26
Entrepreneur juga harus dapat mempertahankan jaringan yang dimilikinya, salah satu cara untuk mempertahankan jaringan adalah dengan
mengandalkan modal sosial. Menurut Santosa 2007 modal sosial merupakan modal yang diciptakan untuk membangun kemitraan melalui nilai-nilai seperti
saling pengertian, kepercayaan dan budaya kerjasama. Pernyataan tersebut sesuai dengan yang diutarakan oleh WDY sebagai berikut :
“
membina hubungan bisnis yang sudah berjalan sama seperti kita menjalin relasi dengan teman, kita harus baik terhadap sama pemasok, kayak sering telepon,
ngasih ucapan di hari hari tertentu atau ketika sedang berada di kota Pekalongan ya mampir untuk bertemu
“ Hubungan baik yang terbina tersebut memberikan dampak positif bagi
bisnis entrepreneur, terutama bagi keberlangsungan usaha. Semakin lama modal sosial ditanamkan maka jaringan yang terbentuk akan semakin kuat, hal ini
mendukung penelitian Budhiyanto 2009 yang menyatakan bahwa modal sosial merupakan hasil investasi seseorang yang harus dijaga dan dirawat dari waktu ke
waktu, sehingga semakin lama usaha berdiri, maka akan semakin kuat jaringan usaha yang dimilikinya.
4. 5. 1 Hambatan Merintis dan Cara Mengatasi
Dalam merintis suatu usaha, seorang entrepreneur sering mendapatkan hambatan pada awal mula usahanya maupun ketika usaha entrepreneur sudah
berjalan. Menurut Stoner et al. 1996 hambatan yang biasanya dialami oleh entrepreneur adalah kendala untuk memasuki industri ketika awal usaha,
kurangnya pengetahuan tentang pasar, kesulitan modal, membangun kepercayaan dengan relasi dan tidak memiliki pengetahuan dasar tentang bisnis. Hambatan
bisnis seperti kesulitan memasuki industri yang berlaku dialami oleh CYD, seperti yang dituturkan oleh CYD sebagai berikut :
“
nda ada, terus terang kalau modal dulu bukan menjadi masalah buat saya, mungkin lebih cari langganan, waktu awal mula bisnis, mungkin ketika
memasarkan produk secara grosir, waktu pertama kali itu sulit, karena toko sudah punya pemasok sendiri-sendiri
”
27
Hambatan tersebut dapat diatasi oleh CYD dengan cara melakukan lobi secara terus-menerus, sehingga toko tersebut akhirnya tertarik mengambil barang
dari CYD, hal ini didukung dengan pernyataan :
“ya saya lobi terus menerus,lama-lama kan mereka sungkan sendiri sama saya, trus hubungan jadi semakin membaik akhirnya jadi ambil dari saya terus”
Hambatan kedua yang dialami oleh entrepreneur adalah kurangnya pengetahuan tentang produk, hal seperti ini pada umumnya dialami oleh
entrepreneur yang baru memulai usaha. Seperti yang dituturkan oleh YNC,
“kalau secara detail batik seperti apa saya memang kurang tahu pada waktu Itu, tapi
kalau cara jual ya saya sudah bisa, pokoknya tinggal HPP’nya berapa bayar trus d
ijual lagi”
Dalam menghadapi hambatan tersebut entrepreneur YNC cukup santai. YNC mengangap hal tersebut merupakan proses pembelajaran dalam memulai
suatu bisnis baru. YNC menanamkan pikiran positif pada dirinya, seperti yang diutarakan berikut,
“cara mengatasi? wah, ya nda ada caranya, yang namanya bisnis itu pasti ada prosesnya sendiri-
sendiri, dari nda tahu jadi tahu, ya gitu aja sih menurtku”
Hambatan yang ketiga adalah kesulitan modal dan jaringan bisnis. Hambatan ini dialami oleh entrepreneur CHR, seperti yang dituturkan oleh CHR,
“Modal? jelas modal pasti menjadi hambatan awal dalam memulai usaha, tapi kalau saya lebih ke koneksi saja, waktu awal mula merintis susah dalam
pemilihan jaringan yang kuat”
Hambatan kesulitan dalam pemilihan jaringan dengan pemasok pada saat awal usaha, dapat diatasi oleh CHR dengan memanfaatkan jaringan yang dimiliki
orang tuannya, karena orang tua dari CHR juga merupakan entrepreneur batik. Hal ini didukung dengan pernyataan CHR :
28
“
orang tuaku kebetulan juga usaha batik, jadi pertama kali aku mau isi barang di toko ya aku sudah tau bakule di Pekalongan, jadi disana tinggal milihi yang mau
dibeli aja”
Keempat, hambatan yang terjadi dalam usaha batik adalah cara membangun kepercayaan dengan relasi. Terutama untuk mendapatkan pelanggan
yang baik dan jujur. Hal ini didukung pernyataan dari WDY,
“Pembelinya itu licik-licik, biasanya beli banyak sampai cek ke 5 masih lancar pembayarannya, habis itu mulai nda bayar, kadang kalau mau ditagih tokonya
ternyata kontrak sudah ilang, trus dulu waktu di Kudus itu ada kebakaran, ya sudah sekalian nda dibayar sama mereka, gitu masih minta barang lagi”
Setelah memiliki pengalaman buruk dengan pembeli, WDY sekarang menjadi lebih selektif dalam memilih pelanggan untuk diberikan waktu
pembayaran. Terutama jika penjualan tersebut terjadi dalam jumlah yang banyak dan menggunakan sistem pembayaran berjangka, hal ini didukung oleh
pernyataan WDY,
“ya saya ndak mau lagi kalau ada yang utang, apalagi kalau hubungane belum lama, mesti ndak beres nanti, kalau yang baru ya tak suruh cash, kalau yang dah
kenal lama baru saya kasih tempo”
Lunturnya kepercayaan pada konsumen yang dialami WDY dikarenakan pengalaman buruk yang dialami oleh WDY, hal ini membuat WDY berhati-hati
dalam memberikan keleluasaan bayar bagi konsumennya. Hal ini tentu saja berdampak pada teknik menjual produk batiknya. Penelitian yang dilakukan
Santosa 2007 menyatakan bahwa modal sosial merupakan aspek terpenting dalam membangun kemitraan dan kepercayaan. Tetapi dalam kasus yang dialami
oleh WDY, modal sosial melemah akibat kepercayaan yang mulai luntur. Dari permasalahan yang dihadapi oleh entrepreneur batik di kota
Semarang, permasalahan yang muncul sesuai dengan penelitian yang disampaikan oleh Stoner et al. 1996, tetapi terdapat permasalahan lain yang bisa menjadi
hambatan dalam bisnis, yaitu jaringan bisnis Hafsah, 2004. Hambatan-hambatan
29
tersebut adalah hambatan yang secara umum dihadapi oleh entrepreneur batik di kota Semarang.
4. 5. 2 Pengembangan usaha