November 2012 (Budhi Y)

11 November 2012 (Budhi Y)

Warta Utama I I I, Majalah Komunikasi No. 385, November 2012

Sebuah Peluang Bagi Solidaritas Sosial Gereja
Menyambut fokus pastoral 2013 tahun Solidaritas Sosial, Keuskupan Bandung melalui rapat kerja akhir tahun mengarahkan perhatian pada kehidupan sosial dengan lingkup Jawa Barat. Paroki, komisi-komisi baik tingkat keuskupan maupun paroki, kelompok kategorial dan berbagai organisasi dalam lingkup Gereja Keuskupan Bandung merencanakan gerakan bersama aksi solidaritas sosial. Agar tepat sasaran serta sesuai dengan kebutuhan masayarakat Jawa Barat,berbagai data- data,aspek sosial maupun permasalahannya dipaparkan Bapak Dwi Heru Sukoco, yang hadir sebagai pembicara dalam Rapat Kerja Keuskupan Bandung pada Jumat-Sabtu (19-20/10) di Pondok Lembang, Bandung.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat tahun 2011 jumlah penduduk Jawa Barat 46.497.175 jiwa, tersebar di 17 kabupaten dan 9 kota. Jumlah tersebut mencapai 18,11% jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 237.556.363, artinya Jawa Barat menempati urutan ketiga terbesar dari jumlah penduduk provinsi . Dari 46,5 jutaan penduduk tersebut sebanyak 4.825.520 jiwa atau total 11% total penduduk Jabar merupakan penduduk miskin. Secara nasional Jabar adalah urutan ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah dalam jumlah penduduk dan jumlah angka kemiskinan.
Untuk tingkat pengangguran, tahun 2010, di Provinsi Jawa Barat terdapat 1.951.391 pengangguran dari 18.893.835 total angkatan kerja penduduk di atas 15 tahun, dengan rincian 1.224.444 laki-laki dan 726.947 wanita. Latar belakang pendidikan kelompok pengangguran tersebut adalah lulusan SD ke bawah 559.283, lulusan SMP 480.974 dan lulusan SLTA ke atas 911.234 orang.
Sementara Badan Statistik juga mencatat bahwa di tahun 2010 dari ibu bersalin berjumlah1.032.422, yang menggunakan layanan kesehatan seperti dokter,bidan, dan tenaga medis hanya 845.100 orang. Data ini dipertegas oleh UNICEF yang dikutip UCANS Indonesia bahwa sekitar 10.000 perempuan Indonesia meninggal akibat komplikasi penyakit pasca persalinan. Kemudian dari sejumlah 917.930 bayi lahir, 11.623 lahir dengan berat badan rendah; dari 3.367.937 balita di Jawa Barat ditemukan 30.504 mengalami gizi buruk. Sedangkan UNICEF melaporkan sekitar 150.000 per tahun balita di Indonesia meninggal dunia akibat penyakit.
Data-data tersebut merupakan sebagian kecil dari seluruh fakta sosial Provinsi Jawa Barat yang sempat dirangkum. Dari sejumlah data dan fakta yang dipaparkan, Heru juga menyampaikan 16 jenis permasalahan sosial yang ada di Jawa Barat menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat dalam Jawa Barat in figure tahun 2011.
Jumlah Permasalahan Sosial menurut Jenis di Provinsi Jawa Barat
No Permasalahan Sosial Jumlah
1 Anak terlantar 132.036
2 Lansia/jompo 186.547
3 Anak nakal 6.788
4 Korban narkotika 7.960
5 Penyandang cacat 130.378
6 Gelandangan dan pengemis 1.470.603
7 Tuna susila 5.535
8 Fakir miskin/keluarga miskin 2.125.097
9 Anak, wanita, lansia korban tindak kekerasan 9.062
10 Orang dengan HIV/AIDS 2.391
11 Bekas Narapidana 6.791
12 Wanita rawan sosial ekonomi 209.013
13 Keluarga dengan rumah tidak layak huni 329.460
14 Keluarga bermasalah sosial psikologis 13.260
15 Anak balita terlantar 50.951
16 Anak jalanan 11.452
Total 4.697.324

Selanjutnya menurut Heru sedikitnya ada delapan aspek permasalahan sosial yang terjadi di Jawa Barat dan masyarakat Indonesia pada umumnya, yakni :
1. Kemiskinan dan keterlantaran. Disebabkan sempitnya lapangan kerja, upah rendah, kebijakan yang kurang prorakyat, pola hidup konsumtif, budaya KKN, tinggal di daerah terpencil/gersang, dll. Permasalahan ini mengakibatkan daya beli rendah sehingga pemenuhan kebutuhan dasar (sandang, pangan, kesehatan, pendidikan dsb) juga menjadi rendah. Akibat berikut, muncul masalah sosial lainnya seperti pekerja migran illegal, trafficking, urbanisasi, gelandangan-pengemis.
2. Tindak kekerasan dan konflik sosial.Terjadi tindak kekerasan dari pihak yang kuat kepada yang lemah; orang tua terhadap anak, suami terhadap istri, majikan terhadap pembantu, perusahaan terhadap buruh/pegawai dsb. Sedangkan konflik sosial terjadi antara kelompok yang sama-sama kuat, seperti tawuran dan konflik antar organisasi (warga, pelajar, organisasi masa, partai politik, dll).
3. Narkoba. Jawa barat dan Indonesia saat ini sudah tidak hanya sebagai tempat konsumen dan peredaran tetapi juga produsen narkoba.
4. Korban Bencana (alam dan sosial). Korban-korban bencana umumnya berupa korban jiwa, harta benda, fisik dan sosial – psikologis (trauma, putus asa, depresi, stress, dll) .
5. Tuna sosial. Gelandangan, pengemis, pekerja seks komersial, pelanggar hukum, penghuni daerah illegal (DAS, PKL, dsb).
6. Perlindungan sosial terhadap kelompok rentan dan tidak beruntung. Yaitu kurangnya pelindungan terhadap anak, wanita, lansia, cacat/difabel, orang atau keluarga miskin, kelompok minoritas, kelompok adat, daerah terpencil.
7. Penegakan hukum dan pelanggaran HAM. Rendahnya jaminan terhadap hak-hak hidup seperti hak atas keadilan, rasa aman, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak. Selain itu juga terjadinya pembiaran-pembiaran terhadap masalah hukum, misalnya kelompok miskin, tindak kekerasan dan konflik sosial, pembunuhan atau penyiksaan terhadap rakyat/kelompok penentang dan demonstran.
8. Pelestarian nilai-nilai Kepahlawanan dan kearifan lokal. Terjadi penurunan sikap dan penghayatan akan nilai-nilai seperti Pancasila, hormat terhadap orang yang lebih tua/ atasan, nilai kesetiakawanan sosial, sikap mengedepankan dialog dari pada kekerasan.
Berbagai peluang dan tantangan Jawa Barat juga disampaikan oleh Heru menyangkut partisipasi masyarakat dalam pembangunan, termasuk Umat Katolik Keuskupan Bandung. Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan adalah memberi masukan dan saran, ikut serta melaksanakan kegiatan, mengontrol dan mengoreksi. ''Setiap warga ,baik individu maupun organisasi diharapkan untuk berani memberikan saran dan kritik pada setiap program atau kebijakan melalui mekanisme penyampaian yang baik. Kemudian keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan dapat ditempuh bersama-sama program pemerintah, melengkapi program pemerintah atau membuat program alternatif yang mendukung program pemerintah. Akhirnya masyarakat juga berhak untuk mendapatkan informasi di mana informasi tersebut dijadikan alat kontrol, untuk membandingkan dan menganalisa jika terjadi ketimpangan antara program dan kenyataan,'' papar umat Paroki St. Ignatius Cimahi ini.
Demikian data riil singkat kondisi Jawa Barat yang disampaikan Dwi Heru Sukoco. Data singkat ini paling tidak memberi pilihan atau peluang bagi Gereja Katolik Keuskupan Bandung melalui komisi, kelompok-kelompok kategorial ataupun umat untuk melihat dan terlibat dalam gerak aksi solidaritas sosial.

http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2015-08/S46486-Tika%20Widowati

laki Kota Depok. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hubungan antara

karakteristik dengan risiko terjadinya penyakit menular seksual pada anak jalanan remaja

laki-laki Kota Depok.

Tinjauan Teoritis

Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa yang ditandai dengan

perubahan biologis, intelektual, psikososial, dan ekonomi (Hockenberry & Wilson, 2007).

Proses perkembangan remaja menjadi dewasa dapat dibagi menjadi dua atau tiga subfase

perkembangan. Perkembangan remaja dibagi oleh Hockenberry dan Wilson (2007) ke dalam

tiga tahap, yaitu remaja awal (11-14 tahun), remaja pertengahan (15-17 tahun), dan remaja

akhir (18-20 tahun). Remaja merespon perubahan-perubahan tersebut dengan melakukan

perilaku-perilaku yang berisiko tinggi (Lundy & Janes, 2009).

Perubahan biologis yang terjadi pada remaja umumnya disebut sebagai pubertas. Menurut

teori sementara, pubertas terjadi setelah dipicu oleh produksi

gonadotropin-releasing

hormone

(GnRH) dan dilanjutkan dengan diproduksinya

follicle-stimulating hormone

(FSH),

luteinizing hormone

(LH), dan

steroid sex

seperti estrogen, progesteron, dan testosterone

(Hockenberry & Wilson, 2007). Sedangkan bentuk kognitif remaja berbeda dengan masa

kanak-kanak. Pieget (1975) dalam Hockenberry dan Wilson (2007) menyebut tahap

perkembangan kognitif remaja sebagai pemikiran operasional formal. Menurut Hockenberry

dan Wilson (2007), pemikiran operasional formal terdiri dari kemampuan berpikir dalam

bentuk abstrak, berpikir tentang kemungkinan, dan berpikir tentang hipotesis. Oleh karena itu,

remaja sudah dapat belajar dari pengalaman orang lain dan lingkungan sosial. Teori

psikososial Erikson (1968) dalam Hockenberry dan Wilson (2007) menyebutkan bahwa kunci

pencapaian identitas remaja berasal dari interaksi dengan orang lain. Remaja akan belajar dari

orang lain tentang hal yang harus dan tidak harus mereka lakukan selama masa pencapaian

identitas.

Pengaruh lingkungan sosial remaja menyebabkan hasil perubahan berbeda-beda pada setiap

remaja meskipun secara biologis, kognitif, dan psikososial remaja akan mendapat tugas

perkembangan yang sama. Lingkungan sosial remaja menurut Hockenberry dan Wilson

(2007) antara lain keluarga, teman, sekolah, tempat kerja, dan komunitas sosial. Bentuk

keluarga dan latar belakang orang tua sangat berpengaruh terhadap perilaku berisiko remaja.

Kemiskinan juga dapat menjadi salah satu penyebab remaja melakukan perilaku berisiko

Risiko terjadinya..., Tika Widowati, FIK UI, 2013.

tinggi yang membahayakan kesehatan mereka. Menurut Lundy dan Janes (2009), remaja

miskin memiliki kemungkinan enam kali lebih banyak untuk memiliki anak dibandingkan

anak seusia mereka yang tidak miskin. Remaja miskin dan dengan penghasilan keluarga

rendah cenderung lebih aktif secara seksual dan memulai aktivitas seksual sekitar empat

sampai enam bulan lebih awal dibandingkan dengan remaja dari keluarga berpenghasilan

lebih tinggi (Maurer & Smith, 2005). Kemiskinan ini yang menjadi salah satu alasan anak

bekerja di jalanan sehingga menjadi anak jalanan.

Kementerian Sosial RI mengelempokkan anak jalanan ke dalam penyandang masalah

kesejahteraan sosial (PMKS). Menurut Kementerian Sosial RI (2009), anak jalanan adalah

anak berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah

dan berkeliaran di jalan atau tempat-tempat umum. WHO (2000) menyebut anak jalanan

sebagai korban dari pertumbuhan ekonomi, perang, kemiskinan, hilangnya nilai-nilai

tradisional, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan fisik dan mental. Anak jalanan

memiliki demografi, latar belakang, masalah, dan strategi anak jalanan bertahan di jalan yang

khusus. Proporsi anak jalanan perempuan lebih sedikit dibandingkan laki-laki di negara maju

maupun negara berkembang (WHO, 2000). Anak jalanan Kota Depok terdiri dari 57% anak

laki-laki dan 43% perempuan (Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, 2011). Usia anak jalanan di

Indonesia umumnya termasuk ke dalam tahap usia sekolah hingga remaja. Jumlah anak

jalan

an di Kota Depok misalnya 19,5% usia sekolah (6-11 tahun) dan sisanya 80,5% remaja

(12-19 tahun) (Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, 2011). Selain karakteristik demografi, anak

jalanan juga rentan terhadap masalah sosial, fisik, dan psikologis.

Masalah sosial yang umumnya dimiliki oleh anak jalanan antara lain kemiskinan, buta huruf,

diskriminasi dan kurang fasilitas yang diperoleh, lingkungan yang keras, dan stigmatisasi

(WHO, 2000). Anak jalanan sulit mendapatkan kebutuhan dan fasilitas dasar untuk

mempertahankan hidup sehat akibat tidak ada cukup uang. Anak jalanan yang termasuk ke

dalam kelompok suku minoritas juga menjadikan mereka rentan terhadap masalah kesehatan.

Menurut CDC (2011), kondisi sosial ekonomi (kemiskinan, pengangguran, tingkat

pendidikan) dan diskriminasi sosial suku minoritas di Amerika Serikat menjadi penyebab

lebih tingginya prevalensi penyakit menular seksual pada suku minoritas dibandingkan kulit

putih.

Risiko terjadinya..., Tika Widowati, FIK UI, 2013.

Masalah fisik yang dimiliki oleh anak jalanan umumnya berupa kurang nutrisi, cedera,

masalah kesehatan seksual dan reproduksi, serta penyakit umum (WHO, 2000). Gaya hidup

anak jalanan yang sering berpindah-pindah untuk mencari perlindungan maupun harapan

hidup yang lebih baik menyebabkan masalah isolasi sosial, kesepian, dan kesulitan dalam

mengembangkan emosional (WHO, 2000). Stres yang berasal dari latar belakang dan gaya

hidup mereka yang tidak sehat menyebabkan anak jalanan rentan terhadap masalah

emosional, gangguan kejiwaan, dan kesulitan belajar. Pelarian anak jalanan ke dalam

penggunaan NAPZA meningkatkan risiko masalah kesehatan, kemungkinan kecelakaan, dan

juga kekerasan. Masalah kesehatan seksual dan reproduksi dapat dialami oleh anak

perempuan maupun laki-laki, misalnya PMS (Penyakit Menular Seksual).

PMS (Penyakit Menular Seksual) atau IMS (Infeksi Menular Seksual) digunakan untuk

menunjukkan bermacam-macam sindrom klinis yang disebabkan oleh patogen yang diperoleh

dan ditularkan melalui aktivitas seksual (CDC, 2010). Penyakit-penyakit yang

diklasifikasikan ke dalam PMS yaitu urethritis (gonococcal and nongonococcal), luka genital

(infeksi herpes genital, sifilis primer, chancroid, granuloma inguinale, dan lymphogranuloma

venereum), tumor genital (

human papillomavirus

[HPV]), scabies, pediculosis pubis,

molluscum contagiosum, hepatitis dan infeksi enteric, proctitis, dan

acquired

immunodeficiency syndrome

(AIDS) (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Faktor risiko

terbesar tertular PMS adalah jumlah pasangan seksual (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever,

2010). Peningkatan jumlah pasangan seksual akan disertai juga dengan peningkatan risiko

tertular PMS dari orang yang sudah menderita. Aktivitas seksual yang terjadi pada remaja

meningkatkan angka kejadian PMS pada tahap usia ini. Perilaku seksual yang tidak normal

seperti oral dan anal meningkatkan risiko penyebaran virus dan bakteri penyebab PMS.

Mikroorganisme PMS tidak hanya dapat menginfeksi organ seksual manusia tetapi juga

organ-organ dalam lainnya jika infeksi tidak terdeteksi dan ditangani secepatnya. Komplikasi

dapat terjadi pada organ paru-paru, jantung, hingga otak (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever,

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian

descriptive correlation

, yaitu penelitian yang

menggambarkan hubungan secara sederhana (Polit & Beck, 2008). Hubungan yang diteliti

antara lain hubungan karakteristik anak jalanan dan tingkat pengetahuan tentang kesehatan

Risiko terjadinya..., Tika Widowati, FIK UI, 2013.

reproduksi dengan risiko terjadinya