1980 dan 2000 Latar Belakang Masalah

menonjolkan budaya mereka dalam masyarakat. Hal ini yang sering memicu terjadinya konflik antar etnis. Kota Medan sebagai salah satu kota metropolitan didiami oleh berbagai etnis. Mayoritas penduduk Kota Medan sekarang ialah suku Jawa dan suku-suku dari Tapanuli Batak, Mandailing, Karo. Kota Medan banyak pula orang keturunan India dan Tionghoa. Medan salah satu kota di Indonesia yang memiliki populasi orang Tionghoa cukup banyak. Tabel 1.1 Perbandingan etnis di Kota Medan pada tahun

1930, 1980 dan 2000

No Etnis Tahun 1930 Tahun1980 Tahun 2000 1 Jawa 24,89 29,41 33,03 2 Batak 2,93 14,11 20,93 3 Tionghoa 35,63 12,8 10,65 4 Mandailing 6,12 11,91 9,36 5 Minangkabau 7,29 10,93 8,6 6 Melayu 7,06 8,57 6,59 7 Karo 0,19 3,99 4,10 8 Aceh -- 2,19 2,78 9 Sunda 1,58 1,90 -- 10 Lain-lain 14,31 4,13 3,95 Sumber: 1930 dan 1980: Usman Pelly, 1983; 2000: BPS Sumut Catatan: Data BPS Sumut tidak menyenaraikan Batak sebagai suku bangsa, total Simalungun 0,69, TapanuliToba 19,21, Pakpak 0,34, dan Nias 0,69 adalah 20,93 Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik di atas menggambarkan Kota Medan sebagai kota multietnis. Kondisi ini memunculkan potensi untuk terjadinya Universitas Sumatera Utara konflik di kota ini, terutama berkaitan dengan pribumi dan non pribumi. Pribumi berarti penghuni asli, orang yang berasal dari tempat yang bersangkutan, dalam hal ini adalah nusantara atau lebih kita kenal Indonesia. Sedangkan di luar dari definisi tersebut, kita mengenal mereka sebagai non pribumi. Polemik sering sekali terjadi antara pribumi dan non pribumi di wilayah nusantara, khusus yang berkaitan dengan etnis Tionghoa. Kita dapat melihat sejarah polemik tersebut dari zaman kolonial hingga saat ini. Kebijakan pemerintah Indonesia menyangkut persoalan etnis Tionghoa dari masa ke masa, terutama masa Orde Baru dengan proyek kebijakan asimilasi dan masa pasca rezim Soeharto ditandai dengan penghapusan pilar-pilar kebudayaan Tionghoa termasuk penutupan sekolah Tionghoa, pembubaran organisasi etnis Tionghoa dan pemberedelan media massa Tionghoa serta simbol-simbol dan adat-istiadat etnis Tionghoa. Pada waktu itu, sejumlah orang Tionghoa telah dibaur dan tidak merasa sebagai Tionghoa lagi. Kelompok etnis Tionghoa tidak lenyap dan jumlahnya masih sangat besar di Indonesia. Kemudian dengan berubahnya kebijakan pemerintah menjadi lebih akomodatif, kebangkitan identitas diri etnis Tionghoa bukan hal yang tidak mungkin. Kesulitan juga dirasakan oleh etnis Tionghoa yaitu tidak dapat diterima oleh kaum nasionalis Indonesia sebagai bagian dari Indonesia. Masyarakat kolonial membeda-bedakan penduduk Indonesia berdasarkan rassuku bangsa yang mempengaruhi pemikiran nasionalis Indonesia, sehingga mengakibatkan terpisahnya peranakan Tionghoa dari pergerakan nasional Indonesia. Nasionalisme Tionghoa timbul lebih awal dari nasionalisme Indonesia. Universitas Sumatera Utara Nasionalisme Tionghoa termasuk peranakan, tumbuh terpisah dari dan dikehendaki pemerintah Indonesia rezim Orde Baru dengan kebijakan asimilasinya. Di satu sisi kecenderungan untuk mempertahankan identitas etnisnya terdapat pada sebagian warga etnis Tionghoa, sedangkan di sisi lain, mereka telah merasa menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Nasionalisme Indonesia dikonstruksi berdasarkan konsep “kepribumian” dan etnis Tionghoa dikategorikan sebagai orang asing yang dianggap bukan merupakan bagian dari Indonesia. Nasionalis Indonesia didefinisikan sebagai “milik” bangsa pribumi, yaitu kelompok yang mempunyai daerah mereka sendiri. Selanjutnya, konsep pribumi sebagai tuan rumah telah berakar di bumi Indonesia. Etnis Tionghoa dianggap sebagai non-pribumi dan pendatang baru yang tidak bisa diterima sebagai suku bangsa sebelum mereka mengasimilasi diri. Pribumi memiliki persepsi bahwa etnis Tionghoa merupakan sebuah kelompok etnis yang menduduki tangga ekonomi lebih tinggi dan terpisah dari pribumi. Implikasinya, konsep masyarakat majemuk yang menekankan pada pentingnya kesukubangsaan, akan selalu menempatkan posisi etnis Tionghoa sebagai orang asing, walaupun mereka tersebut berstatus WNI. Secara tidak langsung, etnis Tionghoa yang non-pribumi itu harus membaur menjadi pribumi kalau ingin diterima sebagai orang Indonesia. Pada rezim Soeharto, pilar-pilar kebudayaan Tionghoa dipulihkan kembali, pembukaan sekolah Tionghoa ala pemerintahan Sukarno, meskipun masih tidak diizinkan kebebasan menggunakan bahasa Tionghoa, bahkan perayaan festival etnis Tionghoa juga telah diizinkan oleh negara. Walaupun diskriminasi etnis belum terkikis habis, namun minoritas etnis mendapat jaminan, Universitas Sumatera Utara sekurang-kurangnya dari sudut hukum, dan seiring dengan menguatnya persoalan identitas ke-etnis-an, nasionalisme bisa terancam menjadi nasionalisme suku bangsa yang sempit. Persoalan mengenai keberadaan etnis Tionghoa menarik minat banyak peneliti terutama di Kota Medan. Penelitian Agustrisno 2007: 47, yang berjudul “Respon Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan”, menyatakan bahwa: “Didapati bahwa integrasi sosial antara etnis di Kota Medan masih diwarnai adanya unsur-unsur prasangka sosial, streotip sehingga menimbulkan jarak sosial dan ini menjadi penghambat dalam pembangunan di Kota Medan” Fenomena ini pernah terjadi pada tahun 1998 di mana akibat reformasi menjatuhkan Presiden Soeharto, etnis Tionghoa di Kota Medan menjadi korban pengrusakan serta penjarahan dari kaum pribumi. Penelitian lain yang berfokus pada etnis Tionghoa di Kota Medan yang dilakukan Subanindyo Hadiluwih 2006: 26 yang berjudul “Konflik Etnis di Indonesia : Penelitian Kasus di Kota Medan” menyatakan bahwa: “Tidak terdapat dominasi etnis dan budaya tertentu dan fenomena berbagai budaya di Medan Sumatera Utara merupakan suatu hal yang unik. Budaya asli seperti Melayu dan Batak Karo berkecenderungan menghilang. Komunitas etnis Tionghoa dan atau keturunannya sebenarnya terbentuk kemudian. Meskipun masyarakat etnis Tionghoa tidak juga dominan, tetapi mereka mampu membentuk budaya yang signifikan pengaruhnya bagi masyarakat Kota Medan. Interaksi antara etnis Tionghoa dengan pribumi masih sukar berlangsung hingga kini di Medan. Ciri-ciri nyata ialah adanya kecenderungan yang kuat daripada setiap etnis untuk mempertahankan identitasnya seperti dalam penggunaan bahasa daerah apabila berjumpa dengan kelompok etnisnya, merasa etnisnya lebih baik berbanding etnis lain. Masing-masing etnis berkecenderungan memandang norma dan nilai-nilai kelompok budayanya organisasi sosialnya sebagai sesuatu yang mutlak dan dapat digunakan sebagai acuan untuk mengukur dan bertindak terhadap kelompok kebudayaan lain”. Universitas Sumatera Utara Etnis Tionghoa telah bermukim di kepulauan Nusantara dan sebagian besar di antara mereka telah hidup seperti etnis lain serta melangsungkan aktivitas budayanya dan di setiap daerah mereka membaur dengan kebudayaan setempat. Namun dalam perjalanan waktu itu mereka senantiasa mengalami berbagai gejolak sosial yang membuat mereka selalu melakukan perubahan dalam kehidupannya agar bisa diterima secara sosial, budaya dan politik. Menurut Suryadinata pada era akhir Orde Lama dan masa berkuasanya Orde Baru ada lebih 60 peraturan dan perundang-undangan yang telah membuat etnis Tionghoa merasa tidak nyaman sebagai warga negara karena undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut berbau diskriminasi rasial Bahrum,2008:3. Peraturan dan perundang-undangan itu telah melakukan pelanggaran dan pembatasan ruang gerak mereka dalam menjalani kehidupannya. Salah satu peraturan yang membatasi ruang gerak Etnis Tionghoa adalah Keputusan Presiden No. 127UKep121966 tentang peraturan orang Cina atau Tionghoa diharuskan mengganti nama lahir mereka yang menggunakan nama Cina atau Tionghoa menjadi nama-nama yang mengindonesia, seperti Darmawan, Wijaya, Sentosa, Kurniawan, Setiawan, Jayasuprana dan Suparman. Selain itu peraturan pemerintah No 10 Tahun 1959 yang melarang etnis Tionghoa tinggal jauh di pedalaman dan harus berada di kota, sehingga sangat jarang ditemukan etnis Tionghoa menjadi petani atau nelayan di pedalaman. Etnis Tionghoa terkonsentrasi di kota-kota besar menjadi pedagang dan pengusaha dalam berbagai bidang. Etnis Tionghoa di Kota Medan sering bermukim pada satu wilayah saja. Seperti di Taman Mega Emas yang berada di kawasan Asia, Komplek Perumahan Universitas Sumatera Utara Cemara Hijau di kawasan Pulau Brayan, Komplek perumahan Sunggal di Kampung Lalang dan Komplek perumahan Setia Budi Indah di Tanjung Sari observasi 2013. Pengelompokkan tempat tinggal pada satu wilayah ini dimungkinkan karena etnis Tionghoa masih sulit beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Namun, fakta ini tidak menutup kemungkinan etnis Tionghoa untuk berbaur dengan penduduk Pribumi. Komplek Puri Katelia Indah di Kecamatan Medan Johor misalnya, etnis Tionghoa pada wilayah komplek ini justru menjadi minoritas. Data yang dikeluarkan pengelola komplek menyebutkan bahwa 15 keluarga dari 60 keluarga yang mendiami komplek tersebut adalah etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi di komplek Puri Katelia Indah ini sudah terbiasa hidup berdampingan. Pada beberapa kegiatan keagamaan, hampir setiap warga komplek ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti ‘proses komunikasi antar budaya etnis Tionghoa dan pribumi pada komplek Puri Katelia Indah Kecamatan Medan Johor”.

1.2 Perumusan Masalah