Pembuatan Hidrogel Berbasis Selulosa Dari Tongkol Jagung (Zea Mays L) Dengan Metode Ikat Silang

(1)

PEMBUATAN HIDROGEL BERBASIS SELULOSA DARI

TONGKOL JAGUNG (

Zea Mays L

) DENGAN METODE

IKAT SILANG

SKRIPSI

MARLINA PURBA

130822002

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

PEMBUATAN HIDROGEL BERBASIS SELULOSA DARI

TONGKOL JAGUNG (

Zea Mays L

) DENGAN METODE

IKAT SILANG

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

MARLINA PURBA

130822002

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

PERSETUJUAN

Judul :PEMBUATAN HIDROGEL BERBASIS SELULOSA DARI TONGKOL JAGUNG (Zea Mays L) DENGAN METODE IKAT SILANG

Kategori : Skripsi

Nama : Marlina Purba

Nomor Induk Mahasiswa : 130822002

Program Studi : Sarjana (S1) Kimia Departemen : Kimia

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Juli 2015

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Dr. Darwin Yunus Nasution, MS Saharman Gea, Ph.D NIP. 195508101981031001 NIP. 196811101999031001

Diketahui / Disetujui oleh: Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

Dr. Rumondang Bulan, MS NIP. 195408301985032001


(4)

PERNYATAAN

PEMBUATAN HIDROGEL BERBASIS SELULOSA DARI TONGKOL JAGUNG (Zea Mays L) DENGAN METODE IKAT SILANG

SKRIPSI

Saya mengakui skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2015

MARLINA PURBA 130822002


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Pembuatan Hidrogel Berbasis Selulosa dari Tongkol Jagung (Zea Mays L) dengan Metode Ikat Silang”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains di Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Saharman Gea, Ph.D selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Dr. Darwin Yunus Nasution, MS selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, masukan, dan saran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

2. Ibu Dr. Rumondang Bulan, MS dan Bapak Albert Pasaribu, M.Sc selaku ketua dan sekretaris Departemen Kimia FMIPA USU.

3. Seluruh Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmunya selama masa perkuliahan penulis di FMIPA USU.

4. Teristimewa untuk kedua orangtua tercinta, ayahanda Ir. Timbul Purba, M.Pd dan Ibunda Nyak Wati Arman yang telah memberikan segenap kasih sayang, perhatian, dukungan baik moril maupun materil dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

5. Abang dan adik penulis yang selalu memberikan semangat selama penelitian berlangsung.

6. Teman-teman stambuk 2013 kimia ekstensi yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.


(6)

PEMBUATAN HIDROGEL BERBASIS SELULOSA DARI TONGKOL JAGUNG (Zea mays L) DENGAN METODE IKAT SILANG

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang pembuatan hidrogel berbasis selulosa dari tongkol jagung (Zea mays L) dengan metode ikat silang. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu proses isolasi α-selulosa dari tongkol jagung dan proses

pembuatan hidrogel dari α-selulosa. Tongkol jagung didelignifikasi dengan menggunakan HNO3 3,5% dan NaNO2, diendapkan dengan NaOH 17,5% serta diputihkan dengan H2O2 10% dan akan menghasilkan α-selulosa. Hidrogel selulosa diperoleh dengan melarutkan α-selulosa dengan NaOH 8,5% dan kemudian dilakukan penambahan glutaraldehid sebagai agen pengikat silang. Hasil analisa gugus fungsi α-selulosa dan hidrogel selulosa menggunakan Fourier Transform Infra-Red menunjukkan adanya gugus O-H pada 3800-2700 cm-1, gugus C-H pada 3000-2850 cm-1, dan gugus C-O pada 1300-800 cm-1. Analisa morfologi dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) menunjukkan hasil yang rata dan homogen pada penambahan glutaraldehid 1 ml. Hasil uji swelling dan derajat ikat silang yang optimum terdapat pada penambahan glutaraldehid 1 ml yaitu 27% dan 63%.


(7)

THE PREPARATION OF HYDROGEL BASED CELLULOSE FROM CORNCOBS (Zoa mays L.) USING CROSSLINK METHOD

ABSTRACT

Research on the preparation of hydrogel based cellulose from corncobs (Zea mays L) using crosslink method have been done. It was conducted in two stages: the

process of isolating α-cellulose from corncobs and the process of preparation

hydrogel from α-cellulose. The cornobs were in delignification by using 3.5% of HNO3 and NaNO2, precipitated with 17.5% of NaOH, and whitened with 10% of H2O2 which would produce α-cellulose. Cellulose hydrogel was obtained by

dissolving α-cellulose with 8.5% of NaOH and added with glutaraldehid as the

crosslinker agent. The result of the analysis on the group of α-cellulose and cellulose hydrogel functions using Fourier Transform Infra-Red, showed that there were O-H group in 3800-2700 cm-1, C-H group in 3000-2850 cm-1, and C-O group in 1300-800 cm-1. Morphological analysis using Scanning Electron Microscopy (SEM), showed the average and homogenous result in the addition of 1 ml of glutaraldehid. The result of swelling test and the optimum degree of crosslinking in the addition of 1 ml of glutaraldehid was 27% and 63%.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

Daftar Lampiran xi

Daftar Singkatan xii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang 1

1.2Perumusan Masalah 3

1.3Pembatasan Masalah 3

1.4Tujuan Penelitian 4

1.5Manfaat Penelitian 4

1.6Lokasi Penelitian 4

1.7Metodologi Penelitian 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jagung 6

2.1.1 Taksonomi Jagung 7

2.1.2 Tongkol Jagung 7

2.2 Selulosa 8

2.2.1 Sumber-Sumber Selulosa 9

2.2.2 Struktur Molekul selulosa 10

2.2.3 Pembagian Selulosa 11

2.2.4 Sifat Kimia Selulosa 13

2.2.5 Kegunaan Selulosa 13

2.3 Hidrogel 14

2.3.1 Sifat-Sifat Hidrogel 15

2.3.2 Klasifikasi Hidrogel 16

2.3.3 Aplikasi Hidrogel 16

2.3.4 Metode Pembuatan Hidrogel 16

2.3.5 Ikat Silang 17

2.3.6 Agen Pengikat Silang 18

2.4 Uji Karakteristik 19

2.4.1 Fourier Transform Infrared 19 2.4.2 Scanning Electron Microscopy 20

2.4.3 Rasio Swelling 22


(9)

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.2 Alat Penelitian 23

3.2 Bahan Penelitian 24

3.3 Prosedur Penelitian 25

3.3.1 Pembuatan Larutan 25

3.3.1.1 Pembuatan Larutan HNO3 3,5% 25 3.3.1.2 Pembuatan Larutan NaOH 2% 25

3.3.1.3 Pembuatan Larutan Na2SO3 2% 25 3.3.1.4 Pembuatan Larutan NaOCl 17,5% 25

3.3.1.5 Pembuatan Larutan NaOH 17,5% 25 3.3.1.6 Pembuatan Larutan H2O2 10% 25 3.3.1.7 Pembuatan Larutan Glutaraldehid 0,1M 26 3.3.1.8 Pembuatan Larutan ZnCl2 72% 26 3.3.2 Preparasi Serbuk Tongkol Jagung 26

3.3.3 Isolasi α-Selulosa dari Tongkol Jagung 26

3.3.4 Pembuatan larutan α-Selulosa 26

3.3.5 Pembuatan Hidrogel dari Larutan α-Selulosa 27 3.3.6 Analisa Gugus Fungsi dengan FT-IR 27

3.3.7 Analisa Morfologi dengan SEM 27

3.3.8 Penentuan Rasio Swelling 28

3.3.9 Penentuan Derajat Ikat Silang 28

3.4 Bagan Penelitian 28

3.4.1 Bagan Preparasi Serbuk Tongkol Jagung 29

3.4.2 Bagan Isolasi α-Selulosa dari Tongkol Jagung 29

3.4.3 Bagan Pembuatan Hidrogel 31

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian 32

4.1.1 Hasil Isolasi α-Selulosa dari Tongkol Jagung 32 4.1.2 Hasil Hidrogel Selulosa dari Larutan α-Selulosa 33

4.2 Pembahasan 33

4.2.1 Isolasi α-Selulosa dari Tongkol Jagung 33 4.2.2 Pembuatan Hidrogel Selulosa dari Larutan α-Selulosa 34 4.2.3 Analisa Gugus Fungsi dengan FTIR 34

4.2.4 Analisa Morfologi Hidrogel 37

4.2.5 Penentuan Rasio Swelling 38

4.2.6 Penentuan Derajat Ikat Silang (degree of crosslinking) 39 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 41

5.2 Saran 41

Daftar Pustaka 42


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman Tabel

2.1 Komposisi Kimia Tongkol Jagung 8 2.2 Komposisi Kimia dari Beberapa Tipe Selulosa Penyusun Material 10 4.1 Bilangan Gelombang dari Berbagai Gugus Fungsi pada α-selulosa 35 4.2 Bilangan Gelombang dari Berbagai Gugus Fungsi pada Hidrogel 36 Selulosa

4.3 Data Rasio Swelling Hidrogel Selulosa 39 4.4 Data Derajat Ikat Silang (degree of crosslinking) Hidrogel Selulosa 39


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman Gambar

2.1 Tanaman Jagung 6

2.2 Struktur Selulosa 10

2.3 Struktur α- Selulosa 12

2.4 Struktur β- Selulosa 12

2.5 Struktur Glutaraldehid 19

4.1 α- Selulosa yang Diisolasi dari Tongkol Jagung 32

4.2 Hidrogel Selulosa dari α-selulosa 33

4.3 Spektrum FTIR α-selulosa 35

4.4 Spektrum FTIR Hidrogel Selulosa 36 4.5 Hasil Analisis SEM Hidrogel Selulosa Tanpa Penambahan 37 Glutaraldehid

4.6 Hasil Analisis SEM Hidrogel Selulosa dengan Penambahan 38 Glutaraldehid 1 ml


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman Lampiran

1 Proses Pembuatan α-Selulosa Hingga Hidrogel 47 2 Spektrum FTIR α-Selulosa Tongkol Jagung 49 3 Spektrum FTIR Hidrogel Selulosa 50 4 Spektra FTIR Pembanding dari α-Selulosa Tandan Kosong 51

Kelapa Sawit

5 Perhitungan Rasio Swelling Hidrogel Selulosa 52 6 Perhitungan Derajat Ikat Silang (Degree of Crosslinking) 53


(13)

DAFTAR SINGKATAN

DP = Derajat Polimerisasi UV = Ultra Violet

FTIR = Fourier Transform Infrared SEM = Scanning Electron Microscopy


(14)

PEMBUATAN HIDROGEL BERBASIS SELULOSA DARI TONGKOL JAGUNG (Zea mays L) DENGAN METODE IKAT SILANG

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang pembuatan hidrogel berbasis selulosa dari tongkol jagung (Zea mays L) dengan metode ikat silang. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu proses isolasi α-selulosa dari tongkol jagung dan proses

pembuatan hidrogel dari α-selulosa. Tongkol jagung didelignifikasi dengan menggunakan HNO3 3,5% dan NaNO2, diendapkan dengan NaOH 17,5% serta diputihkan dengan H2O2 10% dan akan menghasilkan α-selulosa. Hidrogel selulosa diperoleh dengan melarutkan α-selulosa dengan NaOH 8,5% dan kemudian dilakukan penambahan glutaraldehid sebagai agen pengikat silang. Hasil analisa gugus fungsi α-selulosa dan hidrogel selulosa menggunakan Fourier Transform Infra-Red menunjukkan adanya gugus O-H pada 3800-2700 cm-1, gugus C-H pada 3000-2850 cm-1, dan gugus C-O pada 1300-800 cm-1. Analisa morfologi dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) menunjukkan hasil yang rata dan homogen pada penambahan glutaraldehid 1 ml. Hasil uji swelling dan derajat ikat silang yang optimum terdapat pada penambahan glutaraldehid 1 ml yaitu 27% dan 63%.


(15)

THE PREPARATION OF HYDROGEL BASED CELLULOSE FROM CORNCOBS (Zoa mays L.) USING CROSSLINK METHOD

ABSTRACT

Research on the preparation of hydrogel based cellulose from corncobs (Zea mays L) using crosslink method have been done. It was conducted in two stages: the

process of isolating α-cellulose from corncobs and the process of preparation

hydrogel from α-cellulose. The cornobs were in delignification by using 3.5% of HNO3 and NaNO2, precipitated with 17.5% of NaOH, and whitened with 10% of H2O2 which would produce α-cellulose. Cellulose hydrogel was obtained by

dissolving α-cellulose with 8.5% of NaOH and added with glutaraldehid as the

crosslinker agent. The result of the analysis on the group of α-cellulose and cellulose hydrogel functions using Fourier Transform Infra-Red, showed that there were O-H group in 3800-2700 cm-1, C-H group in 3000-2850 cm-1, and C-O group in 1300-800 cm-1. Morphological analysis using Scanning Electron Microscopy (SEM), showed the average and homogenous result in the addition of 1 ml of glutaraldehid. The result of swelling test and the optimum degree of crosslinking in the addition of 1 ml of glutaraldehid was 27% and 63%.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Selulosa merupakan bahan atau materi yang sangat berlimpah di bumi ini. Selulosa yang dihasilkan digunakan untuk membuat perabot kayu, tekstil, kertas, kapas serap, dan juga dalam berbagai bidang seperti kedokteran, obat-obatan, kosmetik dan lain-lain (Felasih, 2010). Diantara polimer alam, selulosa merupakan unit ulang (1→4) −β−glukopironase yang membentuk struktur berserat dengan kristalinitas yang tinggi yaitu bahan utama untuk polimer hidrogel biodegradable karena merupakan biopolimer yang paling berlimpah di bumi (Senna, 2014).

Selulosa banyak ditemukan di alam yang merupakan konstituen utama dari dinding sel tumbuh-tumbuhan dan rata-rata menduduki sekitar 50% dalam kayu (Stevens, 2007). Penggunaan selulosa terbatas karena selulosa tidak dapat dibentuk dengan mudah ke dalam bentuk yang diinginkan dan tidak bisa dilarutkan dalam bahan pelarut yang lebih murah dan lebih umum. Selulosa mengandung struktur spesifik yang cenderung menyusun rantai polimer menjadi padat, struktur yang sangat kristal yang tidak larut air dan tahan terhadap depolimerisasi (Gan, 2014). Sebagai bahan biologis baru, hidrogel berbasis selulosa telah berkembang pesat dalam dekade terakhir (Zhang, 2014).

Sejak pembuatan hidrogel sintetik pertama kali oleh Wichterle dan Lim pada tahun 1954, perkembangan teknologi hidrogel semakin berkembang (Lim, 1960). Hidrofilik gel biasanya disebut sebagai hidrogel merupakan jaringan rantai polimer yang sebagai gel koloid dimana air adalah media dispersinya, atau definisi lain menyebutkan hidrogel merupakan bahan polimer yang menunjukkan kemampuan mengembang (swelling) dan mempertahankan sebagian besar air dalam strukturnya, tapi tidak larut dalam air (Ahmed, 2013). Karena sifatnya yang dapat menyerap air, hidrogel menjadi material yang menarik dan memiliki aplikasi yang beragam seperti penggunaan kontak lensa, rekayasa jaringan, sistem pengantar obat, dan organ buatan (Chen, 2009).


(17)

Pada sistem pengantar obat, hal yang diharapkan dalam pengeluaran obat yaitu kesesuaian kebutuhan dari pasien pada waktu dan tempat yang tepat. Hal ini yang membuat ketertarikan pada pengembangan sistem pengantar obat terkontrol (Cao, 2004). Hidrogel telah banyak digunakan sebagai perangkat penahan air, terutama pada bidang produk kebersihan pribadi, farmasi pertanian, biomedis, dan katalisis (Astrini, 2012).

Jagung adalah salah satu jenis tanaman pangan yang tersebar secara merata diseluruh dunia. Di Indonesia, jagung merupakan salah satu komoditas utama kedua setelah beras (Widaningrum, 2010). Tongkol jagung merupakan limbah tanaman yang setelah diambil bijinya. Tongkol jagung tersebut umumnya dibuang begitu saja, sehingga hanya akan meningkatkan jumlah sampah. Pada tongkol jagung diperkirakan mengandung pentosan 30-32%. Selama ini limbah tongkol jagunghanya dimanfaatkan untuk pakan ternak danbahan bakar. Padahal limbah tersebut dapat ditingkatkan kualitasnya menjadi suatu bahan baku kimia yang penting (Hidajati, 2006).

Glutaraldehid merupakan bahan yang dapat mengikat silang pati, dekstran, kitosan, polivinil alkohol dan selulosa. Glutaraldehid hadir sebagai hidrat dalam larutan air dan memiliki kemampuan untuk meningkatkan ikat silang pada selulosa. Misalnya, asetal dari glutaraldehid dan selulosa memiliki resistensi yang tinggi terhadap hidrolisis karena strukturnya yang siklik. Glutaraldehid membentuk monohidrat siklik yang beranggotakan enam cincin (2,6-dihidroksitetrahydropyran) yang mudah membentuk hidrat (Rozas, 2011).

Kaco (2014) telah meneliti tentang hidrogel selulosa dari kenaf yang dipreparasi dengan menggunakan metode pra-pendinginan. Zhang, 2014 telah meneliti tentang pembuatan hidrogel selulosa dipreparasi dari serat selulosa bambu berukuran mikron. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa untuk mengubah keadaan polimer sehingga tak dapat larut dalam air, rantai-rantai harus tersambung silang. Akan tetapi, kemampuan polimer untuk mengembang (swelling) turun selagi derajat sambung-silang meningkat.Untuk itu, yang diharapkan bahwa setiap rantai sepanjang mungkin dan tersambung-silang hanya dibeberapa tempat (Salim, 2009).


(18)

Dari uraian diatas, penulis bermaksud untuk membuat hidrogel berbasis selulosa dari tongkol jagung dengan menggunakan metode ikat silang yang akan diuji gugus fungsi, morfologi, rasio swelling, dan derajat ikat silang (degree of crosslinking).

1.2Perumusan Masalah

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana tahapan dalam mengisolasi α-selulosa dari tongkol jagung. 2. Bagaimana cara memproduksi hidrogel selulosa dari larutan α-selulosa. 3. Bagaimana karakterisasi hidrogel dari tongkol jagung, meliputi analisa

gugus fungsi dengan menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR), sifat morfologi dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM), analisa rasio swelling, dan derajat ikat silang (degree of crosslinking) .

1.3 Pembatasan Masalah

Pada penelitian ini, permasalahan dibatasi pada:

1. Tongkol Jagung yang digunakan dalam penelitian ini adalah tongkol jagung mentah yang berasal dari kebun jagung di daerah Pasar 1 Padang Bulan Medan, Kecamatan Medan Baru.

2. Hidrogel diperoleh dari hasil campuran larutan α-selulosa dengan menggunakan agen pengikat silang glutaraldehid.

3. Karakterisasi hidrogel yang dihasilkan menggunakan fourier transform infrared (FTIR), scanning electron microscopy (SEM), rasio swelling, dan derajat ikat silang (degree of crosslinking).


(19)

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui tahapan dalam mengisolasi α-selulosa dari tongkol jagung.

2. Untuk mengetahui bagaimana hasil hidrogel yang diperoleh.

3. Untuk mengetahui bagaimana hasil karakterisasi hidrogel dari tongkol jagung.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

Untuk dapat mengolah tongkol jagung menjadi produk yang lebih bermanfaat dan bernilai jual tinggi dan dapat memberikan informasi mengenai cara pembuatan hidrogel yang merupakan material yang dapat digunakan untuk penyerapan (absorb) air.

1.6 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Dasar FMIPA USU Medan, Laboratorium Kimia Organik FMIPA UGM, Laboratorium Terpadu FMIPA USU Medan, dan Laboratorium Penelitian Farmasi USU Medan.

1.7 Metodologi Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental labotarorium, dimana pada penelitian ini dilakukan beberapa tahapan, yaitu:

a. Tahap persiapan serbuk tongkol jagung.

b. Tahap isolasi α-selulosa dari serbuk tongkol jagung kemudian dikarakterisasi dengan FTIR.

c. Tahap pembuatan hidrogel dari larutan α-selulosa dengan agen pengikat silang glutaraldehid.


(20)

d. Tahap karakterisasi hidrogel, yaitu: analisa gugus fungsi dengan FTIR, analisa morfologi dengan SEM,analisa rasio swelling, dan derajat ikat silang (degree of crosslinking).

Variabel yang digunakan adalah :

a. Variabel tetap Suhu (oC) Waktu (menit)

b. Variabel terikat

Analisa gugus fungsi dengan FTIR Analisa morfologi dengan SEM Analisa rasio swelling

Analisa derajat ikat silang (degree of crosslinking)

c. Variabel bebas


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jagung

Sumber genetik (plasma nutfah) tanaman jagung berasal dari benua Amerika. Bentuk liar tanaman jagung yang disebut pod maize telah tumbuh 4.500 tahun yang lalu di pegunungan Andes, Amerika Selatan. Nikolai Ivanovich Vavilof, seorang ahli botani Soviet, melakukan ekspedisi tahun 1923-1933 ke berbagai daerah di dunia memastikan daerah sentrum asal tanaman jagung adalah Meksiko Selatan dan Amerika Tengah. Penyebaran tanaman jagung ke berbagai negara di dunia antara lain dilakukan oleh orang Portugis dan Spanyol.

Linnaeus (1737), seorang ahli botani, memberikan nama Zea mays untuk tanaman jagung. Zea berasal dari bahasa Yunani yang digunakan untuk mengklasifikasikan jenis padi-padian. Adapun mays berasal dari bahasa Indian, yaitu Mahiz atau Marisi yang kemudian digunakan untuk sebutan spesies. Sampai sekarang nama latin jagung disebut Zea mays Linn (Rukmana, 1997).


(22)

Tanaman jagung merupakan tanaman berumpun, tegak, tinggi ± 1,5 m. Batang bulat massif, tidak bercabang, pangkal batang berakar, dan berwarna kuning atau jingga. Daun tunggal, berpelepah, bulat panjang, ujung runcing, tepi rata, panjang 35-100 cm, lebar 3-12 cm, dan berwarna hijau (Shofiyanto, 2008). Di Indonesia, tanaman jagung sudah dikenal sekitar 400 tahun yang lalu, didatangkan oleh orang Portugis dan Spanyol. Daerah sentrum produksi jagung di Indonesia pada mulanya terkonsentrasi di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura.Selanjutnya, tanaman jagung lambat laun meluas ditanam di luar Pulau Jawa. Indonesia merupakan negara penghasil jagung terbesar di kawasan Asia Tenggara, maka tidak berlebihan bila Indonesia mengancang swasembada jagung.

2.1.1 Taksonomi Jagung

Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman jagung diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Poales

Famili : Poaceae (Graminae) Genus : Zea

Spesies : Zea mays L. (Rukmana, 1997)

2.1.2 Tongkol Jagung

Tongkol jagung merupakan limbah tanaman yang setelah diambil bijinya tongkol jagung tersebut umumnya dibuang begitu saja, sehingga hanya akan meningkatkan jumlah sampah (Hidajati, 2006). Tongkol jagung muda dan biji jagung merupakan sumber karbohidrat potensial untuk dijadikan bahan pangan, sayuran, dan bahan baku sebagai industri makanan. Kandungan kimia jagung terdiri atas air 13,5%, protein 10%, lemak 4%, karbohidrat 61%, gula 1,4%,


(23)

pentosan 6%, serat kasar 2,3%, abu 1,45% dan zat-zat lain 0,4% (Rukmana, 1997).

Tongkol jagung adalah tempat pembentukan lembaga dan gudang penyimpanan makanan untuk pertumbuhan biji. Jagung mengandung kurang lebih 30 % tongkol jagung sedangkan sisanya adalah kulit dan biji. Tongkol jagung mengandung selulosa (40-60%), hemiselulosa (20-30%) dan lignin (15-30%). Komposisi kimia tersebut membuat tongkol jagung dapat digunakan sebagaisumber energi, bahan pakan ternak dan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan mikroorganisme.

Karakteristik dan komposisi tongkol jagung dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Komposisi KimiaTongkol Jagung (Shofiyanto, 2008)

No Kandungan %

1 Hemiselulosa 36

2 Selulosa 41

3 Xilan 30

4 Lignin 6

5 Pektin 3

6 Pati 0,01

7 Air 9,4

2.2 Selulosa

Berdasarkan struktur kimia, selulosa termasuk polimer-polimer alam paling sederhana dalam artian bahwa selulosa terdiri dari unit ulang tunggal D-glukosa yang terikat melalui karbon 1 dan 4 oleh ikatan-ikatan β. Selulosa banyak ditemukan di alam yang merupakan konstituen utama dari dinding sel tumbuh-tumbuhan dan rata-rata menduduki sekitar 50% dalam kayu (Stevens, 2007). Selulosa (C6H10O5)n adalah polisakarida yang merupakan pembentuk sel-sel kayuhampir 50%. Kertas saring dan kapas hampir merupakan selulosa yang murni. Berat molekul selulosa kira-kira 300.000 (Sastrohamidjojo, 2005)


(24)

Selulosa berfungsi sebagai bahan struktur dalam jaringan tumbuhan dalam bentuk campuran polimer homolog dan biasanya disertai polisakarida lain seperti lignin dalam jumlah yang beragam. Lignin dapat dihilangkan dengan cara delignifikasi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi delignifikasi yaitu:

a. Jenis bahan delignifikasi

Bahan-bahan yang dapat digunakan dalam proses delignifikasi yaitu asam phosfat, asam klorida (HCl), asam sulfat, dan yang basa seperti NaOH, natrium sulfit, dan natrium sulfat.

b. Waktu delignifikasi

Pada proses delignifikasi waktu berpengaruh pada hasil delignifikasi, biasanya digunakan waktu 1-3 jam.

c. Temperatur delignifikasi

Temperatur operasi mempengaruhi kualitas dari produk delignifikasi yang dihasilkan (Widodo, 2012).

Campuran senyawa lain yang terdapat bersamaan dengan selulosa yaitu hemiselulosa. Hemiselulosa adalah polisakarida kompleks nonselulosa dan nonpati yang terdapat dalam banyak jaringan tumbuhan. Hemiselulosa mengacu kepada polisakarida nonpati yang tidak larut dalam air. Hemiselulosa tidak berperan dalam biosintesis selulosa tetapi dibuat tersendiri dalam tumbuhan sebagai komponen struktur dinding sel. Hemiselulosa dikelompokkan berdasarkan kandungan gulanya (Deman, 1997).

2.2.1 Sumber-Sumber Selulosa

Selulosa terdapat pada semua tanaman dari pohon bertingkat tinggi hingga organism primitive seperti rumput laut, flagellate dan bacteria. Selulosa bahkan dapat diperoleh dalam dunia binatang: tunicin, zat kutikula tunicate adalah identik dengan selulosa nabati. Kadar selulosa yang tinggi terdapat dalam rambut biji (kapas,kapok) dan serabut kulit (rami, flax, henep; lumut, ekor kuda, dan bakteria mengandung sedikit selulosa (Fengel, 1995).

Selulosa yang terdapat dalam tumbuhan digunakan sebagai bahan pembentuk dinding sel. Serat kapas boleh dikatakan seluruhnya adalah selulosa. Dalam tubuh kita selulosa tidak dapat dicernakan karena kita tidak mempunyai


(25)

enzim yang dapat menguraikan selulosa. Dengan asam encer tidak dapat terhidrolisis, tetapi oleh asam dengan konsentrasi dapat terhidrolisis menjadi selobiosa dan D-glukosa. Selobiosa adalah suatu disakarida yang terdiri atas dua molekul glukosa yang berikatan glikosiik antara atom karbon 1 dengan atom karbon 4 (Poedjiadi, 2006).

Tabel 2.2 Komposisi Kimia dari Beberapa Tipe Selulosa Penyusun Material

Sumber Komposisi (%)

Selulosa Hemiselulosa Lignin Ekstrak Kayu Keras 43-47 25-35 16-24 2-8 Kayu Lunak 40-44 25-29 25-31 1-5

Sisal 73 14 11 2

Tongkol Jagung 45 35 15 5 Batang Jagung 35 25 35 5 Kapas 95 2 1 0,4 Rami 76 17 1 6 Kenaf 36 21 18 2 (Zugenmaier, 2008)

2.2.2 Struktur Molekul Selulosa

Selulosa tersambung melalui β-1,4 yang dibangun oleh rantai glukosa.Untuk memahami peristilahan ini pertama-tama kita harus melihat struktur glukosa itu sendiri. Glukosa mempunyai rumus molekul C6H12O6. Dengan kata lain kita dapat menggambarkan struktur glukosa sebagai rantai lurus ataupun struktur cincin. Struktur cincin dapat terbentuk dari hasil pembentukan hemiasetal internal (Cowd, 1991).


(26)

Ditinjau dari strukturnya, dapat saja diharapkan selulosa mempunyai kelarutan yang besar dalam air, karena banyaknya kandungan gugus hidroksi yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air (antaraksi yang tinggi antara pelarut terlarut). Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, dan selulosa bukan hanya tak larut dalam air tetapi juga dalam pelarut lain. Penyebabnya ialah kekakuan rantai dan tingginya gaya antar-rantai akibat ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pada rantai yang berdekatan. Faktor ini dipandang menjadi penyebab kekristalan yang tinggi dari serat selulosa. Jika ikatan hidrogen berkurang, gaya antaraksi pun berkurang, dan oleh karenanya gugus hidoksil selulosa harus diganti sebagian atau seluruhnya oleh pengesteran. Hal ini dapat dilakukan, dan ester yang dihasilkan larut dalam sejumlah pelarut (Cowd, 1991).

Kebanyakan selulosa berasosiasi dengan lignin sehingga sering disebut sebagai lignoselulosa. Selulosa, hemiselulosa, dan lignin dihasilkan dari proses fotosintesis. Pada saat yang sama, komponen-komponen utama penyusun tanaman ini diuraikan oleh aktivitas mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme mampu menghidrolisis selulosa untuk digunakan sebagai sumber energi, seperti bakteri dan kapang (Cherlina, 2014).

2.2.3 Pembagian Selulosa

Berdasarkan derajat polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida (NaOH) 17,5% selulosa dapat dibagi atas tiga jenis, yaitu:

a. α-selulosa (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (Derajat polimerisasi) 600-15.000. α-selulosa dipakai sebagai penduga dan atau tingkat kemurnian selulosa. Selulosa dengan derajat kemurnian α > 92% memenuhi syarat untuk bahan baku utama pembuatan propelan. Sedangkan selulosa kualitas dibawahnya digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas dan industri kain (serat rayon). Semakin tinggi kadar α-selulosa, maka semakin baik mutu bahannya.


(27)

Gambar 2.3 Struktur α-Selulosa

b. Selulosa β (Betha Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5 % atau basa kuat dengan DP (Derajat Polimerisasi) 15-90, dapat mengendap bila dinetralkan.

Gambar 2.4 Strukturβ-Selulosa

c. Selulosa γ (Gamma Cellulose)adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP (Derajat Polimerisasi) kurang dari 15, kandungan utamanya adalah hemiselulosa (Sumada, 2011). Bervariasinya struktur kimia selulosa (a, ß, γ) mempunyai pengaruh yang besar pada reaktivitasnya. Gugus-gugus hidroksil yang terdapat dalam daerah daerah amorf sangat mudah dicapai dan mudah bereaksi, sedangkan gugus-gugus hidroksil yang terdapat dalam daerah-daerah kristalin dengan berkas yang rapat dan ikatan antar rantai yang kuat mungkin tidak dapat dicapai sama sekali. Pembengkakan awal selulosa diperlukan baik dalam eterifikasi (alkali) maupun dalam esterfikasi (asam) (Sjostrom, 1995).


(28)

2.2.4 Sifat Kimia Selulosa

Selulosa mengembang (swelling) dalam air dan teristimewa dalam basa pekat. Polimer yang mengembang dalam basa, dikenal sebagai selulosa alkali atau selulosa soda dipakai untuk mempreparasikan selulosa regenerasi. Proses mereaksikan kapas dengan basa air, dan kemudian menghilangkan basa tersebut dikenal sebagai merserasi. Kapas yang termerserasi memiliki tingkat kekilauan yang lebih tinggi daripada kapas alam yang kurang rapat, dan tingkat kekristalannya agak sedikit rendah.

Meskipun jumlah gugus hidroksil pada selulosa besar, selulosa tidak larut dalam air dan sebagian besar pelarut lainnya yang umum, meskipun akan larut ke beberapa campuran pelarut. Larutan dari logam-logam kompleks seperti tembaga (II)-amonia akan melarutkan selulosa. Jenis-jenis pelarut lain yang dapat melarutkan selulosa adalah LiCl-dimetilasetamida, dimetil sulfoksida-paraformaldehida, amin oksida dan asam fosfat (Stevens, 2007).

Sifat-sifat selulosa dengan pereaksi kimia:

a. Selulosa dengan asam encer tidak dapat terhidrolisis

b. Selulosa dengan asam konsentrasi yang tinggi dapat terhidrolisis menjadi selubiosa dan D-glukosa

c. Dengan asam sulfat dapat menghidrolisis selulosa, digunakan untuk pembuatan kertas. Selulosa direaksikan dengan aluminium sulfat yang dapat bereaksi dengan sejumlah kecil pulp kertas untuk menghasilkan aluminium karboksilat yang membantu mengentalkan serat pulp menjadi permukaan kertas yang keras (Cowd, 1991).

2.2.5 Kegunaan Selulosa

Meskipun selulosa tidak dapat digunakan sebagai bahan makanan oleh tubuh, namun selulosa yang terdapat sebagai serat-serat tumbuhan, sayuran atau buah-buahan, berguna untuk memperlancar pencernaan makanan. Adanya serat-serat dalam saluran pencernaan, gerak peristaltik ditingkatkan dan dengan demikian memperlancar proses pencernaan dan dapat mencegah konstipasi. Tentu saja jumlah serat yang terdapat dalam bahan makanan tidak boleh terlalu banyak


(29)

(Poedjiadi, 2006). Jutaan ton selulosa digunakan setiap tahun untuk membuat perabot kayu, tekstil, dan kertas (Cowd, 1991).

2.3 Hidrogel

Hidrogel merupakan jaringan polimer hidrofilik yang dapat menyerap sejumlah besar air sehingga dapat menyebabkan peningkatan volume secara drastis (Mohadi, 2007). Hidrogel adalah bahan polimer hidrofilik yang mempunyai kemampuan untuk mengembang di air atau cairan biologi tetapi tidak larut dalam air. Ketika mengembang di air, hidrogel tetap mempertahankan bentuk asalnya. Sifat hidrofilik dari hidrogel ini dipengaruhi oleh adanya gugusgugus –OH, -COOH, -CONH2, dan –SO3H. Sedang sifat ketidaklarutannya dalam air dan kemampuannya mempertahankan bentuk dipengaruhi oleh struktur tiga dimensi dari hidrogel. Umumnya hidrogel dibuat dari polimer hidrofilik baik dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan polimer lainnya dengan teknik kimia atau radiasi sehingga membentuk ikatan silang (crosslinking).

Kemampuan dari hidrogel untuk mengembang di air adalah kesetimbangan antara kekuatan disperse pada rantai hidrat dengan kekuatan kohesi yang tidak mencegah penetrasi air ke dalam hidrogel. Selain itu, derajat dan sifat ikatan silang serta kekristalan dari polimer turut menentukan sifat mengembang dari hidrogel (Felasih, 2010). Hidrogel merupakan materi yang sangat menarik karena sifat kelarutannya dan daya angkut air yang unik. Bentuknya yang mirip air disebabkan polimer ini hampir seluruh bagian bentuknya terdiri dari air (Erizal,2010).

Hidrogel memiliki biokompatibilitas yang sangat baik. Ini karena hidrogel memiliki beberapa sifat unik yang membuat sangat biokompatibel. Pertama, hidrogel memiliki tegangan antarmuka yang rendah dengan cairan biologis dan jaringan disekitarnya. Ini menurunkan gaya yang digunakan untuk adsorpsi pelarut dan gaya adhesi sel. Kedua, kandungan airnya sangat tinggi karena permukaan hidrogel sangat hidrofilik dan mampu menstimulasi beberapa sifat jaringan dari alam dengan kadar air yang tinggi. Hal ini membuatnya sangat biokompatibel. Dan ketiga adalah sifatnya yang lunak dapat meminimalkan iritasi mekanik dan gesekan pada jaringan di sekitarnya. Dengan demikian hidrogel


(30)

sangat potensial untuk membawa makromolekul bioaktif dalam keadaan mengembangnya, sehingga hidrogel juga dapat digunakan untuk aplikasi di berbagai bidang kesehatan (Muthoharoh, 2012).

2.3.1 Sifat-Sifat Hidrogel

Sifat fisikokimia dari hidrogel tidak hanya tergantung dari struktur molekul, struktur gel dan banyaknya ikatan silang, tetapi juga dipengaruhi oleh kandungan dan keadaan air didalam hidrogel tersebut. Hidrogel mempunyai sifat yang dapat mengembang dan menyusut pada kondisi pH tertentu. Hidrogel mempunyai karakter fisika-kimia yang khas dan memiliki kelebihan dan peranan masing-masing. Hidrogel yang berikatan secara fisika digunakan untuk penggunaan yang relatif cepat karena ikatannya yang cukup lemah sehingga dalam media asam yang encer pada waktu tertentu sudah mengalami pengembangan dan akhirnya melarut. Lain halnya dengan hidrogel yang berikatan secara kimia, karena ikatannya kuat atau sulit diubah-ubah lagi sehingga dalam kondisi asam masih bisa bertahan cukup lama (Mohadi, 2007). Rantai polimer dengan ikat silang kimia atau fisika pada umumnya sangat penting untuk menjaga struktur ruang hidrogel (Bao, 2014).

Hidrogel dapat menunjukkan karakteristik swelling, didasarkan pada perubahan lingkungan sekitarnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi respon hidrogel terhadap perubahan lingkungan yaitu, pH, temperatur dan radiasi elektomagnetik. Selain faktor-faktor diatas, rasio bahan ikat silang dan struktur kimia juga mempengaruhi karakteristik swelling hidrogel. Faktor lain yang mempengaruhi karakter swelling hidrogel adalah rasio bahan ikat silang. Semakin besar rasio bahan ikat silang, maka struktur hidrogel akan semakin rapat, sehingga molekul air sulit masuk pada hidrogel, akibatnya derajat swelling berkurang dibandingkan dengan hidrogel yang sama dengan rasio bahan ikat silang lebih rendah.

Karakter swelling hidrogel juga dipengaruhi oleh struktur kimia dari polimer yang menyusun hidrogel. Hidrogel yang mengandung gugus hidrofilik, karakter swelling nya lebih baik dibandingkan dengan hidrogel yang mengandung gugus hidrofobik (Yuniarti, 2012).


(31)

2.3.2 Klasifikasi Hidrogel

Klasifikasi hidrogel didasarkan pada sumbernya yaitu alami dan sintetik, berdasarkan sifat dari cross-link yaitu kovalen dan fisika gel, berdasarkan sifat dari jaringan yaitu homopolimer, kopolimer, interpenitrasi, atau jaringan ganda. Berdasarkan struktur fisiknya dibedakan menjadi mikropori, dan makropori. Berdasarkan sifat organisme dibedakan menjadi hidrogel biodegradable dan nondegradable (Kopocek, 2009).

2.3.3 Aplikasi Hidrogel

Aplikasi hidrogel mempunyai cakupan yang relatif luas antara lain dapat digunakan untuk:

a. Penyerapan urin dalam popok bayi

b. Wadah penyimpan air untuk daerah kering/pertanian c. Salju buatan

d. Sumber air untuk tanaman hortikultura e. Drug delivery

f. Detoksifikasi limbah minyak g. Penyerap zat warna

h. Eliminasi air tubuh pada kasus penyakit edemas i. Absorpsi bakteri dan jamur pada pembalut luka; dan j. Pemekatan larutan protein.

(Erizal,2010).

2.3.4 Metode Pembentukan Hidrogel

Hidrogel dapat dibentuk melalui ikat silang secara fisik atau kimia dari homopolimer atau kopolimer sehingga terbentuk struktur tiga dimensi. Ikat silang dapat dibentuk dengan interaksi kovalen atau nonkavalen. Hidrogel yang terikat silang secara kovalen disebut gel kimia sedangkan secara non kovalen disebut gel fisik. Ikat silang dapat dilakukan setelah atau pada waktu yang sama dengan homopolimerisasi ataupun kopolimerisasi. Hidrogel kimia memberikan kekuatan


(32)

mekanik yang kuat, akan tetapi rentan terhadap efek samping. Gel fisik adalah jaringan tiga dimensi dimana ikatan rantai polimernya memiliki interaksi non kovalen. Cara untuk membentuk ikat silang secara fisik yaitu dengan interaksi hidrofobik, interaksi muatan, atau dengan membentuk ikatan hidrogen.Interaksi muatan dapat terjadi antara polimer dan molekul kecil atau antara dua muatan polimer yang berbeda.

Hidrogen dan ikatan non kovalen lainnya lebih lemah daripada ikatan kovalen. Interaksi kovalen yang lebih kuat dari non kovalen memiliki stabilitas mekanik yang lebih kuat. Metode ikat silang kimia meliputi polimerisasi radikal, energi tinggi irradiasi dan penggunaan enzim. Pada ikat silang kimia, dibutuhkan pengikat silang yang mungkin dapat bereaksi dengan zat-zat lainnya. Hidrogel kimia bisa dihasilkan dari ikat silang polimer larut air atau dengan konversi polimer hidrofobik menjadi polimer hidrofilik kemudian diikat silang untuk membentuk polimer jaringan. Pada keadaan terikat silang, hidrogel mencapai kesetimbangan swelling di larutan berair bergantung pada densitas ikat silang. Pada proses pembentukan hidrogel, gel yang terbentuk dapat mengalami cacat. Cacat tersebut mengakibatkan kurangnya elastisitas dari hidrogel (Fadhli, 2012).

2.3.5 Ikat Silang

Ikat silang dapat digambarkan sebagai ikatan antara dua rantai polimer yang bergabung satu sama lain melalui suatu cabang (branch). Ikatan antar polimer ini dapat terjadi dengan bantuan agen pengikat silang yang jumlahnya 2-12% dari jumlah masing-masing komponen polimer yang berikatan. Secara umum ikat silang dibedakan menjadi 2 yaitu, ikat silang kimia (chemical cross-link) dan ikat silang fisika (physical cross-link).Ikat silang kimia dapat terjadi melalui ikatan kovalen maupun ion. Ikat silang pada suatu polimer dapat mempengaruhi derajat swelling. Ketika hadir pelarut, suatu polimer ikat silang akan mengembang pada saat molekul-molekul pelarut menembus jaringannya. Tingkat pengembangan (swelling) ini selain bergantung pada tingkat pengikatsilangan, juga bergantung pada afinitas antara pelarut dan polimer. Ikat silang fisika merupakan ikatan-ikatan silang yang labil secara termal, yakni ikatan-ikatan-ikatan-ikatan silang kimia yang putus


(33)

oleh pemanasan dan mengikat kembali setelah pendinginan.Ikat silang ion termasuk ikat silang fisika (Stevens, 2007).

Ikat silang dapat dibentuk melalui reaksi kimia yang diprakarsai oleh panas, perubahan tekanan, pH, atau radiasi.Ikat silang juga dapat diinduksi ke dalam bahan termoplastik melalui paparan sinar elektron, radiasi gamma, maupun sinar UV. Seringkali, polimer yang terikat silang tidak dapat terurai jika dipanaskan (tidak meleleh) sehingga bentuknya tidak dapat dirubah ke bentuk lain yang disebut dengan polimer termoset. Ikatan silang kimia kovalen pada polimer ini memiliki kestabilan termal dan mekanik yang tinggi, sehingga sangat sulit didegradasi. Sedangkan polimer terikat silang yang dapat di daur ulang dengan mengubah bentuknya ke bentuk lain dengan pemanasan atau dengan melarutkannya ke dalam pelarut yang cocok disebut polimer termoplastik. Dengan demikian, perlu diselidiki derajat ikat silang optimum yang memiliki sifat relatif kuat dan cukup elastis (Muthoharoh, 2012).

2.3.6 Agen Pengikat Silang

Agen pengikat silang(crosslinking agent)dibutuhkan dalam membuat polimer jaringan hidrogel karena struktur jaringan ini yang dapat menentukan daya absorb terhadap medium cair dan kemampuan mengembang (swelling) suatu hidrogel. Perubahan dari derajat ikat silang dimanfaatkan untuk memperoleh sifat mekanik yang diinginkan. Peningkatan derajat ikat silang suatu hidrogel akan menghasilkan gel yang lebih kuat, namun derajat ikat silang yang lebih tinggi akan membuat struktur menjadi lebih rapuh. Oleh karena itu, perlu dicari derajat ikat silang optimum yang memiliki sifat relatif kuat dan cukup elastis (Devine, 2005). Zat pengikat silang pada selulosa mencakup diepoksida, epiklorohidrin (yang berkelakuan sebagai suatu diepoksida), aldehida, asetal (yang dipreparasi dari formaldehida dan poliol) dan tetraoksana (Stevens, 2007). Pada penelitian ini digunakan agen pengikat silang glutaraldehid yang memiliki struktur yang dapat dilihat pada gambar 2.5.


(34)

Gambar 2.5 Struktur Glutaraldehid

2.4 Uji karakteristik

2.4.1 Fourier Transform Infrared

Pada dasarnya, teknik Fourier Transform Infrared (FTIR) adalah sama dengan spektroskopi inframerah biasa, kecuali dilengkapi dengan cara perhitungan Fourier Transform dan pengolahan data untuk mendapatkan resolusi dan kepekaan yang lebih tinggi (Wirjosentono, 1995). Jumlah energi yang diperlukan untuk meregangkan suatu ikatan tergantung pada tegangan ikatan dan massa atom yang terikat. Bilangan gelombang suatu serapan dapat dihitung menggunakan persamaan yang diturunkan dari Hukum Hooke.

(

)

12

m1m2 m2 m1 f c 2

1

v=  + 

π ...(2.1)

Persamaan di atas menghubungkan bilangan gelombang dari vibrasi regangan terhadap konstanta gaya ikatan (f) dan massa atom (dalam gram) yang digabungkan olehikatan (m1 dan m2). Konstanta gaya merupakan ukuran tegangan dari suatu ikatan. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa ikatan yang lebih kuat dan atom yang lebih ringan menghasilkan frekuensi yang lebih tinggi. Semakin kuat suatu ikatan, makin besar energi yang dibutuhkan untuk meregangkan ikatan tersebut. Frekuensi vibrasi berbanding terbalik dengan massa atom sehingga vibrasi atom yang lebih berat terjadi pada frekuensi yang lebih rendah.

Pancaran infra merah pada umumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnetik yang terletak di antara daerah tampak dan daerah gelombang


(35)

mikro. Sebagian besar kegunaannya terbatas di daerah antara 4000 cm-1 dan 666 cm-1 (2,5 – 15,0 µm). Akhir-akhir ini muncul perhatian pada daerah infra merah dekat, 14.290-4000 cm-1 (0,7-2,5 µm) dan daerah infra merah jauh, 700-200 cm-1 (14,3-5,0 µm). Salah satu hasil kemajuan instrumentasi IR adalah pemrosesan data seperti Fourier Transform Infra Red (FTIR). Teknik ini memberikan informasi dalam hal kimia, seperti struktur dan konformasional pada polimer dan polipaduan, perubahan induksi tekanan dan reaksi kimia. Dalam teknik ini padatan diuji dengan cara merefleksikan sinar infra merah yang melalui tempat kristal sehingga terjadi kontak dengan permukaan cuplikan. Degradasi atau induksi oleh oksidasi, panas, maupun cahaya, dapat diikuti dengan cepat melalui inframerah. Sensitivitas FTIR adalah 80-200 kali lebih tinggi dari instrumentasi disperse standar karena resolusinya lebih tinggi.

Teknik pengoperasian FTIR berbeda dengan spektrofotometer infra merah. Pada FTIR digunakan suatu interferometer Michelson sebagai pengganti monokromator yang terletak di depan monokromator. Interferometer ini akan memberikan sinyal ke detector sesuai dengan intensitas frekuensi vibrasi molekul yang berupa interferogram. Informasi yang keluar dari detektor diubah secara digital dalam komputer dan ditransformasikan sebagai domain, tiap-tiap satuan frekuensi dipilih dari interferogram yang lengkap (fourier transform) kemudian sinyal itu diubah menjadi spektrum IR sederhana (Gunawan, 2010).

FTIR telah membawa tingkat keserbagunaan yang lebih besar ke penelitian-penelitian struktur polimer. Karena spektrum-spektrum bias di-scan, disimpan, dan ditransformasikan dalam hitungan detik, teknik ini memudahkan penelitian-penelitian reaksi-reaksi polimer seperti degradasi atau ikat silang. Persyaratan-persyaratan ukuran sampel yang sangat kecil mempermudah kopling instrument FTIR dengan suatu mikroskop untuk analisis bagian-bagian sampel polimer yang sangat terlokalisasi (Stevens, 2007).

2.4.2 Scanning Electron Microscopy

Scanning Electron Microscopy (SEM) adalah suatu alat yang digunakan untuk memberikan informasi tentang topografi permukaan sampel, komposisi dan sifat-sifat lainnya seperti daya hantar listrik (Gulrez, 2011). SEM adalah alat yang


(36)

dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara makroskopik.Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada spesimen interaksi berkas elektrondengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron,sinar x, elektron sekunder, absorbs elektron. Adanya material lain dalam suatu matriks seperti dispersematerial tersebutmenyebabkan terjadinya perubahan pada permukaan spesimen. Untuk melihat perubahan dalam bahan tersebut dapat dilakukan suatu analisa permukaan, dimana alat yang biasa digunakan adalah SEM.

Teknik SEM pada hakikatnya merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 μm dari permukaan yang diperoleh merupakan gambar topografi dengan segala tonjolan, lekukan, dan lubang permukaan. Gambar topografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder yang dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan ditangkap oleh detektor dan diteruskan ke monitor. Pada monitor akan diperoleh gambar yang khas yang menggambarkan struktur permukaan spesimen. Selanjutnya gambar di monitor dapat dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau dapat pula direkam kedalam suatu disket (Wirjosentono,1996).

Cuplikan yang akan dianalisis dalam kolom SEM perlu disiapkan dahulu, walaupun telah ada jenis SEM yang tidak memerlukan penyepuhan (coating) cuplikan. Terdapat tiga tahap persiapan cuplikan, antara lain:

a. Pelet dipotong menggunakan gergaji intan b. Cuplikan dikeringkan pada 60oC minimal 1 jam

c. Cuplikan non logam harus dilapisi dengan emas tipis, cuplikan logam dapat langsung dimasukkan dalam ruang cuplikan.

Sistem penyinaran dan lensa pada SEM sama dengan mikroskop cahaya biasa. Pada pengamatan yang menggunakan SEM lapisan cuplikan harus bersifat konduktif agar dapat memantulkan berkas electron dan mengalirkannya ke ground. Bila lapisan cuplikan tidak bersifat konduktif maka perlu dilapisi dengan emas (Gunawan, 2010).


(37)

2.4.3 Rasio Swelling

Swelling adalah salah satu sifat fisika yang khas hidrogel, menggambarkan kemampuan hidrogel dalam menyerap air (Erizal, 2002). Jika polimer hidrogel mengembang (swelling) dalam mediumnya, ini menunjukkan bahwa hidrogel mampu mengadsorb medium cairnya tanpa larut didalamnya. Semakin banyak rantai yang berikatan silang dalam suatu polimer, kemampuan mengembangnya akan menurun dan gel menjadi semakin keras/kuat.

Hidrogel direndam dalam air destilasi hingga mencapai keadaan kesetimbangan. Lalu diambil dan setelah sisa air dihilangkan, kemudian ditimbang. Pengukuran persen rasio swelling dapat ditentukan dengan rumus berikut (Muthoharoh, 2012) :

�(%) =��−��

�� × 100%...(2.2)

Dimana, Ws = Berat swollen hidrogel Wd = Berat kering dari hidrogel

2.4.4 Derajat Ikat Silang ( degree of crosslinking)

Berat kering hidrogel yang dihasilkan ditimbang. Kemudian hidrogel tersebut direndam dengan pelarutnya selama 24 jam. Setelah perendaman, hidrogel dioven pada suhu 60oC hingga kering selama 3 jam. Berat kering hidrogel setelah perendaman ditentukan dengan penimbangan menggunakan neraca analitis.

Derajat ikat silang ( degree of crosslinking) dapat ditentukan dengan:

% �� = ���� × 100……….(2.3)

Dimana Wg adalah berat hidrogel kering setelah perendaman dan Wo adalah berat hidrogel kering sebelum perendaman (Muthoharoh, 2012).


(38)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah:

Nama Alat Merek

Gelas ukur Pyrex

Gelas beaker Pyrex

Termometer Fisher

Labu takar Pyrex

Hotplate stirrer Cimarec

Neraca analitis Ohaus

Oven Carbolite

Batang Pengaduk -

Statif dan Klem -

Seperangkat alat FTIR Shimadzu


(39)

3.2 Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah:

Bahan Merek

Tongkol jagung -

Aquadest -

Asam nitrat (HNO3) Merck

Natrium nitrat (NaNO2) Merck Natrium hidroksida (NaOH) Merck Natrium sulfit (Na2SO3) Merck Natrium hipoklorit (NaOCl) Merck Hidrogen peroksida (H2O2) Merck

Glutaraldehid Aldrich

Zinc Chloride Merck


(40)

3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Pembuatan Larutan

3.3.1.1 Pembuatan Larutan HNO3 3,5%

Sebanyak 53,8 ml HNO3 65% dimasukkan ke dalam labu takar 1000 ml. Kemudian diencerkan dengan aquadest hingga mencapai garis batas dan dihomogenkan.

3.3.1.2 Pembuatan Larutan NaOH 2%

Sebanyak 20 gram NaOH dimasukkan ke dalam labu takar 1000 ml. Kemudian diencerkan dengan aquadest hingga garis batas dan dihomogenkan.

3.3.1.3 Pembuatan Larutan Na2SO3 2%

Sebanyak 20 gram Na2SO3 dimasukkan ke dalam labu takar 1000 ml. Kemudian diencerkan dengan aquadest hingga garis batas dan dihomogenkan.

3.3.1.4 Pembuatan Larutan NaOCl 1,75%

Sebanyak 146 ml NaOCl 12% dimasukkan ke dalam labu takar 1000 ml. Kemudian diencerkan dengan aquadest sampai garis batas dan dihomogenkan.

3.3.1.5 Pembuatan Larutan NaOH 17,5%

Sebanyak 175 gram NaOH dimasukkan ke dalam labu takar 1000 ml. Kemudian diencerkan dengan aquadest sampai garis batas dan dihomogenkan.

3.3.1.6 Pembuatan Larutan H2O2 10%

Sebanyak 167 ml H2O2 50% dimasukkan ke dalam labu takar 500 ml. Kemudian diencerkan dengan aqudest sampai garis batas dan dihomogenkan.


(41)

3.3.1.7 Pembuatan Larutan Glutaraldehid0,1 M

Sebanyak 4 ml glutaraldehid 25% dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Kemudian diencerkan dengan aquadest sampai garis batas dan dihomogenkan.

3.3.1.8 Pembuatan Larutan NaOH 8,5%

Sebanyak 8,5 gram NaOH dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Kemudian diencerkan dengan aquadest sampai garis batas dan dihomogenkan.

3.3.1.9Pembuatan Larutan ZnCl2 72%

Sebanyak 7,2 gram ZnCl2 dilarutkan dalam 10 ml aquadest lalu dilarutkan sampai homogen.

3.3.2 Preparasi Serbuk Tongkol Jagung

Tongkol jagung dipotong kecil-kecil kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari sampai kering dan dihaluskan dengan menggunakan blender sampai berbentuk serbuk.

3.3.3 Isolasi α-selulosa dari Tongkol Jagung

Sebanyak 75 g tongkol jagung yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam beaker glass, kemudian ditambahkan 1 L campuran yang berisi HNO3 3,5% dan 10 mg NaNO2, dipanaskan di atas hot plate pada suhu 90oC selama 2 jam. Setelah itu disaring dan ampas dicuci hingga filtrat netral. Selanjutnya didigesti dengan 750 mL larutan yang mengandung NaOH 2% dan Na2SO3 2% pada suhu 50oC selama 1 jam. Kemudian disaring dan ampasdicuci sampai netral. Selanjutnya dilakukan pemutihan dengan 250 mL larutan NaOCl 1,75% pada suhu 70oC selama 30 menit. Kemudian disaring dan ampas dicuci sampai pH filtrat netral. Setelah itu

dilakukan pemurnian α-selulosa dari sampel dengan 500 mL larutan NaOH 17,5% pada suhu 80oC selama 30 menit. Kemudian disaring, dicuci hingga filtrat netral. Dilanjutkan pemutihan dengan H2O2 10% pada suhu 60oC dan dikeringkan di


(42)

dalam oven pada suhu 60oC kemudian disimpan dalam desikator (Ohwoavworhua, 2005).

3.3.4 Pembuatan Larutan α-Selulosa

Sebanyak 0,5 gram serbuk α-selulosa ditimbang dan dilarutkan dalam 10 ml larutan NaOH 8,5% lalu dibekukan di freezer selama 24 jam. Kemudian di lelehkan sampai massa padatan cair lagi (Ciolacu, 2011).

3.3.5 Pembuatan Hidrogel dari Larutan α-selulosa

Untuk membuat hidrogel dari larutan α-selulosa, ditambahkan agen pengikat silang yaitu larutan glutaraldehid 0,1M ke dalam larutan α-selulosa sambil diaduk dengan pengaduk magnet. Hidrogel yang terbentuk kemudian dituang pada plat kaca dan di oven pada suhu 50oC selama 6 jam. Setelah itu, hidrogel dicuci dengan aquadest dan dioven pada suhu 35oC untuk menyempurnakan proses (Ciolacu, 2011).

3.3.6 Analisa Gugus Fungsi dengan FT-IR

Analisa gugus fungsi dilakukan dengan menggunakan alat Shimadzu.Uji spektroskopi FTIR untuk α-selulosa dilakukan dengan cara menggerus α-selulosa bersama KBr dengan perbandingan 1:10(w/w). Campuran kemudian dipres dengan menggunakan alat pengepres pada tekanan 10 torr sehingga menjadi pellet yang padat. Sedangkan untuk uji spektroskopi FTIR pada hidrogel cukup dilakukan dengan meletakkan hidrogel pada tempat sampel alat spektroskopi. Hasilnya diperoleh dalam bentuk spektrum yang menggambarkan besarnya nilai % transmitan dan bilangan gelombang sehingga dapat diketahui gugus fungsi apa saja yang terdapat pada α-selulosa dan hidrogel (Rudyardjo, 2014).


(43)

3.3.7 Analisa Morfologi dengan SEM

Pengujian dilakukan dengan cara memotong sampel dengan ukuran 1cm x 1cm, kemudian meletakkan sampel tersebut di atas preparat dan diamati sehingga dapat terlihat struktur permukaan hidrogel yang dihasilkan. Analisa morfologi dilakukan dengan menggunakan alat JSM-35 C Shumandju (Rudyardjo, 2014).

3.3.8 Penentuan Rasio Swelling

Pengujian dilakukan dengan cara mengukur berat awal (�o) sampel yang berukuran 1cmx 1cm kemudian direndam dalam aquadest selama 24 jam. Sampel yang telah direndam kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring dan diukur lagi berat akhirnya (�e). Banyaknya air yang terserap pada hidrogel dapat dihitung menggunakan persamaan berikut (Rudyardjo, 2014):

� = ��−���� × 100%...(3.1)

3.3.9 Penentuan Derajat Ikat Silang ( degree of crosslinking)

Berat kering hidrogel yang dihasilkan ditimbang. Kemudian hidrogel tersebut direndam dengan pelarutnya (ZnCl2 72%) selama 24 jam. Setelah perendaman, hidrogel dioven pada suhu 60oC hingga kering selama 3 jam. Berat kering hidrogel setelah perendaman ditentukan dengan penimbangan menggunakan neraca analitis. Derajat ikat silang ( degree of crosslinking) dapat ditentukan dengan:

% �� = ���� × 100……….(3.2)

Dimana Wg adalah berat hidrogel kering setelah perendaman dan Wo adalah berat hidrogel kering sebelum perendaman (Muthoharoh, 2012).


(44)

3.4 Bagan Penelitian

3.4.1 Bagan Preparasi Serbuk Tongkol Jagung

Dipotong kecil-kecil

Dikeringkan

Dihaluskan dengan blender hingga berbentuk

serbuk

Tongkol Jagung


(45)

3.4.2 Bagan Isolasi α-Selulosa dari Tongkol Jagung

Dimasukkan ke dalam gelas beaker

Ditambahkan 1 L campuran HNO3 3,5% dan 10 mg NaNO2

Dipanaskan di atas hotplate pada suhu 90oC selama 2 jam

Disaring dan ampas dicuci hingga netral

Ditambahkan 750 ml larutan yang mengandung NaOH 2% dan Na2SO3 2%

Dipanaskan pada suhu 50oC selama 1 jam Disaring dan ampas dicuci hingga netral

Diputihkan dengan 250 ml larutan NaOCl 1,75% pada suhu 70oC selama 30 menit

Disaring dan ampas dicuci hingga netral

Ditambahkan 500 ml NaOH 17,5% pada suhu 80oC

Disaring dan dicuci hingga filtrat netral

Diputihkan dengan H2O2 10% pada suhu 60oC selama 15 menit

Disaring dan dicuci dengan aquadest

Dikeringkan pada suhu 60oC dalam oven selama 3 jam Disimpan dalam desikator

75 g serbuk tongkol jagung

Filtrat Residu Residu Filtrat Filtrat Selulosa α-Selulosa

α-Selulosa basah

α-Selulosa kering

Filtrat


(46)

3.4.3 Bagan Pembuatan Hidrogel dengan Glutaraldehid 0,1 M

Dimasukkan ke dalam beaker glass

Ditambahkan 10 ml larutan NaOH 8,5% dan dibekukan di dalam freezer selama 24 jam. Dilelehkan hingga massa padatan mencair.

Ditambahkan agen pengikat silang glutaraldehid 0,1 M dan diaduk dengan menggunakan pengaduk magnet.

Dituangkan kedalam wadah pencetak dan dioven pada suhu 50oC selama 6 jam

Dicuci dengan aquadest, dan dioven pada suhu 35oC untuk menyempurnakan proses.

Dikarakterisasi

Variasi volume glutaraldehid yang digunakan adalah 0 ml, 1 ml, 1,5 ml, 2 ml, dan 2,5 ml.

0,5 gram α-Selulosa

Hidrogel

Larutan α-selulosa

SEM Rasio Swelling Derajat Ikat Silang FTIR


(47)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Hasil Isolasi α-Selulosa dari Tongkol Jagung

Melalui serangkaian proses delignifikasi, swelling, dan proses pemutihan maka

diperoleh α-selulosa yang berwarna putih. Pada tahap isolasi α-selulosa digunakan 75 gram serbuk tongkol jagung dan pada akhir proses dihasilkan α-selulosa murni

sekitar 20,13 gram. Hasil α-selulosa yang diperoleh dari penelitian dapat dilihat pada gambar 4.1.


(48)

4.1.2 Hasil Hidrogel Selulosa dari Larutan α-Selulosa

α-Selulosa yang diperoleh dilarutkan dengan NaOH 8,5%, kemudian digunakan glutaraldehid sebagai agen pengikat silang dan akan menghasilkan hidrogel selulosa yang ditunjukkan pada gambar 4.2.

Gambar 4.2 Hidrogel Selulosa dari α-selulosa 4.2 Pembahasan

4.2.1 Isolasi α-Selulosa dari Tongkol Jagung

Sebelum tahap isolasi, tongkol jagung terlebih dahulu dipotong kecil-kecil , kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari hingga bebas air, kemudian dihaluskan dengan blender hingga membentuk serbuk untuk mempermudah proses dalam delignifikasi selulosa.


(49)

Adapun tahapan dalam isolasi α-selulosa yaitu delignifikasi dengan menggunakan HNO3 3,5% dan NaNO2 yang bertujuan untuk menghilangkan lignin dari serbuk tongkol jagung. Selanjutnya dilakukan proses alkali dengan menggunakan NaOH 2% dan Na2SO3 2%. Perlakuan ini membuat serat dari selulosa membengkak dan bertujuan untuk menghilangkan hemiselulosa, garam-garam mineral, silica, dan abu. Pulp yang dihasilkan dari proses swelling ini berwarna kuning kecoklatan. Oleh karena itu dilakukan proses pemutihan dengan menggunakan NaOCl 1,75%.

α-Selulosa yang dihasilkan pada tahap ini belum murni, dimana masih

mengandung β-selulosa dan γ-selulosa. Oleh karena itu dilakukan pemurnian

dengan menggunakan NaOH 17,5% dimana α-selulosa akan mengendap

sedangkan β-selulosa dan γ-selulosa akan larut. α-Selulosa yang dihasilkan pada tahap ini berwarna kuning kecoklatan. Untuk menghilangkan warna tersebut maka dilakukan pemutihan dengan menggunakan H2O2 10%. α-Selulosa yang dihasilkan berbentuk pulp berwarna putih yang kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 60OC.

4.2.2 Pembuatan Hidrogel Selulosa dari Larutan α-Selulosa

Pembuatan hidrogel selulosa yang diperoleh dari isolasi α-selulosa terdiri atas

beberapa tahapan, yaitu pembuatan larutan α-selulosa dengan melarutkan α -selulosa dengan NaOH 8,5% yang berfungsi untuk memecah ikatan intra dan inter hidrogen diantara molekul selulosa dan merusak kristal selulosa sehingga membentuk pecahan selulosamolekuler (Kaco, 2014). Kemudian digunakan glutaraldehid dapat menentukan penyerapan air (swelling) dalam hidrogel. Setelah itu dilakukan pengadukan agar menghasilkan struktur yang kuat dan rapat serta memiliki sifat mekanik yang lebih baik.

4.2.3 Analisa Gugus Fungsi dengan FTIR

Analisa gugus fungsi dengan FTIR telah dilakukan dengan menggunakan alat Shimadzu IR Prestige-21. Sampel yang dianalisa yaitu α-selulosa yang diperoleh dari tongkol jagung dan hidrogel selulosa. FTIR membantu karakterisasi struktur


(50)

kimia dengan cara mengidentifikasi gugus fungsi yang muncul pada setiap sampel. Data analisis gugus fungsi α-selulosa dan hidrogel selulosa dengan menggunakan FTIR dapat dilihat pada tabel 4.1 dan tabel 4.2 serta gambar 4.3 dan 4.4.

Tabel 4.1 Bilangan Gelombang dari Berbagai Gugus Fungsi pada α-selulosa

Gugus Fungsi Bilangan Gelombang (cm-1)

α-selulosa

O-H 3448.72

C-H 2900.94

C-O 1064.71

Serat –OH 1635.64

4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 10 20 30 40 Serat -OH O-H 16 35 .6 4 C-O C-H 10 64 .71 29 00 .94 34 48 .72 T ra n sm ita n si ( % )

Bilangan Gelombang cm-1

Alpha Selulosa


(51)

Spektrum dari sampel α-selulosa pada kisaran panjang 4000-500 cm-1dapat dilihat pada gambar 4.4. Dari hasil analisa FTIR sampel α-selulosa terlihat puncak pada panjang gelombang 3448.72 cm-1 menunjukkan adanya gugus O-H dan pada panjang gelombang 2900 cm-1 adanya gugus C-H. Puncak disekitar 1635.64 cm-1 menunjukkan adanya absorbsi air. Pada daerah 1064.71 cm-1 adanya gugus C-O dalam sampel karena adanya ikatan glikosida yang terdapat pada struktur senyawa

α-selulosa. Spektrum FTIR α-selulosa yang diperoleh menunjukkan daerah serapan panjang gelombang yang hampir sama dengan spektrum FTIR pembanding pada lampiran 4.

Tabel 4.2 Bilangan Gelombang dari Berbagai Gugus Fungsi pada Hidrogel Selulosa

Gugus Fungsi Bilangan Gelombang (cm-1) Hidrogel Selulosa

O-H 3633.89

C-H 2989.66

C-O 1168.86

C=O 1716.65

CH2 1485.19

4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500

0 10 20 30 40 50 C-O CH2 C=O C-H O-H 11 68 .86 14 85 .19 17 16 .65 29 89 .66 36 33 .89 Tr ans m ittans i ( % )

Bilangan Gelombang (cm-1)

Hidrogel Selulosa


(52)

Spektrum Fourier transform infrared (FTIR) jaringan polimer digunakan untuk menyelidiki reaksi ikat silang kualitatif. Spektrum inframerah digunakan untuk menentukan jenis ikatan atau gugus fungsi yang ada pada hidrogel. Spektrum inframerah menunjukkan bahwa adanya gugus C=O dari aldehid pada panjang gelombang 1716.65 cm-1 yaitu memperlihatkan terjadinya proses ikat silang pada hidrogel. Panjang gelombang 3633.89 cm-1 menunjukkan adanya gugus OH. Pada daerah serapan 2989.66 cm-1 dan 1168.86 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C-H dan C-O. Vibrasi tekukan CH2 diabsorpsi pada panjang gelombang 1485.19 cm-1.

4.2.4 Analisis Morfologi Hidrogel Selulosa Menggunakan SEM

Analisis morfologi dengan SEM dilakukan untuk mengamati permukaan dari hidrogel selulosa. Gambar 4.5 merupakan hasil analisa SEM hidrogel selulosa tanpa penambahan glutaraldehid, sedangkan gambar 4.6 menunjukkan hasil analisa SEM dengan penambahan glutaraldehid 1 ml yang merupakan hasil uji yang optimum.

Gambar 4.5 Hasil Analisa SEM Hidrogel Selulosa Tanpa Penambahan Glutaraldehid


(53)

Pada gambar 4.5 menunjukkan permukaan dari hidrogel selulosa yang tidak rata dan adanya rongga dipermukaan, hal ini mengindikasikan bahwa hidrogel selulosa tidak dapat berinteraksi dengan baik.

Gambar 4.6 Hasil Analisa SEM Hidrogel Selulosa dengan Penambahan Glutaraldehid 1 ml

Pada gambar 4.6 menunjukkan permukaannya rata dan tidak adanya rongga di permukaan, hal ini mengindikasikan bahwa antara campuran bahan yang digunakan untuk membuat bahan hidrogel selulosa dengan penambahan glutaraldehid 1 ml dapat berinteraksi dengan baik dan menghasilkan campuran yang homogen.

4.2.5 Penentuan Rasio Swelling

Rasio swelling merupakan rasio perbandingan bobot hidrogel dalam keadaan menyerap air (swelling) terhadap bobot keringnya yang merupakan salah satu parameter utama dari hidrogel khususnya untuk pengujian suatu superabsorbent (Erizal, 2010). Hidrogel dapat mengalami swelling, dengan penampilan transparan dan memiliki permukaan yang halus, agak keras tapi fleksibel (Fadhli, 2012). Nilai rasio swelling hidrogel selulosa dapat dilihat pada tabel 4.2.


(54)

Tabel 4.3 Data Rasio Swelling Hidrogel Selulosa

Volume Glutaraldehid Berat Awal Berat Akhir Rasio Swelling Hidrogel Hidrogel

(ml) (g) (g) (%) 0 0,1231 0,1661 34,9309

1 0,1285 0,1632 27,0038 1,5 0,1205 0,1494 23,9834 2 0,1228 0,1440 17,2638 2,5 0,1214 0,1420 16,9686

Berdasarkan tabel 4.2, nilai rasio swelling semakin berkurang dengan bertambahnya volume glutaraldehid sebagai agen pengikat silang. Hal ini terjadi karena semakin besar volume glutaraldehid, maka struktur hidrogel akan semakin rapat, menyebabkan difusi air dalam hidrogel semakin menurun, akibatnya rasio swelling berkurang dibandingkan hidrogel dengan komposisi agen pengikat silang yang lebih rendah (Yuniarti, 2012).

4.2.6 Penentuan Derajat Ikat Silang (degree of crosslinking)

Data dari penentuan derajat ikat silang (degree of crosslinking) dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.4 Data Derajat Ikat Silang (degree of crosslinking) Hidrogel Selulosa Volume Berat Hidrogel Kering Berat Hidrogel Kering Derajat Glutaraldehid Sebelum Perendaman Setelah Perendaman Ikat Silang (ml) (g) (g) (%)

0 0,2011 0,0382 18,9955 1 0,2143 0,1350 62,9958 1,5 0,2673 0,1710 63,9730 2 0,2838 0,2327 81,9943 2,5 0,2443 0,2125 86,9832


(55)

Dari tabel diatas diperoleh bahwa persen derajat ikat silang meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah agen pengikat silang yang digunakan. Hal ini disebabkan karena semakin banyak agen pengikat silang yang digunakan, derajat ikat silang hidrogel akan semakin besar , sehingga berkurangnya volume air yang terperangkap di dalam jaringan polimer (Wu, 2001).

Rantai jaringan secara umum terdiri dari jaringan karena pengikat silang. Sedangkan pembentukan rantai bebas terjadi karena kemungkinan kecil dari bereaksinya molekul pengikat silang pada rantai yang sedang menyebar, pada konsentrasi pengikat silang yang rendah. Sebagai hasil, rantai yang sedikit atau tidak terikat silang terbentuk. Rantai ini terpisah dari jaringan ketika hidrogel dimasukkan kedalam medium cair (Hashemi, 2003). Pada proses pembentukan hidrogel, gel yang terbentuk dapat mengalami cacat. Rantai ujung bebas atau loop rantai menunjukkan cacat jaringan pada hidrogel. Cacat tersebut mengakibatkan kurangnya elastisitas dari hidrogel (Hoffman, 2002).


(56)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Isolasi α-selulosa dari tongkol jagung telah berhasil dilakukan. Analisa gugus fungsi FTIR menunjukkan adanya serapan gugus C-O pada bilangan gelombang 1064,71 cm-1 yang mengindikasikan adanya ikatan glikosida pada

α-selulosa, serta puncak serapan pada bilangan gelombang 2900.94 cm-1 dan 3448,72 cm-1 menunjukkan adanya ikatan C-H dan gugus O-H. Puncak disekitar 1635.64 cm-1 menunjukkan adanya absorbsi air.

2. Hidrogel selulosa dengan penambahan agen pengikat silang glutaraldehid 1 ml memiliki daya absorb yang paling baik dengan persen rasio swelling yang mencapai 27% dan derajat ikat silang (degree of crosslinking) sebesar 63%. 3. Hasil morfologi hidrogel selulosa dengan penambahan agen pengikat silang

glutaraldehid 1 ml menunjukkan permukaan yang rata dan homogen dibanding hidrogel selulosa tanpa penambahan glutaraldehid.

5.2 Saran

Saran-saran yang diperlukan untuk penelitian selanjutnya yaitu:

1. Sebaiknya peneliti selanjutnya perlu mencari bahan polimer yang dapat meningkatkan adsorbsi pada hidrogel selulosa.

2. Sebaiknya peneliti selanjutnya melakukan penerapan aplikasi seperti diapers atau sistem pengantar obat.


(57)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, E. M. 2013. Hydrogel: Preparation, Characterization, and Applications. Journal of Advanced Research. 1

Astrini, N., Anah, L.andHaryono, A. 2012. Crosslinking Parameter on the Preparation of Cellulose Based Hydrogel with Divynilsulfone. Procedia Chemistry. 4: 275.

Bahmid, N.A., Syamsu, K. and Maddu, A. 2013.Production of Cellulose Acetate from Oil Palm Empty Fruit Bunches Cellulose. Chemical and Process Engineering Research. 17:17.

Bao, D., Chen, M., Wang, H., Wang, J., Liu, C.andSun, R. 2014. Preparation and Characterization of Double Crosslinked Hydrogel Films from Carboxymethylchitosan and Carboxymethylcellulose. Carbohydrate Polymers. 110: 113.

Cao, X., He, H. and James, L.l. 2004.Design of a Novel Hydrogel-Based Intelligent System for Controlled Drug Release. Journal of Controlled Release. 95: 391-402.

Chen, J., Liu, M., Liu, H. and Ma, L. 2009. Synthesis Swelling and Drug Release Behavior of Poly (N,N-dimethyl acrylamide-Co-N-hydroximethyl arylamide) Hydrogel. Material Science and Engineering C. 29: 2116-2123.

Cherlina, D.I. 2014.Pembuatan Nanokomposit Polikaprolaktom/Nanokristal Selulosa yang Diisolasi dari Tongkol Jagung (Zea Mays L). [Skripsi]. Medan; Universitas Sumatera Utara.

Ciolacu, D. and Cazacu, M.2011. synthesis of new Hydrogels Based on Xanthan and Cellulose Allomorphs. Cellulose Chem. 45:164.

Cowd, M. A. 1991. Kimia Polimer. Bandung: Penerbit ITB. Deman, M.J. 1997. Kimia Makanan. Edisi Kedua. Bandung: ITB.

Devine, D. M. and Higginbotham, C.L. 2005. Synthesis and Characterisation of Chemically Crosslinked N-vinyl Pyrrolidinone (NVP) based Hydrogels. European Polymer Journal. 41: 1272-1279.

Erizal. 2010. Synthesis and Characterization of Crosslinked Polyacrilamide (PAAM)-Carrageenan Hydrogels Superabsorben Prepared by Gamma Radiation. Indo.J.Chem. 10: 12.


(58)

Erizal., Dewi. S.P. dan Darmawan, D. 2002.Sintesis dan Karakteisasi Hidrogel Poli (Akrilamida) Hasil Iradiasi Gamma. Di dalam: Prosiding pertemuan Ilmiah Ilmu Pengetahuan dan teknologi Bahan 2002. Serpong. ISSN 1411-2213.51.

Fadhli, A. 2012.Sintesis dan Karakterisasi Hidrogel Poli (N-Vinil Kaprolaktam) Terikat Silang dengan Teknik Polimerisasi Radikal Bebas. [Skripsi]. Depok: Universitas Indonesia.

Felasih, E.2010. Pemanfaatan Selulosa Bakteri- Polivinil Alkohol (PVA) Hasil Iradiasi (Hidrogel) Sebagai Matriks Topeng Masker Wajah. [Skripsi]. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Fengel, D. dan Wegener, D. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Gadjah Mada Universiti Press. Yogyakarta.

Gan, S., Zakaria, S., Chia, C H., Padzil, F. N. M.andNg, P. 2014. Effect of Hydrothermal Pretreatment on Solubility and Formation of Kenaf Cellulose membrane and Hydrogel. Carbohydrate Polymers 115: 62.

Gulrez, S. K. H., Al-Assaf, S. and Philips, G. O. 2011. Hydrogels: Methods of Preparation, Characterisation and Application. Progress in Molecular and Environmental Bioengineering-From Analysis and Modelling to Technology Application. In Tech. ISBN: 978-953-307-268-5.

Gunawan, B. dan Azari, C. D. 2010. Karakterisasi Spektrofotometri I R dan Scanning Electron Microscopy (S E M) Sensor Gas dari Bahan Polimer Poly Ethelyn Glycol (P E G). Jurnal Sains dan Teknologi. ISSN 1979-6870.

Hashemi, S.H., Kabiri, K., Omidian, H. and Zohuriaan-Mehr, M.J. 2003. Synthesis of Fast-Swelling Superabsorbent Hydrogels: Effect of Crosslinker Type and Concentration on Porosity and Absorption Rate. European Polymer Journal. 39:1341-1348.

Hidajati, N. 2006. Pengolahan Tongkol Jagung sebagai Bahan Pembuatan Furfural. Jurnal Ilmu Dasar. 8: 1.

Hoffman, A.S. 2002. Hydrogels for Biomedical Applications. Advanced Drug Delivery Reviews. 43:3-12.

Kaco, H., Zakaria, S., Razali, N. F., Chia, C.H. and Zhang, L, 2014. Properties of cellulose hydrogel From kenaf Core Prepared Via Pre-Cooled Dissolving Method. Sains malaysiana.43: 1225.

Kopocek, J. 2009. Hydrogels: From Soft Contact Lenses and Implants to Self-assembled Nanomaterials. Journal of Polymer Science Part A: Polymer Chemistry. 47: 5929.


(59)

Lim,D. and Wichterle, O. 1960. Hydrophilic Gels for Biological Use. Nature. 185: 117-118.

Mohadi, R., Hidayati, N. dan Melany, N. R. 2007. Preparasi dan Karakterisasi Kompleks Kitosan Hidrogel-Tembaga(II). Molekul. 2: 36-37.

Muthoharoh, S.P. 2012. Sintesis Polimer Superabsorben Dari Hidrogel Kitosan Terikat Silang. [Skripsi]. Depok: Universitas Indonesia.

Poedjiadi, A. 2006. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: Universitas Indonesia.

Ohwoavworhua, F.O. and Adelakun, T.A. 2005.Phosphoric Acid-Mediated Depolymerization and Decrystallization of α-Cellulose Obtained from Corn Cob: Preparation of Low Crystallinity Cellulose and Some Physico chemical Properties. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. 4: 510.

Rojas, J. and Azeveda, E. 2011. Functionalization and Crosslinking of Microcrystalline Cellulose in Aqueous Media: A safe and Economic Approach. International Journal of Pharmaceutical Science Review and Research. 8:30.

Rudyardjo, D.I. 2014. Pengaruh Penambahan Plasticier Gliserol terhadap Karakteristik Hidrogel Kitosa-Glutaraldehid Untuk Aplikasi Penutup Luka. Jurnal Ilmiah Sains. 14: 4.

Rukmana, R. 1997. Usaha Tani Jagung. Kanisius.Yogyakarta.

Salim, A., dan Suwardi. 2009. Sintesis Hidrogel Superabsorben Berbasis Akrilamida dan Asam Akrilat Pada Kondisi Atmosfer. Jurnal penelitian Saintek. 14: 3.

Sastrohamidjojo, H. 2005. Kimia Organik Stereokimia, Karbohidrat, Lemak dan Protein. Gajah Mada University Press.Yogyakarta.

Senna, A. M., Novack, K. M. andBotaro,V. R. 2014. Synthesis and Characterization from Cellulose Acetate by Esterification Crosslinking with EDTA Dianhydride. Carbohydrate Polymers. 114: 200.

Shofiyanto, M.E. 2008. Hidrolisis Tongkol Jagung Oleh Bakteri Selulotik Untuk Produksi Bioetanol Dalam Kultur Campuran. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sjostrom, E. 1995. Kimia Kayu dan Dasar-Dasar Penggunaan. Edisi 2. Terjemahan Hardjono Sastrohamidjojo. Yogyakarta.: UGM Press.


(60)

Sumada, K., Tamara, P.E. dan Alqani, F. 2011. Kajian Proses Isolasi α-selulosa dari Limbah Batang Tanaman Manihot Esculenta Crantz yang Efisien. Jurnal Teknik Kimia. 5: 434-435.

Widaningrum, Miskiyah dan Somantri, A.S. 2010. Perubahan Sifat Fisiko-Kimia Biji Jagung (Zea Mays L.) Pada Penyimpanan dengan Perlakuan Karbondioksida (CO2). Agritech.30: 2.

Widodo, L.U. 2012. Kajian Isolasi Alpha-Selulosa Batang Tanaman Ubi Kayu Secara basa. Alpha Selulosa. 21:12-30.

Wirjosentono, B. 1995. Analisis dan Karakterisasi Polimer.USU Press. Medan. Wu, J., lin, J., Li, G., wei, C. 2001. Influence of the COOH and COONa Groups

and Crosslink Density of Poly (Acrylic Acid)/Montmorillonite Superabsorbent Composite on Water Absorbency.Polym Int. 50:1050-1053.

Yuniarti, S. A. I. 2012. Sintesis dan Sifat Kimia Fisika Kopolimer tepung Mocal (Modified Cassava Flour) dan Asam Asetat. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Zhang, X., Wang, Y., Lu, C. And Zhang, W. 2014. Cellulose Hydrogels Prepared from Micron-Sized Bamboo Cellulose Fibers. Carbohydrate Polymers. 114: 166.


(61)

Lampiran 1.Proses Pembuatan α-Selulosa Hingga Hidrogel

Serbuk Tongkol jagung Pemanasan dengan HNO3 3,5% dan10 mg NaNO2

Pemanasan dengan NaOH 2% dan Pemanasan dengan NaOCl 1,75 NaSO3 2%


(62)

Pemanasan dengan NaOH 17,5% Pemanasan dengan H2O2 10%

α- Selulosa Larutan selulosa

Hidrogel Selulosa


(63)

(64)

(65)

Lampiran 4. Spektra FTIR Pembanding Dari α-Selulosa Tandan Kosong Kelapa Sawit ( Bahmid, 2013)


(66)

Lampiran 5. Perhitungan Rasio Swelling Hidrogel Selulosa

E = �� −��

�� × 100%

Dimana, E = Rasio Swelling me = Berat Akhir Hidrogel mo = Berat Awal Hidrogel

1. Tanpa Penambahan Glutaraldehid Rasio Swelling = 0,1661 g−0,1231 g

0,1231 g × 100%

= 0,043 g

0,1231 g × 100%

= 34,9309%

2. Penambahan Glutaraldehid 1 ml Rasio Swelling = 0,1632 g−0,1285 g

0,1285 g × 100%

= 0,0347 g

0,1285 g × 100%

= 27,0038%

3. Penambahan Glutaraldehid 1,5 ml Rasio Swelling = 0,1494 g−0,1205 g

0,1205 g × 100%

= 0,0289 g

0,1205 g × 100%

= 23,9834%

4. Penambahan Glutaraldehid 2 ml Rasio Swelling = 0,1440 g−0,1228 g

0,1228 g × 100%

= 0,0212 g

0,1228 g × 100%

= 17,2638%

5. Penambahan Glutaraldehid 2,5 ml Rasio Swelling = 0,1420 g−0,1214 g

0,1214 g × 100%

= 0,0206 g

0,1214 g × 100%


(67)

Lampiran 5. Perhitungan Derajat Ikat Silang (degree of crosslinking) Hidrogel Selulosa

% �� = ��

�� × 100%

Dimana, �� = Derajat Ikat Silang

�� = Berat Hidrogel Kering Setelah Perendaman

�� = Berat Hidrogel Kering Sebelum Perendaman

1. Tanpa Penambahan Glutaraldehid Derajat Ikat Silang = 0,0382 g

0,2011 g × 100%

= 18,9955% 2. Penambahan Glutaraldehid 1 ml Derajat Ikat Silang = 0,1350 g

0,2143 g × 100%

= 62,9958%

3. Penambahan Glutaraldehid 1,5 ml Derajat Ikat Silang = 0,1710 g

0,2673 g × 100%

= 63,9730%

4. Penambahan Glutaraldehid 2 ml Derajat Ikat Silang = 0,2327 g

0,2838 g × 100%

= 81,9943%

5. Penambahan Glutaraldehid 2,5 ml Derajat Ikat Silang = 0,2125 g

0,2443 g × 100%

= 86,9832%


(1)

Pemanasan dengan NaOH 17,5% Pemanasan dengan H2O2 10%

α- Selulosa Larutan selulosa

Hidrogel Selulosa


(2)

(3)

(4)

Lampiran 4. Spektra FTIR Pembanding Dari α-Selulosa Tandan Kosong Kelapa Sawit ( Bahmid, 2013)


(5)

Lampiran 5. Perhitungan Rasio Swelling Hidrogel Selulosa

E = �� −��

�� × 100%

Dimana, E = Rasio Swelling

me = Berat Akhir Hidrogel

mo = Berat Awal Hidrogel

1. Tanpa Penambahan Glutaraldehid Rasio Swelling = 0,1661 g−0,1231 g

0,1231 g × 100% = 0,043 g

0,1231 g × 100% = 34,9309%

2. Penambahan Glutaraldehid 1 ml Rasio Swelling = 0,1632 g−0,1285 g

0,1285 g × 100% = 0,0347 g

0,1285 g × 100% = 27,0038%

3. Penambahan Glutaraldehid 1,5 ml Rasio Swelling = 0,1494 g−0,1205 g

0,1205 g × 100% = 0,0289 g

0,1205 g × 100% = 23,9834%

4. Penambahan Glutaraldehid 2 ml Rasio Swelling = 0,1440 g−0,1228 g

0,1228 g × 100% = 0,0212 g

0,1228 g × 100% = 17,2638%

5. Penambahan Glutaraldehid 2,5 ml Rasio Swelling = 0,1420 g−0,1214 g

0,1214 g × 100% = 0,0206 g

0,1214 g × 100% = 16,9686%


(6)

Lampiran 5. Perhitungan Derajat Ikat Silang (degree of crosslinking) Hidrogel Selulosa

% �� = ��

�� × 100%

Dimana, �� = Derajat Ikat Silang

�� = Berat Hidrogel Kering Setelah Perendaman

�� = Berat Hidrogel Kering Sebelum Perendaman

1. Tanpa Penambahan Glutaraldehid Derajat Ikat Silang = 0,0382 g

0,2011 g × 100% = 18,9955% 2. Penambahan Glutaraldehid 1 ml Derajat Ikat Silang = 0,1350 g

0,2143 g × 100% = 62,9958%

3. Penambahan Glutaraldehid 1,5 ml Derajat Ikat Silang = 0,1710 g

0,2673 g × 100% = 63,9730%

4. Penambahan Glutaraldehid 2 ml Derajat Ikat Silang = 0,2327 g

0,2838 g × 100% = 81,9943%

5. Penambahan Glutaraldehid 2,5 ml Derajat Ikat Silang = 0,2125 g

0,2443 g × 100% = 86,9832%