nasabah karena nasbah dalam hal ini bersetatus sebagai mitra kerja dalam hubungan kemitraan. Perbankan syariah menilai jaminan yang paling utama adalah keyakinan oleh bank syariah atas kemampuan nasabah mengembalikan hutangnya atau kewajibannya, bahkan bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan lansung dengan objek yang dibiayai, walupun bank diperankan meminta jaminan tambahan. Sehingga jaminan lebih cenderung berfungsi sebagai bukti adanya itikad baik dari nasabah untuk melunasi hutangnya atau komitmen dalam memenuhi janji.7

6

M. Hasballah Thaib, Op.Cit, hlm 98

7

Amir Nuruddin, 2004. Urgensi Hukum Ekonomi Islam Dalam Menjawab Isu-isu Global, Malakah Seminar Nasional diselenggarakan oleh Program Pascasarjana IAIN-Sumatera Utara, Medan, hlm 12


(22)

Alasan pokok mengapa masalah jaminan memiliki karakteristik tersendiri dalam arti bukan merupakan syarat mutlak dalam perbankan syariah antara lain adalah karena dua hal, pertama, jaminan hanya difungsikan sebagai bukti adanya itikad baik dari nasabah, kedua, karena sifat pembiayaan itu sendiri yang lebih cenderung berfungsi sebagai akad social, sehingga jaminan pada hakekatnya bukan merupakan syarat mutlak untuk memperoleh pembiayaan dalam perbankan syariah.

Undang-undang Perbankan yang ada sekarang ini, belum mengatur secara rinci masalah jaminan dalam perbankan syariah. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu alasan kuat mengapa perbankan syariah mengalami kesulitan dalam pengembangan produknya adalah masih belum adanya keharmonisan diantara seluruh mazhab hukum yang mengatur tentang perbankan syariah termasuk dalam aspek jaminan. Hal ini tentunya dapat menimbulkan konflik berkepanjangan dalam perjalanan perbankan syariah di Indonesia.

Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberikan jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat hukum yang tidak ada cacatnya (onbreukbaar atau unimpearchable).8

Lembaga Notariat di Indonesia berasal dari negeri Belanda dan dikenal sejak Belanda menjajah Indonesia. Pada mulanya Lembaga Notariat ini terutama diperuntukan bagi bangasa Belanda golongan Eropa lainnya serta golongan Bumi Putra yang karena undang-undang maupun karena sesuatu ketentuan yang dinyatakan

8

Tan Thong Kie, Buku I Studi Notariat-Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi Praktek


(23)

tunduk kepada hukum yang berlaku untuk golongan Eropa dalam bidang hukum perdata, atau menundukkan diri kepda Burgelijk Wetboek (B.W). atau umumnya di sebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.9

Fungsi dan peran notaris dalam gerak pembangunan nasional yang semakin komplek dewasa ini tentu makin luas dan makin berkembang, sebab kelancaran dan kepastian hukum segenap usaha yang dijalankan oleh segenap pihak makin banyak dan semakin luas, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari pelayanan dan produk hukum yang dihasilkan oleh notaris. Semakin pentingnya akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna, maka kedudukan notaris sebagai Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik juga semakin penting.

“Notaris dikatakan Pejabat Umum, dalam hal ini dapat dihubungkan dengan pasal 1868 K.U.H. Perdata yang menyatakan bahwa “Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu.” Pasal ini tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan Pejabat Umum itu. Oleh karena itu di dalam pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris diatur lebih lanjut tentang hal ini, bahwa yang dimaksud dengan Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik itu adalah notaris, sepanjang tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Pejabat umum lainnya yang juga dapat membuat suatu akta otentik adalah Hakim, pegawai Catatan Sipil, dan sebagainya”.10

Akta mempunyai dua fungsi yaitu fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi alat bukti (probationis causa)11. Formalitas causa artinya berrfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan sahnya perbuatan

9

R.Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Cetakan-2 Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm 1.

10

R.Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.26

11

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, Yogyakarta, 1993, hlm 121.


(24)

hukum. Jadi adanya akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari.

Untuk dapat membuktikan adanya suatu perbuatan hukum, maka diperlukan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian. Dalam hal ini agar akta sebagai alat bukti tulisan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, maka akta tersebut harus memenuhi syarat otentisitas yang ditentukan oleh undang-undang, salah satunya harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang. Dalam hal harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang inilah profesi Notaris memegang peranan yang sangat penting dalam rangka pemenuhan syarat otentisitas suatu surat atau akta agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Jabatan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik.

Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Akta otentik memberikan diantara para pihak termasuk para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/ dinyatakan di dalam akta.


(25)

Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat dalam suatu akta otentik merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan pembuktian dan persyaratan yang terdapat pada akta. Ketiadaan salah satu kekuatan pembuktian ataupun persyaratan tersebut akan mengakibatkan suatu akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende) sehingga akta akan kehilangan keotentikannya dan tidak lagi menjadi akta otentik.

Dalam suatu akta otentik harus memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil12. Kekuatan pembuktian lahir Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir berarti kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keaadaan lahir akta itu sendiri, dan sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa yang berarti suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya13.

Suatu akta notaris dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna apabila akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan memenuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidak benarannya.

12

Ibid

13


(26)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kekuatan pembuktian perjanjian pembiayaan musyarakah yang dibuat notaris.

2. Bagaimana perbedaan antara perjanjian musyarakah yang ada di bank syariah dengan perjanjian perkongsian di bank konvensional.

3. Bagaimana bentuk jaminan dalam perjanjian musyarakah

C. Tujuan Penelitian

Mengacu kepada judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan pembuktian aqad perjanjian musyarakah yang dibuat oleh notaris.

2. Untuk mengetahui perbedaan antara perjanjian musyarakah yang ada di bank syariah dengan perjanjian perkongsian yang ada di bank konvensional. 3. untuk mengetahui bentuk jaminan dalam perjanjian musyarakah.


(27)

D. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut : 1. Secara Teoritis

Dari segi teoritis kegiatan penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai dasar hukum baik dari peraturan perundang-undangan, syariah Islam maupun pendapat para ahli mengenai hukum perjanjian pembiayaan musyarakah ini, juga sebagai kajian yang dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan khususnya hukum perbankan syariah di Indonesia.

2. Secara Praktis

Dari segi praktis dapat mengetahui secara nyata bentuk, isi serta pelaksanaan dari perjajian musyarakah, dan landasan hukum nya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penulusuran kepustakaan yang khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, menunjukan bahwa penelitian dengan judul “ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA PERJANJIAN MUSYARAKAH YANG DIBUAT NOTARIS” belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan keasliannya. Walaupun ada beberapa topik penelitian tentang Bank Syariah namun jelas berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif, dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan


(28)

kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah merupakan suatu prinsip satu ajaran pokok yang dianut untuk mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Kamus umum Bahasa Indonesia menyebutkan, bahwa salah satu arti teori ialah :

“…. Pendapat, cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu”.14

Dalam sebuah penelitian ilmiah, teori digunakan sebagai landasan berfikir dan mengukur sesuatu berdasarkan variable-variabel yang tersedia.

“Teori digunakan sebagai landasan atau alasan mengenai suatu variabel bebas tertentu dimasukan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut variable yang bersangkutan memang bisa mempengaruhi variable tak bebas atau merupakan salah satu penyebabnya”.15

Menurut W.L.N.Neuman, yang pendapatnya dikutip oleh Otje Salman dan Anton F.Susanto, menyebutkan, Bahwa :

“Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan

14

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985, hlm.155.

15

J.Supranto, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm 192-193.


(29)

mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berpikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”.16

Otje Salman dan Anton F Susanto akhirnya menyimpulkan pengertian teori menurut pendapat dari berbagai ahli, dengan rumusan sebagai berikut :

“Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum”.17

Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang luas.18 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.19 Sehingga kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis dari para penulis hukum Islam dan hukum perjanjian, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal dalam penulisan tesis ini.

Dalam pembahasan pada tesis ini, kerangka teori yang digunakan adalah berdasarkan teori hukum Islam, hukum pembuktian dan hukum perikatan yang mengatur hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat dari perjanjian musyarakah. Jadi kerangka teori yang digunakan adalah berdasarkan asas kesepakatan dalam mengadakan perjanjian.

16

HR. Otje Salaman S dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm 22.

17

Ibid, hlm. 23

18

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hlm 126.

19

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, Tahun 1994, hlm. 80


(30)

Sesuai dengan makna dari pada sesuatu kaedah hukum, maka kaedah hukum selalu diartikan sebagai berikut :

“Sebagai peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia itu berprilaku, bersikap didalam masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi.”20

Maka dapatlah diketahui maka kaedah hukum yang mengatur tentang pembuktian akta perjanjian musyarakah, adalah merupakan nilai hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 282, yang berbunyi :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah (seperti berjual beli, berhutang piutang, atau sewa menyewa) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagiamana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlaknya (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepda Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya. . jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki diantaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatnya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguannmu, tulislah mu’amalahmu itu, kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, jika kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah

20

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm 11.


(31)

kepada Allah, Allah mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Sebagai salah satu asas yang ada dalam kaedah hukum perjanjian, maka asas kesepakatan dalam mengadakan perjanjian adalah merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Karena dalam setiap perjanjian harus ada kesepakatan atau persetujuan dari kedua belah pihak yang berjanji, sehingga tidak ada perjanjian kalau kesepakatan dan persetujuan tidak ada. Kesepakatan dalam mengadakan perjanjian ini didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa :

“Semua Perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Lafal akad, berasal dari lafal arab Al-aqad yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufaktan al-ittifaq.21 Secara terminologi fiqih, akad didiefenisikan dengan “perikatan ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan”. Kehendak syariat maksudnya adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Sedangkan kalimat berpengaruh pada obyek perikatan maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari suatu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak yang lain (yang menyatakan qabul).

21


(32)

Mustafa ahmad az-zarqa pakar fiqih jordania asal Syiria, menyatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk, yaitu ;22

1. Tindakan (action) berupa perbuatan. 2. Tindakan berupa perkataan.

Tindakan yang berupa perkataan pun terbagi dua, yaitu yang bersifat akad dan yang tidak bersifat akad. Tindakan berupa perkataan yang bersifat akad terdiri atas dua atau beberapa pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian.

Sedangkan tindakan berupa perkataan yang tidak bersifat akad terbagi lagi kepada dua macam, yaitu :

a. yang mengandung kehendak pemilik untuk menetapkan/melimpahkan hak, membatalkannya, atau menggugurkannya, seperti wakaf, hibah, dan talak. Akad seperti ini tidak memerlukan qabul, sekalipun tindakan hukum seperti ini, menurut sebagian ulama fiqih termasuk aqad. Ulama hanafiah mengatakan bahwa tindakan hukum seperti ini hanya mengingat pihak yang melakukan ijab.

b. Yang tidak mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau menggugurkan suatu pihak, tetapi perkataannya itu memunculkan suatu tindakan hukum, seperti gugatan yang diajukan kepada hukum dan pengakuan seseorang di depan hakim. Tindakan-tindakan seperti ini berakibat timbulnya

22


(33)

suatu ikatan secara hukum tetapi sifatnya tidak mengikat. Oleh sebab itu, para ulama fiqih menetapkan bahwa tindakan seperti ini tidak mengikat siapapun. Az-zurqa’ menyatakan bahwa dalam pandangan syara’ suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikat diri.23 Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya dalam hati. Oleh sebab itu, untuk menyatakan kehendak masing-masing harus diungkapkan dalam suatu pernyataan. Pernyataan pihak-pihak yang berakad itu disebut ijab dan qabul.

Ijab adalah pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang

mengandung keinginannya secara pasti untuk mengikatkan diri. Sedangkan qabul adalah pernyataan pihak lain setelah ijab yang menunjukan persetujuannya untuk mengikatkan diri.

Terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqih dalam menentukan rukun akad terdiri atas :

1. Pernyataan untuk mengikatkan diri (sighat al-‘aqad) 2. Pihak-pihak yang berakad (al-muta’aqidain)

3. Obyek akad (al-ma’qud’alaihi)

Dalam kaitan dengan ijab dan qabul, para ulama fiqih mensyaratkan :

a. Tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki, kerena akad-akad itu sendiri berbeda dalam sasaran dan hukumnya.

23


(34)

b. Antara ijab dan qabul terdapat kesesuaian.

c. Pernyataan ijab dan qabul itu mengacu kepada suatu kehendak masing-masing pihak secara pasti, tidak ragu-ragu.

Para ulama fiqih menetapkan beberapa syarat umum yang harus dipenuhi oleh suatu akad yaitu :

1. pihak-pihak yang melakukan akad itu telah cakap bertindak hukum (mukallaf) atau obyek akad itu merupakan milik orang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya.

2. Obyek akad itu diakui syara’. Untuk obyek akad ini disyaratkan pula yaitu berbentuk harta, dimiliki oleh seseorang, dan bernilai harta menurut harta dalam Islam, maka akadnya tidak sah, seperti khamar (minuman keras).

3. Akad itu tidak dilarang oleh nashsh (ayat atau hadis) syara’. Atas dasar ini seorang wali tidak boleh meghibahkan harta anak kecil. Alasannya adalah melakukan suatu akad yang sifatnya menolong semata (tanpa imbalan) terhadap harta anak kecil tidak dibolehkan syara’. Oleh sebab itu apabila wali menghibahkan harta anak kecil yang berada di bawah penganpuannya, maka akad itu batal menurut syara’.

4. Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait dengan itu. Artinya, disamping memenuhi syarat-syarat umum yang harus dipenuhi suatu akad, akad itu juga harus memenuhi syarat-syarat khusus.

5. Akad itu bermanfaat. Oleh sebab itu, jika seseorang melakukan suatu akad dan imbalan yang diambil salah seseorang yang berakad merupakan kewajiban baginya maka akad itu batal.

6. Pernyataan ijab tetap utuh dan sahih sampai terjadinya qabul. Apabila ijab tidak utuh dan sahih lagi ketika qabul. Apabila ijab tidak utuh dan sahih lagi ketika qabul diucapkan, maka akad itu tidak sah.

7. Ijab dan qabul dilakukan dalam suatu majelis, yaitu suatu keadaan yang

menggambarkan proses suatu transaksi.

8. Tujuan akad itu harus jelas dan diakui syara’. Tujuan akad ini terkait erat dengan berbagai bentuk akad yang dilakukan24.

Para ulama fiqih menetapkan bahwa akad menetapkan bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad. Setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri

24


(35)

pada suatu akad dan wajib dipenuhi segala akibat hukum yang ditimbulkan akad itu. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Maidah, 5:1 yang berbunyi :

“ Wahai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”.

Para ulama fiqih mengemukakan bahwa akad itu bias diabagi jika dilihat dari berbagi segi. Apabila dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’. Maka akad terbagi dua yaitu :

1. Akad sahih, yaitu akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad. Akad yang sahih ini dibagi lagi oleh ulama Hanafiyah menjadi dua macam, yaitu:

a. akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.

b. Akad mawquf, yaitu akad dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad itu

2. Akad yang tidak sah yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.25

Dilihat dari segi penamaannya, para ulama fiqih membagi akad kepada dua macam, yaitu :

1. al-‘uqud al-musammah, akad-akad yang ditentukan namanya oleh syara’ serta

dijelaskan hukum-hukumnya, seperti jual beli, sewa menyewa, perserikata. Hibab, al-wakalah, wakaf, al-ji’alah, wasiat, dan perkawinan.

2. al-‘uqud ghair al-musammah, yaitu akad-akad yang penamaannya dilakukan

oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka disepanjang zaman dan tempat, seperti al-istishna’, bai’ al-wafa’. 26

25

ibid, hlm 16

26


(36)

Dalam hal penafsiran terhadap prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah, dalam melahirkan suatu aturan hukum Islam sebagai mana dikemukakan oleh Muhammad Yusuf Musa memberikan garis-garis besar terhadap karakteristik-karakteristik hukum Islam tersebut kepada enam karakteristik-karakteristik yaitu :

1. Hukum itu dalam prinsip-prinsipnya yang umum berasal dari wahyu Allah 2. Aturan-aturnnya dibuat dengan dorongan agama dan moral

3. Balasannya di dapatkan di dunia dan akhirat 4. Kecenderungannya komunal

5. Dapat berkembang sesuai dengan lingkungan waktu dan tempat

6. Tujuannya adalah mengatur dan memberikan kemudahan kehidupan privat dan publik dan membahagiakan dunia seluruhnya.27

Untuk itu dalam melahirkan suatu aturan Islam dalam konteks negara Republik Indonesia, yang berkompeten dalam hal memberikan suatu fatwa atau hasil ijtihad adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), walaupun tetap dibuka setiap individu atau golongan masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad dan memberikan masukan ataupun sebagai wacana, untuk menggali ajaran Islam terutama yang bersifat muamalah, agar Islam tidak hanya dianggap sebatas ritualitas semata. Dan untuk mempunyai kekuatan hukum Islam, apa yang difatwakan oleh MUI tersebut ditindaklanjut dalam bentuk hukum positif, dalam hal ini yang berwenang adalah pembuat undang-undang yaitu pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.

27

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya, Gema Risalah Press, Bandung, 1992, hlm 160


(37)

2. Konsepsi

“Konsepsi adalah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang dibuat dengan operasional definition”.28 Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu :

a. Analisis yuridis adalah kajian yang dilaksanakan terhadap hukum guna meneliti struktur hukum tersebut secara mendalam.

b. kekuatan pembuktian yaitu di dalam hukum acara perdata alat bukti tertulis

(surat) merupakan alat bukti yang utama, karena justru dibuat untuk membuktikan suatu

keadaan, atau kejadian yang telah terjadi atau perbuatan hukum yang harus dilakukan oleh seseorang nantinya

c. akta adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu. d. Perjanjian yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

28

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak DanPerlindungan Yang Seimbang Bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm


(38)

e. Musyarakah yaitu kerjasama antara kedua belah pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

f. Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapanyang diharuskan oleh suatu perbuatan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.

G. Metode Penelitian 1. Sepesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis mengenai masalah perjanjian pembiayaan musyarakah, bentuk akad, perbedaan bentuk akta dengan bank konvensional dan penyelesaiannya apabila terjadi problematika mengenai hal tersebut.

Penelitian ini juga menganalisa data dan fakta yang ditemukan dengan berbagai aspek hukum baik dari segi syariah Islam, hukum perdata maupun peraturan perundang-undangan lainnya.


(39)

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan normatif dan yuridis empiris. Pendekatan normatif yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Pendekatan yuridis empiris yaitu suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian dihubungkan dengan data, prilaku dan kebiasaan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat.

Data dalam penelitian ini diperoleh langsung melalui penelitian lapangan (field research) yaitu pada pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan perbutan hukum tertentu dihubungkan dengan perjanjian musyarakah.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di PT. Bank Sumut Syariah Cabang Medan yang beralamat di jalan Letjend.S.Parman No. 50-A Medan.. Dengan memeperhatikan kondisi tersebut, diharapkan hasil penelitian dilaksanakan akan dapat mewakili kondisi dan permasalahan perjanjian musyarakah.

3. Sumber Data

Jenis data penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan Data Primer dan Data Sekunder.

Berdasarkan jenis penelitian dalam penelitian ini dapat dipakai dua sumber data yaitu :

1. Data Primer, merupakan data pokok yang dipeoleh langsung melalui pihak-pihak yang terkait yaitu melalui responden dan wawancara.


(40)

2. Data Sekunder, merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan sebagai penunjang penelitian.

Data Sekunder dalam penelitian ini adalah bahan dasar yang diperoleh dari :

1. Bahan hukum primer adalah hukum mengikat yakni norma dasar, kaidah dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan.

Adapun bahan hukum primer dalam penelitian ini berupa : a. Al-Quran dan Hadist dan Terjemahannya.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

c. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan d. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

e. Peraturan lain yang terkait (Peraturan Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia)

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan menegenai bahan hukum primer berupa hasil-hasil penelitian, karya ilmiah dari kalangan hukum serta relevan dengan penulisan ini.

3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus umum, kamus hukum, majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal ilmiah.


(41)

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah

1. Studi dokumen yaitu dengan cara mempelajari peraturan-peraturan, teori, buku-buku, hasil penelitian, buletin-buletin dan dokumen lain yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

2. Daftar pertanyaan wawancara yang digunakan untuk responden dengan menggunakan sistem terbuka dan tertutup dan data yang berasal dari narasumber (informan).

5. Analisis Data

Setelah semua data primer dan sekunder diperoleh, maka dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya, kemudian data itu dikelompokkan atas data yang sejenis. Terhadap data yang sifatnya kualitatif dengan menggunakan metode induktif dan deduktif.

Metode induktif maksudnya menarik diri generalisasi-generalisasi yang berkembang dalam praktek perjanjian pembiayaan musyarakah. Metode deduktif maksudnya melihat peraturan-peraturan yang berlaku secara deduksi walaupun tidak pasti mutlak, namun dijadikan dasar hukum dalam pembiayaan musyarakah.

Dengan adanya metode induktif dan deduktif ini, maka diperoleh persesuaian tentang bagaimana sebenarnya perjanjian pembiayaan musyarakah menurut hukum yang terjadi di perbankan syariah. Dari hasil pembahasan dan analisis ini diperoleh kesimpulan yang memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.


(42)

BAB II

KEKUATAN PEMBUKTIAN PERJANJIAN MUSYARAKAH YANG DIBUAT NOTARIS

A. Pengertian Alat Bukti dan Pembuktian

Pengertian dari alat bukti, tanda bukti, membuktikan, dan pembuktian menurut W.J.S Poerwadarminta adalah sebagai berikut :29

1. Bukti adalah sesuatu hal (peristiwa atau sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya).

2. Tanda bukti, barang bukti adalah apa-apa yang menjadi tanda sesuatu perbuatan (kejahatan dan sebagainya).

3. Membuktikan, mempunyai pengertian-pengertian : a. Memberi (memperlihatkan) bukti

b. Melakukan sesuatu bagi bukti kebenaran, melaksanakan (cita-cita dan sebagainya)

c. Menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu benar) d. Meyakinkan, menyaksikan

4. Pembuktian adalah perbuatan (hal dan sebagainya) membuktikan

Dalam pengertian yuridis tentang bukti dan alat bukti R. Subekti menyatakan bahwa :

”Bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian. Alat bukti, alat pembuktian, upaya pembuktian, Bewijs middel (Bid) adalah alat-alat yang dipergunakan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil suatu pihak di muka pengadilan, misalnya bukti-bukti tulisan, kesaksian, persangkaan, sumpah dan lain-lain.”30

selanjutnya, R. Subekti mengemukan bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka Hakim atau pengadilan, karena pengertian ”membuktikan” menurutnya sebagai berikut :

29

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1984

30

R. Subekti, dikutip dari Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hlm 2


(43)

”Yang dimaksud membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.”31

Membuktikan dengan demikian berartimemberi kepastian yang bersifat mutlak dan karenanya berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Majelis Hakim dalam pemeriksaan perkara memerlukan pembuktian yang meyakinkannya agar Hakim dapat menerapkan hukum secara tepat, benar, dan adil.

Dalam pembuktian secara yuridis, sering terjadi bahwa pengamatannya sebagai dasar dari pada pembuktian tidak bersifat langsung didasari atas penglihatan, tetapi didasari atas kesaksian oleh orang lain. Selain itu dipisahkan antara para pihak yang mengajukan alat-alat bukti dan pihak yang harus menetapkan bahwa sesuatu telah terbukti.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, Soedikno Mertokusumo mengatakan bahwa :

”pembuktian secara yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran yang diajukan.”32

pembuktian akan berlaku apabila terjadi suatu perselisihan dimana terdapat hal-hal yang diajukan oleh pihak yang satu tetapi disangkal atau dibantah oleh pihak yang lain. Sebaliknya, hal-hal yang diajukan oleh satu pihak dan diakui oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan karena tidak ada perselisihan. Begitupun tidak usah

31

R. Subekti, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hlm 1

32

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberti, Yogyakarta, 1998, hlm 128


(44)

dibuktikan hal-hal yang diajukan oleh satu pihak dan meskipun tidak secara tegas dibenarkan oleh yang lain tetapi tidak disangkal.

Ada lagi hal-hal yang tidak memerlukan pembuktian, yaitu segala apa yang kebenarannya dapat dianggap diketahui oleh umum, yang disebut fakta-fakta notoir (notoir feiten, noticeable facts). Setiap orang pasti mengetahuinya, sehingga majelis Hakim harus yakin demikian adanya.

B. Maksud dan Tujuan Pembuktian

Pembuktian diperlukan karena ada bantahan atau sangkalan dari pihak lawan mengenai apa yang digugatkan, atau untuk membenarkan suatu pihak. Pada umumnya, yang menjadi sumber sengketa adalah suatu peristiwa atau hubungan hukum yang mendukung adanya hak. Jadi yang perlu dibuktikan adalah mengenai peristiwa atau hubungan hukum, bukan mengenai hukumnya.

Abdul Kadir Muhammad mengatakan :

”Kebenaran pristiwa ada hubungan hukum itulah yang wajib dibuktikan. Jika pihak lawan (tergugat) sudah mengakui atau mengiyakan apa yang digugatkan oleh penggugat, maka pembuktian tidak diperlukan lagi.”33

Adapun maksud dari pembuktian adalah usaha untuk memperoleh kepastian yang layak dengan jalan pemeriksaan dan penalaran dari Hakim mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu sungguh pernah terjadi. Pembuktiannya terdiri dari penunjukan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima oleh panca indera,

33

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm 115


(45)

pemberian keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi tersebut dan penggunaan pikiran logis.

Dalam persengketaan antara pihak yang bersangkutan, masing-masing pihak mengajukan dalil-dalil yang saling bertentangan, maka hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang tidak benar dan dalil-dalil manakah yang dianggap benar berdasarkan ”duduk perkaranya”. Pada prinsipnya setiap pihak yang mengajukan dalil harus dapat membuktikan bahwa dalil yang diajukannya adalah benar.

C. Macam-macam Alat Bukti

Alat-alat yang ditentukan oleh undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Pasal 165 HIR, yaitu terdiri dari :

a. Alat bukti tulisan/surat

Alat bukti tulisan / surat ini di atur dalam Pasal 1867 – 1894 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pertama, pada ketentuan Pasal 1867 Kitab Undang-Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa :

”Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.”34

Selanjutnya Sudikno Mertokusumo mengatakan :

34


(46)

”Alat bukti tulisan / surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan ini hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian.”35 Sebaliknya, sepucuk surat yang berisikan curahan hati yang diajukan di muka sidang pengadilan ada kemungkinannya tidak berfungsi sebagai alat bukti tulisan atau surat tetapi sebagi benda untuk meyakinkan saja, karena bukan kebenaran isi atau bunyi surat itu yang harus dibuktikan atau digunakan sebagai alat bukti melainkan eksistensi surat itu sendiri yang menjadi bukti.

Namun demikian alat bukti tulisan yang diajukan dalam acara perdata harus dibubuhkan denganmaterai untuk memenuhi Pasal 23 Undang-Undang Bea Materai tahun 1921, sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 13 Maret 1971 No. 589 K/Sip/1970, berpendapat bahwa ”surat bukti yang tidak di beri materai tidak merupakn alat bukti yang sah.”

Ketentuan Bea Materai tersebut saat ini diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 13 tahun 1985 tentang Be Materai.

Sanksi apabila tidak diberi matrai atau kurang melunasi bea materai yaitu apabila dokumen yang terutang atau dikenakan Bea Materai yang tidak atau kurang dilunasi sebagimana mestiya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Matrai yang tidak atau kurang dibayar. Pemegang dokumen atas dokumen yang tidak atau kurang dibayar Bea Matrainya harus melunasi Bea Materai yang terutang berikut dendanya dengan cara pemateraian kemudian.

35


(47)

Alat-alat bukti tulisan / surat terdiri dari :

1. Akta Otentik

Dalam Pasal 165 HIR memuat suatu defenisi tentang akta otentik yaitu : Akta otentik adalah surat yang diperbuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya, mewujudkan bukti bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, yaitu tentang segala hal yang memuat dalam surat itu dan segala hal yang tercantum dalam surat itu sebagai pemeritahuan saja tetapi yang tersebut kemudian itu berhubungan dengan pokok-pokok dalam akta.

Menurut beberapa ahli hukum, diantaranya Wiryono Projodikoro, pengertian akta otentik yaitu :

”Surat yang dibuat dengan maksud dijadikan bukti oleh atau dimuka seorang pejabat umum yang berkuasa untuk itu.”36

Selanjutnya, akta otentik menurut Soepomo, adalah :

”Surat yang dibuat oleh suatu dimuka seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat itu, dengan maksud menjadikan surat tersebut sebagai surat bukti.”37

Dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa : ”Akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan seorang pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat di mana akta dibuatnya.”38

36

R. Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, 1988, hlm 108

37

Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 2002, hlm 87

38


(48)

Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang membuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi untuk dapat digolongkan sebagai akta suatu surat harus ada tanda tangannya seperti yang disyaratkan dalam Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan jika di tanda tangani oleh para pihak. Keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain, jadi fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta karena identifikasi dapat dilihat dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta tersebut. Dalam Pasal 1888 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekedar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya.

Akta otentik mempunyai kekuatan bukti formil dan materiil. Formilnya yaitu bahwa benar para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta itu. Materiilnya, bahwa apa yang diterangkan tadi adalah benar.


(49)

Kekuatan bukti yang sempurna yang bersifat akta party itu hanya berlaku antara kedua belah pihak atau ahli warisnya dan orang mendapat hak dari mereka. Terhadap pihak ketiga, akta otentik berkekuatan hanya sebagai bukti bebas, artinya penilainnya diserahkan kepada pertimbangan Hakim.

2. Akta di bawah tangan

Menurut Sudikno Mertokusumo, menyebutkan bahwa ” akta dibawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara pihak yang berkepentingan.”39

Alat bukti di bawah tangan berbeda dengan akta otentik, yaitu bahwa akta di bawah tangan tidak dibuat dihadapan pegawai umum, berisi catatan dari suatu perbuatan hukum misalnya : kwitansi, faktur, surat-surat perjanjian tanpa dibubuhi materai. Dari ketentuan Pasal 1878 Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat kekhususan akta dibawah tangan yaitu akta harus seluruhnya ditulis dengan tangan si penanda tangan sendiri. Ketentuan-ketentuan khusus tersebut dalam akta di bawah tangan yaitu mengenai hutang sepihak, untuk membayar sejumlah uang tunai atau menyerahkan suatu benda, dan lain sebagainya. Akta di bawah tangan hanya dapat diterima sebagai permulaan bukti tertulis (Pasal 1871 Kitab undang-undang Hukum Perdata), namun menurut pasal tersebut tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan bukti tulisan itu. Di dalam Pasal 1902 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dikemukakan syarat-syarat bilamana terdapat permulaan bukti tertulis yaitu :

39


(50)

a. Harus ada akta

b. Akta itu harus dibuat oleh orang terhadap siapa dilakukan tuntutan atau dari orang yang diwakilinya.

c. akta itu harus memungkinkan kebenaran peristiwa yang bersangkutan.

Jadi suatu akta di bawah tangan untuk dapat menjadi bukti yang sempurna dan lengkap dari permulaan bukti tertulis itu masih harus dilengkapi dengan alat-alat bukti lainnya.

3. Surat bukan akta

Untuk kekuatan pembuktian dari surat yang bukan akta di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak ditentukan secara tegas, walaupun surat-surat yang bukan akta ini disengaja dibuat oleh yang bersangkutan, tetapi pada asasnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian dikemudian hari.

Oleh karena itu surat-surat yang demikian itu dapat dianggap sebagai petunjuk kearah pembuktian artinya surat-surat itu dapat dianggap sebagai alat bukti tambahan ataupun dapat pula dikesampingkan dan bahkan sama sekali tidak dapat di percaya. Jadi dengan demikian surat bukan akta untuk dapat mempunyai kekuatan pembuktian sepenuhnya bergantung pada penilaian Hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1881 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa :

”Apabila surat-suratnya itu dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat adalah untuk memprbaiki suatu kekurangan didalam suatu alas hak bagi seseorang untuk keuntungan siapa surat itu menyebutkan suatu perikatan. Dalam segala hal lainnya, Hakim akan mempertimbangkan sebagaimana dianggap perlu.”


(51)

4. Salinan

Bahwa salinan atau kutipan atau fotocopy dapat mempunyai nilai hukum pembuktian sepanjang sesuai dengan aslinya, hal tersebut sesuai dengan Pasal 1888 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan, bahwa :

” Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada kata aslinya apabila akta yang asli itu ada maka salinan-salinan serta ikhitiar-ikhtiar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtiar-ikhtiar itu sesuai dengan aslinya yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya.” Menurut Pitlo mengatakan bahwa :

”Salinan adalah pemberitaan tertulis yang asli yang serupa kata demi kata juga dengan pemberitahuan tanda tangan.”

Salinan dan atau kutipan dari suatu akta (alas hak) dapat memperoleh kekuatan pembuktian sama dengan aslinya, apabila aslinya tidak dapat diperlihatkan lagi (karena hilang, peristiwa-peristiwa lain) yaitu, seperti yang ditentukan dalam Pasal 1889 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, antara lain :

(a) Salinan-salinan pertama

(b) Salinan-salinan yang dibuat karena perintah Hakim dengan disaksikan oleh kedua belah pihak.

(c) Salinan-salinan yang dibuat tanpa perintah Hakim atau tanpa persetujuan para pihak, setelah dikeluarkannya salinan pertama, dibuat oleh pegawai umum (Notaris) yang berwenang untuk itu,

Sedangkan salinan-salinan lainnya hanya mempunyai kekuatan sebagai permulaan pembuktian saja. Dengan catatan bahwa pihak yang menyatakan bahwa aslinya tidak dapat diperlihatkan harus membuktikannya. Untuk tulisan yang berupa


(52)

tembusan suatu surat yang dibuat rangkap dengan menggunakan karbon mempunyai kekuatan bukti seperti aslinya, karena tembusan itu sama dengan surat yang ditulis pada halaman pertama dengan mana pensil atau pena itu langsung berhubungan.

Dengan demikian alat bukti tertulis itu pada umumnya dipergunakan oleh pihak lain dari pada membuatnya kecuali bahwa Hakim bebas untuk menggunakan pembukuan seseorang guna bukti lagi keuntungan yang membuat.

Dalam Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris menyebutkan :

(1) Untuk kepentingan proses peradilan penyidik, penuntut unun, atau Hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang :

a. mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan

akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

(2) Pengambilan fotokopi minuta akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.

5. Alat Bukti Saksi

Dalam pembuktian dengan saksi lazimnya disebut dengan kesaksian pembuktian dengan kesaksian pada umumnya digunakan apabila alat pembuktian dengan tulisan tidak ada dan atau pembuktian dengan tulisan tersebut tidak cukup.


(53)

Tentang diperbolehkannya pembuktian dengan saksi dapat diketahui dalam Pasal 1895 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa pembuktian dengan saksi-saksi dapat dilakukan dalam segala hal.

Dalam akta notaris terdapat dua saksi yaitu saksi instrumen adalah saksi yang menyaksikan pembacaan dan penanda tanganan akta dan mereka juga turut menandatangani akta. Selain saksi instrumen ada juga saksi pengenal yaitu saksi yang di bawa oleh penghadap, saksi pengenal harus turut menandatangani akta.

Pasal 40 Undang-undang Jabatan Notaris menyatakan :

1. setiap akta yang dibacakan oleh notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain.

2. saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah b. cakap melakukan perbuatan hukum

c. mengerti bahasa yang digunakan dalam akta d. dan membubuhkan tanda tangan dan paraf

e. tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau kebawah tanpa pembatasan derajat dan garis kesamping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.


(54)

3. Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikenal oleh Notaris atau di perkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap.

4. Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam akta.

6. Alat Bukti Persangkaan

Alat bukti melalui persangkaan dapat ditemukan dalam Pasal 1915 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa :

”Persangkaan-persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh Hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal.”40

Begitu pula dalam Pasal 1916 Kitab undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa :

”Persangkaan-persangkaan menurut undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau perbuatan-perbuatan tertentu.”41

jadi, bila yang menarik kesimpulan itu Hakim maka persangkaan tersebut dinamakan persangkaan Hakim atau persangkaan yang tidak didasarkan undang-undang, dan apabila yang menarik kesimpulan itu adalah undang-undang-undang, maka persangkaan tersebut dinamakan persangkaan undang-undang.

40

R. Subekti, Op.Cit, hlm. 484

41


(55)

7. Bukti Pengakuan

Pembuktian melalui pengakuan di atur dalam pasal 1923-1928 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengertian pengakuan yang bernilai sebagai alat bukti menurut M. Yahya Harahap dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1923 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 174 HIR adalah :

”Pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak lain dalam proses pemeriksaan suatu perkara. Pernyataan atau keterangan itu dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan. Keterangan itu merupakan pengakuan (bekentenis, confession), bahwa apa yang didalikan atau yang dikemukakan pihak lawan benar untuk keseluruhan atau sebagian.”42

Apabila kita melihat ketentuan Pasal 1923 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, alat bukti pengakuan dapat di bagi menjadi 2 (dua) yaitu sebagai berikut : 1. Pengakuan di depan sidang

Sebagaimana bunyi Pasal 1925 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang pada pokoknya menyatakan bahwa pengakuan yang dilakukan di dalam / di muka Hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang telah melakukan terjadinya suatu persistiwa baik oleh sendiri maupun dengan perantaraan seseorang yang khusus dikuasakan untuk hal itu, maka hal ini berarti Hakim harus menganggap dalil-dalil yang telah diakui itu adalah benar.

2. Pengakuan di luar sidang

Pengakuan di luar sidang secara lisan merupakan bukti bebas, sebagaimana bunyi Pasal 1928 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang pada pokoknya menyatakan, bahwa suatu pengakuan di luar sidang tidak dapat dicapai tetapi

42


(56)

diizinkan apabila disertai dengan saksi atau alat bukti lainnya. Jadi, pengakuan di luar sidang bukan merupakan alat bukti yang mengikat akan tetapi merupakan alat bukti bebas, pengaturannya diserahkan kepada pertimbangan Hakim yang mengadili perkara tersebut.

8. Bukti Sumpah

Walaupun undang-undang tidak menjelaskan arti sumpah, para ahli hukum memberikan pengertiannya yaitu antara lain Sudikno Mertokusumo menyatakan, bahwa :

”Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat, yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengikat akan sifat Maha Kuasa dari Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberikan keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum

43 olehNya.”

Di dalam hukum acara perdata para pihak yang bersengketa tidak boleh di dengar sebagai saksi, walaupun para pihak tidak dapat di dengar sebagai saksi, namun dimungkinkan untuk memperoleh keterangan dari pihak dengan diteguhkan dengan sumpah yang dimasukkan dalam golongan alat bukti.

Alat bukti sumpah diatur dalam HIR Pasal 155-158 dan Pasal 177 jo Pasal 1929-1945 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang mana dalam HIR, menyebutkan tiga macam sumpah sebagai alat bukti yaitu sebagai berikut :

43


(57)

1. Sumpah Pelengkap (Seppletoir)

Sumpah pelengkap merupakan sumpah yang diperintahkan Hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai unsur putusannya.

2. Sumpah pemutus yang bersifat menentukan (Decissoir)

Yaitu sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya walaupun tidak ada pembuktian sama sekali, hal ini dilakukan setiap saat selama pemeriksaan di persidangan.

3. Sumpah penaksir (Aestimatoire)

Merupakan sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menaksir jumlah uang sebagai ganti kerugian.

D. Pembiayaan Musyarakah

Syirkah atau Musyarakah yang dikenal di dunia perbankan adalah salah satu sistem dasar bagi bank-bank Islam. Sistem ini melahirkan pemikiran eksistensi bank Islam yang bukan hanya menyupali dana akan tetapi sebagai partner bagi para nasabah. Hubungan yang terjalin antara bank dengan nasabah adalah hubungan berserikat (partnership) bukan hubungan kreditur dan debitur seperti halnya pada bank-bank konvensional. Dari prinsip ini akan terlihat dengan jelas pemikiran berserikatnya bank-bank Islam dengan nasabah sebagai pelaksana operasional dalam menanggung usaha-usaha spekulasi yang mungkin mengalami kerugian sementara kapasitas kerja terpenuhi.44

Musyarakah adalah transaksi antara dua orang atau lebih yang dua-duanya sepakat untuk melakukan kerja yang bersifat finansial dengan tujuan mencari keuntungan . transaksi musyarakah tersebut mengharuskan adanya ijab dan qabul

44


(58)

selanjutnya juga tergantung kepada sesuatu yang ditransaksikan, yaitu harus sesuatu yang bisa dikelola. Dan sesuatu yang bisa dikelola, atau sesuatu yang ditransaksikan, atau transaksi musyarakah ini haruslah sesuatu yang diwakilkan, sehingga sesuatu yang bisa dikelola tersebut sama-sama mengikat mereka.

Menurut Madzhab Maliki, musyarakah adalah pemberian wewenang kepada pihak-pihak yang bekerja sama. Menurut Madzhab Hanbali, musyarakah adalah pencampuran dalam kepemilikan dan wewenang. Menurut Madzhab Syafi’’ musyarakah adalah ditetapkannya hak kepemilikan bagi dua pihak atau lebih. Menurut Madzhab Hanafi, musyarakah adalah transaksi yang dilakukan dua pihak dalam hal permodalan dan keuntungan.45

1. Landasan Hukum Musyarakah

Aspek musyarakah yang dimaksud dalam prinsip ini adalah tentang landasan hukum yang mengacu kepada asal usul dan diterimanya prinsip musyarakah ini di zaman Rasulullah dan tentunya dapat pula sebagai pedoman dasar beranalogi dengan perbankan.

Al-Qur’an surat Shad 38 ayat 24

Artinya : “dan sesungguhnya kebanyakan orang orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan amat sedikitlah mereka ini.”

Di dalam As Sunnah, Rasulullah SAW, bersabda Allah SWT, berfirman yang artinya:

“aku ini ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah seorang mereka tidak mengkhianati temannya aku keluar dari antara mereka”. (Riwayat Abu Daud dari

45


(1)

konvensional tidak mengenal perjanjian perkongsian seperi sebagaimana dengan perjanjian yang ada di bank syariah, bank konvensional mengenal perjanjian kredit antara lain, kredit berdasarkan tujuan penggunaannya, kredit ini dibedakan menjadi 2 jenis yaitu kredit produktif dan kredit konsumtif. Kredit berdasarkan jangka waktu yaitu terdiri dari kredit jangka pendek, kredit jangka menengah dan kredit jangka panjang. Jadi di bank konvensional tidak mengenal kredit perkongsian di mana nasabah dan bank sama-sama mempunyai modal untuk modal kerja.

3. Kedudukan jaminan dalam hukum Islam sebagai jaminan pembayaran hutang Dalam Hukum Islam, ada 2 bentuk jaminan yaitu kafalah/dhoman dan rahn. Untuk jaminan yang ada di Bank Sumut Syariah termasuk dalam kelompok rahn. jaminan dapat berfungsi sebagai alternatif pembiayaan apabila nasabah tidak mampu untuk membayar hutang.

B. Saran

1. Di sarankan kepada nasabah Bank dan Bank Sumut Syariah membuat akta perjanjian baik pembiayaan musyarakah, mudharabah, dan murabahah di Notaris. sebaiknya di perbankan Islam jangan menetapkan adanya jaminan dalam kasus musyarakah karena baik bank ataupun nasabah sama-sama memiliki modal. Berbeda dengan kasus mudharabah dan murabahah yang sumber dana nya berasal dari bank.


(2)

2. Perjanjian musyarakah merupakan perjanjian perkongsian di antara bank dengan nasabah dimana bank memberi modal kepada nasabah dan nasabah juga mempunyai modal dari kerjasma tersebut keuntungan nya bagi hasil bagi kedua belah pihak. Sedangkan di dalam bank konvensional tidak mengenal perjanjian seperti ini. Diharapkan kedepan nya bank konvensional membuat perjanjian seperti ini, karena banyak menolong nasabah yang memiliki modal sedikit bisa membantu memberi modal kepada mereka.

3. Untuk meyakinkan dalam melakukan perjanjian musyarakah harus ada peranan Notaris dalam melakukan perjanjian tersebut. Walaupun di dalam Islam apabila terjadi ijab dan qabul sudah dinyatakan sah, tetapi di dalam hukum positif Indonesia khusus nya mengenai perbankan harus adanya peranan Notaris dalam melakukan perjanjian tersebut. Akta Notaris merupakan alat bukti apabila terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Abdul Hay Marhanis, Hukum Prerbankan di Indonesia, Paradnya Paramita, 1985 Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, GemaInsani

Press, Tazakia Cendikia, Jakarta 2001.

Agustino, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Respon Terhadap Persoalan Ekonomi Kontemporer, Cipta Pustaka Media, Bandung, 2002

Arifin, Zainul, Mekanisme Kerja PerbankanIslam dan Permasalahannya, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Volume 2, 2000

Badrulzaman, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2001

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya, Gema Risalah Press Bandung, 1992

Djazuli, A, dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002

Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modren, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999 Iljas, Achjar, Sistem Perbankan Syari’ah Dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998

Tentang Perbankan Dan Undang-Undang No.23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, (Azhari Akmal Tarigan.Ed) Ekonomi dan Bank Syariah Pada Millenium Ketiga, IAIN Press, Medan, 2002.

Kie, Tan Thong, Buku I Studi Notariat Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000

Karim, Adiwarman, Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan), Raja Grafindo Persada, Jakarta 2004

Khalil, Jefri, Prinsip Syariah Dalam Perbankan Islam, Yayasan Pengenbang Hukum Bisinis, Volume 20


(4)

Lubis, M,Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994

Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007

---, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998. Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2000

---, Hukum Perusahaan Indonesia, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 2002 ---, Mengenai Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1998

Manan, Muhammad Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1997

Muamalat Institute, Perbankan Syaraiah Prespektif Praktisi, 1999

Poerwataatmadja, W.J.S, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985 Projodikoro, R, Wirjono, Hukum Acara Perdta Indonesia, Sumur Bandung,

Bandung, 1988

Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani, Jakarta, 1997 Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid IV, Dana Bhakti Wakaf, Jakarta, 1992

Ridwan, M, Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi dalam Prespektif Ekonomi Islam (Anshari Akmal Tarigan (editor) Ekonomi dan Bank Syariah Pada MilleniumKetiga) IAIN Press, Medan

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995 Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Sinar Baru Agensindo, Jakarta, 2003

Soegondo, Notodisoerjo, R, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Cetakan Kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993

Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 2002


(5)

Salman, Otje, HR dan Susanto F Anton, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005

Supranto, J, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakrta, 2003 Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Press,

Jakarta 1986

..., Penulisan Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994 Soemitro, Ronny Hanitijo, Methodelogi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia, Jakrta, 1988

Subekti, R, Hukum Pembuktian, Paradnya Paramita, Jakarta ---, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermesa, Jakarta, 1985

---, Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1986

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 2001

Suyatno, Thomas, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999

Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Jilid 12, Alih bahasa : Kamaluddin A. Marzuki, PT. Alma’arif, 1987

Syafi’i, Muhammad Antonio, Prinsip dan Etika Bisnis Dalam Islam, Gema Insani,

Jakarta, 2000

Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta 1967

Thaib, M. Hasballah, Hukum Aqad (kontrak) dalam fiqih Islam dan Praktek di Bank Sistem Syariah, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2005.

Tobing, GHSL, Peraturan Jabatan Notaris, Penerbit Erlangga, 1999

Waluyo, Bambang, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika

Jakarta, 1992

Wardoyo, Gatot, Sekitar Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank-bank dan Manajemen, Jakarta, 1992


(6)

Ya’qub, Hamzah, Etika Islam, CV. Diponegoro, Bandung, 1988

Undang-undang

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

Internet

http://notarisby.blogspot.com/2008/07 http://staf.blog.ui.edu/disriani-latifah/2009

Amin, A. Riawan, Bank Syariah Sebagai Solusi Yang Berkeadilan dan Berkerakyatan, 2003 http://www.dilibrary.net/images/topic/MakalahRiawanAmin. Peraturan Bank Syariah.

Syafe’i Rachmat. Tinjauan Yuridis Terhadap Perbankan Syariah, http://www.pikiran-Rakyat.com/cetak/2005/0305/21/0802.