Karakteristik Ekstraksi Minyak dari Biji Alpukat (Persea Americana Mill) Menggunakan Pelarut N-heptana

(1)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biji Alpukat (Persea Americana Mill)

2.1.1 Komposisi Kimia Dalam Biji Alpukat

Alpukat (Persea Americana Mill) adalah tanaman yang dapat ditemukan didaerah tropis.Buah ini biasanya digunakan untuk konsumsi manusia, tetapi juga telah digunakan sebagai tanaman obat di Meksiko dan tempat lain di dunia [8]. Alpukat merupakan sumber yang baik dari vitamin K, serat, vitamin B6, vitamin C, folat dan tembaga. Alpukat juga merupakan sumber potasium yang baik (kandungan kalium lebih tinggi dibanding dengan buah pisang) dan kaya akan mineral [9]. Adapun klasifikasi dari alpukat adalah sebagai berikut [10] :

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Ranales

Keluarga : Lauraceae Marga : Persea

Spesies : Perseae Americana Mil

Di samping daging buahnya, biji alpukat juga memiliki potensi yaitu kandungan proteinnya tinggi dan kandungan minyaknya hampir sama dengan kedelai sehingga biji alpukat dapat dijadikan sebagai sumber minyak nabati [6]. Biji alpukat terdapat 13-18% dari buah, dan didalamnya mengandung beberapa aktivitas biologi seperti antioksidan, antihipertensi, larvisida, fungisida, hipolipidemik, dan amoebicidal serta giardicidal [8]. Biji alpukat memiliki beragam aplikasi dalam etno-obat, mulai dari pengobatan untuk diare, disentri, sakit gigi, parasit usus, pengobatan kulit dan kecantikan. Daun alpukat juga telah dilaporkan memiliki kandungan anti inflamasi dan analgesik [4]. Menurut penelitian Soong dan Barlow [11], aktivitas antioksidan dan kandungan fenolik


(2)

5

biji alpukat ditemukan lebih besar dari 70%. Adapun komposisi senyawa bioaktif dalam biji alpukat sebagai berikut.

Tabel 2.1 Komposisi Senyawa Bioaktif pada Biji Alpukat dalam mg/100 g buah segar [12]

Senyawa Bioaktif Biji Alpukat Total Fenolik 704.0±130.0

Flavonoid 47.9±2.7 Karotenoid 0.966±0.164

Vitamin C 2.6±1.1

Vitamin E 4.82±1.42

Selain komposisi senyawa bioaktif tersebut, komposisi proksimat dari biji alpukat dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.2 Komposisi Proksimat Biji Alpukat (g/100g sampel kering) [13] Parameter Biji Alpukat

Moisture 9,92±0,01

Lemak 16,54±2,10

Protein 17,94±1,40

Serat 3,10±0,18

Abu 2,40±0,19

Karbohidrat 48,11±4,13

Marlinda [14] melakukan uji toksisitas pada ekstrak etanol biji alpukat dengan sampel basah dan sampel kering yang diujikan pada udang laut (Artemia salina), nilai LC50 terendah terdapat pada sampel kering sebesar 34,302 mg/L yang menunjukkan biji alpukat bersifat toksik. Median Lethal Concentration

(LC50) adalah uji terhadap konsentrasi bahan material ataupun toksikan pada udara, air, tanah ataupun sedimen yang diujikan pada hewan coba tertentu yang dapat membunuh 50% hewan tersebut [15]. Suatu zat dikatakan memiliki potensi toksisitas akut dan potensial sebagai sitotoksik apabila suatu zat memiliki nilai LC50 kurang dari 1000 ppm [16]. Toksik dalam biji alpukat diduga disebabkan oleh senyawa-senyawa metabolit sekunder yang terkandung. Dalam biji alpukat terkandung senyawa alkaloid, triterpenoid, tanin, flavonoid dan saponin [14]. Sedangkan pada ekstrak heksana biji alpukat, berdasarkan penelitian Leite [17]


(3)

6

menunjukkan toksisitas tertinggi pada Artemia salina dengan LC50 sebesar 2,37 mg/L.

Menurut Eduardo [18] yang melakukan uji genotoksik ekstrak etanol biji alpukat pada mikronukleus eritrosit, menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji alpukat tidak memiliki efek genotoksik. Namun, laporan dari genotoksisitas telah mengungkapkan bahwa banyak tanaman yang digunakan sebagai makanan atau obat tradisional memiliki sifat sitotoksik, mutagenik, dan genotoksik [19]. Hal ini menunjukkan dibutuhkan untuk melengkapi profil toksikologi dari ekstrak biji alpukat, perlu juga untuk menguji area lain seperti yang terkait dengan sistem kekebalan tubuh dan fungsi endokrin [18].

2.1.2 Kandungan Minyak Dalam Biji Alpukat

Biji alpukat memiliki kandung minyak sebesar 15% [6]. Minyak dari biji alpukat memiliki manfaat kesehatan misalnya untuk mengendalikan berat badan manusia (terutama digunakan untuk obesitas atau untuk menurunkan berat badan) dan juga bermanfaat untuk kecantikan [4]. Minyak biji alpukat juga mengandung

fatty acid methyl esters sehingga berpotensi dijadikan sebagai bahan bakar alternatif seperti biodiesel [2]. Adapun komposisi asam lemak dalam minyak biji alpukat adalah sebagai berikut.

Tabel 2.3 Komposisi Asam Lemak Minyak Biji Alpukat [20]

Asam Lemak %

Asam Lemak Jenuh 32,495

Hexanoic Acid C6:0 0,800 ± 0,045

Heptanoic Acid C7:0 0,290 ± 0,097

Octanoic Acid C8:0 0,278 ± 0,052

Nonanoic Acid C9:0 0,217 ± 0,006

Dodecanoic Acid C12:0 0,278 ± 0,051

Tridecanoic Acid C13:0 0,166 ± 0,011

Tetradecanoic Acid C14:0 0,537 ± 0,052

Pentadecanoic Acid C15:0 2,334 ± 0,110

Hexadecanoic Acid C16:0 20,847 ± 0,843

Heptadecanoic Acid C17:0 1,725 ± 0,022

Octadecanoic Acid C18:0 1,185 ± 0,011

Nonadecanoic Acid C19:0 0,610 ± 0,341

Eicosanoic Acid C20:0 0,043 ± 0,020

Docosanoic Acid C22:0 1,114 ± 0,023


(4)

7

Asam Lemak Tak Jenuh Tunggal 20,712

9-tetradecenoic Acid C14:1 0,251 ± 0,002

10-Pentadecenoic Acid C15:1 0,321 ± 0,159

9-Hexadecenoic Acid C16:1 1,786 ± 0,325

10-Heptadecenoic Acid C17:1 0,372 ± 0,083

9-Octadecenoic Acid C18:1 17,410 ± 0,058

11-Eicosenoic Acid C20:1 0,448 ± 0,277

13-Docosenoic Acid C22:1 0,124 ± 0,043

Asam Lemak Tak Jenuh Jamak 46,726

9,12- Octadecadienoic Acid C18:2 38,892 ± 0,585

9,12,15- Octadecatrienoic Acid C18:3 6,577 ± 0,028

11,14,17-Eicosatrienoic Acid C20:3 1,257 ± 0,030

Rasio Asam lemak tak jenuh/jenuh 2,07

Rasio Asam lemak tak jenuh jamak/jenuh 1,44

Rasio Asam oleat/linoleat 0,45

Minyak biji alpukat mengandung asam lemak C18:2 (38,89%) dan C18:3 (6,57%) dengan konsentrasi tertinggi. Keuntungan dari rasio asam lemak

C18:2/C18:3 dalam minyak biji alpukat adalah dapat berperan dalam mengurangi

trigliserida dan HDL (High Density Lipoprotein) dalam plasma darah [20]. Sifat fisika dan kimia dari minyak biji alpukat dapat dilihat pada tabel berikut.

Minyak yang mengandung asam lemak tak jenuh jamak (Polyunsaturated Fatty Acid/ PUFA) diakui dapat menurunkan kolesterol darah serta meningkatkan nilai kesehatan lainnya. Asam lemak ini menurunkan kadar kolesterol total karena dalam jumlah banyak, cenderung menurunkan tidak hanya kadar kolesterol LDL (kolesterol jahat) tapi juga HDL (kolesterol baik) darah. Sedangkan asam lemak tak jenuh tunggal (Monounsaturated Fatty Acid/MUFA) menurunkan kadar kolesterol LDL tanpa mempengaruhi kadar kolesterol HDL darah. Peningkatan kadar kolesterol HDL akan menurunkan risiko penyakit jantung [21]. Asam linoleat (omega 6) dan linolenat (omega 3) merupakan asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) dan tergolong asam lemak esensial. Asam linoleat dan linolenat sangat penting untuk tubuh, oleh karena itu harus diperoleh dari makanan. Defisiensi asam linoleat dapat menyebabkan dermatitis, kemampuan reproduksi menurun, gangguan pertumbuhan, degenerasi hati dan rentan terhadap infeksi [22]. Asam linolenat sendiri berperan penting dalam perkembangan otak dan fungsi penglihatan [23].


(5)

8

Tabel 2.4 Sifat Fisika dan Kimia Minyak Biji Alpukat [6]

Sifat Fisika Kuantitas

Specific Gravity (25oC) 0,915-0,916

Titik leleh 10,5oC

Titik nyala 245oC

Indeks refraktif 1,462

Viskositas 0,357 poise

Sifat Kimia Kuantitas

Free Fatty Acid (FFA) 0,367%-0,82%

Saponification number (mg KOH/g) 246,84

Bilangan iod(mg iodin/g) 42,664

Bilangan asam(mg KOH/g) 5,2

Esther number 241,640 Bilangan peroksida (milliequivalents

peroxide per 1000 gram minyak) 3,3

unsaponifiable matters 15,250%

2.2 Pengambilan Minyak Dari Biji Alpukat Dengan Metode Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan komponen yang diinginkan dari penyusun-penyusun lain dalam suatu campuran berdasarkan kelarutannya terhadap pelarut yang digunakan. Metode ekstraksi dipilih tergantung dari tekstur, kandungan air, bahan tumbuhan yang akan diekstraksi dan jenis senyawa yang akan diisolasi. Biasanya ekstraksi menggunakan pelarut organik sesuai dengan kepolaran komponen yang ingin dipisahkan [24].

Metode ekstraksi yang biasa digunakan antara lain : 1. Maserasi

Maserasi adalah cara ekstraksi paling sederhana yang dilakukan dengan merendam serbuk kasar simplisia dengan cairan pengekstraksi selama 4-10 hari dan disimpan terlindung dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna). Keuntungan maserasi adalah hasil ekstraksi yang diperoleh banyak dan dapat menghindarkan perubahan kimia terhadap senyawa-senyawa tertentu karena pemanasan. Sedangkan kerugiannya adalah penyarian kurang sempurna karena terjadi kejenuhan cairan penyari dan proses membutuhkan waktu yang lama. Walaupun demikian, maserasi merupakan proses ekstraksi yang masih umum digunakan karena cara pengerjaan dan peralatannya sederhana dan mudah [24].


(6)

9 2. Sokhlet

Sokhlet adalah proses pemisahan berulang dari sampel yang berupa padatan. Sampel yang diekstrak biasanya padatan yang telah dihaluskan. Padatan ini dibungkus dengan kertas saring lalu dimasukkan dalam alat sokhlet. Pada bagian atas alat dihubungkan dengan pendingin balik sedangkan bagian bawah terdapat labu alas bulat sebagai tempat pelarut. Pemanasan dengan suhu tertentu akan menguapkan pelarut. Uap akan naik ke atas dan mengalami proses pendinginan. Ruang sokhlet akan dipenuhi oleh pelarut yang telah mengembun hingga batas tertentu, pelarut tersebut akan membawa solut dalam labu. Proses ini berlangsung terus menerus. Keuntungan metode ini adalah ekstraksi berlangsung cepat, cairan pengekstraksi yang dibutuhkan sedikit dan cairan pengekstraksi tidak pernah mengalami kejenuhan [24]. Gambar 2.1 menunjukkan rangkaian peralatan dari sokhlet ekstraktor.


(7)

10

2.2.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekstraksi

Ekstraksi dilakukan karena beberapa faktor seperti jika distilasi tidak dapat dilakukan (distilasi dapat dilakukan jika relative volatility (kemampuan mudah berubahnya cairan ke bentuk gas) campuran lebih besar dari 1,2) atau terlalu mahal, jika diinginkan mengisolasi bahan untuk karakterisasi, atau memurnikan senyawa untuk proses selanjutnya. Secara garis besar, proses pemisahan secara ekstraksi terdiri dari tiga langkah dasar, yaitu [26]:

1. Penambahan sejumlah massa solvent untuk dikontakkan dengan sampel, biasanya melalui proses difusi.

2. Solute akan terpisah dari sampel dan larut oleh solvent membentuk fase ekstrak.

3. Pemisahan fase ekstrak dengan sampel.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ekstraksi, diantaranya: 1. Suhu

Kelarutan bahan yang diekstraksi dan difusitas biasanya akan meningkat dengan meningkatnya suhu, sehingga diperoleh laju ekstraksi yang tinggi. Pada beberapa kasus, batas atas untuk suhu operasi ditentukan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah perlunya menghindari reaksi samping yang tidak diinginkan [27]. Suhu yang lebih tinggi dengan viskositas pelarut lebih rendah dan kelarutan solute yang lebih besar, pada umumnya menguntungkan untuk proses ekstraksi. Tetapi, suhu ekstraksi tidak boleh melebihi titik didih pelarut karena akan menyebabkan pelarut menguap. Biasanya suhu ekstraksi yang paling baik adalah sedikit di bawah titik didih pelarut [28]. Menggunakan pelarut dengan titik didih tinggi lebih menguntungkan karena difusi lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi dan membran sel lebih mudah pecah dan mengeluarkan minyak [29]. Pemilihan suhu juga disesuaikan dengan zat yang akan diekstraksi, ada beberapa zat yang sensitif terhadap suhu tinggi karena akan terdegradasi seperti pada klorofil dan antosianin [28].


(8)

11 2. Ukuran partikel

Semakin kecil ukuran partikel, semakin besar luas bidang kontak antara padatan dan solvent, serta semakin pendek jalur difusinya, yang menjadikan laju transfer massa semakin tinggi [30].

3. Faktor solvent

Jika zat yang akan diekstraksi merupakan senyawa nonpolar (misalnya minyak) maka juga digunakan pelarut yang nonpolar (seperti heksana, heptana dan pelarut nonpolar lainnya). Solvent harus memenuhi kriteria sebagai berikut [30]:

 Daya larut terhadap solute cukup besar  Dapat diregenerasi

 Memiliki koefisien distribusi solute yang tinggi  Dapat memuat solute dalam jumlah yang besar

 Sama sekali tidak melarutkan diluen atau hanya sedikit melarutkan diluen  Memiliki kecocokan dengan solute yang akan diekstraksi

 Viskositas rendah

 Antara solven dengan diluen harus mempunyai perbedaan densitas yang cukup besar

 Memiliki tegangan antarmuka yang cukup

 Dapat mengurangi potensi terbentuknya fase ketiga  Tidak korosif

 Tidak mudah terbakar  Tidak beracun

 Tidak berbahaya bagi lingkungan  Murah dan mudah didapat

Semakin banyak jumlah pelarut yang digunakan, maka semakin banyak pula hasil yang didapatkan, sebab [31]:

˗ Distribusi partikel dalam pelarut semakin menyebar, sehingga memperluas permukaan kontak.

˗ Perbedaan konsentrasi solute dalam pelarut dan padatan semakin besar sehingga fraksi molar bertambah.


(9)

12

Pelarut heptana merupakan pelarut yang termasuk dalam kriteria diatas, diantaranya adalah senyawa nonpolar (sesuai dengan minyak yang juga senyawa nonpolar), tidak berbahaya bagi lingkungan dan tidak beracun.

2.2.2 Penggunaan N-heptana Sebagai Pelarut Pengekstraksi

N-heptana adalah cairan tidak berwarna yang mudah menguap dengan bau yang khas. N-heptana digunakan sebagai pelarut pengekstraksi, sebagai pelarut industri (untuk perekat, pernis dan tinta pada pencetakan etsa) dan juga digunakan dalam pembuatan plastik serta sintesis toluene dan alkilbenzen [32]. Sifat fisika n-heptana dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.5 Sifat Fisika N-heptana [32] Sifat Fisika

Rumus kimia C7H16

Rumus molekul 100,21 g/mol Titik didih 98oC

Titik leleh -90,7oC

Specific gravity 0,6838

Tekanan uap 5,3 kPa (@ 20oC)

N-heptana merupakan senyawa yang mudah menyala namun stabil pada kondisi normal bahkan saat terjadi kebakaran dan tidak reaktif dengan air [32]. N-heptana sebagai pelarut pengekstraksi dianggap lebih aman penggunaannya dibandingkan dengan n-heksana mengingat penggunaannnya yang mulai dibatasi karena menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan. Heptana sama dengan heksana, hanya saja penggunaan heptana tidak dapat memberikan efek akut pada lingkungan dan kesehatan. Pada tahun 1992, Texaco Chemical Co. (Houston, TX) telah mendiskusikan mengenai penggunaan heptana sebagai solvent alternatif. Heptana tidak memberikan masalah lingkungan dan kesehatan yang serius dibanding dengan heksana, dan juga karena kesamaan jenis pelarut, hanya saja diperlukan sedikit perubahan pada pemrosesannya. Pada awal 1937, MacGee mencatat solvent petroleum yang baik untuk ekstraksi minyak dari biji-bijian adalah yang memiliki rentang titik didih yang rendah yaitu fraksi heksana dan heptana. Hal ini didasarkan pada stabilitas, bau dan rasa dari produk, kehilangan pada saat penguapan yang rendah dan kurangnya korosi dan residu berminyak di


(10)

13

peralatan [7]. Ayers dan Dooley [33] mengekstraksi biji kapas pada skala laboratorium dengan berbagi macam pelarut termasuk pelarut heksana dan heptana. Jumlah minyak yang di ekstraksi oleh kedua pelarut tersebut sama, tetapi kehilangan akibat refining dan warna minyak bervariasi. Mereka juga mencatat bahwa perbedaan warna minyak tergantung pada kandungan asam lemak bebas (FFA) dari bji. Secara umum minyak yang diekstraksi dengan heksana memiliki warna yang lebih tajam dibanding dengan heptana dan juga fosfolipid yang diekstraksi dengan heptana lebih tinggi dibanding dengan heksana [7].

Heksana sangat beracun bagi sistem saraf perifer sedangakan heptana hanya sedikit beracun. Ini merupakan keuntungan besar bagi hepatana. Selain itu heptana juga memiliki titik didih 98oC pada 1 atm yang 30oC lebih besar dari titik didih heksana. Menggunakan pelarut dengan titik didih tinggi lebih menguntungkan karena proses difusi lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi dan membran sel lebih mudah pecah dan mengeluarkan minyak. Karena heptana kurang volatil dibandingkan heksana, maka akan sedikit residu yang tertinggal pada peralatan [29]. Heksana sangat volatil dan didalam tubuh manusia dimetabolisasi menjadi 2,5-heksana dion yang merupakan senyawa neurotoksik. Telah dikemukakan bahwa paparan heksana atau 2,5-heksana dion yang terus menerus mengakibatkan hilanya fungsi sensorik dan motorik serta perubahan pada protein neurofilamen aksonal. Penelitian pada hewan telah jelas menunjukkan bahwa heksana jauh lebih toksik ke saraf perifer tikus daripada n-heptana. Studi paparan pada manusia juga telah dilakukan, sebagai contoh setelah periode 6 bulan kerja, dilaporkan bahwa paparan heksana menyebabkan seorang pekerja dengan usia 27 tahun menderita neuropati optik yang dapat menyebabkan kebutaan [34].

2.3 Uji Sifat Fisika dan Kimia Minyak Biji Alpukat

Pengujian sifat fisika dan kimia digunakan untuk identifikasi jenis dan penilaian mutu minyak dan lemak. Uji tersebut bersifat kualitatif dan kuantitatif, dan dapat dilakukan berdasarkan cara asidimetri dan uji khusus lainnya [35].


(11)

14 2.3.1 Warna

Zat warna terdapat secara alamiah didalam bahan yang mengandung minyak dan ikut terekstrak bersama minyak pada proses ekstraksi. Zat warna tersebut antara lain terdiri dari α dan β karoten, xanthofil, klorofil dan anthosianin. Zat warna ini menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning kecoklatan, kehijau-hijauan dan kemerah-merahan [35]. Warna minyak atau lemak dapat ditentukan dengan melihat warna minyak itu sendiri.

2.3.2 Densitas

Densitas minyak dan lemak lebih rendah dari pada air, sehingga minyak akan mengapung ke atas jika bercampur dengan air. Sifat fisika trigliserida ditentukan oleh proporsi dari struktur kimia asam lemak yang membentuknya. Semakin banyak mengandung asam lemak rantai pendek dan ikatan tidak jenuh, maka konsistensi lemak akan semakin cair. Sebaliknya semakin banyak mengandung asam lemak jenuh dan rantai panjang maka konsistensi lemak akan semakin padat [35]. Uji densitas minyak dapat dilakukan dengan menggunakan piknometer pada suhu 20oC berdasarkan metode tes OECD 109.

2.3.3 Viskositas

Viskositas lemak dan minyak akan bertambah dengan bertambahnya panjang rantai karbon. Viskositas merupakan properti penting untuk komersial, terutama untuk produsen pelumas. Viskositas sangat bervariasi dengan suhu. Ketika didinginkan ke titik pemadatan minyak dan lemak tidak bisa lagi dikatakan kental dan berubah menjadi plastis [36]. Uji viskositas minyak dan lemak dilakukan dengan menggunakan viskosimeter Ostwald pada suhu 40oC berdasarkan metode tes ASTM D-445.

2.3.4 Free Fatty Acid (FFA)

Secara umum, asam lemak bebas (FFA) adalah produk hidrolisis dari minyak dan lemak yang mengalami oksidasi akibat penyimpanan jangka panjang atau pemrosesan pada temperatur tinggi akibat pemanasan atau penggorengan. FFA merupakan kunci utama yang dihubungkan dengan nilai kualitas dan


(12)

15

komersil dari minyak dan lemak. FFA lebih rentan terhadap oksidasi dan mengubah minyak menjadi tengik. American Oil Chemists Society (AOCS),

Association of Official Analytical Chemists (AOAC) dan European Commission

(EC) telah menetapkan peraturan metode standar yang hampir sama untuk penilaian FFA [37]. Analisis FFA berdasarkan metode tes AOCS Official Method

Ca 5a-40, minyak ditambah dengan etanol 95% kemudian dititrasi dengan NaOH sampai berubah warna merah rosa.

2.3.5 Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GCMS)

Komposisi asam lemak dalam minyak biji alpukat dapat diidentifikasi menggunakan instrumentasi GC-MS. Archer J.P. Martin dan Anthony T. James pertama kali memperkenalkan kromatografi partisi cair-gas pada tahun 1950 di London, inilah yang menjadi dasar pengembangan kromatografi gas. Saat ini, kromatografi gas adalah teknik yang matang, banyak digunakan di seluruh dunia untuk analisis hampir setiap jenis senyawa organik, bahkan senyawa yang tidak stabil dalam keadaan aslinya tetapi dapat dikonversi ke derivatif yang mudah menguap [38].

Kromatografi gas adalah suatu teknik pemisahan komponen dari sebuah sampel partisi yang terdiri dari 2 fasa yaitu fasa diam dan fasa gas pembawa (fasa gerak). Menurut keadaan fasa diam, kromatografi gas dapat diklasifikasikan menjadi kromatografi gas-padat (GSC), di mana fasa diam adalah padat, dan kromatografi gas-cair (GLC) yang menggunakan cairan sebagai fasa diam. GLC sebagian besar lebih banyak digunakan daripada GSC. Selama pemisahan GC, sampel diuapkan dan dibawa oleh fasa gas pembawa melalui kolom. Pemisahan komponen yang berbeda dicapai berdasarkan tekanan uap relatifnya dan afinitas untuk fasa diam. Afinitas zat terhadap fasa diam dapat digambarkan dalam istilah kimia sebagai konstanta kesetimbangan yang disebut konstanta distribusi (Kc), yang juga dikenal sebagai koefisien partisi. Kc bergantung pada suhu dan juga sifat kimia fasa diam. Dengan demikian, suhu dapat digunakan sebagai cara untuk meningkatkan pemisahan senyawa yang berbeda melalui kolom, atau dengan fasa diam yang berbeda [38].


(13)

16

Penggunaan GC mulai dikombinasikan dengan spektrometri massa (MS). Spektrometer massa telah menjadi detektor standar yang memungkinkan untuk batas deteksi yang lebih rendah dan tidak memerlukan pemisahan dari semua komponen yang ada dalam sampel. Spektroskopi massa adalah salah satu jenis deteksi yang menyediakan informasi yang hanya memerlukan mikrogram sampel. Identifikasi kualitatif senyawa yang tidak diketahui serta analisis kuantitatif sampel dapat menggunakan GC-MS. Ketika GC digabungkan ke spektrometer massa, senyawa yang terelusi dari kolom GC terionisasi dengan menggunakan elektron (EI, ionisasi elektron) atau pereaksi kimia (CI, ionisasi kimia). Fragmen yang dikenakan fokus, dipercepat menjadi analyzer massa : biasanya analyzer massa quadrupole. Fragmen dengan massa yang berbeda akan menghasilkan sinyal yang berbeda, sehingga setiap senyawa yang menghasilkan ion dalam rentang massa dari analyzer massa akan terdeteksi [38].

Senyawa yang mengandung gugus fungsional seperti OH, NH, CO2H dan SH sulit untuk dianalisis dengan GC karena senyawa ini tidak cukup stabil, dapat terlalu kuat ke fasa diam atau tidak stabil secara termal. GC adalah teknik analisis utama untuk pemisahan senyawa volatil. Beberapa fitur seperti kecepatan analisis, kemudahan operasi, hasil kuantitatif yang sangat baik dan biaya yang cukup terjangkau telah membantu GC menjadi salah satu teknik yang paling populer di seluruh dunia [38].

2.4 Rancangan dan Pengolahan Data Hasil Ekstraksi Menggunakan

Response Surface Methodology-Central Composite Design (RSM-CCD)

Response surface methodology (RSM) atau metode permukaan respon adalah sekumpulan metode-metode matematika dan statistika yang digunakan dalam pemodelan dan analisis, yang bertujuan untuk melihat pengaruh beberapa variabel kuantitatif terhadap suatu variabel respon dan untuk mengoptimalkan variabel respon tersebut [39].

Secara matematis, RSM menampilkan pemodelan antara beberapa

explanatory variable dengan satu atau lebih response variable. Ide utama RSM adalah menentukan titik optimal pada variabel respon yang bersesuaian dengan


(14)

17

diterapkan dalam tataran eksperimen, maka error pada data-data hasil eksperimen tidak akan dapat dihindari sehingga interpretasi secara statistik untuk RSM sangat melekat pada penerapannya [41]. RSM tidak lain sebuah model regresi linier yang memodelkan hubungan antara variabel explanatory dan variabel response. RSM mempunyai dua tahapan utama dalam analisisnya. Pertama, pemodelan regresi

first order, yang biasa dinyatakan dengan persamaan linier polinomial dengan order satu [40]. Berikut adalah contoh persamaan RSM first order dengan dua faktor [40]:

y = βo + β1x1+ β2x2+ε (1)

dimana xiadalah faktor yang diteliti dalam eksperimen atau disebut juga sebagai variabel explanatory, dan y adalah variabel respon. Ketika suatu desain eksperimen memuat titik respon optimal diantara level-level faktor yang diselidiki, maka persamaan (1) akan mengandung lack-of-fit [42]. Berikutnya, langkah kedua dapat langsung diterapkan, yakni menaikkan derajat polinomial persamaan (1) menjadi second order atau derajat dua, dengan contoh persamaan dua faktor sebagai berikut [33]:

y = βo + β1x1+ β2x2 + β11x12 + β22x22 + β12x1x2 + ε (2)

Titik optimal respon secara sederhana akan didapat dengan differensial pada persamaan (2) untuk setiap variabel explanatory. Dengan demikian, akan didapatkan setting level faktor-faktor yang akan mengoptimalkan variabel respon. Hal inilah yang kemudian dikatakan sebagai proses optimasi matematis. Persamaan (2) akan diterapkan pada area yang telah mengandung titik optimal tersebut melalui eksperimen lanjutan dengan desain khusus seperti central composite design atau box-behnken design [40].

Central composite design (CCD) merupakan rancangan yang sangat sesuai untuk memperoleh model orde kedua. CCD terdiri dari desain faktorial, central point dan aksial point. Setiap variabel dalam percobaan memiliki nilai numerik rendah dan tinggi. Untuk mewakili variabel nilai rendah dan tinggi dikodekan dengan -1 dan +1. Titik pusat (central point) atau titik nol dapat didefinisikan sebagai daerah untuk kondisi optimal. Sedangkan komponen aksial dikodekan dengan -α dan +α. Nilai α dihitung dengan persamaan α = (2k)1/4, dimana k adalah banyaknya faktor perlakuan. Nilai α disebut juga dengan nilai rotatabilitas yang


(15)

18

tujuannya untuk menjaga kestabilan agar varians tidak berubah ketika desain diputar pada pusatnya [43].

Gambar 2.2 Desain Komposit Pusat (CCD) [44]

Pada penelitian ini digunakan metode RSM-CCD (Response Surface Methodology-Central Composite Design) dengan tiga faktor dan 20 perlakuan.


(1)

13

peralatan [7]. Ayers dan Dooley [33] mengekstraksi biji kapas pada skala laboratorium dengan berbagi macam pelarut termasuk pelarut heksana dan heptana. Jumlah minyak yang di ekstraksi oleh kedua pelarut tersebut sama, tetapi kehilangan akibat refining dan warna minyak bervariasi. Mereka juga mencatat bahwa perbedaan warna minyak tergantung pada kandungan asam lemak bebas (FFA) dari bji. Secara umum minyak yang diekstraksi dengan heksana memiliki warna yang lebih tajam dibanding dengan heptana dan juga fosfolipid yang diekstraksi dengan heptana lebih tinggi dibanding dengan heksana [7].

Heksana sangat beracun bagi sistem saraf perifer sedangakan heptana hanya sedikit beracun. Ini merupakan keuntungan besar bagi hepatana. Selain itu heptana juga memiliki titik didih 98oC pada 1 atm yang 30oC lebih besar dari titik didih heksana. Menggunakan pelarut dengan titik didih tinggi lebih menguntungkan karena proses difusi lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi dan membran sel lebih mudah pecah dan mengeluarkan minyak. Karena heptana kurang volatil dibandingkan heksana, maka akan sedikit residu yang tertinggal pada peralatan [29]. Heksana sangat volatil dan didalam tubuh manusia dimetabolisasi menjadi 2,5-heksana dion yang merupakan senyawa neurotoksik. Telah dikemukakan bahwa paparan heksana atau 2,5-heksana dion yang terus menerus mengakibatkan hilanya fungsi sensorik dan motorik serta perubahan pada protein neurofilamen aksonal. Penelitian pada hewan telah jelas menunjukkan bahwa heksana jauh lebih toksik ke saraf perifer tikus daripada n-heptana. Studi paparan pada manusia juga telah dilakukan, sebagai contoh setelah periode 6 bulan kerja, dilaporkan bahwa paparan heksana menyebabkan seorang pekerja dengan usia 27 tahun menderita neuropati optik yang dapat menyebabkan kebutaan [34].

2.3 Uji Sifat Fisika dan Kimia Minyak Biji Alpukat

Pengujian sifat fisika dan kimia digunakan untuk identifikasi jenis dan penilaian mutu minyak dan lemak. Uji tersebut bersifat kualitatif dan kuantitatif, dan dapat dilakukan berdasarkan cara asidimetri dan uji khusus lainnya [35].


(2)

14 2.3.1 Warna

Zat warna terdapat secara alamiah didalam bahan yang mengandung minyak dan ikut terekstrak bersama minyak pada proses ekstraksi. Zat warna tersebut antara lain terdiri dari α dan β karoten, xanthofil, klorofil dan anthosianin. Zat warna ini menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning kecoklatan, kehijau-hijauan dan kemerah-merahan [35]. Warna minyak atau lemak dapat ditentukan dengan melihat warna minyak itu sendiri.

2.3.2 Densitas

Densitas minyak dan lemak lebih rendah dari pada air, sehingga minyak akan mengapung ke atas jika bercampur dengan air. Sifat fisika trigliserida ditentukan oleh proporsi dari struktur kimia asam lemak yang membentuknya. Semakin banyak mengandung asam lemak rantai pendek dan ikatan tidak jenuh, maka konsistensi lemak akan semakin cair. Sebaliknya semakin banyak mengandung asam lemak jenuh dan rantai panjang maka konsistensi lemak akan semakin padat [35]. Uji densitas minyak dapat dilakukan dengan menggunakan piknometer pada suhu 20oC berdasarkan metode tes OECD 109.

2.3.3 Viskositas

Viskositas lemak dan minyak akan bertambah dengan bertambahnya panjang rantai karbon. Viskositas merupakan properti penting untuk komersial, terutama untuk produsen pelumas. Viskositas sangat bervariasi dengan suhu. Ketika didinginkan ke titik pemadatan minyak dan lemak tidak bisa lagi dikatakan kental dan berubah menjadi plastis [36]. Uji viskositas minyak dan lemak dilakukan dengan menggunakan viskosimeter Ostwald pada suhu 40oC berdasarkan metode tes ASTM D-445.

2.3.4 Free Fatty Acid (FFA)

Secara umum, asam lemak bebas (FFA) adalah produk hidrolisis dari minyak dan lemak yang mengalami oksidasi akibat penyimpanan jangka panjang atau pemrosesan pada temperatur tinggi akibat pemanasan atau penggorengan. FFA merupakan kunci utama yang dihubungkan dengan nilai kualitas dan


(3)

15

komersil dari minyak dan lemak. FFA lebih rentan terhadap oksidasi dan mengubah minyak menjadi tengik. American Oil Chemists Society (AOCS), Association of Official Analytical Chemists (AOAC) dan European Commission (EC) telah menetapkan peraturan metode standar yang hampir sama untuk penilaian FFA [37]. Analisis FFA berdasarkan metode tes AOCS Official Method Ca 5a-40, minyak ditambah dengan etanol 95% kemudian dititrasi dengan NaOH sampai berubah warna merah rosa.

2.3.5 Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GCMS)

Komposisi asam lemak dalam minyak biji alpukat dapat diidentifikasi menggunakan instrumentasi GC-MS. Archer J.P. Martin dan Anthony T. James pertama kali memperkenalkan kromatografi partisi cair-gas pada tahun 1950 di London, inilah yang menjadi dasar pengembangan kromatografi gas. Saat ini, kromatografi gas adalah teknik yang matang, banyak digunakan di seluruh dunia untuk analisis hampir setiap jenis senyawa organik, bahkan senyawa yang tidak stabil dalam keadaan aslinya tetapi dapat dikonversi ke derivatif yang mudah menguap [38].

Kromatografi gas adalah suatu teknik pemisahan komponen dari sebuah sampel partisi yang terdiri dari 2 fasa yaitu fasa diam dan fasa gas pembawa (fasa gerak). Menurut keadaan fasa diam, kromatografi gas dapat diklasifikasikan menjadi kromatografi gas-padat (GSC), di mana fasa diam adalah padat, dan kromatografi gas-cair (GLC) yang menggunakan cairan sebagai fasa diam. GLC sebagian besar lebih banyak digunakan daripada GSC. Selama pemisahan GC, sampel diuapkan dan dibawa oleh fasa gas pembawa melalui kolom. Pemisahan komponen yang berbeda dicapai berdasarkan tekanan uap relatifnya dan afinitas untuk fasa diam. Afinitas zat terhadap fasa diam dapat digambarkan dalam istilah kimia sebagai konstanta kesetimbangan yang disebut konstanta distribusi (Kc), yang juga dikenal sebagai koefisien partisi. Kc bergantung pada suhu dan juga sifat kimia fasa diam. Dengan demikian, suhu dapat digunakan sebagai cara untuk meningkatkan pemisahan senyawa yang berbeda melalui kolom, atau dengan fasa diam yang berbeda [38].


(4)

16

Penggunaan GC mulai dikombinasikan dengan spektrometri massa (MS). Spektrometer massa telah menjadi detektor standar yang memungkinkan untuk batas deteksi yang lebih rendah dan tidak memerlukan pemisahan dari semua komponen yang ada dalam sampel. Spektroskopi massa adalah salah satu jenis deteksi yang menyediakan informasi yang hanya memerlukan mikrogram sampel. Identifikasi kualitatif senyawa yang tidak diketahui serta analisis kuantitatif sampel dapat menggunakan GC-MS. Ketika GC digabungkan ke spektrometer massa, senyawa yang terelusi dari kolom GC terionisasi dengan menggunakan elektron (EI, ionisasi elektron) atau pereaksi kimia (CI, ionisasi kimia). Fragmen yang dikenakan fokus, dipercepat menjadi analyzer massa : biasanya analyzer massa quadrupole. Fragmen dengan massa yang berbeda akan menghasilkan sinyal yang berbeda, sehingga setiap senyawa yang menghasilkan ion dalam rentang massa dari analyzer massa akan terdeteksi [38].

Senyawa yang mengandung gugus fungsional seperti OH, NH, CO2H dan SH sulit untuk dianalisis dengan GC karena senyawa ini tidak cukup stabil, dapat terlalu kuat ke fasa diam atau tidak stabil secara termal. GC adalah teknik analisis utama untuk pemisahan senyawa volatil. Beberapa fitur seperti kecepatan analisis, kemudahan operasi, hasil kuantitatif yang sangat baik dan biaya yang cukup terjangkau telah membantu GC menjadi salah satu teknik yang paling populer di seluruh dunia [38].

2.4 Rancangan dan Pengolahan Data Hasil Ekstraksi Menggunakan Response Surface Methodology-Central Composite Design (RSM-CCD) Response surface methodology (RSM) atau metode permukaan respon adalah sekumpulan metode-metode matematika dan statistika yang digunakan dalam pemodelan dan analisis, yang bertujuan untuk melihat pengaruh beberapa variabel kuantitatif terhadap suatu variabel respon dan untuk mengoptimalkan variabel respon tersebut [39].

Secara matematis, RSM menampilkan pemodelan antara beberapa explanatory variable dengan satu atau lebih response variable. Ide utama RSM adalah menentukan titik optimal pada variabel respon yang bersesuaian dengan setting level pada variabel-variabel explanatory-nya [40]. Ketika model RSM ini


(5)

17

diterapkan dalam tataran eksperimen, maka error pada data-data hasil eksperimen tidak akan dapat dihindari sehingga interpretasi secara statistik untuk RSM sangat melekat pada penerapannya [41]. RSM tidak lain sebuah model regresi linier yang memodelkan hubungan antara variabel explanatory dan variabel response. RSM mempunyai dua tahapan utama dalam analisisnya. Pertama, pemodelan regresi first order, yang biasa dinyatakan dengan persamaan linier polinomial dengan order satu [40]. Berikut adalah contoh persamaan RSM first order dengan dua faktor [40]:

y = βo + β1x1+ β2x2+ε (1)

dimana xi adalah faktor yang diteliti dalam eksperimen atau disebut juga sebagai variabel explanatory, dan y adalah variabel respon. Ketika suatu desain eksperimen memuat titik respon optimal diantara level-level faktor yang diselidiki, maka persamaan (1) akan mengandung lack-of-fit [42]. Berikutnya, langkah kedua dapat langsung diterapkan, yakni menaikkan derajat polinomial persamaan (1) menjadi second order atau derajat dua, dengan contoh persamaan dua faktor sebagai berikut [33]:

y = βo + β1x1+ β2x2 + β11x12 + β22x22 + β12x1x2 + ε (2)

Titik optimal respon secara sederhana akan didapat dengan differensial pada persamaan (2) untuk setiap variabel explanatory. Dengan demikian, akan didapatkan setting level faktor-faktor yang akan mengoptimalkan variabel respon. Hal inilah yang kemudian dikatakan sebagai proses optimasi matematis. Persamaan (2) akan diterapkan pada area yang telah mengandung titik optimal tersebut melalui eksperimen lanjutan dengan desain khusus seperti central composite design atau box-behnken design [40].

Central composite design (CCD) merupakan rancangan yang sangat sesuai untuk memperoleh model orde kedua. CCD terdiri dari desain faktorial, central point dan aksial point. Setiap variabel dalam percobaan memiliki nilai numerik rendah dan tinggi. Untuk mewakili variabel nilai rendah dan tinggi dikodekan dengan -1 dan +1. Titik pusat (central point) atau titik nol dapat didefinisikan sebagai daerah untuk kondisi optimal. Sedangkan komponen aksial dikodekan dengan -α dan +α. Nilai α dihitung dengan persamaan α = (2k)1/4, dimana k adalah banyaknya faktor perlakuan. Nilai α disebut juga dengan nilai rotatabilitas yang


(6)

18

tujuannya untuk menjaga kestabilan agar varians tidak berubah ketika desain diputar pada pusatnya [43].

Gambar 2.2 Desain Komposit Pusat (CCD) [44]

Pada penelitian ini digunakan metode RSM-CCD (Response Surface Methodology-Central Composite Design) dengan tiga faktor dan 20 perlakuan.