Zaman Edan : Sebuah Catatan Jurnalisme Richard Lyod Parry

Zaman Edan : Sebuah Catatan Jurnalisme Richard Lyod Parry

Bad news is a good news, anekdot itu sepertinya masih kepada Parry yang begitu dalam masuk ke dalam peristiwa demi tetap dipegang oleh banyak jurnalis. Selain karena punya mendapatkan sentimen pribadi terhadap peristiwa. Terutama nilai komersil—salah satu hal yang tidak bisa dilepaskan sekali ia salut akan keberanian Parry meliput peristiwa dari industri jurnalisme—“berita buruk” biasanya akan kanibalisme dan konflik etnik Dayak-Madura hingga ke lebih mendapatkan respon yang berkelanjutan dari para pedalaman Kalimantan. Sementara, Dadang menggarisbawahi pembaca. Tak mengherankan jadinya apabila berita- kemampuan Parry untuk menghubungan peristiwa yang ia berita bersentimen negatif atau kontroversiallah yang liput dengan mitologi yang dipegang oleh masyarakat, semisal menghiasi tajuk utama media-media cetak maupun bagaimana ia menghubungan peristiwa Mei 98 dengan elektronik lokal dan internasional.

mitologi pewayangan Jawa. Lain dengan dua pembicara Peristiwa konflik adalah salah satu contoh sumber sebelumnya, Dinaldo lebih mengubar cerita mengenai Mei

“berita buruk” menjadi langganan para jurnalis. Adalah 98 untuk mengetes sejauh mana kefaktualan peristiwa yang Richard Lloyd Parry, seorang jurnalis berkebangsaan diceritakan Parry, karena dia sendiri ikut terlibat sebagai aktifis Inggris, yang mengakumulasikan reportase-reportasenya dari peristiwa yang di ceritakan Parry. Sebagai penutup Taufik di Indonesia dari tahun 1996 sampai tahun 1999 Razen memberikan sedikit pengalamannya ketika ia juga dalam sebuah buku bertajuk Zaman Edan: Indonesia bertugas untuk membuat liputan mengenai peristiwa konflik di Ambang Kehancuran. Dalam buku ini Pary fokus di luar negeri. Menurut Razen, membaca buku Zaman Edan pada reportasenya dalam tiga peristiwa konflik besar seperti bernostalgia karena ia juga pernah mencoba menulis yang terjadi di Indonesia, Kanibalisme di Kalimantan, dengan gaya seperti Parry, namun menurutnya gaya seperti Kejatuhan Soeharto dan Disintegrasi Timor-timor.

Parry belum banyak diterima penikmat berita di Indonesia. Yang menarik dalam buku ini, Parry tidak

Diskusi ini sendiri kemudian lebih bergulir pada menggunakan gaya reportase berita yang konvensional. pembahasan peristiwa-peristiwa yang ada di dalamnya. Parry memilih menulis reportasenya dalam bentuk catatan Audiens lebih banyak berkomentar mengenai bagaimana pola perjalanan, sebuah gaya jurnalisme sastrawi. Dengan pikir dari masyarakat Indonesia. Menjadi pertanyaan besar gaya seperti itu reportase yang dihasilkan lebih kentara dalam diskusi tersebut adalah apakah peristiwa-peristiwa subjektifitasnya, tapi hal tersebut tidak mengurangi fakta- konflik dalam buku tersebut lahir karena pola pikir masyarakat fakta yang memang harus ia cantumkan juga sebagai Indonesia yang mencintai konflik dan kekerasan ataukah ada syarat sebuah tulisan jurnalistik. Dalam tulisan-tulisan faktor lain yang menjadi dasar terciptanya konflik-konflik reportasenya, Parry lebih mengedepankan opini-opini di tersebut. Hingga akhir diskusi memang tidak ada kesepakatan masyarakat mengenai suatu peristiwa untuk membangun yang tercipta mengenai jawaban dari permasalahan itu. opininya sendiri terhadap peristiwa tersebut.

Pada akhir diskusi ini, Taufik Razen teringat pada Buku itulah yang kemudian menjadi titik sebuah film yang baru saja ia tonton, Vantage Point, film keberangkatan diskusi Zaman Edan yang diadakan ini menceritakan usaha pembunuhan President Amerika

di Newseum Kafe, Selasa 19 Mei 2008. Diskusi yang Serikat dari banyak sudut-pandang dan dari masing-masing dimulai jam delapan malam ini merupakan bagian dari sudut pandang, cerita dan kesimpulan yang dihasilkan akan rangkaian Festival Mei di Newseum yang juga diadakan berbeda-beda. Ia menghubungan film itu dengan buku Zaman untuk memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional Edan. Film itu menggambarkan bagaimana sebuah peristiwa dan 10 tahun Reformasi. Sebagai pembicara untuk menghasilkan penceritaan berbeda jika dilihat dari orang mengomentari buku tersebut dipilihlah 3 orang pelaku yang berbeda. Buku Zaman Edan hanyalah satu perpektif salah satu peristiwa yang ditulis dalam buku Zaman Edan penceritaan mengenai suatu peristiwa, perspektif Richard dan dimoderatori (bisa juga disebut pembicara keempat) Lyod Parry, mungkin akan lain ceritanya jika orang lain yang Taufik Rahzen. Aksan, Dadang, dan Dinaldo, yang berbicara. Maka menurutnya akan lebih baik jika kesimpulan ketiganya terlibat dalam peristiwa Mei 1998 kemudian peristiwa-peristiwa konflik dilihat secara bersama-sama secara bergantian mengomentari isi dari buku ini.

dari berbagai perpektif. Daripada berkutat pada nostalgia Aksan

dengan peristiwa-peristiwa itu, lebih baik berusaha agar tidak ada lagi pernyataan ketertarikan terhadap gaya menulis reportase konflik baru yang menjadi “berita buruk” baru bagi bangsa Parry yang unik. Menurutnya, gaya penulisan Parry yang Indonesia. lebih seperti catatan pribadi membuka ruang terhadap masuknya sentimen pribadi penulis terhadap peristiwa yang dituangkan dalam catatan reportasenya. Ia juga salut

membuka

komentarnya