Identifikasi Daerah Jelajah Orangutan Sumatera Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis

(1)

IDENTIFIKASI DAERAH JELAJAH ORANGUTAN

SUMATERA MENGGUNAKAN APLIKASI

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

DESLI TRIMAN ZENDRATO

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN


(2)

IDENTIFIKASI DAERAH JELAJAH ORANGUTAN

SUMATERA MENGGUNAKAN APLIKASI

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

SKRIPSI

Oleh:

DESLI TRIMAN ZENDRATO

041201024 / MANAJEMEN HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2009


(3)

IDENTIFIKASI DAERAH JELAJAH ORANGUTAN

SUMATERA MENGGUNAKAN APLIKASI

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

SKRIPSI

Oleh:

DESLI TRIMAN ZENDRATO

041201024 / MANAJEMEN HUTAN

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN


(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Identifikasi Luas Daerah Jelajah Orangutan Sumatera Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis Nama : Desli Triman Zendrato

NIM : 041201024

Departemen : Kehutanan

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing,

Pindi Patana, S.Hut, M.Sc Ketua

Bejo Slamet, S.Hut, M.Si Anggota

Mengetahui,

Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S. Ketua Departemen Kehutanan


(5)

ABSTRAK

DESLI TRIMAN ZENDRATO. Identifkasi Daerah Jelajah Orangutan Sumatera

Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis. Dibawah Bimbingan Akademis PINDI PATANA dan BEJO SLAMET.

Populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) saat ini diperkirakan hanya tersisa sekitar 7.000 individu yang sebagian besar tersebar di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dan sekitar 255 diantaranya berada di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok. Dibandingkan daerah lain, informasi mengenai daerah jelajah orangutan di PPOS Bohorok sangat sedikit. Daerah jelajah orangutan betina dewasa dan jantan dewasa mungkin sulit memperkirakan daerah jelajah orangutan secara umum. Namun, informasi yang ada dapat digunakan untuk mengetahui pola pemanfaatan ruang orangutan di suatu daerah dengan mempelajari aktifitas harian orangutan. Seekor orangutan betina dewasa memiliki jelajah harian sejauh 916,4 meter/hari yang menjelajah dalam area seluas 12,4909 Ha (Metode Kernel) atau 71,549 Ha (Metode MCP). Sedangkan seekor orangutan jantan dewasa memiliki jelajah harian sejauh 651,28 meter/hari yang menjelajah dalam area seluas 46,017 Ha (Metode Kernel) atau 58,5601 Ha (Metode MCP). Daerah jelajah seekor orangutan yang sangat luas memungkinkan daerah jelajahnya saling bertautan dengan indidividu orangutan lainnya. Faktor yang mempengaruhi variasi jarak jelajah dan daerah jelajah orangutan yaitu: ketersediaan sumber makanan di hutan dan interaksi sosial.

Kata Kunci: Orangutan Sumatera, aktifitas harian, jelajah harian, daerah jelajah, sumber makanan, interaksi sosial.


(6)

ABSTRACT

DESLI TRIMAN ZENDRATO. Identification of Sumatran Orangutan Home

Range Used Geographic Information System Application. Under Academic Supervision of PINDI PATANA and BEJO SLAMET.

Today Sumatran Orangutans (Pongo abelii) population is estimated just left around 7.000 individual that distributed largely at Gunung Leuser National Park and about 255 there found at Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok. Than the other site, the information about orangutans home range is too slightly. The adult male and female orangutans may difficult to estimated the orangutan home range commonly. However, the information can used to understand the orangutans spatial patterns used on an area by studied the orangutan daily activity. An adult female orangutan have a daily range by as far as 916,4 meter/day that covered area 12,4909 Ha (Kernel Method) or 71,549 Ha (MCP Method). Whereas, an adult male orangutan have a daily range by as far as 651,28 meter/day that covered area 46,017 (Kernel Method) or 58,5601 Ha (MCP Method). A wide home range of an orangutan enable the home range overlap with other orangutan home range. Factor that influence the variation of orangutans daily range and home range that is: availability of food resources in the forest and social interaction.

Key Words: Sumatran Orangutan, daily activity, dailiy range, home range, food resources, social interaction.


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pemantang Siantar pada tanggal 6 Desember 1986 dari ayah Atieli Zendrato dan ibu Sarifati Harefa. Penulis merupakan putra ketiga dari tiga besaudara.

Tahun 1998 penulis lulus dari Sekolah Dasar Swasta Sultan Agung Pematang Siantar, tahun 2001 lulus dari Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Swasta Santa Maria Medan, tahun 2004 lulus dari Sekolah Menengah Atas Swasta Kristen Immanuel Medan, dan pada tahun 2004 lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata Kuliah Pengantar Inventarisasi Hutan. Penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Sylva Universitas Sumatera Utara (HIMAS USU) pada tahun ajaran 2006/2007, 2007/2008 dan pada tahun ajaran 2008/2009 menjabat sebagai Sekretaris Umum.

Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Balai Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) tahun 2006 dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) pada tahun 2008/2009. Pelatihan pernah mengikuti Pelatihan Standar Survey dan Inventarisasi Flora dan Fauna bagi Staf Fungsional Balai Taman Nasional Gunung Leuser, Bukit Lawang (2007); Pelatihan Perlindungan Satwa Liar, Medan (2007); dan Pekan Peduli Lingkungan Indonesia/Kongres Nasional Sylva Indonesia (PPLI/KNSI), Medan (2008).


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaiakan laporan Praktik Kerja Lapang ini sesuai pada waktu yang telah ditentukan.

Penelitian ini berjudul Identifikasi Daerah Jelajah Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok). Penelitian ini menyajikan variasi daerah jelajah antara orangutan jantan dewasa dengan orangutan betina dewasa yang disertai pembahasan mengenai faktor yang mempengaruhinya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam terlaksananya PKL di Taman Nasional Gunung Leuser,

diantaranya:

1. Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S. selaku Kepala Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara;

2. Pindi Patana, S.Hut, M.Sc. dan Bejo Slamet, S.Hut, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membimbing baik dalam pelaksanaan hingga pembuatan hasil penelitian;

3. Orangtua dan Kakanda yang telah memberikan dukungan moril dan materil bagi kelancaran pelaksanaan penelitian;

4. Ir. Nurhadi Utomo selaku Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Ir. Ari Subiantoro, M.Si selaku Kepala BPTN III Stabat, Hendra


(9)

Wijaya, S.Hut selaku Kepala SPTN V Bohoro, dan seluruh petugas Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser;

5. Ian Singleton. Ph.D dan Nuzuar, S.Hut serta segenap staf Yayasan Ekosistem Leuser – Sumatran Orangutan Conservation Programme (YEL-SOCP) yang telah memberikan bantuan dana dan bimbingan penelitian;

6. Sindrayana dan Tumino yang telah mendampingi selama pengamatan di lapang an; dan

7. Rekan-rekan angkatan 2004 dan seluruh mahasiswa Departemen Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

Penulis pun menyadari, meskipun telah berusaha semaksimal mungkin, masih terdapat kekurangan maupun kesalahan dalam penulisan laporan ini. Oleh karena itu, penulis berlapang dada atas saran dan kritik yang membangun dan menyempurnakan laporan ini. Akhir kata, penulis mengharapkan laporan ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkannya.

Medan, Maret 2009


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

Hipotesa Penelitian ... 3

Kerangka Pemikiran ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Distribusi Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) ... 6

Klasifikasi Orangutan Sumatera ... 8

Tahapan Perkembangan Orangutan ... 10

Aktifitas Harian Orangutan ... 12

Daerah Jelajah Orangutan ... 14

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daerah Jelajah Orangutan ... 17

Sistem Informasi Geografis ... 22

Definisi Sistem Informasi Geografis ... 23

Ekstensi Animal Movement Analyst dalam Aplikasi SIG ... 24

METODE PENELITIAN ... 27

Waktu dan Tempat ... 27

Bahan dan Alat ... 27

Metode ... 28

Pengumpulan Data ... 28

Pencarian (Searching) Orangutan ... 28

Pengamatan Perilaku Harian Orangutan ... 29

Analisa Data ... 31

Metode Minimum Convex Polygon (MCP) ... 31

Metode Kernel Home Range ... 32

Tumpang Susun (Overlay) Peta ... 32

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 33

Luas, Letak dan Iklim ... 33


(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

Pengamatan Orangutan ... 36

Karakteristik Orangutan Fokal ... 37

Betina Dewasa (adult female) ... 37

Jantan Dewasa (adult male) ... 38

Aktifitas Harian Orangutan Fokal ... 40

Makan (Feeding) ... 43

Istirahat (Resting) ... 46

Bergerak Pindah (Moving)... 48

Bersarang (Nesting) ... 49

Sosial (Social) ... 50

Jelajah Harian Orangutan... 51

Daerah Jelajah Orangutan ... 56

Metode Kernel ... 56

Metode Minimum Convex Polygon ... 58

KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

Kesimpulan ... 61

Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perbandingan data penjelajahan ... 18

2. Pemanfaatan waktu aktifitas harian fokal... 49

3. Jarak jelajah harian orangutan fokal ... 57


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) ... 10

2. Skema berbagai pola penjelajahan orangutan... 17

3. Kondisi yang mempengaruhi kebutuhan untuk menjelajah ... 21

4. Poligon MCP ... 25

5. Poligon kernel dengan tingkat kemungkinan 50%, 75% dan 90% ... 25

6. Poligon kernel menggunakan LSCV ... 26

7. Fokal Minah dan bayi orangutan Chaterine ... 38

8. Fokal Jenggot ... 39

9. Orangutan betina dewasa Suma ... 40

10.Variasi pemanfaatan waktu aktifitas harian fokal ... 42

11.Pemanfaatan waktu aktifitas makan (feeding) fokal ... 45

12.Pemanfaatan waktu aktifitas istirahat (resting) fokal... 47

13.Pemanfaatan waktu aktifitas gerak berpindah (moving) fokal ... 49

14.Pemanfaatan waktu aktifitas bersarang (nesting) fokal... 50

15.Pemanfaatan Waktu Aktifitas Sosial Fokal Minah ... 51

16.Jelajah harian fokal Minah dan fokal Jenggot ... 53

17.Jalur jelajah fokal Minah selama periode pengamatan tanggal 11-31 Juli 2008 ... 54

18.Jalur jelajah gokal Jenggot selama periode pengamatan tanggal 4-11 dan 16-20 Agustus 2008 ... 55

19.Daerah jelajah fokal Minah menggunakan metode Kernel ... 57

20.Daerah jelajah fokal Jenggot menggunakan metode Kernel ... 57


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Dokumentasi Pegamatan Orangutan.

2. Dokumentasi Aktifitas Harian Fokal Minah. 3. Dokumentasi Aktifitas Harian Fokal Jenggot.

4. Rekapitulasi Waktu Pengamatan Aktifitas Harian Orangutan di Stasiun Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok-TNGL: Fokal Minah.

5. Rekapitulasi Waktu Pengamatan Aktifitas Harian Orangutan di Stasiun Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok-TNGL: Fokal Jenggot.

6. Koordinat Titik Sampel Fokal Minah. 7. Koordinat Titik Sampel Fokal Jenggot. 8. Contoh Lembar Identifikasi Orangutan 9. Contoh Lembar Pengisian Data


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Status orangutan Sumatera (Pongo abelii) menghadapi resiko kepunahan yang sangat cepat dibandingkan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), dimana orangutan Sumatera termasuk satwa dengan status sangat genting (critically endangered) (Singleton et al., 2006). Orangutan Sumatera merupakan jenis endemik yang ada di pulau Sumatera, dan keberadaannya terbatas di seluruh hutan dataran rendah provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara. Singleton et al. (2006) mencatat populasi orangutan Sumatera saat ini diperkirakan hanya sekitar 7.000 individu (berdasarkan tampilan citra satelit tahun 2002), hidup di 13 unit kawasan terfragmentasi mulai dari utara provinsi Nangroe Aceh Darussalam hingga bagian selatan daerah Sibolga, Tarutung dan Padang Sidempuan. Sedangkan orangutan Kalimantan saat ini diperkirakan kurang dari 27.000 individu, dan beberapa orang memperkirakan hanya tersisa setengahnya saja yang masih hidup alam liar (Meijard et al., 1999 dalam Johnson et al., 2004). Dengan kondisi status keberadaan orangutan saat ini terlihat jelas resiko kepunahan yang dihadapi orangutan Sumatera lebih berat dibandingkan orangutan Kalimantan. Dan tanpa mengabaikan status orangutan Kalimantan, penelitian ini hanya dibatasi pada orangutan Sumatera.

Semakin menurunnya populasi orangutan Sumatera mungkin diakibatkan berbagai faktor. Meijard et al. (2001) menjelaskan orangutan ternyata memiliki persyaratan yang cukup rumit untuk dapat bertahan hidup, terutama mengenai habitat dan daerah jelajahnya yang umumnya terbatas pada ketinggian tertentu. Lebih detail dijelaskan bahwa tekanan langsung terhadap populasi orangutan,


(16)

yaitu perburuan dan penangkapan ilegal dan tekanan terhadap habitat orangutan. Tekanan terhadap habitat orangutan berupa kehilangan, kerusakan dan fragmentasi habitat, yang sangat mempengaruhi kehidupan dan kemampuan untuk melakukan reproduksi, yang akhirnya akan menurunkan populasi orangutan di alam. Diluar tekanan langsung tersebut, juga ada tekanan lainnya yang mengancam kehidupan orangutan, seperti konflik dan perubahan tata guna lahan, lemahnya kerangka hukum dan penegakannya, dan berbagai kelemahan kelembagaan, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Dari seluruh faktor yang mempengaruhi populasi orangutan di atas, yang menjadi perhatian utama penelitian ini adalah keterbatasan daerah jelajah orangutan. Luas daerah jelajah orangutan dapat diketahui dengan menggunakan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan aplikasi sistem informasi geografis (SIG). Sistem informasi geografis merupakan suatu teknologi baru yang saat ini menjadi alat bantu (tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan kembali kondisi- kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial (Prahasta, 2005). Untuk mengidentifikasi luas daerah jelajah orangutan Sumatera (Pongo abelii) digunakan program Animal Movement Analysis ArcView Extension (AMAE) yang dapat diintegrasikan di dalam aplikasi sistem informasi geografis ArcView. Program AMAE memiliki banyak kegunaan untuk menganalisa fenomena titik dan juga fungsi-fungsi yang sangat berguna untuk berbagai tipe penggunaan sistem informasi geografis lainnya (Hooge dan Eichenlaub, 1997).


(17)

Tujuan Penelitian

1. Memperoleh informasi luas daerah jelajah Orangutan Sumatera dengan menggunakan aplikasi sistem informasi geografis (SIG).

2. Membandingkan luas daerah jelajah antara orangutan jantan dan betina dewasa yang menjadi objek pengamatan.

Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi terbaru mengenai luas daerah jelajah Orangutan Sumatera yang terdapat di kawasan Pusat Rehabilitasi Orangutan Sumatera Bukit Lawang.

2. Memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan daerah jelajah Orangutan Sumatera.

3. Merupakan bahan kajian dalam melakukan upaya konservasi orangutan Sumatera.

Hipotesis Penelitian

Luas daerah jelajah orangutan jantan dewasa lebih luas dibandingkan orangutan betina dewasa.


(18)

Kerangka Pemikiran

Saat ini sebaran orangutan Sumatera terbatas hanya pada bagian utara pulau Sumatera yaitu di Propinsi Sumatera Utaran dan Nangroe Aceh Darussalam. Populasi Orangutan Sumatera diperkirakan hanya tersisa sekitar 7.000 orangutan dan 5.600 orangutan diantaranya tersebar di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Dari 5.600 orangutan tersebut, sekitar 229 orangutan terdapat di dalam kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS) Bohorok. Sebagian besar orangutan yang hidup di PPOS Bohorok tersebut adalah orangutan semi liar hasil rehabilitasi dan terkadang dapat dijumpai orangutan liar. Orangutan rehabilitan tersebut berasal dari berbagai lokasi yang diserahkan secara sukareal maupun yang ditangkap dengan paksa dari pemiliknya. Menurut data IUCN (2007) Orangutan Sumatera merupakan salah satu spesies paling tercancam punah (Critically Endangered, sedangkan Orangutan Kalimantan masuk dalam kategori terancam punah (Endangered). Populasi Orangutan Sumatera yang semakin menurun menyebabkan daerah penyebarannya semakin sempit dan terbatas, sehingga perlu adanya peneliitian mengenai pola daerah jelajah orangutan. Penelitian daerah jelajah orangutan dilakukan berdasarkan jenis kelamin antara jantan dan betina yang masuk dalam dalam tahap kematangan seksual atau dewasa. Kerangka pemikirian penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.


(19)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian. Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827)

IUCN Critically Endangered Species

Fragmentasi Habitat

Pusat Pengamatan Orangutan Bahorok-Bukit Lawang

Pengumpulan data lapangan (primer)

Orangutan Betina Dewasa Semi Liar Orangutan Jantan Dewasa Liar

Metode Kernel Metode Minimum

Convex Polygon (MCP)

Perbandingan Luas Daerah Jelajah Orangutan Jantan dan Betina

Dewasa Daerah Jelajah


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Distribusi Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827)

Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang ditemukan di luar Afrika (Parsons, 2006). Sekitar dua juta tahun yang lalu orangutan tersebar di wilayah sangat luas, mulai dari Jawa hingga selatan Cina (von Koenigswald, 1982 dalam Schaik, 1996). Namun, sebaran orangutan saat ini hanya berupa kawasan terfragmentasi yang lebih kecil dari sebelumnya, dimana saat ini hanya terdapat di pulau Kalimantan dan Sumatera (Schaik, 1996). Saat ini orangutan hanya dapat ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Sabah dan Sarawak dan lebih dari 90% habitatnya berada di wilayah Republik Indonesia (Meijard et al., 2001). Di Kalimantan orangutan tersebar dalam wilayah yang lebih luas, sedangkan orangutan yang ada di Sumatera tersebar secara terbatas pada bagian ujung utara pulau tersebut (Galdikas, 1986). Orangutan yang tinggal di pulau Sumatera saat ini hanya dapat ditemukan di kawasan hutan dataran rendah di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Singleton et al., 2006).

Pada awal abad ke-20 orangutan diduga dapat ditemukan di hutan yang luasnya paling sedikit 82.000 km2 di Sumatera bagian utara dari khatulistiwa, dan jumlahnya tidak kurang dari 85.000 orangutan. Populasi orangutan saat itu terpusat di Suaka Margasatwa Gunung Leuser dan terpecah menjadi empat subpopulasi utama, yaitu: (1) subpopulasi di dekat Aceh, di sebelah barat Sungai Alas dan Sungai Wampu; (2) subpopulasi di hutan lindung Dolok Sembelin dan Batu Ardan di Kabupaten Dairi dan kawasan hutan yang bersambungan di sebelah timur Sungai Alas, membentang di sepanjang kaki-kaki bukit pesisir barat dan


(21)

menurun sampai ke pantai Sibolga; (3) subpopulasi Tapanuli bagian tenggara di antara Sungai Asahan dan Sungai Baruman; dan (4) subpopulasi di Anggolia, Angkola, dan Pasaman, semuanya di sepanjang bagian barat kaki Bukit Barisan, dari hilir Sungai Batang Toru membentang ke arah selatan di antara Padang Sidempuan dan daerah sekitar Pariaman di Propinsi Sumatera Barat, sekitar 50 km di sebelah utara Padang (Meijard et al., 2001).

Setelah tahun 1997 (pasca kebakaran hutan), Meijard et al. (2001) memperkirakan bahwa populasi orangutan berada di hutan yang luasnya 26.000 km2, yaitu kira-kira setara dengan 3.500 unit daya dukung. Berdasarkan perkiraan kepadatan orangutan pada habitat yang berbeda-beda di Sumatera, jumlah orangutan yang bertahan pada populasi sekarang hanya sekitar 12.500. Tetapi, dari 12.500 orangutan yang tersisa diperkirakan telah berkurang hingga sekitar 7.000 orangutan saja (Singleton et al., 2006)

Dari 7.000 orangutan Sumatera yang tersisa (berdasarkan citra satelit tahun 2002), hidup di 13 unit habitat terfragmentasi yang terbentang mulai sebelah utara Nangroe Aceh Darussalam (NAD), sebelah selatan sungai Batang Toru di Sumatera Utara. Lebih jauh dijelaskan populasi orangutan dalam jumlah yang besar, sekitar 5.600 orangutan, ditemukan di dalam ekosistem Leuser, yang merupakan sebuah daerah konservasi seluas 26.000 km2 yang ditetapkan melalui keputusan presiden dimana di dalamnya terdapat Taman Nasional Gunung Leuser (10.950 km2) dan 1.025 km2 Kawasan Reservasi Rawa Singkil (Singleton et al., 2006).

Berdasarkan ketinggian tempat, orangutan terutama hidup di dataran rendah dan kepadatan tertinggi terdapat di antara ketinggian 200-400 mdpl


(22)

(Payne, 1988; van Schaik dan Azwar, 1991 dalam Meijard et al., 2001). Groves (1971) dalam Meijard et al. (2001) juga mencatat bahwa orangutan kadang ditemukan di lereng gunung pada ketinggian lebih dari 1.500 mdpl, khususnya jantan dewasa, dan populasi pada ketinggian di atas 500 mdpl kini semakin jarang. Di Kalimantan, batas ketinggian dimana komunitas orangutan berada adalah sekitar 500 mdpl. Sedangkan di Sumatera, Ellis (2005) mencatat bahwa populasi orangutan secara bertahap berkurang pada ketinggian 1.000 hingga 1.200 mdpl.

Di dataran rendah orangutan juga tidak tersebar merata. Berdasarkan tinjauan pustaka yang tersedia, dan dari data survei orangutan dari berbagai lokasi di Sumatera dan Kalimantan, orangutan diketahui lebih umum terdapat di dekat sungai-sungai kecil atau besar dan di dekat rawa-rawa. Alasan utama orangutan lebih menyukai lingkungan ini hampir pasti karena di dekat sungai lebih banyak pohon buah yang disukai, tetapi mungkin juga karena sungai-sungai besar dan kecil merupakan tanda-tanda geografis yang terbaik untuk mengetahui arah keberadaannya. Orangutan jarang atau hampir tidak ada di hutan-hutan dataran rendah yang luas dan relatif seragam, yang tumbuh di atas tanah rata yang kering, demikian pula di jajaran pegunungan di atas ketinggian tertentu (Meijard et al., 2001).

Klasifikasi Orangutan Sumatera

Orangutan Sumatera adalah salah satu dari dua spesies yang termasuk ke dalam genus Pongo (Singleton et al., 2006). Selain Orangutan Sumatera (Pongo abelii) juga dikenal Orangutan Kalimantan/Borneo (Pongo pygmaeus). Meskipun


(23)

awalnya kedua jenis orangutan tersebut dianggap sama dan hanya dikenal sebagai Pongo pygmaeus, tetapi Singleton et al. (2006) menjelaskan bahwa saat ini mereka dikenal sebagai spesies yang berbeda. Lebih lanjut dijelaskan bahwa orangutan Kalimantan dibagi dalam tiga subspesies berbeda yang termasuk dalam spesies Pongo pygmaeus, sedangkan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) hanya dipandang sebagai satu unit taksonomi.

Secara ilmiah struktur taksonomi Orangutan Sumatera adalah sebagai berikut (IUCN, 2007; Brandon dan Jones, 2004):

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Primata Famili : Hominidae

Sub Famili : Ponginae Eliot, 1912 Genus : Pongo Lacépède, 1799 Spesies : Pongo abelii Lesson, 1827

Meijard et al. (2001) menjelaskan bahwa perbedaan antara Orangutan Sumatera dan Orangutan Kalimantan dapat dilihat dari perbedaan genetis dan morfologis yang dikarenakan kedua jenis tersebut terisolasi secara geografis sekitar 10.000 tahun yang lalu. Tetapi, pola-pola perilaku kedua jenis hampir seluruhnya identik, walaupun ada perbedaan dalam kemampuan sosialnya (Markham, 1980 dalam Meijard et al., 2001). Galdikas (1986) menjelaskan perbedaan morfologis kedua jenis tersebut dapat dibedakan dengan dasar warna bulunya, dimana Orangutan Kalimantan bila telah dewasa mengarah kepada


(24)

warna coklat kemerah-merahan, sedangkan Orangutan Sumatera biasanya berwarna lebih pucat. Meskipun perbedaan tersebut bukan merupakan sifat yang tetap tetapi dapat digunakan sebagai penuntun secara umum. Galdikas (1986) juga menemukan adanya rambut putih di bagian muka Orangutan Sumatera dan tidak pernah dijumpai pada Orangutan Kalimantan. Selain itu Orangutan Sumatera biasanya memiliki rambut yang lebih lembut dan lemas, sedangkan Orangutan Kalimantan kasar dan jarang-jarang.

Gambar 1. Orangutan Sumatera (Pongo abelii).

Tahapan Perkembangan Orangutan

Menurut Rijksen (1986) dalam Mapple (1980) tahapan perkembangan orangutan di alam dapat digolongkan dalam beberapa kelompok berdasarkan umur, seks, morfologi dan tingkah laku, seperti dijelaskan di bawah ini:

a. Bayi (infant): kisaran umur 0-2,5 tahun, berat badan 2-6 kg. Lingkaran sekitar mata berwarna merah jambu terang, mempunyai rambut yang panjang dan


(25)

berdiri di sekitar wajah. Selalu berpegang pada induknya selama waktu perpindahan, kebutuhan makan sepenuhnya bergantung kepada induk dan tidur juga di sarang yang sama dengan induknya.

b. Kanak-kanak (juvenile): kisaran umur sekitar 2,5-5 tahun, berat badang 6-15 kg. Ciri morfologi masih sama seperti bayi. Masih sering berpegang pada induknya, tetapi telah melakukan perjalanan pendek sendiri dalam pengawasan induknya, bermain sendiri atau dengan kawan sebayanya, awalnya masih tidur bersama induknya tetapi kemudian mulai membangun sarangnya sendiri dekat induknya, akhir dari tahapan ini terkadang si induk melahirkan bayi baru dan perhatiannya terhadap si kanak-kanak mulai semakin berkurang.

c. Remaja (adolescent): kisaran umur 5-8 tahun, berat badan sekitar 15-30 kg. Rambut panjang dan berdiri masih terdapat di sekitar wajahnya, warna lingkaran sekitar mata berubah gelap, gigi berubah, jantan dan betina sulit dibedakan kecuali benar-benar diperhatikan daerah genitalianya. Sering berhubungan dengan induknya, berhubungan dengan golongan sebayanya, bermain bersama mereka dan bergerak bersama-sama dalam grup remaja, berhati-hati ketika bertemu orangutan dewasa, khususnya jantan dewasa, kadang-kadang masih melakukan pergerakan bersama induknya, mulai menunjukkan perilaku sosial, kematangan seksual betina sekitar 7 tahun. d. Jantan pra dewasa (sub adult): kisaran umur sekitar 8-13/15 tahun, berat badan

30-50 kg. Keseluruhan wajah gelap, bantalan pipi (cheek pads) dan kantong suara belum berkembang; janggut mulai tumbuh, rambut di sekitar wajah pendek dan tidak berdiri tetapi merata pada tulang dahi, kemaluan tampak


(26)

jelas. Tahap ini kematangan seksual dimulai dan berkelanjutan sampai individu tersebut mencapai kematangan seksual, menghindari pertemanan dengan jantan dewasa.

e. Betina dewasa (adult female): kisaran umur di atas 8 tahun, berat badan 30-50 kg. Betina yang sudah tua memiliki jenggot, dan sulit dibedakan dengan jantan pra-dewasa jika tidak disertai dengan anaknya, puting susu membesar. Betina dewasa biasanya disertai anaknya.

f. Jantan dewasa (adult male): kisaran umur di atas 13/15 tahun, berat badan 50-90 kg. Besarnya luar biasa, karakteristik seksual sekunder berkembang maksimal, memiliki bantalan pipi, janggut, kantong suara dan rambut yang panjang. Matang secara seksual dan secara sosial, melakukan penjelajahan sendiri, bergerak dengan hati-hati, menyuarakan seruan panjang (long call).

Aktifitas Harian Orangutan

Seperti daerah lainnya yang ada di Sumatera dan Kalimantan, orangutan dewasa di Suaq Balimbing menghabiskan banyak waktu aktifitas hariannya untuk makan (55%), beristirahat (25%), bergerak pindah (7%), membuat sarang (2%), dan aktifitas lainnya termasuk interaksi sosial (1%). Perbandingan relatif dari kedua aktifitas yang biasa dilakukan orangutan, makan dan istirahat, menunjukkan perbedaan yang sangat nyata, dengan waktu yang digunakan untuk makan jauh lebih banyak dibandingkan untuk beristirahat. Periode aktifitas harian rata-rata orangutan untuk semua kelas kematangan seks adalah 11,5 jam (Fox et al., 2004).


(27)

Untuk menganalisa pemanfaatan waktu oleh orangutan, Galdikas (1986) membuat catatan mengenai individu-individu sasaran ke dalam tujuh kategori utama aktifitas orangutan, yaitu:

1. Makan, meliputi semua waktu yang digunakan orangutan untuk persiapan, pemetikan, penggapaian, pengambilan, pengunyahan atau penelanan makanan, dan juga waktu untuk bergerak di dalam sumber makanan (pohon, tanaman menjalar atau pokok kayu yang mengandung rayap). Aktifitas selipan antara aktifitas-aktifitas utama tersebut (kurang dari 1-2 menit) misalnya berupa defekasi (buang hajat besar), urinasi (buang hajat kecil), menggaruk-garuk atau “bermain-main” dengan anggota badan, mulut atau gigi selama masih ada di dalam sumber makanan.

2. Berisitirahat, meliputi semua aktifitas yang berlangsung pada waktu orangutan relatif tidak bergerak, yaitu duduk, berdiri, atau tiduran pada cabang, di dalam sarang, atau pada permukaan tanah. Saling merawat, merawat diri sendiri, bermain dengan benda atau bahan, dan menggaruk-garuk badan, semuanya dimasukkan ke dalam kategori beristirahat (kecuali apabila menggaruk-garuk tersebut dilakukan sebagai aktifitas sisipan selama makan seperti disebutkan di atas). Sasaran yang berupa hewan jantan yang sedang menerima tanggapan kesediaan seks betina, dihitung sebagai “sedang beristirahat”, kecuali apabila ia bergerak pindah dari pohon, begitu pula betina sasaran yang memperlihatkan kesediaan seksnya tanpa merangsang tanggapan yang memperlihatkan kesediaan.

3. Bergerak pindah, meliputi semua waktu yang digunakan orangutan untuk bergerak pindah pada dasar hutan atau dari satu pohon ke pohon yang lain.


(28)

Orangutan bergerak pindah secara lamban dan tidak teratur. Setiap saat tidak bergerak antara aktifitas pergerakan yang lebih lama dari satu menit dihitung sebagai beristirahat.

4. Kopulasi, dimulai semenjak jantan mulai menempatkan betina pada posisi yang memungkinkan intromisi dan berakhir dengan ejakulasi atau perpisahan secara jelas/sempurna antara pasangan yang berkopulasi itu.

5. Mengeluarkan seruan panjang, dihitung semenjak jantan mengeluarkan geraman mula-mula sampai geraman yang terakhir. Pada umumnya, seruan panjang yang kurang dari ½ menit tidak dimasukkan dalam pemanfaatan waktu untuk kategori seruan panjang.

6. Agresi, terutama menyangkut pameran kemarahan terhadap pengamat, orangutan dan hewan lain, tetapi meliputi pula perkelahian, pengejaran dan pertempuran antara individu. Pameran kemarahan terdiri atas pengeluaran suara, pematahan atau pelemparan cabang dan menjatuhkannya, serta penumbangan pohon tua. Akan tetapi bilamana suatu pohon tua ditumbangkan bersama-sama dengan dikeluarkannya seruan panjang, tidak dimasukkan ke dalam perilaku agresi tetapi ke dalam kategori seruan panjang.

7. Bersarang, meliputi pematahan dan perlakuan cabang-cabang dan/atau tanaman untuk menyusun sarang untuk tidur, bangunan alas untuk tempat makanan atau pelindung tubuh di atas kepala untuk menahan hujan.

Daerah Jelajah Orangutan

Daerah jelajah adalah suatu paham abstrak yang menyatakan jumlah gerakan pindah suatu hewan selama masa tertentu (Galdikas, 1986). Singleton dan


(29)

Schaik (2001) menjelaskan bahwa ada dua alasan utama pentingnya informasi pola jelajah dan faktor-faktor yang menentukannya. Yang pertama, adalah membuat data dasar untuk penelitian selanjutnya mengenai organisasi sosial, khususnya bagi spesies soliter yang organisasi sosialnya tidak begitu nyata. Yang kedua, adanya indikasi mengenai kebutuhan ruang individu dan populasi, karena itu, sepanjang adanya informasi pola keruangan tentang kaitan genetik, akan memberikan alat-alat yang penting untuk manajemen konservasi.

Dari hasil penelitian jangka panjang terhadap orangutan, secara umum ada tiga kelas kegiatan jelajahnya: (1) penetap, yang selama beberapa tahun berada dengan sebagian besar waktunya dalam satu tahun di satu daerah tertentu; (2) penglaju, yang secara teratur selama beberapa minggu atau beberapa bulan setiap tahun hidup ‘nomadis’; dan (3) pengembara, yang tidak pernah, atau sangat jarang (atau hanya sekali) kembali ke tempatnya yang semula dalam waktu paling sedikit tiga tahun. Orangutan penetap umumnya adalah minoritas dalam populasi yang diteliti. Di habitat kecil yang berkualitas tinggi, seluas sekitar 2 km2, mungkin ada satu atau dua jantan penetap dan sampai tiga ekor betina dewasa (dengan anak-anaknya) yang berada dalam suatu komunitas yang paling sedikit berisi 30 individu. Bagi komunitas orangutan di Ketambe, yang menikmati habitat kecil berkualitas baik (seluas sekitar 1 km2) pada awal tahun 1970-an, persentase antara penetap, penglaju dan pengembara, beruturut-turut adalah 30%, 60%, dan 10%; dan penglaju merupakan bagian terbesar populasi. Namun suatu kajian terhadap laporan-laporan penelitian lapangan lainnya menunjukkan bahwa beberapa daerah tampaknya tidak terdapat orangutan penetap sama sekali (Meijard et al., 2001).


(30)

Tabel 1. Perbandingan data penjelajahan.

Peneliti Lokasi

Luas daerah penelitian

(km2)

Waktu (th)

Jum.

Indi-vidu

Penetap Bukan penetap

Daerah jelajah jantan (km2)

Daerah jelajah betina (km2)

Horr 75 Mitani 82 Rodman 73 Suzuki 87 Galdikas 78 Rijksen 78 Schurmann 82 van Schaik 94

Ko Ko Ko Ko K S* S* S 24 3 3 50 20 1 5 3 1 1 1 5 3 3 4 2 27 >15 8 30 54 28 29 45 ? 6 6 12 4? 5 8 8 - >9 2 18 50? 23 17 37 5,2 - 1 4-8 6 6-10 >8 >5 0,6 1,5 0,5 0,6-3 2-6 1-3 >3 >3 Nama-nama dengan tanda (*) melakukan penelitian di Ketambe dalam Ekosistem Leuser, Aceh; (o) di Mentoko/Sangatta di Kutai, Kalimantan Timur; Galdikas di Suaka Margasatwa Tanjung Puting (Kalimantan Tengah); dan van Schaik di Suaq-Balimbing, Aceh bagian barat.

Sumber: Meijard et al., 2001.

Penelitian jangka panjang mengenai interaksi sosial mengungkapkan bahwa orangutan penetap biasanya adalah yang berstatus sosial tinggi. Seekor orangutan penetap menempati habitat berkualitas tinggi, yang dalam kasus betina dewasa penetap bersama dengan yang lainnya, luasnya mungkin hanya 0,6-1 km2 (Tabel 1). Jantan dewasa penetap umumnya menjelajah daerah yang lebih luas, diduga untuk kepentingan sosial-reproduksi, tetapi daerah jelajahnya jarang melebihi 10 km2 di habitat yang berkualitas tinggi. Para penglaju menempati daerah yang jauh lebih luas, dan memanfaatkan lebih dari satu lokasi habitat utama yang berkualitas tinggi atau cukup tinggi. Jarak antara lokasi satu dengan lainnya mungkin cukup jauh, yaitu lebih dari 5 km, dan dipisahkan oleh hutan yang berkualitas lebih buruk atau sangat buruk, atau oleh daerah jelajah orangutan lainnya sehingga kehadiran penglaju ini tidak dapat diterima (Meijard et al., 2001).

Pola pertumbuhan orangutan muda sering mengikuti urutan penetap dependen (selama tahap bayi dan anakannya), ke penglaju (sosial) selama masa remaja dan pradewasanya, dan akhirnya menjadi penetap (semi soliter) dalam


(31)

masa dewasanya, jika habitat dan status sosial individu memungkinkannya. Mungkin ada orangutan yang tetap menjadi penglaju dan menjadi pengembara selama masa dewasanya, jika status sosialnya tetap rendah (Meijard et al., 2001).

Gambar 2. Skema berbagai pola penjelajahan orangutan (Meijard et al., 2001).

Para pengembara tampaknya tidak memiliki daerah jelajah yang tetap sama sekali, tetap terus mengembara, menjelajah sampai jarak yang jauh, untuk mencari makanan dan mungkin juga untuk kawin. Pengembara mungkin (mencoba) bergabung selama beberapa waktu dengan kelompok penglaju. Karena semua pengembara tampaknya adalah jantan dewasa atau pradewasa, mereka ini diduga telah gagal diterima oleh kelompok penglaju dan penetap, atau bahkan diusir. Dari hasil penelitian struktur komunitas orangutan, mungkin sekitar 20% dari seluruh orangutan akan bernasib menjadi pengembara (Meijard et al., 2001).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daerah Jelajah Orangutan

Daerah jejalah orangutan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Mapple (1980) menjelaskan ketersediaan makanan merupakan hal yang paling menentukan


(32)

ukuran daerah jelajah orangutan. Hal ini mungkin dikarenakan orangutan bersifat frugivora (Galdikas, 1986). Pola makan ini sangat mempengaruhi kondisi biologis dan cara hidup orangutan. Oleh karena itu, distribusi jumlah dan kualitas makanannya menurut waktu dan tempat tertentu merupakan faktor penentu utama perilaku pergerakan (Meijard et al., 2001).

Di habitat yang berkualitas baik, antara 57% (jantan) dan 80% (betina) waktu makannya dihabiskan untuk memakan buah-buahan. Walaupun ada sekitar 200 jenis buah yang dimakan, beberapa jenis buah tertentu ternyata jauh lebih tinggi dalam komposisi makanan orangutan. Buah-buahan ini berdaging lembek, berbiji, termasuk buah berbiji tunggal dan buah beri. Orangutan juga lebih menyukai pohon-pohon yang berbuah lebat. Selain buah, orangutan juga memakan daun (termasuk tunas muda dan tangkai), serangga (semut, rayap, belalang, jangkrik, kutu, dan lain-lain.), lapisan di bawah kulit pohon tertentu (khususnya Ficus dan pohon lainnya dari suku Moraceae, misalnya Payena spp.), bunga, telur burung, vertebrata kecil (tokek, tupai, dan kukang), dan madu (Meijard et al., 2001).

Buah merupakan sumber makanan yang tersebar dalam ruang yang terbatas dan hanya teredia untuk sementara. Oleh karena itu, hewan frugivora harus menyesuaikan keputusan jelajahnya dalam kaitannya dengan distribusi buah (Yamagiwa dan Mwanza, 1994 dalam Parsons, 1999). Dalam penelitian yang dilakukan Parsons (1999), orangutan jantan hanya melakukan perjalanan singkat pada hari-hari makanan berlimpah, orangutan juga berkecenderungan melakukan perjalanan dengan lambat dan jelajah harian yang lebih singkat. Hal ini mungkin dapat dimengerti sebagai dua hal, yaitu: orangutan jantan mungkin mengurangi


(33)

pergerakannya ketika buah yang menjadi makanannya berlimpah dan tidak perlu berpindah lebih jauh untuk mendapatkan sumber makanan atau alternatif lainnya, orangutan jantan meningkatkan pergerakannya ketika kelimpahan buah sangat sedikit dengan maksud mencari sumber makanannya.

Selain makanan, daerah jelajah orangutan juga dipengaruhi oleh perilaku sosial (Parsons, 1999). Orangutan memperlihatkan banyak variasi ekologi dan sosial individualnya karena perbedaan seks, umur, kondisi reproduksi, status sosial dan juga keterampilannya (Meijard et al., 2001). Orangutan betina bersifat soliter dan menggunakan sebuah daerah jelajah yang terkadang tumpang tindih dengan daerah jelajah betina lainnya (Parsons, 1999). Orangutan jantan juga soliter, tetapi mereka memiliki daerah jelajah yang lebih luas yang berkaitan dengan beberapa daerah jelajah betina (Rijksen, 1975 dalam Parsons, 1999).

Orangutan pada umumnya memiliki tiga kelas kegiatan jelajah, yaitu: penetap, penglaju, dan pengembara (Meijard, 2001). Penelitian jangka panjang mengenai interaksi sosial mengungkapkan bahwa orangutan penetap biasanya adalah yang berstatus sosial tinggi. Jantan dewasa penetap umumnya menjelajah daerah yang lebih luas, diduga untuk kepentingan sosial-reproduksi, tetapi daerah jelajahnya jarang melebihi 10 km2 di habitat yang berkualitas tinggi. Para penglaju menempati daerah yang jauh lebih luas, dan memanfaatkan lebih dari satu lokasi habitat utama yang berkualitas tinggi atau cukup tinggi. Jarak antara lokasi satu dengan lainnya mungkin cukup jauh, yaitu lebih dari 5 km, dan dipisahkan oleh hutan yang berkualitas lebih buruk atau sangat buruk, atau oleh daerah jelajah orangutan lainnya sehingga kehadiran penglaju ini tidak dapat diterima (Meijard et al., 2001).


(34)

Orangutan jantan memerlukan sikap tegas dan berani untuk mendapatkan statusnya sebagai penetap. Jantan dewasa penetap biasanya berstatus tinggi dalam hal dominasinya dibandingkan dengan jantan lainnya, dan kelihatannya ada kompetisi (meskipun lebih banyak tersembunyi) di antara jantan dewasa penglaju dan pradewasa calon penetap (dan/atau pengembara) yang berlangsung terus-menerus untuk memperoleh status. Jadi, status jantan dewasa penetap akan terkait dengan suatu kawasan yang meliputi habitat kecil yang berkualitas lebih baik daripada habitat lain di sekitarnya yang mencakup daerah jelajah untuk paling sedikit lima ekor penetap (Meijard et al., 2001). Yang menarik perhatian, orangutan betina tampaknya berperan aktif dalam dinamika status sosial di antara jantan dewasa penetap di daerah tersebut (Utami dan Mitrasetia, 1995 dalam Meijard et al., 2001).

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, salah satu yang mempengaruhi perilaku sosial orangutan dikarenakan adanya perbedaan kondisi reproduksi (Meijard et al., 2001), seperti yang terlihat pada Gambar 2. Van Hooff (1995) dalam Meijard (2001) menjelaskan bahwa struktur sosial-ekologi orangutan terutama ditentukan oleh kepentingan reproduksi betina. Karena orangutan bukan hewan yang hidup dalam kelompok, masalah yang mula-mula menghadapi suatu individu dalam hal reproduksi ialah justru menemukan pasangan jenis kelaminnya. Masalah utama bagi jantan untuk mencapai reproduksi yang berhasil ialah menemukan atau menarik betina yang birahi. Jantan dewasa menunjukkan dua pola untuk mendapatkan betina. Jantan tertentu tetap tinggal pada daerah jelajahnya yang terbatas selama beberapa tahun, sedang yang lain agaknya mengembara lebih jauh tanpa tinggal terlalu lama pada suatu daerah jelajah


(35)

tertentu. Sedangkan orangutan betina tidak meninggalkan daerah jelajah umum induknya untuk kawin (Galdikas, 1986).

Gambar 3. Kondisi yang mempengaruhi kebutuhan untuk menjelajah (Meijard et al., 2001).

Selain status sosial dan reproduksi, Parsons (1999) menyatakan bahwa seruan panjang orangutan jantan dewasa merupakan faktor potensial yang dapat mempengaruhi perilaku jelajah. Seruan panjang adalah suara orangutan yang paling sering dikeluarkan dan satu-satunya suara yang secara tetap dapat terdengar dari jarak-jarak yang jauh. Seruan berfungsi untuk merangsang perilaku seks pada betina, dan kenyataan bahwa orangutan jantan dewasa selalu mengawali kopulasi dengan mengeluarkan seruan atau menggeram, menandakan bahwa pengeluaran

EKOLOGI

Kualitas makanan

SOSIAL/SEKSUAL

Bergizi

Jumlah makanan

Lokasi makanan

Ketersediaan makanan musiman Cukup ?

Dimana ?

Kapan ?

Reproduksi

Status Sosial Bisakah aku pergi ke tempat yang kuinginkan?

Siapa yang kutakuti?

Siapa yang kuinginkan? Siapa yang bersedia?


(36)

seruan tersebut memegang peranan penting penting dalam reproduksi. Seruan panjang juga menjadi sarana untuk menyatakan hubungan kekuasan antara jantan-jantan dewasa yang jarang bertemu satu dengan lainnya (Galdikas, 1986). Meijard et al. (2001) menjelaskan seruan panjang orangutan jantan (keras dan berkepanjangan) jelas menunjukkan sifat percaya diri yang kuat, tetapi mungkin pada awalnya merupakan suatu indikasi untuik melindungi dan menunjukkan keinginan untuk mengawini betina-betina (penglaju), daripada untuk menunjukkan minat seksual terhadap betina-betina penetap, atau merupakan ancaman bagi jantan pesaing. Seruan panjang ini juga mungkin mempunyai fungsi lain untuk mengumumkan ketersediaan makanan, meskipun kemungkinan isi pesan berbagai jeritan keras orangutan masih belum banyak diketahui.

Sistem Informasi Geografis

Teknologi yang ada saat ini telah berkembang di berbagai bidang, khususnya di bidang komputer grafik, basis data, teknologi informasi, dan teknologi satelit penginderaan jarak jauh. Kondisi seperti ini menjadikan kebutuhan mengenai penyimpanan, analisa dan penyajian data yang berstruktur kompleks dengan jumlah besar semakin mendesak. Dengan demikian, untuk mengelola data yang kompleks ini, diperlukan suatu sistem informasi yang secara terintegrasi mampu mengolah baik data spasial maupun data atribut secara efektif dan efisien, serta mampu menjawab dengan baik pertanyaan spasial maupun atribut secara simultan (Prahasta, 2005).

Sistem informasi geografis (SIG) merupakan salah satu solusi untuk masalah tersebut. SIG menjadi suatu teknologi baru yang pada saat ini menjadi


(37)

alat bantu (tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisa dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial (grafis) (Prahasta, 2005). Lebih lanjut Nuarsa (2005) juga mengatakan bahwa SIG merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mengelola (input, manajemen, proses dan output) data spasial atau data yang bereferensi geografis.

Definisi Sistem Informasi Geografis

Sistem informasi geografis hingga saat ini belum memiliki definisi baku yang disepakati bersama. Sebagian besar definisi yang diberikan di dalam berbagai pustaka masih bersifat umum, belum lengkap, tidak presisi, dan bersifat elastik hingga sering kali agak sulit untuk membedakannya dengan sistem-sistem informasi lainnya (Prahasta, 2005).

Definisi sistem informasi geografis (SIG) selalu berkembang, bertambah dan bervariasi. Hal ini terlihat dari banyaknya definisi SIG yang beredar. Selain itu, SIG juga merupakan suatu bidang kajian ilmu dan teknologi yang relatif baru, digunakan oleh berbagai bidang disiplin ilmu, dan berkembang dengan cepat (Prahasta, 2005). Dikarenakan begitu banyaknya definisi yang berkembang, maka digunakan salah satu definisi yang sesuai dengan penelitian ini, yaitu definisi dari ESRI (Environmental Service Researcd Institute) yang mendefinisikan SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, memperbaharui (update), memanipulasi, menganalisa dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi.


(38)

Ekstensi Animal Movement Analyst dalam Aplikasi SIG

Ekstensi Animal Movement Analyst (dikembangkan oleh Badan Survei Geologi Amerika Serikat/USGS untuk mempelajari pola migrasi dan pergerakan satwa), telah digunakan untuk memperhitungkan dan memetakan daerah jelajah jantan dan betina, derajat tumpang tindih daerah jelajah, dan luas penggunaan habitat. Ekstensi Animal Movement Analyst, bekerja sama dengan ekstensi ArcView Spatial Analyst, bekerja dalam berbagai sistem proyeksi, menggunakan rekaman data yang terpilih (dapat menggunakan query atau pemilihan), dan terintegrasi dengan banyak tipe data spasial (ESRI, 2007). Hooge dan Eichenlaub (1997) menjelaskan bahwa ekstensi Animal Movement Analyst juga dipergunakan untuk menganalisa fenomena berupa titik dan fungsi-fungsi yang ada dapat digunakan untuk banyak tipe penggunaan sistem informasi geografis.

Kebanyakan fungsi-fungsi yang ada bekerja pada tema-tema (themes) berupa titik, yang mana dapat diciptakan dengan berbagai metode yang dapat digunakan oleh ArcView. Data dapat memiliki berbagai jumlah atribut yang dapat digunakan dalam beberapa fungsi (sesuai dengan fungsi standar ArcView) (Hooge dan Eichenlaub, 1997).

Ada dua metode utama dalam menentukan poligon daerah jelajah (Bajjali, 2006), yaitu:

1. Metode Minimum Convex Polygon (MCP)

Metode Minimum Convex Polygon (MCP) adalah poligon terkecil (convex) yang mencakup semua titik-titik yang dikunjungi oleh kelompok satwa. Umumnya metode ini juga mencakup sebagian besar ruang kosong yang tidak pernah dikunjungi oleh satwa, seperti tampak pada Gambar 3.


(39)

2. Metode Kernel Home Range

Metode Kernel Home Range merupakan metode yang populer dalam menduga daerah jelajah, tetapi ukuran sampel dan tingkat akurasinya masih belum diketahui. Tingkat pendugaan daerah jelajah dihasilkan oleh kernel yang telah ditetapkan dan yang dapat disesuaikan (Gambar5), menggunakan ‘referensi’ dan metode least square cross validation (LSCV) untuk menentukan tingkat kehalusan poligon (Gambar 4). Simulasi daerah jelajah bervarisasi mulai dari bentuk yang sederhana hingga yang kompleks, dibentuk distribusi normal campuran.

Gambar 4. Poligon MCP (Hooge dan Eichenlaub, 1997).

Gambar 5. Poligon kernel dengan tingkat kemungkinan 50%, 75% dan 90% (Hooge dan Eichenlaub, 1997).


(40)

Gambar 6. Poligon kernel menggunakan LSCV (Hooge dan Eichenlaub, 1997).

Metode Kernel Home Range lebih kompleks dari metode Minimum Convex Polygon (MCP). Metode ini menghitung besaran setiap unit daerah dari titik-titik tanda menggunakan fungsi kernel menyesuaikan kehalusan permukaan setiap titik. Nilai tertinggi terdapat di lokasi titik tersebut berada dan semakin berkurang jika jarak dari titik tersebut semakin jauh, nilainya akan menjadi 0 pada jarak radius pencarian dari titik tersebut (Bajjali, 2006).

Hasil yang diperoleh dari metode ini, yaitu: sebuah gambaran distribusi penggunaan (Utilization Distribution) berupa grid, sebuah poligon shapefile yang mencakup poligon setiap kemungkinan yang dipilih, sebuah tabel atribut yang mencakup kemungkinan dan data lapangan untuk setiap poligon, dan sebuah kotak pesan yang menyajikan perhitungan setiap kemungkinan. Perlu diketahui yaitu tingkat kemungkinan awal dengan menggunakan metode ini adalah 50% dan 95%, dan tampilan tema harus diperbesar secukupnya hingga daerah dengan kemungkinan terbesar dapat terlihat untuk membentuk poligon (95% dan lain-lain.) (Hooge dan Eichenlaub, 1997).


(41)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Waktu penelitian dimulai dari bulan Maret sampai dengan selesai. Sedangkan penelitian lapangan akan dilaksanakan dari bulan Juni-Agustus 2008. Lokasi penelitian dilakukan di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS) Bohorok Taman Nasional Gunung Leuser.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: - Peta Studi Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok

Alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: - Perangkat komputer dengan aplikasi ArcView 3.2

- Global Positioning System (GPS) Garmin 60CSx - Kamera digital

- Binokular

- Jam tangan digital - Clinometer

- Kompas


(42)

Metode

Pengumpulan Data

a. Data Primer

Data primer yang dikumpulkan berdasarkan hasil observasi di lapangan yang dicatat dalam tabulasi data.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari buku teks, artikel, jurnal, laporan dan sumber-sumber pustaka lainnya.

Pencarian (searching) Orangutan

Pencarian dilakukan dengan menelusuri jalan-jalan setapak yang ada di kawasan penelitian dan penelusuran diarahkan ke daerah-daerah jelajah inti dan daerah-daerah sumber pakan yang diperkirakan adanya kehadiran orangutan di tempat tersebut. Daerah yang dipilih tersebut memiliki sifat-sifat sebagai berikut (mengacu pada Galdikas, 1986):

- Seluruh daerah jelajah dari sekurang-kurangnya beberapa orangutan taraf dewasa baik jantan maupun betina termasuk dalam daerah inti;

- Suatu contoh populasi orangutan yang representatif terdapat dalam daerah penelitian itu, yang memungkinkan untuk mengamati interaksi berbagai individu dari berbagai golongon umur/jenis kelamin yang ada. Dalam penelitian ini yang diamati hanya orangutan jantan dan betina yang sudah masuk dalam taraf dewasa (adult dan subadult).

Selama pencarian, diperhatikan beberapa hal sebagai indikasi adanya orangutan, seperti pergerakan pohon, vokalisasi (seruan panjang atau long call,


(43)

kiss queek, dan lain-lain.), memperhatikan buah-buah yang jatuh serta bau urin dan kotoran orangutan.

Pengamatan Perilaku Harian Orangutan

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data untuk mengetahui perilaku harian orangutan adalah focal animal sampling (Altman, 1974 dalam Drickamer et al., 2002). Focal animal sampling merupakan metode yang dilakukan dengan mencatat semua kegiatan dan interaksi suatu satwa selama periode waktu yang telah ditentukan. Dengan menggunakan metode ini, memungkinkan bagi seorang pengamat untuk dapat mengamati satwa dalam jumlah yang besar, dan mencatat perilaku setiap satwa untuk periode waktu yang singkat (misalnya 5 atau 10 menit per satwa), atau pengamat mungkin hanya merekam beberapa satwa fokal, yang diamati dengan periode waktu yang lebih panjang (beberapa jam per satwa). Dalam penelitian ini juga digunakan metode ad libitum sampling, yaitu mengamati satu individu orangutan dan mencatat kejadian-kejadian yang tidak secara sistematis terdapat pada interval waktu pengamatan.

Data yang dicatat untuk perilaku harian terhadap orangutan dewasa tersebut dilakukan sesuai dengan batas yang telah ditentukan, yaitu:

1. Bergerak pindah atau Moving (M): yaitu kegiatan bergerak biasanya diantara pohon yang berlangsung lebih dari 5 detik dan tidak sedang makan. Kegiatan ini terbagi menjadi berjalan dengan tangan dan kaki (Mq), berjalan bergantung pada tangan saja atau berayun-ayun dari satu cabang pohon ke pohon lain


(44)

(Mb), berjalan dengan memanjat (Mc), berjalan melalui menggoyangkan pohon atau membengkokkan pohon (Mt).

2. Istirahat atau Resting (R): termasuk kegiatan duduk atau tidur dalam sarang (Rs).

3. Makan atau Feeding (F): termasuk mengambil, mengerjakan makanan sebelum masuk ke dalam mulut. Kegiatan ini terbagi menjadi makan buah (Ffr) catat buah matang (M) dan mentah (m) di kolom item, makan biji (Fsd) catat buah matang (M) dan mentah (m) di kolom item, makan bunga (Fft), makan daun muda (Fyl), makan daun tua (Flv), makan bahan tumbuhan lain seperti anggrek, lumut, dan lain sebagainya (Fveg), makan serangga termasuk rayap (Fins), makan kulit kayu (Fbk), makan yang lain, misalnya: tanah (Foth), minum air dan catat caranya (Fw), hanya untuk anak (infant/bayi) yang masih menyusui atau pura-pura makan dan catat item makanan (TF).

4. Membuat sarang atau Nesting (N): yaitu seluruh waktu yang digunakan individu target dalam membuat sarang, yaitu mematahkan daun/dahan, membawa dan menyusun daun/dahan sampai menjadi bentuk sarang. Perilaku bersarang, seperti ‘nyeletok’, dan lain sebagainya.

5. Sosial atau Social (Soc): yaitu interaksi sosial, yang terbagi menjadi kategori bermain sosial termasuk bergulat (SP), bermain sendiri atau main-main sambil bergerak (agak cepat, sering diulang yang sama, dan biasanya tidak pergi kemana-mana) (APO), bermain sendiri termasuk main-main dengan objek (cabang, makanan) (APM).


(45)

Dalam melakukan pengamatan perilaku harian orangutan dicatat posisi orangutan fokal setiap 30 menit. Data posisi orangutan fokal direkam menggunakan global positioning system (GPS). Perekaman data posisi orangutan fokal dilakukan selama mengikuti orangutan fokal mulai dari keluar sarang pagi hingga membuat sarang malam.

Analisa Data

Data posisi orangutan yang dikumpulkan dari hasil pengamatan perilaku harian orangutan dianalisa dengan menggunakan tools Animal Movement ArcView Analisys Extensions 2.0 (AMAE 2.0) yang terintegrasi dengan aplikasi sistem informasi geografis ArcView 3.2. Metode yang digunakan yaitu Minimum Convex Polygon (MCP) dan Kernel Home Range, yang terdapat dalam AMAE 2.0.

1. Metode Minimum Convex Polygon (MCP)

Metode Minimum Convex Polygon (MCP) adalah metode yang menghasilkan poligon terkecil (convex) yang mencakup semua titik-titik yang dikunjungi oleh kelompok satwa. Umumnya metode ini juga mencakup sebagaian besar ruang kosong yang tidak pernah dikunjungi oleh satwa.

2. Metode Kernel Home Range

Metode Kernel Home Range merupakan metode yang populer dalam menduga daerah jelajah, tetapi ukuran sample dan tingkat akurasinya masih belum diketahui. Tingkat pendugaan daerah jelajah dihasilkan oleh kernel yang telah ditetapkan dan yang dapat disesuaikan, menggunakan ‘referensi’


(46)

dan metode least square cross validation (LSCV) untuk menentukan tingkat kehalusan poligon. Simulasi daerah jelajah bervarisasi mulai dari bentuk yang sederhana hingga yang kompleks, dibentuk distribusi normal campuran.

Tumpang Susun (Overlay) Peta

Peta daerah jelajah orangutan sumatera yang dihasilkan dengan menggunakan metode Minimum Convex Polygon (MCP) dan Kernel, selanjutnya masing-masing ditumpangsusunkan terhadap peta kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Bohorok Bukit Lawang. Dalam menumpangsusun masing-masing peta akan digunakan ekstensi Geoprocessing. Dimana dengan menggunakan ekstensi tersebut dapat dihasilkan data baru melalui manipulasi theme pada view. Metode tumpangsusun yang digunakan yaitu intersect two themes (interseksi dua theme). Dengan menggunakan fasilitas tersebut, tumpangsusun dua peta atau lebih dengan batas daerah yang sama dapat dilakukan. Dimana atribut peta hasil interseksi tersebut akan saling berinteraksi.


(47)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak, Luas dan Iklim

Kecamatan Bohorok secara geografis terletak pada posisi koordinat 03o-11o Lintang Utara dan 59o-78o Bujur Timur, serta berada 75 km dari Stabat ibu kota Kabupaten Langkat. Suhu minimal dan maksimal di daerah ini adalah 24-34oC, dengan suhu rata-rata harian 27oC. Luas wilayah kecamatan ini adalah 955,10 km2. Adapun batas wilayah kecamatan ini:

- Sebelah Utara dengan Kecamatan Padang Tualang - Sebelah Selatan dengan Kabupaten Karo

- Sebelah Barat dengan Kabupaten Aceh Tenggara - Sebelah Timur dengan Kecamatan Salapian

Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok

Keberadaan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok merupakan salah satu upaya pemerintah dan pemerhati orangutan dalam upaya penyelamatan Orangutan Sumatera dari perburuan, perdagangan, dan hidup di luar habitat alaminya. Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS) sebelumnya merupakan Pusat Rehabilitasi Orangutan yang didirikan sejak tahun 1973 dan diprakarsai oleh World Wild Fund for Nature (WWF) dan perkumpulan Ilmu Hewan Frankfurt Jerman (FZS). Orangutan yang diterima oleh Balai Besar TNGL hingga saat ini sebanyak 229 ekor. Orangutan tersebut diterima dari berbagai daerah, antara lain Singkil, Banda Aceh, Aceh Selatan, Langkat, Medan, Tanah Karo,


(48)

Riau, Lubuk Pakam, Kalimantan, Kuala Simpang, Sibolga, Aceh Tenggara, Aceh Timur, dan dari berbagai instansi pemerintah.

Pengambilan atau penyerahan orangutan dari masyarakat ke Pusat Rehabilitasi diperoleh secara sukarela oleh pihak yang memelihara dan juga melalui hasil sitaan secara paksa. Dari 229 ekor orangutan yang telah diterima oleh Balai Besar TNGL, sejumlah 200 ekor orangutan yang memiliki data lengkap (umur, jenis kelamin, dan tanggal lahir). Sementara 29 ekor lainnya tidak didukung oleh data yang lengkap. Namun demikian, seluruh orangutan ini telah diberi nama untuk identifikasi individu (seperti Jekie, Pesek, Cepi, Fitri, Sasa, dan seterusnya).

Sejak tahun 1973 sampai sekarang, jumlah orangutan yang mati dalam proses rehabilitasi sebanyak 52 ekor. Kematian ini antara lain disebabkan oleh penyakit, dimakan harimau, hanyut di sungai, abortus, terkena sengatan listrik, dan lainnya. Beberapa penyakit yang mengakibatkan kematian antara lain jantung, paru-paru, diare, hepatitis, dan bakteri ecoli. Sesuai dengan tujuan rehabilitasi orangutan, sejumlah 25 ekor orangutan telah berhasil diliarkan kembali ke habitatnya, dan 134 ekor liar sendiri. Beberapa lokasi tempat pelepasliaran orangutan adalah Sungai Bohorok, Sungai Musam, Sungai Landak, Sungai Jambur Batang, dan Sungai Kerapuh.

Sejak tahun 1998, tercatat beberapa ekor orangutan telah mempunyai keturunan baru selama di Pusat Rehabilitasi. Jumlah anak orangutan yang lahir sampai saat ini adalah 26 ekor. Dari 26 ekor ini sebanyak 9 ekor tetap bersama induknya, 8 ekor mati, 4 ekor anak orangutan liar, dan 7 ekor anak orangutan misterius. Pencatat seluruh populasi dan perkembangannya secara rutin masih


(49)

dilakukan. Menurut data pada bulan Maret 2005 di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera tercatat 24 ekor Orangutan yang masih rutin datang ke feeding site pada saat jam pemberian makan. Sementara 2 ekor lainnya (Sasa dan Muni) harus dikandangkan (karantina) karena perilakunya yang dianggap membahayakan manusia. Namun, saat ini hanya Sasa yang masih di kandangkan dan sesekali dilepaskan ke hutan.

Selain orangutan hasil sitaan dan pemberian secara sukarela dari masyarakat, di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera juga terdapat populasi orangutan asli yang sejak dulunya telah ada di lokasi tersebut. Namun sejak ramainya kunjungan wisata ke kawasan ini, orangutan tersebut mulai bermigrasi lebih jauh ke dalam kawasan hutan dan tidak diketahui berapa jumlah populasinya.

Sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 280/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Rehabiltasi Orangutan dan adanya kerjasama dengan Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP), maka Pusat Rehabilitasi Orangutan Bohorok tidak lagi menerima orangutan hasil sitaan/pemberian sukarela untuk direhabilitasi. Pusat Rehabilitasi Orangutan Bohorok saat ini sudah beralih status menjadi Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok, dimana aktifitas utama yang ditawarkan adalah pengamatan orangutan dan satwa liar lainnya.


(50)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Orangutan

Pengamatan orangutan dilakukan selama dua bulan yaitu Juli hingga Agustus 2008 yang dilaksanakan di kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok. Pengamatan dimulai dari pukul 5.30 sampai 18.30 setiap hari selama 42 hari pengamatan. Selama pengamatan hanya mengikuti satu orangutan betina dewasa dan satu orangutan jantan dewasa.

Pada bulan pertama pengamatan fokal yang diamati adalah orangutan betina dewasa bernama Minah yang diperkirakan berumur sekitar 31 tahun dan saat pengamatan fokal selalu menggendong bayinya Chaterine yang berumur 3 bulan. Fokal Minah merupakan orangutan semi liar hasil rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Orangutan Sumatera Bohorok yang sekarang statusnya menjadi Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok. Lama pengamatan terhadap fokal Minah yaitu 9.290 menit atau 15 hari pengamatan penuh. Selama pengamatan sering dijumpai kehadiran orangutan Juni anak kedua fokal Minah yang diperkirakan berumur sekitar 6 tahun dan mulai hidup mandiri.

Sedangkan pada bulan kedua pengamatan, fokal yang diamati adalah orangutan jantan dewasa yang diidentifikasi sebagai Jenggot. Orangutan tersebut merupakan orangutan liar dan belum pernah ada data penelitian yang mencatat kehadiran orangutan tersebut di sekitar kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok. Untuk memudahkan pengamatan maka orangutan jantan dewasa tersebut diidentifikasi sebagai Jenggot dikarenakan fokal memiliki jenggot yang panjang. Fokal Jenggot diperkirakan berumur sekitar 28 tahun dengan


(51)

bantalan pipi (check pad) dan kantong suara fokal terlihat jelas, namun bantalan pipi fokal belum tumbuh sempurna. Lama pengamatan yang dijalani terhadap fokal Jenggot yaitu 8.022 menit atau 15 hari pengamatan. Hampir seluruh waktu pengamatan yang dijalani untuk pengamatan fokal Jenggot termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, namun dalam suatu hari pengamatan fokal pernah memasuki perbatasan kebun karet masyarakat dengan Taman Nasional Gunung Leuser.

Karakteristik Orangutan Fokal

1. Betina Dewasa (adult female)

Orangutan betina dewasa yang diamati yaitu Minah yang berusia sekitar 31 tahun dan memiliki bayi berumur sekitar 3 bulan bernama Chaterine yang merupakan anak ketiga Minah. Secara umum karakteristik fisik fokal Minah tidak jauh berbeda dengan kebanyakan orangutan betina dewasa lainnya. Minah memiliki tinggi badan sekitar 1,2-1,4 meter dengan berat badan diperkirakan mencapai 45-55 kg. Ciri fisik khusus yang menjadi pengenal fokal Minah yaitu terdapat bekas luka di bagian wajah pelipis kiri. Berdasarkan penjelasan petugas TNGL, luka tersebut dikarenakan fokal Minah pernah dilukai dengan senjata tajam oleh pemandu wisata yang sedang memandu wisatawan asing yang melakukan tracking.

Fokal Minah merupakan orangutan semi liar hasil rehabilitasi. Fokal Minah cenderung terbiasa dengan kehadiran manusia. Bahkan, fokal Minah termasuk orangutan yang sering kontak atau berjumpa dengan manusia. Hal ini dikarenakan daerah jelajah yang sering dilalui fokal Minah merupakan kawasan


(52)

wisata jelajah hutan (tracking) yang sering dilalui oleh wisatawan mancanegara terutama pada bulan Juli-Agustus. Selama pengamatan fokal Minah sering mengikuti kelompok wisatawan tracking. Perilaku tersebut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya jelajah harian fokal Minah dibandingkan fokal Jenggot. Fokal Minah juga sering melakukan aktifitas bergerak pindah menyusuri permukaan tanah.

Gambar 7. Fokal Minah dan bayi orangutan Chaterine.

2. Jantan Dewasa (adult male)

Orangutan jantan dewasa yang menjadi fokal yaitu Jenggot. Fokal Jenggot memiliki ciri karakteristik yang biasa seperti orangutan lainnya. Berdasarkan kenampakan secara umum, fokal Jenggot diperkirakan memiliki tinggi badan sekitar 1,3-1,5 m dan berat badan mencapai 65-75 kg. Umur fokal Jenggot diperkirakan sekitar 28-30 tahun dan telah memasuki taraf dewasa. Fokal Jenggot memiliki bantalan pipi (check pad) yang belum tumbuh sempurna yang


(53)

merupakan indikator untuk memperkiraan umur fokal. Fokal Jenggot merupakan orangutan liar yang pada dasarnya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bergerak di antara cabang-cabang pohon yang rapat daripada bergerak menyusuri permukaan tanah. Fokal Jenggot juga tidak terbiasa dengan kehadiran manusia. Perilaku tersebut diindikasikan dengan kebiasaan fokal Jenggot yang cenderung menghindar jika merasakan kehadiran manusia.

Gambar 8. Fokal Jenggot.

Seperti orangutan jantan dewasa lainnya, fokal Jenggot juga memiliki kantong suara yang biasa digunakan untuk melakukan berbagai komunikasi dan salah satunya adalah seruang panjang (long calls) yang mampu mencapai radius 1 km dari pusat seruan. Seruan panjang oleh Jenggot biasanya terjadi apabila fokal merasakan kehadiran atau menjumpai orangutan jantan dewasa lain yang mungkin menjadi kompetitor dalam usaha reproduksi. Kebiasaan mengeluarkan seruan panjang juga sering terjadi pada saat fokal telah menjatuhkan pohon mati yang


(54)

dijumpai fokal di sepanjang jalur penjelajahannnya. Pada saat-saat tertentu juga dijumpai fokal mengeluarkan seruang panjang pada saat berjumpa dan mendekati orangutan betina dewasa lainnya yang diperkirakan sebagai seruan untuk menunjukkan kekuasaan atau ketertarikan reproduksi. Selama pengamatan fokal Jenggot sering dijumpai mengikuti orangutan betina dewasa Suma (Gambar 8).

Gambar 9. Orangutan betina dewasa Suma.

Aktifitas Harian Orangutan Fokal

Aktifitas harian orangutan fokal meliputi bergerak pindah (moving), makan (feeding), istirahat (resting), bersarang (nesting) dan sosial (social). Hasil pengamatan menunjukkan rata-rata waktu aktifitas harian fokal Minah adalah 619,33 menit/hari dan fokal Jenggot adalah 534,8 menit/hari. Variasi pemanfaatan waktu aktifitas harian fokal Minah dan Jenggot dikarenakan berbagai faktor, yaitu: ketersediaan pakan, perilaku sosial, dan seruan panjang yang dikeluarkan orangutan jantan dewasa. Selain itu, lama pengamatan terhadap fokal juga menjadi salah satu faktor adanya perbedaan rata-rata waktu aktifitas harian fokal.


(55)

Ketersediaan pakan merupakan faktor yang paling mempengaruhi pola aktifitas harian orangutan dibandingkan kedua faktor lainnya. Orangutan fokal memanfaatkan sebagian besar waktunya untuk mencari makan yang juga turut mempengaruhi jelajah hariannya. Orangutan yang merupakan frugivora (Galdikas, 1986), akan menghabiskan sebagian besar aktifitas hariannya untuk mencari buah yang disukai. Pada saat musim berbuah lebat, orangutan cenderung menjelajah lebih singkat dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk makan. Sedangkan saat musim berbuah jarang, aktifitas jelajah harian akan lebih banyak dihabiskan untuk bergerak pindah mencari sumber pakan yang dibutuhkan.

Variasi pemanfaatan waktu aktifitas harian akibat perilaku sosial dapat dijelaskan melalui kondisi umur dan jenis kelamin orangutan. Kehadiran orangutan yang lebih tua dan dominan cenderung mempengaruhi aktifitas orangutan yang lebih muda. Fokal Minah sering dijumpai menghindari keberadaan orangutan Suma yang lebih tua (berumur sekitar 32 tahun) dan Fokal Minah juga menghindari keberadaan orangutan jantan dewasa seperti fokal Jenggot. Perilaku tersebut dikarenakan fokal Minah memiliki bayi orangutan dan berusaha melindunginya dari berbagai gangguan, seperti perampasan bayi oleh orangutan betina dewasa lain dan ancaman pembunuhan oleh orangutan jantan dewasa (Parsons, 1999).

Seruan panjang oleh jantan dewasa juga dapat mempengaruhi aktifitas orangutan lainnya. Fokal Minah terkadang akan menghentikan aktifitas makannya di suatu pohon dan berpindah ke pohon lainnya ketika mendengar seruan panjang dari jantan dewasa yang berjarak sekitar kurang dari 50 meter dari fokal.


(56)

1530 1404 5596 244 516 758 3262 3874 128 0 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000

Gera k Pinda h Ma ka n Istira ha t Bersa ra ng Sosia l

L a m a A k ti v it a s (m e n it )

Aktivita s Ha ria n

Mina h Jenggot

Gambar 10. Variasi pemanfaatan waktu aktifitas harian fokal.

Tabel 2. Pemanfaatan waktu aktifitas harian fokal.

Hari Peng- amat-an

Aktifitas Harian (menit)

Jarak Jelajah (meter) Makan Istirahat Gerak

Pindah Bersarang Sosial Total

M J M J M J M J M J M J M J

1 116 146 110 314 78 40 2 16 46 0 352 516 967,98 443,76 2 116 286 244 436 204 40 16 12 32 0 612 774 2.027,25 712,31 3 100 182 302 458 246 98 12 12 24 0 684 750 2.113,70 898,82 4 64 200 482 116 104 28 32 8 20 0 702 352 479,42 498,14 5 96 260 374 394 88 62 22 12 0 0 580 728 565,97 751,49 6 118 240 358 340 114 46 10 10 44 0 644 636 1.105,80 939,77 7 160 252 252 250 174 46 18 2 44 0 648 550 1.125,70 933,83 8 52 106 434 150 112 26 8 4 0 0 606 286 914,37 356,14 9 88 104 418 54 66 6 22 8 52 0 646 172 522,12 138,48 10 56 214 510 402 38 8 14 12 4 0 622 636 396,08 193,59 11 110 250 444 236 42 96 26 10 34 0 656 592 424,73 1.216,03 12 94 320 446 232 60 64 24 12 60 0 684 628 438,01 778,50 13 64 374 444 54 76 70 8 0 82 0 674 498 1.291,50 516,59 14 68 108 376 108 58 24 14 6 66 0 582 246 417,96 233,76 15 102 220 402 330 70 104 16 4 8 0 598 658 955,42 1.157,98 ∑ 1.404 3.262 5.596 3.874 1.530 758 244 128 516 0 9.290 8.022 13.745,99 9.769,19 % 15,1 40,7 60,2 48,3 16,5 9,4 2,6 1,6 5,6 0 100 100

Keterangan:

M = Minah (betina dewasa) J = Jenggot (jantan dewasa)

∑ = Jumlah

% = Persentase aktifitas harian Sumber: Data Primer, 2008.


(57)

Fokal minah menghabiskan waktu aktifitas hariannya untuk beristirahat (60,2%), bergerak pindah (16,5%), makan (15,1%), interaksi sosial (5,6%) dan bersarang (2,6%). Waktu aktifitas harian fokal Minah sangat berbeda dengan pernyataan Fox et al. (2004) dimana dijelaskan pada umumya orangutan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk makan (55%) dan istirahat (25%). Perbedaan tersebut mungkin dikarenakan rendahnya ketersediaan sumber pakan yang ada di hutan, sehingga fokal Minah lebih sering menjelajah mencari sumber pakan. Jika sumber pakan tidak dapat dijumpai, fokal Minah akan lebih banyak beristirahat untuk memulihkan tenaga sampai siap untuk menjelajah lagi atau beristirahat dan menunggu waktu pemberian makan (feeding time) oleh petugas perawat orangutan di lokasi tempat pemberian makan (feeding site).

Fokal Jenggot menghabiskan waktu aktifitas hariannya untuk beristirahat (48,3%), makan (40,7%), bergerak pindah (9,4%) dan bersarang (1,6%). Fokal Jenggot lebih banyak menghabiskan waktunya untuk beristirahat beristirahat dan makan. Aktifitas makan fokal Jenggot yang jauh lebih tinggi dari fokal Minah dikarenakan pada bulan Agustus beberapa pohon pakan berbuah lebat, sehingga fokal Jenggot hanya menjelajah dalam waktu yang singkat dan pendek. Aktifitas istirahat fokal Jenggot yang lebih banyak dari aktifitas makan dikarenakan fokal sering mengikuti orangutan Suma yang juga lebih sering beristirahat dibandingkan mencari sumber makanan.

1. Makan (Feeding)

Aktifitas makan (feeding) fokal Minah adalah 15,1% dan fokal Jenggot adalah 40,7% dari seluruh aktifitas hariannya. Fokal Minah jauh lebih sedikit


(58)

menghabiskan waktu untuk makan dibandingkan fokal Jenggot. Faktor yang menyebabkan perbedaan waktu aktifitas makan adalah ketersediaan sumber makanan yang dibutuhkan fokal.

Fokal Minah lebih sedikit melakukan aktifitas makan daripada fokal Jenggot karena pada bulan Juli banyak pohon pakan yang belum berbuah matang. Sedikitnya sumber makanan yang tersedia di hutan menyebabkan fokal Minah lebih banyak menjelajah untuk mencari sumber makanan alternatif lainnya, sehingga jelajah harian fokal Minah juga lebih panjang. Bahkan, fokal Minah mampu menjelajah hingga 2 km (Tabel 2) untuk mendapatkan makanan dengan rata-rata jelajah hariannya 916,4 meter/hari. Penelitian yang dilakukan Magnolia (1999) menunjukkan orangutan betina dewasa liar di Suaq Balimbing mampu menjelajah sejauh 800,7 meter/hari dengan menghabiskan waktunya pada 38 pohon yang berbeda.

Fokal Jenggot jauh lebih banyak menghabiskan waktu untuk memenuhi kebutuhan makannya dibandingkan fokal Minah, seperti tampak pada Gambar 10. Fokal Jenggot cenderung lebih menyukai jenis makanan yang tersedia di hutan. Di lapangan dijumpai beberapa pohon pakan orangutan yang sedang berbuah lebat pada bulan Agustus, seperti ara martubung (Ficus aurentiaceae), meranti bunga (Shorea teysmanniana), darah-darah (Knema laurina), dan kandis gajah (Garcinia sp.). Melimpahnya sumber pohon pakan yang sedang berbuah menyebabkan fokal Jenggot hanya menjelajah dalam waktu yang singkat dan pendek. Dibandingkan fokal Minah, jarak jelajah fokal Jenggot paling jauh hanya 1,2 km dengan rata-rata jelajah hariannya 651,28 meter/hari (Tabel 2). Penelitian yang dilakukan Magnolia (1999) menunjukkan bahwa orangutan jantan dewasa di Suaq


(59)

Balimbing mampu menjejalah hingga 784,2 meter/hari dengan menghabiskan waktunya pada 26 jenis pohon yang berbeda.

0 50 100 150 200 250 300 350 400

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

A k ti v it a s M a k a n ( m en it )

Ha ri Penga ma ta n

Minah Jenggot

Gambar 11. Pemanfaatan waktu aktifitas makan (feeding) fokal.

Jenis makanan yang paling banyak dimakan fokal Minah adalah buah-buahan (39,2%). Jenis buah-buah-buahan yang sering dimakan fokal Minah bukan merupakan buah yang ada di hutan, tetapi buah yang berasal dari tempat pemberian makan atau dari pemandu wisata yang sedang treking seperti: pisang, rambutan, jeruk, manggis, nenas, dan timun. Selain memakan buah-buahan, fokal Minah juga memakan berbagai jenis makanan lainnya, yaitu: daun muda (26,5%), daun tua (11,7%), kulit kayu (8,3%), minum air (6,8%), rotan (2,8%), serangga (2,6%), dan jenis makanan lain seperti tanah (2,1%) (Lampiran 4).

Fokal Jenggot beberapa kali dijumpai menghabiskan waktu yang sangat lama melakukan aktifitas makan pada suatu pohon pakan yang sedang berbuah lebat dan matang, seperti pada pohon ara martubung (Ficus aurentiaceae) dan meranti bunga (Shorea teysmanniana). Aktifitas makan tersebut berlangsung sekitar 3-5 jam. Perbandingan jenis makanan yang dimakan fokal Jenggot, yaitu


(60)

buah (58,2%), daun muda (22,2%), daun tua (7,6%), rotan (4,2%), kulit kayu (4%), dan rayap (3,7%) (Lampiran 5).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orangutan betina dewasa akan menjelajah lebih jauh dibandingkan orangutan jantan dewasa untuk menemukan sumber makanan yang dibutuhkan. Kegiatan makan orangutan fokal sangat tergantung ketersediaan sumber makanan yang ada di hutan. Dimana orangutan akan berusaha memilih makanan yang disukai yaitu buah yang berdaging dan memiliki kandungan nilai gizi yang tinggi. Kebutuhan menjejalah untuk mencari makanan yang disukai akan mempengaruhi jarak jelajah harian dan daerah jelajah orangutan.

2. Istirahat (Resting)

Aktifitas istirahat (resting) fokal Minah mencapai 59,52% dan merupakan aktifitas yang paling sering dilakukan oleh fokal. Waktu aktifitas istirahat fokal Minah adalah 266,48 menit/hari. Fokal Minah lebih banyak beristirahat karena aktifitas bergerak pindah fokal Minah untuk mencari sumber makanan sangat tinggi. Rendahnya ketersediaan sumber makanan di hutan menyebabkan fokal Minah lebih sering bersitirahat setelah melakukan perjalanan yang jauh untuk memulihkan tenaga. Sumber makanan yang jarang dijumpai oleh fokal Minah menyebabkan fokal lebih sering beristirahat dan menunggu waktu pemberian makan (pukul 8:30 dan 15:00). Selain itu, fokal Minah juga sering menunggu kehadiran kelompok wisatawan treking yang sering membawa buah-buahan seperti pisang, rambutan dan jeruk. Perilaku tersebut dikarenakan sering dijumpai pemandu wisata yang memberikan buah-buahan kepada orangutan yang dijumpai


(61)

sebagai salah satu atraksi yang ditawarkan pemandu kepada wisatawan. Aktifitas beristirahat fokal Minah dilakukan pada cabang-cabang pohon, sarang lama dan baru, serta pada permukaan tanah.

Dibandingkan fokal Minah, aktifitas istirahat (rersting) fokal Jenggot mencapai 48,29% dan merupakan aktifitas yang paling banyak dilakukan fokal Jenggot dari seluruh aktifitas harian fokal. Waktu rata-rata aktifitas istirahat fokal Jenggot adalah 258,27 menit/hari. Banyaknya waktu yang dihabiskan fokal Jenggot untuk beristirahat dipengaruhi perilaku orangutan Suma yang sedang diikuti fokal Jenggot (selama 8 hari pengamatan). Namun, ketika fokal Jenggot tidak lagi mengikuti orangutan Suma, maka waktu istirahat fokal Jenggot lebih sedikit. Orangutan Suma cenderung lebih banyak menghabiskan waktu untuk beristirahat. Namun, Aktifitas beristirahat fokal Jenggot dilakukan pada cabang-cabang pohon, sarang baru dan sarang lama.

0 100 200 300 400 500 600

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

A k ti v it a s Is ti ra h a t (m e n it )

Ha ri Penga ma ta n

Mina h Jenggot

Gambar 12. Pemanfaatan waktu aktifitas istirahat (resting) fokal.


(62)

berkurang pada saat musim buah berlimpah. Tingginya aktifitas beristirahat pada saat musim buah jarang dilakukan untuk mengimbangi kegiatan bergerak pindah, karena kegiatan bergerak pindah merupakan kegiatan yang menghabiskan energi. Banyaknya waktu yang dilakukan untuk beristirahat akan mempengaruhi jelajah harian dan luas daerah jelajah orangutan.

3. Bergerak Pindah (Moving)

Fokal Minah melakukan aktifitas bergerak pindah (moving) 16,5% dari seluruh aktifitas harian fokal (Tabel 2). Aktifitas bergerak pindah biasanya dilakukan fokal untuk mencari makanan. Aktifitas bergerak pindah fokal sering dilakukan diantara cabang-cabang pohon yang rapat, tetapi juga sering dijumpai di permukaan tanah mengikuti trail. Fokal Minah melakukan aktifitas bergerak pindah lebih banyak dari fokal Jenggot (9,45%). Hal ini menyebabkan fokal Minah memiliki jarak jelajah yang lebih panjang dalam satu hari dibandingkan fokal Jenggot, dimana rata-rara jarak jelajah harian fokal Minah adalah 916,4 meter/hari dan fokal Jenggot 651,28 menit/hari. Selain mencari makanan, perilaku mengikuti kelompok wisatawan treking menjadi salah satu faktor yang menyebabkan fokal Minah lebih sering bergerak pindah (Gambar 13).

Fokal Jenggot hanya menghabiskan 9,45% waktu aktifitas bergerak pindah (moving) dari seluruh aktifitas harian fokal. Fokal Jenggot lebih sering bergerak pindah secara cepat dan pendek. Perilaku ini membuat aktifitas bergerak pindah fokal Jenggot lebih rendah daripada fokal Minah. Pada bulan Agustus banyak pohon sedang musim berbuah dan matang, sehingga fokal Jenggot hanya bergerak pindah antara pohon-pohon pakan yang sedang berbuah lebat dan matang. Banyaknya makanan yang tersedia menyebabkan aktifitas bergerak pindah fokal


(63)

Jenggot berkurang. Berkurangnya aktifitas bergerak pindah fokal menyebabkan jarak jelajah fokal lebih pendek.

0 50 100 150 200 250 300

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

A k ti v it a s B e rg e ra k P in d a h (m e n it )

Ha ri Penga ma ta n

Mina h Jenggot

Gambar 13. Pemanfaatan waktu aktifitas gerak berpindah (moving) fokal.

4. Bersarang (Nesting)

Aktifitas bersarang fokal Minah adalah 2,6% dan fokal Jenggot hanya 1,6% dari seluruh aktifitas hariannya. Fokal Minah biasanya bersarang pada sarang-sarang lama dan telah diperbaiki fokal atau pada sarang-sarang baru yang lebar. Aktifitas bersarang fokal Minah dapat berlangsung 3-5 kali dalam satu hari pengamatan. Fokal Jenggot biasanya bersarang pada sarang-sarang baru yang lebih kecil dan sederhana, kecuali sarang malam. Sarang malam fokal Jenggot biasanya lebih besar dan lebih tebal. Aktifitas bersarang fokal Jenggot dapat berlangsung 2-5 kali dalam satu hari pengamatan.

Aktifitas bersarang merupakan aktifitas yang biasa dilakukan orangutan sebelum beristirahat dalam waktu yang cukup lama. Fokal Minah lebih banyak


(1)

Desli Triman Zendrato : Identifikasi Daerah Jelajah Orangutan Sumatera Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis, 2009. USU Repository © 2009


(2)

Desli Triman Zendrato : Identifikasi Daerah Jelajah Orangutan Sumatera Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis, 2009. USU Repository © 2009


(3)

Desli Triman Zendrato : Identifikasi Daerah Jelajah Orangutan Sumatera Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis, 2009. USU Repository © 2009


(4)

Desli Triman Zendrato : Identifikasi Daerah Jelajah Orangutan Sumatera Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis, 2009. USU Repository © 2009


(5)

Desli Triman Zendrato : Identifikasi Daerah Jelajah Orangutan Sumatera Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis, 2009. USU Repository © 2009


(6)

Desli Triman Zendrato : Identifikasi Daerah Jelajah Orangutan Sumatera Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis, 2009. USU Repository © 2009