lain, 1 orientasi siswa pada masalah, 2 mengorganisasi siswa untuk belajar, 3 Memandu menyelidiki secara individual atau kelompok, 4 mengembangkan dan
menyajikan hasil karya, dan 5 menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Tahap-tahap pelaksanaan problem-based learning seperti yang disajikan
dalam tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Fase – Fase Problem-Based Learning Fase-fase
Problem-Based Learning Perilaku guru
1. Orientasi siswa pada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang diperlukan dan
memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan.
2. Mengorganisasi siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut
3. Membimbing penyelidikan individual
maupun kelompok Guru mendorong siswa untuk
mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk
mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
4. Mengembangkan dan menyajikan
hasil karya Guru membantu siswa dalam merencanakan
dan menyiapkan karya sesuai seperti laporan, dan membantu mereka untuk berbagi tugas
dengan temannya
5. Menganalisis dan mengevaluasi proses
pemecahan masalah Membantu siswa untuk melakukan refleksi
atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses yang mereka gunakan
Berdasarkan pernyataan-pernyataan sebelumnya dapat didefinisikan bahwa model problem-based learning merupakan suatu inovasi model pembelajaran yang
menuntut siswa menjadi pusat perhatian dalam proses pembelajaran. Tahapan pembelajaran menggunakan problem-based learning adalah sebagai berikut: Guru
memberikan permasalahan kepada siswa. 1. Siswa berkelompok untuk menganalisis dan merumuskan permasalahan.
2. Siswa berdiskusi dan mencari informasi untuk mendapatkan solusi dari per- masalahan yang dihadapi.
3. Siswa mempresentasikan solusi permasalahan atau hasil diskusinya. 4. Siswa melakukan refleksi dan evaluasi bersama guru dan siswa lainnya.
Menurut Trianto 2009:96 kegiatan pembelajaran berbasis masalah problem- based learning memiliki beberapa kelebihan, Kelebihan pembelajaran berbasis
masalah sebagai model pembelajaran yaitu konsep sesuai kebutuhan siswa, rea- listik dengan kebutuhan siswa, pemahaman akan suatu konsep menjadi kuat, dan
memupuk kemampuan pemecahan masalah.
3. Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang sering digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Metode yang biasa digunakan adalah metode
ceramah. Dimana kegiatan pembelajaran ini berpusat pada guru dan komunikasi yang terjadi searah. Guru mendominasi kegiatan belajar mengajar. Definisi dan
rumus diberikan langsung oleh guru dan diberitahukannya apa yang harus di- kerjakan dan bagaimana menyimpulkanya sehingga siswa tidak dapat mengem-
bangkan ide-ide matematisnya.
Dalam model konvensional guru dijadikan sebagai pusat pembelajaran teacher center. Sanjaya 2009: 17 mengungkapkan bahwa model konvensional me-
rupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada guru. Menurut Djamarah dan Zain 2010: 97 alat komunikasi lisan antara guru dengan
anak selama proses pembelajaran dengan metode ceramah telah dipergunakan sejak dahulu. Hal ini terjadi karena menurut Hamiyah dan Jauhar 2014: 166
dengan persiapan yang sederhana, hemat waktu dan tenaga, dengan satu langkah dapat menjangkau semua siswa, dan cukup dilakukan di dalam kelas sehingga
untuk melaksanakan proses pembelajaran banyak guru yang memilih metode ceramah.
Popham dan Baker 2011: 80 menjelaskan bahwa setiap penyajian informasi secara lisan dapat disebut ceramah. Pembelajaran ini tidak dapat dikatakan baik
atau buruk, tetapi penyampaiannya harus dinilai menurut tujuan penggunaanya. Sedangkan kekurangan pembelajaran konvensinal adalah tidak semua siswa
memiliki daya tangkap yang baik, siswa sulit mencerna dan menganalisis materi, tidak memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar mandiri, tujuan pem-
belajaran sering tidak tercapai, menimbulkan rasa bosan sehingga materi sulit diterima, dan menjadikan siswa malas mencari informasi di sumber yang lain
karena siswa berargumen semua materi telah disampaikan oleh guru.
Berdasarkan uraian di atas, model konvensional merupakan suatu model pem- belajaran yang berpusat pada guru teacher center dan siswa berperan pasif
dalam pembelajaran. Model konvensional biasanya memadukan metode ceramah, tanya jawab dan penugasan. Peran siswa dalam pembelajaran ini sangat terbatas
hal ini dikarenakan peran guru yang masih dominan dan siswa yang dibiasakan hanya menjadi pendengar dan penerima informasi. Hal ini tentu akan membatasi
perkembangan kemampuan komunikasi matematis siswa. Kelebihan model konvensional adalah memerlukan waktu dan biaya yang tidak banyak, sedangkan
kelemahannya adalah membuat siswa bosan dan cenderung malas untuk mencoba dan mencari referensi baru.
4. Kemampuan Komunikasi Matematis
Dalam kehidupan, kita tidak akan terlepas dari suatu kegiatan atau proses yang disebut komunikasi. Dimana komunikasi merupakan pengiriman atau penerimaan
pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan dapat dipahami. Menurut Rakhmat 2007: 9 komunikasi adalah peristiwa sosial yang terjadi ke-
tika manusia berinteraksi dengan manusia lain. Manusia dikenal sebagai makhluk sosial, maka sudah sewajarnya bahwa komunikasi dianggap sebagai hal yang
penting dalam menjalani kehidupan. Tanpa adanya proses komunikasi, kehidupan tidak akan berjalan dengan baik. Komunikasi dalam matematika juga sangat
penting. Hal ini terjadi karena komunikasi matematis merupakan alat bantu dalam telekomunikasi pengetahuan matematika, sehingga kemampuan komunikasi mate-
matis penting dalam proses pembelajaran matematika.
Sejumlah pakar mengemukakan beberapa pendapat mereka mengenai kemampuan komunikasi matematis. Misalnya Yeager, A dan Yeager, R 2008 mendefinisikan
kemampuan komunikasi matematis sebagai kemampuan untuk menyampaikan dan menerima pesan matematika baik secara lisan, visual, maupun dalam bentuk
tertulis, dengan menggunakan kosakata matematika yang tepat dan berbagai re- presenttasi yang sesuai, serta memperhatikan kaidah-kaidah matematika. Se-
dangkan Menurut Izzati dan Suryadi 2010, kemampuan komunikasi matematis mencakup dua hal, yakni kemampuan siswa menggunakan matematika sebagai
alat komunikasi bahasa matematika dan kemampuan mengomunikasikan ma- tematika yang dipelajari. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan ko-
munikasi matematis siswa adalah suatu kemampuan siswa dalam mengekspre-
sikan gagasan-gagasan, ide-ide, dan pemahamannya tentang konsep dan proses matematika yang mereka pelajari.
Lebih lanjut NCTMQohar, 2011:46 menyatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis adalah: 1 menyusun dan mengonsolidasikan berpikir matematis siswa
melalui komunikasi, 2 mengomunikasikan pemikiran matematisnya secara koheren dan jelas dengan siswa lainnya atau dengan guru, 3 menganalisis dan
mengevaluasi pemikiran matematis dan strategi-strategi lainnya, 4 menggunakan bahasa matematis untuk menyatakan ide-ide matematik dengan tepat. Kemudian
Sumarmo Suhedi, 2012: 193 menyatakan bahwa kegiatan komuikasi matematis diantaranya adalah: 1 Menyatakan situasi, gambar, diagram atau benda kedalam
bahasa, symbol, dan model matematik, 2 Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematis secara lisan atau tulisan, 3 Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis
tentang matematika, 4 Membaca dengan pemahaman suatu representasi mate- matis tertulis, 5 Membuat konjektur, menyusun argument, merumuskan definisi,
dan generalisasi, 6 Megungkapkan kembali suatu uraian atau paragrap ma- tematika dalam bahasa sendiri. Jadi, kemampuan komunikasi matematis me-
rupakan kemampuan siswa untuk mengungkapkan pemikiran matematisnya dalam bentuk lisan, tulisan maupun gambar dengan bahasa yang baik dan tepat, serta
dapat memahami representasi matematis dengan baik.
Berdasarkan uraian di atas, maka pada penelitian ini kemampuan komunikasi matematis yang diteliti meliputi kemampuan menggambar drawing, menulis
written text, dan ekspresi matematika mathematical expression dengan indikator sebagai berikut.