Perspektif Instansi Sektoral: Kehutanan dan Perkebunan

4. Perspektif Instansi Sektoral: Kehutanan dan Perkebunan

Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pesisir Selatan, kasus yang terjadi sampai sekarang dan menimbulkan konflik antara pemerintah dengan masyarakat adalah dengan ditunjuknya kawasan hutan Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pesisir Selatan, kasus yang terjadi sampai sekarang dan menimbulkan konflik antara pemerintah dengan masyarakat adalah dengan ditunjuknya kawasan hutan

Di Nagari Kambang pengelolaan hutan untuk parak dan ladang oleh anak kemenakan harus mendapat izin yang dituangkan ke dalam surat “Pelacoan” dari penghulu suku, setelah membayar uang “sasia” atau sewa yang besarnya tidak ditetapkan. Luas lahan yang diizinkan biasanya tidak lebih dari 2 Ha. Jika dalam waktu 2 tahun lahan tersebut tidak diolah, hak untuk mengelola batal dan lahan tersebut kembali menjadi ulayat suku. Masyarakat di luar anggota suku dapat mengelola jika ada kerelaan dari anak kemenakan dan dilegitimasi oleh ninik mamak dan penghulu andiko/suku baik pada tingkat kaum maupun suku.

Dalam hal ini, Dinas Kehutanan tidak akan memberikan izin pembukaan hutan apabila dilakukan untuk keperluan pribadi seperti yang dijelaskan dalam surat pelacoan ini, karena surat pelacoan ini sendiri belum mempunyai kekuatan hukum. Tetapi, kalau pemanfaatan tersebut dilakukan di luar kawasan hutan TNKS maka Dinas Kehutanan akan melegitimasinya. Kemudian untuk pemanfaatan perkebunan, pemerintah sendiri mewaspadai apakah yang akan dimanfaatkan tersebut termasuk kawasan hutan TNKS atau tidak.

Untuk menyikapi konflik antara pemerintah dengan masyarakat tentang penguasaan terhadap kawasan hutan

hanya bisa dilakukan adalah dengan cara melakukan tata kelola bersama antara pemerintah dengan masyarakat hanya bisa dilakukan adalah dengan cara melakukan tata kelola bersama antara pemerintah dengan masyarakat

Ke depan dinas terkait akan tetap berpedoman pada aturan yang berlaku, apabila kawasan yang diklaim menjadi tanah ulayat ternyata masuk ke dalam kawasan yang sudah dipatok Negara maka kawasan tersebut akan tetap menjadi penguasaan Negara tidak bisa dikatakan sebagai tanah ulayat. Jadi di Solok Selatan tidak ada izin pemanfaatan oleh pihak ketiga yang berada dalam kawasan ulayat masyarakat, karena setiap proses pemberian izin pihak ketiga sudah melalui prosedur. Salah satu prosedurnya adalah kesepakatan pihak yang mengajukan izin dengan masyarakat di sekitar kawasan izin yang diajukan. Kalau ternyata dalam proses tersebut ada masyarakat yang keberatan maka dinas kehutanan tidak akan merekomendasikan izin tersebut untuk dikeluarkan. Menurut Dinas Kehutanan setempat, pemerintah pasti akan berpihak kepada masyarakat hukum adat atau kepentingan masyarakat banyak. Sekarang yang menjadi kewenagan pemerintah kabupaten hanya 10 Ha ke bawah, kalau sudah lebih dari 10 Ha maka itu mejadi kewenangan provinsi dan pusat.

Warga nagari memiliki peran yang strategis dan menentukan saat ini. Seluruh pemanfaatan pada kawasan yang berada dalam nagari yang bersangkutan maka harus melewati proses persetujuan dan kesepakatan bersama masyarakat di nagari. Jadi, apakah tanah tersebut merupakan ulayat atau tidak akan terjawab pada proses tersebut. Salah satu contoh sekarang ada kebijakan pemanfaatan kayu oleh masyarakat di dalam kawasan yang mereka miliki selalui Surat Izin Asal Usul Kayu (SKAU) yang dikeluarkan oleh

KAN dan Wali Nagari. Pada saat ini peran masyarakat nagari sangat menentukan untuk pemanfaatan kawasan. Kalau itu ulayat maka akan ada proses persetujuan oleh ninik mamak di nagari masing-masing, kalau tidak ada persetujuan maka dinas kehutanan tidak bisa melanjutkan prosesnya.

Dalam pemulihan tanah ulayat juga perlu untuk dipikirkan dan dipertimbangkan konflik yang akan muncul kalau

mau diterapkan berdasarkan klaim yang disampaikan oleh masyarakat di masing-masing nagari. Hal itu harus sudah diantisipasi sejak awal misalnya melalui bukti-bukti yang menguatkan klaim tersebut.