KEWENANGAN OTONOMI DESA DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA (Studi Pada Desa Pasar Baru Kecamatan Kedondong Kabupaten Pesawaran)

(1)

ABSTRACT

THE AUTHORITY OF THE VILLAGE IN PLANNING DEVEPLOMENT OF THE VILLAGE

(The Study On Pasar Baru Village Kedondong District Pesawaran Regency) By:

Farah Zatalini

Law No. 6 of 2014 on Village brings a new paradigm in rural development planning. Currently authority rural development remains an issue, whereas rural development is under the authority of the Ministry of Rural accordance birth Act Village. The problem in this research is the authority of village autonomy in planning the field of rural development and what are the factors inhibiting the implementation of village autonomy authority in the field of construction of the village.

Approach to problem which used is the juridical approach normative and juridical empirical. Data which used is primary data and secondary. The data which already processed then presented in the form of blurb, ago dintreprestasikan or interpreted for done the discussion of and analyzed qualitatively, then for selanjutkan be drawn a conclusion.

Based on research results and of solution known that the authority of village autonomy in planning the field of village development has been done through the process of program planning of development who is participatory, transparent, accountable and detailed because of through a series of stages which covering: social preparation and design the study of, identification general condition the village, analysis asset, reflection,-depth study and plenary, Musrenbangdes, and post-Musrenbangdes. Government Market Village Baru not yet can organizes process development planning in accordance with Undang-Undang No 6 the year 2014 and article 63 of Regulation of Government Number 72 years 2005 which states that the obliging to the Government the village for draw up plan Term Development Medium-village (RPJMDes). Inhibiting factors the application of authority of village autonomy in the field of construction of Desa among others from factors fasililitas and human resources very hinder the performance of reign of village, factor of society and factors Undang-Undang enacted still weak. Village government given authority to conduct own what they need, but with ability which very marginal.

To the Government of Market Village Baru need to consummation the stages of the implementation of participatory planning order to be able be implemented


(2)

manner simpel and easily understood good by the device the village government and kecamatan nor the society with does not reduce the principle of-the principle of participative.


(3)

ABSTRAK

KEWENANGAN OTONOMI DESA DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

(Studi Pada Desa Pasar Baru Kecamatan Kedondong Kabupaten Pesawaran) Oleh:

Farah Zatalini

Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa membawa paradigma baru dalam perencanaan pembangunan desa. Saat ini kewenangan pembangunan desa masih menjadi persoalan, padahal pembangunan desa berada dibawah kewenangan Kementrian Desa sesuai lahirnya Undang-Undang Desa. Permasalahan dalam penelitian ini adalah kewenangan otonomi desa dalam perencanaan bidang pembangunan desa dan apa sajakah faktor penghambat penerapan kewenangan otonomi desa di bidang pembangunan Desa.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa kewenangan otonomi desa dalam perencanaan bidang pembangunan desa telah dilakukan melalui proses perencanaan program pembangunan yang bersifat partisipatif, transparan, akuntabel dan mendetail karena melalui serangkaian tahapan yang meliputi: persiapan sosial dan desain kajian, identifikasi kondisi umum desa, analisis asset, refleksi, kajian mendalam dan pleno, Musrenbangdes, dan pasca Musrenbangdes. Pemerintah Desa Pasar Baru belum dapat menyelenggarakan proses perencanaan pembangunan sesuai dengan Undang-Undang No 6 tahun 2014 dan pasal 63 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 yang menyatakan bahwa mewajibkan kepada Pemerintahan desa untuk menyusun rencana Pembangunan Jangka Menengah desa (RPJMDes) . Faktor penghambat penerapan kewenangan otonomi desa di bidang pembangunan Desa antara lain dari faktor fasililitas dan sumber daya manusia sangat menghambat kinerja pemerintahan desa, faktor masyarakat dan faktor Undang-Undang diberlakukan masih lemah. Pemerintah desa diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal.


(4)

Kepada Pemerintah Desa Pasar Baru perlu penyempurnaan tahapan pelaksanaan perencanaan partisipatif agar dapat dilaksanakan secara simpel dan mudah dipahami baik oleh perangkat pemerintah desa dan kecamatan maupun masyarakat dengan tidak mengurangi prinsip-prinsip partisipatif.


(5)

KEWENANGAN OTONOMI DESA DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

(Studi Pada Desa Pasar Baru Kecamatan Kedondong Kabupaten Pesawaran)

Oleh

FARAH ZATALINI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Administrasi Negara

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2015


(6)

(7)

(8)

(9)

MOTO

“Barang Siapa Menempuh Perjalanan Untuk Mencari Ilmu, Maka Allah Akan Memudahkan kepadanya Jalan Ke Surga”

( H.R. MUSLIM )

“Yakinlah Kepada Sang Pencipta , Bahwasanya Semua Segala Urusan Di

Dunia Akan Di permudah Tidak Akan Ada Beban

Jika Kita Sanggup Menjalaninya”


(10)

PERSEMBAHAN

Bismillahirrohmanirrohim

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan yang telah memberikan kesempatan sehingga

dapat ku selesaikan sebuah karya ilmiah ini dan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW yang selalu kita harapkan Syafaatnya di hari akhir kelak. Aku

persembahkan karya ini kepada:

Kedua orang tuaku: Ayahanda H.

Pindra Tarmizi, S.Sos,. M.M. dan Ibunda Dra., Hj. Zoleha Saleh

yang selalu mencintai, menyayangi mengasihi serta mendoakanku dengan tulus sebagai penyemangat dalam hidupku

Serta untuk adikku Muh.Al-Fani dan Sabrina Atika yang senantiasa memberikan

dukungan kepada ku sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

Untuk sahabat dan teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan dukungan dan motivasi serta menemaniku dalam suka maupun duka dalam

mencapai keberhasilanku.

Almamaterku tercinta


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 5 Januari 1994. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara buah hati dari pasangan Bapak H. Pindra Tarmizi, S.Sos., M.M. dan Ibu Dra., Hj. Zoleha Saleh

Penulis menempuh jenjang pendidikan pertama kali pada taman kanak-kanak (TK) Ar-Rusdah pada tahun 1998. Sekolah Dasar (SD) Kartika II-5 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2005. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kartika II-2 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2008 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 5 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2011.

Pada tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Pada tahun 2014 penulis melaksanakan mata Kuliah Kerja Nyata (KKN) Periode II di Kota Karang raya, Kecamatan Teluk Betung Barat, Kelurahan Kota Karang Bandar Lampung. Kemudian pada tahun 2015 penulis menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(12)

SANWACANA

Puji syukur ku persembahkan atas kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yeng telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: “Kewenangan Otonomi Desa Dalam Perencanaan Pembangunan Desa (Studi Pada Desa Pasar Baru Kecamatan Kedondong Kabupaten Pesawaran)”. Skripsi ini sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak, dan segala sesuatu dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna mengingat keterbatasan penulis. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Sugeng P. Harianto Selaku Rektor Universitas Lampung;

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung;

4. Bapak Satria Prayoga, S.H.,M.H. Selaku Sekertaris Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung:


(13)

5. Ibu Nurmayani, S.H., M.H. selaku Pembimbing I yang senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan kepada penulis serta memberikan saran dan kritik dalam penulisan skripsi ini;

6. Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah memberikan saran, arahan, dan bimbingan serta nasehat kepada penulis dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini;

7. Bapak Elman Eddy Patra, S.H., M.H., selaku Pembahas I yang telah banyak memberikan saran dan masukan yang sangat berharga kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

8. Ibu Ati Yuniati, S.H., M.H. selaku Pembahas II yang telah memberikan saran, kritik dan arahan kepada penulis dalam perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini;

9. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberi bimbingan akademik, bantuan dan saran kepada penulis selama ini; 10.Seluruh Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, khususnya

di Bagian Hukum Administrasi Negara yang telah banyak memberikan bekal ilmu pengetahuan (hukum administrasi negara) kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

11.Seluruh Bapak/Ibu Karyawan di Fakultas Hukum Universitas Lampung; 12.Seluruh narasumber yang telah meluangkan waktu untuk memberikan

informasi berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

13.Ayahanda H. Pindra Tarmizi S.Sos., M.M. dan Ibunda Hj.Dra Zoleha Saleh tercinta. Terima kasih banyak atas do’a dan kasih sayang ayah dan ibu dalam mendidik dan membesarkanku dengan tulus. Semoga Allah SWT membalas


(14)

segala yang telah ayah dan ibu korbankan untuk kehidupanku dengan kebahagiaan di dunia dan akhirat Amiin.

14.Adik-adikku Muh. Al-Fani dan Sabrina Atika yang telah memberikan semangat serta do’a untuk kelancaran dalam penulisan skripsi ini dan seluruh keluarga besarku yang telah menantikan kelulusanku.

15.Sahabat-sahabatku tercinta: Destry Fianica, Noni Ana Duanti, Erza Cechelya,Gevi Ratianda Bralinza, Friska Annisa, Gesa Iasa, Mia Respani. Serta seluruh teman-teman FH Unila 2011 yang lainnya terima kasih banyak atas kebersamaan kita selama ini dan terima kasih atas semangat, motivasi kalian, tanpa kalian semua tidak akan berkesan. Semoga kita semua dapat menggapai kesuksesan di Dunia dan Akhirat Amin Ya Rabbal Alamin.

16.Keluarga dan teman-teman baruku semasa KKN: Kota Karang Raya, Shinta, Tika, Ratih,Irma, Restu,Wawan Naw,Yipi, Satya Un, Angga,Farisi. Terima kasih telah memberikan pengalaman yang baru, kebersamaan dan kenangan yang amat berarti bersama kalian.

17.Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, teman-teman di Bagian Hukum Administrasi dan seluruh teman-teman Angkatan 2011 Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas perhatian dan bantuan yang telah diberikan selama masa pendidikan. Semoga skripsi ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua dan pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun akan selalu diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih semoga Allah SWT memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita


(15)

semua serta semoga tali silaurahmi diantara kita tetap erat dan kita dipertemukan kembali dalam keridhoan-Nya. Aamiin Allahumma Ya Rabbal’alamin.

Bandar Lampung, Juni 2015 Penulis,


(16)

DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN SURAT PERNYATAAN RIWAYAT HIDUP MOTTO PERSEMBAHAN SANWACANA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Kegunaan Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Desa ... 10

2.1.1 Desa ... 10

2.1.2 Konsep Otonomi Desa ... 14

2.2 Kewenanan Otonomi Desa ... 16

2.2.1 Adminidtrasi Desa... 16

2.2.2 Pembangunan Desa ... 19

2.2.3 Kemasyarakatan Desa ... 23

2.2.4 Perencanaan Pembangunan Desa ... 25

2.3 Teori Kewenangan... 28

2.3.1 Pelimpahan Kewenangan dengan Atribusi ... 29

2.3.2 Pelimpahan Kewenangan dengan Delegasi ... 30

2.3.3 Pelimpahan Kewenangan dengan Mandat ... 32

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Masalah ... 34

3.2 Sumber dan Jenis Data ... 34


(17)

3.3.1 Pengumpulan Data... 36 3.3.2 Pengolahan Data... 36 3.4 Analisis Data ... 37

BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Kewenangan Otonomi Desa Dalam Perencanaan Bidang Pembangunan Desa ... 38 4.1.1 Kewenangan Pemerintah Desa ... 38 4.1.2 Kewenangan Otonomi Desa dalam Perencanaan

Bidang Pembangunan Desa ... 43 4.1.3 Temuan di Lapangan ... 65 4.2 Faktor Penghambat Penerapan Kewenangan Otonomi Desa

Di Bidang Pembangunan Desa ... 72 BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 79 5.2 Saran ... 80 DAFTAR PUSTAKA


(18)

DAFTAR TABEL

1. Matriks Proses Perencanaan Pembangunan di Desa Pasar Baru ... 64

2. Bangunan Fisik yang Ada di Desa Pasar Baru... 65

3. Keadaan Sarana Perhubungan (jalan) di Desa Pasar Baru ... 66

4. APBD Desa Pasar Baru Tahun Anggaran 2014 ... 67


(19)

i

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Hasil Wawancara Guru BK... 119

2. Kisi – Kisi Pedoman Observasi Penelitian... 120

3. Uji Validitas... 122

4. Uji Reabilitas………….... 125

5. Lembar Observasi Percaya Diri Siswa... 131

6. Data Penjaringan Subjek………...……... 133

7. Tabulasi preetest kelompok eksperimen... 136

8. Tabulasi postest kelompok eksperimen... 138

9. Tabulasi preetest kelompok kontrol... 140

10.Tabulasi baseline kelompok kontrol... 142

11.Uji wilcoxon pada kelompok eksperimen... 144

12.Uji wilcoxon pada kelompok kontrol... 145 13.Modul

14.Foto


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hakikat otonomi daerah adalah efisiensi dan efektifitas dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang ada pada akhirnya bernuansa pada pemberian pelayanan kepada masyarakat yang hakikatnya semakin lama semakin baik, disamping untuk memberi peluang peran serta masyarakat dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan secara luas dalam konteks demokrasi.1 Jika dikaitkan dengan pemerintah desa yang keberadaanya adalah berhadapan langsung dengan masyarakat, maka sejalan dengan otonomi daerah yang dimaskud, upaya untuk memberdayakan pemerintah desa harus dilaksanakan, karena posisi pemerintah yang paling dekat masyarakat adalah pemerintah desa.

Menyadari akan pentingnya pembangunan di tingkat desa Pemerintah melakukan berbagai bentuk dan program untuk mendorong percepatan pembangunan kawasan pedesaan, namun hasilnya masih belum signifikan dalam meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan desa harus dilakukan secara terencana dengan baik dan harus menyentuh kebutuhan riil masyarakat desa. Sehingga pembangunan yang dilakukan di kawasan pedesaan dapat membumi dengan masyarakatnya.

1

Riant Nugroho., Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi Kajian dan Kritik Atas


(21)

2

Untuk mewujudkan pembangunan desa yang terencana, maka pemerintah desa dan seluruh elemen masyarakat harus terlibat dalam proses perencanaan pembangunan. Bentuk perencanaan pembangunan, seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) desa dan Rencana Kerja Tahunan (RKT), merupakan beberapa contoh perencanaan pembangunan tersebut. Sebelum diberlakukannya Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut Undang-Undang Desa), rencana pembangunan desa berdasarkan ketentuan Pasal 63 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang menyatakan bahwa mewajibkan kepada Pemerintah Desa untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun yang memuat arah kebijakan pembangunan desa, arah kebijakan keuangan desa, kebijakan umum dan program, dengan memperhatikan RPJMD, program Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), lintas SKPD, dan program prioritas kewilayahan, disertai dengan rencana kerja.

Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa membawa paradigma baru dalam perencanaan pembangunan desa. Pasal 79 undang-undang ini menyatakan bahwa perencanaan pembangunan desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Perencanaan Pembangunan Desa disusun secara berjangka meliputi rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun dan Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut


(22)

3

Rencana Kerja Pemerintah Desa, merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

Keberadaan Undang-undang Desa diharapkan membawa penduduk di Desa lebih sejahtera melalui 4 (empat) aspek utama, yaitu pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan (Pasal 78 ayat 1). Untuk menunjang Pembangunan Desa tersebut, akan ada alokasi dana cukup besar yang mengalir ke Desa. Pada Pasal 72 ayat (4) ditetapkan paling sedikit 10% dari dana transfer daerah dalam Anggaran Pedapatan dan Belanja Negara (APBN) akan mengalir ke Desa. Berdasarkan simulasi anggaran, setiap Desa rata-rata akan menerima Rp 1,44 Milyar di tahun 2014.

Agar dana tersebut bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan penduduk Desa, perlu dibuat perencanaan yang matang untuk penggunaannya. Rencana tanpa anggaran adalah mimpi, dan anggaran tanpa rencana menciderai transparansi dan akuntabilitas serta rawan terjadi penyelewengan. Oleh karenanya, perencanaan pembangunan Desa sebagaimana dimandatkan Pasal 79 dan Pasal 80 Undang-undang Desa menjadi faktor utama untuk dilaksanakan dengan baik, benar dan sederhana dalam prosesnya.

Perencanaan pembangunan Desa harus bisa mengatur program-program prioritas peningkatan kesejahteraan dalam dokumen. Dengan adanya aliran dana sedemikian besar, sudah dipastikan Desa akan menjadi sasaran menarik bagi banyak kelompok kepentingan, baik dari internal Desa itu sendiri maupun dari luar, yangdapat “menunggangi” perencanaan pembangunan Desa sehingga tujuan


(23)

4

utama yang menjadi cita-cita dari UU Desa itu sendiri tidak tercapai. Kelompok-kelompok ini akan saling mengklaim bahwa proposal program pembangunan Desa yang mereka ajukan paling baik dan tepat untuk dilaksanakan.

Meskipun Pasal 80 ayat (4) sudah menetapkan prioritas, program, dan kebutuhan Pembangunan Desa, namun jika ada upaya baru yang belum terlaksana dokumen perencanaan desa maka perlu dilakukan forum review Musyawarah perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) dalam menyusun rencana pembangunan Desa. Upaya review dilakukan dengan memperhatikan faktor kekhawatiran yang mengancam kesejahteraan dan kerap terjadi di desa yaitu tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan. Dengan tujuan menekan faktor integritas dalam perencanaan, maka efek dari perencanaan pembangunan Desa akan memberikan dampak signifikan terhadap peningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa.

Upaya sinkronisasi rencana pembangunan Desa dengan rencana pembangunan di tingkat yang lebih tinggi, yaitu rencana pembangunan tingkat daerah dan nasional. Pasal 79 ayat (1) menegaskan perencanaan pembangunan Desa disusun dengan kewenangannya pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Adanya peran vital kabupaten/kota dalam menampung dan mencairkan dana desa setelah adanya proposal program dari Desa akan menimbulkan tantangan tersendiri. Beragamnya kapasitas kabupaten/kota dalam mendampingi Desa dapat berakibat pada pemanfaatan DAD (Dana Alokasi Daerah) di desa yang tidak sesuai dengan tujuan dan prioritas pembangunan Kabupaten/Kota.


(24)

5

Pada kenyataan yang ada saat ini, kewenangan pembangunan desa masih menjadi persoalan antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Padahal pembangunan desa berada dibawah kewenangan Kemendes sesuai lahirnya Undang-Undang Desa. semangat dari lahirnya Undang-Undang Desa, adalah untuk menciptakan kemandirian desa dalam pembangunan. Oleh karena, Perpres Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas Dan Fungsi Kabinet Kerja, memberikan wewenang sepenuhnya kepada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi untuk mengimplementasikan tentang Undang-Undang Desa.

Hal itu sudah jelas diatur dalam Keppres bahwa itu wewenang pemerintah desa. Dalam pembangunan desa, pemerintah harus merubah paradigma dari yang dulu menjadikan desa sebagai objek pembangunan menjadi subjek pembangunan. Dengan adanya kementerian desa ini akan mengubah paradigma pembangunan desa. Desa bukan hanya sebagai objek, tapi juga menjadi subjek pembangunan. Adanya perlakuan antara Kemendagri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, pemerintah harus bersikap tegas dalam persoalan tersebut.

Desa Pasar Baru adalah sebuah desa yang berlokasi di Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran yang memiliki peranan yang besar dalam proses pembangunan di tingkat desa. Sehingga Pemerintah Desa memegang suatu peran yang penting dalam pelaksanaan pembangunan di desa Pasar Baru. Desa Pasar Baru yang merupakan satu diantara desa yang ada di Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran yang memiliki jumlah penduduk 3.435 jiwa dengan luas


(25)

6

wilayah 82,65 km tahun 2014. Desa Pasar Baru dalam hal perencanaa pembangunan sudah terlihat cukup maju dibandingkan desa-desa lainnya yang ada di Kecamatan Kedondong, yang satu diantaranya pembangunan di bidang infrastruktur yang berupa fasilitas pelayanan publik baik sarana pendidikan, sarana kesehatan, rumah ibadah, listrik, jalan, jembatan, transportasi dan air bersih. ini dikarenakan letak Desa Pasar Baru seberang yang berdekatan dengan pusat Kabupaten Pesawaran dan sekaligus menjadi ibukota dan pusat kecamatan. Sehingga proses penyelenggaraan pembangunan cepat terlaksanakan.

Sampai saat ini, pembangunan di desa Pasar Baru masih dihadapkan banyak kendala dan bahkan menjadi beban. Permasalahan yang ada saat ini Desa Pasar Baru masih belum terlatih menyusun dokumen perencanaan pembangunan Desa. Kenyataan menunjukkan bahwa desa Pasar Baru masih menghadapi keterbatasan sumber daya manusia yang berkualitas, yang kompeten, yang baik, yang profesional. Demikian pula sumber daya pembiayaan yang masih kurang memadai baik yang berasal dari kemampuan desa Pasar Baru sendiri (PADesa), yang utama maupun dari luar. Selain itu, sebagian lembaga sosial ekonomi di desa Pasar Baru belum berjalan dengan baik.

Kondisi pemerintahan desa Pasar Baru saat ini masih kurang baik, hal ini disebabkan sistem pembangunan pemerintah sebelumnya yang bersifat top-down, hampir semua pembangunan direncanakan oleh pusat dan desa tinggal menerima perintah apa yang harus dilakukan. Sehingga kemadirian aparatur desa sangat lemah, mereka belum terbiasa menyusun perencanaan pembangunan, penggalian potensi desa dan malakukan pengelolaan yang baik sesuai kebutuhan


(26)

7

masyarakatnya. Sebagian besar perangkat desa Pasar Baru saat ini berpendidikan tingkat SMA/SMK bahkan masih banyak yang hanya tingkat SMP/SD, dan hanya sebagian kecil yang berasal dari perguruan tinggi. Dari segi ketrampilan, masih banyak perangkat desa Pasar Baru yang belum menguasai computer dan teknologi informasi.

Dilihat dari sisi susunan organisasi pemerintah desa Pasar Baru, berdasarkan data yang Penulis dapatkan, desa memiliki seorang Sekretaris Desa (PNS), seorang Kepala Urusan Umum, Seorang Kepala Urusan Keuangan, Seorang Kepala Seksi Pemerintahan dan Pembangunan, Seorang Kepala Seksi Kesejahteraan dan Pemberdayaan Masyarakat, Beberapa Kepala Dusun, dan beberapa Pembantu Kepala Seksi Kesejahteraan dan Pemberdayaan Masyarakat. Desa Pasar Baru memiliki Kepala Seksi Pemerintahan dan Kepala Seksi Pembangunan secara terpisah dan hanya sebagian kecil yang memiliki staf. Struktur ini belum cukup untuk menjalankan tugas yang cukup besar sesuai Undang-undang Desa.

Pemerintah pusat maupun pemerintah kabupaten Pesawaran secara konsepsional pada dasarnya telah memiliki komitmen yang kuat untuk mengotonomikan desa. Namun secara operasional nampaknya pemerintah kabupaten Pesawaran masih belum sepenuhmya merespons implementasi otoritas/kewenangan pengelolaan keuangan desa. Ada kesan kalau mengotonomisasikan desa maka kabupaten hanya akan kehilangan kewenangan dan pendapatan. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul :

“Kewenangan Otonomi Desa Dalam Perencanaan Pembangunan Desa (Studi Pada Desa Pasar Baru Kecamatan Kedondong Kabupaten Pesawaran)”


(27)

8

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Kewenangan Otonomi Desa Dalam Perencanaan Pembangunan Desa?

2. Apa sajakah faktor penghambat penerapan Kewenangan Otonomi Desa Dalam Perencanaan Pembangunan Desa?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kewenangan otonomi desa dalam perencanaan bidang pembangunan desa.

2. Untuk mengetahui faktor penghambat penerapan kewenangan otonomi desa di bidang pembangunan Desa.

1.4 Manfaat Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu: 1. Kegunaan Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan di bidang hukum administrasi negara, khususnya mengenai pelaksanaan kewenangan otonomi pemerintahan desa dalam bidang pembangunan.

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan perbendaharaan literatur dan menambah khasanah dunia kepustakaan,


(28)

9

sehingga dapat menjadi bahan acuan untuk mengadakan kajian dan penelitian selanjutnya dengan pokok bahasan yang berkaitan satu sama lainnya.

2. Kegunaan Praktis

a. Sebagai masukan kepada instansi-instansi terkait dalam pelaksanaan kewenangan otonomi pemerintahan desa dalam bidang pembangunan. b. Sebagai tambahan informasi bagi instansi dan pihak-pihak terkait

pelaksanaan kewenangan otonomi desa dalam bidang pembangunan. c. Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat luas tentang

pengaturan pelaksanaan kewenangan pemerintahan desa dalam bidang pembangunan.


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Otonomi Desa

2.1.1 Desa

Secara historis, desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara ini terbentuk. Struktur sosial sejenis desa, masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang penting. Dengan tingkat keragaman yang tinggi, membuat desa merupakan wujud bangsa yang paling konkret.2 Pengaturan mengenai desa di Indonesia telah ada sejak zaman kolonial. Inlandshe Gemeente

Ordonantie (IGO) diberlakukan untuk Jawa dan Madura serta Inlandshe

Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten (IGOB) untuk daerah-daerah di luar

Jawa dan Madura.

Pemerintah desa di Pulau Jawa pada waktu itu terdiri dari lurah, bahoe, lebe, kabayan dan kamitua. Mereka adalah golongan pendiri desa yang dikepalai oleh lurah. Lapisan ini mendapat keistimewaan dalam penguasaan tanah. Tanah-tanah ini biasanya disebut bebau atau desa (tanah jabatan) yang didapat selama mereka menduduki jabatan-jabatan tersebut. Mereka juga mendapat hak-hak istimewa dari pemerintah kolonial karena tanah perkebunan yang dipakai pemerintah kolonial berasal dari lapisan pemerintah desa ini, selain itu pemerintah desa juga 2

HAW. Widjaja,Otonomi Desa: Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm 4


(30)

11

menjadi andalan bagi perekrutan tenaga kerja perkebunan. Hak istimewa yang diperoleh pemerintah desa misalnya seperti tanah yang dikuasainya terbebas dari cultuurdienst (bekerja untuk menanam tanaman ekspor). Untuk menghasilkan uang, para pamong desa tersebut mempekerjakan penduduk desanya untuk mengolah tanah desa miliknya atau dapat juga menyewakan tanah desa kepada orang lain.

Pola penguasaan tanah pada masa penjajahan kolonial ini sesungguhnya berbeda dengan pranata tradisional sebelum Belanda menjejakkan kaki di Indonesia. Kala itu, raja adalah penguasa mutlak atas tanah. Tanah desa pada masa itu merupakan tanah gaji yang diberikan raja untuk dikelola oleh pejabat. Dari hasil bumi tanah tersebut, sebagian hasilnya diberikan kepada kas kerajaan. Pejabat kemudian menyuruh orang untuk mengelola tanah desa. Pengelola tanah desa ini disebut bêkêl. Dalam perkembangannya, menjadi kepala desa yang bertindak sebagai penghubung antara masyarakat petani dan penguasa. Bêkêl berhak mendapat 1/5 (seperlima) bagian dari hasil sawah tanah desa, sementara itu 2/5 untuk raja dan 2/5 untuk pejabat.

Seperlima bagian yang diterima bêkêl inilah yang diduga kuat berubah menjadi tanah desa milik desa. Pengaturan IGO dan IGOB ini milik pemerintah kolonial ini bertahan cukup lama dan baru diganti dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Kesamaan antara IGO dan IGOB dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 yakni sama-sama memandang desa sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum (volkgemeenschappen) memiliki hak ada istiadat dan asal usul sehingga nama dan bentuk desa tidak diseragamkan.


(31)

12

Pada masa pemerintahan Orde Baru, peraturan perundang-undangan mengenai desa diubah dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 mengadakan penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional. Selain itu, administrasi desa dipisahkan dari hak adat istiadat dan hak asal usul. Desa diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam sedangkan hak otonomi untuk mengatur diri sendiri ditiadakan.

Setelah terjadi reformasi, pengaturan mengenai desa diubah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang secara nyata mengakui otonomi desa dimana otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Selain itu, terjadi perubahan dalam aspek pemerintahan desa. Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa sebagai unsur eksekutif dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai unsur Legislatif. Pengaturan inilah yang tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam pelaksanaan tugasnya, Kepala Desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD.

Pengaturan mengenai desa kembali mengalami perubahan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai desa di dalam Undang-Undang 23 Tahun 2014 kemudian ditindaklanjuti oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Undang-Undang Desa). Dalam hal kewenangan secara prinsipil tidak ada perubahan yang mendasar dalam pengaturan mengenai kewenangan desa. Sama


(32)

13

halnya dengan peraturan sebelumnya, Undang-Undang Desa mendefinisikan desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perubahan mendasar tampak dalam aspek sistem pemerintahan baik pemerintahan desa maupun terkait hubungannya dengan hierarkhis pemerintahan diatasnya. Menurut Undang-Undang Desa, Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat. Untuk meningkatkan pelayanan di dalam Undang-Undang Desa ditegaskan bahwa sekretaris desa akan diisi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Berdasarkan Undang-Undang Desa, desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pembentukan desa harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya jumlah penduduk, luas wilayah, bagian wilayah kerja, perangkat, serta sarana dan prasarana pemerintahan. Pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada. Desa


(33)

14

yang kondisi masyarakat dan wilayahnya tidak lagi memenuhi persyaratan dapat dihapus atau digabung. Sementara itu, disisi lain desa juga dapat diubah statusnya menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat setempat.

2.1.2 Konsep Otonomi Desa

Widjaja menyatakan bahwa otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian daripemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asliyang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukanperbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan.3

Dengan dimulai dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan landasan kuat bagi desa dalam mewujudkan

Development Community”dimana desa tidak lagi sebagai level administrasi atau bawahan daerah tetapi sebaliknya sebagai “Independent Community” yaitu desa dan masyarakatnya berhak berbicara atas kepentingan masyarakat sendiri. Desa diberi kewenangan untuk mengatur desanya secara mandiri termasuk bidang sosial, politik dan ekonomi. Dengan adanya kemandirian ini diharapkan akan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan sosial dan politik.

3


(34)

15

Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota. Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.

Landasan pemikiran yang perlu dikembangkan saat ini adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat. Pengakuan otonomi di desa, Taliziduhu Ndraha menjelaskan sebagai berikut :

a. Otonomi desa diklasifikasikan, diakui, dipenuhi, dipercaya dan dilindungi oleh pemerintah, sehingga ketergantungan masyarakat desa kepada

“kemurahan hati” pemerintah dapat semakin berkurang.

b. Posisi dan peran pemerintahan desa dipulihkan, dikembalikan seperti sediakala atau dikembangkan sehingga mampu mengantisipasi masa depan.

Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut. Urusan pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang menjadi wewenang pemerintahan Kabupaten atau Kota diserahkan pengaturannya kepada desa.


(35)

16

Namun harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada kewenangan tanpa tanggungjawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Olehkarena itu, dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalampenyelenggaraan otonomi desa harus tetap menjunjung nilai-nilaitanggungjawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia denganmenekankan bahwa desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsadan negara Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi desa menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas, persatuan dankesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dantanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.4

2.2 Kewenangan Otonomi Desa

2.2.1 Administrasi Desa

Istilah Administrasi berhubungan dengan kegiatan kerja sama yang dilakukan manusia atau kelompok sehingga tercapai tujuan yang diinginkan. Untuk lebih memahami mengenai Administrasi Pemerintahan Desa, maka penulis akan menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Administrasi, Administrasi Pemerintahan, Administrasi Pemerintahan Desa. Administrasi merupakan penyusunan dan pencatatan data serta informasi secara sistematis dengan maksud untuk menyediakan keterangan serta memudahkan memperoleh kembali secara keseluruhan dan dalam hubungannya satu sama lain. Administrasi merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan sebelumnya, apabila

4


(36)

17

administrasi ditelaah lebih dalam, terlihat bermacam-macam cara atau pekerjaan yang dilakukan manusia untuk mencapai tujuan.

Administrasi Pemerintahan berasal dari istilah asing Administration(inggris) atau

Bestuurs Administrasi(Belanda) dapat diartikan sebagai berikut:

a. fungsi-fungsi pengendalian administrasi oleh badan-badan atau instansi Pemerintah dari segala tingkatan guna melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan Pemerintah sesuai dengan wewenang masing-masing seperti ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

b. Penggunaan prinsip-prinsip serta ilmu administrasi Negara oleh badan-badan atau instasi Pemerintah agar terdapat tertib administrasi ialah kegiatan yang berhubungan dengan penyusunan organisasi, pembagian wewenang, hubungan kerja, koordinasi, sinkronisasi, delegasi wewenang, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan sebagainya.

Administrasi Pemerintahan Desa adalah semua kegiatan atau proses yang berhubungan dengan pelaksanaan dari tujuan Pemerintah Desa, di dalam pelaksanaan administrasi Pemerintahan Desa peraturan-peraturan di dalam IGO/IGOB tersebut merupakan landasan mengenai struktur, pembagian tugas dan wewenang serta tanggung jawab Pemerintah Desa, Kepala Desa dan Pamong Desa sejak tahun 1905. Seperti yang kita ketahui Administrasi merupakan kegiatan kerja sama yang dilakukan oleh sekelompok orang/organisasi dalam upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sama halnya dengan Administrasi Pemerintah Desa yang merupakan suatu organisasi yang dipimpin


(37)

18

oleh Kepala Desa yang dipilih langsung oleh rakyat dan dibantu oleh perangkat-perangkat Desa lainnya.

Menurut Supriadi dalam bukunya “Desa Kita” mengartikan tentang Administrasi

Pemerintahan Desa adalah :

“Semua kegiatan yang bersumber pada wewenang Pemerintah Desa yang terdiri

atas tugas-tugas, kewajiban, tanggung jawab dan hubungan kerja, yang dilaksanakan dengan berlandaskan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku, guna menjalankan Pemerintahan Desa”.5

Kegiatan Tata Usaha Keuangan Pemerintahan Desa diantaranya yaitu :

a. Kepala desa berkewajiban mengelola mengenai pendapatan dan pengeluaran keuangan desa.

b. Mengerjakan pembukuan mengenai pendapatan dan pengeluaran keuangan milik Pemerintah Desa.

c. Penyusunan anggaran pendapatan dan belanja Desa. d. Membuat pertanggungjawaban keuangan desa. e. Dan lain sebagainya.

Dari penjelasan di atas, maka penulis menarik kesimpulan Administrasi Pemerintahan Desa adalah proses kegiatan yang dilakukan Pemerintah Desa yang dipimpin oleh Kepala Desa dan dibantu oleh Perangkat-perangkat Desa lainnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.

5

Sumitro Maskun,Pembangunan Masyarakat Desa, Media Madya Mandala, Yogyakarta, 1993, hlm. 48


(38)

19

2.2.2 Pembangunan Desa

Pembangunan adalah perubahan yang dilakukan secara terencana dan menyeluruh yang dilakukan oleh negara-bangsa dalam rangka memperoleh kemajuan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Rencana pembangunan desa pada dasarnya merupakan pedoman bagi pemerintah desa dalam menyelenggarakan pemerintahan desa, dan menjadi satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten atau kota. Mengingat akan pentingnya kedudukan rencana pembangunan desa tersebut, maka proses penyusunan perencanaan pembangunan desa tersebut harus dilaksanakan secara demokratis dan partisipatif dengan melibatkan seluruhstakeholdersdesa.

Menurut Kuncoro, pembangunan adalah suatu proses yangkompleks dan penuh ketidakpastian yang tidak dapat dengan mudah dikendalikan dandirencanakan dari pusat.6 Karena itu dengan penuh keyakinan para pelopor desentralisasi mengajukan sederet panjang alasan dan argumen tentang pentingnya desentralisasi dalam pembangunan.

Menurut Siagian, pembangunan adalah suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan secara berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju moderenitas dalam rangka pembinaan bangsa. Lebih jauh lagi dia menyatakan bahwa pembangunan mengandung aspek yang sangat luas salah satunya mencakup pembangunan di bidang politik.7

6

Mudrajat Kuncoro,Otonomi dan Pembangunan Daerah, Erlangga, Jakarta, 2004, hlm. 3

7

Sondang P. Siagian, Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Pertama, Cetakan Sepuluh,


(39)

20

Sumitro Maskun mengartikan pembangunan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk mempengaruhi masa depannya. Sebaliknya dia mengatakan implikasi dari defenisi tersebut yaitu:8

1. Pembangunan berarti membangkitkan kemauan optimal manusia baik dan kesejahteraan (Equity)

2. Menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Kepercayaan ini dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang sama kebebasan memilih dan kekuasaan untuk memutuskan (Empowermwnt)

3. Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk membangun secara mandiri (Sustainability)

4. Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan negara yangsatu dengan yang lainnyadan menciptakan hubungan yangsalingmenggantungkandan saling menghormati (Interdependece)

Sedangkan menurut Nugroho inti dari pembangunan pada dasarnya adalah pergerakan ekonomi rakyat. Ada pepatah mengatakan bahwa negara dalam kondisi paling berbahaya jika rakyatnya miskin. Kemiskinan mempunyai pengaruh paling buruk kepada setiap sisi kehidupan manusia. Oleh karena itu, tugas pembangunan adalah menanggunglangi kemiskinan.9 Dengan pemahaman ini dapat dikatakan bahwa inti pembangunan adalah menggerakan ekonomi agar rakyat mempunyai kemampuan untuk tidak berada dalam kemiskinan. Dalam bahasa politis disebut sebagai ”menggerakan ekonomi rakyat”.

8

Sumitro Maskun,Pembangunan Masyarakat Desa,Media Widya Mandala, Yogyakarta, 2000, hlm. 15

9

Randy R. Wrihatnolo, dan Riant Nugroho, Manajemen Pembangunan Indonesia: Sebuah


(40)

21

Pembangunan dapat secara efektif dicapai dengan melihat kekuatan pokok yang harus dibangun dan mengidentifikasi tugas pokok dan fungsi dari lembaga-lembaga strategis pembangunan. Kekuatan pokok yang dibangun oleh indonesia adalah keunggulan bersaing. Dengan demikian, setiap bidang harus mendukung kearah terbentuknya daya saing ekonomi. Secara khusus prioritas bagi sektor ekonomi adalah membangun daya saing pelaku ekonomi baik secara sektoral maupun secara regional.

Daya dukung ideologi, politik dan hukum adalah implementasi kebijakan otonomi daerah yang taat asas dan penegakkan hukum yang konsisten. Daya dukung di bidang sosial budaya adalah membangun paradigma pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Tentu saja kesemuanya tidak akan terjadi jika tidak didukung keamanan dan ketertiban yang mantap. Dengan melihat kondisi tersebut, maka strategi untuk pelaku ekonomi/usaha adalah mewajibkan implementasigood cooperate governance, dan untuk sektor bukan ekonomi bisnis dengan mewajibkan implementasigood governance.

Visi dari pembangunan adalah terwujudnya masyarakat yang maju, mandiri, sejatera, adil, dan setia kepada pancasila dan UUD 1945. Visi ini mempunyai jangka waktu tak terbatas, karena sifat dari ”kemajuan” bersifat tergantung dengan

waktu. Oleh karena itu, dapat pula disusun visi lima tahunan, dan disesuaikan dengan tantangan dan kebutuhan yang harus dijangkau dalam lima tahun kedepan.

Misi pembangunan tidak berbeda dengan misi dari Negara Indonesia, seperti yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa


(41)

22

indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan atas kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dikaitkan dengan konteks kekinian, maka misi pembangunan disempurnakan lagi dengan mencermati kondisi objektif dalam masyarakat yaitu adanya kesenjangan sebagai tantangan pembangunan.

Fokus dari misi pembangunan ini adalah menanggulangi kesenjangan sosial, mempersiapkan kompetisi global, dan menjaga kesinambungan hidup bangsa dengan pola pembangunan untuk rakyat, dilaksanakan oleh rakyat sesuai aspirasi yang tumbuh dari rakyat.Keberhasilan Pembangunan desa juga merupakan wujud adanya efektifitas dan kemampuan serta etos kerja kepala desa dan aparatur pemerintah desa.

Banyak realitas di desa seorang kepala desa tidak memiliki orientasi yang maju dalam menjalankan pemrintahan desa.Hal ini banyak disebabkan banyak pemerintah desa tidak memiliki visi dan misi serta rencana yang kurang strategisuntuk menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan pada masyarakat desa dari sosial ekonomi, politik dan fisik.

Pembangunan desa adalah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahtraan masyarakat yang nyata baik dalam aspek pendapatan, kesempatan kerja, lapangan usaha, akses terhadap pengambilan keputusan, pembangunan fisik desa, maupun indeks pembangunan manusia.


(42)

23

Pembangunan di desa menjadi tanggungjawab Kepala Desa sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Desa ditegaskan bahwa Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Kegiatan pembangunan direncanakan dalam forum MUSRENBANGDES, dan hasil dari musyawarah tersebut ditetapkan dalam RKPDES (Renca Kerja Pemerintah Desa) selanjutnya ditetapkan dalam APBDES. Dalam pelaksanaan pembangunan kepala desa dibantu oleh perangkat desa dan dapat dibantu oleh lembaga kemasyarakatan desa.

Konsep pembangunan desa menjelaskan pembangunan masyarakat adalah suatu gerakan untuk memajukan suatu kehiduapan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat, dengan partisipasi aktif, bahkan jika mungkin dengan swakarsa (inisiatif) masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu bagaimana menggugah dan menumbuh kembangkan partisipasi sangatlah diperlukan untuk proses pembangunan masyarakat itu sendiri (DEPDAGRI).

2.2.3 Kemasyarakatan Desa

Kebudayaan yang terdapat pada masyarakat desa masih tergolong masuk dalam kategori yang belum maju dan masih sederhana. Kebanyakan orang menganggap bahwa masyarakat desa khususnya masyarakat petani masih dianggap secara umum yang mana mereka dianggap seragam atau sama antara masyarakat petani yang satu dengan yang lain. Kenyataannya malah berbanding terbalik dimana masing-masing petani memiliki ciri yang berbeda misalnya saja pada tingkat perkembangan masyarakatnya, jenis tanaman yang ditanam, teknologi atau alat-alat pertanian yang mereka pergunakan, sistem pertanian yang mereka pakai, dan


(43)

24

juga bentuk kondisi fisik geografiknya. Masyarakat petani bisa dibagi menjadi dua yaitu antara masyarakat petani tradisonal dan petani modern, yang membedakan antara keduanya adalah bagi kelompok petani yang pertama mereka masih tergantung dan ditentukan oleh alam karena masih rendahnya teknologi dan pengetahuan mereka, produksi yang mereka hasilkan hanya untuk usaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan menghidupi keluarganya, dan tidak mengejar keuntungan sedangkan kelompok petani yang ke dua mereka lebih mengutamakan mendapatkan keuntungan, mereka juga menggunakan teknologi dan sistem pengelolaan yang modern dan menanam tanaman yang laku di pasaran.10

Kebudayaan tradisional masyarakat desa merupakan suatu hasil produk dari besar kecilnya pengaruh alam terhadap masyarakat yang bergantung pada alam itu sendiri. Menurut P. H Landis besar kecilnya pengaruh alam terhadap pola kebudayaan masyarakat desa ditentukan sebagai berikut :11

a. Sejauh mana ketergantungan mereka terhadap pertanian. b. Sejauh mana tingkat teknologi yang mereka miliki. c. Sejauh mana sistem produksi yang diterapkan.

Ke tiga faktor diatas menjadikan faktor determinan bagi terciptanya kebudayaan tradisional masyarakat desa yang artinya kebudayaan tradisional akan tercipta apabila masyarakatnya sangat tergantung pada pertanian, tingkat teknologi yang rendah dan produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

10

Rahardjo Adisasmita,Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm. 63

11


(44)

25

Pola pemukiman penduduk suatu desa merupakan suatu aspek yang dapat menggambarkan dengan jelas bagaimana keterkaitan antara struktur phisik desa dengan pola kehidupan internal masyarakatnya. Menurut P.H Landis membagi menjadi empat pola pemukiman penduduk yaitu :12

a. The Farm Village Type(FVT)

Pola pemukiman ini biasanya para keluarga petani atau penduduk tinggal bersama-sama dan berdekatan di suatu tempat dengan lahan pertanian berada di luar lokasi pemukiman.

b. The Nebulous Farm Type(NFT)

Pola ini hampir sama dengan pola FVT bedanya disamping ada yang tinggal bersama disuatu tempat terdapat penduduk yang tinggal tersebar di luar pemukiman itu, lahan pertanian juga berada di luar pemukiman itu.

c. The Arranged Isolated Farm Type(AIFT)

Pola pemukiman ini dimana penduduknya tinggal disekitar jalan dan masing-masing berada di lahan pertanian mereka dengan suatu trade center di antara mereka.

d. The Pure Isolated Farm Type(PIFT)

Pola pemukiman ini penduduknya tinggal dalam lahan pertanian mereka terpisah dan berjauhan satu sama lain dengan suatutrade center.

2.2.4 Perencanaan Pembangunan Desa

Pembangunan berkembang sesuai dengan perkembangan pemahaman orang tentang tujuan pembangunan. Menurut Said Zainal (2004) Secara umum

“pembangunan dimaksudkan untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik di masa

12


(45)

26

depan dari pada kondisi yang ada pada waktu sekarang”. Ini mengandung

pengertian bahwa masyarakat selalu berada dalam kondisi yang dinamis. Dalam masyarakat yang dinamis, kondisi masa depan itu berada dalam proses perubahan dan perkembangan sepanjang waktu.

Pembangunan desa adalah proses kegiatan pembangunan yang berlangsung di desa yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa sebagaimana dimaksud pada Pasal 63 ayat (2) “bahwa perencanaan

pembangunan desa disusun secara partisipatif oleh pemerintahan desa sesuai dengan kewenangan desa, dan menurut ayat (3) bahwa dalam menyusun perencanaan pembangunan desa wajib melibatkan lembaga kemasyarakatan

desa”.

Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pada Pasal 79 undang-undang ini menyatakan bahwa perencanaan pembangunan desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Perencanaan Pembangunan Desa disusun secara berjangka meliputi:

a. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan

b. Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa, merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.


(46)

27

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa ditetapkan dengan Peraturan Desa. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan pedoman dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Program Pemerintah Daerah yang berskala lokal Desa dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada Desa. Perencanaan Pembangunan Desa merupakan salah satu sumber masukan dalam perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota.

Perencanaan pembangunan desa diselenggarakan dengan mengikut sertakan masyarakat Desa. Dalam menyusun perencanaan pembangunan desa, Pemerintah Desa wajib menyelenggarakan musyawarah perencanaan pembangunan desa. musyawarah perencanaan pembangunan desa menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan pembangunan desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. Prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa dirumuskan berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan masyarakat Desa yang meliputi:

a. Peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan dasar;

b. Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan sumber daya lokal yang tersedia;

c. Pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif;

d. Pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi; dan


(47)

28

e. Peningkatan kualitas ketertiban dan ketenteraman masyarakat Desa berdasarkan kebutuhan masyarakat Desa.

Dalam Perencanaan Pembangunan Partisipatif Desa ada beberapa Prinsip Pembangunan yang harus dilaksanakan. Prinsip–prinsip Pembangunan Partisipatif tersebut yaitu Pemberdayaan, Transparansi, Akuntabilitas, Berkelanjutan, dan Partisipasi.Selain prinsip Pembangunan Partisipatif Desa ada juga harus memiliki tujuan dalam Perencanaan Pembangunan.

2.3 Teori Kewenangan

Setiap peradilan mempunyai dua kewenangan yaitu kewenangan relatif dan kewenangan absoulut.13 Kewenangan relatif didasarkan pada seberapa luas wilayah jurisdiksi peradilan tersebut, biasanya diasarkan pada sebuah keputusan pemerintah. Sebab bisa saja wilayah jurisdiksi sebuah peradilan bisa mewilayahi satu atau dua buah kabupaten. Sedangkan kewenangan absolut adalah kewenangan yang diberikan UU terkait dengan bidang-bidang perkara yang disengketakan.

Telah dipahami bahwa pilar utama negara hukum adalah asas legalitas, dalam asas tersebut tersirat wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintahan adalah peraturan perundang-undangan.14 Secara teoritis, terdapat tiga cara memperoleh kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yaitu:

13

Ridwan HR,Hukum Administrasi Negara,RajaGrafindo, Jakarta, 2006, hlm. 103

14

Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah(kajian politik dan hukum), Ghlmia Indonesia, Bogor, 2007, hlm. 101


(48)

29

2.3.1 Pelimpahan Kewenangan dengan Atribusi

Dalam Kamus Istiah Hukum Belanda-Indonesia dikatakan atribusi (attributie) bermakna pembagian (kekuasaan), seperti kata attributie van rechtsmacht mengandung arti pembagian kekuasaan kepada berbagai instansi (absolute

competentie atau kewenangan mutlak lawan dari distributie van rechtmacht).

Subtansi atribusi adalah menciptakan suatu wewenang dimaksudkan untuk melengkapi organ pemerintahan dengan pengusa pemerintah dan wewenang-wewenangnya.15 Pemberian kewenangan dalam bentuk atribusi dari pembuat undang-undang kepada suatu organ pemerintah, baik organ pemerintah sudah dibentuk maupun yang dibentuk pada kesempatan itu.

Menurut H.D. Van Wijk atribusi hanya dapat dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Sedangkan pembentuk undang-undang diwakilkan organ-organ pemerintah yang berhubungan dengan kekuasaan dilaksanakan secara bersama. Pendelegasian kekuasaan didasarkan pada amanat suatu konstitusi yang dituangkan dalam suatu peraturan pemerintah, yang tidak didahului oleh suatu pasal dalam undang-undang untuk diatur lebih lanjut. Dalam hal ini berbeda dengan delegasi, kewenangan terjadi karena pendelegasian diamanatkan oleh undang-undang atau peraturan pemerintah dan didahului oleh suatu pasal dalam undang-undang untuk dilanjutkannya. Kewengan atribusi hanya dapat dilakukan oleh pembentuk undang-undang (legislator) yang orsinil. Hal yang sama, seperti tertuang dalam Algement Bepalinge van Administratief Recht, kewenangan

15

N.E. Algra, H.R.W. Gokkel, Saleh Adiwinata, Boerhanoeddin,Kamus Istilah Hukum Fockema


(49)

30

atribusi yaitu undang-undang (dalam arti material) menyerahkan wewenang-wenang tertentu kepada organ tertentu.16

2.3.2 Pelimpahan Kewenangan dengan Delegasi

Kewenangan dengan delegasi adalah penyerahan dari pejabat yang tinggi kepada yang lebih rendah berdasarkan ketentuan hukum. Pelimpahan kewenangan dengan delegasi harus didasarkan pada ketentuan hukum, karena dalam keadaan tertentu pemberi kewenangan dapat menarik kembali wewenang yang didelegasikan. Karena pelimpahan kewenagan dengan cara delegasi bukan pembebasan sepenuhnya, tetapi untuk peringanan dari suatu beban kerja.17

Beebeda dengan kewenangan atribusi, kewenangan dengan delegasi dituntut adanya dasar hukum sehingga pelimpahan kewenangan itu dapat ditarik kembali oleh pendelegans. Pelimpahan wewenang oleh organ pemerintah kepada organ lain untuk mengambil keputusan dengan tanggung jawab sendiri. Dikonstantir oleh Ridwan HR bahwa dalam penyerahan wewenang melalui delegasi ini, pemberi wewenang telah lepas dari tanggung jawab hukum atau dari tuntutan pihak ketiga jika dalam penggunaan wewenang itu menimbulkan kerugian pada pihak lain.18

Pelipahan wewenang pemerintahan dalam bentuk delegasi terdapat syarat-syarat sebagaimana yang dikutip oleh Ridwan HR dalam Philip M. Hajon sebagai berikut:19

16

Ridwan HR,Op.Cit., hlm. 106

17

Agussalim Andi Gadjong,Op, Cit.,hlm. 87

18

Ridwan HR.Op.Cit.,hlm. 106

19


(50)

31

a. Delegasi harus bersifat definitif, delegans tidak dapat lagi menggunakan wewenang yang telah dilimpahkan.

b. Delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan.

c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.

d. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.

e. Peraturan kebijakan (beleidstegel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

Syarat-syarat yang dikemukakan oleh Philip M. Hajon menunjukkan bahwa pelimpahan kewenangan dengan cara delegasi hanya terbatas pada peringanan atas suatu beban kerja. Ini berarti penerima pendelegasian bertanggung jawab atas secara yuridis bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan.

Heinrich membedakan delegation atas primare delegation dan sekundare

deligation. Pada primare delegation berhubungan dengan keluasan keweangan

yang dapat berkurang atau bertambah, sedangkan pada sekundare delegation berhubungan dengan bentuk kewenangan yang bisa zelfstanding atau alfhahelijk. Pelimpahan kewenangan dengan delegasi dapat dalam bentuk pendelagasian yang meliputi keseluruhan kompetensi tertentu dari pihak yang mendelegasikan.(totale

delegation), dapat juga dalam bentuk pendelegasian sebagian kompetensi

(partielle delegation).20

20


(51)

32

Hans Petres memberikan batas-batas yang berdasarkan atas hukum positif bagi pendelegaisan, yaitu21(1) jika suatu kewenangan berdasarkan atas sesuatu sumber hukum yang lebih tinggi daripada yang dikuasai oleh yang mendelegasikan, (2) terletak dalam asas bahwa tak ada suatu organ boleh mendelegsikan kseluruhan kompetensinya, juga tidak mengenai bagian-bagian yang pokok dari padanya kepada lain alat perlengkapan.

2.3.3 Pelimpahan Kewenangan dengan Mandat

Pelimpahan kewenagan dengan mandat berbeda dengan kewenagan atribusi maupun kewenangan delegasi. Mandat adalah suatu bentuk pemberi kewenangan oleh mandans dalam pergaulan hukum besifat perintah. Menurut HD van Wijk/Willem Konijnembelt mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namnya. Sejalan dengan pendapat van Wijk/Willem Konijnembelt tersebut menurut Henrich dalam Agussalim Andi Gadjong, mandapat merupakan suruhan (opdrach) pada suatu organ untuk melaksanakan kompetensinya sendiri, maupun tindakan hukum oleh mandans memberikan kuas penuh (volmacht) kepada sesuatu subyek lain untuk melaksanakan kompetensi atas nama mandans. Jadi penerima mandat bertindak atas nama orang lain. Sementara Lubberdink dalam Agussalim Andi Gadjong, pertanggungjawaban untuk pelaksanaan wewenang tetap pada mandans, sebab pemberi kuasa yang memberikan petunjuk, baik yang umum maupun petunjuk khusus kepada masayarakat.22

21

Ibid.

22


(52)

33

Menurut Bothlingk dalam hukum tata negara mandat dapat diartikan sebagai perintah yang diberikan oleh seorang pejabat atas nama jabatannya atau golongan jabatannya kepada pihak ketiga untuk melaksanakan (sebagian) tugas pejabat itu atgas jabatan atau golongan jabatan. Dengan tidak memindah-tangankan kewenangan, pemegang jabatan tetap berwenang bertindak atas nama jabatannya, hanya dengan permberian mandat, ada pihak ketiga (mandataris) yang memperoleh kewenangan yang sama.23

Pandangan yang sama dekemukakan oleh F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek dalam Ridwan HR mandat tidak terkait dengan penyerahan atau pelimpahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apa pun, yang hanya adalah dalam hubungan internal. Sedangkan dalam arti yuridis wewenang dan tanggung jawab ada ditangan mandans.24 Kedua pandangan tersebut menunjukkan bahwa pelimpahan wewenang hanya melalui dua cara, yaitu dengan cara atrubusi dan delegasi.

23

Harun Alrasyid, Pengesian Jabatan Presiden (Sejak Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia 1945 sampai Sidang Majelis Permusyawaratan 1993), Disertasi Ilmu Hukum,

Universitas Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 87

24


(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Masalah

Proses pengumpulan dan penyajian sehubungan dengan penelitian ini maka digunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan Yuridis Normatif adalah suatu pendekatanyang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan skripsi ini. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan yang ada mengenai kewenangan otonomi desa dalam pembangunan.

3.2 Sumber data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini hanya menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu:

1. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan secara langsung pada objek penelitian (field Risearch)yang dilakukan dengan cara observasi dan wawancara secara langsung mengenai pelaksanaan kewenangan pemerintahan desa dalam bidang pembangunan.


(54)

35

2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas hukum yang

3. berkaitan dengan pokok cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan di bahas,24

yang terdiri antara lain: a. Bahan Hukum Primer, antara lain:

1) Undang-Undang Dasar 1945.

2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

4) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 5) Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas

Dan Fungsi Kabinet Kerja. b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan \bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku, Literatur, Jurnal, Kamus, Internet, surat kabar dan lain-lain.

24

Sri Mamuji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm 28


(55)

36

3.3 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

3.3.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan, dengan studi pustaka dan studi literatur.

a. Studi Pustaka

Terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan buku-buku dan literatur yang erat hubungannya dengan permasalahan yang sedang dibahas sehingga dapat mengumpulkan data sekunder dengan membaca, mencatat, merangkum, untuk dianalisa lebih lanjut.

b. Studi lapangan

Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan informan yang telah direncanakan sebelumnya. Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara secara langsung dengan alat bantu daftar pertanyaan yang bersifat terbuka, terhadap informan/narasumber yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan pemerintahan desa dalam bidang pembangunan.

3.3.2 Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a) Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.


(56)

37

b) Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

c) Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.

3.4 Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskriftif yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Dari hasil analisis tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara deduktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada realitas yang bersifat umum yang kemudian disimpulkan secara khusus.


(57)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab terdahulu selanjutnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kewenangan otonomi desa dalam perencanaan bidang pembangunan desa telah dilakukan melalui proses perencanaan program pembangunan yang bersifat partisipatif, transparan, akuntabel dan mendetail karena melalui serangkaian tahapan yang meliputi: persiapan sosial dan desain kajian, identifikasi kondisi umum desa, analisis asset, refleksi, kajian mendalam dan pleno, musyawarah rencana pembangunan desa (Musrenbangdes), dan pasca Musrenbangdes. Perencanaan pembangunan bertujuan untuk menyediakan acuan yang dapat digunakan berbagai pihak yang terlibat dalam proses penyusunan RPJM Desa-RKP Desa. Perencanaan pembangunan desa disusun secara partisipatif oleh pemerintahan desa sesuai dengan kewenanangannya. Pemerintah Desa Pasar Baru belum dapat menyelenggarakan proses perencanaan pembangunan sesuai dengan Peraturan perundang-undangan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan Kepala desa, perangkat desa, dan masyarakat dalam memahami peraturan tersebut, sehingga proses perencanaan pembangunan diselenggarakan berdasarkan mekanisme yang biasa dilakukan sebelumnya.


(58)

80

2. Faktor penghambat penerapan kewenangan otonomi desa di bidang pembangunan Desa antara lain dari faktor kurangnya fasililitas dan sumber daya manusia sangat menghambat kinerja pemerintahan desa. Dari faktor masyarakat yang ada masih kurang mampu melakukan kontrol terhadap pemerintah desa. Sedangkan dari faktor Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diberlakukan pada suatu pemerintah daerah sedang lemah. Pemerintah desa diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal.

5.2 Saran

1. Perlu penyempurnaan tahapan pelaksanaan perencanaan partisipatif agar dapat dilaksanakan secara simpel dan mudah dipahami baik oleh perangkat pemerintah desa dan kecamatan maupun masyarakat dengan tidak mengurangi prinsip-prinsip partisipatif.

2. Pemerintah Desa perlu mengoptimalkan tahap musyawarah pra musdes terutama kegiatan identifikasi masalah dan kebutuhan masyarakat mulai tingkat RT supaya Desa mempunyai data tentang potensi, masalah dan kebutuhan masyarakat serta Pemerintah Desa mengoptimalkan pemanfaatan data tersebut agar perencanaan pembangunan dapat mendekati kebutuhan masyarakat selain itu partisipasi masyarakat pada tahap ini juga perlu di tingkatkan.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adisasmita, Rahardjo, 2010, Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Algra, N.E., H.R.W. Gokkel, Saleh Adiwinata, Boerhanoeddin, 2003, Kamus

Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia,Binacipta, Jakarta.

Alrasyid, Harun, 1993, Pengesian Jabatan Presiden (Sejak Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 1945 sampai Sidang Majelis

Permusyawaratan 1993), Disertasi Ilmu Hukum, Universitas Indonesia,

Jakarta.

Gadjong, Agussalim Andi, 2007, Pemerintahan Daerah (kajian politik dan

hukum), Ghlmia Indonesia, Bogor.

Kuncoro, Mudrajat, 2004,Otonomi dan Pembangunan Daerah, Erlangga, Jakarta. Mamuji, Sri, et al., 2005,Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan

Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Maskun, Sumitro, 1993,Pembangunan Masyarakat Desa. Media Madya Mandala. Yogyakarta.

Nugroho, Riant 2002, Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi Kajian

dan Kritik Atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Alex Media

Komputindo, Jakarta.

Ridwan HR, 2006,Hukum Administrasi Negara,RajaGrafindo, Jakarta.

Siagian. Sondang P., 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Pertama,

Cetakan Sepuluh,Rineka Cipta, Jakarta.

Widjaja. HAW. 2008, Otonomi Desa: Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh, Rajawali Pers, Jakarta.

Wrihatnolo, Randy R., dan Riant Nugroho, 2006, Manajemen Pembangunan

Indonesia: Sebuah Pengantar Dan Panduan, Elex Media Komputindo,


(60)

B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas Dan Fungsi Kabinet Kerja.


(1)

3.3 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

3.3.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan, dengan studi pustaka dan studi literatur.

a. Studi Pustaka

Terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan buku-buku dan literatur yang erat hubungannya dengan permasalahan yang sedang dibahas sehingga dapat mengumpulkan data sekunder dengan membaca, mencatat, merangkum, untuk dianalisa lebih lanjut.

b. Studi lapangan

Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan informan yang telah direncanakan sebelumnya. Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara secara langsung dengan alat bantu daftar pertanyaan yang bersifat terbuka, terhadap informan/narasumber yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan pemerintahan desa dalam bidang pembangunan.

3.3.2 Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a) Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.


(2)

37

b) Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

c) Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.

3.4 Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskriftif yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Dari hasil analisis tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara deduktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada realitas yang bersifat umum yang kemudian disimpulkan secara khusus.


(3)

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab terdahulu selanjutnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kewenangan otonomi desa dalam perencanaan bidang pembangunan desa telah dilakukan melalui proses perencanaan program pembangunan yang bersifat partisipatif, transparan, akuntabel dan mendetail karena melalui serangkaian tahapan yang meliputi: persiapan sosial dan desain kajian, identifikasi kondisi umum desa, analisis asset, refleksi, kajian mendalam dan pleno, musyawarah rencana pembangunan desa (Musrenbangdes), dan pasca Musrenbangdes. Perencanaan pembangunan bertujuan untuk menyediakan acuan yang dapat digunakan berbagai pihak yang terlibat dalam proses penyusunan RPJM Desa-RKP Desa. Perencanaan pembangunan desa disusun secara partisipatif oleh pemerintahan desa sesuai dengan kewenanangannya. Pemerintah Desa Pasar Baru belum dapat menyelenggarakan proses perencanaan pembangunan sesuai dengan Peraturan perundang-undangan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan Kepala desa, perangkat desa, dan masyarakat dalam memahami peraturan tersebut, sehingga proses perencanaan pembangunan diselenggarakan berdasarkan mekanisme yang biasa dilakukan sebelumnya.


(4)

80

2. Faktor penghambat penerapan kewenangan otonomi desa di bidang pembangunan Desa antara lain dari faktor kurangnya fasililitas dan sumber daya manusia sangat menghambat kinerja pemerintahan desa. Dari faktor masyarakat yang ada masih kurang mampu melakukan kontrol terhadap pemerintah desa. Sedangkan dari faktor Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diberlakukan pada suatu pemerintah daerah sedang lemah. Pemerintah desa diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal.

5.2 Saran

1. Perlu penyempurnaan tahapan pelaksanaan perencanaan partisipatif agar dapat dilaksanakan secara simpel dan mudah dipahami baik oleh perangkat pemerintah desa dan kecamatan maupun masyarakat dengan tidak mengurangi prinsip-prinsip partisipatif.

2. Pemerintah Desa perlu mengoptimalkan tahap musyawarah pra musdes terutama kegiatan identifikasi masalah dan kebutuhan masyarakat mulai tingkat RT supaya Desa mempunyai data tentang potensi, masalah dan kebutuhan masyarakat serta Pemerintah Desa mengoptimalkan pemanfaatan data tersebut agar perencanaan pembangunan dapat mendekati kebutuhan masyarakat selain itu partisipasi masyarakat pada tahap ini juga perlu di tingkatkan.


(5)

A. Buku

Adisasmita, Rahardjo, 2010, Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Algra, N.E., H.R.W. Gokkel, Saleh Adiwinata, Boerhanoeddin, 2003, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia,Binacipta, Jakarta. Alrasyid, Harun, 1993, Pengesian Jabatan Presiden (Sejak Sidang Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia 1945 sampai Sidang Majelis Permusyawaratan 1993), Disertasi Ilmu Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Gadjong, Agussalim Andi, 2007, Pemerintahan Daerah (kajian politik dan hukum), Ghlmia Indonesia, Bogor.

Kuncoro, Mudrajat, 2004,Otonomi dan Pembangunan Daerah, Erlangga, Jakarta. Mamuji, Sri, et al., 2005,Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan

Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Maskun, Sumitro, 1993,Pembangunan Masyarakat Desa. Media Madya Mandala. Yogyakarta.

Nugroho, Riant 2002, Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi Kajian dan Kritik Atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Alex Media Komputindo, Jakarta.

Ridwan HR, 2006,Hukum Administrasi Negara,RajaGrafindo, Jakarta.

Siagian. Sondang P., 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Pertama, Cetakan Sepuluh,Rineka Cipta, Jakarta.

Widjaja. HAW. 2008, Otonomi Desa: Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh, Rajawali Pers, Jakarta.

Wrihatnolo, Randy R., dan Riant Nugroho, 2006, Manajemen Pembangunan Indonesia: Sebuah Pengantar Dan Panduan, Elex Media Komputindo, Jakarta.


(6)

B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas Dan Fungsi Kabinet Kerja.