Lingkup Pemberdayaan Microsoft Word Ringkasan Disertasi

commit to user Kondisi yang menggairahkan bagi industri mebel tersebut surut seiring dengan menguatnya nilai tukar mata uang rupiah, ditambah dengan peraturan dan kebijakan pemerintah yang menyebabkan meroketnya harga bahan baku rotan sehingga keberadaan rotan langka dan tak terjangkau. Namun demikian, bagi pengrajin yang tangguh kondisi yang sulit tersebut menantang kreativitas para pengrajin. Kesulitan dan mahalnya rotan membuat para pengrajin menggunakan bahan-bahan baru, misal: mendong, eceng gondok, gedebog pisang dan lain-lain yang ada sepanjang tahun, dengan harga yang terjangkau. Tidak dapat dipungkiri bahwa masa surut industri mebel khususnya di Trangsan sempat merontokkan beberapa pengrajin. Namun bila diteliti lebih jauh pengrajin yang rontok adalah pengrajin yang tidak ulet dan tidak tahan banting. Pengrajin yang ulet malahan dapat berkreasi menghasilkan mebel dengan bahan baku lain yang tidak kalah mutunya. Dari kondisi tersebut terlihat bahwa industri kerajinan mebel di desa Trangsan telah berpengalaman. Kondisi pengrajin di Desa Trangsan sudah pernah mengalami masa pasang surut, dan ini telah memperkaya pengalaman para pengrajin dalam mengelola usahanya. Perubahan-perubahan kebijakan Pemerintah dalam tataniaga rotan dari sejak yang menguntungkan pengrajin maupun yang merugikan sudah pernah dialami. Para pengrajinnya pun telah membuat sebuah komunitas pengrajin mebel, yang bertujuan untuk menjalin kerjasama. Pembentukan komunitas ini didasari pada kesadaran untuk mengatasi berbagai kelemahan yang dirasakan industri mebel. Sejauh pengamatan, pengrajin memiliki kelemahan-kelemahan antara lain: akses pemasaran yang rendah, ketergantungan terhadap pihak lain yang sangat tinggi, akses pendanaan dari lembaga keuangan yang masih rendah, keterbatasan ragam desain produk, harga produk yang lebih tinggi dibandingkan harga produk pesaing, dan lain-lain. Namun begitu, masih terdapat faktor-faktor kekuatan yang dapat dimanfaatkan untuk meraih berbagai peluang. Kekuatan-kekuatan itu antara lain: pengalaman industri yang cukup lama sehingga telah terbiasa menghadapi dinamika usaha, tersedianya banyak potensi sumber daya manusia untuk mendukung industri tersebut, adanya perhatian dari pemerintah daerah, telah tersedianya jalur pemasaran hingga ke luar negeri, telah adanya upaya pendampingan, dan sebagainya. Kekuatan-kekuatan itu memang belum tergolong maksimal, sehingga upaya peraihan peluang masih belum optimal. Berkaitan dengan itu, dapat dikatakan bahwa industri mebel di Trangsan sebenarnya mempunyai potensi yang besar untuk bisa dikembangkan.

2. Lingkup Pemberdayaan

Seperti terlihat selama penelitian berlangsung, bahwa untuk pemberdayaan pengrajin di Trangsan tidak akan memberikan dampak maksimal kalau hanya dilakukan sepotong-sepotong, namun harus dilakukan secara komprehensif. Termasuk dalam pemberdayaan yang komprehensip tersebut adalah adanya pemberdayaan dari aspek sumberdaya manusia, aspek usaha, lingkungan bisnis yang kondusif, serta adanya kelembagaan pemberdayaan yang menjamin kelangsungan pemberdayaan. Oleh karena itu, guna mengembangkan industri mebel di Trangsan, perlu dilakukan pemberdayaan yang koheren dengan 4 empat bina Sumadyo dan Mardikanto, di mana empat bina tersebut adalah bina manusia, bina lingkungan, bina usaha dan bina kelembagaan. Keempatnya harus dilakukan secara simultan dan terintegrasi, agar dampak pemberdayaannya bisa terukur maju. commit to user Sebagai gambaran untuk menunjukkan relevansinya empat bina tersebut, sekilas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1 bina manusia meliputi: pengembangan ketrampilan, pengembangan pengetahuan tentang mebel, peningkatan kemampuan manajemen, pengembangan sikap kewirausahaan. 2 bina usaha mencakup: peningkatan pengetahuan teknis, utamanya untuk meningkatkan produktivitas, perbaikan mutu dan nilai tambah produk; perbaikan manajemen untuk meningkatkan efisiensi usaha dan pengembangan jejaring kemitraan; pengembangan jiwa kewirausahaan terkait dengan optimasi peluang bisnis yang berbasis dan didukung oleh keunggulan lokal; peningkatan aksesibilitas terhadap modal financial , pasar, dan informasi; serta advokasi kebijakan yang berpihak kepada kepentingan pengrajin mebel. 3 bina lingkungan, meliputi: penerimaan masyarakat atas usaha tersebut, hubungan harmonis antara masyarakat industri dan non industri; hubungan harmoni dengan stake holder . 4 bina kelembagaan dapat diwujudkan dengan penataan hubungan antara industri dengan pemerintah daerah, lembaga keuangan, peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan, dan akses pasar internasional. 3. Keunggulan dan Kelemahan Pemberdayaan yang Pernah Ada a. Akar Masalah Lemahnya Pemberdayaan di Trangsan Upaya pemberdayaan yang telah terjadi di Desa Trangsan selama ini lebih bercorak improvement approach. Disimpulkan demikian karena dapat dilihat dari: 1 pelaksanaannya yang menempatkan para pengrajin sebagai obyek. 2 upaya yang dilakukan ditekankan pada perubahan perilaku melalui perbaikan elemen- elemen atau kegiatan-kegiatan secara parsial tanpa mengubah struktur sistem. 3 Cara kerja pemberdayaanya bersifat tambal sulam. Dari pelaksanaan ini ternyata struktur kerja para pengrajin masih relatif tetap. Bisa dikatakan tidak ada perubahan yang berarti. Tipologi pengrajin juga masih sama, yaitu pengrajin kecil tetap masih sebagai pengrajin kecil. Tidak ada pengrajin kecil yang naik kelas menjadi pengrajin pengusaha. Ketergantungan pengrajin kecil terhadap pengrajin pengusaha juga masih tinggi. Sebagai gambarannya, pengrajin kecil akan bekerja ketika ada pasokan bahan serta pasokan order pekerjaan dari pengrajin pengusaha. Sifat ketergantungan ini masih sangat kental. Ini menunjukkan bahwa upaya pemberdayaan yang selama ini ada masih belum berdampak secara signifikan. Ukurannya adalah keberdayaan pengrajin masih belum mengalami perubahan. Perihal belum adanya perubahan yang signifikan ini bukan karena mereka tidak ingin berubah, namun karena masih banyaknya kendala yang menyebabkan mereka tidak mengalami perubahan. Di antaranya kesulitan pada akses dana maupun kuatnya kendala faktor eksternal. Bila diamati dengan seksama, teori 9 faktor yang dikembangkan oleh Dong Sung Cho 2003 untuk memotret upaya pemberdayaan yang pernah ada di Trangsan, selama ini kegiatan pemberdayaan lebih menekankan pada tiga faktor yang berada di luar kotak Model Diamond, yaitu: pekerja, pengusaha, dan teknisi atau perancang yang bisa disebut sebagai profesional. Padahal ketiga faktor itu sendiri sebenarnya sudah tergolong matang pada industri mebel di Trangsan. Karena, industri di Trangsan sendiri telah berjalan cukup lama. Justru, faktor- faktor di dalam kotak Model Diamond, yang isinya seperti yang dikembangkan oleh Porter, tidak tergarap. Padahal faktor-faktor di dalam kotak tersebut, seperti: 1 faktor input yang meliputi sarana dan prasarana; 2 faktor eksistensi industri terkait dan industri pendukung yang berdaya saing tinggi; 3 faktor strategi struktur dan persaingan antar perusahaan; 4 faktor kondisi permintaan; belum commit to user mendapat perhatian yang memadai. Keempat faktor ini seharusnya mendapat perhatian yang utama, karena itu semua merupakan faktor penentu keunggulan bersaing yang paling dibutuhkan oleh masyarakat Trangsan. Tidak tergarapnya faktor-faktor penting itu dikarenakan lemahnya peran politisi dan birokrat dalam kegiatan pemberdayaan yang pernah ada. Kelemahannya terletak pada kurangnya dukungan kebijakan yang dapat mengatasi problematika yang ada. Sebagai contoh, perihal input produksi berupa bahan baku rotan. Absennya politisi dan birokrasi dalam hal mengatasi bahan baku ini tentu melemahkan faktor-faktor lainnya, seperti faktor strategi struktur dan persaingan antar perusahaan akan menjadi lemah. Kelemahan di faktor ini menyebabkan faktor eksistensi industri tidak mempunyai pijakan yang kuat. Lemahnya eksistensi perusahaan ini menyebabkan tidak terpenuhinya permintaan pasar, dan sebagainya. Belum selesainya upaya pemberdayaan itu secara tuntas, menunjukkan bahwa pemberdayaannya tidak dilakukan secara kontinyu. Ketika upaya pemberdayaan tidak dilakukan secara kontinyu, atau menggunakan jeda waktu yang berjarak cukup lama, maka tujuan pemberdayaan akan bisa menjadi tidak efektif. Karena ada berbagai faktor yang bisa menjadi pembias, seperti: berbedanya obyek yang diberdayakan, perubahan teknologi, perubahan peraturan, perubahan trend pasar, perubahan motivasi, dan sebagainya. Ketika ada perubahan-perubahan seperti itu, maka bisa jadi upaya pemberdayaan tidak akan menghasilkan dampak yang berarti. Oleh karena itu, seharusnya pemberdayaan dilakukan secara simultan dalam kerangka waktu tertentu dan terencana dengan baik serta sistemik. Sebagaimana telah diuraikan di muka, bahwa berdasar realitas, pemberdayaan di Desa Trangsan belum tuntas, hal ini menunjukkan bahwa belum ada sinkronisasi antara orientasi dan obyek yang diberdayakan, seperti disinggung oleh Baten 1969. Proses pemberdayaannya memang sudah dilakukan, hanya saja untuk mencapai orientasi pemberdayaan belum dilakukan evaluasi dengan baik. Terbukti dari kontrol atas hasil pemberdayaan belum pernah dilakukan. Padahal kontrol atas hasil ini penting untuk mengkomparasi indikator sebelum dan sesudah dilakukan pemberdayaan. Ketika hasil ini tidak diketahui, maka tidak bisa memberikan rangsangan atau stimulus yang berjangka panjang. Padahal, rangsangan untuk menindaklanjuti suatu program tidak bisa dilepaskan dari hasil yang dirasakan. Sedangkan hasil yang dirasakan ini meliputi aspek phisik maupun psikis. Belum dilakukannya evaluasi ini tidak lepas dari pola pendekatan yang digunakan yang bersifat technokratik istilah dari Combs dan Ahmed, 1980 atau technical assistance istilah dari Soetomo, 2010. Memang benar dalam pelaksanaannya telah dilakukan standar prosedur operasional yang jelas, serta adanya pendampingan dari para penyelia program pemberdayaan. Hanya saja, karakternya yang bersifat top-down dan prosedural ini menjadikan para pengrajin justru terjebak pada alur perilaku yang mekanistis. Seolah-olah ada anggapan bahwa mereka bergerak karena ada pihak yang menggerakkan. Ketika pihak yang punya inisiatif berhenti untuk menggerakkan, maka berhenti pula aktivitasnya. Apa yang didapatkan dari program pemberdayaan hanya menambah pengetahuan, tetapi tidak mampu memberdayakan. Penyebabnya adalah program pemberdayaan yang ada selama ini masih bersifat top down , yang tidak bersifat enabling process atau self help . Oleh karena itu, wajar saja jika kemudian mereka cenderung tetap merasa ada ketergantungan dengan pihak-pihak di luar dirinya. Para pengrajin commit to user kurang berani mengembangkan kemampuannya, sehingga dampak dari pemberdayaan yang telah dilakukan tidak dirasakan.

b. Kelemahan Pemberdayaan

Pemberdayaan yang dilakukan terhadap para pengrajin di Desa Trangsan seharusnya bersifat self help seperti diungkapkan oleh Comb dan Ahmed 1980, yaitu pemberdayaan yang menekankan pada kemampuan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhannya, menentukan apa yang harus diperbuat untuk mengatasi kebutuhan itu, serta memilih keputusan apa yang harus diambil untuk memenuhi kebutuhan. Berbagai alasan yang melatarbelakangi pendapat ini antara lain: 1 industri di Trangsan ini sudah berlangsung lama, yaitu semenjak jaman Jepang menjajah Indonesia, yang ditandai dengan Demang Bowo Laksono menerima pekerjaan pembuatan mebeler proyek dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. 2 Problematika yang dihadapi para pengrajin ini bukan hal-hal yang bersifat internal seperti kemampuan teknis produksi dan motivasi kerja, tetapi hal-hal yang bersifat eksternal seperti menghadapi perilaku pasar yang berubah, kebijakan- kebijakan terkait industri mereka, peran teknologi, dan sebagainya. Alasan nomor dua ini diperkuat oleh hasil identifikasi Bank Indonesia Triwulan II-2007 atas beberapa permasalahan utama pengembangan industri mebel rotan di Desa Trangsan, yaitu: 1 Kelangsungan pasokan bahan baku rotan. Hal ini terkait dengan dampak dari Permendag 122005 yang memperbolehkan ekspor bahan baku rotan ke luar negeri, telah menyebabkan terhambatnya distribusi bahan baku di dalam negeri. 2 Masih banyaknya peraturankebijakan yang dirasakan menghambat industri mebel rotan misalnya, Terminal Handling Cost , berbagai pungutan ekspor, dan lain sebagainya. 3 Kesenjangan kualitas SDM yang berpengaruh pada kualitas dan waktu pengiriman. Di samping itu kesadaran para produsen terhadap kompetisi di pasar global juga relatif masih lemah. 4 Rendahnya produktivitas dibandingkan beberapa negara pesaing Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Thailand. Sebagian besar proses produksi dan tata letak produksi masih berbentuk home industri dengan tata letak produksi yang tradisional, serta belum mempertimbangkan aspek efisiensi dan kontrol kualitas. 5 Kesenjangan pengetahuan tentang hubungan dengan pasar internasional misal, pemahaman tentang tren dan kebutuhan pasar, pemahaman kontrak, negosiasi, penanganan komplain dari pembeli serta sistem pembayaran ekspor. 6 Rendahnya inovasi dan pengembangan desain produk. Banyak pembeli menyatakan tentang sulitnya menemukan produk-produk dengan desain baru. Di samping itu partisipasi dari univesitas serta lembaga-lembaga pendidikan terkait dalam mendukung proses inovasi masih sangat terbatas. Berdasar identifikasi permasalahan yang ada di Desa Trangsan seperti dipaparkan di atas, Bank Indonesia kemudian menindaklanjuti dengan program yang dinamai “Pilot Project Pengembangan Klaster Mebel Rotan di Trangsan, Kec. Gatak, Kab. Sukoharjo Jawa Tengah”, yang pelaksanaannya dilakukan melalui kerjasama dengan GTZ-RED. Program Pemberdayaan itu dilakukan dengan pendampinganbantuan teknis dengan mengaplikasikan pendekatan value chain . Sebagai mitra dan kelompok sasaran pengembangan klaster adalah Asosiasi Produsen Mebel dan Handicraft Asmindo Komda Surakarta dan produsen mebel rotan di Klaster Desa Trangsan BI, Triwulan II-2007 sebagaimana yang sudah disebutkan di atas. commit to user Program yang dilaksanakan oleh GZ-RED di atas memang penting, tetapi dalam konteks pemberdayaan untuk Pengrajin Trangsan bisa dikatakan dampaknya tidak maksimal. Program seperti itu akan mempunyai dampak yang maksimal bila diterapkan pada sasaran yang baru memulai usaha. Sementara itu masyarakat Trangsan sudah mengenal dan memulai usahanya semenjak tahun 1940-an. Bisa dikatakan Masyarakat Trangsan sudah matang dalam industri tersebut. Tentu saja, sebelum ada program pemberdayaan itu, mereka sudah secara riil berusaha dan telah mengenal liku-liku bisnisnya, terutama faktor-faktor yang bersifat internal. Banyak juga dari mereka yang memulai dari nol, lantas mencapai kesuksesan. Keadaan seperti itu terjadi, karena faktor-faktor eksternal relatif bersifat tetap, atau tidak berubah secara signifikan. Lain halnya dengan kondisi saat ini, di mana faktor eksternal banyak mengalami perubahan. Banyak kebijakan-kebijakan yang berubah, perilaku pasar yang berubah, dan sebagainya, maka program pemberdayaan seharusnya dilakukan hingga menyentuh pada keterjamian stabilitas faktor eksternal. Dalam hal itu, peran politisi dan birokrasi sangat diperlukan. Namun ternyata peran politisi dan birokratisasi selama ini justru tidak maksimal. Bahkan seolah absen dari kegiatan pemberdayaan itu, sehingga kendala yang muncul dari faktor eksternal tidak teratasi. Daya tahan pengrajin di Desa Trangsan tergolong baik. Hal ini bisa dilihat dari kemampuannya menyesuaikan diri secara teknis. Ketika tahun 1998 pemerintah mulai memperbolehkan ekspor rotan setengah jadi maupun yang masih asalan, sehingga harga rotan di dalam negeri mulai meningkat, para pengrajin tidak begitu saja menghentikan usahanya. Mereka tetap berinovasi dengan cara membuat produk-produk yang berasal dari bahan alternatif pengganti rotan seperti enceng gondok, gedebok pisang, daun pandan, sea grass , mendong, bambu, dan sebagainya, sebagai upaya untuk tetap bertahan hidup, sehingga produk yang dihasilkan lebih variatif. Artinya, diversifikasi dan differensiasi produk telah dilakukan. Padahal pada saat itu upaya pemberdayaan belum pernah ada. Ini menunjukkan bukti bahwa secara teknis atau yang disebut sebagai bersifat internal seperti di atas bisa dikatakan sudah cukup matang. Karena, industri ini memang sudah cukup lama ada di desa Trangsan. Upaya-upaya pemberdayaan yang paling efektif untuk kondisi seperti di Desa Trangsan ini adalah bukan pada pemberdayaan faktor-faktor internal teknis, melainkan pemberdayaan yang bersifat fasilitasi terkait dengan perubahan-perubahan di lingkungan global. Karena, kalau dicermati dengan seksama, permasalahan yang dihadapi para pengrajin saat ini adalah faktor-faktor eksogenal yang timbul pada lingkungan eksternal, yang tidak mampu dijangkau oleh para pengrajin. Beberapa faktor itu antara lain: 1 tingginya harga bahan baku rotan, 2 semakin banyaknya pesaing di pasar global, terutama produk dari Cina dan Vietnam, 3 munculnya bahan alternatif berupa rotan sintetis, 4 nilai tukar rupiah yang semakin menguat dibandingkan dollar Amerika yang banyak dijadikan sebagai acuan harga, 5 meningkatnya biaya overhead pabrik, dan biaya tenaga kerja, dan lain sebagainya. Timbulnya problematika 1, 2, 3, di atas tidak lepas dari kebijakan pemerintah tentang ekspor rotan. Kebijakan atas rotan ini sendiri pernah dilakukan beberapa kali, yang masing-masing berdampak signifikan pada industri mebel yang menggunakan rotan sebagai bahan utamanya, seperti di Trangsan. Sebelum tahun 1979 rotan memang diperjual belikan secara internasional. Namun, pada tahun 1979 melalui SK Mendagkop No.492KPVII79 tanggal 23 Juli 1979, pemerintah melarang ekspor rotan bulat dalam bentuk asalan. Karena commit to user yang dilarang adalah hanya dalam bentuk asalan, maka banyak pengusaha yang mengekspor produk berbahan rotan setengah jadi. Melihat kondisi seperti itu, dan juga karena alasan untuk melindungi industri mebeler rotan, maka pemerintah menerbitkan kembali kebijakan larangan ekspor segala bentuk rotan bulat dan setengah jadi, yang dituangkan dalam SK Menperdag No.274KPX1986 tertanggal 7 Oktober 1986. Dua kebijakan yang bertujuan untuk membangkitkan industri rotan dalam negeri menampakkan hasilnya. Bahkan di Jawa industri mebel rotan dari semula 10 industri lantas meningkat menjadi 300 unit usaha. Meskipun jumlah industri mebel rotan ini mengalami peningkatan, tetapi jumlah penguasaan pasar dunia hanya sebesar 2,9, jauh dibanding dengan China 9, dan Jerman 11 Lisman Sumardjani, 2011. Pada sisi industri rotan memang merasakan keuntungan dari dua kebijakan larangan ekspor rotan itu, tetapi pada sisi suplier petani rotan merasakan sebaliknya, yaitu kerugian. Bahkan dari kebijakan itu standar hidup petani rotan merosot tajam akibat menurunnya harga rotan. Pada tahun 1986 satu kilogram rotan seharga Rp.780kg. Pada tahun 1990 turun menjadi Rp.670kg, dan pada tahun 1997 hanya seharga Rp.250kg. Jika pada tahun 1986 dengan sekilogram rotan harganya setara dengan 1,3 kg beras, namun pada tahun 1997 untuk mendapatkan sekilogram beras harus menjual 4,5 kg rotan Lisman Sumardjani, 2011. Alasan inilah kiranya yang menyebabkan dikeluarkannya kebijakan baru dengan SK Memperindag No.440MPPKP91998 yang menjadi dasar pembebasan ekspor segala bentuk rotan bulat dan setengah jadi. Pada kebijakan ini dikerangkai dalam lamanya waktu kebijakan yang hanya berlaku untuk masa 6 tahun semenjak dikeluarkan keputusan itu. Setelah kebijakan itu jatuh tempo, Memperindag kembali mengeluarkan kebijakan dengan SK No. 355MPPKep52004 tertanggal 27 Mei 2004 yang melakukan pelarangan ekspor rotan bulat dari hutan alam. Tarik ulurnya kebijakan rotan di atas menunjukkan adanya keinginan untuk memberdayakan pengrajin atau industri rotan. Hanya saja, ujung dari kebijakan itu justru menyengsarakan pihak petani rotan yang berlaku sebagai suplier rotan pada industri rotan. Maka, lantas kebijakannya diubah untuk membantu supplier rotan. Kebijakan ini menunjukkan kurang dipikirkannya sinkronisasi antara petani dan pengrajin pada jangka waktu yang lama. Kebijakan masih cenderung berdampak secara parsial. Padahal, antara suplier dan pengrajin, antara pengrajin dan konsumen, antara pengrajin dengan pesaing pendatang baru, antara pengrajin dengan barang-barang substitusi, seperti digambarkan oleh Michael Porter dalam Competitive advantage senantiasa terjadi. Hanya saja, dalam kebijakan-kebijakan yang pernah ada seolah tidak tersentuh atau diabaikan. Oleh karena itu, wajar saja jika dalam waktu yang tidak lama masing-masing dari elemen itu menjadi tidak berdaya. 4. Model Pemberdayaan Pengrajin di Masa yang Akan Datang a. Sistem Pemberdayaan Pengrajin di Trangsan Pemberdayaan yang selama ini berlangsung di Trangsan dapat dikatakan sebagai pelaksanaan pola bimbingan masyarakat bimas, maka yang disentuh dan dikuatkan adalah faktor-faktor internal. Dengan fokus seperti itu maka faktor eksternal tidak tersentuh. Padahal ternyata faktor eksternal justru yang paling dominan menjadi kendala industri mebel di Trangsan. Seharusnya sistem commit to user pemberdayaan tidak lagi berpola bimas, tetapi berpola bina mitra. Artinya, pemberdayaannya diorientasikan untuk mengatasi kendala secara komprehensif, meliputi faktor internal maupun faktor eksternal. Pemberdayaannya perlu mengintegrasikan segala sumber daya yang bisa menguatkan faktor internal maupun eksternal. Dengan demikian, pelibatan seluruh stake holder menjadi mutlak. Karena perlu melibatkan seluruh elemen stake holder ini maka sistem pemberdayaan untuk industri mebel Trangsan ke depan disebut sistem pemberdayaan berbasis sinergisitas, yaitu menyinergikan seluruh kemampuan dan kepentingan. Bila dikaitkan dengan Undang-undang nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan pemberdayaan, maka model pemberdayaan di Trangsan secara esensial memiliki koherensi dengan 4 bina Sumadyo dan Mardikanto, meskipun ada perbedaan pada hal-hal tertentu. Unsur koherensi itu dapat terlihat pada arah penekanan kebijakan yang pro-industri, upaya pelembagaan pemberdayaan, melibatkan pelaku pemberdayaan, tersistematisasinya penyelenggaraan, menjelaskan sarana dan prasarana, memungkinkan untuk memperkirakan sumber dan jumlah pembiayaan pelaksanaan kegiatan, serta menjelaskan peran pembinaan maupun pengawasan. 1 Kebijakan yang Pro Industri Pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah maupun pusat, perlu mengkaji dengan seksama setiap kebijakan yang akan diberlakukan. Sehingga setiap keputusan kebijakannya benar-benar berdampak positif bagi semua pihak yang ada dalam industri itu. Tidak seperti kebijakan yang selama ini ada, yang menguntungkan bagi satu pihak tertentu tetapi merugikan pihak lain. Contohnya dalam kebijakan rotan yang telah disinggung di atas. Pada kebijakan tertentu industri diuntungkan, namun petani rotan dirugikan. Lantas muncul kebijakan lagi yang dampaknya hanya membalik, yaitu petani diuntungkan namun industri dirugikan. Kebijakan seperti ini seharusnya tidak terulang kembali. Kebijakan- kebijakan yang ada seharusnya betul-betul mengkaji dengan seksama antara kepentingan pemasok, industri, konsumen, pemerintah, dan keberlangsungan usaha. Pemberdayaan pengrajin di Trangsan dilakukan dengan empat program sebagaimana disajikan dalam Gambar 14, yaitu: pembentukan kelembagaan pemberdayaan, pengembangan kapasitas lingkungan, kapasitas manusia, dan kapasitas usaha. Pada program pertama dan kedua, pihak pelaku pemberdayaan yang paling utama adalah pemerintah. Sesuai dengan semangat otonomi, maka peran pemerintah daerah Kabupaten Sukoharjo bisa menjadi motor penggerak yang senantiasa berkoordinasi dengan Pemda Propinsi Jawa Tengah ataupun pemerintah pusat. Rancang bangun model pemberdayaan yang menempatkan posisi Pemda sebagai motor penggerak, maka pemberdayaannya dapat dikategorikan lebih dekat menggunakan model technocratic Combs dan Ahmed 1980 yang serupa dengan model pendekatan transformation seperti dipaparkan Hardiman dan Migley 2003. Guna memperlancar penerapan model, maka Pemda sebaiknya memilih dengan pendekatan intervensi sedang, dengan tujuan memperlancar adanya proses transformasi dengan segera dan tanpa hambatan yang berarti. Guna mewujudkan kebijakan pro-industri upaya pemberdayaan dapat dilakukan secara berurutan seperti dipaparkan di atas, maupun secara tidak harus berurutan dalam proses pelaksanaannya. Hanya saja yang perlu diperhatikan commit to user adalah pelaksanaan atas unsur program harus berdasar pendekatan secara komprehensif. Karena, kalau dilakukan hanya parsial saja, upaya pemberdayaan itu tidak akan berdampak secara signifikan. Kebijakan yang dilakukan secara komprehensif mulai dari membentuk kelembagaan pemberdayaan, memfasilitasi infrastruktur, membantu akses modal, mempermudah perijinan, hingga pelaksanaan kebijakan pro-industri ini bisa dikatakan sebagai kebijakan makro yang berimbas langsung kepada level mikro, yaitu usaha riil para pengrajin. Mengingat dalam pemberdayaan yang disasar adalah para pengrajin ataupun buruh, maka perkembangan yang harus diperhatikan adalah yang terjadi pada individu per-individu. Tujuannya adalah, untuk mengetahui dampak dari pemberdayaan tersebut. Guna memperoleh informasi atas perkembangan itu, maka perlu ditetapkan suatu indikator yang mampu mengukur perkembangan, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Ukuran atau indikator ini harus diterapkan pada setiap individu, bukan ukuran global. Tujuannya adalah untuk mengerti dengan rinci. Guna memiliki relevansi dengan kebijakan yang dicanangkan pemerintah tentang kebijakan pro-industri kecil, maka model pemberdayaan sinergisitas ini mengedepankan pada pengembangan klaster industri. Tujuannya adalah untuk memperkuat daya eksistensi dan daya saing para pengrajin di industri mebel Trangsan. Pembentukan klaster untuk memberi kerangka dari sudut pandang ruangarea. Guna memperkuat eksistensi, pemenuhan kebutuhan dan pemecahan masalah yang dihadapi pengrajin, maka dibentuk kelembagaan pemberdayaan berupa BUMP. Dengan berdirinya BUMP ini maka akan dapat memfasilitasi infrastruktur, membantu akses modal, mempermudah perijinan, hingga pelaksanaan kebijakan pro-industri dapat tercapai dengan paripurna. Menurut Tambunan 2002, Klaster Industri adalah kelompok industri dengan satu localcore industri yang saling berhubungan secara intensif dan membentuk partnership , baik dengan supporting industri maupun related industri . Sedangkan manfaatnya adalah untuk mendorong spesialisasi produksi pada suatu negara dan mendorong keunggulan komparatif menjadi kompetitif. Adapun keunggulannya adalah meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya transportasi dan transaksi, memanfaatkan asset sumber daya untuk mendorong diversifikasi produk dan meningkatkan terciptanya inovasi. Terdapat beberapa keuntungan bila Trangsan itu dikembangkan menjadi sebuah klaster industri. Karena, di dalam klaster akan terjadi sinergi antara industri inti, industri pendukung, dan industri terkait. Sinergi ini tentunya akan berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Yang dimaksudkan dengan industri inti adalah industri yang mempunyai keterkaitan erat dengan industri- industri lainnya dalam satu klaster. Industri pendukung adalah industri-industri yang menghasilkan bahan baku dan penolong dari industri inti. Sedangkan industri terkait adalah industri yang mempunyai hubungan dengan industri inti karena terjadinya kesamaan dalam penggunaan bahan baku, bahan penolong, teknologi, sumberdaya manusia dan saluran distribusi pemasarannya. Umumnya, antar klaster juga mempunyai hubungan yang berlangsung secara intensif. Bahkan banyak sekali yang membentuk partnership, sehingga memungkinkan terjadinya penguatan industri. Ada hal penting lagi terkait dengan klaster inndustri. Klaster industri dapat menciptakan lingkungan usaha yang kondusif untuk menjadikan industri kecil kompetitif secara internasional. Selanjutnya klaster industri sebagai instrument dari kebijakan industri merupakan platform ekonomi yang efektif dalam merespon commit to user otonomi daerah dan pembangunan industri kecil, sehingga potensi yang ada di daerah akan dapat berkembang sesuai dengan kompetensi inti yang dimiliki oleh setiap daerah. Berkaitan dengan kebijakan strategis dalam pengembangan klaster tugas utama pemerintah adalah menciptakan lingkungan usaha yang kondusif untuk mendukung peningkatan produktivitas. Guna mengembangkan klaster industri di Trangsan, kiranya relevan jika pelaksanaannya mengacu pada pendapat Tambunan 2002, yaitu: 1. Memperkuat industri-industri yang terdapat dalam rantai nilai yang mencakup industri inti, industri terkait dan industri pendukung, 2. Memperkuat keterkaitan antar klaster dalam satu sektor maupun dengan klaster di sektor yang lain, sekaligus mendorong kemitraan industri kecil dengan industri besar, sehingga membentuk jaringan industri serta struktur yang mendukung peningkatan nilai tambah, 3. Mendorong tumbuhnya industri terkait yang memerlukan suplai bahan baku, bahan penolong yang sama sehingga memperkuat patnership antara industri inti, terkait dan pendukung, 4. Menfasilitasi upaya-upaya pemasaran baik di dalam maupun di luar negeri. 2. Kelembagaan Pemberdayaan Pembentukan badan usaha milik pengrajin BUMP di sini ditekankan karena perlunya pengrajin bekerja dalam satu lembaga agar pemberdayaan bisa secara efektif dilakukan. Dalam BUMP itulah diwujudkan sinergi antar individu yang dapat mengelaborasi potensi individu hingga menguat dan menjadi kekuatan yang lebih kuat. Tentu saja badan usaha milik pengrajin yang dipilih haruslah yang kelak akan menguatkan masyarakat. Ditinjau dari karakter kehidupan masyarakat Trangsan hingga saat ini, sebenarnya pengrajin lebih cocok dihimpun dalam koperasi dibanding dihimpun dalam bentuk badan usaha lainnya. Ciri yang paling utama adalah ciri sosialitas masyarakat Trangsan masih sangat kental. Alasan kedua, pemilihan koperasi adalah karena koperasi mempunyai kementerian sendiri. Dengan adanya kementerian sendiri ini, maka kemungkinan untuk merealisasikan kebijakan- kebijakan, seperti pengatasan problem modal kapital, problem kebijakan antar instansi, akan menjadi lebih mudah. Begitu pula, kehadiran koperasi bagi para pengrajin di desa Trangsan akan sangat membantu untuk memberdayakan mereka. Karena, sebagaimana karakter dari koperasi, yang merupakan wadah bersama untuk melakukan aktivitas, kerja sama, serta kepemilikan bersama. Namun berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan, terdapat kondisi traumatis pengrajin di Trangsan, dimana koperasi yang sudah ada belum dapat mengakomodasi kepentingan pengrajin. Juga koperasi-koperasi lain yang belum menunjukkan keberhasilannya dalam menyejahterakan anggota-anggotanya, sehingga kelembagaan bisnis dalam pemberdayaan pengrajin di Trangsan dapat saja berbentuk selain koperasi. Ada beberapa bentuk badan hukum kelembagaan bisnis yang dapat dipilih selain koperasi, yaitu: firma, CV, atau perseroan. Firma adalah suatu perjanjian dua orang atau lebih, saling mengikatkan diri untuk memasukkan modal dalam persekutuan, dengan tujuan untuk membagi-bagi hasil yang diperoleh dari persekutuan itu antar mereka Rietveldt, tth. Bentuk badan usaha lain yang dapat menjadi pilihan adalah Persekutuan Komanditer CV, dimana badan usaha ini didirikan dengan cara menyediakan modal disebut en comandite sekutu diam yang hanya menyediakan modal, dilakukan antara seorang atau lebih dari sekutunya yang bertanggung jawab penuh, dengan seorang atau lebih yang menyediakan modal Soetrisno, 1991. Bila memungkinkan bentuk badan usaha commit to user yang dapat lebih besar adalah perseroan, dimana perseroan adalah suatu bentuk badan usaha yang modalnya terdiri saham-saham, para pesero hanya bertanggung jawab terhadap resiko kerugian sebesar modal yang disetor Asri, 1986. Dari berbagai bentuk badan usaha tersebut, yang dapat menjadi pilihan paling mungkin adalah perseroan, di mana dengan perseroan modalnya dapat dibagi dalam banyak lembar saham, dan sahamnya dapat dimiliki oleh berbagai pihak, baik pengrajin, pengusaha maupun koperasi. Ini berarti bahwa perseroan akan dimiliki oleh segenap pengrajin juga oleh badan usaha yang sudah ada sebelumnya. Apapun pilihannya, badan usaha yang ada haruslah milik pengrajin yang betul-betul bisa berjalan secara riil yang menjadi suprastruktur dari keberadaan pengrajin. Badan usaha milik pengrajin yang ada sebaiknya yang memilliki serba usaha, sehingga semua kebutuhan pengrajin dapat dipenuhi dari badan usaha tersebut. Usaha dasar dari BUMP itu dapat berupa menyediakan bahan baku, bahan penolong, kebutuhan pokok, permodalan, dan sebagainya. Selain itu, badan usaha tersebut juga harus mampu menyerap produk yang dihasilkan oleh para pengrajin. Dengan demikian, peran badan usaha milik pengrajin yang dipilih selain sebagai fasilitator, juga sebagai mediator yang menjembatani hubungan antara suplier dengan para pengrajin, pengrajin dengan para konsumen, dan sebagainya. Termasuk juga hubungan antara kebijakan pemerintah dengan para pengrajin. Melalui badan usaha milik pengrajin ini hubungan kesetaraan pegrajin dengan para pengusaha dalam maupun luar negeri akan terjadi. Karena, kemampuan pengrajin tertopang oleh badan usaha milik pengrajin tersebut. Melalui badan usaha milik pengrajin ini pula pemberdayaan tidak hanya berada pada lingkup mikro, yaitu internal pengrajin usaha, tetapi akan menjadi lebih luas menjembatani antara hubungan mikro-makro, yaitu hubungan antara pengrajin dengan lingkungan regional maupun global. Guna membentuk badan usaha milik pengrajin di Trangsan, diperlukan peran aktif dari pemerintah daerah melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk memfasilitasinya. Peran serta Pemerintah Daerah ini mutlak, karena di dalam pembentukan badan usaha milik pengrajin perlu dilakukan langkah-langkah sosialisasi, konsolidasi, dan organisasi hingga terbentuk dan beroperasionalnya secara mandiri. Pendirian badan usaha milik pengrajin ini bisa dikatakan sebagai inti dari pemberdayaan untuk pengrajin di Trangsan. Alasannya, dengan badan usaha milik pengrajin ini proses transformasi yang memberdayakan masyarakat akan terjadi. Dengan adanya badan usaha milik pengrajin, individu-individu akan termanifestasikan dalam suatu institusi yang tentu lebih kuat dari diri individu. Dengan demikian, individual capital dan social capital dapat terwujud meningkat, posisi tawar pengrajin terhadap pengusaha, atau terhadap mitra bisnis lainnya akan menjadi setara, tidak sekedar hubungan atas-bawah atau patron-klien yang memberikan ruang untuk terjadinya ketidak seimbangan posisi tawar. Sebagai gambaran penjelas, berikut ini digambarkan posisi hubungan antara buruh, pengrajin, dan pengusaha sebelum ada BUMP dan setelah ada BUMP. commit to user Gambar 12. Hubungan Sebelum Ada Badan Usaha Milik pengrajin Dari gambar 12 terlihat bahwa posisi pengrajin di bawah pengaruh pengusaha perusahaan pengepul, karena yang memiliki akses ke sumber daya dan pasar adalah pengusaha, khususnya pengrajin yang memproduksi produk pesanan perusahaan. Sementara setelah ada badan usaha milik pengrajin hubungan antara pengrajin, pengusaha, sumber daya dan pasar terlihat pada Gambar 13. Gambar 13. Hubungan Setelah Ada Badan Usaha Milik Pengrajin BUMP Kedua gambar di atas gambar 12 dan gambar 13 menunjukkan bahwa peran pendirian badan usaha milik pengrajin sangat vital. Melalui institusi ini posisi buruh dan pengrajin mempunyai kesetaraan dengan pengusaha. Kesetaraan ini terlihat dalam mengakses sumber daya baca: input produksi maupun pasar. Guna menjaga kesetaraan maupun kelancaran dalam mengakses sumber daya maupun pasar, maka dua kebijakan yang dijelaskan di atas perlu diterapkan pula. Karena, dengan didukung dua kebijakan itu pemberdayaan akan semakin jelas realisasinya. Sumber Daya Pasar Pengusaha Pengrajin Buruh Buruh Buruh Buruh Buruh Buruh Pengrajin BUMP Pengrajin Buruh Buruh Pengrajin Buruh Pengrajin Sumber Daya Pasar Pengusaha Pengusaha Pengusaha commit to user

3. Ketenagaan Pelaku Pemberdayaan