xc korporasi. Artinya, kebijakan CSR tidak otomatis selaras dengan visi dan
misi korporasi. Jika CEO memiliki kesadaran tentang moral bisnis yang berwajah manusiawi, besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan
kebijakan CSR yang layak. Sebaliknya, jika orientasi CEOnya hanya pada kepentingan kepuasan shareholders produktivitas tinggi, profit besar, nilai
saham tinggi serta pencapaian prestasi pribadi, maka boleh jadi kebijakan CSR hanya sekedar kosmetik.
Sifat CSR yang voluntaristik, absensi produk hukum yang menunjang dan lemahnyapenegakan hukum telah menjadikan Indonesia sebagai negara
ideal bagi korporasi yang memang memperlakukan CSR sebagai kosmetik. Yang penting Annual Social Report tampil glossy, lengkap dengan tampilan
foto berbagai aktivitas sosial serta dana program ‘CD’ yang telah direalisasi. Di pihak lain, kondisi itu juga membuat frustrasi korporasi yang berupaya
menunjukkan itikad baik untuk melaksanakan CSR. Celakanya, bagi yang terakhir ini, walau dana program CSR dalam jumlah besar sudah
dikucurkan, manajemen CSR sudah dibentuk, serta strategi dan program CSR sudah dibuat, ternyata tuntutan serta demo dari masyarakat dan aktivis
organisasi nonpemerintah masih tetap berlangsung. Sementara, sikap pemerintah dalam hal CSR sejauh ini masih memprihatinkan.
B. Regulasi CSR dalam Hasil Sinkronisasi UU Perseroan Terbatas
xci Kerja kolektif Tim Sinkronisasi dan Tim Perumus Rancangan Undang-
Undang Perseroan Terbatas RUU PT telah diselesaikan pada akhir Juni 2007 lalu. Teks Pasal 74 RUU PT yang dinyatakan final adalah:
1 Perseroan wajib mengalokasikan sebagian laba bersih tahunan Perseroan
untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan; 2
Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan; 3
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Menurut DPR, pewajiban CSR juga sudah diatur dalam UU
Penanaman Modal UU PM, UU Nomor 252007 yang sudah terlebih dahulu muncul, sehingga apa yang mereka lakukan sesungguhnya konsisten
dengan UU tersebut. Dalam hal ini, konsistensi dalam pewajiban CSR memang benar terjadi, namun tentu saja RUU PT telah meluaskan cakupan
pewajiban CSR, yaitu menjadi terhadap seluruh badan usaha berbentuk perseoroan terbatas.
Secara umum dapat dinyatakan bahwa pewajiban CSR terhadap seluruh perseroan terbatas sebagaimana yang diatur dalam RUU PT adalah
hal yang tidak tepat dan belum jelas. Salah satu penyebab utamanya adalah bahwa penambahan bab dan pasal yang mewajibkan CSR itu tidak
dihasilkan dari sebuah proses konsultasi publik yang memadai. Anggota-
xcii anggota DPR yang menyusun UU ini bukanlah para pakar CSR, namun
mereka abai atas 1 masukan pemangku kepentingan utama, yaitu perusahaan, yang akan terkena dampak pemberlakuan peraturan tersebut,
dan 2 fakta bahwa sudah banyaknya pihak di luar Gedung DPR yang memiliki pengetahuan mengenai CSR jauh melampaui mereka, sehingga
seharusnya bisa diundang untuk memberikan masukan. Ketiadaan sebuah naskah akademik yang lazim dalam perumusan UU
juga menjadi pertanda tidak matangnya pemikiran yang mendasari pewajiban itu. Sebuah naskah akademik dalam perumusan UU berfungsi
sebagai media dialog antara konsep yang hendak diajukan dengan realitas. Sebagaimana yang akan ditunjukkan pada bagian-bagian berikut, konsep
CSR yang diajukan oleh DPR adalah lemah, dan juga tidak dibuat berdasarkan pemahaman atas realitas dunia usaha
Tentu saja, membicarakan CSR haruslah dimulai dari pemahaman yang sama tentang apa itu CSR. Sayangnya, dalam bab dan pasal RUU PT
yang mengatur tentang CSR definisi itu tak dapat langsung ditemukan. Untuk memahami bagaimana CSR dipersepsikan oleh para penyusun RUU
PT diperlukan upaya untuk melihat UU PM dan dokumen kerja mereka dalam proses penyusunan RUU PT.
Dalam UU PM—yang digunakan sebagai rujukan pewajiban CSR dalam RUU PT—di penjelasan Pasal 15 huruf b, CSR didefinisikan sebagai
“tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
xciii lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.” Dalam teks
Pasal 74 RUU PT sendiri CSR tidak didefinisikan. Namun dalam dokumen kerja Tim Perumus terdapat definisi
“Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada
umumnya.” Definisi ini telah disetujui Tim Perumus pada tanggal 3 Juli 2007.
C. CSR Dalam Ketentuan Hukum Di Indonesia C.1. Pengertian Hukum Pertambangan