Jurnal PendarPena Vol. 2 Nomor 6 Mei 200

4 PendarPena

Kata Pembaca

Pena yang memendar itu kini hadir lebih berwarna. Memancar nakal di setiap kata dan parasnya. Lama tak terdengar kabar

karena keberadaannya yang nun jauh di sana. Namun seorang kawan mengirimkannya kembali lewat dunia maya. Takjub! -

Hanya kata itu dapat terucap. Progresnya sungguh luar bi asa. Masih teringat jelas di masa-masa awal. Ia tersendat, namun enggan mengendap. Bernapas pelan, meski tertahan.

Mencoba terus hidup dalam sebuah idealisme. - Salut untuk semua tim dan narasumber yang turut berpar

tisipasi. Mudah-mudahan apa yang dihadirkan dapat selalu menggelitik logika. Setiap kolom menghadirkan nuansa ber-

beda di tengah kabar yang semakin menggila. Dan tetuntunya tetap menjadi pena yang tak berhenti menitikkan karya.

Kolay Gelsin! Putri Dwina Juniandri (Poe)

Mahasiswi S2 Cultural Studies Universitas Istanbul-Turki

PendarPena, menurut saya sudah bagus, tapi ada bebera- pa hal yang kurang. Pertama, visi dan misi PendarPena itu tak jelas karena tak ada visi dan misi yang tertera. Kedua,

arah tulisannya akan berkonsentrasi pada masalah apa? Science, Humaniora, atau politik. Ketiga, segmentasinya

di mana? Tiga hal ini saya pikir harus ada pada PendarPe na. Terima Kasih.

- Johny Wahyuadi Soedarsono

Pengajar pada Dept. Metalurgi dan Material FTUI Direktur PNJ

PendarPena dapat diperoleh (terbatas) di Perpustakaan FIB UI, Perpustakaan UI, TB. Cak Tarno, TB. Kalam (TUK). TB. Bengkel Deklamasi (TIM), Universitas Paramadina, UIN Syarif Hidayatullah, STF Driyarkara, dan Perpustakaan Freedom Institute.

Pemberitahuan untuk Pembaca: media populer alternatif PendarPena akan vakum selama tiga bulan, terhitung dari Juni-Agustus. Kami akan hadir lagi pada bulan September. Hal ini kami lakukan demi penampilan dan isi PendarPena yang lebih bermakna dan bermanfaat untuk kita semua. Atas perhatiannya, kami haturkan limpah terima kasih.

PendarPena 5

Tulisan Utama

Waktu Luang dan Keterjagaan-

Akan:

Pra-Syarat

Kebebasan (Ber)Identitas

JC Pramudia Natal, Alumnus Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, UI. Pengajar Piano Klasik, Vokal, dan Electone di Sekolah Musik Yamaha.

A: ”Waduh! Siang ini kayanya musti bo- sub-ordinasi Sang-Liyan, dan akhirnya bulatan di kertas formulir, bahkan los, gua lagi ada jadwal manggung nih”

sampai negosiasi dengan dosen mata B: ”Sama nih. Gua juga gak bakal bisa ikut akal budi dan intuisi di dalam kepasi- kuliah yang bersangkutan. Sementara kelas, ada jadwal latihan tambahan”.

Diri tetap mampu menjaga keaktifan

itu Diri-Tubuh yang ”duduk tenang di A: ”Yasuda, paling besok kita minjam cata- rangka menjelaskan Ada-an Diri yang

fan fisik (Simon, 2008, 64-65). Dalam

dalam ruang kuliah” hanya melewati tan temen lagi”

waktu dengan menerima berbagai kesadaran fenomena dan kesadaran ak- bentuk persepsi indra, seperti warna Percakapan di atas tentu sudah tak asing di tif yang dikemukakan oleh Bagus Tak- ruang kelas, penjelasan dosen, bisik- kalangan mahasiswa-mahasiswi. Bahkan win.

terjaga, penulis mengembangkan teori

bisik teman di belakang, bahkan deng- mungkin juga buat para pelajar SLTA atau

kuran teman di sebelahnya.

SLTP. Kegiatan studi tidak lengkap tanpa Waktu Luang Sebagai Locus Ke-

Kedua, Tak-Benda-Pragma-

adanya kegiatan-kegiatan sosial, baik yang terjagaan-Akan

tis. Makna ini memiliki referensi ke- bersifat akademik ataupun non-akademik. Pieper, dalam bahasa Simon, menjelas- pada proses akal budi dan intuisi Melalui kegiatan-kegiatan ini, peserta kan bahwa, ”waktu senggang berpijak

yang dialami subyek Diri bersamaan didik memperoleh identitas-identitasnya pada pemujaan” (Simon, 2008, 68). Da- dengan saat tubuhnya mengalami poin yang lain. Si A mungkin seorang pencinta lam kaitannya dengan pemujaan, waktu

1. Dengan demikian, poin ke-2 ini ada- alam, B adalah seorang penari paruh-wak- senggang memiliki kesamaan dengan

lah abstraksi terhadap poin pertama. tu, dan C adalah seorang penyanyi yang praktik pembebasan tanah untuk di- Ketika Diri-Tubuh ”mengisi IRS”, di kerap harus bernyanyi di luar kota atau jadikan tempat beribadah, yaitu ked- dalam Diri-Subyek terdapat abstraksi bahkan ke mancanegara. Namun tetap A, uanya: ”merupakan penyediaan waktu

dari berbagai realitas fisik faktual yang B, dan C memiliki identitas yang sama, tertentu dalam ruang yang tak digu- baru dialami. Hal yang sama juga ber- yaitu sebagai peserta didik yang wajib me- nakan” (ibid, 68). Kalimat di atas dapat

laku untuk contoh yang lain. Abstraksi nyelesaikan studi. Kewajiban ini mengaki- dimaknai baik secara fisik atau tak-ben- ini dapat berbentuk gambaran atau- batkan peserta didik yang bersangkutan

da, baik secara pragmatis atau idealis.

pun proposisi.

mengalami konflik antara prioritas dan Berikut pasangan-pasangan pemaknaan Ketiga, Tak-Benda-Idealis. tuntutan multi-identitas yang diembannya kalimat di atas.

Makna ini masih bereferensi kepada (Sen, 2007, 40).

proses akal budi dan intuisi. Na- Melalui tulisan ini, penulis men- Makna ini memiliki referensi kepada

Pertama,

Fisik-Pragmatis.

mun proses ini tak hanya terbuka coba memaparkan bahwa waktu luang keadaan fisik yang dialami secara

terhadap realitas fisik faktual yang dan keterjagaan (di dalam menjalani-nya) langsung oleh Diri-Tubuh pada saat

baru saja dialami tubuh, tetapi juga menjadi pra-syarat identitas. Berdasarkan ini. Ruang yang tak digunakan adalah

terjaga terhadap berbagai abstraksi penjelasan Pieper yang dikutip Simon, ruang yang tidak digunakan/diubah/ (kemungkinan) realitas fisik yang maka waktu luang dapat dimaknai seba- dimanipulasi oleh tubuh dalam rangka

akan dialami sebagai akibat dari reali- gai: Ada-an Diri yang sepenuhnya terjaga. memuaskan kebutuhan indra. Dalam

tas fisik yang baru dialami. Misalnya, Yang dimaksud dengan terjaga adalah hal ini dapat dibandingkan antara keg- ketika Diri-Tubuh melakukan keg- proses akal budi dan intuisi yang lebih da- iatan ”mengisi IRS” dan ”duduk tenang

iatan ”mengisi IRS” maka pada saat lam daripada kesadaran dan keterbukaan. mendengarkan kuliah”. Diri-Tubuh yang

yang bersamaan Diri-Subyek memiliki Diri bertindak dengan berbagai pengaruh ”mengisi IRS” bertujuan untuk mencari

harapan untuk memperoleh sesuatu lingkungan namun tanpa tekanan dari lu- dan mendaftar mata kuliah (objek).

(konsumsi) dari mata kuliah (objek) ar-Diri, Diri menjadi subyek atas keadaan Dengan demikian ia harus mengubah

tersebut, misal nilai bagus, pengeta- sekeliling tanpa jatuh ke dalam praktik berbagai hal, mulai dari menghitamkan

huan baru, dan kebahagiaan keluarga.

6 PendarPena

PendarPena

Penjelasan yang lebih kompleks berlaku untuk contoh Diri-Tubuh yang ”duduk tenang di dalam ruang kuliah”. Walau ia juga mengalami proses yang sama namun berbeda dari contoh ”mengisi IRS”, proses abstraksinya tidak terkonsen- trasi pada satu hal. Bisa saja Diri-Subyek dari Diri-Tubuh yang duduk ini sedang membayangkan bahwa ia akan menentang pendapat dosennya di dalam ruang kelas yang warnanya berbeda dengan yang Diri- Tubuh sedang alami. Di dalam bayangan ini, Diri-Subyek juga memprediksi berba- gai pendapat yang mungkin akan dilontar- kan teman-temannya.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa waktu luang adalah keadaan di mana Diri-Sub- yek dapat melakukan proses abstraksi ter-hadap lebih dari satu hal. Memang menjadi prasyarat bagi seseorang untuk mempertimbangkan dan memutuskan tindakan yang akan menentukan identi- tasnya. Namun waktu luang tidak berdiri sendiri, karena di dalam ruang dan waktu harus ada suatu proses akal budi dan in- tuisi yang tak hanya terbuka pada suatu realitas faktual namun juga dapat mem- prediksi dan terjaga-akan realitas fisik yang mungkin akan dihadapi.

Keterjagaan: Proses Akal Budi dan Intuisi Menuju Kebebasan

Bagus Takwin di dalam Kesadaran Plural memaparkan 5 tahap proses akal budi manusia (Takwin, 2005, 216-226), yaitu identifikasi, encoding, menemukan implikasi, menemukan cara penyelesa- ian perbedaan implikasi, dan menetap- kan keputusan. Dalam kaitannya dengan pembahasan waktu luang dan pemilihan identitas penulis akan memfokuskan diri pada poin identifikasi dan encoding, dan pengembangan kedua poin tersebut seba- gai pra-syarat untuk melangkah ke dalam

3 proses yang lain. Proses identifikasi dijelaskan se- bagai proses ketika ”manusia menemuke- nali atau mengidentifikasi benda-benda yang ada di lingkungan” (Takwin, 2005, 216). Dengan demikian sesungguhnya proses identifikasi adalah ketika Diri sa- dar akan dunianya, yang berarti lahirnya Diri-Subyek. Hal ini karena Diri telah melakukan klasifikasi antara Diri-Tubuh, Sang-Liyan-Tubuh, dan Diri-Subyek. Me- langkah lebih jauh pada tahap encoding, maka Diri-Subyek mulai ”... menerima informasi tentang objek tertentu dan men- gartikan informasi itu” (ibid, 217). Pada tahap ini, Diri-Subyek mulai mengetahui bahwa ia tak sendiri sebagai yang-terk- lasifikasi-di-dalam-diri. Melangkah lebih jauh dari objektifikasi yang liyan sebagai Diri-Tubuh, Diri-Subyek mulai terbuka akan kehadiran Subyek dari yang liyan. Di

dalam keterbukaan ini diperoleh juga berbagai informasi faktual dan aktual mengenai Sang-Liyan.

Pengembangan lebih lanjut yang dimaksud penulis dan tidak di- masukkan ke dalam 5 tahap itu oleh Takwin, adalah tahap prediksi. Di da- lam tahap ini, Diri-Subyek tak hanya sadar akan yang liyan sebagai Diri- Tubuh (identifikasi) dan kemudian ter- buka akan Sang-Liyan-Subyek (encod- ing). Lebih lanjut, Diri-Subyek secara aktif mencoba mengabstraksikan atau terjaga-akan berbagai kemungkinan realitas fisik yang akan dialami Sang- Liyan berdasarkan realitas faktual dan aktual yang sedang dialami Sang-Liyan tersebut. Pada saat ini, Diri-Subyek

sedang menyadari akan Sang-Li- yan sebagai Diri-Tubuh dan Diri- Subyek, terbuka terhadap semua keadaan yang sedang dibawa dan telah dialami Sang-Liyan, dan ter- jaga akan semua kemungkinan realitas yang akan dialami Sang- Liyan di masa mendatang.

Dengan memiliki keterjagaan- akan kemungkinan realitas yang akan dialami pada masa mendatang oleh Sang-Liyan, maka dengan demikian Diri-Subyek sekaligus memiliki keter- jagaan-akan kemungkinan realitas yang akan dialami Diri. Hal ini dikarenakan Sang-Liyan dan Diri-Subyek bersifat saling meniscayakan, saling mengada- kan, saling meniadakan (Hassan, 2005, 43-45). Semakin banyaknya kemung- kinan realitas yang akan dialami maka semakin banyak pilihan yang dapat di- ambil Diri-Subyek. Apabila kebebasan meniscayakan adanya pilihan-pilihan, maka keterjagaan-akan yang dialami Diri-Subyek menegaskan hal tersebut.

(Ber)Identitas: Waktu Luang Da- lam Keterjagaan

Berdasarkan pembahasan di atas maka penulis menarik kesimpulan bahwa manusia sebagai Diri-Subyek hanya mampu memilih identitasnya secara

bebas apabila mengalami proses abstraksi terhadap lebih-dari-

satu realitas Sang-Liyan di dalam tahap keterjagaan-akan dari ruang proses akal budi dan intuisi. Kebebasan yang dialami oleh Diri-Subyek ditandai oleh semakin banyaknya pilihan iden- titas yang didasari pada keterjagaan- akan realitas yang kemungkinan akan dijalani.

Walau demikian dapat terjadi beberapa keadaan yang mengurangi ke- bebasan Diri-Subyek dalam menentu- kan identitas. Keadaan tersebut adalah pertama Diri-Subyek berada di dalam tahap keterjagaan-akan, namun

sedang/hanya terfokus kepada satu jenis realitas Sang-Liyan. Hal ini dicer- minkan oleh manusia yang tertutup akan adanya manusia atau realitas yang berbeda dari yang ia yakini. Ia hanya peduli akan tujuannya dan bahkan rela mengobjektifikasi sekelilingnya untuk mencapai tujuan. Kedua, Diri-Subyek mampu mempersepsi dan mengabs- traksikan lingkungannya, namun ia hanya mencapai tahap encoding (ket- erbukaan). Hal ini dicerminkan oleh manusia pragmatis yang keberadaan- nya sangat ditentukan oleh bagaimana keadaan faktual lingkungannya. Ia di- objektifikasi oleh lingkungan dan keg- iatannya sendiri.

Apabila manusia dapat secara bebas memilih identitasnya, maka ia tak akan terjebak hanya menjalani atau mengulang-ulang suatu kultus. Ia akan mampu mengembangkan kul- tus yang sedang dijalaninya, yang be- rarti melakukan suatu inovasi. Apabila suatu kultus berhasil diinovasi maka kebudayaan dan masyarakat pun akan dapat berkembang. Itulah yang dimak- sud oleh Pieper sebagai kebudayaan hanya mungkin apabila ada waktu lu- ang (Simon, 2006, 63), dan Diri-Subyek yang terjaga-akan waktu luang yang ia jalani.

Daftar Pustaka:

Cassirer, Ernst. 1970. An Essay on Man. New Haven: Yale University Press Hardiman, F Budi. 2005. Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma. Jakarta: Kompas Hassan, Fuad. 2005. Kita and Kami: The Basic Modes of Togetherness. De- pok: Winoka Sen, Amartya. 2006. Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas. Diterjemah- kan oleh Arif Susanto. Serpong: Marjin Kiri. Simon, Fransiskus. 2008. Kebudayaan dan Waktu Senggang. Yogyakarta: Jalasutra. Takwin, Bagus. 2003. Kesadaran Plu- ral: Sebuah Sintesis Rasionalitas dan Kehendak Bebas. Yogyakarta & Band- ung: Jalasutra

Tulisan Utama

Antara Waktu Luang,

Permainan, dan Nilai-Nilai

Pendidikan

Oscar Ferry

dari arus cepat orang tuanya, mengaji, dll, mereka kaum urban yang sibuk dengan rutinitas

Manusia bukan robot. Begitupun Jauh

senggangnya segala aktivitas dan rutinitasnya. gemerlap modern ibukota, di waktu (yang mungkin terbatas) Apalagi di jaman yang serba sudut kampung pedesaan masih untuk

dan

hingar-bingar memanfaatkan

bermain. Permainan mementingkan

kecepatan dan terlihat sekelompok anak-anak mereka itu tidak direncanakan, keinstanan ini, mereka selalu (kecil) bermain dengan riang. apalagi dijadwalkan. Mereka tak bergelut dengan kerja, kerja, dan Bukan bermain Guitar Hero di menjadwalkan kapan akan memulai kerja. Maka menjadi pantas jika Play Station maupun Counter dan kapan harus mengakhiri mereka membutuhkan seluang Strike secara online di komputer permainan. Spontanitaslah yang waktu dari kubangan orientasinya atau laptop, akan tetapi mereka tercuat dalam permainan tersebut. tersebut. Namun sayang, waktu memainkan permainan tradisional Bahkan tidak ada batasan berapa luang buat mereka telah terjadwal Cublak-Cublak Suweng. Sebuah jumlah pemainnya, dalam arti dan terbatas di kalender. Sehingga permainan

yang siapa pun boleh bermain, baik anak tak jarang waktu luang yang sedikit lahir dari kebudayaan Jawa dan dari kalangan priyayi maupun dari tersebut digunakan untuk “benar- diwariskan secara turun-temurun. keluarga petani. benar istirahat”, atau sekedar Sebuah permainan yang sejatinya

tradisional

Mengapa kesenggangan rekreasi

untuk menyegarkan masih dikenal dan perlahan mulai waktu anak-anak kecil yang bermain kepenatan otak. Inilah keterjebakan “dimusnahkan” masyarakat kota Cublak-Cublak Suweng tersebut kaum urban dalam memaknai yang mendewakan modernitas. penulis katakan efektif? Karena waktu luang.

Sebuah permainan yang dilakukan menurut Ki Hajar Dewantara Tulisan

bukunya Transformasi bertujuan untuk menggambarkan dengan ikhlas, dengan spontanitas, Nilai Melalui Permainan Rakyat manusia, terutama kaum urban, dan jauh dari sisi modernitas. Daerah

ini

bukan tanpa biaya sepeser pun, dilakukan dalam

Istimewa Yogyakarta menggunakan

lalu memaknai Namun, senyum mereka tetap (Depdikbud: 1992/1993) bahwa waktu luangnya untuk “benar-benar merekah, seakan-akan tidak ada semua permainan (tradisionil) istirahat” atau ber-backpacker-an; beban di bahu mereka. Mata anak-anak

memiliki fungsi melainkan untuk mencandrakan mereka tetap bersinar, seolah-olah pendidikan,

ketertiban, dan bagaimana waktu luang digunakan tak ada kepenatan akan kewajiban keteraturan. Masih menurut Ki untuk membiarkan imajinasi yang mengerjakan PR sekolah.

Hajar, ada beberapa nilai yang

dalam permainan berkembang secara mendidik dan kecil tersebut telah menggunakan tradisionil anak-anak, diantaranya tentunya digunakan untuk terus kesenggangan waktunya secara dapat menimbulkan rasa senang, belajar. Salah satunya permainan efektif. Selepas rutinitas hariannya rasa bebas, rasa berteman, rasa tradisional anak-anak.

ada terus merenang secara kreatif, Ya, tanpa sadar anak-anak terkandung

seperti sekolah, belajar, membantu demokrasi, melatih untuk Bawang

8 PendarPena

Kothong (anak bawang), melatih saat purnama, atau bagda (sehabis) jiwa kepemimpinan, melatih agar Isya maupun setelah mengerjakan patuh terhadap peraturan, mendidik semua kewajibannya sebagai anak- dalam

keterampilan

berpikir, anak. Mereka bermain dengan

melatih dalam pengendalian emosi, spontan, tanpa ada paksaan dari dan melatih keberanian. Nilai- siapapun. Mereka tidak pernah nilai tersebutlah yang membuat mempedulikan

siapa

yang

Terlebih bila

efektifnya waktu senggang yang menang dan kalah. Bahkan tidak

digunakan anak-anak

dalam memikirkan pula strategi khusus

ditilik lebih

bermain. Efektif, karena dengan untuk menuju kemenangan atau

memainkan permainan tersebut bertahan agar tidak kalah. Yang

dalam lagi,

dapat melatih, mendidik, dan ada hanyalah keceriaan, canda, menjadi arena belajar bagi anak- tawa, senyuman, dan tentunya

permainan

anak. Terlebih bila ditilik lebih kebersamaan.

tersebut jauh

dalam lagi, permainan tersebut Jaman

boleh

berubah,

jauh dari kesan “benar-benar waktu terus berputar, umur pun istirahat” atau bermalas-malasan, ikut bertambah. Di tengah gilasan

dari kesan

tanpa mengeluarkan biaya, tidak putaran roda globalisasi yang selalu berbatas, dan tidak terjadwal, serta menamengkan modernitas dan

“benar-benar

jauh dari sisi permainan modern kemajuan teknologi, mungkin kita berteknologi tinggi yang hanya memang sudah tidak mendengar

istirahat” atau

membuat imajinasi anak-anak lagi ada sekelompok anak-anak kecil sebatas khayalan.

bermalas-

yang bermain sambil menyanyikan

malasan, tanpa

Pada permainan tradisional “cublak-cublak suweng, suwenge

anak-anak, tak hanya Cublak- ting gelenter, mambu ketudhung Cublak Suweng, tetapi juga ada gudel, pak empong lera-lere,

mengeluarkan

permainan lainnya yang dikenal sapa ngguyu ndhelikake -sir, sir masyarakat Jawa, seperti Jamuran, pong dhele kopong-…”. Nyanyian

biaya, tidak

Lepetan, Gajah Talena,

dan anak-anak kecil yang sedang

berbatas, dan

Tumbaran (Ki Hajar Dewantara. memainkan permainan tradisionil

Pembinaan Nilai-Nilai Budaya tersebut hanya dapat kita jumpai

Melalui Permainan Rakyat Daerah bila berkunjung ke perkampungan tidak terjadwal,

Istimewa Yogyakarta. Depdikbud: di pedesaan, bukan di perkotaan 1997/1998). Permainan-permainan macam Jakarta.

serta jauh dari

tradisional tersebut masih dapat kita Yang

jelas

menampak

sisi permainan

temui di pelosok-pelosok daerah adalah dengan bermain permainan yang masih kental corak budaya tradisional, imajinasi anak-anak

modern

Jawanya. Permainan-permainan berkembang secara kreatif. Mereka tersebut memang belum diketahui juga bisa mendapatkan pelajaran

berteknologi

secara pasti kapan, di mana dan baru di luar kegiatan belajar- oleh siapa mulai dimainkan. Satu mengajar di sekolah. Pelajaran

tinggi yang

hal yang pasti bahwa permainan- baru yang dipetik diantaranya, permainan

kepemimpinan, hanya membuat

semacam

Cublak- seperti

jiwa

cublak Suweng, Jamuran, Lepetan mengendalikan emosi, melatih mampu eksis karena adanya proses keberanian, kebebasan berekspresi

imajinasi

pewarisan, baik oleh orang tua, dan berpendapat, serta yang

anak-anak

saudara-saudara, maupun teman- terpenting

adalah

bagaimana

teman mereka; dan merupakan mereka melatih diri bersosialisasi. menjadi sebatas

salah satu produk asli peninggalan Hal-hal tersebut memang mereka kebudayaan Nusantara lama.

khayalan.

dapatkan tanpa disadari, akan

Permainan-permainan yang tetapi tertanam dalam diri masing- diiringi dengan nyanyian tersebut masing yang mungkin dapat dimainkan

tanpa dijadwalkan. mereka aplikasikan di masa depan, Artinya mereka bermain jika ketika mereka dewasa kelak. mereka ingin bermain. Mereka memainkan di

sela

rutinitas

hariannya sebagai

anak-anak.

Biasanya dilakukan di malam hari

PendarPena 9

10 PendarPena

Omongomong

Rekreasi, melarikan diri dari rutinitas yang memenjara seakan-akan sudah menjadi sebuah kebutuhan yang amat mendesak untuk masyarakat urban. Kita sering menyebutnya sebagai kegiatan-kegiatan di kala liburan atau di kala waktu senggang. Nyatanya, waktu senggang ini adalah suatu term yang lebih dari sekadar melarikan diri dari rutinitas semata. Waktu senggang sejak jaman dahulu sudah dimaknai beragam oleh masyarakat; ada yang menyejajarkannya dengan hubungan manusia de- ngan Yang Lain. Untuk lebih memperjelas hal ini, Pen- darPena (PP) yang diwakili Mufti-Ali-S dan Oscar Fer- ry menemui Dwi Woro R. Astuti (DWA), pengajar di Program Studi Jawa, FIB UI. Hasil dari pembicaraan itu, sebagiannya kami sarikan pada anda di bawah ini.

PP: Menurut orang-orang di wilayah budaya bahwa apapun bisa menjadi area yang kreatif, baik adanya wak- tu senggang maupun tidak. Kami sedikit akan menelisik tentang konsepsi waktu senggang itu dalam kaitannya dengan kebudayaan. DWA: Menurut saya, biasanya waktu luang (bagi kaum urban) itu biasanya sudah terprogram. Atau misalnya mereka sudah merencanakan untuk menyenggangkan waktu dengan keluarga. Seperti saya bersama keluarga juga sudah menjadwalkan jauh-jauh hari untuk waktu senggang bersama. Biasanya saya menghabiskan waktu senggang bersama keluarga untuk terus belajar, mi- salnya ikut seminar kebudayaan atau acara-acara kebu- dayaan di luar kota. Dengan begitu, saya bersama kelu- arga juga bisa ikut mengapresiasikan kebudayaan di kala senggang. PP: Oke itu persepsi kaum urban dalam memaknai wak- tu luang. Lalu, jika kita tarik ke masyarakat tradisional yang biasanya mengisi waktu luang secara efeketif dan kreatif, seperti mengadakan upacara atau ritual kea- gamaan. DWA: Ya, mungkin jika dulu itu memang lebih ke arah upacara atau ritual. Sekarang itu bedanya adalah ada perubahaan dalam unsur upacara atau ritual, namun secara kreatifitas tetap ada, misalnya dengan memasuk- kan unsur ke-modern-an tanpa menghilangkan esensi makna ritualnya. PP: Menurut anda, apakah upacara-upacara tradisional

yang masih dilakukan di beberapa daerah merupakan waktu luang yang efektif bagi mereka dan kebudayaan- nya? DWA: Ya jelas efektif. Meski pun menurut kaca mata orang-orang kota bahwa mengadakan upacara-upacara tradisional hanya buang-buang waktu saja. Tapi untuk saya, mengadakan upacara tradisional adalah bagian dari siklus kehidupan, karena masyarakat tradisional juga menganggap itu sebagai penyatuan dengan alam. Tidak ada istilah buang-buang waktu bagi mereka. Lihat saja jaman sekarang di masyarakat kota jika mengada- kan upacara pernikahan. Malah ada beberapa unsur (penting) justru dihilangkan, misalnya menginjak telor dalam upacara pernikahan adat Jawa. Ada beberapa pendapat yang mengatakan unsur itu dihilangkan ka- rena alasan gender. Jadi meskipun ada upacara-upac- ara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat kota sekarang, tetapi tidak sedetail aslinya. PP: Berarti apakah menurut anda waktu senggang bagi masyarakat tradisional bagian dari fondasi kebu- dayaan? DWA: Ya benar. Meskipun kita sering melihat dari lu- arnya saja, misalnya waktu senggang yang digunakan oleh masyarakat Jawa tradisional untuk duduk bersama sambil mengobrol. Akan tetapi dalam obrolan tersebut mereka membicarakan tentang kematangan jiwa atau tentang hidup (kemanunggalan). Bisa dibilang mereka juga berfilosofi. Menurut saya hal tersebut merupakan hal positif dan efektif. PP: Seperti apakah konsep waktu senggang dalam pan- dangan masyarakat tradisional tersebut? DWA: Menurut saya, mereka tetap berkolaborasi den- gan alam. Secara implisit dengan ritual, sedangkan secara eksplisit dengan menembang atau duduk ber- sama membicarakan makna hidup. Mereka tak hanya merenung saja, tetapi pembicaraannya malah menjadi sebuah falsafah hidup jika ditelisik lebih dalam. Bahwa manusia juga berhubungan dengan alam dan perlu ada pemahaman terhadap kosmos yang lebih besar lagi. PP: Apakah waktu senggang itu dihadirkan tak hanya untuk sekedar istirahat saja? Apakah hanya sedetail itu saja? DWA: Ya itu bukan sekedar istirahat saja, tetapi juga bagian dari transendensi. Bahwa mereka dengan

Kembali ke Alam:

Memaknai Ulang Makna Waktu Senggang Kosmopolitan

PendarPena 11

berisitirahat, tidak berarti mereka memutuskan jarak den- gan jagad gede. Bahwa lingkaran antara jagad cilik dengan jagad gede merupakan garis yang tidak putus-putus, atau bisa dikatakan menyatu. Jika mereka tidak rasakan “kon- tak” (garis) dengan kosmos (alam semesta), tentu mereka tidak bisa mewujudkan yang implisit (upacara tradision- al) dan yang eksplisiti itu. Meskipun mereka (masyarakat tradisional) pada akhirnya menjadi kaum urban, mereka tetap harus melakukan kontak, karena tujuan mereka pun tidak berubah, yaitu manunggaling kawula Gusti. Pada intinya manusia juga tidak boleh mengambil jarak dengan alam (kosmos), karena memang itu merupakan bagian dari siklus kehidupan. Contohnya adalah sesaji untuk leluhur. Sesaji menurut saya merupakan salah satu wujud waktu senggang masyarakat tradisional. PP: Akan tetapi hal tersebut merupakan kesadaran dari masyarakatnya sendiri, atau ada rancangan dari pengua- sa? DWA: Kalau menurut saya penguasa tidak sampai ke situ. Malah yang ada penguasa memutus garis transen- densi tersebut. Misalnya penebangan pohon atau pemus- nahan areal hutan dilakukan demi nama pembangunan. Bagi masyarakat tradisional Jawa, pohon merupakan salah satu tempat untuk melakukan kontak dengan roh leluhur. Jadi menurut saya penguasa malah memutuskan garis antara jagad cilik dengan jagad gede yang telah ada sejak dulu. Menurut saya waktu senggang memang harus diisi dengan kegiatan yang bersifat kontemplasi. Bahwa manusia harus punya tingkat perenungan yang tinggi da- lam artian harus bisa memahami yang tradisional untuk ke depannya. Harus tetap ada komunikasi dengan cara yang tradisional. Jadi waktu senggang digunakan sebagai bentuk komunikasi dengan alam lain, bukan SMS atau Facebook. PP: Oke, SMS atau Facebook merupakan dilema masyarakat urban, lantas dalam pandangan anda apakah itu berguna di kala senggang? DWA: Tetap ada gunanya. Akan tetapi di sinilah kon- trol diri yang memegang peranan. Manusia harus bisa mengontrol diri dengan segala yang berlebihan di jaman sekarang. Maka pengontrolan diri harus dilakukan den- gan kontemplasi, perenungan ketika di waktu senggang. Harus ada titik balik yang dikontrol antara yang duniawi

dengan diri sendiri. PP: Berarti terjadi sebuah perubahan. Dalam arti sekarang banyak orang yang mentransendesikan yang imanen, seperti Facebook. Lantas perubahan para- digma tersebut apakah disebabkan karena ada modus ekonomi? DWA: Menurut saya bukan karena faktor ekonomi, tetapi lebih disebabkan karena adanya arus baru. Di mana sekarang orang mungkin sudah jenuh dengan segala yang hardware. Seperti Facebook yang seka- rang banyak digemari, saya pikir lagi-lagi kita harus bisa mengontrol diri. Menurut saya, salah satu bentuk waktu senggang di jaman modern yang efektif adalah Yoga. Karena dalam Yoga kita bisa melatih pengaturan dalam diri sendiri. PP: Apakah ada kemungkinan bahwa Yoga di jaman sekarang ini dapat direduksi oleh masyarakat mo- dern untuk kembali menjadi sebuah mitos (bahwa memaknai waktu senggang adalah salah satunya den- gan beryoga)? DWA: Itu siklus. Seperti kehidupan manusia yang be- rawal dari “tidak ada” ke “ada” kembali lagi ke “tidak ada”. Memang ada masanya. Tetapi kalau Yoga menu- rut saya akan terus ada. Hal-hal tradisional menurut saya tidak berubah, hanya manusianya saja yang men- gapresiasikannya berbeda sesuai dengan kemajuan ja- man. Karena sesuatu yang tradisional akan jauh lebih awet keberadaannya. PP: Kesimpulannya, apakah bisa dikatakan bahwa kebudayaan yang sekarang ada ini tercipta dari pere- nungan-perenungan yang dilakukan di kala senggang dulu? DWA: Ya. Untuk bisa menciptakan budaya yang memiliki nilai-nilai tinggi memang hasil dari sebuah pertanyaan-pertanyaan yang akhirnya diwujudkan ke dalam bentuk yang lebih hardware lagi, semisal upa- cara-upacara atau ritual. Kemudian di situ ada pemak- naan secara mendalam lagi terhadap yang hardware tersebut. Mungkin ada baiknya kita tetap memelihara budaya yang tradisional itu untuk pengendalian diri di jaman sekarang ini. Ternyata memang kita harus kem- bali lagi ke alam. Bahwa manusia tidak bisa lepas dari hal-hal yang berhubungan dengan alam (kosmos).

Manusia harus bisa mengontrol diri dengan segala yang

over di jaman

sekarang ini. Maka pengontrolan diri harus dilakukan dengan kontemplasi, perenungan ketika di

waktu senggang.

12 PendarPena

Artikel

Heidegger, seorang filsuf Jer- man menekankan manusia se- bagai yang menyejarah. Manu- sia yang mempertanyakan “ada” adalah manusia yang belum se- lesai, belum digarap. Manusia yang menurut Heidegger adalah Dasein (ada di sana) harus me- nguasai waktu. Ia berbeda de- ngan benda-benda atau makhluk lainnya yang berada di dalam waktu dan dikendalikan oleh waktu. Manusia sebagai yang menyadari keterlemparannya di dunia mempunyai sebuah ke- mampuan reflektif untuk menilik kembali Lebenswelt-nya. Untuk menyingkapkan “ada” ini, ma- nusia butuh berefleksi diri dan menemukan sebuah pemahaman yang tanpa representatif, sebuah ketercerahan yang mistik. Di titik ini, kita mengandaikan sebuah waktu luang sebagai keterlepasan keberadaan kita dari ruang, Leb- enswelt yang mengungkung kita. Manusia reflektif yang menguasai waktu, menciptakan waktu luang demi sebuah aktifitas pemaha- man diri, memahami potensiali- tasnya demi menemukan dirinya di masa depan. Dengan waktu lu- ang sebagai kesempatan reflektif, masa lampau dan kekinian ma-

nusia dilebur untuk memperdiksi kemungkinannya di masa depan. Refleksi adalah sebuah aktifitas pribadi. Jadi, boleh dikatakan di sini, waktu luang adalah sebuah keniscayaan untuk mencapai ma- nusia historis a la Heidegger.

Dalam perjalanannya dan perkembangannya terkini, waktu luang mengalami banyak peruba- han dan pengertian. Charles K. Brightbill dalam bukunya Man and Leisure (1961) mengung- kapkan bahwa pada awalnya bu- daya dipengarhui oleh (aktivitas) waktu senggang, namun pada perkembangan terkini (aktivitas) waktu senggang itu pun dipe- ngaruhi oleh budaya. Ini tentu saja inheren dengan perkem- bangan dunia pasca Aufklärung dan revolusi industri. Keduanya membawa manusia pada zaman baru yakni zaman modern. Apala- gi ketika pasar semakin mewarnai keseharian hidup manusia, waktu luang pun mengalami perubahan- nya. Waktu luang bukan saja ha- nya sebagai suatu kesempatan bagi manusia merefleksikan diri- nya, melainkan juga kini menjadi sesuatu yang dikonsumsi. Waktu luang dimanipulasi sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah

komoditas. Maka muncullah pula kemudian apa yang disebut seba- gai “bisnis waktu luang”. Dan bagi manusia modern, terlebih kaum urban, bisnis waktu luang inilah yang menjadi sesuatu yang seksi dan sangat digandrungi. Di sini kita punya dua waktu luang yakni waktu luang sebagai sebuah kes- empatan berefleksi diri manusia secara pribadi dan waktu luang sebagai sebuah komoditas. Tentu saja, waktu luang ini pun kerap dipergunakan secara bersama- sama, sebagai sebuah kegiatan reflektif komunal.

Ketika waktu luang dipa- hami sebagai sebuah refleksi diri Heideggerian, maka waktu lu- ang tersebut tak membutuhkan sebuah “tabungan” tertentu atas waktu; waktu secara sengaja di- siapkan untuk berwaktu luang. Sebab, sebuah ketersadaran akan “ada” bukanlah sebuah hasil dari penyingkapan oleh subjek, me- lainkan “ada” itu menyingkapkan dirinya sendiri terhadap subyek (manusia). Obyek yang meny- ingkapkan diri terhadap subyek ini kami artikan sebagai sebuah “ketersadaran akan” yang tiba- tiba atas sesuatu hal yang datang tanpa diduga, tanpa dicari, dan

Antara

Waktu

Waktu Luang

(yang [Di]) Luangkan

Berto Tukan dan Mufti-Ali-Sholih

dan

tanpa dipersiapkan. Bisa kapan saja itu terjadi; semacam sebuah pengalaman mistik yang bisa datang kapan saja dan di mana saja. Ia menjadi sebuah pengalaman pribadi yang tidak bisa dibagikan dengan orang lain. Ketika pen- galaman itu dinarasikan, ia bukan lagi menjadi sebuah

Waktu luang

ketersadaran akan. Ini mungkin terdengar seperti sebuah

bukanlah sesuatu yang

pengalaman pribadi akan sesuatu. Ketika waktu luang itu dipahami sebagai sebuah

akan mengada dengan

komoditas, maka (aktifitas) berwaktu luang itu pun bu-

sendirinya, melainkan

kanlah lagi sesuatu yang niscaya. Waktu luang pada pe- mahaman ini adalah sebuah waktu yang disiapkan, bisa

diciptakan dan

dibilang dimanipulasi untuk suatu tujuan tertentu yakni

dipersiapkan

berwaktu luang. Maka, ketika waktu luang adalah sesuatu yang diciptakan dari waktu yang tidak luang, waktu luang

sebagaimana

menjadi semacam pelengkap penggembira saja dari ber- waktu itu. Apalagi ketika waktu luang yang ini dipahami

mungkin untuk

sebagai bagian dari manusia sebagai makhluk bekerja;

diterima sebagai

kerja menjadi titik pangkal kemanusiaan, terlebih kerja ini dipandang sebagaimana yang terjadi dalam ranah kapi-

sebuah keniscayaan.

talis ini. Manusia menjadi semacam alat produksi untuk

Pada masyarakat

menghasilkan sesuatu yang sungguh tidak punya sangkut pautnya dengan dirinya. Maka, waktu luang adalah sebuah

modern, waktu luang

kesempatan kosong untuk beristirahat dari kerutinintasan

ini pun tetap

itu. Lantas, waktu luang ini pun dipergunakan sebagai

dimanfaatkan sebagai

sebuah komoditas jual beli pula. Munculnya bisnis-bisnis waktu luang adalah salah satu contohnya. Waktu luang

sebuah kesempatan

bukanlah sesuatu yang akan mengada dengan sendirin-

untuk

ya, melainkan diciptakan dan dipersiapkan sebagaimana mungkin untuk diterima sebagai sebuah keniscayaan.

mengidentifikasikan

Pada masyarakat modern, waktu luang ini pun tetap di-

dirinya. Waktu luang

manfaatkan sebagai sebuah kesempatan untuk mengiden- tifikasikan dirinya. Waktu luang sebagai komoditas ini pun

sebagai komoditas ini

membentuk komunitas sendiri. Dibantu oleh bisnis-bisnis waktu luang terciptalah komunitas baru seperti; mereka

pun membentuk

komunitas sendiri.

yang ke mall, mereka yang ke café, mereka yang ke perpus-

takaan, dan lain sebagainya. Waktu luang sebagai sebuah komoditas lantas

Dibantu oleh

menjadi milik kolektif secara bersama-sama, di suatu tem-

bisnis-bisnis waktu

pat yang sama dan pada suatu saat yang sama pula. Waktu luang lantas menjadi pengalaman bersama dan ketersa-

luang terciptalah

darannya pun adalah ketersadaran komunal.

komunitas baru

Di sini kita melihat ada dua jenis waktu luang yang muncul; waktu luang untuk diri sendiri dan waktu luang

seperti; mereka yang

untuk kebersamaan. Maka, tentu ada baiknya kita men- jalankan kedua-duanya. Yang pertama kita butuh ketersa-

ke mall, mereka yang

daran diri dan kesiapsediaan diri untuk menemukan “ada”

ke café, mereka yang

yang menyingkapkan diri dalam waktu luang sebagai sebuah refleksi diri akan “ada disananya” manusia. Waktu

ke perpustakaan, dan

yang tak membutuhkan sebuah perencanaan dan sebuah

lain sebagainya.

penyediaan tertentu. Sedangkan yang kedua, kita pun tak bisa menutup mata atas adanya sebuah waktu (yang di-) luangkan demi sebuah penemuhan dan sebuah istirahat fisik.

Nah, mana yang anda prioritaskan? Itu tergantung pilihan anda sendiri.

PendarPena 13

14 PendarPena

Artikel

Jawa yang mempesona nan meng- gairahkan itu, bagi jiwa yang penuh warna dan semangat belajar yang tinggi, seperti Thomas Stamford Raffles, adalah ladang kehidupan dan ladang ilmu. Sungguh ia telah tertambat hatinya dengan apa yang tersaji di tanah yang kaya akan si- lang budaya itu. Pantaslah ia bersedih tatkala masa baktinya sebagai Letnan Gubernur di Jawa berakhir dan mesti meninggalkan pulau penuh “kejutan” itu. Kala sendu itu terjadi pada Maret 1816—empat setengah tahun sejak ke- datangannya pada September 1811.

Tak hanya soal sejarah, baha- sa, sosial-politik, kesenian, dan religi yang ditelusurinya, aneka tetumbu- han (botani) dan hewani (zoologi) pun ia jejaki, bahkan dikoleksinya. Demi memperlancar studi-studinya, Raffles sampai membentuk staf asisten pe- nelitian yang ditugaskan melaporkan hasil survey dan apa-apa saja yang ditemukan selama meneliti Jawa. Salah satu asisten andalannya ada- lah Dr. Horsfield, seorang naturalis, ahli benda kuno, dan seniman asal Amerika yang sudah tinggal 11 tahun lebih lama di Jawa dibanding Raffles. Bersamanyalah, Raffles menemukan candi Penataran pada 1815 di utara Blitar, Jawa Timur. Bahkan Raffles mengarahkan agar para sultan Jawa menuliskan sejarah negara mereka. Ia pun menyimpan segala jenis hewan dan aneka tumbuhan yang ditelitinya. Beberapa dari objek penelitiannya itu ia layangkan untuk disimpan di Mu- seum Oriental milik Rumah Perusa- haan India Timur di Inggris.

Salah satu dedikasi besarnya terhadap budaya kebendaan Jawa

adalah ditemukannya candi raksasa, Borobudur, yang dibangun Dinasti Syailendra, Raja Samaratungga, pada sekitar 824 M. Sejak merosotnya aja- ran Buddha Mahayana di Jawa, eksis- tensi candi ini menyusut, tenggelam, hingga dirumputi, ditimbun pepo- honan, ilalang, dan diselimuti bekas debu letusan Gunung Merapi. Barulah pada 1814, Raffles memerintahkan, segera setelah ia mendapat perkaba- ran akan adanya candi raksasa yang terbenam tersebut, untuk dibersih- kan. Beliau pun memerintahkan H.

C. Cornelius untuk menyelidiki dan membersihkan kawasan bersejarah tersebut. Alhasil, kembali bangkitlah Borobudur dari persemayaman pan- jangnya itu.

Dalam penelitiannya di Jawa, Raffles bersama dua asistennya, James Crawfurd dan Colin Mackenzie, berhasil merekam apa yang mereka saksikan, seperti: keadaan geografi, kepadatan penduduk, sistem perda- gangan, pertanian, sosial-budaya, dll. Segala penelitian tersebut ia jalan- kan dengan pendanaan pribadi. Tak peduli telah berapa banyak uang dan kesehatan yang berkurang. Semua itu dilakukan demi keterpukauannya ter- hadap peradaban Jawa yang menam-

bat hatinya. Salah satu bangunan peninggalan Raffles dan jua meru-

pakan salah satu aplikasi dari kecin- taanya terhadap budaya dan sastra Jawa adalah dibangunnya Museum Etnografi Batavia, yang hingga kini masih berdiri kokoh.

Tak banyak orang tahu sisi ilmuwan seorang Raffles. Orang lebih sering mengenalnya sebagai penakluk Jawa dari tangan kekua- saan Perancis dan juga penakluk keraton-keraton di Jawa (Banten, Cirebon, dan Yogyakarta). Selain itu, ia juga diketahui sebagai sosok pembaru dalam sistem pertanahan dan pembagian 16 distrik di Jawa. Mungkinkah ini adalah dampak dari karakternya yang tak suka unjuk gigi. Hal ini sejalan dengan berita yang diutarakan seorang Melayu bernama Abdullah, juru tulis di kantor Raf- fles di Malaka, yang menulis dalam

Memoirnya: “Jika pengalamanku ini tidak salah, tidak ada yang menya- mai kemampuan dan kebesaran hati Raffles di dunia ini”.

Raffles, Sang Letnan Gubernur cum Orientalis.

“Raffles bersedih, ketika awal jejaknya di Jawa ditandai dengan

Sulaiman Harahap

The History of Java, Waktu Senggang Raffles di Jawa

PendarPena 15

kematian Dr. John Leyden, seorang orientalis hebat, dokter handal, saha- bat, dan pembimbing studi Raffles di

Timur”.

Petualangan orientalisme Raf- fles banyak diperoleh dari Dr. Leyden. Pasalnya, selama ekspedisi ke Timur menjadi seorang Asisten Sekretaris di Perusahaan India Timur—berawal di Penang, Malaysia—Raffles banyak berdiskusi dan akrab dengan Leyden. Ia adalah sosok hangat dan cerdas. Raffles menilai sosok Leyden adalah seorang yang fenomenal dengan memorinya yang luar biasa, serta alur bicaranya yang mengalir dan penuh wawasan. Lord Minto—Gubernur Jenderal peru- sahaan dagang India Timur—menilai kemempelaian intelektual Leyden-Ra- ffles adalah serasi dan komplementer.

Di Penang-lah mereka berke- nalan lalu akrab, hingga nanti pada hari pertama Raffles dan pasukan ekspedisi penaklukan Jawa sampai ke Batavia, maut memisahkan kolaborasi intelek- tual ini. Leyden wafat dalam pengem- baraan ilmu pengetahuan. Walau ma- laria tengah mencekamnya, ia tetap sibuk membongkar arsip-arsip sekre- tariat Belanda di ruang bawah tanah di Batavia. Ia tak lelah walau perjalanan selama 6 minggu di atas kapal perang

Modeste dari Malaka menuju Batavia baru saja dia tempuh. Panas tubuhnya pun memuncak pada kematian. Kema- tian Leyden sungguh membuat Raffles terpukul. Ia telah kehilangan pemandu studinya yang sangat ia andalkan. Raf- fles pun lalu menuliskan surat kepada William Marsden—ilmuwan orientalis Inggris, penulis buku History of Suma- tra (terbit tujuh tahun lebih awal dari The History of Java), dan lama tinggal di Bengkulu—dalam satu kalimat da- lam suratnya bertulis: “kita telah kehi- langan seorang ahli di bidang literatur ketimuran”.

Kesedihan Raffles tidak lan- tas membuatnya berhenti bergairah terhadap ilmu pengetahuan, terutama soal sejarah, budaya, bahasa, zoologi, dan botani di Jawa dan Sumatra. Bah- kan tatkala ia diangkat menjadi Let- nan Gubernur di kawasan yang pada masa sebelumnya dikuasai Belanda, yakni Hindia Belanda, Raffles tetap bersuka cita menjalankan kecintaan- nya terhadap studi-studinya itu. Bah- kan hingga kondisi fisiknya melemah karena penyakit, kesedihan, hingga kelelahan kerja, ia tetap memperlihat-

kan sosoknya yang optimis, gigih, dan penuh percaya diri menjalankan kerja intelektual. Tak dibiarkannya waktu luang untuk hal yang tak berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Sungguh pribadi yang enerjik dan berkuali- tas. Maka tak heran, G. M. Trevelyan, dalam buku British History in Nine- teenth Century (1922) menuliskan Raffles sebagai “Salah satu orang he- bat dan pegawai terbaik Kerajaan In- ggris yang pernah dimiliki. Mungkin dia adalah orang Eropa pertama yang membawa metode humanitarian dan ilmiah modern untuk mengembang- kan begitu banyaknya ras-ras asli di Asia”.

Dalam banyak guratan se- jarah, kala Raffles menjabat Letnan Gubernur di Jawa, ia dituliskan se- bagai sosok pembaru bagi sistem ko- lonial konservatif yang ditanamkan

pemerintah sebelumnya. Ia hadir dengan ide-ide liberal dan kebijakan- kebijakannya yang berpihak pada kemanusiaan. Dari semua kebijakan- nya di Jawa, yang terpenting adalah soal pertanahan, karena berkaitan langsung dengan penghidupan rakyat Jawa. Pada masanya, Raffles melaku- kan reformasi peraturan pertanahan. Ia memberlakukan sistem pajak ta- nah (landrente). Dalam buku Seja- rah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi karya bersama Sar- tono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, gagasannya itu timbul dari upayanya untuk memperbaiki sistem paksa dari Kumpeni (VOC), yang dianggap mem- beratkan dan merugikan penduduk. Maka dari itu, Raffles menghendaki perubahan sistem penyerahan paksa dengan sistem penyerahan pajak ta- nah, yang dianggap akan mengun- tungkan kedua belah pihak baik ne- gara maupun penduduk.

Di tengah hiruk-pikuk suasana perang Napoleon di Eropa, perseteru- an dengan pihak Keraton Yogyakarta, dan setumpuk permasalahan admin- istrasi dan birokrasi di Tanah Jawa, Raffles sungguh tepat memilih Buit- enzorg (Bogor), tepatnya di Cisarua kira-kira berjarak 40 mil dari Bata- via, sebagai tempat tinggal. Di sana ia tinggal bersama istrinya Olive Mari- anne Devenish, yang cerdas, hangat, dan sungguh dicintainya (makamnya dapat kita jumpai di Kebun Raya Bo- gor). Ia memilih kawasan indah nan sejuk ini sebagai tempat kerjanya dan jua untuk menghindari bahaya yang disebar oleh nyamuk-nyamuk dari rawa-rawa di Batavia yang mengun- dang Malaria dan merenggut nyawa. Disanalah The History of Java mulai digurat penuh seksama berdasarkan bahan-bahan yang diperoleh dari para staf riset dan observasi pribadi Raffles di Tanah Jawa.

Namun ketika masa jabat- nya sebagai Letnan Gubernur di Jawa berakhir, otomatis proyek penelitian pun terhenti. Ia pun pulang ke London memboyong segala koleksi manuskrip, ukiran, tekstil, tanaman, substansi he- wan, serangga, buah, dan seni kuno miliknya yang mencapai berat 30 ton dan dibungkus dalam 200 peti. Segera sesampainya di London, ia melanjut- kan proyek penulisan The History of Java. Buku ini pun berhasil dirang- kumkannya, lalu diterbitkan dalam dua jilid pada 1817 dan didedikasikan untuk Pangeran Yang Mulia Kerajaan Inggris. Berkat sumbangan informasi dan ilmu pengetahuan akan dunia Timur yang berharga, sebagimana ter- maktub dalam The History of Java, gelar Sir pun disandangnya.

Sungguh mengharukan dan menggetarkan hati bahwa seorang anak dari kalangan rendahan, telah menjadi Tuan/bangsawan Kerajaan Inggris. Keharuan tersebut tak kalah hebat dengan apa yang diceritakan dalam sebuah biografi yang dituliskan Thomas Jefferson, Hidup, Cinta, dan Tragedi. Raffles Sang Pejuang. Da- lam beberapa frase biografi tersebut, Travers, pencatat perjalanan dan te- man baik Raffles, menuliskan:

”Tuan Raffles ditemani pergi ke pantai oleh semua penduduk Batavia yang menangisi kepergiannya. Kepala

penduduk Cina dan penduduk asli tidak mau meninggalkannya hingga

mereka melihatnya berlayar”.

Maka tak heran, G. M. Trevelyan, dalam buku British History in Nineteenth Century (1922) menuliskan Raffles sebagai “Salah satu

orang hebat dan pegawai terbaik Kerajaan Inggris yang pernah dimiliki. Mungkin dia

adalah orang Eropa pertama yang membawa metode humanitarian dan ilmiah modern untuk mengembangkan begitu banyaknya ras-ras asli

di Asia”.

Karya

Hendra Kaprisma

Dialog di Suatu Senja

Tuan-tuan dan Puan-Puan. Di manakah saya berada kini? Ada kah yang lebih baik dari dunia? Jawablah segera! on Thursday Clear Chat History

5:14pm Hendra di pojok dengan setumpuk buku..

5:14pm Mariana hihihihi

5:14pm Hendra itulah yg kunamakan surga.. kebebasan.. ekspresi..

5:15pm Mariana pojokannya banyak nyamuk ga?

5:15pm Hendra sudah disemprot pake larutan anti-kemapanan.. dan sekelilingnya sudah kututup dengan kelambu kritisisme.. agar panopticon kekuasaan tak melihatnya..

Depok, 17 April 2009

Kagum

Lelah hari terbayarkan oleh moleknya alam Deru ombak mendayu-dayu memanggil jiwa-jiwa yang haus akan dekapan cinta Angan menerawang memecah kehampaan Biar nelangsa ini tertegun kagum menatap nyiur yang melirik mesra Oh Baliku Jangan kau rusak ini surga wahai manusia robot globalisasi Biarkan firdaus ini damai tak tersentuh pembaharuan gombalisasi

Kuingin terus mendekapmu lewat kata yang terurai Tenang damai bersama saujana indahnya alam Baliku

Denpasar, 7 Januari 2008

16 PendarPena

Bukubuku

Homo Ludens:

Main-Main a la Filsafat Barat

oleh: Rachman C. Muchlas Alumni Filsafat FIB UI 2002

Judul

: Homo Ludens: a study of play-element in culture

Penulis

: Johan Huizinga

Penerbit

: Routledge and Keagan Paul

Tahun Terbit : 1949 Halaman

: 220

PendarPena 17

18 PendarPena

Bukubuku

Sore mendung. Devi dan Arya se- dang berbaring bersama di tempat tidur, keduanya baru saja selesai melumuri waktu luang mereka. Seperti hari-hari yang sudah- sudah, kedua orang ini gemar mengisi sela waktu senggang mer- eka dengan diskusi filsafat yang hangat. kali ini, Arya baru saja membaca buku yang menggelitik nalarnya. Ia pun membulatkan ke- inginannya untuk membagi buah pikirannya dengan Devi; sebab ia tahu, Devi berbakat dalam men- gajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengena; sebab ia tahu, diskusi itu akan mengalir ke arah yang ia tak bisa duga. Demikian- lah sore itu, dua orang, berselimut, membahas filsafat.