Ekstraksi Pati Dari Biji Alpukat

(1)

KARYA ILMIAH

EKSTRAKSI PATI DARI BIJI ALPUKAT

O L E H

LINDA MASNIARY LUBIS

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

RINGKASAN

LINDA MASNIARY LUBIS. Ekstraksi Pati dari Biji Alpukat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap mutu pati biji alpukat yang dihasilkan.

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial

dengan 2 faktor. Faktor I adalah Konsentrasi Larutan Natrium Metabisulfit (K)

dengan 5 taraf, yaitu : K1 = 0 ppm, K2 = 750 ppm, K3 = 1500 ppm,

K4 = 2250 ppm, K5 = 3000 ppm. Faktor II adalah Suhu Pengeringan (S) dengan

3 taraf, yaitu : S1 = 50oC, S2 = 60oC, S3 = 70oC. Kombinasi perlakuan

15 dengan 2 ulangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan maka rendemen, kadar air, kadar abu, residu sulfit, dan nilai organoleptik warna pati biji alpukat semakin besar. Semakin tinggi suhu pengeringan maka kadar abu dan residu sulfit pati biji alpukat semakin besar, sedangkan rendemen, kadar air dan nilai organoleptik warna semakin kecil. Interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap rendemen, kadar abu, dan residu sulfit. Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan maka rendemen semakin kecil, sedangkan kadar abu dan residu sulfit semakin besar.

Disimpulkan bahwa untuk menghasilkan pati biji alpukat bermutu baik disarankan merendam biji alpukat dalam natrium metabisulfit dengan konsentrasi


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis haturkan Kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayahNya sehingga tulisan ini dapat diselesaikan.

Tulisan berjudul ”Ekstraksi Pati dari Biji Alpukat” ini merupakan hasil penelitian yang Penulis lakukan pada bulan September 2007 di Laboratorium Biokimia, Fakultas Pertanian, USU Medan.

Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Dekan, Bapak Ketua Departemen Teknologi Pertanian, serta seluruh staf pengajar pada Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian USU yang telah memberikan saran dan arahan kepada Penulis dalam menyusun tulisan ini.

Penulis menyadari tulisan ini masih kurang sempurna, namun demikian Penulis tetap berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Diketahui oleh : Penulis,

Dekan Fakultas Pertanian USU,

Prof.Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., PhD Linda Masniary Lubis, STP., M.Si


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

PENDAHULUAN ... 1

METODE PENELITIAN ... 4

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 1. Pengaruh Konsentrasi Natrium Metabisulfit ... 2. Pengaruh Suhu Pengeringan ... 3. Pengaruh Interaksi Konsentrasi Natrium Metabisulfit dan Suhu Pengeringan ... . 6 6 7 8 KESIMPULAN DAN SARAN ... 12


(5)

PENDAHULUAN

Biji buah alpukat sampai saat ini hanya dibuang sebagai limbah yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Padahal di dalam biji alpukat mengandung zat pati yang cukup tinggi, yakni sekitar 23%. Hal ini memungkinkan biji alpukat sebagai alternatif sumber pati.

Biji alpukat yang diolah menjadi pati, selain bermanfaat mengurangi pencemaran lingkungan, juga dapat menciptakan peluang usaha baru. Pati biji alpukat selanjutnya dapat diolah menjadi berbagai hasil olahan yang mempunyai nilai jual tinggi, antara lain : dodol, kerupuk, snack, biskuit dan sebagainya (Winarti dan Purnomo, 2006).

Biji alpukat tergolong besar, terdiri dari dua keping (cotyledon), dan dilapisi oleh kulit biji yang tipis melekat. Biji tersusun oleh jaringan parenchyma yang mengandung sel-sel minyak dan butir tepung sebagai bahan cadangan makanan (Kalie, 1997).

Menurut hasil analisis Alsuhendra, et al., (2007) biji alpukat memiliki kandungan air 12,67 %, kadar abu 2,78 %, kandungan mineral 0,54 % lebih tinggi dari biji buah lainnya. Biji alpukat kaya akan sumber campuran kompleks senyawa polifenolik mencakup dari yang sederhana katekin dan epikatekin dengan zat polimerik terbesar.

Biji alpukat merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan bagi tumbuhan, selain buah, batang, dan akar. Pati merupakan penyusun utama cadangan makanan tumbuh-tumbuhan. Pati adalah polimer D-glukosa dan ditemukan sebagai karbohidrat simpanan dalam tumbuhan. Pati terdapat sebagai


(6)

butiran kecil dengan berbagai ukuran dan bentuk yang khas untuk setiap spesies tumbuhan. Pati terdiri atas dua polimer yang berlainan, senyawa rantai lurus, amilosa, dan komponen yang bercabang, amilopektin (deMan, 1997). Komposisi kimia dan sifat-sifat dari pati biji alpukat dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia dan sifat-sifat pati biji alpukat

Komponen Jumlah (%) Komponen Jumlah (%)

Kadar air Kadar pati *Amilosa *Amilopektin Protein 10,2 80,1 43,3 37,7 tn Lemak Serat kasar Warna Kehalusan granula Rendemen pati tn 1,21 putih coklat halus 21,3

Sumber : Winarti dan Purnomo, (2006).

*Amilosa + amilopektin = pati ; tn = tidak dianalisa

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan biji alpukat adalah dengan mengekstrak pati dari dalam biji. Masalah utama dalam ekstraksi pati biji alpukat adalah apabila biji alpukat dihancurkan menghasilkan warna cokelat sehingga pati yang dihasilkan juga agak cokelat. Untuk menghasilkan pati biji alpukat dengan warna putih, diperlukan perlakuan khusus pada pengolahan pati biji alpukat dengan cara perendaman di dalam larutan natrium metabisulfit

(Na2S2O5) agar diperoleh pati biji alpukat dengan mutu yang baik.

Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau K-sulfit, bisulfit

dan metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang tak terdisosiasi dan terutama terbentuk pada pH di bawah 3. Selain sebagai pengawet, sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil. Hasil reaksi itu akan mengikat melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Sulfur dioksida juga dapat berfungsi sebagai antioksidan (Syarief dan Irawati, 1988).

Molekul sulfit lebih mudah menembus dinding sel mikroba bereaksi dengan asetaldehid membentuk senyawa yang tidak dapat difermentasi oleh enzim


(7)

mikroba, mereduksi ikatan disulfide enzim, dan bereaksi dengan keton membentuk hidroksi sulfonat yang dapat menghambat mekanisme pernapasan (Cahyadi, 2006).

Salah satu cara untuk mengawetkan produk adalah dengan mengeringkannya. Produk seperti ini mempunyai prospek pasar yang cukup baik. Kuantitas atau rendemen produk kering dinilai atas dasar kebersihan, kandungan air dan kandungan kimiawi bahan (Syafriandi, 2003).

Tujuan pengeringan untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan kebusukan terhambat atau bahkan terhenti sama sekali. Dengan demikian, bahan yang dikeringkan mempunyai waku simpan lebih lama (Adawyah, 2007).

Keuntungan dari pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dengan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan, berat bahan juga menjadi berkurang sehingga memudahkan pengangkutan (Winarno, et al., 1980).


(8)

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2007 di Laboratorium Biokimia, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara Medan.

Bahan yang digunakan adalah biji alpukat yang diperoleh dari Pedagang Kaki Lima Simpang Glugur, Kelurahan Glugur Kota, Medan. Bahan kimia yang

digunakan adalah Natrium metabisulfit (Na2S2O5), larutan Iodine 0,01 N,

HCl pekat, larutan Natrium tiosulfat 0,1 N. Alat Penelitian yang digunakan adalah timbangan, oven, beaker glass, aluminium foil, desikator, kain saring, muffle, krus porselin, gelas ukur, burette, pipet tetes, blender, erlenmeyer, stirrer.

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial

dengan 2 faktor. Faktor I adalah Konsentrasi Larutan Natrium Metabisulfit (K)

dengan 5 taraf, yaitu : K1 = 0 ppm, K2 = 750 ppm, K3 = 1500 ppm,

K4 = 2250 ppm, K5 = 3000 ppm. Faktor II adalah Suhu Pengeringan (S) dengan

3 taraf, yaitu : S1 = 50oC, S2 = 60oC, S3 = 70oC. Kombinasi perlakuan 15 dengan

2 ulangan.

Pelaksanaan Penelitian : kulit biji alpukat dikupas, lalu dicuci dengan

menggunakan air bersih yang mengalir, kemudian dilakukan pengecilan ukuran dengan menggunakan pisau stainless steel. Selanjutnya dihaluskan dengan menggunakan blender dengan penambahan air 1 : 1 (1 kg biji ditambah dengan 1 liter air). Setiap unit percobaan digunakan 300 gram biji alpukat. Dilakukan penyaringan dengan menggunakan kain saring untuk mengambil pati dari dalam jaringan. Apabila endapan telah terbentuk, air bening di atasnya dibuang secara pelan-pelan agar tidak ada pati yang terbuang. Kemudian dilakukan pencucian


(9)

dengan air bersih dan diendapkan kembali sebanyak tiga kali, lalu direndam

kembali dalam larutan Na2S2O5 sesuai perlakuan pada saat perendaman keempat.

Endapan pati yang diperoleh dikeringkan dalam oven dengan suhu pengeringan yang sesuai dengan perlakuan. Pati kering digiling dan selanjutnya diayak, dan dilakukan pengemasan. Setelah itu dilakukan pengamatan dan pengukuran data.

Pengamatan dan pengukuran data dilakukan dengan cara analisa sesuai dengan parameter, yaitu : rendemen (Rangana, 1987), kadar air (AOAC, 1970), kadar abu (Soedarmadji, et al., 1989), kadar residu sulfit (AOAC, 1970), uji organoleptik warna (Soekarto, 1985).

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Analisis Sidik Ragam, bila terdapat perbedaan yang nyata, analisis dilanjutkan dengan pengujian beda rataan perlakuan menggunakan uji LSR (Least Significant Ranges).


(10)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pengaruh Konsentrasi Natrium Metabisulfit

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi natrium metabisulfit berpengaruh nyata terhadap rendemen, kadar abu, residu sulfit,dan nilai organoleptik warna pati biji alpukat. Hasil uji LSR pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap rendemen, kadar abu, residu sulfit,dan nilai organoleptik warna pati biji alpukat ditampilkan pada Tabel 2 berikut :

Tabel 2. Uji LSR pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap rendemen, kadar abu, residu sulfit, dan nilai organoleptik warna pati biji alpukat

Konsentrasi Natrium Metabisulfit (ppm) Rendemen (%) Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Residu Sulfit (ppm) Organoleptik Warna (skor)

K1 = 0 11,23 c 4,00 0,27 c 64,46 e 1,73 e

K2 = 750 11,46 bc 4,08 0,27 c 66,62 d 2,33 d

K3 = 1500 11,83 b 4,75 0,33 c 69,24 c 2,68 c

K4 = 2250 11,89 b 5,17 0,80 b 71,40 b 3,05 b

K5 = 3000 12,65 a 6,00 1,20 a 72,92 a 3,38 a

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) menurut uji LSR

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit maka rendemen, kadar air, kadar abu, residu sulfit, dan nilai organoleptik warna pati biji alpukat semakin besar. Rendemen tertinggi terdapat

pada perlakuan K5 (3000 ppm), yaitu sebesar 12,65% dan terendah terdapat pada

K1 (0 ppm) sebesar 11,23%. Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan K5

(3000 ppm), yaitu sebesar 6% dan terendah terdapat pada K1 (0 ppm) sebesar 4%.

Kadar abu tertinggi terdapat pada perlakuan K5 (3000 ppm), yaitu sebesar 1,2%


(11)

Residu sulfit tertinggi terdapat pada perlakuan K5 (3000 ppm), yaitu sebesar 72,92

ppm dan terendah terdapat pada K1 (0 ppm) sebesar 64,46 ppm. Nilai organoleptik

warna tertinggi terdapat pada perlakuan K5 (3000 ppm), yaitu sebesar 3,38 dan

terendah terdapat pada K1 (0 ppm) sebesar 1,73.

2. Pengaruh Suhu Pengeringan

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi natrium metabisulfit berpengaruh nyata terhadap rendemen, kadar air, kadar abu, residu sulfit,dan nilai organoleptik warna pati biji alpukat. Hasil uji LSR pengaruh suhu pengeringan terhadap rendemen, kadar air, kadar abu, residu sulfit,dan nilai organoleptik warna pati biji alpukat ditampilkan pada Tabel 3 berikut :

Tabel 3. Uji LSR pengaruh suhu pengeringan terhadap rendemen, kadar air, kadar abu, residu sulfit, dan nilai organoleptik warna pati biji alpukat

Suhu Pengeringan

(oC)

Rendemen (%) Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Residu Sulfit (ppm) Organoleptik Warna (skor)

S1 = 50 oC 14,22 a 6,80 a 0,20 c 68,10 c 2,76 a

S2 = 60 oC 12,50 b 6,10 a 0,50 b 68,93 b 2,63 b

S3 = 70 oC 8,72 c 1,50 b 1,02 a 69,76 a 2,52 c

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) menurut uji LSR

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka kadar abu dan residu sulfit pati biji alpukat semakin besar sedangkan rendemen, kadar air, dan nilai organoleptik warna semakin kecil. Rendemen tertinggi

terdapat pada S1 (50oC), yaitu sebesar 14,22% dan terendah terdapat pada

S3 (70oC) sebesar 8,72%. Kadar air tertinggi terdapat pada S1 (50oC), yaitu sebesar


(12)

sebesar 0,20%. Residu sulfit tertinggi terdapat pada S3 (70oC), yaitu sebesar

69,76 ppm dan terendah terdapat pada S1 (50oC) sebesar 68,10 ppm. Nilai

organoleptik warna tertinggi terdapat pada S1 (50oC), yaitu sebesar 2,76 dan

terendah terdapat pada S3 (70oC) sebesar 2,52.

3. Pengaruh Interaksi Konsentrasi Natrium Metabisulfit dan Suhu Pengeringan

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi natrium matabisulfit dan suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap rendemen, kadar abu, dan residu sulfit pati biji alpukat. Hasil uji LSR pengaruh interaksi konsentrasi natrium matabisulfit dan suhu pengeringan terhadap rendemen, kadar abu, dan residu sulfit pati biji alpukat ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Uji LSR pengaruh interaksi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap rendemen, kadar abu, dan residu sulfit pati biji alpukat

Interaksi

Perlakuan Rendemen (%)

Kadar Abu (%)

Residu Sulfit (ppm)

K1S1 14,44 ab 0,20 d 63,83 k

K1S2 12,36 ef 0,20 d 64,30 k

K1S3 6,89 k 0,40 d 65,26 j

K2S1 13,74 bcd 0,20 d 65,50 j

K2S2 12,06 f 0,30 d 66,78 i

K2S3 8,57 i 0,30 d 67,58 h

K3S1 14,28 ab 0,20 d 68,06 h

K3S2 11,77 fg 0,30 d 69,11 g

K3S3 9,44 h 0,50 d 70,55 f

K4S1 14,60 a 0,20 d 71,11 def

K4S2 13,40 cd 0,50 d 71,43 cde

K4S3 7,68 j 1,70 b 71,67 cd

K5S1 14,04 abc 0,20 d 71,99 c

K5S2 12,92 de 1,20 c 73,03 b

K5S3 11,00 g 2,20 a 73,75 a

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) menurut uji LSR


(13)

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa bahwa rendemen tertinggi terdapat pada

kombinasi perlakuan K4S1 (2250 ppm dan 50oC), yaitu sebesar 14,60% dan

terendah terdapat K1S3 (0 ppm dan 70oC), yaitu sebesar 6,89%.

Hubungan interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap rendemen pati biji alpukat dapat dilihat pada Gambar 1.

S1 ; = 9E-05 K+ 14.028 ; r = 0.1091 S2 ; = 0.0003 K + 12.01 ; r = 0.3493 S3 ; = 0.001 K + 7.25 ; r = 0.5283 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

0 750 1500 2250 3000

Konsentrasi Natrium Metabisulfit (ppm)

R e n d e m e n ( % )

S1 S2 S3

Gambar 1. Grafik hubungan interaksi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap rendemen pati biji alpukat

Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit untuk setiap suhu pengeringan maka rendemen dari pati biji alpukat semakin meningkat. Menurut Syafriandi, (2003), kuantitas atau rendemen produk kering dinilai atas dasar kebersihan, kandungan air dan kandungan kimiawi bahan.

Kadar abu tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan K5S3 (3000 ppm


(14)

perlakuan K1S1 (0 ppm dan 50oC), K1S2 (0 ppm dan 60oC), K2S1

(750 ppm dan 50oC), K3S1 (1500 ppm dan 50oC), K4S1 (2250 ppm dan 50oC) dan

K5S1 (3000 ppm dan 50oC), yaitu sebesar 0,20%. Hubungan interaksi antara

konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap kadar abu dapat dilihat pada Gambar 2.

S3 ; = 0.0007 K + 0.02 ; r = 0.8256 S1 ; = 0.2 ; r = 0

S2 ; = 0.0003 K + 0.06 ; r = 0.7333

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5

0 750 1500 2250 3000

Konsentrasi Natrium Metabisulfit (ppm)

K

a

d

a

r

A

b

u

(

%

)

S1 S2 S3

Gambar 2. Grafik hubungan interaksi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap kadar abu pati biji alpukat

Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan maka kadar abu semakin meningkat. Menurut Apandi (1984), perlakuan sebelum

pengeringan dengan sulfur dioksida (SO2) yang biasa digunakan dalam

pengeringan merusak seluruh thiamin. Yang tidak rusak oleh pengeringan adalah karoten, riboflavin, niasin dan asam folat; juga Ca dan Fe tidak hilang.


(15)

Residu sulfit tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan K5S3 (3000 ppm

dan 70oC), yaitu sebesar 73,75 ppm dan terendah terdapat pada kombinasi

perlakuan K1S1 (0 ppm dan 50oC), yaitu sebesar 63,83 ppm.

Hubungan interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap residu sulfit dapat dilihat pada Gambar 3.

S1 ; = 0.0033 K+ 65.228 ; r = 0.9764 S2 ; = 0.0029 K + 64.508 ; r= 0.9946 S3 ; = 0.0029 K + 63.712 ; r = 0.9778 62

64 66 68 70 72 74

0 750 1500 2250 3000

Konsentrasi Natrium Metabisulfit (ppm)

R

e

s

id

u

Su

lfi

t

(%

)

S1 S2 S3

Gambar 3. Grafik hubungan konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap residu sulfit pati biji alpukat

Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan maka semakin meningkat residu sulfit pada pati biji alpukat. Menurut Susanto dan

Saneto, (1994), jumlah penyerapan dan penahanan (residu) SO2 dalam bahan yang

dikeringkan dipengaruhi oleh antara lain: varietas, kemasakan dan ukuran bahan,

konsentrasi SO2 yang digunakan, suhu dan waktu sulfuring, suhu, kecepatan


(16)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan maka

rendemen, kadar air, kadar abu, residu sulfit, dan nilai organoleptik warna pati biji alpukat semakin besar.

2. Semakin tinggi suhu pengeringan maka kadar abu dan residu sulfit pati biji

alpukat semakin besar, sedangkan rendemen, kadar air dan nilai organoleptik warna semakin kecil.

3. Interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan

berpengaruh nyata terhadap rendemen, kadar abu dan residu sulfit. Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan maka rendemen semakin kecil, sedangkan kadar abu dan residu sulfit semakin besar.

Saran

Untuk menghasilkan pati biji alpukat bermutu baik disarankan merendam biji alpukat dalam natrium metabisulfit dengan konsentrasi 3000 ppm dan


(17)

DAFTAR PUSTAKA

Alsuhendra, Zulhipri, Ridawati, dan E. Lisanti, 2007. Ekstraksi dan Karakteristik Senyawa Fenolik dari Biji Alpukat (Persea Americana Mill.). Proseding Seminar Nasional PATPI, Bandung.

AOAC, 1970. Official Methods of Analysis of Association of Official Analitycal Chemists. Associattion of Official Analitycal Chemist, Washington DC. Apandi, M., 1984. Teknologi Buah dan Sayuran. Alumni, Bandung.

Cahyadi, W., 2006. Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta.

deMan, J. M., 1997. Kimia Makanan. Edisi Kedua. Penerjemah K. Padmawinata. ITB-Press, Bandung.

Kalie, M. B., 1997. Alpukat, Budi Daya dan Pemanfaatannya. Kanisius, Yogyakarta.

Rangana, S.,1987. Quality Control of Fruits and Vegetable Products. Tata Mc. Graw Hill Publishing Company Limited, New Delhi.

Soekarto, E., 1985. Penilaian Organoleptik untuk Pangan dan Hasil Pertanian. Bharatara Karya Aksara, Jakarta.

Sudarmadji, S., B. Haryanto dan Suhardi, 1989. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.

Susanto, T. dan B. Saneto, 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Bina Ilmu, Surabaya.

Syarief, R. dan A. Irawati, 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. Medyatama Sarana Perkasa, Jakarta.

Winarno, F. G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz, 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Winarti, S. dan Y. Purnomo, 2006. Olahan Biji Buah. Trubus Agrisarana, Surabaya.


(1)

sebesar 0,20%. Residu sulfit tertinggi terdapat pada S3 (70oC), yaitu sebesar 69,76 ppm dan terendah terdapat pada S1 (50oC) sebesar 68,10 ppm. Nilai organoleptik warna tertinggi terdapat pada S1 (50oC), yaitu sebesar 2,76 dan terendah terdapat pada S3 (70oC) sebesar 2,52.

3. Pengaruh Interaksi Konsentrasi Natrium Metabisulfit dan

Suhu Pengeringan

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi natrium matabisulfit dan suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap rendemen, kadar abu, dan residu sulfit pati biji alpukat. Hasil uji LSR pengaruh interaksi konsentrasi natrium matabisulfit dan suhu pengeringan terhadap rendemen, kadar abu, dan residu sulfit pati biji alpukat ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Uji LSR pengaruh interaksi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap rendemen, kadar abu, dan residu sulfit pati biji alpukat

Interaksi

Perlakuan Rendemen (%)

Kadar Abu (%)

Residu Sulfit (ppm)

K1S1 14,44 ab 0,20 d 63,83 k

K1S2 12,36 ef 0,20 d 64,30 k

K1S3 6,89 k 0,40 d 65,26 j

K2S1 13,74 bcd 0,20 d 65,50 j

K2S2 12,06 f 0,30 d 66,78 i

K2S3 8,57 i 0,30 d 67,58 h

K3S1 14,28 ab 0,20 d 68,06 h

K3S2 11,77 fg 0,30 d 69,11 g

K3S3 9,44 h 0,50 d 70,55 f

K4S1 14,60 a 0,20 d 71,11 def

K4S2 13,40 cd 0,50 d 71,43 cde

K4S3 7,68 j 1,70 b 71,67 cd

K5S1 14,04 abc 0,20 d 71,99 c

K5S2 12,92 de 1,20 c 73,03 b

K5S3 11,00 g 2,20 a 73,75 a

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) menurut uji LSR


(2)

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa bahwa rendemen tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan K4S1 (2250 ppm dan 50oC), yaitu sebesar 14,60% dan terendah terdapat K1S3 (0 ppm dan 70oC), yaitu sebesar 6,89%.

Hubungan interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap rendemen pati biji alpukat dapat dilihat pada Gambar 1.

S1 ; = 9E-05 K+ 14.028 ; r = 0.1091 S2 ; = 0.0003 K + 12.01 ; r = 0.3493 S3 ; = 0.001 K + 7.25 ; r = 0.5283 5

6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

0 750 1500 2250 3000

Konsentrasi Natrium Metabisulfit (ppm)

R

e

n

d

e

m

e

n

(

%

)

S1 S2 S3

Gambar 1. Grafik hubungan interaksi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap rendemen pati biji alpukat

Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit untuk setiap suhu pengeringan maka rendemen dari pati biji alpukat semakin meningkat. Menurut Syafriandi, (2003), kuantitas atau rendemen produk kering dinilai atas dasar kebersihan, kandungan air dan kandungan kimiawi bahan.


(3)

perlakuan K1S1 (0 ppm dan 50oC), K1S2 (0 ppm dan 60oC), K2S1 (750 ppm dan 50oC), K3S1 (1500 ppm dan 50oC), K4S1 (2250 ppm dan 50oC) dan

K5S1 (3000 ppm dan 50oC), yaitu sebesar 0,20%. Hubungan interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap kadar abu dapat dilihat pada Gambar 2.

S3 ; = 0.0007 K + 0.02 ; r = 0.8256 S1 ; = 0.2 ; r = 0

S2 ; = 0.0003 K + 0.06 ; r = 0.7333

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5

0 750 1500 2250 3000

Konsentrasi Natrium Metabisulfit (ppm)

K

a

d

a

r

A

b

u

(

%

)

S1 S2 S3

Gambar 2. Grafik hubungan interaksi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap kadar abu pati biji alpukat

Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan maka kadar abu semakin meningkat. Menurut Apandi (1984), perlakuan sebelum pengeringan dengan sulfur dioksida (SO2) yang biasa digunakan dalam pengeringan merusak seluruh thiamin. Yang tidak rusak oleh pengeringan adalah karoten, riboflavin, niasin dan asam folat; juga Ca dan Fe tidak hilang.


(4)

Residu sulfit tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan K5S3 (3000 ppm dan 70oC), yaitu sebesar 73,75 ppm dan terendah terdapat pada kombinasi perlakuan K1S1 (0 ppm dan 50oC), yaitu sebesar 63,83 ppm.

Hubungan interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap residu sulfit dapat dilihat pada Gambar 3.

S1 ; = 0.0033 K+ 65.228 ; r = 0.9764 S2 ; = 0.0029 K + 64.508 ; r= 0.9946 S3 ; = 0.0029 K + 63.712 ; r = 0.9778 62

64 66 68 70 72 74

0 750 1500 2250 3000

Konsentrasi Natrium Metabisulfit (ppm)

R

e

s

id

u

Su

lfi

t

(%

)

S1 S2 S3

Gambar 3. Grafik hubungan konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap residu sulfit pati biji alpukat

Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan maka semakin meningkat residu sulfit pada pati biji alpukat. Menurut Susanto dan Saneto, (1994), jumlah penyerapan dan penahanan (residu) SO2 dalam bahan yang dikeringkan dipengaruhi oleh antara lain: varietas, kemasakan dan ukuran bahan, konsentrasi SO2 yang digunakan, suhu dan waktu sulfuring, suhu, kecepatan


(5)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan maka rendemen, kadar air, kadar abu, residu sulfit, dan nilai organoleptik warna pati biji alpukat semakin besar.

2. Semakin tinggi suhu pengeringan maka kadar abu dan residu sulfit pati biji alpukat semakin besar, sedangkan rendemen, kadar air dan nilai organoleptik warna semakin kecil.

3. Interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap rendemen, kadar abu dan residu sulfit. Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan maka rendemen semakin kecil, sedangkan kadar abu dan residu sulfit semakin besar.

Saran

Untuk menghasilkan pati biji alpukat bermutu baik disarankan merendam biji alpukat dalam natrium metabisulfit dengan konsentrasi 3000 ppm dan pengeringan dengan suhu 50oC.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Alsuhendra, Zulhipri, Ridawati, dan E. Lisanti, 2007. Ekstraksi dan Karakteristik Senyawa Fenolik dari Biji Alpukat (Persea Americana Mill.). Proseding Seminar Nasional PATPI, Bandung.

AOAC, 1970. Official Methods of Analysis of Association of Official Analitycal Chemists. Associattion of Official Analitycal Chemist, Washington DC. Apandi, M., 1984. Teknologi Buah dan Sayuran. Alumni, Bandung.

Cahyadi, W., 2006. Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta.

deMan, J. M., 1997. Kimia Makanan. Edisi Kedua. Penerjemah K. Padmawinata. ITB-Press, Bandung.

Kalie, M. B., 1997. Alpukat, Budi Daya dan Pemanfaatannya. Kanisius, Yogyakarta.

Rangana, S.,1987. Quality Control of Fruits and Vegetable Products. Tata Mc. Graw Hill Publishing Company Limited, New Delhi.

Soekarto, E., 1985. Penilaian Organoleptik untuk Pangan dan Hasil Pertanian. Bharatara Karya Aksara, Jakarta.

Sudarmadji, S., B. Haryanto dan Suhardi, 1989. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.

Susanto, T. dan B. Saneto, 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Bina Ilmu, Surabaya.

Syarief, R. dan A. Irawati, 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. Medyatama Sarana Perkasa, Jakarta.

Winarno, F. G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz, 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Winarti, S. dan Y. Purnomo, 2006. Olahan Biji Buah. Trubus Agrisarana, Surabaya.