PENDAHULUAN FUNGSI SOSIAL BUDAYA BAHASA LIO, FLORES.

2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Keberagaman atau kebhinekaan bangsa ditandai oleh keanekaragaman bahasa lokal vernacular yang ada di Indonesia. Dari pelbagai sumber memang disimpulkan bahwa lebih dari 720 bahasa dan ratusan etnik, masing-masing dengan tradisi, adat istiadat, dan tentunya sistem sosial yang berbeda-beda pula antara satu daerah dengan daerah yang lain. Ada etnik Lio, Ngadha, Nagekeo, Sikka, Lamaholot, Manggarai, di daratan Flores, ada etnik Lembata, ada pula sejumlah etnik di Pulau alor dan Pantar, masing-masing dengan subetnik bahkan dengan bahasa-bahasa yang berbeda pula. Tidak ada bahasa Flores, kendati ada “Orang Flores” yang diidentikkan dengan suku Flores. Secara historis, bahasa di Flores memang direkonstruksi dan dihipotesiskan berasal dari proto-Flores Fernandes, 1986l 1996. Brandes bahan menetapkan garis pisah kelinguistikan atas dasar kontruksi genetif yang membelah Pula Flores, khususnya antara wilayah pakai bahasa Lio dan bahasa Sikka. Bahasa Lio, Flores, adalah salah satu bahasa lokal, atau bahasa daerah, atau juga bahasa etnik Lio yang ada di Flores Tengah, Nusa Tenggara Timur. Selain bahasa Lio, di Kabupaten Ende ada juga dialek Ende dan dialek Nage. Oleh masyarakat di Kabpupaten Ende, ketiga dialek itu dikenal sebagai logat Aku untuk bahasa Lio, logat Ja’o untuk dialek Ende, dan logat Nga’o dialek Nage. Ketiga bentuk persona pertama tunggal yang mengandung makna aku atau saya itu menjadi nama bahasa atau dialek- dialek. Kesalingpahaman dalam komunikasi verbal antardialek itu masih memadai atau cukup baik kendati disadari pula oleh para guyub tuturnya sebagai bahasa atau dialek 3 yang berbeda. Pranasalisasi merepresentasikan dialek-dialek Ja’o dan Nga’o dan bahasa Lio. Selain bahasa Lio dan kedua dialek itu, di Kabupaten Ende, sebagai bagian NKRI, hidup pula Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi. Sebagai mata pembelajaran di sekolah-sekolah SMP, SMA, dan SMK dan di perguruan tinggi, sejumlah bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, juga hidup dan berkembang walau tidaklah menjadi bahasa sehari-hari. Dengan demikian, masyarakat di Kabupaten Ende, seperti juga banyak masyarakat Indonesia lainnya, telah berkembang menjadi masyarakat dwibahasa bilingualism dalam arti lebih dari dua bahasa lihat Romaine, 1995. Bahasa Lio juga mengenal dan memiliki dialek yang berkorespondensi antara k- h. Dialek k ada di kawasan barat dan utara Lio, sedangkan dialek h ada di wilayah timur khususnya daerah Lise. Sebagai contoh dapat dilihat pada korespondensi berikut ini. Dialek k Dialek h ki hi ‘ilalang’ kasa hasa ‘pagat’ kea hea ‘sej. labu’ kolo holo ‘kepala’ kubu hubu ‘atap’ koro horo ‘lombok’ Dari segi daya dukung penuiturnya, bahasa Lio dikuasai dan digunakan oleh sebagian besar masyarakat di Kabupaten Ende. Bahasa Lio juga memiliki beberapa dialek dengan ciri-ciri fonologis dan leksikal, di samping ciri-ciri suprasegmental yang sangat jelas pula. Jumlah penutur bahasa Lio diperkirakan lebih dari 100 ribu orang jika 4 penutur bahasa Lio di wilayah Kabupaten Sikka pun dimasukkan ke dalamnya. Dialek Ende didukung oleh sekitar empat puluh ribu penutur sedangkan dialek Nag’o didukung oleh sekitar tiga puluh ribu penutur. Perlu diinformasikan kembali bahasa Lio digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Sikka khususnya di dua kecamatan yakni Kecamatan Paga dan Kecamatan Mego. Kedua kecamatan itu berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Ende, termasuk Kecamatan Kotabaru di bagian Utara. Sungai Nangabolo di Kabupaten Sikka menjadi pembatas wilayah pakai bahasa Lio dan Bahasa Sikka. Masyarakat di kedua kecamatan itu juga berkembang menjadi masyarakat multibahasa, bahasa Lio, bahasa Sikka, dan bahasa Indonesia. Adat, budaya, dan tradisi Lio masih cukup kuat terpelihara di kedua kecamatan itu, Paga dan Mego kendati adat, budaya, dan tradisi Sikka juga kuat menyatu dalam masyarakat di kawasan itu. Sebagai turunan Proto-Austronesia, bahasa Lio berkerabat erat closed relationship dengan bahasa Ngadha dan bahasa Palu’e Fernandes, 1986; Mbete 1981. Bahasa Palu’e terdapat di Pulau Palu’e, utara Kabupaten Ende dan secara administratif termasuk wilayah Kabupaten Sikka. Secara administratif, Dalam hubungan kekerabatan yang besar, bahasa Lio termasuk kelompok bahasa Flores Barat dengan bahasa Manggarai sebagai anggota kelompok yang lebih besar jumlah penuturnya. Pada jenjang lebih tinggi bahasa Lio berkerabat erat pula dengan subkelompok bahasa Flores Timur termasuk bahasa Sikka dan Lamaholot. Bahasa-bahasa kerabat di Flores, termasuk bahasa Lio mewariskan ciri-ciri fonologis, morfologis, leksikal, gramatikal, dan semantik asali dari bahasa asalnya. Selain kadar dan ciri-ciri divergensi kelinguistikan yang genetis, unsur-unsur serapan dari Proto-Papua juga ada dalam bahasa itu. 5 Sebagai bahasa lokal yang menyatu dengan dan menjadi ciri jati diri guyub tutur pemilik dan para pewarisnya yakni para anggota guyub tutur bahasa Lio, bahasa Lio mengemban fungsi-fungsi yang sangat penting bagi masyarakat Lio. Bahasa Lio adalah perekat persatuan sebagai Orang Lio, sarana komunikasi dan interaksi verbal antarwarga etnik Lio, perekam dan pengalih transmisi kebudayaan Lio antargenerasi; kebudayaan Lio dalam pelbagai seginya. Bahasa Lio juga menjadi sarana pengungkap seni sastra dan budaya Lio, dan menjadi ciri pembeda jati diri Orang Lio dengan etnik- etnik lainnya di Flores dan Indonesia umumnya. Seperti disingggung di atas, bahasa Lio pula yang membedakan Orang Lio dengan Orang Sikka, Orang Ende, Orang Nagekeo, Orang Ngada, Orang Manggarai, Orang Lamaholot, dan Orang Riung. Sebagaimana telah disinggung di atas, diinformasikan bahwa sesungguhnya secara linguistis, guyub tutur dan penutur bahasa Lio terdapat pula di bagian barat Kabupaten Sikka, khususnya di Kecamatan Paga dan Mego. Penduduk Kabupaten Sikka di kedua kecamatan itu, menguasai bahasa Lio dialek Paga-Mbengu dengan ciri suprasegmentalnya yang khas. Seain itu di antara mereka juga ada yang menguasai dan menggunakan bahasa Sikka, dan tentunya bahasa Indonesia. Sebagai warisan sejarah dan elemen budaya masa lalu, bahasa Lio telah hidup dan berfungsi bagi guyub tuturnya dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat dan kebudayaan etnik Lio sejak ratusan bahkan ribuan tahuan silam. Sistem kemasyarakatan, adat istiadat, tradisi, dan kebudayaan Lio diungkapkan, diwadahi, dan diwariskan antargenerasi dengan dan dalam bahasa Lio. Lagu-lagu rakyat atau musik etnik Lio yang cukup terkenal itu bersyairkan bahasa Lio. Demikian juga teks-teks sastra lisan dengan paralelisme semantik sebagai pilar estetik dalam berekspresi secara verbal, merupakan produk-produk seni-budaya bernilai tinggi. Karya sastra lisan yang 6 bernilai tinggi dan tertuang dalam mitos Ine Pare ‘Dewi Padi’, merupakan pusat dan puncak adicita ideology etnik Lio yang hingga kini masih terawat kuat dalam bahasa dan budaya agraris komunitas etnik Lio. Mitos Ine Pare ‘Dewi Padi’ adalah sastra suci bagi masyarakat Lio terutama dalam konteks perladangan asli. Peredaran waktu dan dinamika ruang telah pula mengubah banyak segi kebudayaan Lio. Jikalau sebelum masa Kemerdekaan 1940an hanya ada sara Lio bahasa Lio dan sara Melaju bahasa Melayu, pasca Kemerdekaan Indonesia memang mengubah lingkungan kebahasaan bahasa Lio. Masyarakat etnik Lio yang semula umumnya ekabahasa yang secara terbatas didampingi sara Melaju ‘bahasa Melayu’ di kalangan tertentu khususnya kaum terdidik kala itu, perubahan lingkungan kebahasaan pun semakin meluas dan mendalam. Meluas, karena semakin banyak pembelajar dan pengguna bahasa Indonesia khususnya etnik Lio, dan semakin mendalam karena banyak segi kehidupan diwahanai oleh bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa nasional, dan bahasa Negara. Pembelajaran, penggunaan, pemerluasan wilayah pakai bahasa nasional, bahasa resmi bahasa Indonesia sebagai penyatu bangsa Indonesia yang majemuk dan posisi itu jelas menggeser kedudukan bahasa Lio. Jikalau pada masa lalu bahasa Lio menjadi bahasa ibu sebagian besar etnik Lio di kota, terutama di pedesaan, setakat ini, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa ibu bagi sebagian etnik Lio. Seiring dengan itu, semakin terpinggir pula kedudukan dan semakin menyusut pula fungsi sosiokultural bahasa Lio lihat Mbete, 1994. Kehadiran bahasa Indonesia juga menandai masuknya kebudayaan Indonesia dalam pelbagai aspeknya. Pola pikir, cara dan gaya hidup, mata pencaharian, pola konsumsi berubah dan berkembang. Budaya agraris dengan mengandalkan pengolahan ladang berpindah mulai menipis mengiringi pola pengihidupan dengan tanaman 7 perdagangan yang lebih menjanjikan seperti kakao, cengkeh, fanili, kemiri, dan sebagainya. Mata pencaharian baru di bidang jasa lebih dipilih oleh generasi muda. Berladang dengan aneka tanaman tumpangsari asli dengan padi lokal sebagai primadona budaya agraris etnik Lio semakin terdesak. Seiring dengan itu, lahan untuk padi lokal dengan aneka tanaman pangan asli, semakin sempit. Kerajinan dan budaya tenun ikat semakin kurang dipilih oleh generasi muda putri. Demikian pula kerajinan keramik atau gerabah yang mengolah sumber daya tanah liat semakin ditinggalkan pula, hanya ditekuni oleh segelintir perempuan tua, sedangkan kaum wanita muda sudah meninggalkan profesi itu. Bahasa adalah gambaran atau representasi lingkungan tempat bahasa hidup, dalam arti hidup dalam manusia. Dengan demikian, bahasa Lio dalam subsistem leksikon, teks, dan wacana menggambarkan pula kenyataan yang ada di sekitarnya, baik kenyataan sosial maupun kenyataan lingkungan hidupnya. Kekayaan leksikon khusus, merepresentasikan lingkungan alam dan budaya yang beragam pula. Khazanah leksikon bahasa Lio tentang keberagaman jenis, ukuran, bentuk ikan-ikan laut dapat ditemukan di lingkungan pesisir atau daerah pantai, baik di pantai selatan Kabupaten Ende dan Nage maupun di Pantai Utara Kabupaten Ende. Berdasarkan sifat laut selatan yang “garang”, oleh guyub tutur bahasa Lio dan dialek Ende, pantai selatan disebut Ma’u Haki ‘laut jantan’, sedangkan pantai utara yang relatif lebih tenang ombaknya disebut Ma’u Fai, ‘laut betina’. Seperti halnya bahasa-bahasa lokal dengan kandungan lokalitasnya di pelbagai guyub tutur dan guyub etnik di Indonesia, bahasa Lio yang hidup sejak berabad-abad hingga dewasa ini, merepresentasikan hubungan timbal balik bahasa itu dengan lingkungan, baik dalam skala buana agung, mikrokosmos, maupun dalam skala 8 buana alit, mikrokosmos. Ikhwal adanya hubungan timbal balik itu sesungguhnya terekam dan terwadahkan dalam bahasa Lio karena pada hakikatnya bahasa adalah “wadah atau sarang kebudayaan”. Termasuk ke dalamnya adalah kategori produk budaya material yang bersumber pada alam di lingkungannya. Budaya bahari berbasis laut tentu berbeda dengan budaya perladangan berbasis lahan atau tanah garapan dengan aneka tumbuhan. Dalam bahasa lah tersimpan kekayaan makna dan nilai kehidupan insani tersimpan. Akan tetapi, perjalanan waktu, dinamika kebudayaan, perubahan lingkungan alami dan sosial, telah berdampak pada perubahan bahasa Lio sebagai wahana budaya etnik Lio. Generasi muda guyub etnik dan guyub tutur bahasa Lio sebagai ahli waris sudah “meninggalkan” bahasa lokal warisan leluhur mereka. Generasi muda bahkan sudah mulai meninggalkan tradisi. 1.2 Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas berikut dirumuskan masalah yang dikaji dalam penelitian ini. a. Bagaimanakah gambaran tentang penggunaan bahasa Lio dalam kehidupan dan ranah keluarga atau rumah tangga? b. Bagaimanakah gambaran tentang pemakaian bahasa Lio dalam ranah ketetanggaan? c. Bagaimanakah gambaran tentang pemakaian bahasa Lio dalam situasi resmi dan tidak remis dalam skala nasional dan keindonesiaan? d. Bagaimanakah gambaran tentang pemakaian bahasa Lio dalam kegiatan adat istiadat dan situasi resmi keadatan, baik dalam pernikahan, pendirian rumah adat, maupun ritual-ritual dalam siklus perladangan? 9 e. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan terpinggir dan menyusutnya fungsi sosial budaya bahasa Lio? Pemakaian bahasa adalah perilaku sosial yang berkaitan dengan fungsi-fungsi sosial budaya yang diemban oleh bahasa yang hidup, termasuk bahasa Lio, Flores. Bahasa, termasuk ragam fungsional dan ragam sosial mana yang dipakai, sangat tergantung pada sejumlah faktor, baik faktor atau dimensi ruang dengan konteks situasinya, maupun, dan terutama dimensi sosial kultural yaitu mitra tutur, topik tutur, dan sejumlah faktor terkait lainnya. 1.3 Tujuan Tujuan penelitian pemakaian bahasa Lio dalam konteks sosial kultural ini dipilah menjadi dua. Yang pertama, tujuan khusus yang berkaitan dengan fokus penelitian ini sebagaimana terumus dalam masalah yang diajukan. Yang kedua adalah tujuan umum yang berkaitan dengan kondisi kehidupan bahasa Lio dan bahasa-bahaa lokal lainnya di Indonesia. Uraian secara singkat tentang kedua tujuan itu dapat disimak di bawah ini. 1.3. 1 Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk memperoleh fakta dan informasi tentang penggunaan bahasa dalam sejumlah ranah pakai sebagaimana tertulis dalam masalah yang diformulasikan di atas. Pemerolehan informasi dan fakta tentang penggunaan bahasa dalam kehidupan keluarga atau rumah tangga, dalam hubungan dan interaksi verbal dengan tetangga, di tempat-tempat umum, dan dalam ranah-ranah adat 10 atau ranah-ranah tradisional, merupakan tujuan khusus yang dicapai dalam penelitian sosiolinguistik ini. 1. 3. 2 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini juga diupayakan untuk memperoleh pemahaman tentang dinamika penggunaan bahasa Lio, kebertahanan, dan dinamika sosial-budaya serta tradisi berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat etnik Lio, Flores. Selain itu, penelitian ini juga ditujukan untuk memperoleh fakta dan informasi tentang dampak- dampak perubahan, baik yang berdimensi positif maupun yang negatif yang memengaruhi kebertahanan dan atau penyusutan fungsi sosial budaya bahasa Lio. 1.4 Manfaat Manfaat penelitian ini pun dipilah menjadi dua. Pertama manfaat teoretis dan kedua manfaat praktis. Uraian singkat manfaat-manfaat itu dapat disimak di bawah ini. 1. 4. 1 Manfaat Teoretis Manfaat teoretis jelas terkandung di dalam penelitian ini. Sebagaimana diketahui, sebagai pendekatan dan kerangka kaji teoretik sosiolinguistik yang bersifat lintas bidang interdisipliner . Dengan demikian, fakta-fakta baru yang khas dan mutakhir tentang kebertahanan dan penyusutan fungsi sosial budaya bahasa Lio diharapkan bermanfaat untuk memperkuat dan mengembangkan konsep-konsep kerangka teoretik sosiolinguistik. Kajian sosiolinguistik kritis, terutama tentang dinamika fungsi bahasa juga bermanfaat untuk itu. 11 3.2 Manfaat Praktis Fakta dan informasi tentang penggunaan bahasa dalam kehidupan sosial budaya, dalam hal fungsi sosial budaya bahasa Lio, bermanfaat bagi masyarakat pemilik dan pewaris bahasa Lio, khususnya bagi generasi mudanya. Bagi generasi muda penutur bahasa Lio, yang diharapkan masih menjadi bahasa ibu bagi mereka, fakta dan informasi sosiolinguistik ini bermanfaat dalam rangka pembinaan bahasa Lio, khususnya pembinaan penggunaan bahasa Lio bagi generasi muda Lio. Sesuai dengan fungsi bahasa Lio sebagai penanda jati diri dan sumber daya kebudayaan lokal, pembinaan pemakainya melalui jalur formal merupakan upaya pemertahan bahasa Lio agar terhindar dari ancaman kepunahan. Fakta dan informasi tentang penggunaan bahasa Lio, khususnya tentang fakta penyusutan fungsinya, jelas berkaitan dengan upaya upaya elaborasi, kodifikasi, dan penataan korpus kebahasaan yang menjadi inti unruk pembelajaran sebagai strategi implementasi. Dengan demikian, perencanaan bahasa language planning , bahkan rekayasa bahasa language engineering , dan tentunya pemberdayaan bahasa language empowering , menjadi keniscayaan dan prioritas tertinggi jika kelestarian bahasa Lio sebagai salah satu bahasa daerah dalam kaitan dengan kekayaan budaya bangsa, niscaya upaya-upaya itu menjadi tanda kepedulian. Sudah tentu kepedulian dan langkah strategis kebahasaan itu, tidaklah hanya pihak Pemerintah Daerah di era otonomi daerah ini, melainkan terutama para ahli waris bahasa Lio itu sendiri. 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI, DAN MODEL