GUYUB TUTUR, PENGGUAAN, DAN DINAMIKA SOSIAL- BUDAYA

19

BAB IV GUYUB TUTUR, PENGGUAAN, DAN DINAMIKA SOSIAL- BUDAYA

BAHASA LIO, FLORES 4.1 Guyub Tutur Bahasa Lio Sebelum menguiraikan ikhwal guyub tutur, paparan singkat tentang bahasa Lio disajikan dalam tulisan ini. Bahasa Lio tergolong bahasa vokalis setelah mengalami perubahan atau penanggalan konsonan protobahasa Flores lihat Fernandes, 1995; Mbete, 1999 pada posisi akhir. Gejala apokope atau penghilangan konsonan pada akhir kata itu, secara genetis menjadi evidensi atau bukti kualitatif yang memperkuat hubungan kekerabatan erat bahasa-baahsa di Flores. BAhasa Manggarai, bahasa Ngadha, bahasa Nagekeo, bahasa Riung, bahasa Lio, bahasa Sikka, bahasa Lamaholot di Flores adalah bahasa-bahasa vokalis. Kendati ada konsonan pada akhir kata, konsonan-konsonan sengau n, ng, r saja. Selanjutya, korespondensi bunyi antara bahasa Lio dan Dialek Ende tampak pada hadirnya pranasal sebagai contoh: bahasa Lio: bebo , dialek Ende mbembo ‘tidak tahu’. Sebagaimana telah disinggung pada bab pendahuluan, khususnya pada uraian latar belakang, penelitian ini menjadikan guyub tutur bahasa Lio, menjadi sasaran utama sekaligus sumber informasi dan sumber data primer penelitian yamg ebrtajuk ekolinguistik bahasa Lio. Penutur bahasa Lio memang lebih banyak daripada bahasa atau dialek Ended dan Nage di bagian barat wilayah Kabupaten Ende. Wilayah pakai bahasa Lio pun melampau batas-batas administrasi Kabupaten Ende karena meluas hingga di dua kecamatan yang menjadi wilayah Kabupaten Sikka, Flores yakni Kecamatan Paga dan Kecamatan Mego. Tuturan Lio dan batas wilayah pakainya dengan 20 bahasa Sikka bahkan “dibelah” secara ekologis oleh bentaran Sungai dan wilayah Nangablo di Sikka Barat. Bahasa Lio memang tidak mengenal dan tidak memiliki tingkat-tingkat penggunaan bahasa yang diglosik yang berkontras sebagai ragam halus atau ragam tinggi dan kasar atau sosiolek dalam menata penggunaan bahasa dalam konteks hubungan sosial yang berjenjang atau hirarkis. Kendatipun demikian, bentuk hormat dengan orangtua, orang- orang tua, pemimpin, dan pejabat, termasuk tetua-tetua adat diwarnai secara suprasegmental dan sikap ragawi kinestik yang juga honorifik. Variasi atau ragam bahasa Lio bersifat fungsional-kontekstual. Fungsi untuk menandai dan memaknai pelbagai kegiatan adat dan tradisi dalam sejumlah lini kehidupan tradisional berbasis keetnikan mengahsilkan ragam bahasa Lio yang disebut sebagai sara waga . Dalam guyub tutur bahasa Lio, juga dalam dialek Ende, dan dialek Nage di Kabupaten Ende, kata ‘bahasa’ dipadankan dengan sara . Bahasa Lio dipadankan dengan sara Lio , bahasadialek Ende sara Ende , bahasadialek Nage, sara Nage , bahasa Sikka, sara Sikka , dan seterusnya. Ini berarti konsep bahasa yang hakiki bagi guyub tutur bahasa Lio adalah makna, nilai, dan fungsi penggunaannya, atau cara berkomunikasi. Secara etnografik konsep bahasa menjadi pangkal kebermaknaannya. Secara morfologik, sara waga dapat dijelaskan kembali dalam konteks masyarakat dan kebudayaan Lio, Flores. Ragam bahasa sehari-hari memang berbeda dengan ragam sara waga . Sara waga sebagai salah satu ragam atau variasi fungsional berakarkan kata wangka ‘perahu’. Leksikon wangka ‘perahu’ PAN adalah butir bahasa dan budaya kebaharian para penutur bahasa-bahasa Austronesia. Sebagai elemen budaya kebaharian leksikon wangka ‘perahu’ atau sejenisnya memang menuntut keseimbangan agar tidak tenggelam. Keseimbangan itu secara verbal diungkapkan dalam sara waga yang 21 memang berpakemkan kesepadanan makna, pengualangan yang pada hakikatnya bermakna maksud yang sama. Sebagai contoh dapat disimak sara waga berikut ini. Boka ngere khi ‘merebah bagai ilalang’ bere ngere ae ‘mengalir bagai air’ Ungkapan tersebut bermakna budaya yakni warga guyub tutur bahasa Lio harus serempak “jatuh merebah bersama atau kompak ibarat alang-alang yang diterpa angin kencang puting beliung. Kekompakan itu juga ibarat air yang cepat mengalir begitu saja, lancer dan tanoa dalih bagaikan air yang cepat mengalir kencang di kali yang terjal sebagaimana tersirat dalam bere ngere ae. Ungkapan verbal yang padat dan sarat makna dan nilai tradisi etnik Lio itu, adalah ccontoh bentuk paralelisme semantic sebagai varian atau ragam fungsional dalam adat dan budaya etnik Lio. Sesuai dengan pola strukturnya yang menggunalan pakem kesepadanan makna semantic parallelism sebagaimana pola penggunaan bahasa dalam konteks vudaya dan aneka ritual yang ada di sejumlah guyub etnik di Nusa Tenggara Timur khususnya Fox, 2000, dan Indonesia bagian tengah dan timur umumnya. Hal ini dapat dibandinglan dengan pola dan pakem berpantun pada etnik-etnik Melayu, Minang, Aceh, Lampung, dan sebagainya. Sara waga masih hidup dan berfungsi. Dikaitkan dengan seni berbahasa atau sastra, dapat dikatakan bahwa sara waga adalah sastra lisan atau tradisi lisan yang indah dalam konteks penggunaan bahasa Lio dalam kehidupan sosialbudaya sebagai “rumah atau istana tempat bahasa Lio hidup”. Sara waga memang menjadikan semua ritual adat dalam siklus hidup manusia dan perladangan sebagai basis dan rumah makna kultural bahasa Lio, sebagaimana juga bahasa-bahasa lokal lainnya. Seni berbicara atau cara berkomunikasi verbal dengan pola kesepadanan makna maksud itu dtemukan secara kontekstual dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam 22 kegiatan adat dan budaya. Dalam rangkaian pernikahan, sejak pranikah dengan tahapan tu ngawu ‘belis’ dan wuru mana ‘ikatan kekerabatan’ sara waga selalu digunakan secara fungsional. Patut dijelaskan pula bahwa tidak banyak orang atau warga guyub tutur bahasa Lio berusia tua yang mahir berbahasa sara waga . Hanya segelintir penutur tua tertentu, yang karena bakat berbahasa Lo sara waga sajalah yang mahir menggunakannya. Keterampilan itu dimiliki secara otodidak. Penutur yang mahir berbahasa sara waga itulah yang umumnya dijadikan sebagai juru bicara dalam pelbagai upacara adat dan tradisi yang dicontohkan di atas. 4.2 Lingkungan Hidup yang Natural, Kultural, dan Sosial Bahasa, budaya, masyarakat, dan tentunya ruang atau tempat bahasa, budaya, masyarakat memanfaatkannya untuk hidup, mengalami perubahan mengiringi perjalanan waktu. Dimensi ruang dengan segala isinya, termasuk manusia dengan kebudayaan dan bahasanya, semuanya mengalami perubahan kendati dengan irama dan cakupan yang sangat beragam. Sudah tentu perubahan ruang atau lingkungan alam, yang di dalamnya juga bersisi manusia, masyarakat, dan kebudayaannya itu, senantiasa berubah. Perubahan lingkungan hidup yang alamiah yang dikarenakan oleh bencana alam gempa bumi vulkanis dan tekntonis, tsunami, longsor, kekeringan, berdampak pada kondisi lingkungan dan manusia di dalamnya. Sebagaimana halnya di belahan Bumi dan di pelbagai pelosok Tanah Air, Pulau Flores umumnya dan daerah Kabupaten Ende khususnya adalah lingkungan ragawi yang secara nisbih memiliki kesamaan topografi. Gunung-gemunung dan bukit- bebukitan dengan lembah yang curam adalah wajah yang sangat menonjol wilayah negeri ini. Sebagai pembanding, Pulau Sumba dan Pulau Timor memang bergunung- 23 gunung dan berbukit- bukit namun tidaklah “sekaya dan sepadat” alam Pulau Flores, dan Kabupaten Endeh khususnya. Dataran rendah sangat sedikit. Bebukitan dan gemunung yang kaya itu pula ruang space untuk hidup manusia khususnya menjadi lebih banyak. Folres saja memiliki lebih dari tujuh gunung berapi selain puluhan gunung tidak berapi. Sebagai wilayah dengan kekayaan gunung berapi yang cukup banyak, ada di setiap kabupaten, daratan Flores dengan curah hujan selama empat bulan, Desember- Maret, secara umum cukup subur. Aneka jenis atau spesies tumbuhan dan hewan ada di wilayah ini. Demikian pula, Flores yang dikelilingi dengan laut dan selat, perairan yang ada di sekitarnya menyimpak kekayaan ikan dan binatang laut. Baik darat maupun lautan, Pulau Flores, termasuk wilayah Kabupaten Ende yang menjadi tempat hidup bahasa Lio dengan kebudayaan dan masyarakatnya, memiliki kekayaan sumber daya alam darat dan laut yang memadai. Dengan demikian, relasi para warga guyub tutur bahasa-bahasa lokal di Flores berinteraksi dan berelasi dengan aneka fauna dang flora, selain dengan segi-segi topografi Flores. Pemahaman dan pengetahuan mereka tentang pelbagai entitas yang di sekitar mereka diberi nama. Secara khusus nama-nama gunung dan lembah-lembah yang unik, demikian juga nama pantai dan muara, diberi nama. Sebagai bangsa yang pada mula dan muasalnya adalah bangsa pelaut, budaya kebaharian sesungguhnya cukup kuat melekat dan masih tetap hidup hingga setakat ini khususnya di kalangan masyarakat pesisir, sebagai contoh betapa hebatnya masyarakat Lamalera, Lembata menguasai alam laut dengan budaya kebaharian mereka yang sudah terkenal di seluruh dunia. Ketangkasan menangka sang raja laut, Ikan Paus, adalah prestasi yang menjadi ikon para guyub tutur bahsa dan budaya Lamalera. Ritual yang mengantar dan menopang kekuatan ada lah kekuatan untuk “menguasai” ikan paus dan lingkungan lautan yang ganas. 24 4.3 Dinamika Lingkungan, Sosial Budaya, dan Bahasa Perubahan lingkungan, baik alam maupun kebudayaan, termasuk situasi kebahasaan memang menandai dinamika kehidupan yang ada di Indonesia, di Pulau Flores, dan di Kabupaten Ende. Secara umum, alam yang pada beberapa tahun silam lebih didominasi oleh kehijauan alamiah, di sisi kegersangan yang alamiah pula, kini mulai berubah. Jikalau masa lalu kehijauan didominasi oleh tumbuhan tropis dengan vegetasinya yang beraneka ragam dan yang endemis, sejak beberapa puluh tahun silam sudah mengalami perubahan yang cukup bermakna. Tanaman kemiri adalah tanaman yang terwaris sejak lama, pada era tahun 70an bertambah banyak melalui budidaya masal . Lebih “dahsyat” lagi. Tanaman perdagangan cengkeh dan kakao telah mengubah banyak lahan, yang semula dihuni oleh tanaman padi ladang, jagung, umbi-umbian, dan sebagainya, kini justru telah didominasi oleh cengkeh dan kakao, di sisi tanaman baru seperti durian, salak, dan sebagainya. Perubahan lingkungan patut dijadikan pertimbangan dan kajian. Bahasa hanya hidup dengan dan dalam lingkungan masyarakat pemilik bahasa, Bahasa juga hanya hidup dalam kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Selain itu bahasa juga hidup dengan dan dalam lingkungan alam kendati hanya dapat ditelusuri melalui leksikon Haugen, 1992. Akan tetapi karena bahasa adalah representasi tentang dunia yang terekam secara verbal dan dalam sistem leksikon bahkan juga penggunaan bahasa green grammar merupakan representasi hubungan antra manusia dan lingkungan, baik hubungan yang mendukung kelestarian lingkungan, maupun sebaliknya hubungan yang justru merusak keharmonisan di suatu lingkungan alam dan manusia. 25

BAB V PENGGUNAAN BAHASA LIO DAN BAHASA LAIN