Peranan Interogasi oleh Penyidik Terhadap Tersangka Dalam Kasus Tindak Pidana Pencurian (Studi pada Polsekta Medan Baru)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Wirjono Projodikoro, DR. SH, 1967, Tindak Pidana tertentu di Indonesia, PT. Eresco , Bandung

Tongat, SH. M.Hum, 2002, Hukum Pidana Materil, UMM press, Indonesia

Gerson Bawengan, DRS. SH, 1977, Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi, Pradnya Paramitha, Jakarta

Soejono, SH. M.H, 1996, Kejahatan dan Penegakkan Hukum di Indonesia, Rhineka Cipta, Jakarta

M.Yahya Harahap, SH, 2006, Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, penyidikan dan penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta

Petter Villiers, 1999, Better Police Ethics: A practical guide; Pedoman Praktis Memperbaiki etika Kepolisian, Cipta Manunggal, Jakarta

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-undang Telematika


(2)

BAB III

PERANAN PENYIDIK DALAM INTEROGASI TERHADAP TERSANGKA DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN

A. Pengertian Interogasi

Interogasi adalah suatu upaya yang dilakukan oleh pihak tertentu (dalam hal ini penyidik kepolisian) untuk meminta keterangan kepada seseorang menyangkut kesaksian orang tersebut terhadap pihak lain dan atau dirinya sendiri mengenai suatu aktivitas yang melibatkan pihak lain tersebut dan atau dirinya sendiri. Dengan tujuan agar mampu melaksanakan tugas mereka, petugas kepolisian perlu mempunyai kemampuan untuk menginterogasi masyarakat. Yang menjadi subjek dalam interogasi adalah korban, saksi dan tersangka. Akan tetapi hal ini dirasa tidak ekslusif, dimana seorang korban atau saksi, dan tersangka juga dapat menjadi korban dalam serangkaian insiden.

Dalam melakukan interogasi berbagai macam trik dan metode diterapkan oleh si interogator, mulai dari penampilan dan sikap yang kadang lebih mirip algojo ketimbang hamba hukum, sangar dan bengis, trik yang menjebak, menggiring opini, menyudutkan yang diinterogasi, memaksa, menyiksa sampai ‘cuci otak’ istilah yang digunakan untuk mengakui sesuatu yang tak ada menjadi fakta, sehingga tujuan interogasi bergeser dari ingin menyingkap kebenaran menjadi ‘sesuai pesanan’.

Akan tetapi perlu diketahui bahwa Polisi sebagai penyidik tetap memperhatikan dan menjaga HAM si pelaku tindak kejahatan. Dimana Polisi melakukan pendekatan-pendekatan secara kekeluargaan agar pelaku mau mengakui dan memberikan informasi mengapa ia melakukan tindak kejahatan itu. Seperti yang saya lihat pada


(3)

studi lapangan di Polsek Medan Baru, dimana Polisi dalam melakukan penyidikan, tidak melakukan tindak kekerasan agar pelaku mau mengakui perbuatannya.

Secara teknis di lapangan, pemukulan atau kekerasan dalam melakukan interogsai yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Tidak selamanya Polisi menemukan tersangka yang mau mengakui perbuatannya. Ada yang berbelat-belit dalam memberikan pengakuan ada juga dari tersangka yang takut untuk mengakui perbuatannya dikarenakan adanya ancaman dari pihak-pihak lain. Untuk mengantisipasi hal-hal ini, Polisi mempunyai berbagai trik dalam mengorek informasi dari tersangka.

B. Penyidik Kepolisian

Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP, merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegwai negeri “tertentu” yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Sedang penyidikan berarti; serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menajdi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.

Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” sesuatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukannya dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Dari penjelasan dimaksud hampir tidak ada perbedaan makna keduanya. Hanya ybersifat gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang


(4)

berwujud satu. Antar keduanya saling berkaitan dan isi-mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Namun demikian ditinjau dari beberapa segi, terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut:

dari segi pejabat pelaksana, pejabat penyelidikan terdiri dari “semua anggota” Polri dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bwah pengawasan penyidik, wewenangnya sangat terbatas hanya meliputi penyelidakan atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga merupakan tindak pidana. Hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat penyidik barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebut Pasal 5 ayat (1) huruf b (penagkapan,larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan dan sebagainya).

Memang kalau diperiksa ketentuan Pasal 7 ayat (1), apalagi jika dihubungkan dengan beberapa bab KUHAP, seperti Bab V (pengkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat) serta Bab XIV (penyidikan), ruang lingkup wewenang dan kewajiban penyidik adalah amat luas jika disbanding dengan penyelidikan, akan tetapi, cara penguraiannya dalam KUHAP agak berserakan dalam beberapa bab. Wewenang dan kewajiban penyidik serta ruang lingkup fungsi penyidikan kurang sistematis pengaturannya, sehingga untuk memahami masalah penyidikan secara sempurna, tidak dapat melihatnya hanya pada Bab XIV saja, tetapi harus melihat dan mengumpulkannya dari bab dan pasal-pasal lain diluar kedua bab yang disebutkan.

Oleh karena itu, untuk mengemukakan pembahasan yang menyeluruh tentang penyidikan, kita mencoba melakukan pendekatan, dengan jalan memasukkan sekaligus bagian-bagian atau pasal lain yang ada sangkut pautnya dengan penyidikan. Bertitik tolak dari cara pendekatan dimaksud, pembahasan tidak terikat pada sistematika bab demi bab taupun bagian demi bagaian. Jika pembahasan cara


(5)

demikian yang diikuti, pembicaraan tentang penyidikan, bisa bolak-balik. Mari kita lihat batapa mundur majunya pembahasan penyidikan jika mengikuti sistematika bab-bab yang diatur dalam KUHAP. Pada Bab IV bagian Kesatu, dibicarakan mengenai penyelidik dan penyidik. Kemudian pada Bab V diatur tentang penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan seterusnya. Bab VI mengatur mengenai tersangka dan terdakwa. Padahal menurut hemat kita, masalah yang diatur pada bab-bab tadi dan bab-bab-bab-bab selanjutnya, pada dasarnya meliputi fungsi dan wewenang penyidikan. Akan tetapi anehnya, bab tentang penyidikan baru diatur pada Bab XIV. Jadi, tampaknya pengaturan dan penyusunan bab dan pasal-pasal mengenai penyidikan agak bercampur-baur dalam beberapa bab. Pasal-pasal peraturan yang berserakan inilah yang akan dibahas dalam suatu pokok pembahasan penyidikan.

B. Pengertian Penyidik Kepolisian.

Sebelumnya dalam Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP, merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegwai negeri “tertentu” yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Sedang penyidikan berarti; serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menajdi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. Kemudian dipertegas dan diperinci lagi dalam Pasal 6 KUHAP. Akan tetapi, di samping apa yang diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan Pasal 6, terdapat lagi Pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu di samping penyidik.

Untuk mengetahui siapa yang dimaksud dengan orang yang berhak sebagai penyidik ditinjau dari segi instansi maupun kepangkatan, ditegaskan dalam Pasal 6 KUHAP.


(6)

Dalam pasal tersebut ditentukan instansi dan kepangkatan seorang pejabat penyidik. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 6 dimaksud, yang berhak diangkat sebagai pejabat penyidik yaitu:

Penyidik adalah:

pejabat polisi negara Republik Indonesia;

pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus ole hundang-undang.

Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

1. Pejabat Penyidik Polri

Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, salah satu instansi yang diberi kewenangan melakukan penyidikan ialah “pejabat polisi Negara”. Memang dari segi diferensiasi fungsional, KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian. Cuma agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, harus memenuhi “syarat kepangkatan” sebagaimana hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2). Menuruit penjelasan Pasal 6 ayat (2), kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan dengan penjelasan ini, KUHAP sendir belum mengatur syarat kepangkatan yang dikehendaki Pasal 6. syarat kepangkatan tersebut akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Untuk itu, penjelasan Pasal 6 telah memberi petunjuk supaya dalam menetapkan kepangkatan pejabat penyidik, disesuaikan dengan kepangkatan penuntut umum dan hakim pengadilan negeri.

Peraturan pemerintah yang mengatur masalah kepangkatan pejabat penyidik sebagaiaman yang dikehendaki ketentuan Pasal 6 sudah ada, dan telah ditetapkan


(7)

pada tanggal 1 Agustus 1983, berupa PP No.27 Tahun 1983 dimana syarat kepangkatan pejabat penyidik diatur dalam Bab II. Memperhatikan ketentuan kepangkatan yang diatur dalam Bab II PP dim,aksud, syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat penyidik kepolisian dapaty dilihat uraian berikut.

Pejabat Penyidik Penuh

Pejabat Polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat “penyidik penuh”, harus memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan,

Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan dua Polisi;

Atau yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua;

Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI.

Demikian syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat polisi menjadi pejabat penyidik. Dari bunyi ketentuan Pasal 2 ayat (2) PP No.27 Tahun 1983, sekalipun pada prinsipnya syarat kepangkatan pejabat penyidik sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua, namun mengingat kurangnya tenaga personal yang belum memadai terutama di daerah-daerah atau di kantor sector kepolisian, Peraturan Pemerintah memperkenankan jabatan penyidik dipangku oleh seorang anggota kepolisian yang “berpangkat bintara”.

Kepangkatan yang serupa ini memang tidak serasi jika ditinjau darai sudut keseimbangan kepangkatan penuntut umum maupun hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri. Apalagi dari segi kemampuan pengetahuan hukum seorang bintara kurang dapat dipertanggungjawabkan segi kemampuan dan pengalaman. Itu sebabnyasering dijumpai penyidikan yang tidak memadai dan tidak terarah.


(8)

Penyidik Pembantu

Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu” diatur dalam Pasal 3 PP No.27 Tahun 1983. Menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai penyidik pembantu:

Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi.

Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisan Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangakat Pengatur Muda (golongan II/a);

Diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul kkomandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.

Khusus pengangkatan pegawai negeri sipil di lingkungan kepolisian menjadi pejabat penyidik pembantu, yang bersangkutan harus mempunyai keahlian atau kekhususan dalam bidang tertentu. Tanpa syarat tersebut, tidak ada alasan atau urgensi untuk mengangkat mereka menjadi pejabat penyidik pembantu. Syarat kepangkatan penyidik pembantu, lebih rendah dari pangkat jabatan penyidik. Berdasar hierarki dan organisatoris, penyidik pembantu diperbantukan kepada pejabat penyidik. Oleh karena itu, kepangkatan mereka harus lebih rendah dari penyidik.

Seperti dikatakan, penyidik pembantu bukan mesti terdiri dari anggota Polri, tetapi bias diangkat dari kalangan pegawai sipil Polri, sesuai dengan keahlin khusus yang mereka miliki dalam bidang tertentu. Misalnya, ahli kimia atau ahli patologi. Kalau pegawai sipil demikian tidak bias diangkat menjadi penyidik pembantu, mungkin akan menimbulkan hambatan dalam pelaksanaan penyidikan. Sebab di kalangan anggota Polri sendiri, yang memiliki syarat kepangkatan dan keahlian tertentu mungkin masih sangat langka. Itu sebab utama yang menjadi motivasi keperluan penyidik pembantu dapat diangakat dari kalangan pegwai sipil.


(9)

Bukankah sudah ada pejabat penyidik? Apa perlunya ada penyidik pembantu? Bukankah hal ini seolah-olah dualistis dalam tubuh aparat penyidik? Memang menurut logika, dengan adanya pejabat penyidik, tidak perlu dibentuk suatu eselon yang bernama penyidik pembantu. Sebab secara rasio, dengan adanya jabatan penyidik berdasar syarat kepangkatan tertentu, semua anggota Polri yang berada di bawah jajaran pejabat penyidik adalah pembantu bagi pejabat penyidik. Apalagi jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 11, pengklasifikasian antara penyidikan dan penyidik pembantu semakin mengherankan. Sebab berdasarkan ketentuan Pasal 11, penyidik pembantu mempunyai wewenang yang sama dengan pejabat penyidik, kecuali sepanjang penahanan wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Jadi boleh dikatakan hampir sama wewenangnya sebagaimana yang diperinci pada Pasal 7 ayat (1).

Untuk mendapat penjelasan atas klasifikasi penyidik, mungkin dapat diterima alasan yang dikemukakan pada buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP, yang menjelaskan latar belakang urgensi pengangkatan pejabat penyidik pembantu, yang dapat disimpulkan: Disebabkan terbatasnya tenaga Polri yang berpangkat tertentu sebagai pejabat penyidik. Terutama daerah-daerah sector kepolisian di daerah terpencil, masih banyak yang dipangku pejabat kepolisian yang berpangkat bintara;

Oleh karean itu, seandainya syarat kepangkatan pejabat penyidik sekurang-kurangnya berpangkat Pambantu Letnan Dua Polri, sedangkan yang berpangkat demikian belum mencukupio kebutuhan yang diperlukan sesuai dengan banyaknya jumlah Sektor Kepolisian, hal seperti ini akan menimbulkan hambatan bagi pelaksanaan fungsi penyidikan di daerah-daerah


(10)

2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Mereka diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Penyidik pegwai negeri sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal.

Jadi, di samping pejabat penyidik Polri, undang-undang pidana khusus tersebut memberi wewenang kepada pejabat pegwai negeri sipil yang bersangkutan untuk melakukan penyidikan. Misalnya, Undang-undang Merek No.19 Tahun 1992 (diubah menjadi Undang-undang No.14 tahun1997). Pasal 80 undang-undang ini menegaskan: kewenangan melakukan penyidikan tindak pidan merek yang disebut dalam Pasal 81, 82, dan 83 dilimpahkan kepada PPNS. Demikian juga yang kita jumpai pada ketentuan Pasal 17 Undang-undang Darurat No.7 Tahun 1955; antara lain menunjuk pegawai negeri sipil sebagai penyidik dalam peristiwa tindak pidana ekonomi. Penyidik pegawai negeri sipil dalam tindak pidana ekonomi, pelimpahannya diberikan kepada pejabat duane. Akan tetapi harus diingat, wewenang penyidikan yang dimiliki oleh pejabat penyidik pegawai negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus itu. Ini sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi: Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan Undang-undang yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dlam pelaksanaan tugasnya berada di bawah


(11)

koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Lebih lanjut mari kita lihat kedudukan dan wewenang penyidik pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugas penyidikan: Penyidik pegawai negeri sipil kedudukannya berada di bawah:

“koordinasi” penyidik Polri, dan

Dibawah “pengawasan” penyidik Polri.

Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri “memberi petunjuk” kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1)).

Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus “melaporkan” kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (Pasl 107 ayat (2)).

Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasilpenytidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut dlakukan penyidik pegawai negeri sipil “melalui penyidik Polri” (Pasal 107 ayat (3) ).

Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan pada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu harus “diberitahukan” kepada penyidik Polri dan penuntut umum (Pasal 109 ayat (3)).


(12)

C. PERAN PENYIDIK KEPOLISIAN DALAM INTEROGASI TERHADAP TERSANGKA

Titik pangkal dari pemeriksaan dihadapan penyidik adalah tersangka. Dari dialah diperoleh keterangan tentang peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Akan tetapi, sekalipun tersangka yang menjadi titik tolak pemeriksaan,terhadapnya harus diberlakukan asas aquisatoir. Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat dan martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan sebagai objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah sesuai dengan prinsip hukum “praduga tak bersalah” (presumption of innocent) sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan yang tetap.

Pada pemeriksaan tindak pidana, tidak selamanya hanya tersangka saja yang harus diperiksa. Adakalanya diperlukan pemeriksaan saksi atau ahli, demi unutk terang dan jelasnya peristiwa pidana yang disangkakan. Namun, sedangkan kepada tersangka harus ditegakkan perlindungan harkat dan martabat dan hak-hak asasi, kepada saksi dan ahli, harus juga diperlukan dengan cara yang berperikemanusiaan dan beradab.

1. Pemeriksaan Terhadap Tersangka

Sehubungan dengan pemeriksaan tersangka, undang-undang telah memberi beberapa hak perlindungan terhadap hak asasinya serta perlindungan terhadap haknya untuk mempertahankan kebenaran dan pembelaan diri seperti yang diatur pada Bab VI, Pasal 50 sampai Pasal 68.

Untuk mengingat kembali ada baiknya dikutip hal-hal yang dianggap penting antara lain:


(13)

a. Hak tersangka untuk segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik.

Apa arti “segera”, undang-undang tidak menjelaskan lebih lanjut. Akan tetapi, dari pengertian bahasa barangkali “secepat mungkin” atau “sekarang juga” tanpa menunggu lebih lama.

Motivasi pemberian hak untuk segera diperiksa dapat dibaca pada penjelasan Pasal 50 antara lain:

Untuk menjauhkan kemungkinan terkatung-katung nasib orang yang disangka. Jangan sampai lama tidak mendapat pemeriksaan sehingga dirasakan tidak ada kepastian hukum, terjadinya perlakuan sewenang-wenang dan ketidakwajaran.

Demi mewujudkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Sungguh idealistis apa yang hendak dijangkau Pasal 50 tersebut, namun masih dapat dipertanyakan, apakah ini hanya merupakan impian. Pengalaman silam terlampau pahit , sehingga motivasi idealisme yang terkandung pada Pasal 50, masih diragukan dalam pelaksanaan.

b. Hak tersangka agar perkaranya segera diajukan ke pengadilan.

Memang pada masa HIR jarak antara kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan kadang-kadang hampir tidak dapat dijangkau oleh rakyat pencari keadilan. Sedemikian jauhnya jarak antara satu insatnsi dengan instansi lain, sehingga harus ditempuh berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, dan tersangka sudah letih tersungkur merangkak-rangkak, tetapi belum sampai kunjung pada batas kepastian. Dari kepolisan kepada penuntut umum, dianggap lumrah satu dua tahun. Pelimpahan dari penuntut umum ke pengadilan biasa makan waktu satu tahun atau satuh setengah tahun. Pemeriksaan sidang pengadilan sudah menjadi adat kebiasaan, berlangsung bertele-tele. Jarang pemeriksaan perkara yang terus mendaki. Tapi sudah membudaya pemeriksaan yang mundur terus, atau paling banter maju mundur, sehingga tidak tahu kapan selesai. Begitu juga pada pemeriksaan tingkat banding, memakan waktu dua


(14)

tiga tahun. Demikian seterusnya pada pemeriksaan kasasi itu sebabnya sering terjadi orang yang berperkara sudah lama jadi almarhum baru dicapai kepastian hukum. Barangkali makna hak yang disebutkan dalam Pasal 50, takkan bisa mencapai saasaran selama mentalitas pejabat belum berubah. Apalagi pelanggaran atas ketentuan ini tidak ada sanksinya. Seandainya pejabat penyidik tidak segera melakukan pemeriksaan terhadap tersangka atau jaksa penuntut umum tidak segera melimpahkan berkas ke sidang pengadilan, hukuman tau tindakan apa yang dapat dikenakan kepada pejabat? Sama sekali tidak ada sehingga sulit untuk memberi jaminan atas pelaksanaan hak yang digariskan Pasal 50 tersebut. Sepoanjang yang kita teliti dalam KUHAP, hanya satu pasal yang memberi ketegasan atas pemeriksaan yang segera. Dijumpai pada Pasal 122 yang menentuakan:

Dalam hal tersangka, ditahan dalam “waktu satu hari” setelah perintah penahanan itu dijalankan, ia (tersangka) mulai diperiksa.

Cuma kita menyayangkan, pasal ini tidak menyebutkan sanksi atas pelanggaran batas waktu itu. Seandainya tersangka ditahana, dan sudah lewat seminggu tidak pernah diperiksa, apa yang harus diperbuat oleh tersangka? Barangkali paling mendongeng menceritakan haknya serta menyebut-nyebut ketentuan Pasal 122 KUHAP. Namun sebagaimana dongengnya itu berkelanjutan, tersangka tetap tidak mempunyai jalan memaksa penyidik untuk segera memeriksanya. Kasihan bukan? Hendak diajukan maslah perkosaan atas haknya itu kepada Pra-peradilan, tampaknya kurang efektif. Memang bisa saja diajukan tuntutan ganti rugi kepada Pra-peradilan atas alasan tindakan tanpa alasan yang berdsarkan undang-undang (Pasal 95 ayat (2)).

c. Hak tersangka untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51 huruf a).


(15)

Salah satu hal yang paling penting untuk diingat penyidik, sejak permulaan pemeriksaan sampai selesai, penyidik harus berdiri di atas landasan prinsip hukum “praduga tak bersalah”. Tentang hal ini, sudah berkali-kali disinggungkan pada uraian terdahulu, yakni harus mempergunakan sistem pemeriksaan “aquisatoir”, di mana si tersangka diproyeksikan sebagai subjek hukum dan bukan sebagai objek pemeriksaan. Yang menjadi objek pemeriksaan adalah kesalahan atau perbuatan yang disangkakan kepada tersangka.

2. Tata Cara Pemeriksaan

Cara pemeriksaan di muka penyidik ditinjau dari segi hukum, antara lain:

A. Jawaban atau keterangan yang diberikan tersangka kepada penyidik, diberikan tanpa tekanan dari siapa pun jug dengan bentuk apapun juga.

Kita terkesan dan sangat setuju dengan ketentuanPasal 117. tersangka dalam mem berikan keterangan harus “bebas” berdasar “kehendak” dan “kesadaran” nurani. Tidak boleh dipaksakan dengan cara apa pun baik penekanan fisik dengan tindakan kekerasan dan penganiayaan, maupun dengan tekanan dari penyidik maupun dari pihak luar.

Mengenai jaminan pelaksanaan Pasal 117 tersebut, tidak ada sanksinya. Satu-satunya jaminan untuk tegaknya ketentuan Pasal 117 ialah melalui Pra-peradilan, berupa pengajuan gugatan ganti rugi atas alasan pemeriksaan telah dilakukan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang. Akan tetapi, hal ini kurang efektif, karena sangat sulit bagi seorang tersangka membuktikan keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan adalah hasil paksaan dari tekanan. Kontrol yang tepat untuk menghindari terjadinya penekanan atau ancaman dalam pemeriksaan penyidikan ialah kehadiran penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan. Tapi oleh karena Pasal 115 hanya


(16)

bersifat fakultatif, peran pengawasan yang diharapkan dari para penasihat hukum dalam pemeriksaan penyidikan, sangat terbatas, dan semata-mata sangat tergantung dari belas kasihan pejabat penyidik untuk memperbolehkan atau mengizinkannya. Bagaimana jika ternyata keterangan yang diberikan tersangka yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan adalah hasil pemerasan, tekanan, ancaman, atau paksaan?

Keterangan yang diperoleh dengan cara seperti ini, “tidak sah”. Cara yang dapat ditempuh untuk menyatakan keterangan itu tidak sah, dengan jalan mengajukan ke Pra-peradilan atas alasan penyidik telah melakukan cara-cara pemeriksaan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, dalam arti pemeriksaan telah dilakukan dengan ancaman kekerasan atau penganiayaan dan sebagainya. Apabila Pra-peradilan mengabulkan, berarti telah membenarkan adanya cara-cara pemaksaan dalam pemeriksaan.

B. Penyidik mencatat dengan seteliti-telitinya keterangan tersangka.

Semua yang diterangkan tersangka tentang apa yang sebenarnya telah dilakukannya sehubungan dengan tindak pidana yang disangkakan kepadanya, dicatat oleh penyidik dengan seteliti-telitinya.

a. Sesuai dengan rangkaian kata-kata yang dipergunakan tersangka.

Pencatatan disesuaikan dengan kata-kata dan kalimat yang dipergunakan tersangka. Namun, kita berpendapat prinsip ini jangan terlampau kaku ditafsirkan. Penyidik boleh menyesuaikan dengan susunan kalimat yang lebih memenuhi kemudahan membacanya, asal isi dan maksud yang dikemukakan tersangka tidak diubah dan diperkosa. Memang kita menyadari latar belakang ketentuan yang disebut dalam Pasal 117 ayat (2), dimaksudkan agar catatan keterangan tersangka, jangan diselewengkan. Karena itu, catatan tersebut harus dibuat dengan teliti,


(17)

sesuai dengan kata-kata yang dipergunakan tersangka. Oleh karena itu, yang paling tepat dengan prinsip tersebut, penyidik tidak perlu menyusun kalimat dan kata-kata yang disesuaikan dengan kalimat yang lebih standar agar catatan itu tidak menimbulkan persoalan. Sebab apabila penyidik membuat penyesuaian, sekalipun isi dan maknanya tetap sama, bisa saja tersangka membantahnya. Tentu resiko yang demikian dari semula harus diperhitungkan kian oleh penyidik.

b. Keterangan tersangka sebagaimana yang dimaksudkan pada ketentuan diatas:

1. dicatat dalam berita acara pemeriksaan oleh penyidik;

2. Setelah selesai, ditanyakan atau diminta persetujuan dari tersangka tentang kebenaran isi berita acara tersebut.

Persetujuan ini bisa dengan jalan membacakan isi berita acara, atau menyuruh membaca sendiri berita acara pemeriksaan kepada tersangka, apakah dia telah menyetujui isinya atau tidak. Kalau dia tidak setuju harus memberitahukan kepada penyidik bagaian yang tidak disetujui untuk diperbaiaki;

3. apabila tersangka telah menyetujui isi keterangan yang tertera dalam berita acara, tersangka dan penyidik masing-masing membubuhkan tanda tangan mereka dalam berita acara;

4. apabila tersangka tidak mau membubuhkan tanda tangan dalam berita acara pemeriksaan, penyidik membuat catatan berupa penjelasan atau keterangan tentang hal itu, serta menyebut alasan yang menjelaskan kenapa tersangka tidak mau menandatanganinya.


(18)

c. Jika tersangka yang hendak diperiksa bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik,

penyidik yang bersangkutan dapat membebankan pemeriksaan kepada penyidik yang berwenang di daerah tempt tinggal tersangka atau “pendelegasian penyidikan” (Pasal 119).

Ada baiknya, untuk memudahkan dan untuk lebih menjuruskan arah pemeriksaan seperti yang dikehendaki oleh penyidik, penyidik yang bersangkutan memberi penjelasan atau petunjuk tentang hal-hal yang akan diperiksa oleh penyidik yang dibebani melakukan pemeriksaan dimaksud. Sangat diharapkan agar hasil pemeriksaan segera dikirimkan kepada penyidik semula.

d. Tersangka yang tidak dapat hadir menghadap penyidik.

Menurut ketentuan Pasal 113, pemeriksaan terhadap tersangka yang tidak dapat hadir mengahadap, dilakukan di tempat kediaman tersangka dengan cara:

1. penyidik sendiri yang datang melakukan pemeriksaan ke tempat kediaman tersangka;

2. hal seperti ini dimungkinkan apabila tersangka dengan ‘alasan yang patut dan wajar”, tidak dapat datang ke tempat pemeriksaan yang ditentukan oleh penyidik.

Jadi, apabila seorang tersangka telah dipanggil dengan sah dan resmi untuk menghadap ke tempat pemeriksaan yang telah ditentukan penyidik, tidak dapat hadir atas alasan yang patut dan wajar, tersangka dapat diperiksa oleh peyidik di temapat kediamannya. Caranya, dengan jalan penyidik sendiri yang datang ke tempat kediaman tersangka. Dalam hal ini memang bisa timbul pertanyaan. Antara lain,


(19)

apakah yang dimaksud dengan pengertian patut dan wajar? Jawaban atas pertanyaan di atas;

Pertama, tentang apakah harus ada pernyataan dari tersangka bahwa dia bersedia diperiksa di tempat kediamannya. Mengenai hal ini harus ada, sebab tanpa pernytaan kesediaan timbul anggapan pemeriksaan dilakukan “seolah-olah dengan paksaan”. Untuk menghindari dugaan demikian, baiknya ada pernyataan kesediaan, baik hal itu dinyatakan secara tertulis maupun secara lisan yang disampaikan oleh tersangka kepada penyidik sewaktu penyidik mendatanginya di tempat kediaman.

Adapun mengenai pengertian alsan yang patut dan wajar, perlu landasan hukum yang serasi dengan maksud tersebut. Jika tidak, kemungkinan besar alasan patut dan wajar bisa dimanipulasi dan disalahgunakan tersangka. Akibatnya bisa menimbulkan hambatan kelancaran pemeriksaan dan ketidakmuluisan peningkatan penegakan hukum dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu, alasan-alasan patut dan wajar dalam kasus ini, harus dikaitkan dengan teori “impossibilitas” atau teori “ketidakmungkinan”. Maksudnya, dengan adanya hambatan atau halangan yang diderita dan dihadapi tersangka, benar-benar keadaan hambatan dan halangan tersebut membuat tersangka “tidak mungkin” hadir memenuhi panggilan penyidik. Akan tetapi, alsan ketidakmungkinan ini pun harus benar-benar “impossibilitas yang absolute”.

Ketidakmungkinan hadirnya didasarkan pada ukuran objektif dan logis. Ditinjau dari ukuran objektif, secara logis benar-benar tersangka berda dalam keadaan ketidakmungkinan hadir menghadap penyidik. Misalnya tersangka patah kaki. Dalam hal ini secara objektif tersangka berada dalam keadaan yang absolut tidak mungkin hadir, dan logis dapat diterima, sebab benar-benar dia berada dalam keadaan yang “sangat sulit” atau “difficultas” untuk hadir. Oleh karena itu, ketidakmungkinan yang


(20)

dialami tersangka bukan “impossibilitas relative” yang didasarkan pada ukuran subjektifitas. Misalnya, hanya untuk menghadiri pesta, impossibilitas itu subjektif dan masih berada dalam ukuran “ketidakmungkinan yang tak logis”.

D. PENERAPAN INTEROGASI YANG DILAKUKAN PENYIDIK

KEPOLISIAN DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN

Pemeriksaan penyidikan adalah pemeriksaan di muka pejabat penyidik dalam hal ini penyidik kepolisian dengan jalan menghadirkan tersangka, saksi, atau ahli. Pemeriksaan berarti, petugas penyidik berhadapan langsung dengan tersangka, para saksi atau ahli.

Sebagaimana yang sudah berulang kali dijelaskan, penyidikan merupakan “rangkaian” tindakan penyidik dalam hal dan dengan cara yang diatur dalam, undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti. Dengan bukti yang ditemukan dan dikumpulkan, tindak pidana yang terjadi akan menjadi terang dan jelas dapat menemukan tersangka yang menjadi pelaku tindak pidana yang sedang disidik. Dari bunyi Pasal 1 butir 2 tindakan penyidikan tiada lain dari pada “rangkaian” tindakan mencari dan mengumpulkan bukti, agar peristiwa tindak pidananya menjadi terang serta tersangkanya dan berkas perkara tindak pidanya dapat diajukan kepada penuntut umum dan untuk selanjutnya tersangka dihadapkan jaksa kepada hakim di muka persidangan pengadilan. Kalau begitu pemeriksaan tersangka dan saksi-saksi atau ahli di hadapan petugas penyidik, dapat dikatakan merupakan “rangkaian terakhir” tindakan penyidik sebelum menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum.

Jelaslah sudah, pemeriksaan di muka petugas penyidik baru dapat dilaksanakan penyidik, setelah dapat mengumpulkan bukti permulaan serta telah


(21)

menemukan orang yang diduga sebagai tersangka. Penyidik yang mengetahui sendir terjadinya peristiwa pidana atau oleh karena berdasarkan laporan ataupun berdasarkan pengaduan, dan menduga peristiwa itu merupakan tindak pidana, penyidik “wajib” segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan, dan rangkaian akhir tindakan yang diperlukan itu adalah pemeriksaan langsung tersangka dan saksi-saksi maupun ahli.

Langkah yang harus diambil pada saat memulai pemeriksaan penyidikan, pejabat penyidik perlu mengingat adanya “kewajiban” yang harus diperhatikan dan dilaksanakan sebelum memulai penyidikan dan pemeriksaan terhadap tersangka, yang paling pokok diantaranya adalah:

a. Wajib Memberitahu Penuntut Umum

Pada saat penyidik “mulai” melakukan penyidikan peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana, penyidik “memberitahukan” hal itu kepada penuntut umum. Pemberitahuan semacam ini ditentukan dalam Pasal 109 ayat (1): “Dalam hal penyidik telah memulai penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum”. Apa alasan mengkategorikan pemberitahuan tersebut sebagai “kewajiban”, sedang Pasal 109 ayat (1) tidak memuat perkataan wajib, dan dalam penjelasan Pasal 109, juga tidak dijumpai perkataan wajib. Untuk mendukung pendapat pemberitahuan merupakan kewajiban, dapat diajukan beberapa alasan:

1. Berdasar atas diferensiasi fungsional antara penyidik dengan penuntut umum sekaligus dikaitkan dengan asas saling pengawasan dan korelasi antara jajaran penegak hukum yang dianut KUHAP. Hal ini diperkuat lagi dengn tujuan


(22)

kepastian hukum yang hendak ditegakkan KUHAP, memperkuat kesimpulan, pemberitahuan bersifat “wajib”. Sebab kalu pemberitahuan itu bukan wajib sifatnya, akan hilang makna kepastian hukum yang terkandung di dalamnya. Akibatnya, akan menimbulkan sikap pada penyidik semau sendiri. Jika hatinya senang dia memberitahukan, tapi kalau malas boleh juga tidak diberitahukan.

2. Atau kita ambil pendapat Mahkamah Agung yang dituangkan dalam fatwa bahwa pemberitahuan penyidik kepada penuntut umum dalam rangkaian ketentuan Pasal 109 ayat (1) adalah merupakan “kewajiban” atas dasar bahwa pemberitahuan tersebut merupakan rangkaian tugas yustisial yang bersifat “imperatif”.

Tentang kapan saat pemberitahuan disampaikanpenyidik kepada penuntut umum, harus tepat pada saat penyidik melakukan tindakan penyidikan. Misalnya telah mulai dilakukan penangkapan, pemanggilan, penggledahan, penahanan, penyitaan, dan sebagainya. Tidak termasuk ruang lingkup tindakan penyelidikan, sebab dari pengertian saja penyelidikan baru merupakan tahap rangkaian “mencari” dan “menemukan” suatu peristiwa. Belum tentu peristiwa yang diselidiki itu peristiwa pidana atau tidak. Apabila hasil penyelidikan sudah “dapat diduga” sebagai peristiwa pidana, baru dapat dilakukan tindakan penyidikan. Jika dari hasil penyelidikan telah ditentukan untuk dilanjutkan dengan tindakan penyidikan, pada saat itulah terbit “kewajiban” penyidik memberitahukan penyidikan kepada penuntut umum. Hal ini sesuai dengan petunjuk pelaksanaan angka 3 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03/1983, yang menyatakan,

pengertian “mulai penyidikan” jika dalam kegiatan penyidikan tersebut sudah dilakukan tindakan “upaya paksa” oleh penyidik berupa “pemanggilan pro yustitia, penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penyitaan dan sebagainya”.


(23)

Cara pemberitahuan, undang-undang tidak menentukan bentuknya. Cara yang paling dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan tujuan KUHAP yang bermaksud menagrahkan pembinaan dan penyempurnaan administrasi yustisial:

1. Pemberitahuan dilakukan dengan “tertulis”.

Dari segi praktis dan sekaligus untuk uniformitas tata laksana pemberitahuan, formulir pemberitahuan harus mampu memberi gambaran yang jelas tentang peristiwa pidanayang sedang disidik. Penjelasan yang demikian sangat diperlukan, agar sejak dini penuntutan umum dapat mengikuti jalannya penyidikan, dan apabila dianggap perlu memberi petunjuk dalam rangka kesempurnaan penyidikan sesuai dengan maksud yang terkandung pada ketentuan Pasal 14 huruf b dan pasal 110 ayat (3) dan (4).

2. Atau dalam keadaan mendesak dapat dilakukan dengan “lisan” asal disusul dengan pemberitahuan “tertulis”.

b. Wajib Memberitahu Tersangka Tentang Haknya (Miranda Warning)

Berdasarkan Pasal 114, penyidik sebelum mulai melakukan pemeriksaan, “wajib” memberitahu atau memperingatkan tersangka akan “haknya” untuk mencari dan mendapatkan bantuan hukum dari seseorang atau beberapa orang penasihat hukum. Sesuai dengan ketentuan di atas, terdapat dua sisi mengenai tampilnya penasihat hukum mendampingi seorang tersangka:

1. Sisi pertama, bantuan hukum dari penasihat hukum benar-benar murni berdasar “hak” yang diberikan hukum kepadanya dengan syarat, tersangka dianggap mampu untuk mencari sendiri penasihat hukum. Syarat kedua, disamping tersangka sendiri mampu, juga tindak pidananya tidak diancam dengan hukman mati atau hukuman lima belas tahun ke atas atau kalau tidak


(24)

mampu, diancam dengan tindak pidana kurang dari lima tahun (lihat Pasal 56). Pada sisi seperti ini diserahkan kepada kehendak tersangka apakah dia akan mempergunakan haknya mencari atau mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum yang dikehendakinya. Jadi, apabila ancaman hukuman tindak pidana yang disangkakan kepadanya hukumannya kurang dari lima tahun, kepada tersangka yang mampu diberi hak untuk mencari dan mendapatkan penasihat hukum yang disukainya.

2. Sisi kedua, pemberian bantuan hukum oleh penasihat hukum, bukan semata-mata hak dari tersangka, tetapi telah berubah sifatnya menjadi “kewajiban” penyidik atau kewjiban dari aparat penegak hukum pada semua tingkat pemeriksaan, baik pada tingkat penuntutan dan persidangan. Hak tersangka dan kewajiban penyidik (aparat penegak hukum) berjumpa disebabkan beberapa factor:

a. tindak pidana yang diancamkan kepada tersangka/terdakwa merupakan ancaman hukuman mati atau ancaman pidana lima belas tahun ke atas. b. Bagi mereka yang tidak mampu untuk mempunyai atau mendatangkan

bantuan penasihat hukum, sedang ancaman pidana yang disangkakan atau didakwakan kepadanya lima tahun atau lebih.

Dalam peristiwa dan keadaan seperti yang dijelaskan di atas, memperoleh bantuan penasihat hukum, bukan semata-mata digantungkan kepada hak tersangka/ terdakwa, tetapi dengan sendirinya “beban kewajiban” penyidik atau aparat penegak hukum pada semua tingkat pemeriksaan untuk menyediakan penasihat hukum bagi mereka (Pasal 56 ayat (1)). Penasihat hukum yang ditunjuk berdasarkan kewajiban hukum yang dibebankan kepada aparat penegak hukum yang ditentukan Pasal 56 ayat (1), memberikan bantaun hukum dengan “cuma-cuma”. Ketentuan ini barangkali baru


(25)

dapat dilaksanakan di kota-kota besar, yang cukup mempunyai lembaga-lembaga bantuan hukum, tetapi belum dapat dilaksanakan di daerah terpencil. Jangankan dengan cuma-cuma, mencari dan mendapatkan bantuan hukum dengan pembayaran pun tidak mungkin seperti di daerah Maluku, Irian Jaya, dan sebagainya.

Memperhatikan keadaan ini, ketentauan Pasal 56 pada saat sekarang baru berupa perhiasan dan kerangka saja, tapi belum dapat diisi sebagaimana yang diharapkan oleh pasal tersebut. Kecuali jika secepatnya dikelauarkan peraturan pendirian lembaga-lembaga bantuan hukum pemerintah, yang menyebarkan sarjana hukum ke seluruh pelosok tanah air.

BEBERAPA SARAN DAN TEKNIK PEMERIKSAAN MENURUT INBAU DAN READ.

Inbau dan Read mengemukakan beberapa teknik dan taktik pemeriksaan dan yang kita pandang sebagai saran-saran belaka, mengingat variasi-variasi yang beraneka ragam daripada watak dan kepribadian tersangka pada satu pihak sedangkan pada pihak lain harus diingat pula bahwa pemeriksaan-pemeriksaan pun memiliki serba aneka ragam watak dan kepribadian.

a. Yakin akan kesalahan tersangka:

Suatu anjuran bagi pemeriksa untuk menunjukkkn keyakinannya bahwa tersangka telah melakukan suatu pelanggaran hukum. Keyakinan ini janganlah dikemukakan secara angkuh dan sombong, tetapi sekedar menunjukkan kepercayaan pemeriksa terhadap dirinya sendiri. Sikap pemeriksa pada tingkat kontak permulaan dengan tersangka akan menentukan berhasil tidaknya pemeriksaan keseluruhannya. Sikap permulaan ini dikemukakan oleh Inbau dan Reud sebagai berikut:


(26)

Seorang tersangka dengan dibimbing oleh petugas memasuki ruangan pemeriksaan. Petugas pembimbing itu seharusnya memberitahukan kepada tersangka, bahwa ia akan dihadapkan kepada Mr. …………(nama pemeriksa) yang akan melakukan pemeriksaan. Bilamana tersangka memasuki ruangan itu, maka pemeriksa dianjurkan untuk memberi hormat kepada tersangka, bagaikan seorang dokter memberi salam kepada pasien yang akan mengunjunginya. Penghormatan yang diberikan itu tak perlu diikuti dengn uluran tangan untuk berjabat, kecuali bilamana tersangka mengulurkannya untuk salaman.

Yang dimaksudkan oleh Inbau dengan mengulurkan tangan adalah untuk tetap mempertahankan sifat resmi, oleh karena salaman berjabat tangan yang dimulai dapat menimbulkan kesan yang merugikan jalannya pemeriksaan. Memberi salam sebagaimana dokter menghhormati tamunya dapat dimengerti sebagai suatu cara untuk memberi kelegaan tersangka, sehingga ia tidak akan diserang oleh kecemasan-kecemasan yang dapat membuat suasana tegang.

Untuk seterusnya pemeriksaan dapat dimulai dengan mengatakan: “Saudara telah diperiksa sebelum ini, tapi sayang bahwa saudara belum mengemukakan secara benar tentang peristiwa yang terjadi”. Pemeriksa harus segera berhenti sebentar untuk menantikan reaksi tersangka. Dari reaksi itu pemeriksa akan menggunakannya untuk menarik kesimpulan apakah tersangka membohong atau mengucapkan hal yang sebenarnya.

Sering kali terjadi, kata Inbau, bahwa pada permulaan pemeriksaan ketika pemeriksa hendak berbicara, tersangka menginterupsi dengan mengatakan: “boleh saya mengatakan sesuatu?”. Interupsi seperti ini harus segera dijawab dengan tegas: “tunggu, sampai saya selesai memberi keterangan”. Interupsi seperti yang lazim terjadi itu, kata Inbau, adalah cara yang sering dilakukan oleh orang-orang yang


(27)

bersalah. Kewaspadaan pemeriksaan harus diarahkan pula pad usaha agar yang diperiksa tidak melakukan penyangkalan. Sekali ia menyangkal, akan terbentang suatu tembok pemisah yang makin tebal antara pemeriksa dan yang diperiksa dan akan semakin mengurangi kesempatan untuk memperoleh pengakuan. Proses psychologis dalam penyangkalan membuat tersangka itu sendiri sulit untuk kembali pada ceritera tentang keadaan sebenarnya. Oleh karena itu, maka pertanyaan sebaiknya menggunakn istilah: “apakah sebabnya engkau telah melakukan atau tidak”. Tentulah teknik bertanya sedemikian itu semata-mata diarahkan kepada tersangka yang perbuatannya telah pasti. Oleh karena dalam menghadapi tersangka yang masih diragukan, maka sikap pemeriksa pun harus disesuaikan dengan cara lain.

b. Tunjukkanlah sebagian dari pembuktian

Adalah suatu kekeliruan yang sering terjadi, kata Inbau, jika pemeriksa memberitahukan seluruh pembuktian atau seluruh masalah kepada tersangka. Tentulah anjuran ini berlaku terhadap perkara-perkara penting yang tidak bersifat sumir-non summary case-sebab pada perkara-perkara sumir kebanyakan maslah adalah diketahui oleh tersangka. Hal ini bukan pula berarti bahwa tersangka tidak mengetahui seluruh masalah perkara penting yang telah dilakukan oleh tersangka itu sendiri. Memang mengenai kasusnya diketahui oleh tersangka oleh karena sebagai pelaku adalah mustahil untuk tidak mngetahui keadaan. Namun ada pula segi-segi yang tidak diketahui oleh tersangka misalnya akan adanya saksi-saksi yang melihat atau mendengar, atau adanya barang-barang bukti dan sebagainya. Adalah lazim dan lumrah jika tersangka akan berusaha menyangkali perbuatannya dan penyangkalan itu dapat dilakukan dengan berpangkal tolak pada keterlanjuran penjelasan yang diberikan oleh pemriksa.


(28)

Tepatnya mnegmukakan sebagian dari bahan-bahan pembuktian adalah tindakan yang bijaksana. Dengan demikian tersangka akan dihadapkan pada suatu situasi untung rugi bilamana ia membohong atau mengakui kesalahannya.

c. Perhatikan gejala-gejala psychologis dan psychologis dari tersangka.

Jika pemeriksaan dapat membimbing jalanm pikiran tersangka kearah suatu pemikiran bahwa tersangka memiliki kelemahan-kelemahan psychologis dengan reaksi-reaksi reflex yang merupakan pratanda daripada dosa-dosa yang telah diperbuatnya, atau pelanggaran hukum yang tak dapat disembunyikan, maka tersangka akan merasakan terdesak ke sudut, kehilangan keseimbanagan dan tak berdaya, kecuali mengakui kesalahannya.

Dalam hal ini Inbau, mengemukakan contoh-contoh sebagai berikut:

1. Denyutan nadi di leher

Jika pemeriksa memperhatikan urat nadi pad aleher tersangka berdenyut dengan cepat, katakanlah bahwa cepatnya nadi itu berdenyut adalah disebabkan oleh karena sebenarnya. Sementara itu pemeriksa dapat menunjukkan pada nadinya sendiri yang berjalan normal. Lalu pemeriksa mengikuti pula dengan suatu penjelasan bahwa denyutan nadi yang menjadi cepat dan nampak itu tidak pernah terjadi pada orang yang bicara benar.

Untuk menggunakan taktik ini, pemeriksa harus menginsafi bahwa sebenarnya proses psychologis yang nampak pada denyutan “Carotid” ialah pada nadi leher itu, bukanlah pratanda tentang membohong atau pengakuan, oleh karena hal tersebut merupakan bagian daripada nerveous system yang terjadi baik pada orang yang tidak berbuat kesalahan maupun pada orang yang tidak berbuat kesalahan. Oleh karena itu ,


(29)

kita harus hati-hati membuat kesimpulan dengan anjuran ini, apalagi jika yang diperiksa adalah mahasiswa kedokteran atau psychiatry dan sebagainya.

2. Gerakan Adam’s Apple

Yang dimaksudkan dengan Adam’s Apple ialah lekum yang nampak membentul pada leher kaum pria. Keterangan selanjutnya pun akan sama dengan penjelasan pada point 1 diatas.

3. Beberapa reaksi Panca Indera

Reaksi panca indera yang mungkin dilakukan oleh tersangka, misalnya memalingkan mukanya tak mau melihat kea rah pemeriksa.

Usaha-usaha serupa yang sering pula dilakukan misalnya menggoyang-goyangkan sebelah atau kedua belah kakinya, menempatkan kaki itu kedepan atau menariknya ke belakang; memain-mainkan jari tangan apakah dengan cara meraba-raba kancing baju atau mengetuk-ngetukkannya ke kursi; menggigit kuku dan sebagainya. Ada pula yang merasakan kering pada bibirnya dan karean itu ia membasahi bibirnya dengan mengeluarkan lidah sebagai alat pembasah bibir itu.

Dalam hal tersangka memalingkan mukanya memandang ke loteng atau keluar jendela atau ke lantai, pemeriksa harus berusaha agar tetap terjadi kontak antara mata dengan mata. Kontak yang demikian itulah yang hendak dihindarinya dan kebalikannya pemeriksa harus berusaha mencegah penghindaran sedemikian itu merupakan pelarian daripada bahaya akan terbukanya kebenaran sebagai masalah pokok yang hendak dijauhi oleh tersangka.

Kontak termaksud tak perlu dikemukakan secara blak-blakan. Sebaliknya dilakuakan secara tidak langsung, misalnya dengan cara menepuk bahu tersangka, menyebut namanya dan berdiam sebentar untuk menciptakan suasana bertanya di dalam hati tersangka.


(30)

4. Kecemasan tersangka

Gejala-gejala yang diterangkan pada point 3 di atas itu sebenarnya pun merupakan bagaian daripada proses psychologis sebagaimana halnya dengan kecemasan. Dengan kata lain, kecemasan dapat ditandai oleh gerakan-gerakan panca indera; ialah usaha untuk membentuk keseimbangan psychis, sedangkan kecemasan itu sendiri merupakan produk daripada conflict psychologis.

Kecemasan antara lain dapat dilihat pada keringat dingin pucat atau gemetar dan sebagainya. Jika kecemasan tersangka dapat dimanfaatkan, maka pintu pengakuan segera terbuka. Tetapi jika kecemasan itu semakin dipertebal oleh sikap dan ucapan-ucapan pemeriksa yang kurang pengalaman menghadapinya, bahkan akan merupakan tembok tebal yang hendak menutup kebenaran atau sekurang-kurangnya mempersulit keadaan.

5. Sumpah tersangka

Lazim pula terjadi seorang tersangka hendak membenarkan keterangan dengan sikap bersumpah: “Demi Tuhan, aku akan terkutuk jika mngatakan kata-kata bohong”. Hal ini tidak selalu menunjukkan kesungguhan bahkan banyak yang berani membohong lalu berani pula berlindung di balik sumpah palsu. Jika misalnya tersangka hendak bersikap demikian dan hendak mengangkat tangannya sebagai syarat bahwa ia hendak bersumpah adalah bijaksana bila pemeriksa mengatakan: “Turunkanlah tangan anda, aku kebetualan dididik dan berpengalaman untuk melihat bentuk muka orang yang berkata benar atau bohong”. Keadaan demikian ini dapat kita sebut “akal dibalas akal, muslihat dibalas dengan muslihat”.

6. Berlindung pada agama

Sama halnya dengan keterangan point 5 di atas, maka di sini pun sering dijumpai tersangak yang mengatakan: “sebagai orang yang beragama mustahil bahwa


(31)

saya akan berlaku demikian”. Menghadapi ucapan-ucapan demikian, dianjurkan agar pemeriksa dengan tegas menyatakan: “bagaimana alimnya sekalipun kehidupan tuan, adalah masalah tuan dengan Tuhan. Yang menjadi urusan dengan saya, adalah bahwa tuan berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan persoalan yang menyebabkan tuan harus berhadapan dengan hukum. Demi untuk kebenaran agama yang tuan peluk, jelaskanlah duduk persoalan dengan sebenarnya”. Situasi tertentu, memerlukan perlakuan tertentu pula.

7. “Tidak, bukan begitu”

Jika di atas tadi kita melihat tersangka yang hendak bersembunyi di balik sumpah palsu atau bersembunyi di balik kebenaran agama, maka disini kita kemukakan pula tersangka yang langsung menyangkali perbuatannya dengan menjawab pertanyaan pemeriksa: “Tidak, bukan begitu”. Mengahadapi tersangka yang demikian itu, pemeriksa harus berusaha mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya demikian rupa sehingga jawaban hanyalah: “ya” atau “tidak”.

Jawaban-jawaban tersangka yang mengatakan: “sepanjang ingatan saya bukan demikian” atau “saya kira bukan begitu”, adalah jawaban setengah-setengah dan ragu-ragu. Tersangka dengan demikian berada di ambang penyangkalan dan pengakuan. Hanyalah keahlian pemeriksa yang akan menariknya ke dalam suasana pengakuan atau kelalaian kecil dari pemeriksa dapat mendorong kea rah penyangkalan yang mempertele-telekan pemeriksaan.

d. Berikanlah rasa simpati kepada tersangka:

Kiranya cukup jelas contoh yang penulis kemukakan pada unsur kesepuluh dari sikap pemeriksa. Adalah agakcanggung untuk mengikuti penjelasan Inbau dan Reid sebagai berikut:


(32)

“criminal offender, and particularly one of the emotional type, derives considerable mental relief and comfort from an interrogator’s assurance else under similar conditions or circumstances might havew done the same thing”.

Bahwa seorang tersangka akan merasa lega jika pemeriksa menyatakan bahwa siapapun akan berbuat sama dengan yang dilakuakn oleh tersangka, jika menghadapi keadaan serupa.

Memang ucapan demikian itu dapat memperbesar hati tersangka sen\hingga situasi lunak antar pemeriksa dan pemeriksa yan dapat tercipta, kemudian memberi kesempatan pada pemeriksa untuk membimbing tersangka kea rah pengakuan. Hal ini dapat terjadi pada tersangka yang kurang berpengalaman ata kurang membaca masalah psychology.

Sebab, reaksi manusia terhadap situasi yang asma, tidak selalu menciptakan reaksi yang sama. Manusia memiliki struktur psychologis yang berbeda sebagai akibat perbedaan-perbedaan pengalaman, perbedaan kondisi psychis, perbedaan hiostoris. Bahkan anak kembarpun tidak selalu mempunyai reaaksi yang sama terhadap impuls intern yang sama atau conflict extern yang sama. Perhatikanlah misalnya pengaruh tekanan ekonomi yang lazim mencekam kehidupan manusia. Wanita A yang mengalami tekanan ekonomi bereaksi menjadi pelacur, ada pula yang rela menjadi pesuruh, lain lagi berusaha untuk belajar lebih keras, bekerja lebih keras atau ada pual yang putus asa lalu memilih jalan-jalan yang penuh dengan pelarian psycholigis. Contoh ini hendak menjelaskan dengan singkat bahwa situasi yang sama, atau tekanan yang sama tidak selalu menciptkan reaksi yang sama.

Seorang memiliki sifat-sifat agresif akan balas menyerang bilamana ia diserang. Kebalikannya adalah orang yang bersifat masochistic yang akan merasakan suatu kepuasaan bilamana dirinya disakiti orang. Kita akan berkepanjangan untuk memberi contoh-contoh daripada aspek psychologis yang berliku-liku itu, namun


(33)

sebuah saran bagi pemeriksa untuk menyatakan rasa tahu menghargai bahwa tersangka adalah manusia seperti pemeriksa juga. Akan tetapi penghargaan yang diberikan itu jangan pula berkelanjutan sehingga menyebabkan pemeriksa kehilanagan pegangan untuk membimbing tersangka ke arah pengakuan. Menghargai tersangka sebenarnya hanyalah dipergunakan sebagai umpan belaka, agar pihak tersangka pun akan menaruh perhatian dan memberikan kepercayaannya kepada pemeriksa.

e. Rasa bersalah

Sebelum ini kita sering membicarakan mengenai tersangka yang berusaha menutup-nutupi kesalahannya dengan melakukan penyangkalan. Dapat pula terjadi sebaliknya ialah tersangka segera mengakui akan kesalahannya, namun tak mampu kuntuk memberikan penjelasan tentang sebab musabab serta cara ia melakukan perbuatannya. Golongan ini biasanya adalah mereka yang mengalamikecemasn dan kecemasan itu demikian rupa menekan jiwanya, mengaburkan kesehatn berpikirnya bahkan menjadi pelupa, atau dengan kata lain tak mampu mengadakan pemusatan pikiran. Tentualah kecemasan itu dirangsang oleh perbuatan yang telah dilakukannya, diikuti dengan rasa bersalah yang hebat, dan rasa bersalah itulah yng membangkitkan kecemasan. Rasa bersalah itu sebenarnya ditonjolkan oleh sautu instansi jiwa yang penting yang disebut super ego.

Menghadapi tersangka yang mengalami kecemasan sedemikian itu sebaiknya pemeriksa membimbingnya lebih dahulu kea rah peristiwa-peristiwa yang sama terjadi pada orang lain, untuk menunjukkan bahwa dia bukanlah satu-satunya orang yang berbuat demikian. Maksudnya adalah sekedar untuk menunjukkan kenyataan hidup dengan itu diharapkan pula agar kecemasan tersangka dapat berkurang. Jika


(34)

pemeriksa melihat bahwa kecemasan tresangka bukanlah kurang bahkan semakin parah, sangat dianjurkan untuk berkonsentrasi dengan pschiater.

Oleh karena itulah, maka pemeriksa yang menghadapi tersangka dengan kondisi sedemikain itu, ia menghadapai tersangka secara yuridis telah melakukan pelanggaran, tetapi psychologis pemeriksa akan berlaku sebagai asisten psychiater yang menghadapai seorang pasien. Air yang keruh jangan tambah diperkeruh, tapi berusahalah memberikan kejernihan. Pengakuan yang diberikan oleh tersangka dalam keadaan tenang tentram adalah pengakuan yang dapat dipertanggung jawabkan, baik secara moral maupun yuridis.

f. Memilih kalimat sopan

Terutama dalam menghadapi kejahatan kesusilaan atau yang dalam bahasa Inggrisnya lebih tegas disebut sebagai sexual crime, maka pemeriksa akan menemui beberapa hal dimana istilah-istilah porno harus dikemukakan. Walaupun tersangka telah melakukan kejahatan asusila, namun penggunaan istilah-istilah porno tidak dipergunakan dan menggantikannya dengan istilah lain yang tidak membwa arti langsung tapi harus tidak menghilangkan maksud sebenarnya.

Walaupun demikian, saran untuk tidak menggunakan kalimat-kalimat porno dalam pemeriksaan, adalah saran yang bermanfaat. Tapi ada pula orang dengan watak humoris yang khusus menggunakan istilah porno, bukan tak mungkin bahwa kalimat-kalimat demikian itu dapat membuat mulut mereka k ears pengakuan. Sejau manakah pemeriksa dapat menggunkannya, adalah taktik dan teknik pemeriksa yang didasarkan pada pengalamnyalah yang akan menentukan.


(35)

g. Tujuan simpatik para tersangka, dalam hal ia mempersalahkan korbannya

Perlu diingat bahwa orang yang suka melihat ke luar mempersalahkan orang lain daripada mengakui kesalahan sendiri adalah mereka yang tergolong egosentri. Seorang egosentrik tidak tercipta seketika ia melakukan kejahatan atau seketika menyalahkan korbannya, melaiankan melalui suatu masa yang panjang yaitu sejak ia mulai menghadapi pergaulan dengan sesame manusia. Dengan kata lain bahwa egosentrik bersumber pada masa kanak-kanak bahkan tak dapat dikecualikan ialah struktur kejiwaan tertentu yang mengalami kontak-kontak tertentu.

Menghadapi orang yang demikian harus diinggat bahwa mereka dapat bersifat kerasa kepala (stubborn) terhadap nasehat-nasehat yang dapat menyinggung rasa harga dirinya, walaupun secara sadar ia tahu akan kesalahannya. Oleh karena itu maka lazim bagi seorang egosentrik mempersalahkan lawannya walaupun ia sendiri menyadari akan kesalahan yang diperbuatnya.

Dipihak lain dapat pula kita perhatikan bahwa sifat mempersalahkan lain orang itu dijumpai pula pada banyak orang, walaupun mereka tidak tergolong kategori egosentrik, contoh-contoh yang lazim kita jumpai misalnya seseorang penderita influenza, lebih menyalahkan pada angina daripada harus menyalahkan kondisi badannya atau mengapa ia harus berjalan di hujan. Dalam hal terlambat memasuki kantor maka yang dipersalahkan adalah jam tangannya, ataukah mobilnya mogok, ataukah kemacetan lalu lintas dan sebagainya. Sifat –sifat demikian itu adalah gejala-gejala dari pada sifat memperoleh “excuse”.

Baik mereka yang memiliki sifat egosentrik maupun mereka yang mencari excuse pada keadaan luar pribadinya, hal mana biasanya menunjukkan bahwa mereka bukan sama menyangkal akan perbuatannya, Cuma mereka ingin menempatkan suatu sebab-musabab yang kiranya dapat dianggap sebagai excuse atas kesalahan yang


(36)

mereka lakukan. Tetapi sebagaimana telah dikemukakan di atas tadi, asalkan pemeriksa tidak tegas-tegas menantang seorang egosentrik yang dapat bersikap subborn; pemeriksa mengikuti aliran pikiran mereka namun tetap pada persoalan pokok ialah kebenarn melalui proses pemeriksaan itu.

h. Manfaatkan saling pengertian antara pemeriksa dan yang diperiksa

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah usaha pemeriksa untuk menciptakan suasana saling mengerti antara pemeriksa dengan yang diperiksa. Suasana saling mengerti itu dapat diciptakan dengan banyak cara. Setelah terciptanya suasana saling mengerti antara kedua belah pihak, tibalah kesempatan bagi pemeriksa untuk maju memanfaatkan suasana itu. Tapi akan kelirulah seorang pemeriksa yang menyangka bahwa pemeriksa akan segera mencapai tujuan yang diharapkannya. Hal yang penting yang harus diingat adalah yanhg diperiksa juga manusia dengan sifat-sifat kemanusiaan, mempunyai pola perhitungan untung rugi. Yang diperiksa pun akan berusaha untuk memanfaatkan saling pengertian antara kedua belah pihak itu. Disinilah letaknya jurang-jurang yang banyak dimanfaatkan oleh tersangka untuk melemahkan kedudukan pemeriksa.

Adalah suatu alat yang ampuh yang dapat dipergunakan oleh pemeriksa ialah menjamah atau menepuk tersangka dengan diiringi pertanyaan-pertanyaan yang terarah. Menjamah pundak orang, tentulah harus mengingat etika dan adat istiadat manusia. Menjamah pundak wanita akan mengakibatkan hal yang bertentangan dengan tujuan. Perlakuan sedemikian itu hanyalah dapat ditujukan kepada tersangka yang usianya lebih muda daripada pemeriksa atau sebaya. Walaupun misalnya tersangka berusia lebih muda atau sebaya dengan pemeriksa, tetapi seorang habitual


(37)

atau profesional yang berpengalaman dalam dunia kejahatan, maka perbuatan menepuk pundak hanyalah dipandang sebagai hal yang menertawakan tersangka.

Jika usaha pemanfaatan itu mengalami kegagalan oleh karena tersangaka tidak mau mengakui kesalahannya, maka Inbau mengemukakan suatu metode yang dinamakan “friendly unfriendly act”. Metode ini dilakukan dengan cara kerja sama antar dua orang pemeriksa, ataupun seorang pemeriksa saja. Jika yang digunakan adalah dua orang pemeriksa, maka seorang bersikap bersahabat (friendly) dan yang lainnya bersikap tidak bersahabat (unfriendly). Yang melaksanakan sifat unfriendly, bersikap seperti oaring tidak tenang, keluar masuk ruangan dan sebagainya. Keluar dari ruangan sebenarnay adalah suatu kesempatan yang diberikan kepada tersangka agar ia mendekati pemeriksa yang bersikap bersahabat.

Jika metode yang dipergunakan adalah seoerang pemeriksa, maka pemeriksa sewaktu-waktu menjadi kesal nampaknya lalu merobah sikap menjadi lunak dan seterusnya. Metode-metode sedemikian ini dapat dipandang sebagai anjuran belaka, namun penulis tetap mengingatkan bahwa tersangka adalah manusia dengan reaksi sebagai manusia. Mereka memiliki keutuhan pribadi tetapi juga tidak luput dari kelemahan-kelemahan. Tugas utama adalah mempercakapkan masalah-masalah yang nampaknya tidak berhubungan dengan pemeriksaan, tetapi sebenarnya mengarah pad penelitian tentang kelemahan-kelemahan psychologis yang dimiliki oleh tersangka. Mengekspose kelemahan ini dapat merupakan penerobosan benteng penyangkalan menjadi pengakuan.

Suatu keuntungan bagi pemeriksa/ penyidik di Indonesia, ialah sistem penahanan yang cukup luas untuk membuat perkara menjadi jelas. Pasal 75 HIR menyatakan dengan jelas mengenai alasan-alasan penahanan yang antara lain disebut ialah “untuk kepentingan pemeriksaan”.


(38)

BEBERAPA TEKNIK DAN CARA PEMERIKSAAN TERHADAP TERSANGKA YANG MASIH DIRGUKAN KESALAHANNYA.

Pemeriksaan terhadap tersangak yang masih diragukan kesalahannya, adalah lazim menggunakan siasat sebagai berikut:

a. Mengapa tersangka diperiksa

Pertanyaan pertama yang biasanya dipergunakan adalah “tahukah anda mengapa anda diperiksa?” atau pertanyaan-pertanyaan yang senada dengan itu. Seorang yang telah melakukan kesalahan bilamana mendengar pertanyaan demikian itu, akan menunjukkan sikap waspada. Maka ia akan berhati-hati, mungkin menarik napas panjang untuk memperoleh kelegaan, mungkin tersenyum atau mungkin juga menjadi pucat, bahakan ada yang langsung menunjukkan wajah bermusuhan.

Pemeriksa yang bijaksana, adalah pemeriksa yang dapat membaca situasi waspada itu. Bilamana tersangka memberikan jawaban “ya”, iapun tetap menunjukkan sikap waspada. Kebalikannya adalah meraka yang tidak bersalah, bilamana mendengar pertanyaan tadi, ia akan menunjukkan sikap semakin heran dan mungkin juga curiga. Jawaban akan muncul secara spontan “tak tahu”, atau “mengapa? saya pun ingin bertanya”. Dikatakan semakin heran, oleh karena sikap heran dan curiga sudah nampak. Segera ia akan merubah seluruh sikap heran dan curiga, oleh karena ia merasa memperoleh kesempatan untuk menghadapi situasi yang akan membawa kea rah kebenaran. Dengan demikian ia akan riang bercampur cemas, matanya bercahaya bercampur sayu dan sebagainya. Riang adalah lambang daripda harapan-harapan sedangkan campuran cemas dan sayu adalah peninggalan rasa curiga yang belum dapat ditinggalakan sebelum keadaan menjadi jelas.


(39)

b. Tanyakan kegiatan tersangka sebelum terjadinya peristiwa, ketika dan setelah peristiwa itu terjadi

Menanyakan kegiatan tersangka sekitar peristiwa sebelum, sedang dan sesudah terjadinya tindak pidana adalah termasuk usaha untuk menyesuaikan alibi tersangka. Pertanyaan demikian akan menempatkan tersangka pada tiga peristiwa yang terpisah-pisahnamun mempunyai kaiatan antara peristiwa yang satu dengan yang lain. Kemungkinan besar, tersangka akana sangat bersifat waspada bilamana menjelaskan kegiatannya di sekitar phase kedua ialah phase terjadinya peristiwa pidana. Kewaspadaan yang terpusat pada phase kedua itu dapat secara tak sadar melemahkan kewaspadaan terhadap phase pertama dan ketiga. Sifat waspada pada phase kedua yang melebihi kewaspadaan pada kedua phase lainnya adalah termasuk indikasi akan adanya kesalahan tersangka, yang sebenarnya sudah nampak ketika dilakukan pertayaan pada point A. Maka pertanyaan point B ini biasanya dilakukan terhadap tersangka yang mencoba hendak memungkiri perbuatannya.

Kelemahan-kelemahan yang dijumpai ketika tersangka menjelaskan kegiatannya sekitar phase pertama dan ketiga akan merupakan kunci, apakaha tersangka telah memberikan keterangan yang lengkap, jelas dan benar. Pertanyaan-pertanyaan mengenai phase pertama, tidak saja menyangkut hal-hal yang ada hubungan langsung dengan peritiwa pidana, tetapi mungkin menyangkut pula hal-hal yang terjadi jauh sebelum peristiwa pidana. Hal-hal termasuk harus diteliti sedemikian rupa untuk dipergunakan sebagai latar belakang atau background daripada peritiwa pidana yang baru terjadi. Keterangan-keterangan yang biasanya disebut background information itu adalah menyangkut tempat kelahirannya, pendidikan, pekerjaan, kegemaran, pergaulan dan sebagainya. Background information itu dapat diperguanakan untuk pemeriksa analisa, baik mengenai watak tersangka maupun mengenai kondisi-kondisi


(40)

yang mempunyai hubungan dengan peristiwa pidana. Riwayat hidup tersangka yang menyangkut pengalaman-pengalaman dalam bidang kejahatan, misalnya pernah dihukum, pernah ditahan, pernah terlibat dalam kejahtan anak-anak, penjudi, pemabuk dan sebagainya adalah keterangan yang berguna untuk analaisa dan evaluasi. Pada bagian yang membicarakan mengenai kasus-kasus kriminal, akan kita jumpai hal-hal yang menyangkut background ini.

Apa yang kita sebut dengan menguji alibi tersangka ialah pengamatan terhadap kegiatan tersangka pada phase kedua khususnya mengenai tersangka di tempat terjadinya peristiwa pidana itu. Yang dimaksud dengan “alibi” ialah tidak hadirnya tersangka pada tempat kejadian peristiwa pidana dan karena itu kepadanya tidak dapat dinyatakan “bersalah”. Jika tersangka mengemukakan alibinya, maka pembuktian alibi itu tidak akan cukup hanya dengan pemeriksaan lisan belaka. Tugas penyidikan akan sangat menetukan kebenaran alibi yang dikemukakan oleh tersangka itu. Kebenaran alibi ini pun sedikit banyak ditentukan pula oleh hasil-hasil pertanyaan mengeni kegiatan tersangka phase pertama, bahkan juga mungkin mempunyai hubungan dengan kegiatan tersangka pada phase ketiga. Di atas tadi telah dikemukakan bahwa seorang yang bersalah akan sangat waspada memberikan jawaban mengenai kegiatanya di sekitar phase kedua ialah pada waktu terjadinya peristiwa pidana.

Kewaspadaan pada phase kedua ini mungkin menimbulkan kelemahan-kelemahan keterangan-keterangan, maksudnya berkurang kewaspadaan pada waktu menjawab pertanyaan pemeriksa mengenai kegiatan di sekitar phase pertama dan ketiga. Jika tersangka mengemukakana alibi yang dibuat-buat, maka kelemahan-kelemahan pada phase pertama dan ketiga akan menunjukkan kontradiksi-kontradiksi. Kontradiksi materiil mungkin tersangka dapat menyesuaikan keterangan-keterangnya.


(41)

Tetapi kontradiksi psychologis yaitu sikap tersangka, cara mengemukakan keterangan serta gejala-gejala psychologis lainnya yang nampak secara somatis, dapat menunjukkan atau sekurang-kurangnya menjaid pertanda tentang benar tidaknya keterangan tersangka.

c. Pelajari persoalan sebelum melakukan pemeriksaan

Cara yang dikemukakan disini sebenarnya berlaku untuk semua pemeriksaa. Sebelum menghadapi tersangka, pemeriksa harus terlebih dahulu mempelajari duduknya peritiwa pidana dimana subjek diajukan sebagai tersangka. Jika laporan dan bahan-bahan yang dipelajari oleh pemeriksa adalah lengkap, sebaiknya pemeriksa telah mempunyai gambaran yang jelas mengenai: riwayat hidup tersangka, background peristiwa pidana, watak tersangka, bukti-bbukti dan saksi-saksi serta keterangan ahli, terjadinya peristiwa pidana, kelemahan-kelemahan dalam laporan yang memungkinkan penyangkalan, petunjuk-petunjuk yang sulit untuk dimungkiri oleh tersangka misalnya keterangan saksi tertentu atau sifat sesuatu bukti.

Saksi-saksi yang memberikan pembuktian tentang kesalahan tersangka, sebaliknya dipelajari pula itikad, background, hubungan yang pernah ada antara saksi dan tersangka, riwayat hidup dan pendidikan serta keahlian saksi. Barang bukti yang dipandang menetukan kesalahan tersangka, misalnya sidik jari, atau mungkin juga bukti-bukti yang dipergunakan oleh tersangka untuk membebaskannya dari tuduhan. Adalah tugas dan kewajiban penegak hukum untuk menegakkan keadilan sebagaiamana dikehendaki di dalam suatu negara hukum dan bagaiamana cara penegak hukum itu menghadapi pelanggar-pelanggar hukum adalah test-case yang menentukan kemampuan petugas besangkutan. Oleh karena itu, menghadapi tersangka secara matang memberikan peluang bagi pemeriksa untuk membantuk


(42)

kemampuannya, menghadapi tersangka tanpa keragu-raguan, dengan cara mematangkan persoalan lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan. Dengan demikian maka pemeriksa dapat merncanakan pertanyaan-pertanyaan yang terarah bahkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu sudah dapat dipastikan oleh pemeriksa. Lain daripada jawaban yang direncanakan itu dapat dinyatakan sebagai jawaban yang tidak benar.

d. Tunjukkan beberapa bukti

Orang yang telah melakukan kesalahan, akan berusaha untuk menyembunyikan jejaknya dan oleh karena itu ia akan gelisah bilamana polisi akan memperoleh bukti-bukti yang dapat dipergunakan untuk menuduhnya. Sebaliknya, orang yang tidak bersalah, tidak perlu gelisah menghadapi penyelidikan. Inbau mengatakan bahwa seorang yang bersalah biasanya akan memberikan penjelasan yang menyangkut peristiwa itu, atau mungkin pula bahwa tersangka akan mengemukakan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut mengenai hal yang ditanyakan oleh pemeriksa kepadanya. Seorang yang tidak bersalah akan memberikan jawaban yang tegas berkenaan dengan hal yang tidak dilakukannya.

e. Tanyakan apakah tersangka pernah memikirkan sebelumnya melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya

Pernah memikirkan sebelum melakukan sesuatu tindak pidana akan memberi petunjuk tentang kejahatan yang direncanakan lebih dulu. Maka pertanyaan kea rah itu bukan saja akan menyingkapakan tentang pelaksanaan sesuatu tindak pidana bahkan yang direncanakan lebih dahulu atau sekurang-kurangnya menunjukkan bahwa perbuatan itu telah dilakukan dengan sengaja. Hal sedemikin itu perlu untuk


(43)

membedakan dengan “episodic criminal” ialah mereka yang melakukan kejahatan sebagai akibat tekanan emosi yang hebat, tekanan mana terjadi dengan tiba-tiba dan peristiwa pidana dilakukan sebagai tindakan yang tidak dipikirkan lebih dahulu.

f. Pengakuan sekedar mengikuti kehendak pemeriksa

Dari sekian banyak reaksi tersangka, pemeriksa akan menjumpai pula golongan yang memberikan reaksinya: “baiklah, saya akan mengakui sesuai kehendak Bapak, tetapi sebenarnya saya tidak melakukannya”. Reaksi demikian dapat dibagi atas dua kemungkinan; pertama, kemungkinan bahwa tersanagka memang bersalah tak mungkin memberikan penyangkalan, tetapi hendak menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Kemungkinan kedua adalah, bahwa pemeriksa telah melakukan pemeriksaan dengan menggunakan kekuatan fisik yang tak mampu diderita oleh tersangka.

g. Sistem 6W

Sistim 6W itu disebut demikian untuk memudahkan dalam mengingatnya dan di dalam tiap kata terdapat huruf “w”. Keenam kata yang kita maksudkan itu adalah dalam bahasa Inggris, yakni: who, what, when, where, how, why. Tentulah jika kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan menjadi: siapa, apa, kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa.

1. Siapa (who)

Di dalam pertanyaan pertama yang perlu diteliti oleh pemeriksa adalah hal-hal yang menyangkut, siapakah yang melaporkan peristiwa pidana itu; atau siapakah yang pertama-tama mengetahui terjadinya peristiwa itu; siapakah yang telah menjadi korban peristiwa; siapakah yang telah melakukannya; siapakah


(44)

yang disangka telah melakukannya; siapakah yang disangka telah melakukan; siapakah yang ikut terlibat; siapakah yang diharapakan dapat menambah keterangan selain bahan-bahan yang telah ada.

2. Apa (what)

Di dalam daftar pertanyaan berikut, pemeriksa perlu meneliti hal-hal sebagai berikut: apakah yang telah terjadi; kerugian dalam bentuk apakah yang telah terjadi; bukti-bukti apakah yang dapat dipergunakan; jenis kejahatan apakah yang terjadi; alat-alat apakah yang telah dipergunakan; senjata apakah yang dipergunakan; kendaraan apakah yang dipergunakan; tindakan apakah yang telah dilakukan oleh petugas hukum; tindakan apakah yang harus dilakukan lagi.

3. Dimana (where)

Dengan ini pemeriksa akan melakukan penelitian atas hal-hal mengenai: di manakah tempat terjadinya perkara; ketika terjadinya peristiwa itu, yang mengadu atau yang menjadi korban berada dimana; dimana pula beradanya saksi ketika menyaksikan peristiwa itu; dimanakah terletaknya alat-alat yang mempunyai nilai pembuktian; dimanakah alat-alat dan senjata itu berada ketika pemeriksaan sedang dilakukan; dimanakah letaknya barang curin disimpan; dimanakah biasanya tersangka pergi; dimanakah dapat diperoleh tambahan keterangan; dimanakah pernah terjadi suatu peristiwa yang sejenis.

4. Kapan (when)

Kapankah peristiwa pidana itu terjadi; kapankah peristiwa itu diketahui; kapankah peristiwa itu diketahui; kapankah peristiwa itu dilaporkan kepada yang berwajib; kapankah polisi tiba di tempat kejadian perkara; kapankah tersangka dicurigai berada di tempat kejadian perkara; kapankah terjadi di


(45)

wilayah itu suatu peristiwa yang sejenis; kapankah saksi-saksi dapat ditanyai selanjutnya; kapankah bukti-bukti dapat diperoleh seluruhnya; kapankah diperkirakan akanterjadi lagi peristiwa yang sama.

5. Bagaimana (how)

Bagaimana peristiwa itu terjadi; bagaimana tersangka memasuki tempat peristiwa; bagaimana caranya ke luar dari tempat itu; bagaiaman peristiwa itu diketahui; bagaiaman cara menggunakan alat-alat bukti; berapa lamakah pelaksanaanya; berapa banyakkah orang yang terlibat dalam peristiwa itu; bagaimanakah pelaksanaan rencana yang dilakukan oleh tersangka dalam arti berhasil atau kurang berhasil atau sama sekali tidak cocok dengan rencana; berapa banyakkah peristiwa sejenis yang terjadi di wilayah itu.

6. Mengapa (why)

Bentuk keenam dari sistematik “6W’ ini adalah mengemukakan pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: mengapa peristiwa itu dilakukan oleh tersangka; mengapa dia menggunakan metode tertentu dalam pelaksanaannya; mengapa justru seorang tertentu yang dijadikan korbandalam peristiwa itu; mengapa pul suatu waktu atau jam tertentu telah dipergunakan untuk pelaksanaan; mengapa hanya benda-benda tertentu saja yang diambil dan mengapa yang lain dibiarkan; mengapa pula tersangka telah menggunakan alat-alat atau senjata khusus dalam pelaksanaannya; mengapa laporan peristiwa itu terlambat atau tidak tepat pada waktunya.


(46)

Bab IV

KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI DALAM INTEROGASI OLEH PENYIDIK

A. KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI

Perkembangan kehidupan masyarakat yang begitu cepat sebagai hasil dan proses pelaksanaan pembangunan di segala bidang kehidupan social, politik, ekonomi, keamanan dan budaya telah membawa pula dampak negatif berupa peningkatan kualitas dan kuantitas berbagai kejahatan yang sanagat merugikan dan meresahkan masyarakat. undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sebagai produk hukum nasional pengganti HIR yang memilki 11 (sebelas) asas dalam upaya penegakan hukum tersebut dalam pelaksanaannya masih ditemui adanya berbagai kendala, hambatan terutama yang menyangkut masalah peran dan perlindungan masyrakat daalm proses penegakan hukum.

Masih sering ditemui dalam proses penegakan hukum, banyak hal dan tindakan aparatur yang dirasa merugikan masyarakat, saksi korban, saksi-saksi lain maupun kelompok masyarakat tertentu. Banyak kelompok masyarakat yang berpendapat bahwa Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sangat banyak memberi perlindungan dan perhatian atas hak-hak asasi/harkat martabat para tersangka atau terdakwa, tetapi sedikit sekali mengatur tentang perlindungan/perhatian atas hak-hak asasi/harkat martabat anggota masyarakat yang terlibat dalam proses penegakan hukum tersebut, baik saksi korban maupun saksi-saksi lainnya.


(47)

Asas penegakan hukum yang cepat, tepat, sederhana dan biaya ringan, hingga saat ini belum spenuhnya, mencapai sasaran seperti yang diharapkan masyrakat. Sejalan dengan itu pula masih, banyak ditemui sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merugikan masyarakat maupun keluarga korban. Harus diakui juga bahwa banyak anggota masyarakat yang masih sering melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku yaitu mempengaruhi aparatur hukum secara negatif yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku pada proses penegakan hukum yang bersangkutan dengan diri, pribadi, keluarga atau anaknya/kelompoknya.

Banyak faktor yang mempengaruhi belum berperannya masyrakat secara baik dan optimal sesuai ketentuan dalam proses penegakan hukum, disamping itu masih banyak ditemui hambatan/ kendala-kendala yang merugikan masyarakat selama proses penegakan hukum tersebut. Contohnya :

a. Adanya pembackingan pencurian oleh oknum kepolisian. b. Kurangnya kepercayaan masyarakat

c. Kurangnya kesadaran hukum ditengah-tengah masyrakat.

A. Adanya pembackingan pencurian oleh oknum kepolisian.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Saryono, dalam hal oknum kepolisian yang turut dalam pencurian atau sebagai backing dalam kasus pencurian, maka penyidik langsung membuat surat pengaduan kebagian PROPAM dimana bagaian ini yang menjadi pengatur dan pengawas aparat kepolisian dalam mengemban tugas. Penyidik jika menemukan adanya usaha pembackingan tersebut maka penyidik dapat secara langsung menahan atau melakukan upaya paksa membuat surat penangkapan kepada


(48)

oknum kepolisian yang membacking dan diproses secara undang-undang yang berlaku dan tidak dibawa ke Mahkamah Militer langsung dan ditahan bersama-sama dengan sipelaku. Tentu saja jika oknum kepolisian turut dalam membacking usaha pencurian memiliki alasan-alasan yaitu merasa kurang dengan apa yang didapatnya dari pekrjaannya dan dikarenakan adanya pergaulan bebas yang mana pergaulan bebas berarti adanya keinginan untuk memperkaya dan memuaskan diri sendiri.

Tentu akan terasa berat jika penyidik mengetahui bahwa rekan satu profesi di kepolisian turut serta dalam melakukan pencurian atau pun yang membacking usaha pencurian. Akan tetapi berdasarkan keterangan yang didapat, jika terjadi hal demikian rekanan tersebut harus dikesampingkan demi tegaknya hukum, dalam hal ini penyidik yang mengemban tugas dalam menuntaskan kasus pencurian, tidak perlu merasa tertekan dalam menegakkan hukum kepada oknum yang melenceng.

Dua tahapan dalam menjatuhkan hukuman kepada oknum kepolisian tersebut yaitu: 1. Oleh institusi kepolisian memecat oknum tersebut dan diproses dalam peradilan

umum dimana oknum tersebut disamakan dengan masyrakat umum dan dijatuhkan vonis hukuman;

2. setelah vonis hukuman dari pengadilan negeri dijatuhkan, maka oknum tersebut disidang profesi oleh kepolisian dan jika bersalah akan dipecat atau dimutasikan dan pangkatnya diturunkan.

B. Kurangnya Kepercayaan dari Masyarakat

Dalam hal ini adanya oknum-oknum yang tidaka mempunyai pengetahuan tentang intitusi kepolisian sehingga dengan mudahnya menyebar rumor tentang keolisiana dalam melakukan tugasnya.


(49)

Aparat kepolisian kini sudah melakukan reformasi diberbagai bidang sehingga masyarakat dapat melihat dan membedakan bahwa POLRI yang sekarang ini jauh lebih baik dari yang dahulu. Yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat dan membuat masyarakat sebagai rekan sekerja dalam memberantas tindak pidana yang marak terjadi dikalangan masyarakat.

C. Kurangnya Kesadaran Hukum ditengah-tengah masyarakat.

Hal ini sangatlah jelas sekali terlihat dalam kehidupan masyarakat kita. Yaitu main hakim sendiri terhadap pelaku tindak pidana. Seperti yang saya lihat pada saat mengadakan penelitian di Polsekta Medan Baru, saya melihat langsung pelaku pencurian yang babak belur dihajar massa karena ketahuan mencuri di Pasar Petisah. Tetapi pihak keluarga tidak terima karena anggota keluarga dihajar massa maka pada kahirnya pihak kepolisian yang menjadi sasaran kemarahan keluarga karena dikira dihajar Polisi pada saat diadakan penyidikan.

Dalam mengemban tugasnya penyidik harus memperhatikan hal-hal seperti dengan cermat dimana jika terjadi suatu tindak pidana dan orang itu dihajar massa maka Polisi harus membuat berita acara penerimaan tersangka oleh dua orang saksi dan ditanda-tangani oleh saksi dan dijelaskan tentang keadaan dari tersangka kenapa sampai babak belur. Hal ini diperbuat agar tidak terjadi tudingan terhadap aparat kepolisian yang main hakim sendiri dalam melakukan tugasnya.

Masyarakat dewasa ini harus diberikan penyuluhan tentang bagaimana kedudukannya dalam hukum agar masyarakat mengerti dan sadar bahwa hukum ada bukan untuk dilanggar melainkan untuk di patuhi.


(50)

B. UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM MENGATASI KENDALA DALAM MELAKUKAN INTEROGASI

Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang “kebiijakan kriminal” (“criminal policy”). Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan sosial” (“social policy”) yang terdiri dari “kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial” (“social welfare policy”) dan “kebijakan/ upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat” (“social defence policy”). Dengan demikian sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” (hukum pidana), maka “kebijakan hukum pidana” (“penal policy”), khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social welfare” dan “social defence” .

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan (“goal”), “kesejahteraan masyarakat/ social welfare” dan “perlindungan masyarakat/ social defence”. Kedua aspek itu yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/ perlindungan masyarakat yang bersifat IMMATERIIL, terutama nilai kepercayaan, kebenaran/ kejujuran dan keadilan. Upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan “pendekatan integral”; ada keseimbangan sarana “penal” dan “non penal”. Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling startegis melalui sarana “non penal” karena lebih bersifat preventif dan kareana kebijakan “penal mempunyai keterbatasan dan kelemahan (yaitu fragmentis/ simplistis/ tidak structural fungsional; simptomatik/ tidak kausatif/ tidak eliminatif; individualistik atau “offender-oriented/ tidak victim-oriented”; lebih bersifat represif/ tidak preventif; hanya didukung oleh infrastruktur dengan biaya tinggi).


(1)

Penulis menyarankan remaja memerlukan perhatian dan pengawasan terhadap lingkungan pergaulannya dari orang tua, selain itu juga perlu adanya pendidikan mental dan penanaman keagamaan. Kepada pihak Kepolisian agar lebih meningkatkan kualitas dan tingkat profesionalisme anggotanya dalam mengungkap dan memproses kasus Curanmor yang terjadi, mengingat modus-modus operandi yang dilakukan pelaku sangat beraneka ragam dan mengalami perkembangan. Dengan melakukan upaya-upaya seperti, penyuluhan hukum, (upaya preventif), melakukan patroli (upaya preemtif) dan memproses secara khusus curanmor guna kepentingan semua pihak.


(2)

PERANAN INTEROGASI OLEH PENYIDIK TERHADAP TERSANGKA DALAM KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN

(Studi pada Polsekta Medan Baru)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Guna Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

Rizalfian M.P.Sihaloho NIM: 050200337

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2010


(3)

ABSTRAK

“Peranan Interogasi oleh Penyidik Terhadap Tersangka Dalam Kasus Tindak Pidana Pencurian”

(Studi pada Polsekta Medan Baru) Oleh

Rizalfian M.P.Sihaloho

Pembangunan mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat, untuk itu pembangunan memerlukan sarana pendukung seperti transportasi, komunikasi dan informasi, tetapi setiap pembangunan memiliki dampak positif dan negatif, adapun dampak negatif dari pembangunan antara lain pencurian, pembunuhan, korupsi dan kemacetan lalu lintas. Pencurian dalam bentuknya yang pokok (bentuk pencurian biasa) diatur dalam pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Buku II Bab XXII, dalam pasal tersebut memuat batasan dan pengertian pencurian. Pasal 362 KUHP menyatakan : Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh ribu rupiah.

Permasalahan dalam penulisan ini adalah bagaimanakah peranan interogasi oleh penyidik terhadap tersangka dalam menindaklanjuti pencurian kendaraan bermotor dan faktor-faktor yang menghambat dalam penanggulangan pencurian kendaraan bermotor. Pendekatan dalam penulisan ini adalah pendekatan secara normatif dan empiris. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer sebagai penunjang pengumpulan data dilakukan dengan studi lapangan, studi pustaka dan wawancara.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Peran Intelijen Keamanan, merupakan unsur pelaksana pada satuan Intelijen Keamanan khususnya dalam upaya pencegahan, penangulangan dan pengungkapan jaringan pelaku kejahatan pencurian kendaraan bermotor. Unit Ranmor dipimpin oleh Kepala Unit yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban kepada Kepala Satuan Intelijen Keamanan. Melaksanakan giat Intelijen berupa penyidikan, pengamanan dan penggalangan untuk membantu pengungkapan kasus yang dilakukan oleh satuan reskrim terhadap tindak pidana pencurian kendaraan bermotor. Membentuk jaringan informasi bidang keamanan khususnya dalam kasus pencurian kendaraan bermotor dan memberikan masukan kepada pimpinan melalui Kasat Intelijen Keamanan tentang situasi, lokasi dan jam rawan serta jaringan pelaku kasus pencurian kendaraan bermotor. Faktor-faktor penghambat dalam penanggulangan pencurian kendaraan


(4)

Penulis menyarankan remaja memerlukan perhatian dan pengawasan terhadap lingkungan pergaulannya dari orang tua, selain itu juga perlu adanya pendidikan mental dan penanaman keagamaan. Kepada pihak Kepolisian agar lebih meningkatkan kualitas dan tingkat profesionalisme anggotanya dalam mengungkap dan memproses kasus Curanmor yang terjadi, mengingat modus-modus operandi yang dilakukan pelaku sangat beraneka ragam dan mengalami perkembangan. Dengan melakukan upaya-upaya seperti, penyuluhan hukum, (upaya preventif), melakukan patroli (upaya preemtif) dan memproses secara khusus curanmor guna kepentingan semua pihak.


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI ...ii

ABSTRAKSI ...iii

BAB I : PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang... 2

B. Perumusan Masalah...6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...6

D. Keaslian Penulisan...7

E. Tinjauan Kepustakaan...7

F. Metode Penelitian ...11

G. Sistematika Penulisan...13

BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA...16

A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pencurian dalam KUHP...16

a. Pencurian biasa (pasal 362 KUHP)...16

b. Pencurian bekualipikasi (pasal 363 KUHP)...24

c. Pencurian dengan kekerasan (pasal 365 KUHP)...24

d. Pencurian enteng (pasal 364 KUHP)...42

e. Pencuian dalam lingkungan keluarga (pasal 367 KUHP)...44


(6)

BAB III : PERANAN PENYIDIK DALAM INTEROGASI TERHADAP

TERSANGKA DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN...52

A. Pengertian Interogasi...52

B. Pengertian Penyidik Kepolisian...55

C. Peran Penyidik Kepolisian dalam Interogasi terhadap Tersangka...62

D. Penerapan Interogasi yang dilakukan Penyidik Kepolisian dalam Tindak Pidana Pencurian ...70

BAB IV : KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI DALAM INTEROGASI OLEH PENYIDIK...94

A. BENTUK-BENTUK KENDALA YANG DIHADAPI PENYIDIK KEPOLISIAN DALAM INTEROGASI TERHADAP TERSANGKA PENCURIAN...94

a. Adanya pembackingan pencurian oleh oknum kepolisian...95

b. Kurang Kepercayaan dari Masyarakat ...96

c. Kesadaran Hukum dari Masyarakat yang Kurang...97

B. UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM MENGATASI KENDALA- KENDALA DALAM MELAKUKAN INTEROGASI...98

BAB V : PENUTUP...110

A. KESIMPULAN...110

B. SARAN ...111