16
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERNIKAHAN DALAM ISLAM
A. Pengertian dan Tujuan Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan
Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul. Menurut istilah Syara‟ ialah Ijab dan Qabul Akad yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki
dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang ditentukan oleh Islam.
1
Menurut Fiqh, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna.
2
Pernikahan itu bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga perkenalan antara suatu
kaum dengan kaum yang lainnya. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3
1
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,1998 hal.537
2
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010, hlm. 374
3
Mohd. Idris Ramulyo,S.H, M.H, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 1995, Hlm. 43
17
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan
pelaksanaanya adalah merupakan ibadah.
4
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang
menurut perundang-undangan yang berlaku.
5
2. Tujuan Pernikahan
Menurut fitrahnya, manusia dilengkapi tuhan dengan kecenderungan seks libido seksualitas.Oleh karena itu, Tuhan menyediakan wadah yang legal untuk
terselenggaranya penyaluran tersebut yang sesuai dengan derajat kemanusiaan. Akan tetapi, perkawinan tidaklah semata-mata dimaksudkan untuk menunaikan hasrat
biologis tersebut. Kalau hanya itu, tujuan perkawinan memiliki nilai yang sama dengan perkawinan yang dianut biologi, yaitu mempertemukan jantan dan betina
untuk sekedar memenuhi kebutuhan reproduksi generasi. Perkawinan yang diajarkan Islam meliputi multiaspek.
6
Diantara aspek-aspek tersebut adalah: 1.
Aspek personal
4
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 2010, cet.4, hlm. 114
5
YLBH APIK, Undang- undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, diakses pada tanggal 12 Desember 2014, http:www.lbh-apik.or.iduu-perk.htm.
6
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm. 15.
18
a. Penyaluran kebutuhan biologi
Sebagai suatu sunnatullah, manusia selalu hidup berpasangan akibat adanya daya tarik, nafsu syahwat diantara dua jenis kelamin yang berlainan.Hidup bersama
dan berpasangan tadi tidaklah harus selalu dihubungkan dengan masalah seks walaupun faktor ini merupakan factor yang dominan.
7
Wirjono Projodikoro
8
mengatakan, “mungkin saja sebagai kekecualian kehidupan pe
rkawinan tanpa hubungan seks. ”Hal ini, karena kekuatan melakukan hubungan seks tidak selalu ada pada setiap orang, disamping seks bukan merupakan
persyaratan perkawinan. Dalam hal ini, undang-undang membolehkan perkawinan antara dua orang,
yang salah seorang diantaranya atau keduanya sangat lanjut usia. Dalam usia seperti ini, kemungkinan untuk melakukan hubungan seks kecil. Peraturan juga
membolehkan suatu perkawinan yang salah satunya berada dalam keadaan yang sangat kritis in extremis atau dalam keadaan sekarat.
Tidak diperolehnya keturunan karena ketidakmampuan salah satu pihak bukan sebab resmi untuk bercerai.Apabla lebih lanjut terjadi, itu hanyalah hak untuk
memilih, yang dapat dipergunakan atau mungkin tidak. Namun demikian, tak dapat disangkal lagi bahwa faktor hubungan badan ini
merupakan faktor utama. Wirjono Projodikoro dalam buku hukum perkawinan di
7
Ibid.
8
Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Voorkink Van Hoove, t.th, hlm. 40.
19
Indonesia, lebih lanjut mengatakan: “…pada umumnya dapat dikatakan bahwa hal persetubuhan ini faktor pendorong yang penting untuk hidup bersama tadi, dengan
maksud mendapatkan anak turunan ataupun hanya untuk hawa nafsu belaka. Jadi, jelaslah bahwa faktor yang satu ini sangat mempengaruhi manusia disamping factor-
faktor lain untuk melakukan perkawinan.”
9
b. Reproduksi Generasi
Hal ini, karena akibat yang ditimbulkan dari persetubuhan adalah kehamilan yang diakhiri dengan kelahiran keturunan. Akan tetapi, persetubuhan diluar
perkawinan jelas dilarang oleh ajaran Islam. Oleh karena itu, meskipun persetubuhan yang illegal itu membuahkan keturunan, hal itu dianggap tidak ada. Keturunan yang
dimaksud adalah keturunan yang sah melalui perkawinan, seperti yang disabdakan Rasulullah saw:
اِ َ َ ِ ْا اَمْ ََ اُ َ ُا اُ ُ ِ اٌ ىَ َ ُ اى ِ َ ا ْ ُ َ َ ََ
ا
Artinya: “Nikahlah kamu, sesungguhnya aku menginginkan darimu umat yang
banyak”.
10
Bahkan, Nabi Muhammad Saw menyuruh umatnya untuk memilih wanita yang subur peranakannya.
11
2. Aspek Sosial
9
Ibid., hlm. 42.
10
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam., hlm. 17.
11
Ibid.
20
a. Rumah tangga yang baik sebagai fondasi masyarakat yang baik
Perkawinan diibaratkan sebagai ikatan yang sangat kuat, bagaikan ikan dengan airnya, dan bagaikan beton bertulang yang sanggup menahan getaran gempa.
Kalau kita amati, pada awalnya mereka yang melakukan pernikahan tidak saling kenal dan kadangkala mereka mendapatkan pasangan yang berjauhan. Akan tetapi,
tatkala memasuki dunia perkawinan, mereka begitu menyatu dalam keharmonisan, bersatu dalam menghadapi tantangan dalam mengarungi bahtera kehidupan.
Mahmud Syaltut memperumpamakan keluarga sebagai batu-batu dalam tembok suatu bangunan. Apabila batu-batu itu rapuh karena kualitas batu itu sendiri
ataupu karena kualitas perekatnya, maka akan rapuhlah seluruh bangunan itu. Sebaliknya apabila batu-batu serta perekat itu baik, maka akan kokohlah bangunan
tersebut. Keluarga sebagai bagian dari struktur suatu bangsa, mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap bangsa itu sendiri.Jadi kalau suatu bangsa terdiri atas
kumpulan keluarga yang kokoh, kokoh pulalah bangsa tersebut, tetapi sebaliknya apabila keluarga sebagai fondasi suatu bangsa itu lemah, lemahlah bangsa tersebut.
12
b. Membuat manusia kreatif
Perkawinan juga mengajarkan kepada kita tanggung jawab akan segala akibat yang timbul karenanya. Dari rasa tanggung jawab dan perasaan kasih saying terhadap
keluarga inilah timbul keinginan untuk mengubah keadaan kea rah yang lebih baik dengan berbagai cara. Orang yang telah berkeluarga selalu berusaha untuk
12
Mahmud Syaltut, Islam Aqidah wa Al- Syari‟ah, trj. Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 65.
21
membahagiakan keluarganya. Hal ini mendorongnya untuk lebih kreatif dan produktif, tidak seperti pada masa lajang.
Sikap tersebut akan memberikan dampak yang baik terhadap lingkungannya. Sebagai makhluk social, manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Jadi,
tatkala berkreasi dan berproduksi, dia pasti akan melibatkan orang lain. Akibatnya terbentuklah dinamika pribadi-pribadi yang pada gilirannya akan mendinamisasikan
bangsanya.
13
3. Aspek Ritual
Ajaran Islam mengenai pernikahan, yang kita pahami dari tujuan, hikmah dan prinsip-prinsipnya tidak menitikberatkan pada kebutuhan biologis semata dan bukan
sekedar tertib administrasi. Pernikahan adalah bagian syari‟at Islam. Pernikahan adalah suatu ibadah dan berarti pelaksanaan perintah syari‟, sebagai refleksi ketaatan
makhluk kepada khaliknya, bagian yang tak terpisahkan dari seluruh ajaran agama dan sama sekali bukan sekedar tertib administrative. Dalam ajaran Islam diterapkan
aturan yang rinci dalam perkawinan, akibat yang mungkin terjadi selama dan setelahnya terputusnya perkawinan.
14
4. Aspek Moral
Seperti kita telah ketahui bahwa libido seksualitas pada dasarnya adalah suatu fitrah kemanusiaan dan juga fitrah bagi makhluk hidup lainnya.Oleh karena itu, baik
manusia maupun makhluk hidup lainnya sama-sama memerlukan pelampiasan
13
Rahmat Hakim., Hukum Perkawinan Islam., hlm. 20.
14
Ibid., hlm. 22.
22
terhadap lawan jenisnya. Jadi, dari segi kebutuhan biologis, manusia dan hewan mempunyai kepentingan yang sama. Adapun yan membedakannya dalam
melaksanakan kebutuhan tersebut.Manusia dituntut untuk mengikuti aturan atau norma-norma agama, moralitas agama, sedangkan hewan tidak dituntut demikian.
Jadi, perkawinan adalah garis demarkasi yang membedakan manusia dengan hewan untuk menyalurkan kepentingan yang sama.
15
5. Aspek Kultural
Perkawinan disamping membedakan manusia dengan hewan juga membedakan antara manusia yang beradab dengan manusia yang biadab, ada juga
antara mansia primitive dan manusia modern.Walaupun pada dunia primitive mungkin terdapat aturan-aturan perkawinan dipastikan aturan-aturan kita jauh lebih
baik daripada aturan-aturan mereka. Itu menunjukkan bahwa kita mempunyai kultur yang lebih baik daripada manusia-manusia purba atau primitif.
Apalagi dalam praktek kesehariaan, peristiwa perkawinan sepertinya tidak cukup dengan persyaratan-persyaratan agamis semata.Hampir diseluruh tempat di
dunia ini, peristiwa keagamaan tersebut selalu dibumbui oleh kultur-kultur okal yang syarat dengan symbol. Sesuatu yang oleh Islam dibolehkan selama tidak mengarah
pada hal-hal yang terlarang. Bahkan, simbol-simbol keagamaan sering terkubur oleh
15
Ibid.
23
banyaknya muatan lokal yang mewarnai seremonial perkawinan. Apalagi selepas seremonial tersebut, keduanya akan lebur dalam percampuran budaya.
16
B. Konsep Keluarga Ideal Menurut Islam