18
4. Piretroid Insektisida piretroid digunakan karena terjadinya resistensi pada insektisida
OC, OP, dan Karbamat. Insektisida ini mudah terdegradasi tidak meninggalkan residu di tanah, memiliki toksisitas tinggi, dan aksinya cepat pada sejumlah besar
serangga. Saat ini piretroid digunakan sebagai senjata ampuh dalam pengendalian serangga dalam kepentingan umum maupun kesehatan Anonim, 2007.
5. Biopestisida Biopestisida adalah insektisida yang menggunakan suatu organisme dalam
pemberantasan serangga. Insektisida ini muncul karena adanya resistensi pada OC, OP, karbamat, maupun piretroid Anonim, 2007.
E. Insektisida Golongan Piretroid
Insektisida piretroid dapat pula disebut sebagai piretroid sintetik merupakan insektisida yang secara kimia memiliki kemiripan dengan pirethrin yang ditemukan
dalam pyrethrum alami pada ekstrak bunga Chrysanthemum, dan diketahui memiliki aktivitas toksik Anonim, 2005.
Generasi pertama piretroid muncul pada tahun 1949 dan satu-satunya insektisida yang termasuk golongan ini adalah allethrin. Generasi kedua adalah
tetramethrin, resmethrin, bioresmethrin, bioallethrin, dan ponothrin. Generasi ketiga piretroid adalah fenvalerate dan permethrin yang menjadi piretroid pertama dalam
bidang pertanian karena aktivitasnya pada serangga dan memliki stabilitas pada cahaya matahari. Piretroid golongan keempat adalah bifenthrin, cypermethrin,
cyhalothrin, deltamethrin, dan esfenvalerate Ware, 1999.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Secara garis besar, piretroid dibagi menjadi 2 jenis, yaitu piretroid tipe 1 dan tipe 2. Piretroid tipe 1 umumnya tidak stabil pada lingkungan ketika digunakan
sebagai insektisida dalam bidang pertanian, sedangkan tipe 2 lebih stabil dalam lingkungan Wallace, 1939.
Efek mematikan sebagai hasil toksisitas piretroid terjadi pada impuls saraf pada sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Mekanisme kerja piretroid yaitu
memodifikasi saluran garam pada saraf dengan cara memperlambat gerakan aktivasi maupun inaktivasi dari saluran garam tersebut sehingga saluran tersebut akan
membuka dalam waktu yang lama sehingga pada proses selanjutnya akan terjadi paralisis bahkan kematian Kazachkova, 2007.
Efek piretroid pada serangga dapat terjadi dalam waktu 1 – 2 menit setelah digunakan dan menghasilkan “knockdown effect”, yaitu kehilangan keseimbangan
tubuh dan gerakan. Tanda khusus toksisitas piretroid pada serangga terjadi dengan cepat, termasuk hiperereksia, konvulsi, ataksia, sampai kehilangan koordinasi gerak
Kazachkova, 2007. Berdasarkan struktur dasarnya keberadaan gugus cyano pada posisi alfa,
piretroid tipe 1 tidak mempunyai gugus cyano, efek khususnya adalah onset yang cepat sehingga terjadi tingkah agresif, peningkatan sensitivitas pada rangsangan luar,
dilanjutkan dengan terjadinya tremor, peningkatan suhu tubuh, koma, dan kematian. Piretroid tipe 2 terdapat gugus cyano pada stuktur kimianya, karakteristik efeknya
antara lain tingkah laku mencakar dan menggali, dilanjutkan dengan profusi saliva, peningkatan respon kejut, serta gerakan mundur yang abnormal Todd et al., 2003.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Jambi tahun 2006, insektisida yang digunakan pada tahun 2005 dan 2006 yaitu cypermethrin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Cypermethrin termasuk ke dalam golongan piretroid tipe 2. Struktur kimia cypermethrin dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
O CH
CN O
C O
CH CH
C CH
3
H
3
C
C H
Cl Cl
Gambar 7 . Struktur kimia Cypermethrin Todd et al., 2003
Insektisida Cypermethrin merupakan insektisida piretroid sintetik yang memiliki efek kuat dalam melawan sejumlah serangga. Insektisida ini selain
merupakan racun perut juga merupakan racun kontak yang berefek pada sistem saraf hewan vertebrata maupun invertebrata. Cypermethrin relatif aman untuk mamalia
dan burung, namun sangat toksik untuk ikan dan organisme air Jones, 2000. Tempat aksi cypermethrin adalah pada sel saraf, yaitu dengan menginduksi
peningkatan permeabilitas garam pada membran saraf selama terjadi rangsangan. Aksi tersebut dapat menyebabkan terjadinya impuls berulang-ulang pada serabut
saraf sensori afferent. Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya rangsangan yang lama pada permeabilitas garam membran saraf dan saluran garam akan
membuka selama proses rangsangan Jones, 2000.
F. Deteksi Resistensi