24 Pengaturan grafik hasil analisis
Gambar 4. 24 Pengaturan grafik hasil analisis
4.6.3. Post-Processing Setelah proses analisis selesai, hasilnya dapat diakses melalui menu Post- Processing . Hasil akhirnya yang dapat dilihat berupa, lendutan, pola retak, tegangan, regangan, grafik, dll. Tampilan menu post-processing ditampilkan oleh
Gambar 4. 25.
Gambar 4. 25 Post-processing
BAB 5 PEMBAHASAN HASIL ANALISIS NON-LINIER HUBUNGAN BALOK KOLOM
5.1. Hasil Uji Eksperimental Hubungan Balok Kolom
Pada makalah yang berisi hasil uji eksperimental oleh Saddam M. Ahmed dipaparkan hasil pengujian terhadap dua spesimen hubungan balok kolom. Hasil pengujiannya berupa kurva histeresis hubungan moment-rotasi balok arah utara, narasi pola keretakan, perbandingan kegagalan, dan model kekakuan member. Pada studi ini, model kekakuan member tidak dibahas lebih dalam
5.1.1. Kurva Moment-Rortasi Hasil Uji Eksperimetnal Kurva histeresis moment-rotation kedua benda uji ditampilkan pada Gambar 5. 1. Karena luas tulangan atas dan bawah balok berbeda, maka kurva histeresis Spesimen J tidak simetris. Kurva hysteresis kedua spesimen berbentuk tipikal. Keduanya hanya sedikit memiliki efek terjepit ‘pinching’. Keduanya juga menunjukkan kinerja yang sama pada kekakuan dan penurunan kekuatan selama pengulangan beban pada besaran yang sama. Hal ini, menunjukkan tidak adanya bond slip pada area sambungan. Dalam hal ini, terlihat jelas tulangan pelat berpartisipasi dalam tahanan lendutan ‘flexural resistance’, terutama pada arah beban negatif (tarik pada tulangan pelat).
Gambar 5. 1 Kurva histeresis hasil uji eksperimental
Pada tahap awal pengujian (hingga drift 1%), kedua spesimen menunjukkan kekuatan balok yang hampir sama. Setelah drift diatas 1%, penambahan kekuatan Spesimen JS bertambah dibandingkan Spesimen J. Spesimen JS, menunjukkan moment balok yang lebih besar pada kedua arah. Pertambahan kekuatan pada Spesimen JS dihitung pada setiap step. Pada arah beban negatif (tarik pada pelat), peningkatan kekuatan Spesimen JS hingga 67,1%, sedangkan arah beban positif (tekan pada pelat), peningkatan kekuatannya mencapai 16,7%.
5.1.2. Pengamatan Pengujian Uji Eksperimental Kedua benda uji menunjukkan kinerja strong column-weak beam, sesuai dengan peraturan saat perencanaan untuk rangka pemikul momen yang daktail. Sendi plastis terjadi di balok atau di muka kolom dan kolom hanya memiliki retak rambut pada seluruh tinggi kolom. Hal ini menunjukkan bahwa kolom tidak mengalami pengaruh inelastis yang besar.
Pada bagian pertemuan kolom-balok, terjadi retak rambut pada saat drift 1,5%. Kemudian lebar retak ini, berangsur-angsur bertambah membentuk retak diagonal pada kedua sisi sambungan. Perbandingan retak Beda Uji J dan JS berbeda jauh, mengindikasikan pengaruh pelat pada mekanisme kegagalan. Panel zone Spesimen J, menghasilkan deformasi yang lebih rendah dan lebar retak tercatat Pada bagian pertemuan kolom-balok, terjadi retak rambut pada saat drift 1,5%. Kemudian lebar retak ini, berangsur-angsur bertambah membentuk retak diagonal pada kedua sisi sambungan. Perbandingan retak Beda Uji J dan JS berbeda jauh, mengindikasikan pengaruh pelat pada mekanisme kegagalan. Panel zone Spesimen J, menghasilkan deformasi yang lebih rendah dan lebar retak tercatat
Gambar 5. 2 Retak pada sambungan
Pada daerah sendi plastis balok, titik leleh dari spesimen ditentukan dari kurva beban-perpindahan, dan diverifikasi dengan kelelehan individual tulangan balok. Kelelehan pertama dari tulangan bawah balok terjadi pada drift 1,5% dan sebagian besar tulangan balok leleh pada drift 3,5%. Kelelehan tulangan menyebar hingga sepanjang tinggi efektif balok dari muka kolom, yang berarti perkembangan sendi pada balok berkembang di dekat muka kolom. Beton remuk ‘crushing’ dan terkelupas ‘spalling’ terjadi pada bagian bawah balok pada drift 5%. Tulangan 4D10 pada bagian bawah balok utara terlihat duluan, disusul balok arah selatan pada kedua balok. Secara keseluruhan, sendi plastis berkembang pada balok dan muka kolom. Gambar 5. 3 menunjukkan balok pada akhir hasil pengujian.
Gambar 5. 3 Sendi plastis pada balok utara
Selama pengujian, retak pada pelat diamati membuka dan menutup pada drift 1,5%. Diatas dari tahap ini, pelat mulai leleh dan retak 45 o muncul pada drift
2,5%. Lebar retak ini terus meningkat hingga pengujian berakhir. Retak dengan lebar lebih dari 2,6mm terjadi pada pelat secara transversal. Secara umum, retak ini terlihat simetri pada bentuk dan ukurannya. Gambar 5. 4 menunjukkan retak pelat yang diamati pada akhir pengujian.
Gambar 5. 4 Retak pada pelat diakhir pengujian
5.2. Hasil Uji Numerik Hubungan Balok Kolom
Pada studi ini dipaparkan hasil uji numerik terhadap dua benda uji hubungan balok kolom. Hasil uji numerik yang akan dipaparkan adalah kurva histeresis hubungan moment-rotasi balok arah utara, deskripsi pola keretakan, perbandingan kegagalan.
5.2.1. Kurva Moment-Rotation Hasil Uji Numerik Kurva moment-rotation kedua model ditampilkan pada Gambar 5. 5. Perbedaan luas tulangan atas dan bawah balok menyebabkan kurva histeresis Model J-Atena tidak simetris. Pada arah beban negatif (tarik pada tulangan atas balok) menghasilkan moment yang lebih besar daripada beban arah positif (tarik pada tulangan bawah balok). Penggunaan pelat pada pengujian hubungan balok kolom cukup besar dalam memberikan tahanan lendutan. Pada arah beban negatif dan arah beban postif, Model JS-Atena menghasilkan moment yang lebih besar dibandingkan dengan Model J-Atena.
Gambar 5. 5 Kurva histeresis hasil uji numeric Bentuk kurva histeresis kedua model hampir sama. Keduanya menunjukkan
penurunan kekuatan setelah melewati beban drift 1% baik pada arah beban positif maupun negatif. Kedua model menunjukkan penurunan kekuatan terjadi terus- menerus kemudian bertahan di sekitar 20 kNm.
Penurunan kekuatan yang drastis pada model uji numerik diakibatkan oleh kelelehan tulangan longitudinal balok. Pada beberapa bagian dekat muka kolom, tulangan balok ada yang sudah mengalami tegangan lebih dari tegangan ultimate. Gambar 5. 6 menunjukkan tegangan yang terjadi pada tulangan longitudinal Penurunan kekuatan yang drastis pada model uji numerik diakibatkan oleh kelelehan tulangan longitudinal balok. Pada beberapa bagian dekat muka kolom, tulangan balok ada yang sudah mengalami tegangan lebih dari tegangan ultimate. Gambar 5. 6 menunjukkan tegangan yang terjadi pada tulangan longitudinal
(a) Model J-Atena
(b) Model JS-Atena Gambar 5. 6 (a) dan (b) Tegangan normal tulangan
Pada Model JS-Atena penurunan tahanan moment pada arah beban positif terjadi lebih dahulu yaitu pada drift 0,25%, dibandingkan Model J-Atena pada drift 1%. Model JS- Atena pada saat puncak ‘peak’ arah beban positif terjadi penurunan Pada Model JS-Atena penurunan tahanan moment pada arah beban positif terjadi lebih dahulu yaitu pada drift 0,25%, dibandingkan Model J-Atena pada drift 1%. Model JS- Atena pada saat puncak ‘peak’ arah beban positif terjadi penurunan
Berbeda dengan arah beban positif, pada Model JS-Atena arah beban negatif penambahan kekuatan sudah terjadi sejak awal. Pertambahan kekuatan Model JS- Atena pada arah beban negative maksimum adalah 59,1% dari Model J-Atena.
Meskipun terjadi penurunan kekuatan setelah drift 1%, kedua model memiliki daktilitas, terbukti dari mampu menahan beban perpindahan yang terjadi hingga drift 5%. Dapat dilihat Model JS-Atena, mengalami peningkatan daktilitas pada arah beban negatif sebesar 12,5%, namun mengalami penurunan daktilitas pada arah beban positif sebesar 12,7% jika dibandingkan dengan Model J-Atena.
Pada panel zone, tulangan kolom mulai mengalami kelelehan pada saat drift 1,5%. Seluruh tulangan kolom Model J-Atena leleh pada beban drift -2,5%. Sedangkan, seluruh tulangan kolom Model JS-Atena leleh pada beban drift pengulangan kedua drift -2,5%.
5.2.2. Pengamatan Pengujian Uji Numerik Kedua model menunjukkan kinerja strong column-weak beam, ditandai dari hanya sedikit terdapat retak pada kolom. Sendi plastis terjadi di balok atau di muka kolom. Hal ini menunjukkan bahwa kolom tidak mengalami kerusakan yang berarti.
Pada bagian pertemuan kolom-balok kedua model, hanya terdapat retak rambut saja. Hal ini dibuktikan Gambar 5. 7 yang menunjukkan posisi dan lebar retak dengan lebar retak ditunjukkan oleh skala warna. Pada Model JS-Atena, terdapat retak selebar 1,2mm pada hubungan balok kolom, sedangkan pada Model J-Atena tidak ada retak lebih besar dari 0,8mm. Selain itu Gambar 5. 7 menunjukkan kolom mengalami kerusakan retak rambut.
Sesuai dengan lebar retak yang dapat teramati pada uji eksperimental umumnya, pada uji numerik diambil lebar retak selebar 0.05mm. Gambar 5. 8 menunjukkan retak pada sambungan hasil uji numerik. Karena retak pada Model JS-Atena lebih besar dan lebih banyak daripada Model J-Atena, maka tegangan geser yang terjadi pada sambungan Model JS-Atena lebih besar daripada Model J- Atena.
(a) Model J-Atena
(b) Model JS-Atena Gambar 5. 7 (a) dan (b) Posisi dan lebar retak
(a)
(b) Gambar 5. 8 (a) dan (b) Retak pada sambungan hasil uji numerik
Pada pengamatan pengujian, retak pada pelat teramati membuka dan menutup hingga akhir pengujian. Retak yang muncul pertama kali adalah retak diagonal 45 o pada ujung balok. Retak pada pelat sebelah utara dan sebelah selatan tidak persis sama, karena terjadi perbedaan riwayat arah pembebanan. Retak diagonal lebih banyak pada pelat arah selatan, karenakan pada saat pembebanan Pada pengamatan pengujian, retak pada pelat teramati membuka dan menutup hingga akhir pengujian. Retak yang muncul pertama kali adalah retak diagonal 45 o pada ujung balok. Retak pada pelat sebelah utara dan sebelah selatan tidak persis sama, karena terjadi perbedaan riwayat arah pembebanan. Retak diagonal lebih banyak pada pelat arah selatan, karenakan pada saat pembebanan
Gambar 5. 9 (a) menunjukkan pola retak pada pelat arah utara tekan (b)
menunjukkan pola retak pada pelat arah utara tarik. Warna kuning adalah menunjukkan area yang sudah mengalami retak, sehingga tidak adanya tegangan. Sedangkan warna merah menunjukkan area yang mengalami tegangan tarik.
(a) Pola retak pada pelat arah utara tekan
(b) Pola retak pada pelat arah utara tarik Gambar 5. 9 Pola retak pada pelat
5.3. Perbandingan Kekuatan Hasil Uji Eksperimental dengan Hasil Uji Numerik
Perbandingan kurva moment-rotasi hasil uji eksperimental dengan hasil uji numerik dibahas pada sub-bab ini. Besaran yang terukur dari kedua pengujian adalah gaya dan peralihan pada ujung balok. Kemudian, kedua besaran tersebut diubah menjadi moment dan rotasi. Moment didapat dari hasil kali gaya dengan panjang balok. Rotasi didapat dari hasil bagi perpindahan dengan panjang balok.
5.3.1. Perbandingan Kurva Moment-Rotasi Spesimen J dengan Model J-Atena Pada sub-bab ini dibahas mengenai perilaku model hubungan balok kolom tanpa pelat. Gambar 5. 10 menunjukkan perbandingan kurva hubungan moment-rotasi hubungan balok kolom tanpa pelat.
Gambar 5. 10 Kurva histeresis hubungan balok kolom tanpa pelat
1. Perbandingan bentuk kurva Terdapat perbedaan perbedaan perilaku antara hasil uji eksperimental dengan hasil uji numerik, yaitu kekuatan struktur hubungan balok kolom. Kekuatan Spesimen J mengalami peningkatan setelah mengalami kelelehan. Akan tetapi, kekuatan hubungan balok Model J-Atena menurun setelah mengalami kelelehan.
S pesimen J tidak mengalami efek jepitan ‘pinching’ pada kurva hysteresis, akan tetapi memiliki bentuk kumparan ‘spindle-shape’ yang baik. Dengan bentuk seperti demikian, sambungan memiliki daktilitas dan kekuatan yang baik. Lain halnya dengan Model J-Atena, mengalami pinching pada beban drift awal. Model J-Atena lebih daktail pada drift besar, sehingga efek pinching tidak dominan. Bentuk kurva histeresis dari Model J-Atena tipikal untuk kurva histeresis yang mengalami kegagalan lentur dari tulangan balok.
Pada Spesimen J, terlihat pengulangan beban dengan besaran drift yang sama akan menghasilkan kurva histeresis yang sama pada bagian positif. Hal ini menandakan tidak adanya slip antar tulangan dengan beton. Pada bagian negatif, pengulangan beban yang sama menghasilkan kurva histeresis yang lebih landai, Pada Spesimen J, terlihat pengulangan beban dengan besaran drift yang sama akan menghasilkan kurva histeresis yang sama pada bagian positif. Hal ini menandakan tidak adanya slip antar tulangan dengan beton. Pada bagian negatif, pengulangan beban yang sama menghasilkan kurva histeresis yang lebih landai,
Berbeda dengan Spesimen J, Model J-Atena memiliki kurva histeresis yang terus menurun ketika dibebani. Hal ini disebabkan oleh kelelehan beberapa tulangan balok, sehinga tidak mampu menahan moment yang besar.
2. Perbandingan titik puncak Pada Spesimen J, kelelehan struktur beban arah negatif terjadi pada rotasi -0,01 rad dengan moment -55 kNm, sedangkan beban arah positif terjadi pada rotasi 0,005 rad dengan moment 22 kNm. Pada Model J-Atena, kelelehan struktur beban arah negatif terjadi pada rotasi -0,0029 rad dengan moment -39,8 kNm, sedangkan pada arah beban positif terjadi pada rotasi 0,0026 rad dengan 30,5 kNm. Model J-Atena memiliki modulus elastis inisial yang lebih tinggi dari Spesimen J. Untuk memudahkan interpretasi data Tabel 5. 1 menunjukkan rangkuman data moment dan rotasi Spesimen J dan Model J-Atena.
Tabel 5. 1 Rangkuman koordinat histeresis hubungan balok kolom tanpa pelat
Rotasi Puncak Arah
Titik Leleh
Moment Puncak
Benda Uji Rotasi Moment Rotasi Moment Rotasi Moment
[rad] [kNm] Spesimen J
-0.0575 -60 Negatif Model J-Atena -0.0025
-0.01
-55
-0.0505 -19.2 Spesimen J
19.5 Perbedaan momen maksimum uji numerik terhadap uji eksperimental pada
Model J-Atena 0.0026
30.5 0.0103
38.7 0.0495
arah positif sebesar 3,7kNm (9,56%), sedangkan pada arah negatif sebesar 2,1 kNm (3,38%). Perbandingan rotasi maksimum uji numerik terhadap uji eksperimental pada arah positif sebesar -13,91%, sedangkan pada arah negatif sebesar -12,18%. Uji numerik dapat digunakan untuk memprediksi kisaran rotasi dan moment maksimum.
5.3.2. Perbandingan Kurva Moment-Rotasi Spesimen JS dengan Model JS-Atena Pada sub-bab ini dibahas mengenai perilaku model hubungan balok kolom dengan pelat. Gambar 5. 11 menunjukkan perbandingan kurva hubungan moment-rotasi hubungan balok kolom dengan pelat.
Gambar 5. 11 Kurva histeresis hubungan balok kolom dengan pelat
1. Perbandingan bentuk kurva Terdapat perbedaan perbedaan perilaku antara hasil uji eksperimental dengan hasil uji numerical, yaitu pada kekuatan struktur hubungan balok kolom. Kekuatan Spesimen JS mengalami peningkatan setelah mengalami kelelehan. Berbeda dengan Spesimen JS, kekuatan hubungan balok Model JS-Atena menurun setelah mengalami kelelehan.
Spesimen JS tidak mengalami efek jepitan ‘pinching’ pada kurva histeresis. Spesimen JS memiliki bentuk kumparan ‘spindle-shape’ yang baik. Dengan bentuk seperti demikian, sambungan memiliki daktilitas dan kekuatan yang baik. Lain halnya dengan Model JS-Atena, mengalami pinching dan penurunan kekuatan drastis pada beban drift awal. Model JS-Atena lebih daktail pada drift besar, sehingga efek pinching tidak dominan. Bentuk kurva histeresis dari Model JS- Atena tipikal untuk kurva histeresis yang mengalami kegagalan lentur dari tulangan balok.
Pada Spesimen JS, terlihat pengulangan beban dengan besaran drift yang sama akan menghasilkan kurva histeresis yang sama. Hal ini menandakan tidak adanya slip antar tulangan dengan beton. Selain itu, kurva histeresis yang sama menunjukkan pengaruh riwayat pembebanan tidak dominan. Hal ini menandakan Pada Spesimen JS, terlihat pengulangan beban dengan besaran drift yang sama akan menghasilkan kurva histeresis yang sama. Hal ini menandakan tidak adanya slip antar tulangan dengan beton. Selain itu, kurva histeresis yang sama menunjukkan pengaruh riwayat pembebanan tidak dominan. Hal ini menandakan
Berbeda dengan Spesimen JS, Model JS-Atena memiliki kurva histeresis yang terus menurun ketika dibebani. Hal ini disebabkan oleh kelelehan beberapa tulangan balok, sehinga tidak mampu menahan moment yang besar.
2. Perbandingan titik puncak Pada Spesimen JS, kelelehan struktur beban arah negatif terjadi pada rotasi -0,01 rad dengan moment -60 kNm, sedangkan beban arah positif terjadi pada rotasi 0,0125 rad dengan moment 38 kNm. Pada Model JS-Atena, kelelehan struktur beban arah negatif terjadi pada rotasi -0,0029 rad dengan moment -54,8 kNm, sedangkan pada arah beban positif terjadi pada rotasi 0,0026 rad dengan 37,6 kNm. Model JS-Atena memiliki modulus elastis inisial yang lebih tinggi dari Spesimen JS. Untuk memudahkan interpretasi Tabel 5. 2 menunjukkan rangkuman data moment dan rotasi Spesimen JS dan Model JS-Atena.
Tabel 5. 2 Rangkuman koordinat histeresis hubungan balok kolom tanpa pelat
Rotasi Puncak Arah
Titik Leleh
Moment Puncak
Benda Uji Rotasi Moment Rotasi Moment Rotasi Moment
[rad] [kNm] Spesimen JS
-0.0575 -95 Negatif Model JS-Atena -0.0029
-0.0568 -27.4 Spesimen JS
28.5 Perbedaan momen maksimum uji numerik terhadap uji eksperimental pada
Model JS-Atena 0.0026
arah positif sebesar 0,7 kNm (-1,87%), sedangkan pada arah negatif sebesar 1,2 kNm (-1,28%). Perbandingan rotasi maksimum uji numerik terhadap uji eksperimental pada arah positif sebesar -0,0143 rad (-24,87%), sedangkan pada arah negatif sebesar -0,007 rad (-1,22%). Uji numerik dapat digunakan untuk memprediksi kisaran rotasi dan moment maksimum. Pada kali ini, uji numerik menghasilkan nilai yang lebih konservatif.
5.4. Perbandingan Degradasi Kekakuan
Degradasi kekakuan adalah proses kehilangan kekakuan struktur secara progresif akibat adanya riwayat pembebanan. Perbandingan kekakuan benda uji ditampilkan dalam bentuk kurva degradasi kekakuan peak to peak dalam satu siklus pembebanan. Nilai kekakuan (K) didefinisikan sebagai kemiringan garis dari titik puncak positif ke titik puncak negatif dari kurva histeresis setiap siklus.
Gambar 5. 12 Kekakuan peak to peak (Kurniawan, 2015) Kekakuan benda uji pada setiap siklus pembebanan ditampilkan pada Tabel
5. 3. Pada uji eksperimental, degradasi kekakuan yang terjadi terlihat konstan. Sedangkan pada uji numerik, degradasi kekakuan terjadi secara eksponensial. Selain itu, degradasi kekakuan uji eksperimental lebih kecil dari uji numerik. Kedua hal ini menandakan, pengujian eksperimental menghasilkan kekuatan sambungan yang stabil pada siklus pembebanan. Penurunan kekakuan sambungan ditandai juga oleh kekakuan awal hasil uji numerik lebih tinggi daripada hasil uji eksperimental. Akan tetapi, kekakuan akhir hasil uji numerik, lebih rendah dari uji eksperimental.
Tabel 5. 3 Kekakuan setiap siklus pembebanan
Experimental Drift
Numerik
J [kN/mm] [kN/mm] [kN/mm] [kN/mm] 0.25%
JS-Atena
J-Atena
JS
Untuk memudahkan interpretasi tabel, degradasi kekakuan setiap siklus pembebanan ditampilkan pada Gambar 5. 13.
14 12 JS-Atena
] m 10 J-Atena
Gambar 5. 13 Degradasi kekakuan setiap siklus pembebanan Kekakuan sambungan uji numerik pada siklus pembebanan drift 0.25%,
menunjukkan angka yang dekat. Perbedaan antara kekakuan model uji numerik pada drift 0.25% adalah 2,8%. Hal ini berarti keberadaan pelat tidak membawa pengaruh besar pada saat kondisi elastis. Namun, setelah kondisi elastis terlihat pelat ikut berperan memperkaku sambungan. Perbedaan terbesar antar model uji numerik adalah 35,2% pada drift 2,5%.
Kekakuan sambungan uji eksperimental pada siklus pembebanan drift 0.25%, menunjukkan angka yang dekat juga. Perbedaan antar kekakuan model uji eksperimental hanya 3,4%. Hal ini berarti keberadaan pelat tidak membawa pengaruh besar pada saat kondisi elastis uji eksperimental. Namun, setelah kondisi elastis terlihat pelat ikut berperan memperkaku sambungan. Perbedaan terbesar kekakuan antar model uji eksperimental adalah 29,7% pada drift 1%.
Kekakuan awal sambungan kedua model hasil uji numerik sangat besar dibandingkan hasil uji eksperimental. Namun, kekakuan akhir sambungan kedua model hasil uji numerik lebih kecil dibandingkan hasil uji eksperimental. Perbedaan kekakuan awal dan akhir sambungan tanpa pelat berturut-turut sebesar 7,14 kN/mm (124,46%) dan -0,69 kN/mm (-57,98%), kekakuan awal dan akhir sambungan dengan pelat berturut-turut sebesar 7,31kN/mm (123,13%) dan -0,44 kN/mm (- 52,98%).
5.5. Perbandingan Daktilitas Rotasi
Daktilitas rotasi adalah perbandingan rotasi antara rotasi ultimit terhadap rotasi leleh. Pada pengujian eksperimental dan numerik, rotasi ultimit ditentukan sebesar 5%. Namun sampai dengan drift 5%, benda uji belum menunjukkan keruntuhan, sehingga rotasi ultimit sebenarnya lebih dari 5%. Dalam studi ini, daktilitas rotasi yang dimaksud merupakan daktilitas yang terpakai hingga drift 5%.
Rotasi leleh ( ϕ y ) dari hasil pengujian ini diambil sebagai titik pertama perubahan kemiringan garis. Sedangkan, rotasi ultimit ( ϕ u ) adalah rotasi terbesar pada hasil pengujian. Daktilitas rotasi ( μ) dihitung untuk rotasi arah positif dan arah negatif. Oleh karena itu, daktilitas rotasi terpakai dapat dihitung berdasarkan rumus berikut:
(5-1)
Tabel 5. 4 menunjukkan daktilitas terpakai benda uji hingga drift 5%. Dari hasil perhitungan daktilitas rotasi, hasil uji numerik menunjukkan hasil yang lebih besar daripada hasil uji eksperimental. Pada hasil uji numerik dan eksperimental, daktilitas sambungan dengan pelat memiliki nilai yang lebih rendah daripada sambungan tanpa pelat.
Tabel 5. 4 Daktilitas terpakai benda uji hingga drift 5%
μ Benda Uji
ϕy [rad]
ϕu [rad]
rata- (-)
JS-Atena -0.0029 0.0026 -0.0568 0.0432 19.6 16.6 18.1 J-Atena
-0.0025 0.0026 -0.0505 0.0495 20.2 19.0 19.6 JS
-0.01 0.0125 -0.0575 0.0575 5.8 4.6 5.2 J
-0.01 0.0075 -0.0575 0.0575 5.8 7.7 6.7
Daktilitas rotasi lebih baik, jikalau dibahas dengan kekakuan. Hubungan daktilitas rotasi dengan kekakuan ditampilkan pada Gambar 5. 14. Kekakuan yang dimaksud adalah kekakuan pada saat daktilitas ultimit atau kekakuan pada saat siklus beban terakhir (drift 5%). Dapat dilihat, bahwa semakin tinggi kekakuan, maka daktilitas rotasi akan semakin rendah. Benda uji dengan pelat Daktilitas rotasi lebih baik, jikalau dibahas dengan kekakuan. Hubungan daktilitas rotasi dengan kekakuan ditampilkan pada Gambar 5. 14. Kekakuan yang dimaksud adalah kekakuan pada saat daktilitas ultimit atau kekakuan pada saat siklus beban terakhir (drift 5%). Dapat dilihat, bahwa semakin tinggi kekakuan, maka daktilitas rotasi akan semakin rendah. Benda uji dengan pelat
JS-Atena ka 0.4 J-Atena
Gambar 5. 14 Hubungan daktilitas dengan kekakuan
5.6. Perbandingan Disipasi Energi
Disipasi energi adalah representasi energi histeretik yang diserap struktur akibat siklus pembebanan. Disipasi energi dihitung dari luasan kumulatif kurva histeresis setiap siklus pembebanan. Besarnya disipasi energi yang ditampilkan dari luasan kurva tersebut dapat digunakan sebagai informasi pembanding perilaku dan kerusakan benda uji.
Pinching sering kali terjadi pada kurva histeretik struktur beton bertulang. Fenomena ini merupakan pengecilan kurva histeretik dibagian tengahnya. Pinching disebabkan oleh kehilangan kekakuan secara tiba-tiba akibat kerusakan pada struktur atau pada interaksi antara komponen struktur (Kurniawan, 2015). Pada beton, kerusakan yang dimaksud adalah crushing dan cracking, kelelehan tulangan, slip antara tulangan dan beton.
Hasil perhitungan disipasi energi kumulatif semua benda uji ditampilkan pada Tabel 5. 5. Energi disipasi hasil uji numerik lebih rendah daripada hasil uji ekspeimental. Hal ini berarti luasan kurva hasil uji numerik lebih kecil daripada hasil uji eksperimental. Penurunan kekuatan yang drastis pada hasil uji numerik, menyebabkan luasan kurva histeresis hasil uji numerik lebih rendah. Hal ini juga Hasil perhitungan disipasi energi kumulatif semua benda uji ditampilkan pada Tabel 5. 5. Energi disipasi hasil uji numerik lebih rendah daripada hasil uji ekspeimental. Hal ini berarti luasan kurva hasil uji numerik lebih kecil daripada hasil uji eksperimental. Penurunan kekuatan yang drastis pada hasil uji numerik, menyebabkan luasan kurva histeresis hasil uji numerik lebih rendah. Hal ini juga
Tabel 5. 5 Energi disipasi benda uji setiap siklus
Experimental Drift
JS-Atena kN 25 J-Atena
Gambar 5. 15 Energi disipasi kumulatif setiap siklus Energi disipasi benda uji sambungan dengan pelat lebih besar daripada
tanpa pelat. Hal ini dikarenakan, kekuatan dari sambungan dengan pelat lebih besar daripada sambungan tanpa pelat. Kekuatan yang besar ini, diimbangi oleh rotasi yang sama pada sambungan dengan pelat maupun tanpa pelat pada setiap siklusnya. Hal ini menyebabkan, luas kurva histeresis sambungan dengan pelat menjadi lebih luas.
Pada saat drift awal, benda uji eksperimental memiliki energi disipasi yang lebih rendah daripada model numerik. Hal ini dikarenakan, kekakuan awal dari Pada saat drift awal, benda uji eksperimental memiliki energi disipasi yang lebih rendah daripada model numerik. Hal ini dikarenakan, kekakuan awal dari
Perbedaan disipasi energi kumulatif antara hasil uji numerik dengan hasil uji eksperimental sambungan tanpa pelat dan dengan pelat secara berturut-turut adalah sebesar -9,78 kNm (-39,09%) dan -12,42 kNm (-37,08%).
5.7. Perbandingan Retakan Hasil Uji Eksperimental dengan Hasil Uji Numerik
Pada sub-bab ini dibahas mengenai retakan hasil uji eksperimental dengan hasil uji numerik.
5.7.1. Retak pada Sambungan Pada hasil uji eksperimental, kolom dan panel zone kedua spesimen tidak mengalami retak yang besar. Pada sambungan hanya terjadi retak rambut saja. Lebar retak yang teramati pada sambungan tidak lebih dari 0,2mm. Pada panel zone terdapat Spesimen J, retak yang terjadi adalah retak geser. Hal ini ditandai oleh retak dengan arah diagonal. Sedangkan pada Spesimen JS, retak yang terjadi pada panel zone adalah gabungan antara retak geser dengan retak lentur. Hal ini ditandai oleh bentuk retak yang terjadi lebih tegak. Selain itu, retak lentur terjadi juga pada arah horizontal.
Pada hasil uji numerik, pada kolom dan panel zone kedua spesimen tidak mengalami retak yang besar. Model J-Atena memiliki retak maksimum sebesar 0.8mm, sedangkan Model JS-Atena retak selebar 1mm. Jumlah retak elemen pada panel zone Model JS-Atena lebih banyak daripada Model J-Atena. Retak elemen pada panel zone Model J-Atena dan Model JS-Atena membentuk formasi retak diagonal sama dengan hasil uji eksperimental. Selain itu, terdapat juga formasi retak yang menyusun retak tepi kolom. Hal ini disebabkan terdapat konsentrasi tegangan akibat adanya perbedaan ukuran balok dan kolom. Retak tepi kolom, tidak terjadi Pada hasil uji numerik, pada kolom dan panel zone kedua spesimen tidak mengalami retak yang besar. Model J-Atena memiliki retak maksimum sebesar 0.8mm, sedangkan Model JS-Atena retak selebar 1mm. Jumlah retak elemen pada panel zone Model JS-Atena lebih banyak daripada Model J-Atena. Retak elemen pada panel zone Model J-Atena dan Model JS-Atena membentuk formasi retak diagonal sama dengan hasil uji eksperimental. Selain itu, terdapat juga formasi retak yang menyusun retak tepi kolom. Hal ini disebabkan terdapat konsentrasi tegangan akibat adanya perbedaan ukuran balok dan kolom. Retak tepi kolom, tidak terjadi
Tabel 5. 6 Perbandingan pola retak hubungan balok kolom Spesimen J Hubungan Balok Kolom Spesimen J
Uji Eksperimental
Spesimen J
Uji Numerik
Model J-Atena
Tabel 5. 7 Perbandingan pola retak hubungan balok kolom Spesimen JS Hubungan Balok Kolom Spesimen JS
Uji Eksperimental
Spesimen JS
Uji Numerik
Model JS-Atena
5.7.2. Retak pada Balok Pada hasil uji eksperimental, kedua spesimen menunjukkan performa Strong Column-Weak Beam . Sendi plastis yang terjadi terarah di balok dan muka kolom. Pada Spesimen J, terdapat sendi plastis ditandai retak yang besar dari bawah hingga atas balok. Retak ini menunjukkan mekanisme kegagalan lentur pada balok. Tulangan bawah balok Spesimen J terlihat akibat adanya remuk ‘crushing’ dan terkelupas ‘spalling’. Retak pada Spesimen J terpusat pada dekat dengan muka kolom, sedangkan pada bentang balok hanya terjadi retak rambut yang menunjukkan retak lentur.
Pada Spesimen JS, retak pada balok memiliki sudut 45 o dan mengarah ke pelat. Retak tersebar pada seluruh bentang balok berbeda dengan Spesimen J. Sendi
plastis yang terjadi terpusat di balok. Retak sendi plastis yang terjadi mirip dengan sendi plastis pada Spesimen J. Selimut beton pada bawah balok dekat muka kolom. Retak yang terjadi pada Spesimen JS lebih kecil daripada retak pada Spesimen J. Hal ini dikarenakan, adanya tahanan lentur ‘flexural resistance’ dari tulangan pelat. Selain itu, adanya penyebaran tegangan yang terjadi ke pelat.
Pada hasil uji numerik, retak lebih banyak terjadi pada balok. Hal ini menunjukkan bahwa kolom menerima kerusakan ‘damage’ yang lebih rendah daripada balok. Pada kedua spesimen, lebar retak yang dihasilkan tidak selebar retak pada uji eksperimental. Pada Model J-Atena menunjukkan sendi plastis terjadi di balok. Retak yang terjadi terpusatkan dekat ke muka kolom sama dengan Spesimen J uji eksperimental. Retak yang terjadi melintangi kedua sisi balok. Retak yang terjadi, tidak lebih besar dari 0.8mm.
Pada Model JS-Atena, menunjukkan karakteristik retak yang tersebar pada bentang balok. Retak tersebut mengarah ke pelat dengan sudut 45 o kemudian
bersatu dengan retak pelat. Retak yang terjadi pada Model JS-Atena ini mirip dengan Spesimen JS. Sendi plastis yang terjadi terpusat pada balok, berbeda dengan Model J-Atena yang terpusat pada muka kolom. Pada Model JS-Atena kolom di daerah bawah panel zone mengalami retak. Retak pada kolom sama sekali tidak terjadi pada Model J-Atena. Hal ini terjadi karena, gaya geser yang terjadi pada bersatu dengan retak pelat. Retak yang terjadi pada Model JS-Atena ini mirip dengan Spesimen JS. Sendi plastis yang terjadi terpusat pada balok, berbeda dengan Model J-Atena yang terpusat pada muka kolom. Pada Model JS-Atena kolom di daerah bawah panel zone mengalami retak. Retak pada kolom sama sekali tidak terjadi pada Model J-Atena. Hal ini terjadi karena, gaya geser yang terjadi pada
Tabel 5. 8 Perbandingan pola retak balok Spesimen JS
Hubungan Balok Kolom Tanpa Pelat
Uji Eksperimental
Spesimen J
Uji Numerik
Model J-Atena
Tabel 5. 9 Perbandingan pola retak balok Spesimen JS
Hubungan Balok Kolom Dengan Pelat
Uji Eksperimental
Spesimen JS
Uji Numerik
Model JS-Atena
5.7.3. Retak pada Pelat Pada hasil uji eksperimental, retak pada pelat terjadi membuka dan menutup hingga akhir pengujian. Retak terlebar adalah retak transversal dengan lebar 2,6mm. Sedangkan pada hasil uji numerik, retak terlebar hanya 0,8mm. Pola retak antara hasil uji eksperimental dengan uji numerik memiliki kemiripan bentuk dan tahapan pembentukannya.
Tabel 5. 10 menunjukkan perbandingan pola retak pada balok. Pola retak pada hasil uji numerik, ditampilkan dalam 2 gambar yang disatukan. Hal ini dikarenakan retak yang terjadi membuka dan menutup, sedangkan pada uji eksperimental, retak sudah ditebalkan menggunakan alat tulis.
Tabel 5. 10 Perbandingan pola retak pelat Spesimen JS
Hubungan Balok Kolom Dengan Pelat
Uji Eksperimental
Spesimen JS
Uji Numerik
Model JS- Atena
5.8. Perbandingan Hasil Uji Siklik Beban Eksperimental dengan Hasil Uji Siklik Beban ACI 374
Pada kali ini dibahas mengenai pengaruh loading protocol terhadap hasil uji numerik antara hasil uji siklik dengan pembebanan ACI 374 dan dengan pola pembebanan pada uji eksperimental oleh Saddam.
5.8.1. Perbedaan Pola Pembebanan Beban siklik pada uji eksperimental oleh Saddam memiliki satu siklus hingga drift 1,5%. Kemudian, dilanjutkan dua siklus hingga drift 5%. Beban siklik ACI 374, memiliki tiga siklus pada setiap drift dan diikuti oleh gelombang kecil setengah drift ‘wavelet’ untuk memodelkan goncangan kecil pada gempa. Peralihan maksimum pola beban ACI 374, hanya hingga 3.75%. Gambar 5. 16 menunjukkan pola pembebanan pada uji eksperimental oleh Saddam, sedangkan Gambar 5. 17 pola pembebanan berdasarkan ACI 374.
Gambar 5. 16 Pola pembebanan siklik uji eksperimental oleh Saddam
Gambar 5. 17 Pola pembebanan siklik ACI 374
5.8.2. Perbedaan Hasil Uji Siklik ACI 374 dengan Hasil Uji Numerik Model J- Atena
Hasil uji siklik dengan loading protocol ACI 374 ditunjukkan oleh Gambar 5. 18. Model J-Atena yang diuji dengan beban siklik diberi nama J-ACI.
(a)
(b)
Gambar 5. 18 Hasil uji siklik loading protocol ACI 374 Model J-Atena
Dari hasil uji siklik pembebanan ACI 374, didapatkan bentuk kurva yang serupa dengan uji siklik dengan pola pembebanan Saddam. Model mengalami penurunan kekuatan setelah melewati drift 1%. Kekuatannya terus menurun hingga
5kNm. Selain itu, terjadi penurunan kekuatan pada saat beban arah bawah jikalau dibandingkan dengan uji eksperimental oleh Saddam.
Pada Model J-Atena uji siklik dengan pembebanan ACI 374 didapatkan kurva histeresis yang lebih kecil daripada uji siklik dengan beban siklik eksperimental oleh Saddam. Hal ini dikarenakan, uji siklik dengan pembebanan ACI 374 tidak dapat dilakukan hingga selesai, karena struktur sudah mengalami keruntuhan sebelum beban siklik dapat diselesaikan. Pada model hubungan balok kolom tanpa pelat Model J-Atena, kegagalan terjadi pada siklus kedua drift 2%. Gambar 5. 19 menunjukkan waktu kegagalan Model J-Atena saat uji pembebanan siklik ACI 374.
Gambar 5. 19 Waktu kegagalan Model J-Atena Pada saat uji siklik dengan pembebanan yang sama dengan uji
eksperimental, struktur mampu berdeformasi hingga drift 5%. Namun, pada saat uji siklik dengan pembebanan ACI 374 struktur hanya mampu berdeformasi hingga drift 2,2%. Hal ini disebabkan, pembebanan ACI 374 memiliki tiga siklus untuk setiap drift. Selain itu, variasi drift yang diujikan lebih banyak yaitu, 0,2%, 0,25%, 0,35%, 0,5%, 0,75%, 1%, 1,5%, 1,75%, 2,2%, 2,75, dan 3,5%. Banyaknya drift yang diujikan menyebabkan struktur menjadi lebih cepat tidak stabil, walaupun struktur belum mencapai deformasi yang direncanakan.
5.8.3. Perbedaan Hasil Uji Siklik ACI 374 dengan Hasil Uji Numerik Model JS- Atena
Hasil uji siklik dengan loading protocol ACI 374 ditunjukkan oleh Gambar 5. 20. Model JS-Atena yang diuji dengan beban siklik diberi nama JS-ACI.
(a)
(b)
Gambar 5. 20 Hasil uji siklik loading protocol ACI 374 Model JS-Atena
Dari hasil uji siklik pembebanan ACI 374, didapatkan bentuk kurva yang serupa dengan uji siklik dengan pola pembebanan Saddam. Model mengalami penurunan kekuatan setelah melewati drift 0,75%. Kekuatannya terus menurun, kemudian konsisten pada 15kNm. Selain itu, terjadi penurunan kekuatan yang Dari hasil uji siklik pembebanan ACI 374, didapatkan bentuk kurva yang serupa dengan uji siklik dengan pola pembebanan Saddam. Model mengalami penurunan kekuatan setelah melewati drift 0,75%. Kekuatannya terus menurun, kemudian konsisten pada 15kNm. Selain itu, terjadi penurunan kekuatan yang
Pada Model JS-Atena uji siklik dengan pembebanan ACI 374 didapatkan kurva histeresis yang lebih kecil daripada uji siklik dengan beban siklik eksperimental oleh Saddam. Hal ini dikarenakan, uji siklik dengan pembebanan ACI 374 tidak dapat dilakukan hingga selesai, karena struktur sudah mengalami keruntuhan sebelum beban siklik dapat diselesaikan. Pada model hubungan balok kolom tanpa pelat Model J-Atena, kegagalan terjadi pada siklus kedua drift 2,75%. Gambar 5. 21 menunjukkan waktu kegagalan Model JS-Atena saat uji pembebanan siklik ACI 374.
Gambar 5. 21 Waktu kegagalan Model JS-Atena Pada saat uji siklik dengan pembebanan yang sama dengan uji
eksperimental, struktur mampu berdeformasi hingga drift 5%. Namun, pada saat uji siklik dengan pembebanan ACI 374 struktur hanya mampu berdeformasi hingga drift 2,2%. Hal ini disebabkan, pembebanan ACI 374 memiliki tiga siklus untuk setiap drift. Selain itu, variasi drift yang diujikan lebih banyak yaitu, 0,2%, 0,25%, 0,35%, 0,5%, 0,75%, 1%, 1,5%, 1,75%, 2,2%, 2,75, dan 3,5%. Banyaknya drift yang diujikan menyebabkan struktur menjadi lebih cepat tidak stabil, walaupun struktur belum mencapai deformasi yang direncanakan.
5.9. Perbandingan Hasil Uji Siklik dengan Uji Monotonik Numerik
Hasil perbandingan pembebanan siklik hasil uji eksperimental dengan hasil uji numerik tidak begitu baik. Hasil uji numerik mampu menggambarkan besaran moment maksimum dan besaran rotasi maksimum, akan tetapi bentuk kurva histeresis hasil uji numerik berbeda dengan hasil uji eksperimental. Oleh karena itu, dilakukan uji monotonik untuk memvalidasi bentuk kurva histeresis maksimum.
Pembebanan monotonik akan menghasilkan nilai kurva yang lebih besar daripada envelope pembebanan siklik. Akan tetapi, bentuk dari kurva moment- rotasi pembebanan monotonik, tidak berbeda jauh dengan kurva histeresis.
5.9.1. Perbandingan Hasil Uji Siklik dengan Uji Monotonik Numerik Uji monotonik pada model numerik dilakukan dengan model yang sama
dengan uji siklik, hanya model material tulangan yang digunakan adalah Reinforcement . Model tulangan ini berperilaku elasto-plastis tanpa adanya Efek Bauschinger pada saat pembebanan bolak-balik. Gambar 5. 22 menunjukkan perbandingan kurva histeresis moment-rotasi dengan pembebanan monotonik pada model hubungan balok kolom tanpa pelat, sedangkan Gambar 5. 23 model hubungan balok kolom dengan pelat.
(a) (b) Gambar 5. 22 Perbandingan pembebanan siklik dengan monotonik hubungan
balok kolom tanpa pelat (a) dengan numerik dan (b) dengan eksperimental
(a) (b) Gambar 5. 23 Perbandingan pembebanan siklik dengan monotonik hubungan
balok kolom dengan pelat (a) dengan numerik dan (b) dengan eksperimental
Bentuk kurva moment-rotasi hasil pembebanan monotonik tidak sama dengan envelope kuva histeresis uji numerik. Pada hasil uji monotonik kedua model, tidak terjadi penurunan kekuatan seperti kurva histeresis. Melainkan kekuatan cenderung stabil dan meningkat.
Kesamaan pada hasil kurva moment-rotasi beban siklik dan monotonik hasil uji numerik, keduanya memiliki modulus elastis inisial yang sama. Hal ini menunjukkan, input parameter elastis awal dari program sudah sama.
Pada hasil uji monotonik tidak terjadi penurunan kekuatan, sehingga bentuk hasil pembebanan monotonik mirip dengan kurva histeresis hasil uji eksperimental.
5.9.2. Perbandingan Hasil Uji Siklik dengan Uji Monotonik Numerik dengan Pelepasan Beban
Hasil uji siklik dan hasil uji monotonik numerik tidak menghasilkan hasil yang serupa, maka dari itu dilakukan uji monotonik dengan beban berulang. Pada awalnya, balok diberikan perpindahan hingga drift 2,5%. Kemudian dilakukan pelepasan beban ‘unload’ hingga drift 0%. Setelah itu, dibebani hingga mencapai drift 5%. Kurva hasil uji monotonik dengan pelepasan beban dinamai sebagai
J_Mon_Unload. Gambar 5. 24 menunjukkan hasil uji monotonik dengan pelepasan beban pada hubungan balok kolom tanpa pelat (Model J-Atena).
(a) Perbandingan dengan hasil uji numerik
(b) Perbandingan dengan hasil uji eksperimental
Gambar 5. 24 Perbandingan hasil uji monotonik dengan 'unloading'
dengan hasil uji numerik Model J-Atena
Untuk model hubungan balok kolom dengan pelat (Model JS-Atena), dilakukan juga pembebanan yang serupa dengan Model J-Atena. Kurva hasil pengujiannya monotonik dengan pelepasan beban model hubungan balok kolom dengan pelat ditunjukkan pada Gambar 5. 25.
(a) Perbandingan dengan hasil uji numerik
(b) Perbandingan dengan hasil uji eksperimental
Gambar 5. 25 Perbandingan hasil uji monotonik dengan 'unloading'
dengan hasil uji numerik Model JS-Atena
Dari hasil pembebanan monotonik yang ditunjukkan Gambar 5. 24 dan Gambar 5. 25, hasil uji monotonik dengan pelepasan beban konsisten menghasilkan kurva yang serupa dengan monotonik tanpa pelepasan beban. Pada hasil uji monotonik dengan pelepasan beban, kedua model menghasilkan kurva yang baik. Tidak terjadi penurunan kekakuan yang besar, hal ini ditandai dengan kemiringan garis pada tegangan kedua kali tidak berubah signifikan dari modulus elastisitas awal. Selain itu, kembalinya kurva tidak jauh dari posisi awal.
Dari hasil uji monotonik dengan pelepasan beban, didapatkan bentuk kurva yang masih serupa dengan kurva histeresis hasil uji eksperimental. Namun, bentuk Dari hasil uji monotonik dengan pelepasan beban, didapatkan bentuk kurva yang masih serupa dengan kurva histeresis hasil uji eksperimental. Namun, bentuk
5.9.3. Perbandingan Hasil Uji Siklik dengan Hasil Pengujian Beban Drift 2,5% Kurva hasil uji monotonik dengan pelepasan beban tidak menunjukkan adanya penurunan kekakuan seperti pada hasil uji numerik. Oleh karena itu, dilakukan percobaan pembebanan dengan melakukan dua siklus penuh drift 2,5%. Kemudian dilanjutkan dengan dua siklus penuh drift 5%. Gambar 5. 26 menunjukkan hasil pembebanan dua siklus 2,5% dan 5% pada model hubungan balok kolom tanpa pelat Model J-Atena, sedangkan Gambar 5. 27 pada hubungan balok kolom dengan pelat Model JS-Atena.
(a) (b)
Gambar 5. 26 Pembebanan siklus drift 2,5% dan 5% pada Model J-Atena
dibandingkan dengan (a) uji numerik dan (b) uji eksperimental
(a) (b)
Gambar 5. 27 Pembebanan siklus drift 2,5% dan 5% pada Model JS-Atena
dibandingkan dengan (a) uji numerik dan (b) uji eksperimental
Pada awal siklus pertama drift 2,5%, kedua model menghasilkan bentuk kurva yang serupa dengan uji monotonik dengan pelepasan beban. Namun, setelah mencapai titik berbalik arah untuk pertama kalinya, terjadi penurunan kekuatan yang signifikan. Hal ini serupa dengan hasil pembebanan siklik hasil uji numerik.
Dari percobaan pembebanan tersebut, terjadi penurunan kekuatan setelah beton yang sudah retak mengalami tegangan tekan kembali. Pada saat beton retak mengalami tegangan tekan kembali, penurunan kekuatannya cukup signifikan. Atena sudah merumuskan kekuatan tekan beton setelah retak adalah 0,8 dari kekuatan tekan beton. Akan tetapi, nilai tersebut menghasilkan kekuatan terlalu kecil.
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN