16
Bab IV Hasil dan Pembahasan
4. 1 Profil Entrepreneur batik di kota Semarang
Industri batik di kota Semarang sudah ada sejak jaman dahulu. Industri batik pada awalnya berpusat di Pasar Djohar. Potensi industri ini telah
menumbuhkan minat para entrepreneur di kota Semarang untuk menekuni jenis usaha tersebut. Mayoritas entrepreneur batik di kota Semarang merupakan
pedagang perantara, bukan pengrajin. Mereka hanya membeli barang jadi dari pengrajin kemudian dijual kembali. Entrepreneur tidak melakukan proses
produksi batik sendiri. Hal ini dipilih oleh entrepreneur untuk lebih memudahkan bisnis mereka dengan hanya tinggal menjual produk, tanpa menghadapi kerumitan
proses produksi pembuatan batik. Seperti yang disampaikan oleh CYD berikut ini :
“Iya, di Pekalongan langsung ambil barang, cari pengrajinnya juga susah, mendingan om
’nya milih yang pasti-pasti, belum nanti bayar makan mereka, lebih baik om
’nya langsung beli barang jadi, berapa totalnya bayar aja langsung, ndak perlu repot-repot ngurusi produksinya
“
Terdapat beberapa jenis produk batik yang dijual oleh entrepreneur di kota Semarang, seperti batik tulis. Jenis batik tulis membutuhkan waktu yang lama
dalam pengerjaan proses produksinya. Namun sayangnya, jenis batik ini kurang diminati oleh entrepreneur batik di kota Semarang, karena berbiaya tinggi yang
mengakibatkan harga jual menjadi tinggi sehingga kurang terjangkau oleh pembeli. Jenis batik lainnya adalah batik cap, merupakan jenis batik yang dalam
proses pembuatan menggunakan stempel untuk memberi motif batik. Jenis batik yang terakhir adalah batik printing, merupakan inovasi dari jenis batik tulis dan
cap dengan bantuan teknologi dalam proses produksinya. Inovasi batik printing dilakukan untuk mengikuti perubahan yang ada, di mana dalam perkembangan
usaha saat ini menuntut biaya rendah. Seperti yang dituturkan oleh YNC sebagai berikut :
17
“
Printing sih, kalau yang beli batik tulis itu bener-bener orang yang tau dan seneng batik, kan harganya mahal, tapi kalau batik printing pasarnya lebih luas,
soale harganya murah, orang kaya aja kalau cuma buat sehari-hari pakai batik printing, asal pede aja
” Batik printing menjadi batik yang paling diminati oleh masyarakat di kota
Semarang karena harganya yang terjangkau, sehingga menjadi produk andalan bagi para entrepreneur batik di kota Semarang.
Bisnis batik di kota Semarang didominasi oleh bisnis keluarga. Sebagian besar entrepreneur berasal dari keluarga yang sebelumnya juga menjadi pedagang
perantara batik di kota Semarang. Entrepreneur memperoleh warisan ketrampilan mengelola usaha dari orang tua mereka, selain itu ada juga yang memperoleh
warisan usaha orang tua dan ada pula yang diberikan modal usaha untuk membuka bisnis batiknya sendiri. Jenis bisnis batik seperti itulah yang pada
umumnya terdapat di kota Semarang. Entrepreneur batik di kota Semarang yang pertama adalah CYD, CYD
adalah pemilik toko batik “Naga Mas”, pada awal mula usahanya CYD ikut
berjualan di Pasar Djohar bersama orang tuanya, kemudian setelah orang tuanya meninggal, CYD mulai merintis dan membuka usaha toko batik sendiri. Pada
tahun 1982, CYD membuka toko batik “Naga Mas”. Alasan yang mendasari CYD untuk menekuni bisnis batik adalah kesukaan CYD dengan bisnis batik, CYD
menuturkan bahwa ia sudah sering membuka usaha, tetapi tidak ada yang bertahan lama. Baru pada bisnis batik ini CYD bisa bertahan lama dalam
menjalankan bisnis. Seperti yang dituturkan oleh CYD sebagai berikut : “
Suka, dulu om sempet jual krupuk,susu dan lain-lain, tapi ndak bisa tahan lama, penguasaan
’e kurang baik ndak seperti di batik, jadi ndak ajek, trus ada faktor dari keluarga juga. Semua bisnis itu hambatan
’e pasti banyak, tapi kalau kamu ndak suka sama bisnismu, pasti ndak akan bertahan lama
” Entrepreneur yang kedua adalah WDY, WDY mulai merintis bisnis batik
pada tahun 1995, toko batiknya diberi nama batik “Lesmono”. Alasan WDY berbisnis batik adalah kecintaan WDY terhadap batik, serta bisnis yang WDY
18
rintis sekarang merupakan bisnis dari orang tuanya. Hal tersebut dituturkan oleh WDY sebagai berikut :
“
ya emang aku suka sama batik,lebih baik aku ngerjake batik daripada kerja sama orang, kan isaku juga di batik, keluarga? ya emang ini bisnis juga dari
engkong soalnya, neruske saja”
Entrepreneur yang ketiga adalah CHR, CHR merupakan anak dari WDY, dalam menjalankan bisnis batik pertama kali CHR diberi modal usaha untuk
membuka bisnis batik. Pada tahun 2007, CHR membuka usaha batik dengan nama toko
“Halma”. Alasan CHR berbisnis batik adalah karena faktor orang tua yang memberinya modal usaha untuk membuka bisnis batik. Berikut penuturan dari
CHR : “
awal mulanya memang dari orang tua, mereka kan ngerjake batik, jadi saya setelah lulus S1, ndak lama saya dikasi modal buat mbuka usaha, ya saya milih
batik saja, karena orang tua kan juga”
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Litz 1995, bahwa esensi dari bisnis keluarga adalah niat dari keluarga untuk
mempertahankan kendali bisnis dari masa lalu sampai generasi sekarang, dengan mewariskan usaha yang dimiliki kepada generasi berikutnya. Penelitian dari
Simanjuntak 2010 juga menyatakan hal serupa, bahwa dalam bisnis keluarga akan terjadi pewarisan bisnis kepada generasi-generasi berikut yang masih
terdapat hubungan saudara. Entrepreneur keempat adalah YNC, merupakan pemilik dari toko batik
“Raja”, bisnis tersebut baru dirintisnya sendiri pada tahun 2010. Adapun alasan dari YNC menekuni bisnis batik adalah karena potensi bisnis batik yang sedang
populer di masyarakat, sehingga YNC melihat hal tersebut sebagai peluang untuk merintis bisnis batik. Berikut pernyataan dari YNC sebagai berikut :
“ya aku lihat peluang bisnis ini bagus, trus aku punya kenalan pabrik di Pekalongan, kebetulan pemiliknya waktu itu juga mau bantu saya, karena sudah
hubungan baik, karena waktu pertama kali buka kan kita harus isi barang banyak sekali, pemiliknya mau bantu titip jual dulu”
19
Hal ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Drucker 1986 yang melihat bahwa perubahan lingkungan yang terjadi, akan direspon oleh
entrepreneur untuk dijadikan sebuah peluang usaha. Dari keempat profil entrepreneur di atas, pengertian entrepreneur sesuai
dengan penelitian dari Holt 1993 yang menyatakan bahwa entrepreneur adalah orang yang membayar harga tertentu untuk produk tertentu untuk kemudian dijual
kembali sesuai dengan keuntungan yang ingin didapatkan. Sebab hampir seluruh entrepreneur batik di kota Semarang hanya sebagai pedagang perantara, mereka
hanya membeli barang jadi untuk kemudian dijual kembali. Mayoritas entrepreneur merupakan etnis Tionghoa. Walaupun merupakan
etnis minoritas di kota Semarang, tetapi selama melakukan aktivitas entrepreneurial, entrepreneur tidak pernah mengalami diskriminasi etnis. Hal
tersebut didukung oleh pernyataan dari YNC sebagai berikut :
“diskriminasi? wah udah nda jaman kayak gitu, justru di Pekalongan itu banyak pengusaha tionghoa, tapi kalau pengrajin emang mayoritas masih pribumi, justru
kalau sama yang pribumi itu baik, beda kalau sama yang sama, malah lebih licik”
Ethnic entrepreneurship di kota Semarang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Light dan Bonacich 1988, dimana terjadi pengelompokan etnis-
etnis di suatu wilayah tertentu yang bermigrasi ke negara tujuan. Di Semarang, etnis Tionghoa dalam melakukan aktivitas entrepreneurial sudah dapat
menyesuaikan dengan lingkungan sosial yang ada dan melebur dengan masyarakat setempat. Di Semarang, entrepreneur batik merupakan etnis Tionghoa
keturunan yang sudah lama tinggal turun menurun di Semarang, atau yang disebut sebagai Cina peranakan. Mereka bukanlah imigran dari Cina.Wilayah mereka
dalam membuka usaha tidak terkelompok berdasarkan etnis mereka, namun lebih dikarenakan adanya peluang di tempat tersebut.
Hal tersebut juga didukung oleh konsep “embeddeness” Granovetter dan Swedberg, 1992 dimana tindakan ekonomi akan mendukung “embeddeness”
yang terjadi antara individu dengan individu lainnya. Selain itu, aktivitas entrepreneurial batik di kota Semarang juga terdapat di Kampung Batik dimana
20
entrepreneur dipusatkan di daerah tersebut dalam melakukan usaha dalam industri batik. Bahkan saat ini Kampung Batik sendiri sudah menjadi sentra batik di kota
Semarang.
4. 2 Kampung Batik