Faktor dan Indikator Rasa Sama

2. Faktor dan Indikator Rasa Sama

Faktor-faktor dan indikasi keberhasilan dari sebuah masyarakat multikultural yang sudah mampu mengejawantahkan raos sami (rasa sama). Beberapa faktor yang mendukung terwujudnya raos sami (rasa sama) adalah (Sunarno, 2015) :

Pertama , terdapatnya rasa cinta-kasih (raos sih) pada diri setiap warga negara (Sunarno, 2015). Sementara untuk dimilikinya rasa cinta-kasih tersebut, setiap warga negara dituntut untuk melakukan proses mengolah rasa sehingga mampu mencapai ukuran keempat. Adanya rasa cinta-kasih akan membuahkan sikap saling mengenakkan antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara atribut satu dengan atribut lain karena diantara mereka saling mengenal rasa (tepang rasa). Meskipun harus berhubungan (sesrawungan) dengan mereka yang berbeda (Sunarno, 2015).

Kedua , adanya rasa “aku mempunyai negara” (aku nduwe negoro) (Sunarno, 2015). Rasa “aku memiliki negara” akan membuahkan sikap Kedua , adanya rasa “aku mempunyai negara” (aku nduwe negoro) (Sunarno, 2015). Rasa “aku memiliki negara” akan membuahkan sikap

Ketiga , adanya rasa persatuan (raos persatuan) (Sunarno, 2015). Guyub (berpadu), gotong-royong (alap-ingalap paedah)—tidak akan ada ketika rasa persatuan tidak dimiliki oleh warga negara. Rasa persatuan dengan demikian akan membuahkan kekayaan. Sebab dari rasa persatuan akan muncul keterpaduan (guyub), dan gotong-royong. Kebhinekaan, baik suku, budaya, agama, bahasa—pada titik tertentu akan membuahkan kekayaan bagi negara, tetapi sebaliknya—ketika yang dimiliki oleh warga adalah rasa perselisihan atau perpecahan (raos pasulayan), maka negara akan pecah tercerai berai oleh perbedaan (Sunarno, 2015).

Sedangkan beberapa indikasi keberhasilan dari raos sami (rasa sama), meliputi (Sunarno, 2015) : Pertama , terdapatnya gotong-royong di masyarakat. Ki Ageng Suryomentaram memaknai gotong-royong sebagai sebuah masyarakat yang saling memberikan kebaikan antara yang satu dengan lainnya (alap ingalap paedah ) (Sunarno, 2015). Kedua, adalah tetap menjalin hubungan baik dengan antar warga, antar masyarakat, dan antar kelompok yang berbeda (sesrawungan) (Sunarno, 2015). Ketiga, adalah masyarakat yang saling meng-enakkan antara yang satu dengan yang lain, saling meng-enakkan walaupun dengan mereka yang berbeda (sekeca lan nyekecakaken). Saling meng-enakkan berarti hidup secara “enak bersama-sama” (sekeca sesarengan ) (Sunarno, 2015). Keempat, adanya keterpaduan di masyarakat. Walaupun realitas masyarakat adalah berbeda-beda dan beragam, namun dalam kehidupan kebermasyarakatan tetap berpadu dalam persatuan. KAS menyebut masyarakat yang berpadu ini dengan sebutan guyub (Sunarno,

2015). Kelima, adalah mewujudkan prioritas kepentingan negara diatas kepentingan pribadi maupun golongan. Terbungkus dalam konteks ke- bhinekatunggalika-an, kepentingan negara adalah persatuan Indonesia (Sunarno, 2015).

Jadi, kesimpulannya adalah bahwa raos sami (rasa sama) yang dipaparkan oleh Ki Ageng Suryomentaram lebih sistematis dan terstuktur sehingga seorang individu ketika menghadapi masalah dapat menjadikan wejangan tersebut sebagai pedoman (resolusi) permasalahan yang dihadapinya. Sebagai contoh ketika seseorang itu memiliki konsep raos sami (rasa sama) seperti di Desa Balong, Timbulharjo seseorang akan memiliki tindakan rehearsal dimana kerja otak secara rasional dan hati seseorang individu bekerja secara harmonis. Proses ini membuat seseorang individu untuk mampu mengerti situasi disekelilingnya (eksternal) dan situasi dirinya sendiri (internal). Sehingga ini menunjukan bahwa adanya sebuah kesinambungan dan kolaborasi ketika seorang individu itu menghadapi sebuah problematika kehidupan sosial. Raos sami (rasa sama) inilah yang bisa menyebabkan seseorang individu memahami dirinya dan menilai makna dalam setiap kehidupan.

Kesimpulan berikutnya yang dapat disampaikan oleh peneliti terkait perbedaan antara Nilai filosofis masyarakat Jawa pada umumnya dan Wejangan Ki Ageng Suryomentaram adalah nilai filosofis masyarakat Jawa pada umumnya hanya terbatas sebagai pengetahuan dan nilai luhur yang disampaikan secara tidak langsung dan turun temurun. Sedangkan Wejangan Ki Ageng Suryomentaram adalah ilmu yang mengantarkan seseorang untuk mencapai proses peremenungan hakikat manusia sejati dan menuju suatu pencapaian akhir yaitu berupa pencerahan (insight).