Studi Perbandingan Hasil Uji Numerik Mod
SKRIPSI STUDI PERBANDINGAN HASIL UJI NUMERIK MODEL HUBUNGAN BALOK KOLOM DENGAN HASIL UJI EKSPERIMENTAL SONATHA CHRISTIANTO NPM : 2013410088
PEMBIMBING : Dr. Djoni Simanta UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
(Terakreditasi Berdasarkan SK BAN-PT Nomor: 227/SK/BAN-PT/Ak-XVI/S/XI/2013)
BANDUNG JANUARI 2017
SKRIPSI STUDI PERBANDINGAN HASIL UJI NUMERIK MODEL HUBUNGAN BALOK KOLOM DENGAN HASIL UJI EKSPERIMENTAL SONATHA CHRISTIANTO NPM : 2013410088
BANDUNG, 11 JANUARI 2017 PEMBIMBING
Dr. Djoni Simanta UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
(Terakreditasi Berdasarkan SK BAN-PT Nomor: 227/SK/BAN-PT/Ak-XVI/S/XI/2013)
BANDUNG JANUARI 2017
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama Lengkap
: Sonatha Christianto
NPM
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “STUDI
PERBANDINGAN HASIL UJI NUMERIK MODEL HUBUNGAN BALOK
KOLOM DENGAN HASIL UJI EKSPERIMENTAL ” adalah karya ilmiah yang bebas plagiat. Jika dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam skripsi ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Bandung, 11 Januari 2017
Sonatha Christianto 2013410088
STUDI PERBANDINGAN HASIL UJI NUMERIK MODEL HUBUNGAN BALOK KOLOM DENGAN HASIL UJI EKSPERIMENTAL
Sonatha Christianto NPM : 2013410088
Pembimbing : Dr. Djoni Simanta
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
(Terakreditasi Berdasarkan SK BAN-PT Nomor: 227/SK/BAN-PT/Ak-XVI/S/XI/2013)
BANDUNG JANUARI 2017 ABSTRAK
Hubungan balok kolom merupakan salah satu bagian penting dalam menjamin stabilitas struktur rangka pemikul momen. Seiring dengan perkembangan teknologi program komputer berbasis metode elemen hingga, perilaku hubungan balok kolom dapat dianalisis secara numerik. Uji numerik memiliki biaya dan waktu yang lebih rendah dibandingkan uji eksperimental. Dalam skripsi ini, uji numerik dilakukan terhadap dua hubungan balok kolom interior satu arah berdasarkan uji eksperimental oleh Saddam M. Ahmed. Uji dilakukan dengan menggunakan Program Atena 3D yang terbagi menjadi tiga fungsi utama, yaitu pre-processing, analisis, dan post-processing. Beton dimodelkan sebagai elemen solid, sedangkan tulangan baja sebagai elemen batang diskret. Hubungan antara tulangan baja dengan beton dimodelkan melekat sempurna. Pelat memiliki pengaruh yang signifikan pada hasil uji numerik maupun uji eksperimental. Hasil analisis dari pembebanan siklik menunjukkan adanya perbedaan perilaku yang signifikan antara hasil uji eksperimental dengan numerik. Namun, hasil uji numerik mampu menghasilkan nilai moment puncak dan rotasi puncak yang terjadi pada uji eksperimental. Pada Spesimen J perbedaan terbesar moment puncaknya hanya 3,7 kNm (9,56%), sedangkan pada Spesimen JS sebesar -0,7 kNm (- 1,87%).
Kata Kunci : Hubungan Balok Kolom Beton Bertulang, Metode Elemen Hingga, Analisis Non- Linier Atena 3D
COMPARATIVE STUDY BETWEEN NUMERICAL TEST RESULTS BEAM-COLUMN JOINT MODEL WITH EXPERIMENTAL TEST RESULTS
Sonatha Christianto NPM : 2013410088
Advisor : Dr. Djoni Simanta
PARAHYANGAN CATHOLIC UNIVERSITY DEPARTEMENT OF CIVIL ENGINEERING
(Accreditated SK BAN-PT Nomor: 227/SK/BAN-PT/Ak-XVI/S/XI/2013)
BANDUNG JANUARY 2017 ABSTRACT
Beam Column Joinst is one of important element to ensure stability of moment resisting frame. Along with the developments in program technology based on finite element method, behaviour of beam column joint can be analysis numerically. Numerical test needs lower cost and money, than experimental test. In this study, numerical test is conducted on two interior one way beam column joint that have been tested experimentally by Saddam M. Ahmed. Numerical test is conducted using Atena 3D program which has three main functions: pre-processing, analysis and post-processing. Concrete is modeled as solid element, while steel reinforcement as discrete truss element. Connection between steel reinforcement and concrete is modeled with perfect connection. The slab has significant effect on the result of numerical test and experimental test. The result from cyclic loading analysis shows significant differences on behaviour with experimental test results. On J Secimen peak moment maksimum different is just 3,7 kNm (9,56%), but on JS Specimen is - 0,7 kNm (-1,87%).
Keywords : Reinforced Concrete Beam Column Joint, Finite Element Method, Non-Linear
Analysis, Atena 3D
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih karunia, berkat, rahmat, dan pimpinan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Studi Perbandingan Hasil Uji Numerik Model Hubungan Balok Kolom dengan Hasil Uji Experimental . Skripsi ini merupakan salah satu syarat akademik dalam menyelesaikan studi tingkat S-1 Fakultas Teknik Program Studi Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan.
Dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan yang dihadapi, akan tetapi berkat saran, kritik, serta dorongan semangat dari berberbagai pihak, skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. Djoni Simanta selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan dengan sabar memberikan pengarahan, bimbingan, ilmu, serta dorongan selama penyusunan skripsi ini. Selama penyusunan skripsi ini, wawasan dan keilmuan penulis menjadi bertambah dan memahami
banyak hal baru.
2. Ibu Lidya Fransisca Tjong, Ir. M.T. selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Dr. Johannes Adhijoso Tjondro selaku dosen penguji yang memberikan bimbingan, ilmu, dan pengarahan selama masa perkuliahan dan penulisan skripsi ini.
4. Seluruh staf dosen Jurusan Teknik Sipil yang telah memberikan ilmu kepada penulis. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terimakasih kepada staf tata usaha dan karyawan Jurusan Teknik Sipil.
5. Papi, Mami, Vina, dan Nia yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan,
doa, dan semangat kepada penulis.
6. Alvianti, kekasih tersayang yang selalu menasihati, memberikan saran,
menyayangi, dan memberikan dorongan semangat kepada penulis.
7. Teman-teman seperjuangan, yaitu Andreas Gunawan dan Jeremy Budiono yang menjadi tempat bertukar pikiran selama semester terakhir. Selain itu
Willy, Bobby, Ken, Alvan, Jansen, Danielson, Aldrich, Rianky, dan Dennis
Buddy Saputra yang selalu menghibur penulis dengan tawa dan canda.
8. Sipil Unpar 2013 yang telah menjadi teman, sahabat, dan keluarga bagi penulis selama menempuh pendidikan S-1 di Jurusan Teknik Sipil ini selalu memberikan dukungan, motivasi, dan semangat kepada penulis dalam
menghadapi masalah dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari pembaca. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi orang-orang yang membacanya.
Bandung, Januari 2017 Sonatha Christianto
NPM 2013410088
DAFTAR NOTASI DAN SINGKATAN
ACI = American Concrete Institute
b = Lebar balok
c = Kekuatan tekan beton pada beton retak
D = Diameter silinder
E c = Modulus elastisitas EN
= Eurocode
E ci = Modulus diasosiasikan dengan arah i
c = Modulus sekan beton
E tan = Modulus tangen
E 0 = Modulus awal fc’
= Kuat tekan beton f’ cc =K ekuatan tekan aksial specimen terkekang ‘confined’
f` ef
c = Tegangan tekan efektif beton f’c cu = Kekuatan beton kubus
f t = Kuat tarik beton
f tl = Tekanan lateral pembatas f` ef
t = Tegangan tarik efektif beton
f r = Modulus keruntuhan
f u = Kuat ultimate baja
f y = Kuat leleh baja f(p)
= Vektor gaya dalam titik
G f = Energi retak yang dibutuhkan untuk membentuk sebuah area dari retak tegangan bebas
h = Tinggi balok J
= Joint JS
= Joint with Slab k
= Parameter bentuk K(p)
= Matriks kekakuan, berkaitan kenaikan beban untuk peningkatan deformasi
L = Panjang M
= Momen maksimum NZS
= New Zealand Standards q
= Vektor beban titik total
P = Gaya tekan maksimum p
= Deformasi struktur sebelum peningkatan beban r ec = Faktor reduksi kekuatan tekan pada arah prinsipal 2 akibat tegangan
tarik pada arah prinsipal 1 w
= Pembukaan retak w c = Pembukaan retak pada pelepasan lengkap tegangan w conc = Berat jenis beton w d = Deformasi plastis
x = Regangan ternormalisasi ϕ u = Rotasi ultimit
ϕ y = Rotasi leleh γ ec = Faktor reduksi kekuatan tekan pada arah principal 2 akibat tegangan
tarik pada arah prinsipal 1 γ et = Faktor reduksi kekuatan tekan pada arah principal 2 akibat tegangan
tarik pada arah prinsipal 2 ε
= Regangan 𝜀 𝑒𝑞 = Regangan uniaxial ekivalen
ε c = Regangan pada tegangan puncak ε d = Regangan tekan pada tegangan nol ε lim = Regangan ultimit ε u = Regangan ultimit baja ε y = Regangan leleh baja
μ = Daktilitas rotasi υ
= Ratio Poisson σ
= Tegangan normal pada retak σ ci
= Tegangan σ c1 ,σ c2 = Tegangan principal beton
σ ef c = Tegangan uniaksil beton
c σ ef = Tegangan efektif beton σ ef
c = Tegangan efektif beton σ st = Tegangan tarik σ y = Tegangan leleh
σ u = Tegangan ultimit
σ n-1 ij ,σ ij = Tegangan pada kondisi ke-n ∆ε kl = Regangan plastis inkremental
∆ε kl = Regangan peretakan berdasarkan material yang digunakan ∆p
= Peningkatan deformasi karena pembebanan bertingkat
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. 1 (a) Keruntuhan struktur akibat kegagalan hubungan balok kolom, Bangunan Kaiser Permanente, Gempa Nortridge, 1994. Foto oleh G. Edstrom. (b) Perbesaran gambar lantai 2.
2 Gambar 1. 2 (a) Keruntuhan sebagian bangunan akibat kegagalan hubungan balok kolom di Izmit, Turki, 17 Agutus 1999. (b) Perbesaran hubungan balok kolom lantai 3. (c) Perbesaran hubungan balok kolom lantai. 3
Gambar 1. 3 Geometri hubungan balok kolom (ACI 352)
5 Gambar 1. 4 (a) dan (b) Geometri hubungan balok kolom
7 Gambar 1. 5 (a) dan (b) Detail penulangan hubungan balok kolom
8 Gambar 1. 6 Pola pembebanan siklik
9 Gambar 1. 7 Diagram alir penelitian
10 Gambar 2. 1 Kurva tegangan-regangan silinder beton hasil pembebanan tekan uniaksial (Park dan Paulay,1974)
14 Gambar 2. 2 Uji silinder belah (a) Konfigurasi pengujian, (b) Distribusi tegangan horizontal, (c) hasil pengujian (Hassoun, 2012)
16 Gambar 2. 3 Hubungan regangan arah horizontal, longitudinal, dan volume
17 Gambar 2. 4 Modulus elastis beton (Park dan Paulay, 1974)
17 Gambar 2. 5 Idealisasi tekan beton Hognestad (Park dan Paulay, 1974)
19 Gambar 2. 6 Tegangan biaxial beton
19 Gambar 2. 7 Tegangan triaxial beton
20 Gambar 2. 8 Kurva tegangan-regangan baja
21 Gambar 2. 9 Kurva tegangan-regangan baja titik kelelehan atas dan bawah (Park dan Paulay, 1974)
22 Gambar 2. 10 Kurva tegangan-regangan berulang material baja (Park dan Paulay, 1974)
23 Gambar 2. 11 (a) Efek Bauschinger pada Baja dengan pembebanan berputar (b) idealisasi elastis-plastis sempurna pada baja dengan pembebanan berputar
Gambar 2. 12 Kurva tegangan-regangan baja dengan pembebanan berputar (a) kurva pembebanan berputar (b) kurva yang dipisahkan (c) amplop kurva monotonik (Park dan Paulay, 1974)
24 Gambar 2. 13 Mesh elemen hingga (Dill, 2011)
25 Gambar 2. 14 Jenis mesh tulangan baja (Kurniawan. 2015)
26 Gambar 3. 1 Hubungan tegangan-regangan uniaxial beton (Cervenka, 2007)
31 Gambar 3. 2 Dalil pembukaan retak eksponensial (Cervenka, 2007)
32 Gambar 3. 3 Dalil pembukaan retak linier (Cervenka, 2007)
33 Gambar 3. 4 Penghalusan Linier Berdasarkan Regangan Lokal (Cervenka, 2007)
34 Gambar 3. 5 Diagram tegangan-regangan tekan beton (Cervenka, 2007).
35 Gambar 3. 6 Dalil perpindahan pelunakan tekan (Cervenka, 2007).
37 Gambar 3. 7 Kegagalan kondisi tegangan biaxial (Cervenka 2007).
37 Gambar 3. 8 Kegagalan tegangan biaxial tarik-tekan (Cervenka, 2007).
39 Gambar 3. 9 Hubungan tegangan-regangan bilinier tulangan (Cervenka, 2007) 42 Gambar 3. 10 Hubungan tegangan-regangan multilinier tulangan (Cervenka, 2007).
43 Gambar 3. 11 Sudut arah tulangan tersebar (Cervenka, 2007).
43 Gambar 3. 12 Model elemen hingga elemen solid (Cervenka, 2007).
44 Gambar 3. 13 Model elemen hingga elemen batang (Cervenka, 2007)
45 Gambar 3. 14 Mesh tulangan diskret (Cervenka, 2007)
46 Gambar 3. 15 Metoda Newton-Raphson Penuh (Cervenka, 2007)
48 Gambar 3. 16 Metoda Newton-Raphson Modifikasi (Cervenka, 2007)
49 Gambar 4. 1 Pemodelan struktur
51 Gambar 4. 2 Model sambungan tampak samping
52 Gambar 4. 3 Model sambungan tampak atas
52 Gambar 4. 4 Penulangan sambungan balok kolom
53 Gambar 4. 5 Penulangan pelat Spesimen JS
53 Gambar 4. 6 (a) dan (b) detail penulangan balok dan kolom
54 Gambar 4. 7 Pola beban siklik
54 Gambar 4. 8 (a) dan (b) Material beton
55 Gambar 4. 9 Material pelat baja
Gambar 4. 10 Input material Reinforcement
57 Gambar 4. 11 Input parameter Menengotto-Pinto Cycling Reinforcement
57 Gambar 4. 12 Material yang digunakan
58 Gambar 4. 13 (a) dan (b) Macroelement hubungan balok kolom
59 Gambar 4. 14 (a) dan (b) Layout tulangan
59 Gambar 4. 15 Input Load Cases reaksi perletakkan
60 Gambar 4. 16 Hasil input reaksi perletakkan Model J-Atena
60 Gambar 4. 17 (a) dan (b) Input beban axial
61 Gambar 4. 18 (a) dan (b) Beban perpindahan 1mm
61 Gambar 4. 19 (a) dan (b) Hasil mesh model
62 Gambar 4. 20 Parameter solusi Newton-Raphson
63 Gambar 4. 21 Perbedaan input Parameter solusi Newton-Raphson Modifikasi 63 Gambar 4. 22 Penambahan analisis step
64 Gambar 4. 23 Penentuan titik pantau
65 Gambar 4. 24 Pengaturan grafik hasil analisis
66 Gambar 4. 25 Post-processing
66 Gambar 5. 1 Kurva histeresis hasil uji eksperimental
68 Gambar 5. 2 Retak pada sambungan
69 Gambar 5. 3 Sendi plastis pada balok utara
70 Gambar 5. 4 Retak pada pelat diakhir pengujian
70 Gambar 5. 5 Kurva histeresis hasil uji numeric
71 Gambar 5. 6 (a) dan (b) Tegangan normal tulangan
72 Gambar 5. 7 (a) dan (b) Posisi dan lebar retak
74 Gambar 5. 8 (a) dan (b) Retak pada sambungan hasil uji numerik
75 Gambar 5. 9 Pola retak pada pelat
77 Gambar 5. 10 Kurva histeresis hubungan balok kolom tanpa pelat
78 Gambar 5. 11 Kurva histeresis hubungan balok kolom dengan pelat
80 Gambar 5. 12 Kekakuan peak to peak (Kurniawan, 2015)
82 Gambar 5. 13 Degradasi kekakuan setiap siklus pembebanan
83 Gambar 5. 14 Hubungan daktilitas dengan kekakuan
85 Gambar 5. 15 Energi disipasi kumulatif setiap siklus
86 Gambar 5. 16 Pola pembebanan siklik uji eksperimental oleh Saddam
Gambar 5. 17 Pola pembebanan siklik ACI 374
92 Gambar 5. 18 Hasil uji siklik loading protocol ACI 374 Model J-Atena
93 Gambar 5. 19 Waktu kegagalan Model J-Atena
94 Gambar 5. 20 Hasil uji siklik loading protocol ACI 374 Model JS-Atena
95 Gambar 5. 21 Waktu kegagalan Model JS-Atena
96 Gambar 5. 22 Perbandingan pembebanan siklik dengan monotonik hubungan balok kolom tanpa pelat (a) dengan numerik dan (b) dengan eksperimental
97 Gambar 5. 23 Perbandingan pembebanan siklik dengan monotonik hubungan balok kolom dengan pelat (a) dengan numerik dan (b) dengan eksperimental
98 Gambar 5. 24 Perbandingan hasil uji monotonik dengan 'unloading' dengan hasil uji numerik Model J-Atena
99 Gambar 5. 25 Perbandingan hasil uji monotonik dengan 'unloading' dengan hasil uji numerik Model JS-Atena
100 Gambar 5. 26 Pembebanan siklus drift 2,5% dan 5% pada Model J-Atena dibandingkan dengan (a) uji numerik dan (b) uji eksperimental 101 Gambar 5. 27 Pembebanan siklus drift 2,5% dan 5% pada Model JS-Atena dibandingkan dengan (a) uji numerik dan (b) uji eksperimental 102
DAFTAR TABEL
Tabel 3. 1 Nilai penentu kurva hiperbolik
39 Tabel 3. 2 Parameter default SBETA Constitutive Model (Cervenka, 2007).
39 Tabel 4. 1 Properti tulangan
51 Tabel 4. 2 Input pembebanan siklik
64 Tabel 5. 1 Rangkuman koordinat histeresis hubungan balok kolom tanpa pelat 79 Tabel 5. 2 Rangkuman koordinat histeresis hubungan balok kolom tanpa pelat 81 Tabel 5. 3 Kekakuan setiap siklus pembebanan
82 Tabel 5. 4 Daktilitas terpakai benda uji hingga drift 5%
84 Tabel 5. 5 Energi disipasi benda uji setiap siklus
86 Tabel 5. 6 Perbandingan pola retak hubungan balok kolom Spesimen J
88 Tabel 5. 7 Perbandingan pola retak hubungan balok kolom Spesimen JS
88 Tabel 5. 8 Perbandingan pola retak balok Spesimen JS
90 Tabel 5. 9 Perbandingan pola retak balok Spesimen JS
90 Tabel 5. 10 Perbandingan pola retak pelat Spesimen JS
91
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Tabel Beban – Perpindahan Model J-Atena .............................. 109 LAMPIRAN 2 Tabel Beban – Perpindahan Model JS-Atena ........................... 119
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di zaman modern ini, pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat di area perkotaan meningkatkan kebutuhan akan lahan yang pesat pula. Akan tetapi, ketersediaan lahan untuk tempat tinggal di daerah perkotaan sangatlah terbatas. Bangunan bertingkat adalah solusi yang tepat untuk menyediakan tempat tinggal di daerah perkotaan yang lahannya terbatas.
Di Indonesia bangunan bertingkat biasanya terdapat di kota-kota metropolis seperti Jakarta, Depok, Tanggerang, Bekasi, Bandung, Medan, dan Surabaya. Biasanya struktur bangunan bertingkat ini menggunakan struktur beton bertulang. Struktur beton bertulang disusun oleh beberapa komponen struktur, diantaranya pondasi, balok, kolom, dan pelat. Setiap komponen tersebut harus dirancang untuk memikul gaya dalam yang diakibatkan adanya beban luar yang bekerja pada bangunan. Salah satu bagian yang penting pada struktur bangunan beton bertulang adalah hubungan balok kolom.
Hubungan balok kolom merupakan bagian yang penting, karena pada hubungan balok kolom terjadi transfer beban yang bekerja pada balok ke kolom. Kemudian beban tersebut ditransferkan melalui kolom ke pondasi. Oleh karena itu, hubungan balok kolom haruslah dipastikan dapat memikul beban yang direncanakan, sehingga proses transfer beban dapat terjadi dengan sempurna.
Pada awalnya, peraturan struktur bangunan beton bertulang hanya didesain untuk menahan beban gravitasi saja. Akan tetapi, kerap kali terjadi keruntuhan bangunan yang disebabkan oleh kegagalan hubungan pada hubungan balok kolom akibat adanya beban gempa. Gempa-gempa yang menyebabkan kegagalan hubungan balok kolom diantaranya El-Ansam, Algeria, 1980; Northridge, California, 1994; Tehuacan, Mexico, 1999; Izmit, Turkey, 1999; Athens, Greece, 1999; Chi-Chi, Taiwan, 1999; dan Haiti, 2010. Kegagalan hubungan balok kolom biasanya terjadi, karena gaya geser akibat gempa yang terjadi melebihi gaya geser kapasitas hubungan balok dan kolom. Salah satu contoh dari keruntuhan gedung sebagian Pada awalnya, peraturan struktur bangunan beton bertulang hanya didesain untuk menahan beban gravitasi saja. Akan tetapi, kerap kali terjadi keruntuhan bangunan yang disebabkan oleh kegagalan hubungan pada hubungan balok kolom akibat adanya beban gempa. Gempa-gempa yang menyebabkan kegagalan hubungan balok kolom diantaranya El-Ansam, Algeria, 1980; Northridge, California, 1994; Tehuacan, Mexico, 1999; Izmit, Turkey, 1999; Athens, Greece, 1999; Chi-Chi, Taiwan, 1999; dan Haiti, 2010. Kegagalan hubungan balok kolom biasanya terjadi, karena gaya geser akibat gempa yang terjadi melebihi gaya geser kapasitas hubungan balok dan kolom. Salah satu contoh dari keruntuhan gedung sebagian
1.2 menunjukkan beberapa kegagalan hubungan balok kolom dengan elemen lain rangka pemikul momentnya masih utuh, menunjukkan kegagalan hubungan balok kolom dapat dapat memicu keruntuhan bangunan (Hassan 2011).
(a)
(b)
Gambar 1. 1 (a) Keruntuhan struktur akibat kegagalan hubungan balok kolom, Bangunan Kaiser Permanente, Gempa Nortridge, 1994. Foto oleh G. Edstrom. (b) Perbesaran gambar lantai 2.
(a)
(b)
(c) Gambar 1. 2 (a) Keruntuhan sebagian bangunan akibat kegagalan hubungan
balok kolom di Izmit, Turki, 17 Agutus 1999. (b) Perbesaran hubungan balok kolom lantai 3. (c) Perbesaran hubungan balok kolom lantai.
Untuk menghindarkan peristiwa kegagalan hubungan balok kolom akibat gaya gempa, disusunlah peraturan-peraturan baru untuk perencanaan bangunan tahan gempa. Pada peraturan-peraturan tersebut, disusun pula peraturan untuk Untuk menghindarkan peristiwa kegagalan hubungan balok kolom akibat gaya gempa, disusunlah peraturan-peraturan baru untuk perencanaan bangunan tahan gempa. Pada peraturan-peraturan tersebut, disusun pula peraturan untuk
Desain bangunan tahan gempa berdasarkan prinsip desain strong column weak beam . Berdasarkan prinsip ini, diharapkan kolom tidak mengalami kerusakan sedikit pun, namun balok diizinkan mengalami kerusakan. Setelah menerima beban gempa, sendi plastis diharapkan terjadi di balok. Hal ini bertujuan agar bangunan tidak runtuh dan dapat berdiri hingga proses evakuasi selesai. Apabila terjadi kerusakan pada hubungan balok kolom ataupun pada kolom, maka dapat terjadi keruntuhan seketika pada bangunan.
Perilaku hubungan balok kolom perlu dipelajari lebih lanjut. Cara untuk mempelajari hubungan balok kolom diantaranya dengan uji eksperimental ataupun dengan uji numerik dengan program. Uji eksperimental adalah pengujian yang menggunakan model fisik yang dibuat dilaboratorium. Uji eksperimental laboratorium terbilang lebih rumit dan mahal dibandingkan uji numerik, dikarenakan pembuatan model fisik hubungan balok kolom memerlukan waktu dan biaya yang lebih. Selain itu, pemasangan alat ukur gaya dan regangan yang rumit pada hubungan balok kolom kerap kali menjadi kendala dalam pengujian eksperimental.
Perkembangan teknologi mendorong jauh kemajuan program. Maka dari itu, uji numerik dengan program semakin dimungkinkan untuk melakukan kalkulasi yang tidak dapat diselesaikan dengan tangan. Sekarang untuk menganalisis suatu perilaku struktur dapat dilakukan menggunakan program berbasis metoda elemen hingga ‘finite element method’. Dalam ilmu teknik sipil, pengaplikasian metoda elemen hingga digunakan dalam beberapa program, diantaranya ABAQUS, ADINA, Atena, ANSYS, dll.
Analisis menggunakan program dapat menghemat waktu dan biaya untuk pembuatan model fisik. Hal ini dikarenakan, tidak perlu merakit specimen, tidak Analisis menggunakan program dapat menghemat waktu dan biaya untuk pembuatan model fisik. Hal ini dikarenakan, tidak perlu merakit specimen, tidak
1.2. Inti Permasalahan
Hubungan balok kolom merupakan bagian terpenting dalam rangka pemikul momen untuk memastikan ketegaran struktur dalam memikul beban gempa. Keruntuhan bangunan biasanya dimulai dari bagian yang paling rawan, yakni sendi plastis pada hubungan balok kolom.
Mengacu pada ACI 352, hubungan balok kolom dikelompokkan menjadi enam jenis berdasarkan geometrinya, yaitu hubungan balok kolom interior,
hubungan balok kolom eksterior, hubungan balok kolom sudut ‘corner’, hubungan balok kolom interior atap ‘roof-interior’, hubungan balok kolom exterior atap ‘roof- exterior’, dan hubungan balok kolom sudut atap ‘roof-corner’. Gambar 1. 3
menunjukkan pengelompokkan hubungan balok kolom berdasarkan geometri.
Gambar 1. 3 Geometri hubungan balok kolom (ACI 352) Sedangkan, ACI 374 mengajurkan hubungan balok kolom untuk pengujian
dibagi menjadi 3, yaitu interior one-way joint, exterior one-way joint, dan corner joint .
Pada saat pengujian hubungan balok kolom, biasanya keberadaan pelat diabaikan. Berdasarkan ACI 374, penggunaan pelat pada model pengujian dapat diabaikan, namun pada kali ini dipelajari seberapa besar pengaruh pelat pada model pengujian hubungan balok kolom.
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan skripsi berjudul Studi Perbandingan Hasil Uji Numerik Model Hubungan Balok Kolom dengan Hasil Uji Eksperimental adalah sebagai berikut:
1. Memodelkan hubungan balok kolom tanpa pelat dan hubungan balok kolom dengan pelat menggunakan Program Atena 3D v.3.3.2.
2. Membandingkan hasil uji numerik dari program dengan hasil uji eksperimental yang disadur dari makalah yang berjudul Testing and Evaluation Reinforced Concrete Beam-Column-Slab Joints. Selain itu menganalisis hal-hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan.
1.4. Pembatasan Masalah
Untuk membatasi pembahasan masalah pada skripsi ini agar tidak terlalu luas, maka uji numerik dan analisis non-linear yang dilakukan terbatas pada hal-hal sebagai berikut:
1. Pemodelan hubungan balok kolom yang dianalisis menggunakan model uji eksperimental berdasarkan makalah dari Saddam M. Ahmed yang berjudul Testing and Evaluation of Reinforced Concrete Beam-Column-Slab Joint.
2. Data geometri hubungan balok kolom yang digunakan ditunjukkan oleh Gambar 1. 4. Detail penulangan specimen hubungan balok kolom ditunjukkan oleh Gambar 1. 5.
(a) Tampak samping
(b) Tampak atas Gambar 1. 4 (a) dan (b) Geometri hubungan balok kolom
(a) Penulangan balok dan kolom
(b) Penulangan pelat Gambar 1. 5 (a) dan (b) Detail penulangan hubungan balok kolom
3. Pola pembebanan siklik yang digunakan ditunjukkan oleh Gambar 1. 1
Beban Siklik
Gambar 1. 6 Pola pembebanan siklik
4. Pemodelan menggunakan program Atena 3D v.3.3.2.
1.5. Metode Penulisan
Penelitian ini dilakukan dengan 2 metode, yakni:
1. Studi pustaka Studi pustaka sebagai landasan teori mengacu pada buku-buku pustaka, manual dan panduan penggunaan Program Atena, makalah yang membahas mengenai hubungan balok kolom, makalah yang membahas mengenai penggunaan Program Atena pada masalah struktur beton bertulang, serta skripsi, tesis, dan disertasi yang membahas mengenai hubungan balok kolom dan juga yang membahas mengenai penggunaan program metode elemen hingga pada masalah struktur beton bertulang.
2. Studi analisis Uji numerik dilakukan dengan menggunakan bantuan Program Atena 3D.
Metodologi penelitian yang dilakukan dalam studi ini ditampilkan dalam diagram alir penelitian pada Gambar 1. 7.
Gambar 1. 7 Diagram alir penelitian
1.6. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan diperlukan agar terlaksananya penulisan skripsi yang terbagi ke dalam enam bab, yakni:
BAB 1 PENDAHULUAN Dalam Bab 1 dibahas latar belakang, inti permasalahan, tujuan penelitian,
pembatasan masalah, metoda penelitian, dan sistematika penulisan. BAB 2 LANDASAN TEORI Dalam Bab 2 dibahas landasan teori, diantaranya mengenai tujuan penelitian
disertasi, model benda uji, material beton, material tulangan baja, metoda elemen hingga, ANSYS 17.0, dan Atena 3D.
BAB 3 PEMODELAN BETON BERTULANG PADA ATENA 3D Dalam Bab 3 dibahas mengenai analisis nonlinier pada Program Atena 3D asumsi
pemodelan beton, asumsi pemodelan tulangan baja, finite element mesh, dan solusi permasalahan.
BAB 4 STUDI KASUS Dalam Bab 4 dibahas mengenai geometri model hubungan balok kolom,
pemodelan benda uji, data pemodelan, dan data pembebanan. BAB 5 PEMBAHASAN HASIL ANALISIS HUBUNGAN BALOK KOLOM Dalam Bab 5 dibahas mengenai hasil uji eksperimental dan hasil uji numerik. BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Dalam Bab 6 dibahas simpulan dan saran dari hasil pengujian yang telah dilakukan.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uji Eksperimental oleh Saddam M. Ahmed, MSc .CE Dari Makalah yang Berjudul Testing and Evaluation of Reinforced Concrete Beam-Column- Slab joint.
Uji Eksperimental oleh Saddam H. Ahmed, MSc .CE dari makalah yang berjudul Testing and Evaluation of Reinforced Concrete Beam-Column-Slab joint disadur sebagai model benda uji. Makalah ini membahas mengenai hubungan balok-kolom- pelat beton bertulang.
2.1.1. Pendahuluan Makalah Pada saat terjadi gempa kuat, performa dari struktur gedung beton bertulang sangat bergantung pada perilaku hubungan balok kolom. Mengingat pentingnya mengerti perilaku dari sambungan, banyak uji eksperimen dilakukan berfokus pada sambungan eksternal maupun internal yang dibebani beban siklik. Pada sebagian besar pengujian, biasanya keberadaan pelat tidak diperhitungkan. Padahal, bagaimanapun pelat biasanya dibuat monolitik dengan balok. Maka dari itu, pelat berinteraksi stuktural dengan elemen lain bersatu menjadi sambungan. Beberapa tes sebelumnya dilakukan pada hubungan balok-kolom-pelat menginvestigasi partisipasi pelat dalam menahan beban lateral. Tes tersebut dilakukan pada model skala kecil maupun besar, perbedaan geometri, kondisi batas, properti material, layout penulangan, dan riwayat pembebanan.
2.1.2. Pembatasan Masalah Makalah Dalam makalah ini, pengujian sambungan dilakukan dengan membuat dua model. Model yang pertama adalah model hubungan balok-kolom tanpa pelat, sedangkan model yang kedua adalah model hubungan balok-kolom-pelat. Kedua model ini memiliki layout tulangan balok dan kolom yang sama persis.
2.1.3. Tujuan Penelitian Makalah Selain dengan uji eksperimental, pengujian sambungan balok kolom dilakukan
dengan menggunakan analisis metoda elemen hingga ‘finite element analysis’. Akan tetapi, pendekatan ini memerlukan waktu komputasi yang tinggi, meshing yang akurat, dan storage pada komputer yang besar, dan sebagian besar metoda tersebut terbatas pada satu sambungan saja. Maka dari itu, makalah ini bertujuan mengembangkan model sederhana untuk mensimulasi pengaruh pelat pada kekuatan balok, kekuatan kolom, dan kebutuhan geser panel sambungan. Model ini dikembangkan menggunakan RUAUMOKO-2D yang dikalibrasikan dengan
pertambahan panjang ‘elongation/relaxation’ dan pengaruh pelat. Model harus dapat mensimulasi pengaruh penyempitan ‘pinching’ dan penurunan kekakuan ‘stiffness degradation’ pada pengulangan histeretik yang diharapkan. Pada akhirnya, model ini memvalidasi metoda komputasi yang diusulkan dengan hasil tes sebelumnya.
2.1.4. Model Benda Uji Model benda uji hubungan balok kolom diambil dari hasil desain gedung lima lantai dengan empat bentang sepanjang 27,6 m, lebar 20 m. Bangunan memiliki empat bentang. Setiap bentangnya membentang 6,9 m dengan ketinggi setiap lantai 3,5m. Bangunan berada pada zona seismik IV berdasarkan UBC dengan jenis tanah kaku kelas situs D. Massa efektif setiap lantai 590 ton. Spesimen yang diuji adalah hubungan balok kolom tanpa pelat (Spesimen J) dan hubungan balok kolom dengan pelat (Spesimen JS).
2.2 Material Beton
Pada dunia konstruksi, beton merupakan material yang sering digunakan. Beton merupakan material yang terbuat dari hasil reaksi kimiawi agregat kasar, agregat halus, air, dan semen. Beton merupakan material hasil rekayasa manusia, oleh karena itu beton memiliki beberapa kelebihan (Park dan Paulay, 1992), diantaranya:
1. Bentuknya dapat dirubah-rubah sesuai dengan yang diinginkan.
2. Mempunyai kekuatan tekan yang tinggi.
3. Biaya pembuatannya murah dibandingkan baja.
4. Memiliki ketahanan terhadap api yang baik.
5. Memiliki ketahanan terhadap air.
6. Mempunyai daya layan yang baik.
2.2.1. Kekuatan Tekan Beton Kekuatan tekan beton (fc’) adalah beban per satuan luas yang mampu ditahan oleh beton pada kondisi tepat saat hancur. Biasanya kekuatan tekan beton menjadi acuan dasar karakteristik beton. Kekuatan tekan beton dipengaruhi oleh beberapa factor utama, diataranya rasio air dengan semen, jenis bahan pencampur beton, kebersihan agregat, usia pengujian, metoda pencampuran, dan metoda perawatan ‘curing’.
Kekuatan tekan beton didapat dari hasil uji pembebanan uniaxial. Beton diberikan regangan longitudinal searah dengan sumbu penampang. Pembebanan yang dilakukan secara perlahan-lahan hingga beton hancur. Tegangan pada beton hancur tersebut yang dikenal sebagai kekuatan tekan beton. Benda uji kuat tekan beton diantaranya adalah silinder dengan diameter 15cm dan tinggi silinder 30cm, kubus berukuran 20cmx20cmx20cm, dan sebagainya. Gambar 2. 1 menunjukkan kurva tegangan-regangan tipikal yang diperoleh dari hasil pengujian Rusch. Pengujian Rusch menunjukkan bahwa bentuk kurva tegangan-regangan sebelum mencapai tegangan maksimum bergantung kepada kekuatan tekan beton.
Gambar 2. 1 Kurva tegangan-regangan silinder beton hasil pembebanan tekan uniaksial (Park dan Paulay,1974)
2.2.2. Kekuatan Tarik Beton Berbeda dengan kekuatan tekan, kekuatan tarik beton (f t ) lebih kecil dibandingkan kekuatan tekannya. Kekuatan tarik beton berkisar seperenam dari kekuatan tekannya. Beton tidak mampu menahan tegangan tarik yang tinggi. Oleh karena itu, perlu diperhitungkan faktor retak, gaya tarik, gaya geser, dan momen torsi.
Kekuatan tarik beton didapatkan dari beberapa pengujian, diantaranya uji tarik langsung ‘direct tensile test’, uji silinder belah ‘splitting test’, uji pembebanan
empat titik ‘four point load test’. Dari ketiga pengujian yang disebutkan di atas, uji silinder belah dan pembebanan empat titik mengukur kekuatan tekan beton secara tidak langsung. Hal ini dikarenakan sulitnya memegang beton pada pengujian tarik langsung.
Pada uji pembebanan empat titik dihitung modulus runtuh ‘rupture modulus’ yang terjadi pada tegangan tarik. Maka dari itu kekuatan tarik beton sering disebut juga modulus runtuh ‘rupture modulus’ (f r ). Proses pengujiannya adalah dengan memberikan beban hingga balok beton runtuh akibat tegangan tarik. Biasanya dimensi balok yang digunakan sebesar 150mm x 150mm x 750mm. Beban yang digunakan adalah dua beban terpusat dengan jarak pada sepertiga bentang. Pembebanan tersebut mengacu pada ASTM C-78. Modulus keruntuhan dapat dihitung dengan rumus lentur sebagai berikut:
𝑏ℎ² (2-1) Dimana:
f r = modulus keruntuhan M =Momen maksimum
b = lebar balok
h = tinggi balok
Pada uji pembebanan 4 titik beton diasumsikan dalam keadaan elastis sempurna dengan tegangan yang berbanding lurus dengan jarak terhadap sumbu netral. Hal ini menyebabkan tegangan yang diperoleh kurang akurat.
Selain itu pengujian kekuatan tarik beton dapat didekati dengan pengujian silinder belah. Silinder dibebani dengan beban merata sepanjang bagian silinder. Kekuatan silinder tersebut dapat dihitung menggunakan rumus berikut:
f r = modulus keruntuhan P = gaya tekan maksimum L = panjang
D = diameter silinder
Kekuatan tarik hasil pengujian silinder belah memiliki nilai yang lebih kecil daripada modulus keruntuhannya. Perbedaan utama terjadi karena distribusi tegangan pada penampang persegi dan penampang silinder berbeda. Gambar 2. 2 menunjukkan pengujian silinder belah oleh Hassoun,2012.
Gambar 2. 2 Uji silinder belah (a) Konfigurasi pengujian, (b) Distribusi tegangan horizontal, (c) hasil pengujian (Hassoun, 2012)
Kekuatan tarik beton tidak sebanding dengan kekuatan tekannya. Kekuatan tarik beton diprediksi dengan rumus pendekatan dibawah ini:
(2-3) Dimana:
f r = modulus keruntuhan
f` c = kuat tekan beton [MPa]
2.2.3. Rasio Poisson Rasio Poisson ‘Poisson’s Ratio’ adalah rasio regangan arah lateral terhadap
regangan arah axial. Regangan lateral adalah regangan transversal dan regangan aksial adalah regangan yang searah pembebanan. Pada material beton, rasio poisson berkisar Antara 0,15 hingga 0,2. Gambar 2. 3 menunjukkan hubungan regangan arah horizontal, longitudinal, dan volume.
Gambar 2. 3 Hubungan regangan arah horizontal, longitudinal, dan volume
Pada saat kebanyakan pembebanan, volume dari beton akan mengalami penyusutan ‘shrinkage’. Akan tetapi pada saat tegangan meningkat hingga
mendekati kekuatan tekan beton, regangan transversal akan meningkat drastis sehingga volume beton akan meningkat. Peningkatan volume ini dikarenakan beton mengalami retak internal searah dengan arah pembebanan. Kegagalan tekan dari pembebanan tekan uniaxial biasanya ditandai dengan adanya pembelahan sejajar dengan pembebanan dan peningkatan volume akibat adanya regangan transversal.
2.2.4. Modulus Elastis Berdasarkan Gambar 2. 4 , beton tidak memiliki titik leleh ‘yield’ yang pasti. Titik leleh dari beton ditentukan oleh besar dari kekuatan tekan betonnya. Namun, titik regangan puncak ‘ultimate’ kurang lebih berada disekitar 0,002. Hal ini diakibatkan adanya perbedaan kekuatan tekan beton.
Gambar 2. 4 Modulus elastis beton (Park dan Paulay, 1974)
Modulus elastis beton menunjukkan seberapa kaku beton dapat berdeformasi untuk memberikan respon akibat tegangan yang terjadi. Titik leleh dari setiap betonlah yang menentukan seberapa besar modulus elastis dari beton tersebut. Oleh karena itu, modulus elastis beton adalah tegangan leleh dibagi dengan regangan leleh. Karena titik leleh beton berbeda-beda, maka modulus elastis beton juga berbeda-beda.
Ada beberapa definisi dari modulus beton, diantaranya :
a. Modulus awal, E 0 , adalah kemiringan garis kurva tegangan-regangan pada saat beton masih elastis linier.
b. Modulus tangen, E tan , kemiringan dari garis singgung (tangensial) pada titik tertentu.
c. Modulus sekan, kemiringan garis yang ditarik dari suatu titik ke titik asal kurva.
d. Modulus semu atau modulus jangka panjang, kemiringan garis yang ditentukan dengan tegangan dan regangan yang diperoleh akibat beban jangka panjang.
Perkiraan modulus elastis beton normal dengan berat jenis 2,32 dapat dihitung dengan rumus empiris hasil pengujian, yakni
E c = 4730√f`c (2-4)
Sedangkan beton mutu tinggi, kekuatan tekan diatas 40 MPa hingga 80 MPa untuk beton normal dan 40 MPa hingga 60 MPa untuk beton ringan perhitungan modulus elastisnya dapat menggunakan rumus
c = (3.32√f` c + 6895)(
w E conc 1.5
E c = modulus elastisitas [MPa] w conc = berat jenis beton [kg/m³]
f c = kuat tekan beton [MPa]
Untuk idealisasi dari sifat kuat tekan beton dilakukan multiliniearisasi dari kurva tegangan-regangan. Contoh idealisasi kurva tegangan-regangan adalah Untuk idealisasi dari sifat kuat tekan beton dilakukan multiliniearisasi dari kurva tegangan-regangan. Contoh idealisasi kurva tegangan-regangan adalah
regangan beton dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian penguatan ‘hardening’ dan setelah ultimate ‘post-ultimate’. Pada kurva tersebut tidak digunakan modulus elastis beton, melainkan modulus sekan, yaitu kekuatan tekan dibagi dengan regangan ultimate.
Gambar 2. 5 Idealisasi tekan beton Hognestad (Park dan Paulay, 1974)
2.2.5. Perilaku Tegangan Biaksial Kondisi tegangan biaxial adalah kondisi saat tegangan prinsipal terjadi pada dua arah, yaitu tegangan bidang. Kupfer, Hilsdorf, dan Rusch merumuskan kekuatan tegangan biaxial beton pada Gambar 2. 6. Dapat disimpulkan bahwa kekuatan uniaxial beton akan meningkat jikalau diberikan tegangan pada arah lainnya.
Gambar 2. 6 Tegangan biaxial beton
2.2.6. Perilaku Tegangan Triaksial Pada kondisi tegangan triaxial, kekuatan dan daktilitas beton meningkat drastis. Pada percobaannya Richart, Bradtzaeg, dan Brown melakukan uji kuat tekan beton yang diberikan fluida pembatas. Pada percobaan ini, specimen yang mengalami tegangan pada seluruh arah disebut specimen terkekang ‘confined specimen’.
𝑓′ 𝑐𝑐 = 𝑓′ 𝑐 + 4.1𝑓 𝑡𝑙 (2-5) Dimana:
f’ cc = kekuatan tekan aksial specimen terkekang ‘confined’ [MPa] f’ c = kekuatan tekan uniaxial specimen tak terkekang ‘unconfined’ [MPa]
f tl = tekanan lateral pembatas [MPa] Gambar 2. 7 menunjukkan kurva tegangan-regangan tekan oleh Richart
dkk untuk silinder terkekang. Silinder diberikan kekangan berupa tekanan fluida konstan. Hasilnya menunjukkan peningkatan tekanan lateral menghasilkan hasil yang signifikan pada daktilias dan kekuatan. Hal ini disebabkan oleh tekanan lateral mengurangi adanya retak internal dan mengurangi peningkatan volume sampai keruntuhan.
Gambar 2. 7 Tegangan triaxial beton
2.3 Material Tulangan Baja
Pada struktur beton bertulang, beton bertindak untuk menahan tegangan tekan. Sedangkan, material tulangan baja yang bertindak untuk menahan tegangan tarik.
Akan tetapi, pada kasus tulangan ganda, tulangan baja juga diperhitungkan untuk menahan gaya tekan.
Pada struktur beton bertulang terdapat dua jenis tulangan longitudinal yaitu, tulangan utama dan tulangan sekunder. Tulangan utama merupakan tulangan longitudinal yang digunakan untuk menahan tegangan tarik ataupun tegangan tekan. Sedangkan tulangan sekunder digunakan untuk mendistribusikan tegangan yang terjadi pada elemen struktur beton bertulang. Ada pula tulangan transversal yang digunakan untuk menerima tegangan geser.
2.3.1. Perilaku Tegangan Monotonik Kurva tegangan regangan tersebut biasanya didapat dari hasil pengujian tarik sampel baja. Pada material baja, terdapat empat fase kurva tegangan-regangan. Fase tersebut dimulai dari titik awal (tegangan = 0, regangan = 0), titik leleh, titik pasca- elastis, titik ultimate, dan titik putus. Dari titik awal hingga titik leleh biasanya disebut fase elastis. Setelah tulangan melewati fase elastis, regangan tulangan tidak akan kembali ketitik awal lagi, melainkan terdapat regangan sisa. Dari titik leleh hingga sebelum kurva mengalami peningkatan kekuatan, kurva akan menunjukkan bagian datar. Fase ini disebut fase pasca- elastis ‘post-elastic’. Setelah itu, kurva pada bagian peningkatan kekuatan hingga sebelum titik ultimate, fase ini dinamakan fase peningkatan regangan ‘strain hardening’. Setelah titk ultimate tulangan baja berada pada fase pengurangan luas penampang ’necking’. Gambar
2. 8 menunjukkan kurva tegangan-regangan tipikal untuk baja struktural.
(Sumber: kampustekniksipil.blogspot.com)
Gambar 2. 8 Kurva tegangan-regangan baja
Kemudian hal yang menjadi karakteristik dasar dari material baja adalah tegangan leleh dan modulus elastisya. Modulus elastis dari tulangan baja biasanya
dibuat sebesar 200000 MPa ( N ⁄ mm 2 ). Sedangkan tegangan leleh tulangan baja besarnya bervariasi, sesuai dengan kebutuhan. Kelelehan material baja terkadang diikuti oleh penurunan tegangan secara tiba-tiba. Oleh karena itu, kurva tulangan baja dapat menunjukkan bentuk seperti
pada Gambar 2. 9 dibawah ini.
Gambar 2. 9 Kurva tegangan-regangan baja titik kelelehan atas dan bawah (Park dan Paulay, 1974)
Pada kasus ini, tegangan pada titik A dan B disebut tegangan leleh atas dan bawah. Tegangan leleh atas didapati berbeda dari tegangan leleh bawah dikarenakan beberapa faktor pada saat pengujian. Nilai tegangan leleh atas (A) bergantung pada kecepatan pemberian beban pada saat pengujian, bentuk penampang, dan bentuk dari sampel pengujian. Sedangkan tegangan leleh bawah adalah tegangan leleh sesungguhnya yang disebut sebagai karakteristik material. Tegangan leleh bawah merupakan nilai yang ditentukan dari campuran karbon pada material baja.
2.3.2. Perilaku Tegangan Berulang Material baja yang dibebani beban berulang, memiliki sifat plastisitas seperti pada Gambar 2. 10 ditunjukkan kurva tegangan-regangan berikut. Apabila material baja diberikan beban ‘loading’ dan dilepaskan bebannya ‘unloading’ akan menghasilkan kurva tersebut. Pada saat pembebanan ‘loading’ arah kurva akan 2.3.2. Perilaku Tegangan Berulang Material baja yang dibebani beban berulang, memiliki sifat plastisitas seperti pada Gambar 2. 10 ditunjukkan kurva tegangan-regangan berikut. Apabila material baja diberikan beban ‘loading’ dan dilepaskan bebannya ‘unloading’ akan menghasilkan kurva tersebut. Pada saat pembebanan ‘loading’ arah kurva akan
Gambar 2. 10 Kurva tegangan-regangan berulang material baja (Park dan Paulay, 1974)
2.3.3. Perilaku Tegangan Berputar Material baja memiliki perilaku seperti pada Gambar 2. 11 jikalau dibebani uniaxial bolak-balik. Beban bolak-balik yang dimaksud adalah beban tarik dan tekan. Gambar 2. 11 (a) menunjukkan efek Bauschinger. Ketika mengalami beban berputar lebih kecil dari titik leleh, kurva tegangan-regangan pada fase elastis menjadi tidak linier ‘non-linear’. Faktor utama yang mempengaruhi hal ini adalah riwayat regangan sebelumnya, waktu, dan temperatur. Jalur kurva saat beban berubah arah akan sejajar dengan kemiringan daerah elastis.
Gambar 2. 11 (a) Efek Bauschinger pada Baja dengan pembebanan berputar (b) idealisasi elastis-plastis sempurna pada baja dengan pembebanan berputar
Biasanya kurva tegangan-regangan berputar diidealisasikan menjadi kurva elastis- plastis sempurna, seperti pada Gambar 2. 11 (b). Idealisasi ini biasanya digunakan untuk melakukan pendekatan. Selain itu, Kato dkk. juga melakukan idealisasi dari hasil pengamatan data tegangan-regangan uji eksperimental. Mereka menyimpulkan kurva tegangan berputar berasal dari kurva monotonik. Gambar 2.
12 menunjukkan idealisasi Kato dkk.
Gambar 2. 12 Kurva tegangan-regangan baja dengan pembebanan berputar (a) kurva pembebanan berputar (b) kurva yang dipisahkan (c) amplop kurva monotonik (Park dan Paulay, 1974)
2.4 Metode Elemen Hingga
Pada awalnya metode elemen hingga dipelajari oleh ilmu aeronotik untuk menganalisis rangka pesawat terbang. Kemudian metode elemen hingga diturunkan menjadi solusi numerik. Metode elemen hingga dikembangkan melalui dua sudut pandang. Melalui sudut pandang matematis, metode elemen hingga merupakan Pada awalnya metode elemen hingga dipelajari oleh ilmu aeronotik untuk menganalisis rangka pesawat terbang. Kemudian metode elemen hingga diturunkan menjadi solusi numerik. Metode elemen hingga dikembangkan melalui dua sudut pandang. Melalui sudut pandang matematis, metode elemen hingga merupakan
Prinsip dasar dari metoda elemen hingga adalah membagi struktur atau kontinum menjadi ele men hingga ‘meshing’. Setiap elemen hingga harus diformulasikan mempunyai material dan bentuk tertentu. Kemudian, disusunlah matriks kekakuan dari kontinum terbagi tersebut. Setelah itu, diberikan kondisi batas esensial dan kondisi batas non-esensial (pembebanan). Setelah itu dihitung regangan elemen dari setiap derajat kebebasan elemen.
2.5 Finite Element Mesh
Finite Element Mesh bertujuan untuk membagi kontinuum menjadi elemen hingga. Pembagian bentuk elemen hingga bergantung kepada bentuk kontinuum dan bentuk elemen hingga yang disediakan oleh program. Gambar 2. 13 menunjukkan mesh elemen hingga suatu kontinuum.
Gambar 2. 13 Mesh elemen hingga (Dill, 2011) Dalam persoalan struktur beton bertulang, terdapat 3 metode alternatif
untuk memodelkan baja tulangan, yaitu discrete model, smeared model, dan embedded model (Kurniawan, 2015). Pada discrete model, baja tulangan dapat dimodelkan sebagai elemen batang ataupun elemen balok lentur, dengan nodal yang saling terkoneksi dengan nodal beton. Nodal yang digunakan tulangan digunakan bersama dengan nodal beton. Tulangan diasumsikan tidak mengurangi volume dari beton. Sebagai akibatnya, diskritisasi elemen struktur harus diatur sehingga penggunaan nodal tulangan berhimpit dengan nodal beton. Cara yang termudah untuk memodelkan baja tulangan, yaitu discrete model, smeared model, dan embedded model (Kurniawan, 2015). Pada discrete model, baja tulangan dapat dimodelkan sebagai elemen batang ataupun elemen balok lentur, dengan nodal yang saling terkoneksi dengan nodal beton. Nodal yang digunakan tulangan digunakan bersama dengan nodal beton. Tulangan diasumsikan tidak mengurangi volume dari beton. Sebagai akibatnya, diskritisasi elemen struktur harus diatur sehingga penggunaan nodal tulangan berhimpit dengan nodal beton. Cara yang termudah
Gambar 2. 14 Jenis mesh tulangan baja (Kurniawan. 2015)
Smeared model adalah model yang mengasumsikan tulangan tersebar merata didalam elemen beton. Properti material beton di area sekitar tulangan dibentuk dari properti material beton dan baja menggunakan teori komposit. Model ini baik digunakan jikalau layout tulangan tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap respon struktur secara keseluruhan. Biasanya digunakan pada struktur yang besar.
Embedded model adalah model yang bertujuan untuk mengatasi keterbatasan pembuatan mesh elemen beton yang tidak tidak independen, karena tergantung dari posisi tulangan dalam discrete model. Pada model ini, nodal tulangan dimungkinkan tidak berimpit dengan nodal elemen beton. Program akan membuat suatu nodal baru yang terletak pada perpotongan sisi elemen beton dengan Embedded model adalah model yang bertujuan untuk mengatasi keterbatasan pembuatan mesh elemen beton yang tidak tidak independen, karena tergantung dari posisi tulangan dalam discrete model. Pada model ini, nodal tulangan dimungkinkan tidak berimpit dengan nodal elemen beton. Program akan membuat suatu nodal baru yang terletak pada perpotongan sisi elemen beton dengan
2.6 Non-linieritas
Perilaku nonlinier memungkinan terjadi berbagai macam fenomena. Biasanya fenomena non-linier sulit untuk dirumuskan. Biasanya permasalahan praktis dan desain dapat diselesaikan dengan model linier. Persoalan non-linier pada mekanika struktur sulit untuk digambarkan dalam model matematis dan numerik, maka dari itu persoalan non-linier dikelompokan menjadi tiga permasalahan, yaitu:
1. Non-linier material, dimana properti material berubah tidak dalam kondisi. Misalnya, elastisitas non- linier, plastisitas, susut ‘shrinkage’, dan rangkak ‘creep’.