Peranan Polri Dalam Pemberantasan Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Polsekta Pancur Batu)

(1)

PERANAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

( STUDI KASUS POLSEKTA PANCUR BATU )

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

T BASTANTA TARIGAN NIM : 080200139 Departemen Hukum Pidana

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERANAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

( STUDI KASUS POLSEKTA PANCUR BATU )

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

T BASTANTA TARIGAN NIM : 080200139

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Diketahui/Disetujui Oleh : Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. HAMDAN, S.H.,M.H NIP.195703261986011001

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

M. NUH S.H., M.Hum ALWAN S.H., M.Hum

NIP. 194808011980031003 NIP.196005201998021001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2012


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus, atas segala berkat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini disusun untuk melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang akan menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul skripsi ini adalah “Peranan Polri Dalam Pemberantasan Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Polsekta Pancur Batu)”. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam menyususn skripsi ini. Namun, penulis menyadari masih banyak kekurangan dari segi isi maupun penulisan dari skripsi ini.

Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu:

1. Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat-Nya dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sampai selesai.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan S.H., M.Hum, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

5. Bapak Muhammad Husni S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. Muhammad Hamdan S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Liza Erwina S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Muhammad Nuh SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini yang telah meluangkan waktu untuk membimbing serta memberikan masukan-masukan bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Bapak Alwan S.H, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini yang telah meluangkan waktu untuk membimbing serta memberikan masukan-masukan bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

10. Ibu Dr. T. Khezerina Devi S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik dalam penulisan skripsi ini yang telah memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini.

11. Bapak/Ibu Pegawai dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan semangat dan arahan bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

12. Buat kedua orang tua tercinta, Bapak Sadaperarih Tarigan dan ibunda tercinta Masni Br Singarimbun. Serta abang Edy Putra Tarigan dan adik


(5)

Rani Afrida Br Tarigan. Terimakasih buat doa, dukungan, arahan, serta kasih sayang yang begitu besar.

13. Buat Putri Eka Ninta Br Sitepu terkasih yang telah memberikan semangat dan membantu dalam penulisan skripsi ini

14. Buat sahabat-sahabat tercinta di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Theresia Deliana, Boy Fedly, Ferdian Ade Cecar, Daud Rianto,Dedy Sihombing, Rully Afraldo, Rikson dan teman-teman lain stambuk 2008 dan terlebih anak pidana yang memberikan doa dan dukungan sehingga penulis dapat meyelesaikan skripsi ini.

15. Buat semua teman-teman yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak disebutkan satu persatu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semangat ya teman-teman dalam penulisan skripsi ini.

Medan, November 2012


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….i

DAFTAR ISI………..iv

ABSTRAKSI………..vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………...1

B. Perumusan Masalah………...4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………...4

D. Keaslian Penulisan……….5

E. Tinjauan Pustaka...5

1. Tinjauan Tentang Polri a. Istilah dan Pengertian……….5

b. Fungsi dan Tugas Polri………...6

c. Wewenang Polri……….9

2. Tinjauan Tentang Narkotika a. Pengertian dan Jenis-jenis Narkotika………...10

b. Pengertian Penyalahgunaan Narkotika………17

F. Metode Penelitian………...17

G. Sistematika Penulisan………...20

BAB II PERKEMBANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DAN PENGATURAN HUKUMNYA DI INDONESIA A. Perkembangan Penyalahgunaan Narkotika………..21


(7)

B. Pengaturan Hukum Narkotika di Indonesia……….31 C. Pihak-pihak Terkait Dalam Pemberantasan Penyalahgunaan

Narkotika………..49

BAB III PERANAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

A. Peranan Polri Dalam Upaya Pemberantasan Penyalahgunaan Narkotika………..61 B. Kendala Polri Dalam Pemberantasan Penyalahgunaan

Narkotika………..73

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan………..77

B. Saran………80


(8)

ABSTRAKSI

Muhammad Nuh S.H.,M.Hum Alwan S.H.,M.Hum T Bastanta Tarigan***

Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. Peredaran narkotika di Indonesia, dilihat dari aspek yuridis adalah sah keberadaanya. Peraturan ini hanya melarang terhadap penggunaan narkotika tanpa izin oleh undang-undang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perkembangan penyalahgunaan narkotika dan pengaturan hukumnya di Indonesia dan, apakah upaya dan kendala dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika.

Perkembangan penyalahgunaan narkoba sudah sangat memperihatinkan. Kalau dulu, peredaran dan pecandu narkoba hanya berkisar di wilayah perkotaan, kini tidak ada satupun kecamatan, atau bahkan desa di republik ini yang bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap obat terlarang itu. Dalam perkembangannya pengaturan tentang narkotika di Indonesia telah melalui beberapa tahap yaitu, Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika diganti dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika ini dilakukan dengan upaya

preemtif (pembinaan) kepada masyarakat tentang dampak buruk penyalahgunaan narkotika , preventif (pencegahan) yang dilakukan dengan melakukan razia ketempat yang dicurigai sebagai penampungan, penyimpanan, dan peredaran narkotika, dan Represif (Penindakan) terhadap orang yang diduga menyalahgunakan narkotika. Dalam upaya tersebut terdapat kendala-kendala yakni saranan prasarana penegak hukum, masyarakat, penegak hukum.

Dosen Pembimbing I, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Dosen Pembimbing II, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***


(9)

ABSTRAKSI

Muhammad Nuh S.H.,M.Hum Alwan S.H.,M.Hum T Bastanta Tarigan***

Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. Peredaran narkotika di Indonesia, dilihat dari aspek yuridis adalah sah keberadaanya. Peraturan ini hanya melarang terhadap penggunaan narkotika tanpa izin oleh undang-undang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perkembangan penyalahgunaan narkotika dan pengaturan hukumnya di Indonesia dan, apakah upaya dan kendala dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika.

Perkembangan penyalahgunaan narkoba sudah sangat memperihatinkan. Kalau dulu, peredaran dan pecandu narkoba hanya berkisar di wilayah perkotaan, kini tidak ada satupun kecamatan, atau bahkan desa di republik ini yang bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap obat terlarang itu. Dalam perkembangannya pengaturan tentang narkotika di Indonesia telah melalui beberapa tahap yaitu, Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika diganti dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika ini dilakukan dengan upaya

preemtif (pembinaan) kepada masyarakat tentang dampak buruk penyalahgunaan narkotika , preventif (pencegahan) yang dilakukan dengan melakukan razia ketempat yang dicurigai sebagai penampungan, penyimpanan, dan peredaran narkotika, dan Represif (Penindakan) terhadap orang yang diduga menyalahgunakan narkotika. Dalam upaya tersebut terdapat kendala-kendala yakni saranan prasarana penegak hukum, masyarakat, penegak hukum.

Dosen Pembimbing I, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Dosen Pembimbing II, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, tertib dan damai berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera tersebut perlu peningkatan secara terus menerus usaha-usaha dibidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk ketersedian narkotika sebagai obat, disamping untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.1

Akhir-akhir ini kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi dan teknologi yang canggih. Aparat penegak hukum diharapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna

1

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika


(11)

meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi generasi penerus bangsa.2

Dampak dari penyalahgunaan narkotika adalah dapat berakibat pada pengguna itu sendiri dan pada masyarakat pada umumnya. Bagi individu akan membawa dampak yang merugikan bagi kesehatan baik kesehatan rohani maupun jasmani. Sedangkan bagi masyarakat akan berdampak kemerosotan moral dan meningkatnya kriminalitas.3

Peredaran narkotika di Indonesia, dilihat dari aspek yuridis adalah sah keberadaanya. Peraturan ini hanya melarang terhadap penggunaan narkotika tanpa izin oleh undang-undang. Keadaan inilah yang sering disalahgunakan dan tidak untuk kepentingan kesehatan tapi lebih dari itu, yakni dijadikan sebagai objek bisnis (ekonomi).

Penegakan hukum terhadap penyalahgunaan narkotika telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapatkan putusan disidang pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal terhadap merebaknya peredaran perdagangan narkotika. Dengan semakin merebaknya penyalahgunaan narkotika yang berdampak negatif pada kehidupan masyarakat. Sehingga, untuk mengendalikan dan mengembalikan kondisi kehidupan masyarakat yang ideal (tertib, aman, dan tentram) diperlukan peran Polri. Sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2

A. Hamzah dan RM. Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotrokia, ( Jakarta: Sinar Grafika, 1994), halaman 6

3

Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Alumni, Bandung, 1987, halaman 25


(12)

2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menegaskan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat b. Menegakkan hukum; dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat

Upaya pemberantasan oleh Polri dalam hal ini berada dalam kawasan Polsekta Pancur Batu memerlukan langkah-langkah lebih lanjut dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika tersebut. Dalam hal pemberantasan penyalahgunaan narkotika juga diperlukan adanya kerjasama dari berbagai pihak antara lain adalah peran serta masyarakat. Bentuk peran serta masyarakat disini dapat berupa memberikan informasi mengenai tindak pidana penyalahgunaan narkotika kepada penyidik Polri. Disamping itu, dapat juga berupa lewat lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan organisasi-organisasi masyarakat yang memfokuskan diri dalam pemberantasan narkotika secara menyeluruh.

Berdasarkan data statistik di Polsekta Pancur Batu terjadi penurunan kasus penyalahgunaan narkotika dari tahun 2009 (22 kasus), 2010 (14 kasus), 2011 (9 kasus), dan yang kini sedang ditangani oleh Polsekta Pancur Batu 2012 (6 kasus).

Dari berbagai uraian di atas, menurut penulis diperlukan suatu kajian yang mendalam tentang narkotika khususnya tentang upaya Polri dalam memberantas penyalahgunaan narkotika di wilayah hukum Polsekta Pancur Batu serta kendala -kendala yang dihadapi Polri dalam memberantas penyalahgunaan narkotika.


(13)

Untuk itu penulis tertarik membuat penulisan skripsi yang berjudul “PERANAN

POLRI DALAM PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN

NARKOTIKA (STUDI KASUS POLSEKTA PANCUR BATU)” B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana perkembangan penyalahgunaan narkotika dan pengaturan hukumnya di Indonesia ?

2. Bagaimana peranan Polri dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui perkembangan penyalahgunaan narkotika dan pengaturan hukumnya di Indonesia.

2. Untuk mengetahui peranan Polri dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan yang menjadi kendala dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika.

Disamping tujuan yang akan dicapai sebagaimana yang dikemukakan diatas, maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk :

1. Manfaat Secara Teoritis

Yaitu untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana. Selain itu, memberikan pengetahuan yang mendalam mengenai perkembangan penyalahgunaan narkotika dan pengaturan hukumnya di Indonesia.


(14)

2. Manfaat Secara Praktis

Yaitu untuk mengetahui peranan POLRI dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Serta yang menjadi kendala dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika tersebut.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul “Peranan Polri Dalam Pemberantasan Penyalahgunaan Narkotika ( Studi Kasus Polsekta Pancur Batu)” adalah hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini menurut sepengetahuan penulis belum pernah ada yang membuat. Kalaupun ada, penulis yakin bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Tentang POLRI a. Istilah dan Pengertian Polri

Istilah Polisi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu “politeia” yang berarti pemerintahan negara kota. Untuk mengontrol negara kota tersebut tidak cukup dilaksanakan oleh seoarang pemimpin, tetapi perlu dibentuk satu kesatuan aparat penegak hukum yang dapat menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat.4

Pengertian Polisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :

Badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar undang-undang dsb); Anggota

4

M.Karjadi, Polisi, Filsafat dan Perkembangan Hukumnya, Politeia, Bogor 1978, halaman 65


(15)

badan pemerintah (pegawai Negara yang bertugas menjaga keamanan dsb).

Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Replubik Indonesia, yang dimaksud dengan kepolisian adalah segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polisi sesuai dengan perundang-undangan.

b. Fungsi dan Tugas Polri

Sebagai aparat penegak hukum yang ditempatkan paling depan untuk menindak kasus pidana termasuk narkotika, polisi berkewajiban untuk memberikan jaminan dan perlindungan bagi masyarakat agar terhindar dari penyalahgunaan zat atau obat-obatan terlarang tersebut. Hal ini dapat tumbuh melalui standar profesi yang tinggi dan tugas sebagai panutan sadar hukum serta perilaku sesuai dengan hukum. Kehadiran Polisi sebenarnya juga dapat dilihat dari upaya orisinil masyarakat guna secara sistematis bertahan terhadap kemungkinan munculnya kekacauan atau ketidaktertiban.5

Polisi sebagai bagian dari warga Negara Republik Indonesia yang merupakan ujung tombak dari penegakan hukum tidak lepas dari kewajiban tugasnya tersebut. Kewajiban Polisi pada hakekatnya dapat di bedakan atas 2 macam, antara lain :

a. Kewajiban preventif ialah kewajiban yang melaksanakan segala usaha, kegiatan dan pekerjaan dalam rangka penyelenggaraan melindungi Negara beserta badan hukumnya, kesejahteraan, kesentausaan, keamanan, ketertiban umum, orang-orang dan harta bendanya dengan jalan mencegah terjadinya tindak pidana;

5


(16)

b. Kewajiban represif ialah kewajiban yang melakukan segala usaha, kegiatan dan pekerjaan untuk membantu tugas kehakiman guna memberantas segala tindak pidana yang telah dilakukan dengan cara menyidik, menahan, memerikasa, menggeledah, dan membuat berita acara pemeriksaan pendahuluan serta mengajukan kepada kejaksaan untuk diadakan penuntutan pidana di muka hakim yang berwajib.

Dalam membahas fungsi Polisi mengacu pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002, yaitu :

“Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara Republik Indonesia di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayom dan pelayanan kepada masyarakat”.

Berdasarkan Pasal 13 Undang -Undang Nomor 2 Tahun 2002, tugas pokok kepolisian adalah :

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Mengacu pada tugas pokok kepolisian sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, terlihat jelas bahwa tugas yang diemban polisi tidaklah ringan, terutama tugas yang menyangkut memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal ini disebabkan karena semakin kritis dan berkembangnya keterbukaan pada pergaulan di dalam masyarakat, yang pada akhirnya menimbulkan berbagai macam persoalan dan permasalahan.


(17)

Di dalam kaitannya dengan tugas pokok Polri, maka menurut Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patrol terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundangundangan;

d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, danbentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk


(18)

memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta

l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. c. Wewenang Polri

Dalam upaya melaksanakan tugasnya itu, tindakan seorang anggota polisi harus berdasarkan pada suatu wewenang sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu :

a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan,dan penyitaan;

b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;


(19)

g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

h. Mengadakan penghentian penyidikan;

i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untukdiserahkan kepada penuntut umum; dan

l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 2. Tinjauan Tentang Narkotika

a. Pengertian dan Jenis-Jenis Narkotika

Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkan kedalam tubuh.6

Istilah yang dipergunakan disini bukanlah “narcotics” pada farmasi, melainkan sama artinya dengan “drug”, yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu :

a. Mempengaruhi kesadaran ;

6

Taufik Makarao, Suhasril, Moh.Zakky. Tindak Pidana Narkotika, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal 16


(20)

b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia ; c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa :

1. Penenang ;

2. Perangsang (bukan rangsangan sex)

3. Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).7

Menurut Prof. Sudarto S.H., dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana bahwa :

Perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunanai “Narke”, yang berarti Terbius sehingga tidak merasa apa-apa.”8

Menurut Smith Kline dan French Clinical Staff, narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral.9

Pengertian narkotika menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yaitu :

“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.”

7

Soedjono D. “Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia, penerbit PT. Karya Nusantara, Bandung, 1976, halaman 14.

8

Djoko Prakosa, bambang Riyadi Lany dan Mukhsin, “Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara,” penerbit Bina Aksara, halaman 480.

9

Hari Sasangka. Narkotika dan Psikotropika Dalan Hukum Pidana, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 33


(21)

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika pada Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa narkotika digolongkan menjadi 3 (tiga), yaitu narkotika golongan I, narkotika golongan II, dan narkotika golongan III.

a. Narkotika golongan I

Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Pada lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang termasuk narkotika golongan I ada 65 jenis. Dibawah ini delapan diantaranya yaitu sebagai berikut :

1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.10

Tumbuhan Papaver Somniferum L adalah tumbuhan warna keputih-putihan tegak dengan tinggi 30-100 cm dan mengandung getah. Memperbanyak diri dengan biji. Biji tanaman Papaver kecil-kecil mengandung minyak berwarna putih. Daunnya lebar berbentuk bulat telur, lonjong, bergigi kasar, tangkainya besar. Bunganya hermaphrodite, diameter sampai 18 cm, berwarna putih atau merah. Bila bunganya mulai berjatuhan kira-kira 10-15 hari kemudian buahnya sudah dapat dipetik. Buah yang belum masak berbentuk bola dengan garis tengah 5-7 cm, dalam bahasa inggris disebut Poppy. Bila buah muda ini digores akan mengeluarkan getah seperti susu, juice atau opium. Jika menjadi kering

10


(22)

berwarna coklat kehitam-hitaman. Yang disebut candu mentah (raw opium), yakni bahan mentah candu. Tanaman ini tidak tumbuh subur di dataran rendah tropika, oleh karena itu tanaman ini tidak ada di Indonesia, disamping memang dilarang.11

2. Opium Mentah

Merupakan getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya. 3. Opium masak terdiri dari :

a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.

b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.

c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.

4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.

5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanamangenus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.

11

Hari Sasangka. Narkotika dan Psikotropika Dalan Hukum Pidana, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 36


(23)

6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.

7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina .

8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.

Tanaman Cannabis merupakan tanaman setahun yang mudah tumbuh tanpa memerlukan pemeliharaan istimewa. Tanaman ini tumbuh pada daerah beriklim sedang. Pohonnya cukup rimbun dan tumbuh segar di daerah tropis. Ia dapat ditanam dan tumbuh liar di semak belukar. Pohon ganja merupakan tumbuhan berumah dua, artinya pohon yang satu hanya berbunga jantan, yang satu lagi berbunga betina. Yang jantan pohonnya agak tinggi dibanding pohon yang betina. Pada bunga betina terdapat hidung tudung bulu-bulu runcing yang mengeluarkan sejenis dammar (harsa). Dan ganja berbentuk runcing berjari-jari ganjil (5, 7, atau 9).12 Yang popular disalahgunakan adalah tanaman Genus Cannabis dan kokaina. Cannabis di Indonesia dikenal dengan nama ganja atau biasa disebut cimeng, Sedangkan untuk Kokaina adalah bubuk putih yang diambil dari daun pohon koka dan menjadi perangsang yang hebat.13

12

Hari Sasangka. Narkotika dan Psikotropika Dalan Hukum Pidana, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 48

13

O.C. Kaligis, Narkoba dan Peradilannya di Indonesia (Reformasi hukum Pidana melalui Perundangandan Peradilan), Alumni, Bandung, 2002, hlm 254.


(24)

Ad. Narkotika golongan II

Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Narkotika golongan II ada 86 jenis. Dibawah ini delapan diantaranya yaitu sebagai berikut :

1. Alfasetilmetadol 2. Alfameprodina 3. Alfametadol 4. Alfaprodina 5. Alfentanil 6. Morferidina

7. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-oksida

8. Nikomorfina

Yang paling populer digunakan adalah jenis heroin yang merupakan keturunan dari morfin. Heroin dibuat dari pengeringan ampas bunga opium yang mempunyai kandungan morfin dan banyak digunakan dalam pengobatan batuk dan diare. Ada juga heroin jenis sintetis yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit disebut pelhipidine dan methafone. Heroin dengan kadar lebih rendah dikenal dengan sebutan putauw.14 Putauw merupakan jenis narkotika yang paling

14


(25)

sering disalahgunakan. Sifat putauw ini adalah paling berat dan paling berbahaya. Putauw menggunakan bahan dasar heroin dengan kelas rendah dengan kualitas buruk dan sangat cepat menyebabkan terjadinya kecanduan.

Ad. Narkotika golongan III

Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Pada lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang termasuk narkotika golongan III ada 14 macam. Dibawah ini delapan diantaranya yaitu sebagai berikut :

1. Asetildihidrokodeina 2. Dekstropropoksifena 3. Dihidrokodeina 4. Etilmorfina 5. Kodeina 6. Nikodikodina 7. Nikokodina 8. Norkodeina

Perbedaan mendasar dari ketiga golongan narkotika ini adalah sebagai berikut :

1. Narkotika Golongan I : Berguna untuk ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk terapi dengan resiko ketergantungan sangat tinggi.


(26)

2. Narkotika Golongan II : Berguna untuk pengobatan dan digunakan sebagai alternative pengobatan terakhir serta sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dangan resiko ketergantungan tinggi.

3. Narkotika Golongan III : Berguna untuk pengobatan, terapi dan pengembangan ilmu pengetahuan dengan resiko ketergantungan rendah.15 b. Pengertian Penyalahgunaan

Pengertian penyalahgunaan adalah menggunakan kekuasaan dan sebagainya tidak sebagaimana mestinya.16

Menurut Dr. Soedjono Dirdjosisworo. SH dalam bukunya kriminologi, penyalahgunaan narkotika adalah bentuk kejahatan berat yang sekaligus merupakan penyebab yang dapat menimbulkan berbagai bentuk kejahatan.17

Terjadinya penyalahgunaan narkotika di dalam masyarakat tentunya sangat mempengaruhi masyarakat itu sendiri. Pengaruh itu bisa berupa pengaruh terhadap ketenangan dalam masyarakat, pengaruh terhadap timbulnya kejahatan dalam masyarakat dan lain sebagainya.

F. Metode Penelitian

Metode penulisan merupakan cara untuk mencapai suatu tujuan. Sehubungan dengan itu, dalam penerapannya ditempuh langkah-langkah sebagai berikut :

15

Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, halaman 218.

16

Poewadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka.Jakarta. 1985. Hal 854

17


(27)

1. Jenis Penelitian

Penelitian skripsi ini menggunakan penelitian yuridis empiris dan yuridis normatif. Penelitian yuridis empiris dimaksudkan untuk melakukan penelitian terhadap peranan yang dilakukan atas pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Penelitian yuridis normatif, yaitu dengan penelitian terhadap asas-asas hukum dengan cara meneliti peraturan, norma-norma hukum yang berkaitan dengan pemberantasan penyalahgunaan narkotika sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

2. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari lapangan yang meliputi wawancara. Data sekunder adalah data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan namun diperoleh dari studi pustaka yang meliputi bahan dokumentasi, tulisan ilmiah dan berbagai sumber lainnya. Data sekunder dibagi menjadi tiga, yaitu :

a. Data Hukum Primer

Yaitu data-data berupa dokumen peraturan yang bersifat mengikat, asli dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Data hukum primer penulisan skripsi ini diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Replubik Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dan lain sebagainya.


(28)

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian mengenai masalah penyalahgunaan narkotika seperti makalah, jurnal, karya ilmiah, koran, karya tulis dan sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.

c. Data Hukum Tertier

Yaitu semua dokumen yang berisikan konsep-konsep dan keterangan-keterangan otentik yang bersifat mendukung data primer dan data sekunder, seperti kamus dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data ini, metode pengumpulan yang digunakan adalah Studi Lapangan (field research) dan Penelitian Kepustakaan (Library Reseacrh). Studi Lapangan (field research) yaitu suatu cara memperoleh data dengan langsung ke lapangan yang menjadi objek penelitian, yaitu di Polsekta Pancur Batu. Studi lapangan ini dilakukan untuk memperoleh data yang bersifat primer, dimana data tersebut diperoleh dengan cara wawancara. Penelitian Kepustakaan (Library Reseacrh) adalah dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan, yakni buku, pendapat sarjana, artikel, internet dan media massa yang berhubungan dengan masalah diatas.

4. Analisis Data

Untuk menarik kesimpulan dari data yang dikumpulkan, maka penulis menggunakan Teknik analisis data adalah kualitatif, yaitu dengan cara menggambarkan keadaan-keadaan dari objek yang diteliti dilapangan. Kemudian terhadap permasalahan yang timbul akan ditinjau dan dianalisis secara mendalam


(29)

dengan didasarkan pada teori-teori kepustakaan dan Peraturan Perundangan sehingga diperoleh suatu kesimpulan akhir yang ditarik secara komprehensif.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah maka pembahasannya harus dilakukan secara sistematis. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistem penulisan yang teratur, yang terbagi dalam bab per bab yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : Bab ini berisikan pendahuluan dimana penulis menguraikan latar belakang penulis memilih judul, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Bab ini berisikan perkembangan penyalahgunaan narkotika dan pengaturan hukumnya di Indonesia, dimana kemudian akan dibahas satu persatu.

BAB III : Bab ini berisikan tentang peranan Polri dalam pemberantas penyalahgunaan narkotika dan kendala Polri dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika.

BAB IV : Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari bab-bab terdahulu serta berisikan saran akan pemberantasan penyalahgunaan narkotika yang saat ini terjadi.


(30)

BAB II

PERKEMBANGAN PEREDARAN NARKOTIKA DAN PENGATURAN HUKUM DI INDONESIA

A. Perkembangan Peredaran Narkotika

Pada zaman prasejarah di negeri Mesopotamia (sekitar Irak sekarang ), dikenal suatu barang yang namanya “Gil” artinya “bahan yang menggembirakan”. Gil ini lazimnya digunakan sebagai obat sakit perut, kemampuan Gil sangat terkenal pada saat itu, dan Gil menyebar di dunia Barat sampai Asia dan Amerika.18

Di Tiongkok bahan sejenis Gil disebut dengan candu yang sudah dikenal sejak tahun 2735 sebelum Masehi. Candu pernah menghancurkan Tiongkok pada tahun 1840-an yaitu dipergunakan sebagai subversif oleh inggris, sehingga menimbulkan suatu perang yang terkenal dalam sejarah, yaitu Perang Candu (The Opiun War) pada tahun 1839-1842, yang dimenangkan oleh Inggris setelah berhasil merusak mental lawannya melalui candu. Proses pengolahan candu pada zaman dahulu masih sangat sederhana, salah satu prosesnya ialah menghilangkan bau, yakni dengan cara dicampur dengan air sulingan dan disimpan dalam guci 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) bulan, setelah kering baru dipergunakan untuk keperluan pengobatan.19

Sejalan dengan perkembangan kolonisasi maka perdagangan candu semakin tumbuh subur dan pemakaian candu secara besar-besaran dilakukan

18

Redaksi Badan Penerbit Alda Jakarta, “Menanggulangi Bahaya Narkotika”, Jakarta tahun 1985, halaman 31.

19


(31)

dikalangan ethnis cina, terutama di negara-negara jajahan ketika itu, termasuk Indonesia yang berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.20

Masalah penyalahgunaan narkotika ini bukan saja merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian bagi negara Indonesia, melainkan juga bagi dunia Internasional. Memasuki abad ke-20 perhatian dunia internasional terhadap masalah narkotika semakin meningkat, salah satu dapat dilihat melalui Single Convention on Narcotic Drugs pada tahun 1961.21 Masalah ini menjadi begitu penting mengingat bahwa obat-obat (narkotika) itu adalah suatu zat yang dapat merusak fisik dan mental yang bersangkutan, apabila penggunanya tanpa resep dokter.

Peredaran penyalahgunaan narkotika yang terjadi di Indonesia sangat bertentangan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera tertib dan damai berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera tersebut perlu peningkatan secara terus menerus usaha – usaha di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk ketersediaan narkotika sebagai obat, disamping untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Meskipun narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan

20 Sumarmo Ma’some,

Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat, CV. Haji Masagung, 1987, halaman 5.

21

Kusno Adi, 2009, Kebija kan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang, halaman 30.


(32)

perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai – nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.

Peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat diperlukan, karena kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama – sama yaitu berupa jaringan yang dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara rapi dan sangat rahasia.

Perkembangan penyalahgunaan narkoba sudah sangat memperihatinkan. Kalau dulu, peredaran dan pecandu narkoba hanya berkisar di wilayah perkotaan, kini tidak ada satupun kecamatan, atau bahkan desa di republik ini yang bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap obat terlarang itu. Kalau dulu peredaran dan pecandu narkoba hanya berkisar pada remaja dan keluarga mapan, kini penyebarannya telah merambah kesegala penjuru strata sosial ekonomi maupun kelompok masyarakat dari keluarga melarat hingga konglomerat, dari pedesaan hingga perkotaan, dari anak muda hingga yang tua – tua.22

Maraknya pengedaran dan penggunaan narkotika akhir-akhir ini menyebabkan timbulnya kekhawatiran di kalangan masyarakat. Sasaran peredaran dan penggunanya bukan hanya tempat-tempat hiburan malam, tetapi sudah merambah kedaerah pemukiman kampus dan bahkan kesekolah-sekolah.

22

F.Agsya, 2010, Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang Psikotropika, Asa Mandiri, Jakarta, halaman 6


(33)

Beberapa pengamat pendidikan bahkan meyakini di Indonesia tidak ada lagi satupun kampus terbebas dari peredaran narkotika.23

Adapun data pengungkapan kasus narkotika yang berhasil diungkap Polri tahun 2007 sampai tahun 2011 seperti tabel berikut ini :

No Tahun Jumlah 1. 2007 11.380 2. 2008 10.008 3. 2009 11.135 4. 2010 17.834 5. 2011 19.045 Jumlah 69.402

Sumber : Direktorat Tindak Pidana Narkoba, Maret 2012

Tidak terlepas dari akibat yang ditimbulkan oleh penggunaan, perlu dicermati pula mengapa penggunaan narkotika meningkat akhir-akhir ini. Timbul suatu pertanyaan, sebenarnya apa yang menyebabkan mereka menggunakan narkotika. Para pemakai bukannya tidak mengetahui akibat yang ditimbulkan oleh pemakaian narkotika tersebut. Mereka mengetahui akibat dari perbuatan yang dilakukannya, baik dari segi fisik maupun psikis, sebab kebanyakan pemakai berasal dari kalangan yang berpendidikan, akan tetapi itu tidak menghentikan mereka untuk mengkonsumsi narkotika.

Pada umumnya secara keseluruhan faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana narkotika dapat dikelompokkan menjadi :

23

M.Wresiniro,Masalah Narkotika Psikotropika dan Obat-Obat Berbahaya, (Jakarta : Yayasan Mitra Bintibmas, 1999), halaman 413


(34)

1. Faktor internal pelaku 2. Faktor eksternal pelaku24

Ad.1. Faktor internal pelaku

Ada berbagai macam penyebab kejiwaan yang dapat mendorong seseorang terjerumus kedalam tindak pidana narkotika, penyebab internal itu antara lain sebagai berikut :

a. Perasaan Egois

Merupakan sifat yang dimiliki oleh setiap orang. Sifat ini seringkali mengdominasi perilaku seseorang tanpa sadar, demikian juga bagi orang yang berhubungan dengan narkotika/para pengguna dan pengedar narkotika. Pada suatu ketika rasa egoisnya dapat mendorong untuk memiliki dan atau menikmati secara penuh apa yang mungkin dapat dihasilkan dari narkotika.

b. Kehendak ingin bebas

Sifat ini adalah juga merupakan suatu sifat dasar yang dimiliki manusia. Sementara dalam tata pergaulan masyarakat banyak, norma-norma yang membatasi kehendak bebas tersebut. Kehendak ingin bebas itu muncul dan terwujud kedalam perilaku setiap kali seseorang dihimpit beban pemikiran maupun perasaan. Dalam hal ini, seseorang yang sedang dalam himpitan tersebut melakukan interaksi dengan orang lain sehubungan dengan narkotika, maka dengan sangat mudah orang tersebut akan terjerumus pada tindak pidana narkotika.

24

A.W., Widjaya, Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, (Bandung :Armico, 1985) halaman 25


(35)

c. Kegoncangan Jiwa

Hal ini pada umumnya terjadi karena salah satu sebab yang secara kejiwaan hal tersebut tidak mampu dihadapi/diatasinya. Dalam keadaan jiwa yang labil, apabila ada pihak-pihak yang berkomunikasi dengannya mengenai narkotika maka ia akan dengan mudah terlibat tindak pidana narkotika

d. Rasa Keingintahuan

Perasaan ini pada umumnya lebih dominan pada manusia yang usianya masih muda, perasaan ingin ini tidak terbatas pada hal-hal yang positif, tetapi juga kepada hal-hal yang sifatnya negatif. Rasa ingin tahu tentang narkotika, ini juga dapat mendorong seseorang melakukan perbuatan yang tergolong dalam tindak pidana narkotika.

Ad. 2. Faktor eksternal pelaku

Faktor-faktor yang datang dari luar ini banyak sekali, diantaranya yang paling penting adalah sebagai berikut :

a. Keadaan Ekonomi

Keadaan ekonomi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2(dua), yaitu keadaan ekonomi yang baik dan keadaan ekonomi yang kurang atau miskin. Pada keadaan ekonomi yang baik maka orang-orang dapat mencapai atau memenuhi kebutuhannya dengan mudah. Demikian juga sebaliknya, apabila keadaan ekonomi kurang baik maka pemenuhan kebutuhan sangat sulit adanya, karena itu orang-orang akan berusaha untuk dapat keluar dari himpitan ekonomi tersebut.


(36)

Dalam hubungannya dengan narkotika, bagi orang-orang yang tergolong dalam keadaan ekonomi yang baik dapat mempercepat keinginan-keinginan untuk mengetahui, menikmati, dan sebagainya tentang narkotika. Sedangkan bagi yang keadaan ekonominya sulit dapat juga melakukan hal tersebut, tetapi kemungkinannya lebih kecil daripada mereka yang ekonominya cukup.

Berhubung narkotika tersebut terdiri dari berbagai macam dan harga, maka dalam keadaan ekonomi yang bagaimanapun narkotika dapat beredar dan dengan sendirinya tindak pidana narkotika dapat saja terjadi.

b. Pergaulan atau lingkungan

Pergaulan ini pada pokoknya terdiri dari pergaulan atau lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah atau tempat kerja dan lingkungan pergaulan lainnya. Ketiga lingkungan tersebut dapat memberikan pengaruh yang negatif terhadap seseorang, artinya akibat yang ditimbulkan oleh interaksi dengan lingkungan tersebut, seseorang dapat melakukan perbuatan yang baik dan dapat pula sebaliknya. Apabila dilingkungan tersebut narkotika dapat diperoleh dengan mudah, maka dengan sendirinya kecenderungan melakukan tindak pidana narkotika semakin besar.

c. Kemudahan

Kemudahan disini dimaksudakan dengan semakin banyaknya beredar jenis-jenis narkotika dipasar gelap maka akan semakin besar pula peluang terjadinya tindak pidana narkotika.


(37)

d. Kurangnya Pengawasan

Pengawasan disini dimaksudkan adalah pengendalian terhadap persediaan narkotika, penggunaan, dan peredarannya. Jadi tidak hanya mencakup pengawasan yang dilakukan pemerintah, tetapi juga pengawasan oleh masyarakat. Pemerintah memegang peranan penting membatasi mata rantai peredaran, produksi, dan pemakaian narkotika. Dalam hal kurangnya pengawasan ini, maka pasar gelap, produksi gelap, dan populasi pecandu narkotika akan semakin meningkat. Pada akhirnya, keadaan semacam itu sulit untuk dikendalikan. Disisi lain keluarga merupakan inti dari masyarakat seyogyanya dapat melakukan pengawasan intensif terhadap anggota keluarganya untuk tidak terlibat dalam perbuatan yang tergolong pada tindak pidana narkotika. Dalam hal kurangnya pengawasan seperti yang dimaksud diatas, maka tindak pidana narkotika, bukan merupakan perbuatan yang sulit untuk dilakukan.

e. Ketidaksenangan dengan Keadaan Sosial

Bagi sesorang yang telah terhimpit oleh keadaan sosial maka narkotika dapat menjadikan sarana untuk melepaskan diri dari himpitan tersebut, meskipun sifatnya hanya sementara. Tapi bagi orang-orang tertentu yang memiliki wawasan, uang, dan sebagainya, tidak saja dapat menggunakan narkotika sebagai alat yang melepaskan diri dari hipitan keadaan sosial, tetapi lebih jauh dapat dijadikan alat bagi pencapaian tujuan-tujuan tertentu.


(38)

Kedua faktor tersebut tidak selalu berjalan sendiri-sendiri dalam suatu peristiwa pidana narkotika, tetapi dapat juga merupakan kejadian yang disebabkan karena kedua faktor tersebut saling mempengaruhi secara bersama.

Peredaran gelap narkotika di Indonesia melalui beberapa jalur, yakni jalur darat, jalur udara, jalur laut. Peredaran narkotika lewat jalur darat dapat terjadi karena lemahnya sistem pengawasan dan keamanan di wilayah perbatasan. Peredaran gelap narkotika melalui laut juga kerap dilakukan. Indonesia yang merupakan negara kepulauan tentu banyak memiliki lautan yang dapat berfungsi sebagai pintu masuk kedalam negeri ini. Masalahnya tidak semua wilayah laut yang ada di Indonesia ini mendapatkan perhatian dan pengawalan yang optimal dari pemerintah. Luasnya lautan yang dimiliki Indonesia tidak diimbangi dengan jumlah personel yang mencukupi. Akibatnya beberapa wilayah perbatasan laut indonesia menjadi tidak terjaga. Celah inilah yang banyak diincar oleh pengedar narkotika luar untuk dapat membawa masuk narkotika mereka ke Indonesia melalui jalur laut. Peredaran gelap narkotika melalui jalur udara juga mengkhawatirkan. Berkali-kali dinas bea dan cukai bandara menggagalkan penyelundupan narkotika membuktikan kalau penyelundupan narkotika melalui jalur bandara sangatlah sering dilakukan. Ketersediaan alat pendeteksi yang canggih mutlak diperlukan agar penyelundupan narkotika melalui bandara tersebut tidak dapat lolos dari pemeriksaan, karena cara dan modus yang dilakukan untuk menyelundupkan narkotika melalui jalur udara ini semakin hari semakin beragam.


(39)

Indonesia menjadi sasaran ekspor utama negara-negara produsen narkotika seperti Belanda dan Iran. Harga 1 butir ekstasi di Belanda hanya bekisar Rp. 3000. Ekstasi itu kemudian diselundupkan ke Malaysia dan harganya meningkat menjadi Rp 30.000. Dari Malaysia, ekstasi diedarkan ke Indonesia dan harganya menjadi Rp 300.000 per butir. Sementara untuk sabu asli Iran, di negara asalnya Rp 100 juta per kilogram. Sabu itu kemudian diselundupkan ke Malaysia harganya menjadi Rp 300 juta. Tiba di Indonesia, harga sabu itu menjadi Rp 1,5 miliar.25

Peredaran gelap narkotika yang dilakukan dari Negara Malaysia karena antara Indonesia dengan Malaysia memiliki letak geografis yang sangat dekat. Sehingga menjadi salah satu alasan mudah masuknya berbagai jenis narkotika. Tidak hanya memiliki batas perairan, antara Indonesia juga memiliki perbatasan darat yang cukup luas yakni di sebelah utara Pulau Kalimantan.

Selain melalui jalur resmi penerbangan dan pelabuhan, para pengedar narkotika asal Malaysia juga biasa memanfaatkan jalur tidak resmi baik jalur tidak resmi perbatasan darat maupun perairan. Penyelundupan narkotika kerap terjadi di perbatasan Entikong Malaysia, Tanjung Balai Karimun, Dumai, termasuk Aceh hingga Batam yang memiliki kawasan bebas perdagangan26. Adapun sasaran peredaran gelap narkotika di wilayah Indonesia adalah meliputi Jakarta, Bali,

25

http://megapolitan.kompas.com/read/2012/10/04/17240495/Harga.Mahal.Buat.Indonesi a.Jadi.Sasaran.Ekspor.Narkotika

26

http://www.suarapembaruan.com/home/peredaran-narkoba-dari-negara-tetangga-semakin-marak/20945


(40)

Jawa Barat, Jawa Timur, Riau, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Lampung, Banten, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Aceh.27

B. Pengaturan hukum penyalahgunaan narkotika di Indonesia

Dalam sejarah, perundang-undangan yang mengatur tentang narkotika dapat dibagi menjadi beberapa tahap yaitu :

1. Berlakunya Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika;

Latar belakang digantinya Verdovende Midellen Ordonantie Stbl 1927 No. 278 jo No. 536 dengan Undang Undang Nomor 9 Tahun 1976 ini dapat dilihat pada penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976, diantaranya adalah hal-hal yang menjadi pertimbangan sehubungan dengan perkembangan sarana perhubungan modern baik darat, laut maupun udara yang berdampak pada cepatnya penyebaran perdagangan gelap narkotika di Indonesia. Ditambah lagi dengan kemajuan dibidang pembuatan obat-obatan, ternyata tidak cukup memadai bila tetap memakai undang-undang tersebut. Dalam Verdovende Middellen Ordonantie hanya mengatur tentang perdagangan dan penggunaan narkotika. Narkotika tidak saja diperlukan dalam dunia pengobatan, tetapi juga dalam penelitian untuk tujuan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu dibuka kemungkinan untuk mengimpor narkotika dan mengekspor obat-obtan yang mengandung narkotika, menanam, memelihara Papaver, Koka, dan Ganja.

Undang-undang ini mengatur secara lebih luas mengenai narkotika dengan memuat ancaman pidana yang lebih berat dari aturan sebelumnya. Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut :

27

http://www.immcnews.com/Hari-Anti-Narkoba-2012/daerah-tujuan-peredaran


(41)

a. Mengatur jenis-jenis narkotika ;

Dalam undang-undang ini jenis-jenis narkotika , yaitu : Tanaman Papaver, Opium Mentah, Opium Masak, Opium Obat, Morfina, Tanaman Koka, Daun Koka, Kokaina Mentah, Kokaina, Ekgonina, Tanaman Ganja, Damar Ganja, garam-garam dan turunan-turunan dari Morfina dan Kokaina, bahan lain, baik alamiah, sintetis maupun semi sintetis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti Morfina atau Kokaina yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagai narkotika.

b. Pidananya sepadan dengan jenis-jenis narkotika yang digunakan;

Beberapa perbuatan yang dilarang dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut :

Pasal 23 ayat (1) dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman Koka atau tanaman Ganja. Berdasarkan Pasal 36 ayat 1 :

(a) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman Koka atau tanaman Ganja;

(b) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000.- (limabelas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman Papaver.

Pasal 23 ayat (2) dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika. Berdasarkan Pasal 36 ayat (2), barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat 2 :


(42)

(a) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;

(b) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

Pasal 23 ayat (3) dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika. Berdasarkan Pasal 36 ayat (3), barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (3) :

a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;

b. dipidana dengan pidana penjara selama-selamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

Pasal 23 ayat (4) dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika. Berdasarkan Pasal 36 ayat (4), barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (4) :

a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama -lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;


(43)

b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidara penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (Iima puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

Pasal 23 Ayat (5) dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika. Berdasarkan Pasal 36 ayat (5), barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (5) :

a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama -lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman, Ganja;

b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

c. Mengatur tentang rehabilitasi terhadap pecandu narkotika ;

Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis akibat penggunaan atau penyalahgunaan narkotika. Rehabilitasi adalah usaha memulihkan untuk menjadikan pecandu narkotika hidup sehat jasmaniah dan atau rohaniah sehingga dapat menyesuaikan dan meningkatkan kembali ketrampilannya, pengetahuannya serta kepandaiannya dalam lingkungan hidup.


(44)

Dalam usaha pemulihan tersebut dapat dilakukan oleh lembaga milik pemerintah maupun swasta ( Pasal 33 ayat 3 )

d. Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika meliputi penanaman, peracikan, produksi, perdagangan, lalu-lintas pengangkutan serta penggunaan narkotika;

Untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan kepada lembaga ilmu pengetahuan dan atau lembaga pendidikan dapat diberi izin oleh Menteri Kesehatan untuk menanam, meracik, memproduksi, memperdagangkan, serta penggunaan narkotika.

2. Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Undang-Undang ini berlaku pada tanggal 1 September 1997 dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67. Adapun yang menjadi latar belakang diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 ini yaitu peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Tindak pidana narkotika pada umumnya tidak dilakukan secara perorangan dan berdiri sendiri melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisir secara mantap, rapi dan rahasia. Disamping itu tindak pidana narkoba yang bersifat transnasional dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil tindak pidana narkoba. Perkembangan kualitas tindak pidana narkoba tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia. Selain itu perubahan tersebut mengingat ketentuan baru dalam Konvensi Perserikan Bangsa


(45)

Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988, yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.

Undang-undang baru tentang Narkotika mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yang diperberat. Cakupan yang lebih luas tersebut, selain didasarkan pada faktor-faktor di atas juga karena perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwa nilai dan norma dalam ketentuan yang berlaku tidak memadai lagi sebagai sarana efektif untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut : a. Mengatur penggolongan dan jenis-jenis narkotika lebih terperinci.

Dalam undang-undang ini narkotika dibedakan atas 3 golongan, yaitu : narkotika golongan I yang terbagi atas 26 jenis, narkotika golongan II yang terbagi atas 87 jenis, narkotika golongan III yang terbagi atas 14 jenis. Yang membedakan antara tiap-tiap golongan adalah potensi ketergantungannya. Narkotika golongan I mempunyai potensi ketergantungan sangat tinggi, narkotika golongan II mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan, narkotika golongan III mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

b. Pengaturan tentang peredaran, penyaluran, penyerahan

Peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika baik dalam rangka perdagangan, bukan


(46)

perdagangan, maupun pemindahtanganan untuk keperluan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Penyaluran narkotika yang berasal dari importer hanya dapat disalurkan kepada pabrik obat tertentu atau pedagang besar farmasi tertentu. Pabrik obat tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada eksportir, pedagang besar farmasi tertentu, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu, rumah sakit, dan lembaga ilmu pengetahuan tertentu. Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada pedagang besar farmasi tertentu lainnya, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu, rumah sakit, lembaga ilmu pengetahuan, dan eksportir. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada rumah sakit pemerintah, puskesmas, balai pengobatan pemerintah tertentu. ( Pasal 36).

Penyerahan narkotika hanya dapat dilakukan oleh apotek,, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter. Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada rumah sakit, puskesmas, apotek lainnya, balai pengobatan, dokter, pasien. Penyerahan narkotika oleh rumah sakit, apotek, puskesmas, dan balai pengobatan kepada pasien berdasarkan resep dari dokter. ( Pasal 39 )

c. Peran serta masyarakat

Masyarakat mempunyai kesempatan untuk berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran narkotika. Upaya pencegahan dan pemberantasan itu dapat berupa melaporkan kepada pihak yang berwenang apabila mengetahui adanya penyalahgunaan dan


(47)

peredaran gelap narkotika dan bagi pelapor akan diberikan jaminan keamanan dan perlindungan.

Atas jasanya dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, pemerintah memberikan penghargaan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

d. Sanksi pidana penjara dan denda lebih berat

Hal itu dapat kita lihat dalam ketentuan pidana yang terdapat dalam undang-undang tersebut. Diantaranya adalah sebagai berikut :

Pertama, tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman papaver, tanaman koka atau tanaman ganja Pada Pasal 36 ayat 1 (a) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika. Barangsiapa secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman papaver, tanaman koka atau tanaman ganja. Apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman koka dan ganja dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah).

Pada Pasal 78 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Barangsiapa tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman atau memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana


(48)

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, tanaman papaver, tanaman koka atau tanaman ganja termasuk dalam Golongan I. Sanksi pidana penjara menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai tanaman ganja dan tanaman koka dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika adalah 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya adalah 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Sementara dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1976 Tentang Narkotika sanksi pidana penjaranya setinginggi-tingginya adalah 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Kedua, tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika. Pada Pasal 36 ayat 2 (a) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika, barangsiapa tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja.

Pasal 80 ayat 1 (a) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Barangsiapa tanpa hak dan melawan hukum memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana


(49)

penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);

Sangat terlihat jelas perbedaan sanksi pidana penjara dan pidana denda antara Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika berkaitan dengan tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika jenis tanaman ganja dan tanaman koka. Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika ancaman pidana penjaranya adalah selama-lamanya 12 (dua belas) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika ancaman pidananya adalah pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);

Ketiga, tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain. Pada Pasal 36 ayat 6 (a) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika, barangsiapa tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;

Pasal 84 (a) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Barangsiapa tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain,


(50)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Perbedaan sanksi pidana penjara dan pidana denda antara Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika berkaitan dengan tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain jenis tanaman ganja dan tanaman koka. Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika ancaman pidana penjaranya adalah selama -lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika ancaman pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

e. Kriminalisasi bagi orang tua atau wali

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika memberikan ancaman hukuman pidana 6 bulan kurungan atau denda paling banyak Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) bagi orang tua atau wali yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang belum cukup umur menggunakan narkotika untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan ( Pasal 86 ayat 1 ).

Istilah cukup umur sesuai dengan pengertian yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.


(51)

3. Berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang disahkan pada 12 Oktober 2009 merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.

Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.

Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika yang modus operandinya semakin canggih, dalam undang-undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan


(52)

lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut : a. Mengatur penggolongan dan jenis-jenis narkotika

Dalam undang-undang ini narkotika dibedakan atas 3 golongan, yaitu : narkotika golongan I yang terbagi atas 65 jenis, narkotika golongan II yang terbagi atas 86 jenis, narkotika golongan III yang terbagi atas 14 jenis. Terjadi perubahan penambahan jenis golongan I, dimana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 golongan I hanya terdiri dari 26 jenis. Untuk golongan II juga terjadi perubahan penurunan, dimana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 golongan II terdiri dari 87 jenis. Sedangkan untuk golongan III tidak ada perubahan penurunan ataupun penambahan jenis. Hanya saja terjadi perubahan jenis narkotika di dalam Golongan III tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, narkotika jenis campuran atau sediaan opium dengan bahan lain bukan narkotika tidak lagi masuk dalam golongan III dan diganti dengan Buprenorfina.

b. Pengobatan dan Rehabiltasi

Melalui undang-udang ini, para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tidak lagi diberikan kebebasan dan atas kehendak sendiri untuk sembuh. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial menjadi kewajiban bagi para pecandu. Undang-undang ini juga mewajibkan pecandu narkotika untuk melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga menjadi


(53)

tanggung jawab orang tua dan keluarga. Rehabiltasi medis dan sosial selain dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah ataupun masyarakat yang akan diatur dalam peraturan menteri . (Pasal 54)

c. Kewenangan BNN dan Penyelidikan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memberikan porsi besar bagi BNN. Salah satu kewenangan BNN adalah mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prekursor narkotika (Pasal 64). Selain itu BNN dapat mempergunakan masyarakat untuk mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika (Pasal 106).

Dalam hal melakukan pemberantasan narkotika, BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor narkotika beserta dengan kewenangan yang dimiliki penyelidik dan penyidik.

d. Peran Serta Masyarakat

Selain memberikan kewenangan yang besar terhadap penegak hukum, khususnya BNN, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika. Masyarakat dijadikan seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut. Dalam undang-undang ini masyarakat tidak diberikan hak untuk melakukan penyuluhan, pendampingan dan penguatan terhadap pecandu narkotika.


(54)

e. Ketentuan Pidana

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 memiliki kencederungan mengkriminalisasi orang, baik produsen, distributor, konsumen dan masyarakat dengan mencantumkan ketentuan pidana sebanyak 49 pasal dari 155 pasal yang diatur dalam Undang-Undang tersebut.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menggunakan pendekatan pidana untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika. Penggunaan pidana masih dianggap sebagai suatu upaya untuk menakut-nakuti agar tidak terjadinya penggunaan narkotika. Hal tersebut didukung dengan diberikannya suatu kewenangan yang besar bagi BNN yang berkembang menjadi institusi yang berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, serta mengajukan langsung berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum dalam tindak pidana narkotika.

Lebih jauh, menilai ketentuan pidana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 sebagai berikut :

1. Tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam tindak pidana narkotika. Penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum” dalam beberapa pasal undang-undang ini dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niatan melakukan tindak pidana narkotika, baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuaan.


(1)

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

1. Penyalahgunaan narkotika di Indonesia telah terjadi sejak zaman kolonisasi. Penyalahgunaan narkotika yang terjadi di Indonesia sangat bertentangan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera tertib dan damai berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945. Kalau dulu, peredaran narkotika hanya berkisar di wilayah perkotaan. Sekarang penyebarannya telah merambah kesegala penjuru dari keluarga melarat hingga konglomerat, dari pedesaan hingga perkotaan, dari anak muda hingga yang tua. Peredaran narkotika di Indonesia, dilihat dari aspek yuridis adalah sah keberadaanya. Peraturan ini hanya melarang terhadap penggunaan narkotika tanpa izin oleh Undang-Undang. Dalam perkembangannya peraturan tentang narkotika dapat dibagi menjadi beberapa tahap : a. Berlakunya Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika, latar belakang diundangkannya undang-undang ini adalah sehubungan dengan perkembangan sarana perhubungan modern baik darat, laut maupun udara yang berdampak pada cepatnya penyebaran perdagangan gelap narkotika di Indonesia. Ditambah lagi dengan kemajuan dibidang pembuatan obat- Narkotika tidak saja diperlukan dalam dunia pengobatan, tetapi juga dalam penelitian untuk tujuan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan.


(2)

Untuk itu dibuka kemungkinan untuk mengimpor narkotika dan mengekspor obat-obtan yang mengandung narkotika, menanam, memelihara Papaver, Koka, dan Ganjaobatan; b. Berlakunya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, latar belakang diundangkannya undang-undang ini yaitu peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Tindak pidana narkotika pada umumnya tidak dilakukan secara perorangan dan berdiri sendiri melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisir secara mantap, rapi dan rahasia. Disamping itu tindak pidana narkoba yang bersifat transnasional dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil tindak pidana narkoba; c. Berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, latar belakang diundangkannya undang-undang ini adalah untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam undang-undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN).


(3)

2. Upaya yang dilakukan polisi Polsekta Pancur Batu dalam rangka pemberantasan penyalahgunaan narkotika dengan langkah-langkah kebijakan non penal dan kebijakan penal. Kebijakan non penal dilakukan melalui upaya-upaya yang bersifat preemtif dan preventif. Adapun bentuk upaya preemtif adalah melalui penyuluhan, pemasangan poster dan spanduk. Bentuk upaya preventif yang dilakukan adalah dengan melakukan razia di tempat yang diduga dijadikan tempat penampungan, penyimpanan, dan peredaran narkotika. Upaya terakhir yang dilakukan dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika ini adalah dengan kebijakan penal yang dilakukan dengan cara represif atau penindakan. Terhadap orang yang diduga menggunakan, meyimpan, menjual narkotika dilakukan penangkapan. Dalam melakukan upaya terhadap pemberantasan penyalahgunaan narkotika polisi Polsekta Pancur Batu mendapatkan kendala-kendala. Pertama, sarana dan fasilitas dalam penegakan hukum jaringan peredaran narkotika yang tertutup memerlukan penyidikan yang panjang. Sementara dana untuk penyidikan tersebut tidak cukup. Peredaran gelap narkotika sering memanfaatkan perkembangan perkembangan teknologi dengan menggunakan handphone. Sehingga sangat sulit untuk melacaknya. Kedua, masyarakat tidak peduli terhadap lingkungannya sendiri walaupun jelas terlihat secara langsung adanya tindakan penyalahgunaan narkotika. Ketiga, Masih rendahnya mutu beberapa anggota Polisi yang bertugas di Polsekta Pancur Batu untuk melakukan operasi khusus. Operasi yang dimadsud adalah tes urine


(4)

terhadap orang yang diduga menggunakan narkotika pada saat diadakannya razia narkotika

B. Saran

1. Kapolri selaku pimpinan tertinggi dalam institusi Polri hendaknya menyediakan anggaran dalam pelaksaan penanggulangan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika agar upaya yang dilakukan tidak terhambat dan dapat berjalan dengan semaksimal mungkin. Di samping penyediaan anggaran untuk itu perlu adanya suatu pelatihan khusus kepada penyidik-penyidik Polri untuk mengungkap kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan narkotika.

2. Penyalahgunaan narkotika merupakan suatu kejahatan yang membawa dampak yang buruk bagi sipelaku dan masyarakat. Masyarakat haruslah berperan aktif dalam upaya-upaya yang dilakukan dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan tidak diam disaat ia mengetahui ada kejahatan yang berkaitan dengan narkotika.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Agsya,F. 2010. Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang Psikotropika , Jakarta: Asa Mandiri

A.W., Widjaya. 1985. Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, Bandung: Armico

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni‟matul Huda, 1999, Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: RajaGrafindo Persada,

Dirdjosisworo, Soedjono. 1987. Hukum Narkotika Indonesia. Bandung: Alumni Djoko Prakosa, bambang Riyadi Lany dan Mukhsin, “Kejahatan-Kejahatan yang

Merugikan dan Membahayakan Negara,” penerbit Bina Aksara. Hamzah. A dan RM. Surachman.1994. Kejahatan Narkotika dan Psikotrokia .

Jakarta: Sinar Grafika

Kaligis, O.C. 2002. Narkoba dan Peradilannya di Indonesia (Reformasi hukum Pidana melalui Perundangandan Peradilan). Bandung: Alumni

Karjadi , M.1978. Polisi, Filsafat dan Perkembangan Hukumnya . Bogor: Politeia Kusno, Adi, 2009, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana

Narkotika Oleh Anak, Malang: UMM Press.

Makarao, Taufik, Suhasril, Moh.Zakky.2003. Tindak Pidana Narkotika . Jakarta: Ghalia Indonesia

Meliala, Adrianus. 2001. Mengkritisi Polisi. Yogyakarta: Kanisius

Poewadarminto. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia . Jakarta: Balai Pustaka Redaksi Badan Penerbit Alda Jakarta. 1985. “Menanggulangi Bahaya


(6)

Narkotika”, Jakarta

Sasangka, Hari.2003. Narkotika dan Psikotropika Dalan Hukum Pidana . Bandung: Mandar Maju

Soedjono, D. 1985. Kriminologi. Bandung.

Soedjono D. 1976. Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia . Bandung: PT. Karya Nusantara

Sumarmo. 1987. Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat. CV. Haji Masagung.

Supramono, Gatot. Hukum Narkoba Indonesia. Jakarta: Djambatan

Wresiniro. M. 1999. Masalah Narkotika Psikotropika dan Obat-Obat Berbahaya. Jakarta: Yayasan Mitra Bintibmas

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 jo Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Homepage internet

http://bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/bnnpusat/profil/8005/sejarah-bnn http://www.immcnews.com/Hari-Anti-Narkoba-2012/daerah-tujuan peredaran

narkoba.html

http://megapolitan.kompas.com/read/2012/10/04/17240495/Harga.Mahal.Buat.Ind onesia.Jadi.Sasaran.Ekspor.Narkotika